• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENATAAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH DENGAN ARSITEKTUR SEBAGAI RESPON TERHADAP BANJIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENATAAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH DENGAN ARSITEKTUR SEBAGAI RESPON TERHADAP BANJIR"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

PENATAAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI

DI SANGKRAH

DENGAN ARSITEKTUR SEBAGAI RESPON TERHADAP BANJIR

TUGAS AKHIR

Diajukan Sebagai Syarat

untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh:

RAHARDI ADHITYA LEKSANA

NIM. I 0205014

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

LEMBAR PENGESAHAN

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

PENATAAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH

DENGAN ARSITEKTUR SEBAGAI RESPON TERHADAP BANJIR

DISUSUN OLEH:

RAHARDI ADHITYA LEKSANA

NIM. I 0205014

Surakarta, 25 April 2011 Menyetujui,

Mengesahkan,

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Pembimbing I

Ir. Hadi Setyawan,MT NIP. 19530415 198003 1 004

Pembimbing II

Ir. Edy Hardjanto NIP. 19560128 198503 1 001

Pembantu Dekan 1 Fakultas Teknik

Ir. Nugroho Djarwanti,MT NIP. 19561112 198403 2 007

Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik

(3)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia, rahmat serta hidayahNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan Konsep Perencanaan dan Perancangan

Tugas Akhir Penataan Permukiman Bantaran Sungai di Sangkrah dengan

Arsitektur Sebagai Respon Terhadap Banjir dengan baik.

Tugas akhir tersebut dibuat sebagai salah satu syarat untuk mencapai

gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret. Tugas akhir tersebut

selesai disusun setelah melalui proses, kerja keras dan merupakan hasil dari

pembelajaran di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret.

Maka berkat bantuan dari berbagai pihak, proses penyusunan tugas akhir

tersebut dapat diselesaikan secara menyeluruh. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1.

Ir. Hardiyati, MT, selaku Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNS.

2.

Ir. Soedwiwahjono, MT, selaku Sekretaris Jurusan Arsitektur Fakultas

Teknik UNS.

3.

Ir. Hadi Setyawan, MT, selaku Dosen Pembimbing I Tugas Akhir.

4.

Ir. Edy Hardjanto, selaku Dosen Pembimbing II Tugas Akhir.

5.

Ir. FX Soewandi, MT, selaku Pembimbing Akademik.

6.

Semua pihak yang telah membantu selesainya karya ini.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir tersebut terdapat kekurangan, maka

dengan kerendahan hati, penulis menerima segala kritik dan saran yang dapat

membangun agar lebih baik. Akhir kata, semoga tugas akhir tersebut dapat

memberikan manfaat bagi penulis, pembaca, serta masyarakat. Amin.

Surakarta, 28 Maret 2011

Penulis

(4)

commit to user

PENATAAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH

DENGAN ARSITEKTUR SEBAGAI RESPON TERHADAP BANJIR

Selebihnya, untuk mencapai suatu realitas,

barulah “arsitektur berdasarkan

manusia”, desain disesuaikan dengan

penghuninya, humanis, agar mereka mau

dan mampu menempati.

Selain kemudian menanamkan

kepercayaan dan kesepakatan pada

masyarakat untuk menjaga kelestarian

lahan yang dimiliki dan dikelola bersama

tersebut, sebagai prasyarat penempatan

lahan, desain juga harus positif terhadap

site, karena di sisi lain, klise namun

memang begitu adanya – memanfaatkan

bantaran sungai sekiranya adalah negatif,

dalam perspektif regulasi, dengan

dilandasi alasan ekologis dan hidrologis

untuk kepentingan luas. Dengan asumsi

itu, aspek ketersediaan lahan dapat

terlebih dulu diabaikan untuk kemudian

diperoleh tatanan yang baik – untuk

manusianya dan juga lingkungan.

Sederhana …

Ketika pilihan lokasi berhuni dianggap

merupakan prioritas yang “mutlak”,

manusia lebih memilih konsekuensi

lokasional yang justru lebih mengerikan –

banjir. Lahan berpangkat “bantaran” jelas

saja merupakan daerah banjir. Dilematis

memang, karena faktanya banjir tidak

terjadi setiap saat, sedangkan

menciptakan kembali kemapanan

bertempat tinggal (dalam berbagai

orientasi) di tempat baru tidaklah mudah

dan singkat.

Desain penataan yang dilakukan menjadi

“arsitektur mengatur manusia” – mau

tidak mau manusianya harus menerima

tatanan baru yang cenderung ideal dalam

kaitannya menghindari intervensi

(5)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

PERSEMBAHAN & UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

ABSTRAK

BAB I. PENDAHULUAN I – 1

A. PEMAHAMAN JUDUL I – 1

B. LATAR BELAKANG I – 1

1. Umum – Diskriminasi Lahan, Perkembangan Paradigma, dan Konsekuensi

Pemanfaatan Bantaran Sungai I – 1

2. Khusus – Sangkrah dan Masalah Banjir Bantaran I – 2

3. Urgensi – Skema Penataan, Bukan Menentang, Melainkan Memberi

Alternatif I – 3

C. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN I – 4

D. TUJUAN DAN SASARAN I – 4

E. LINGKUP DAN BATASAN I – 4

F. METODOLOGI I – 5

1. Metode Penelusuran Masalah I – 5

2. Metode Pencarian Data dan Informasi I – 5

3. Metode Perumusan Konsep Desain I – 5

4. Metode Desain I – 5

G. SISTEMATIKA PENULISAN I – 5

BAB II. PEMAHAMAN REFERENSI II – 1

A. PEMAHAMAN MENGENAI BANJIR II – 1

1. Mengenal Banjir II – 1

2. Esensi Permasalahan Banjir II – 2

3. Pemanfaatan Ruang Daerah Banjir II – 3

a. Arsitektur Air/Perairan II – 3

b. Sedikit Teori dan Ketentuan Teknis Pemanfaatan Ruang Banjir II – 4 c. Flood Proofing Sebagai Inovasi Arsitektur Merespon Banjir II – 5 d. Studi pada Ide Desain dengan Perencanaan yang Merespon Banjir II – 6

B. PEMAHAMAN MENGENAI PERMUKIMAN II – 11

1. Esesnsi Permukiman dan Kegiatan Bermukim II – 11

2. Rumah Sebagai Unsur Utama Permukiman II – 13

3. Mengenai Penataan Permukiman II – 14

(6)

commit to user

b. Studi Penataan Permukiman II – 15

C. PEMAHAMAN MENGENAI BANTARAN SUNGAI II – 17

1. Mengenal Bantaran Sungai II – 17

2. Menuju Bantaran Hijau II – 17

BAB III. DATA DAN INFORMASI LAPANGAN III – 1

A. BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH SEBAGAI FLOODPLAIN III – 1

1. Faktor Melimpasnya Air Bengawan Solo III – 1

2. Kondisi Akibat Banjir III – 3

3. Upaya Peresponan Banjir III – 3

B. BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH SEBAGAI OBJEK PERMUKIMAN III – 4

1. Kondisi Fisik III – 4

2. Kondisi Masyarakat III – 6

a. Gambaran Kependudukan III – 6

b. Cerita Tentang Masyarakat Bantaran Sungai di Sangkrah III – 6

c. Eksistensi Masyarakat Bantaran III – 7

C. BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH SEBAGAI LAHAN III – 8

BAB IV. PENENTUAN KONSEP DESAIN IV - 1

A. MERESPON BANJIR IV – 2

1. Penentuan Flood Proofing IV – 5

2. Analisa Rekayasa Elevasi Bangunan dan Dry Flood Proofing IV – 6

3. Analisa Sirkulasi Temporer Satt Banjir IV – 10

4. Penentuan Antisipasi Persoalan turunan Banjir IV – 12

a. Analisa Persoalan genangan Air pada Lahan IV – 12

b. Analisa Persoalan kekotoran IV – 12

c. Analisa Persoalan kerusakan IV – 13

5. Analisa Lokasi Pada Kondisi Banjir IV - 14

B. MERENCANAKAN PENATAAN PERMUKIMAN IV – 17

1. Menentukan Skenario Penataan IV – 17

2. Membatasi Permukiman IV – 18

3. Menentukan Fungsi pada Permukiman IV – 19

4. Menentukan Besaran Ruang IV – 22

a. Besaran Ruang Unit Rumah IV – 22

b. Besaran Ruang Mushola IV – 23

c. Besaran Ruang Pos Keamanan IV – 24

d. Besaran Ruang Communal Space dan Tempat Bermain IV – 24

5. Menentukan Pola Hubungan Ruang IV – 25

a. Pola Hubungan Ruang Makro IV – 25

b. Pola Hubungan Ruang Mikro IV – 25

6. Analisa Site Secara Umum IV – 26

7. Mengenai Fungsionalitas Permukiman IV – 28

(7)

commit to user

b. Mikro IV – 32

C. MENGEMBALIKAN FUNGSI HIJAU BANTARAN SUNGAI IV - 34

BAB V. KONSEP V – 1

A. LOKASI V – 1

B. SKENARIO PENATAAN V – 2

C. PERUANGAN DAN BESARAN RUANG V – 2

D. POLA HUBUNGAN RUANG V – 3

E. KONSEP BANGUNAN V – 4

F. SIRKULASI PADA LAHAN V – 8

G. TATA LAHAN V – 11

H. SISTEM UTILITAS KAWASAN V – 13

DAFTAR PUSTAKA

(8)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Gambaran Kondisi Permukiman Bantaran Sungai di Sangkrah Saat Banjir I – 2

Gambar 1.2 Cakupan Banjir Bengawan Solo I – 3

Gambar 2.1 Permasalahan Banjir II – 2

Gambar 2.2 Gambaran Arsitektur dan Air pada Desain Water Cities Wierdedorp Ezinge dan Palm Jumeirah Dubai

II – 4

Gambar 2.3 Skema Teknis Flood Proofing II – 5

Gambar 2.4 Beberapa Tipologi Rumah Tradisional Berpanggung II – 7 Gambar 2.5 Rumah Tradisional Suku Asmat yang Ada di Perairan II – 7

Gambar 2.6 Hind House by John Pardew II – 8

Gambar 2.7 MOS Floating House II – 8

Gambar 2.8 Desain Rumah Oleh Pohkit Goh II – 9

Gambar 2.9 Desain Rumah dengan Wet Flood Proofing oleh Eleena Jamil Architects dan oleh Nissen Adams LLP

II – 9

Gambar 2.10 Gambaran Kawasan Dordrecht Municipality II – 10 Gambar 2.11 Macam Flood Proofing pada Unit-unit Bangunan Dordrecht Municipality II – 10 Gambar 2.12 Perubahan Ketinggian Permukaan Air Terhadap Bangunan II – 11

Gambar 2.13 Analisa Kawasan Dordrecht Municipality II – 11

Gambar 2.14 Permukiman Kali Code II – 17

Gambar 2.15 Sketsa Bantaran Sungai II – 18

Gambar 3.1 Tinjauan Makro Lokasi Terhadap Kota Surakarta III – 1

Gambar 3.2 Peta Banjir Kota Surakarta III – 2

Gambar 3.3 Kondisi Penduduk Bantaran Sangkrah Saat Banjir III – 3 Gambar 3.4 Informasi Kesiapsiagaan Banjir Kelurahan Sangkrah III – 4 Gambar 3.5 Kondisi Fisik Permukiman Bantaran Sungai di Sangkrah III – 5 Gambar 3.6 Gambaran Lahan Bantaran Sungai di Sangkrah III – 8

Gambar 3.7 Gambaran Topografi Sekitar Lahan III – 9

Gambar 3.8 Penyeberangan Perahu Tradisional Bengawan Solo III – 9

Gambar 4.1 Pendekatan yang Terintergrasi IV – 1

Gambar 4.2 Siklus Banjir pada Lahan dan Konsep Keterpenuhan Aktivitas IV – 5 Gambar 4.3 Amphibious atau Floating dan Dry Flood Proofing IV – 6

Gambar 4.4 Wet Flood Proofing dan Rekayasa Elevasi Bangunan IV – 7

Gambar 4.5 Penggunaan Kolong Panggung (Awaso) pada Rumah Tradisional Bugis di Kamal Muara

(9)

commit to user

Gambar 4.6 Konsep Rumah dengan Flood Proofing IV – 9

Gambar 4.7 Mekanisme Pelipatan pada Partisi Gedhek IV – 10 Gambar 4.8 Skema Jalur Sirkulasi Temporer pada Lahan IV – 11 Gambar 4.9 Rencana Jalur Sirkulasi Temporer pada Lahan IV – 11 Gambar 4.10 Gambaran Jalur Sirkulasi Temporer pada Lahan IV – 12 Gambar 4.11 Wujud Jalur Sirkulasi Temporer pada Lahan IV – 12

Gambar 4.12 Arus Air Terhadap Tata Massa IV – 14

Gambar 4.13 Arus Air Terhadap Tata Posisi IV – 14

Gambar 4.14 Perubahan Aliran Sungai Saat Banjir IV – 14

Gambar 4.15 Analisa Lokasi pada Saat Kondisi Banjir IV – 15

Gambar 4.16 Dinding Sejajar Arus IV – 16

Gambar 4.17 Output Analisa Lokasi pada Saat Kondisi Banjir IV – 17

Gambar 4.18 Skala Permukiman Mengerucut pada Tempat Tinggal IV – 19

Gambar 4.19 Analisa Lokasi Secara Umum IV – 26

Gambar 4.20 Output Analisa Lokasi Secara Umum IV – 28

Gambar 4.21 Skema Jaringan Listrik IV – 29

Gambar 4.22 Skema Satuan Jaringan Air Bersih IV – 30

Gambar 4.23 Kotak Sebagai Bentuk Dasar Bidang Rumah IV – 33 Gambar 4.24 Penggunaan Dinding Bersama Antar Unit Rumah IV – 33 Gambar 4.25 Material Lama yang Masih dapat Digunakan IV – 34 Gambar 4.26 Green Wall, Tanaman pada Bidang Vertikal IV – 36

Gambar 4.27 Bak Penangkap Lumpur IV – 36

Gambar 5.1 Lokasi Lahan Penataan Permukiman Bantaran Sungai di Sangkrah V – 1

Gambar 5.2 Ramp pada Bangunan Rumah V – 5

Gambar 5.3 Model Partisi Pelingkup Lantai Dasar Bangunan V – 5

Gambar 5.4 Material yang Masih Dapat Digunakan V – 6

Gambar 5.5 Konsep Bangunan Rumah V – 7

Gambar 5.6 Gambaran Desain Mushola V – 8

Gambar 5.7 Sirkulasi pada Lahan V – 8

Gambar 5.8 Sirkulasi pada Kondisi Normal V – 9

Gambar 5.9 Eksisting Jln. Untumg Suropati dan Jalan Lingkungan V – 10

Gambar 5.10 Skema Konektivitas Fungsi pada Lahan Saat Banjir V – 10

Gambar 5.11 Flying Pedestrian V – 11

(10)

commit to user

Gambar 5.13 Susunan Dinding-dinding Unit Hunian Terhadap Kecenderungan Arus Air V – 12 Gambar 5.14 Ruang Komunal di Koridor Antar Kelompok Hunian V – 12

Gambar 5.15 Barrier Buatan V – 13

Gambar 5.16 Skema Satuan Jaringan Air Bersih V – 13

Gambar 5.17 Skema Jaringan Air Kotor dan Drainase V – 14

Gambar 5.18 Bak Penangkap Lumpur V – 14

(11)

commit to user

I - 1

BAB I

PENDAHULUAN

PENATAAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH DENGAN ARSITEKTUR SEBAGAI RESPON TERHADAP BANJIR

A. PEMAHAMAN JUDUL

Permukiman dipahami sebagai wadah (tempat) untuk melakukan kegiatan bermukim (hidup) manusia. Lahan bantaran sungai di Sangkrah telah berperan sebagai permukiman atau tempat merumah bagi sejumlah manusia. Penataan permukiman meliputi pengaturan komponen-komponen permukiman yang ada pada bantaran sungai di Sangkrah sebagai suatu lingkup bahasan permukiman.

Penataan permukimaan ini dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan permasalahan banjir bantaran yang sifatnya mutlak dapat terjadi terhadap kemanfaatan bantaran sungai di Sangkrah tersebut guna menunjang keberhasilan pewadahan aktivitas bermukim pada lahan, tentu saja dengan cara merespon banjir yang terjadi pada perencanaannya.

B. LATAR BELAKANG

1. Umum – Diskriminasi Lahan, Perkembangan Paradigma, dan Konsekuensi Pemanfaatan Bantaran Sungai

Tanggul merupakan bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan persyaratan teknis tertentu untuk melindungi daerah sekitar sungai terhadap limpasan air sungai.1 Adanya tanggul yang dibangun di sepanjang tepian sungai secara sederhana menciptakan dua teritori, area luar tanggul berupa daratan terlindung dan area dalam tanggul berupa sungai itu sendiri serta sebagian kecil area lahan di bibir sungai yang tidak lain disebut bantaran sungai, sesuai dengan pengertiannya bahwa bantaran sungai merupakan lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam. Tanggul secara signifikan telah menjadi pembeda lahan (daratan).

Dalam perkembangannya, telah berkembang pula paradigma tentang pemanfaatan bantaran sungai. Minoritas memandang, bantaran sungai sederhananya adalah lahan yang berpotensi untuk dapat dimanfaatkan lebih fungsional, terutama untuk memenuhi kebutuhan properti sebagai salah satu kebutuhan primer manusia selain sandang dan

1

(12)

commit to user

I - 2 pangan. Dengan urgensi dan latar belakang yang berbeda-beda, manusia “dituntut” untuk memanfaatkan lahan bantaran, mengalihkan dari kefungsian seharusnya sebagai ruang hijau disertai penurunan kualitas lingkungan lebih lanjut.

Di sisi lain, kemanfaatan bantaran sungai tersebut tidak lepas dari problematika lokasionalnya.Sebagai pelindung, fungsi tanggul yaitu melindungi daerah sekitar sungai (luar tanggul) dari limpasan atau kenaikan debit air sungai. Sehingga, semua sungai bertanggul (dan berbantaran) tentu saja berpotensi terjadi limpasan air sungai karena memang adanya tanggul (yang kemudian menciptakan bantaran sungai) diperuntukkan untuk itu. Adanya kondisi tersebut secara umum juga terrumus dalam salah satu permasalahan klasik air, disebut dengan 3T (too little, too much, dan too dirty). Pada dasarnya, keadaan di mana air yang ada lebih (baca: terlalu) banyak dari kondisi normal disebut dengan banjir.

Banjir bantaran, sebutan untuk limpasan yang terjadi, banjir yang terjadi pada lahan bantaran, yang kemudian menjadi permasalahan apabila merugikan, mulai kerusakan material, occupancy tidak berhasil akibat keterancaman jiwa dan ketidakamanan, tekanan psikis, hingga kerugian finansial harta benda. Banjir di bantaran merupakan banjir yang mutlak (baca: wajar) terjadi. Tentunya, pemanfaatan bantaran sungai selalu dihadapkan pada permasalahan banjir bantaran tersebut.

2. Khusus – Sangkrah dan Masalah Banjir Bantaran

Fenomena nyata dari problematika pemanfaatan bantaran sungai salah satunya digambarkan oleh kondisi permukiman bantaran sungai di Sangkrah, Surakarta. Bagaimanakah ketika pemanfaatan bantaran sungai untuk permukiman “konvensional” dihadapkan pada permasalahan banjir? Berdasarkan kejadian banjir 2007, akibat tingginya luapan air sungai yang berarus, belum lagi sifat destruktifnya, hampir seluruh properti pada lahan bantaran terendam limpasan air Bengawan Solo, mati dari segala aktivitas bermukim akibat gangguan banjir tersebut, belum lagi kerusakan yang terjadi akibat sifat destruktif aliran fluida air. Yang ada berupa kegagalan fungsional total.

Gambar 1.1

(13)

commit to user

I - 3 Tanggul Bengawan Solo, pembentuk lahan bantaran yang ada, merupakan wujud kebutuhan akan proteksi, juga merupakan refleksi dari potensi melimpasnya volume air Bengawan Solo. Yang diketahui, aliran Bengawan Solo melalui daerah depresi antara beberapa vulkan (intermountain plain) yaitu Lawu, Merapi, dan Pegunungan Seribu. Kondisi itu membuat Bengawan Solo berperan sebagai muara banyak anak sungai, memiliki banyak suplier air selain Waduk Gajah Mungkur sebagai penyuplai utama.

Kejadian banjir akhir 2007 silam yang melibatkan debit aliran air Bengawan Solo merupakan banjir terbesar sejak tahun 1966. Tercatat, banjir serupa pernah terjadi pada tahun 1863, 1904, dan 1966 bahkan penguasaan airnya meluas, sebagai gambaran, pernah hingga menggenangi tengah kota Surakarta. Curah hujan di DAS Bengawan Solo hulu per 26 Desember 2007 memiliki rata-rata 124 mm/hari atau ekuivalen dengan periode ulang 55 tahun (sebagai perbandingan banjir tahun 1966 ekuivalen dengan periode ulang 60 tahun). Debit puncak di Jurug diperkirakan sebesar 1986 m3/detik atau ekuivalen dengan periode ulang 30 tahun.2

Informasi di atas menggambarakan problematika pemanfaatan bantaran sungai di Sangkrah. Kemanfaatan bantaran sungai untuk permukiman selama ini dihantui oleh potensi permasalahan banjir bantaran. Oleh karena itu, kondisi tersebut membutuhkan tindak lanjut berdasarkan batasan normatif yang ada.

3. Urgensi – Skema Penataan, Bukan Menentang, Melainkan Memberi Alternatif

Tentunya, kasus ini (terlebih dahulu) keluar dari kemungkinan kebijakan penggusuran yang sering dilakukan sebagai jalan keluar dari pemanfaatan bantaran sungai untuk permukiman yang didasari oleh peraturan atau regulasi tata lahan yang ada, entah dengan penyelesaian masalah kependudukan seperti apa nantinya. Yang jelas, pemanfaatan bantaran sungai selama ini belum berhasil keluar dari belenggu

2

Sumber: Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo. Gambar 1.2

Cakupan Banjir Bengawan Solo

(14)

commit to user

I - 4 paradigma bahwa hal tersebut hanya akan saling memberikan kerugian antara dua subjek, manusia dan air (serta ruang hijau), yang tidak bisa saling berbagi ruang dan fungsi yang berdampingan. Indikasinya, menurunnya kualitas lingkungan, ketidakseimbangan siklus hidrologi, persoalan air, serta di satu sisi, bagi manusia bahaya dari permasalahan banjir, kerugian material dan jiwa. Kebijakan-kebijakan regulatif yang ada tentunya didasarkan sebagai antisipasi berkembangnya masalah tersebut.

Proyek tugas akhir ini merupakan gagasan desain ideal sebagai eksperimen untuk memperluas pandangan mayoritas di atas. Prinsipnya yaitu fungsi permukiman dan fungsi ruang air serta ruang hijau bantaran sebagaimana mestinya dapat ditampung bersama dalam suatu lahan bantaran. Hal itu bukan tanpa dasar. Banyak teknologi dan ide arsitektural berkaitan dengan pemanfaatan lahan dengan resiko banjir (flood risk) dan air. Di sisi lain, ada juga konsep-konsep green dan keberlanjutan yang ramah lingkungan untuk diterapkan pada pengelolaan bantaran sungai. Skema yang muncul yaitu dengan toleransi kerugian yang sekecil-kecilnya, pemanfaatan bantaran sungai sebagai lahan potensial dapat dioptimalkan sebanyak-banyaknya.

Singkatnya, pemanfaatan lahan bantaran secara liar dan dekonstruktif masih banyak dilakukan. Lalu, mengapa tidak sekalian saja keberadaannya direncanakan agar hasilnya (relatif) lebih baik?

C. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN

Permasalahannya, bagaimanakah tatanan permukiman bantaran sungai di Sangkrah yang dapat menghilangkan/meminimalisir permasalahan banjir bantaran yang potensial terjadi terhadap kefungsian kemanfaatan lahan, sehingga dapat mewadahi aktivitas bermukim masyarakatnya dengan baik. Persoalan dipaparkan sebagai berikut.

- Bagaimanakah desain yang dapat menjadi solusi untuk menghilangkan permasalahan banjir bantaran terhadap kemanfaatan lahan sebagai permukiman.

- Bagaimana tatanan baru yang tetap dapat menjadi wadah kegiatan bermukim masyarakat bantaran sungai di Sangkrah yang ada dengan baik.

- Bagaimanakah desain yang sebisa mungkin dapat mengembalikan fungsi dan kualitas lingkungan bantaran sungai pada lokasi sebagaimana mestinya sebagai area hijau.

D. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuannya, tatanan permukiman bantaran sungai di Sangkrah yang mewadahi aktivitas bermukim dengan baik, tanpa adanya permasalahan banjir sebagai problema lokasional. Sasaran dipaparkan sebagai berikut.

- Tata massa bangunan.

(15)

commit to user

I - 5

- Material bangunan.

- Tata kawasan dan landscaping.

- Sistem sirkulasi bangunan dan kawasan. - Sistem utilitas penunjang fungsi

E. LINGKUP DAN BATASAN

Lingkup pembahasan adalah cakupan disiplin ilmu arsitektur antara lain tema spesifik mengenai banjir, aspek permukiman sebagai produk fisik, aspek lingkungan bantaran, serta lokasi (site) spesifik area bantaran sungai di Sangkrah, Surakarta. Batasannya dapat dijelaskan sebagai berikut.

- Pembahasan tema banjir dibatasi mengenai banjir yang terjadi pada lokasi serta mengenai flood proofing.

- Aspek mengenai permukiman berdasarkan pemahaman esensial dengan mengabaikan ketentuan dan standar yang ada untuk lebih dulu memprioritaskan pada bentukan-bentukan flood proofing yang sifatnya urgen.

- Aspek mengenai lingkungan bantaran dibatasi pada isu-isu yang bersangkutan, keluar dari ketentuan-ketentuan formal mengenai pengelolaan bantaran sungai.

- Aspek lokasi berkaitan dengan fisik permukiman esksisting dan kependudukan sebagai objek perencanaan,

F. METODOLOGI

1. Metode Penelusuran Masalah

- Observasi, menyusul adanya fenomena kejadian banjir dan permasalahan permukiman bantaran sungai khususnya pada lokasi sebagai stimulan ide, lebih lanjut untuk memperkaya pengalaman indrawi mengenai permasalahan yang aktual terjadi.

- Studi literatur, menemukan keterkaitan antara fenomena yang terjadi dengan acuan ilmu.

2. Metode Pencarian Data dan Informasi

- Survey lanjutan, melanjutkan pengamatan pada lokasi dan aspek-aspek yang berhubungan dan dibutuhkan dalam pertimbangan kebijakan desain nantinya.

(16)

commit to user

I - 6

3. Metode Perumusan Konsep Desain

Perumusan konsep perancanaan dan perancangan (desain) yaitu melalui metoda induktif (berdasar data empirik) dan metode deduktif (berdasar referensi yang membantu mengarahkan pembahasan). Cara yang digunakan yaitu analisis deskriptif, yaitu analisis dengan cara membandingkan/membahas data dan informasi dengan referensi yang ditentukan.

4. Metode Desain

- Mentransformasikan konsep yang diskriptif (verbal) ke dalam bentuk gambar (visual).

- Sketsa ide. - Studi tiga dimensi.

- Realisasi gambar ide menjadi suatu wujud rancangan (desain).

G. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I Sebagai Pendahuluan untuk memberikan gambaran tentang keseluruhan substansi penulisan ini.

BAB II Pemahaman Referensi, di sini sebagai acuan ilmu atau pengetahuan umum yang dipilih dan dibutuhkan berkaitan dengan pembahasan.

BAB III Merupakan input, berupa Data dan Informasi Lapangan.

BAB IV Menjelaskan Penentuan Konsep Desain berupa penyelesaian persoalan desain untuk menghasilkan konsep desain.

(17)

commit to user

BAB II

PEMAHAMAN REFERENSI

A. PEMAHAMAN MENGENAI BANJIR

1. Mengenal Banjir

“A relatively high flow or stage in a river, markedly higher than the usual, also

the inundation of low land that may result therefrom. A body of water, rising,

swelling and overflowing the land not usually thus covered.” 1

Menurut pengertian di atas, banjir merupakan arus atau tingkatan muka air yang tinggi pada sungai (jaringan drainase), lebih tinggi dari kondisi normal biasanya, dan juga disertai dengan genangan (tidak adanya penurunan yang signifikan) pada permukaan yang lebih rendah. Limpahan air yang terjadi meluapi dan menutupi daratan di sekitarnya.

Secara umum penyebab banjir ada dua, yaitu akibat yang ditimbulkan oleh manusia, serta kejadian alam yang terjadi (alamiah).2 Oleh manusia, beberapa hal yang menimbulkan banjir di antaranya aktivitas tata guna lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air, pemanfaatan air tanah yang berlebihan, penghalangan aliran drainase, pemanfaatan flood plain untuk permukiman atau pertanian, pendangkalan sungai oleh sedimen sampah.

Pendangkalan sungai oleh sedimen akibat kerusakan hutan merupakan faktor alam yang berpengaruh.3 Lebih lanjut, pengaruh faktor daerah tangkapan air seperti ukuran, bentuk, posisi, topografi, geologi menentukan terjadinya banjir. Laju dan volume banjir suatu daerah tangkapan air meningkat bila ukuran daerah juga meningkat, akan tetapi laju dan volume banjir per satuan luas daerah tangkapan air berkurang jika luas daerah banjir bertambah.4

Ada beberapa jenis banjir. Perbedaan lokasi “endemik” banjir menghasilkan karakter yang berbeda-beda. Banjir sungai adalah salah satu jenis banjir, selain banjir air laut (air pasang atau tsunami), serta banjir danau (termasuk waduk dan bendungan).5 Banjir sungai atau banjir pada saluran drainase ruang darat meliputi jenis dengan aliran lambat serta flash flood. Kejadian banjir kilat, banjir yang terjadi

1

Pengertian berdasarkan sumber “Multilingual Technical Dictionary on Irrigation and Drainage”,

ICID.

2

Siswoko (1996).

3

Menurut Lee (1980) dalam Subagio (1990).

4 Schwab (1997). 5

(18)

commit to user

TRADISIONAL

“NO PROBLEM”

MODERN MASALAH BANJIR MUKA AIR

NORMAL MUKA AIR

BANJIR

Gambar 2.1

Permasalahan Banjir

Sumber: Dok. pribadi berdasarkan “Banjir, Masalah Banjir, dan Upaya Mengatasinya”

sangat cepat dengan kecepatan dan kekuatan arus air yang tinggi pula, dapat terjadi hanya pada kondisi tertentu misalnya hujan badai yang intens, atau pelepasan air dari wadah penampungan air dalam debit yang besar sekaligus tak terkontrol.

Banjir memberikan efek buruk bagi kehidupan manusia. Primary effects, meliputi kerusakan fisik pada properti, bahaya dan kematian sebagai resiko jiwa.

Secondary effects, mulai dari persoalan suplai air, ketersediaan air bersih, kegagalan panen pada lahan pertanian dan langkanya bahan makanan, serta kerusakan alam lanjut. Ada pula tertiary effects, permasalahan ekonomi akibat matinya kehidupan ekonomi wilayah banjir, pemulihan, menurunnya tourism, mahalnya logistik.

2. Permasalahan Banjir

Menurut pengertiannya, fisik banjir hanyalah (tetap) berwujud air, air yang meninggi, air dengan volume besar, air dan sebagainya. Lalu misalnya, apakah luapan air berskala besar yang terjadi di rimba terpencil menjadi sebuah permasalahan bagi orang-orang di kota? Bagaimana dengan bertambahnya volume air pada got-got di perumahan pada musim penghujan?

Apakah sebenarnya yang dipermasalahkan dari banjir?

Karena itulah di sini ada istilah “permasalahan banjir”. Pada dasarnya, banjir menjadi masalah ketika adanya banjir tersebut menimbulkan gangguan atau kerugian.6 Dengan adanya kontak fisik dengan banjir, praktis akan timbul gangguan atau kerugian tersebut. Ketika tidak, lalu mengapa banjir perlu dipermasalahkan? Yang ada hanya banjir, tanpa permasalahan.

Konsep sederhana yang dilakukan guna mitigasi banjir yaitu dengan menghilangkan adanya kontak antara fungsi dengan banjir. Pada dasarnya ada dua metode. Pertama, menghilangkan banjir dari fungsi. Dalam hal ini, dilakukan rekayasa pada banjir. Upaya agar banjir tidak terjadi atau paling tidak luapan air yang ada tidak menjangkau fungsi, dilakukan dengan jalan penyelamatan lingkungan, pengelolaan drainase dengan baik, menerapkan ruang terbuka pada

6

(19)

commit to user

kota sebagai area resapan, membangun tanggul untuk menjaga konsistensi ruang untuk air, dan sebagainya.

Kedua, menghilangkan fungsi dari banjir. Upaya dilakukan berkaitan dengan lokasi. Pemilihan lokasi yang aman, baik swadaya maupun oleh peran penting pemerintah melalui kebijakan regulatifnya dapat diupayakan.

Kendati dua metode di atas telah dilakukan, faktanya masih ada fenomena limpasan air yang tak terkendali hingga mencapai area fungsional, atau di sisi lain masih banyak ditemui fungsi-fungsi terbangun pada area banjir. Inilah permasalahan banjir era modern, masih dan makin ada saja kontak antara fungsi terbangun dengan banjir.

3. Pemanfaatan Ruang Daerah Banjir

Penganti-banjiran, konsep lain yang dapat dilakukan7 sebagai jalan keluar pemanfaatan lahan banjir. Prinsipnya bahwa dengan adanya kontak antara fungsi dengan banjir, (relatif) tidak terjadi gangguan atau kerugian. Pengalaman tentang arsitektur anti banjir dapat dianalogikan dari berbagai pemikiran terhadap kondisi keruangan yang identik.

a. Arsitektur Air/Perairan

Proses pembentukan ruang tidak terbatasi oleh karakter tempat. Pada dasarnya, keberhasilan produk arsitektur adalah fungsi. Ketika suatu perencanaan berada pada area perairan, yang terpenting adalah bagaimana fungsi itu mampu terpresentasikan dengan baik, dengan rekayasa tertentu untuk menunjang dan membentuk ruang. Didukung berbagai ide inovasi dan teknologi sekarang ini, membangun di area air bukanlah hal yang sulit atau mustahil.

Paradigma mengenai “lokasi” sebagai “lahan” berkembang menjadi pemahamannya sebagai “ruang” memunculkan ide-ide meruang pada lokasi perairan, serupa dengan munculnya ide mengenai pengembangan hunian vertikal di mana sudah tidak lagi dihiraukan keberadaan “lahan” terhadap fungsi.

Teknisnya, pemanfaatan ruang terhadap perairan yang tipikal ada dua. Pertama, pemanfaatan ruang dalam air, terwujud berupa teknologi nautika kapal selam, terowongan lintas pulau, akuarium bawah air, dan sebagainya. Yang kedua, pemanfaatan ruang di atas permukaan air, wujudnya berupa peninggian permukaan, berbagai bentuk jembatan, kapal dan perahu, tambang minyak lepas pantai, dan sebagainya.

Dalam arsitektur, teknis di atas diadopsi sebagai sebuah pemecahan persoalan meruang terhadap lingkungan perairan, munculnya ide-ide tentang kota-kota berbasis air, resort lepas pantai, bangunan di tepi sungai, sea world, rumah di dataran banjir, dan penerapan yang lain.

7 Maksudnya selain dua metode yang telah disampaikan sebelumnya yaitu mengenai penghilangan

(20)

commit to user

Sebagai objek pada perairan, pembahasan arsitektur bangunan air juga tidak lepas dari aspek aliran air terhadap perencanaan yang bersangkutan. Terlebih, di sini sungai merupakan perairan dengan karkteristik air yang tidak statis, memiliki aliran atau kecepatan dan arah gerak. Pada ilmu hidrolika, sungai sendiri merupakan jenis saluran terbuka. Pembahasan hidrolika berkaitan dengan seberapakah aliran air berpengaruh terhadap objek desain yang ada, atau sebaliknya.

b. Sedikit Teori dan Ketentuan Teknis Pemanfaatan Ruang Banjir

Meng-anti banjirdilakukan dengan dasar bahwa secara garis besar, ada tiga bentuk respon terhadap bahaya banjir yang dapat dilakukan oleh manusia.8

- Adjustment (penyesuaian), mengarah pada penataan manusia juga meliputi produk dan sarana pemenuh kebutuhan manusia, karena banjir tidak akan menjadi problem jika tidak ada manusia yang terkena dampak.

- Protection (perlindungan) merupakan bentuk perlindungan manusia terhadap banjir dalam bentuk modifikasi saluran/sungai, lebih mengarah

pada perlakuan pada lingkungan terjadinya banjir untuk meminimalisasi luapan ke daerah terlindung.

- Abatement (pengurangan potensi) merupakan upaya perlindungan banjir yang lebih komplek karena membentuk perlakuan terhadap DAS secara menyeluruh.

Mengenai pemanfaatan bantaran untuk kawasan terbangun, ada sedikit teknis untuk segi arsitektural mencakup teknis bangunan dan tata lahan.9 Dalam

pengolahan lahan, sebagai salah satu bagian dari penanganan banjir, pengelolaan dilakukan dengan berprinsip pada konservasi lahan dan air. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara-cara berikut.

- Pembuatan terasering.

8

Berdasarkan buku “Floods, A Geographical Approach” karya Roy Ward.

9 Berdasarkan “Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir”

yang dikeluarkan oleh Ditjen Penataan Ruang Dept. PU.

Gambar 2.2

Gambaran Arsitektur dan Air pada

(21)

commit to user

- Penghijauan dengan tanaman keras.

- Pembuatan saluran-saluran tanah yang dapat mengurangi erosi tanah, yang dapat menyebabkan sedimentasi sungai.

- Pembuatan sumur resapan.

- Rehabilitasi situ-situ.

- Pembuatan check dam di badan sungai untuk menanggulangi erosi dasar sungai.

Metode flood proofing merupakan cara yang dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam perancangan bangunan di area banjir. Tujuan dari flood proofing untuk mengurangi dampak bencana pada saat kejadian banjir (minimalisasi permasalahan banjir).

Prinsipnya yaitu menghindarkan area fungsional pada bangunan dari kemungkinan capaian banjir, antara lain dengan rekayasa elevasi muka tanah atau elevasi muka struktur, serta menggunakan material/bahan bangunan tahan air dan tekanan. Flood proofing dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek.

- (design flood level), yang merupakan ketinggian permukaan air banjir (maksimum atau yang sering terjadi) baik dari perhitungan, analisa dan perkiraan, maupun dari kejadian yang pernah terjadi.

- Tinggi jagaan (free board), sebagai toleransi dari ketinggian perkiraan air banjir. Kisarannya yaitu 30 cm hingga 50 cm di atas design flood level. Aspek ini berkaitan dengan flood proofing dengan cara meninggikan elevasi dari bagian fungsional bangunan.

- Penentuan lokasi yaitu di tepi dataran banjir (flood fringe).

Dalam perencanaan area banjir menjadi lahan terbangun harus memperhatikan resiko banjir (flood risk) yang nantinya dapat menjadi input dalam penentuan zonifikasi dataran banjir (floodplain zoning), meliputi beberapa aspek yang sifatnya non fisik yang menentukan tingkat resiko banjir seperti besarnya banjir yaitu kedalaman dan kecepatan aliran banjir (karakteristik banjir), efektifnya waktu peringatan banjir, kesiapan menghadapi banjir, kecepatan naiknya elevasi banjir, lamanya genangan yang dapat terjadi,

Gambar 2.3

Skema Teknis Flood Proofing

(22)

commit to user

halangan-halangan aliran air banjir, tingkat kerusakan bencana banjir, dan masalah evakuasi jika diperlukan.

c. Flood Proofing Sebagai Inovasi Arsitektur Merespon Banjir

Menurut Kiran Curtis10 pada kompetisi flood proof houses yang diadakan oleh Norwich Union dan RIBA, dengan memandang fenomena banjir yang sifatnya universal, menjelaskan bahwa strategi pendekatan untuk desain pada resiko banjir secara umum dapat menggunakan salah satu dari empat metode. 1) Rumah dengan rekayasa elevasi. Prinsip ini serupa dengan rumah panggung. 2) Rumah apung atau amphibious. Rumah ini merupakan adopsi sifat apung

dari teknologi nautika kapal dan perahu/rakit-rakit sederhana.

3) Rumah dengan dry flood proofing, atau dengan pertahanan terhadap intervensi banjir (resilient). Pada dasarnya, bagian luar rumah berfungsi sebagai penahan (benteng) aliran air agar tidak masuk ke bagian fungsional rumah. Aspek struktur dan kekuatan material sangat penting di sini.

4) Rumah dengan wet flood proofing, yang tidak bermasalah walaupun diintervensi oleh banjir. Ini adalah skema yang fleksibel dengan melibatkan rumah berlantai lebih dari satu. Sederhananya, ketika banjir, lantai dasar dibiarkan “mati” untuk sementara, habit masih bisa berlangsung di lantai atas bangunan.

d. Studi pada Ide Desain yang Merespon Banjir

Arsitektur dengan respon terhadap banjir bukanlah hal yang baru karena permasalahan banjir merupakan permasalahan primitif, telah ada seiring adanya manusia sebagai subjek yang mempermasalahkan banjir. Akan tetapi, hal tersebut juga bukan sesuatu yang umum dan banyak dilakukan karena lokasi banjir kebanyakan bukan merupakan pilihan bertempat kecuali sebuah keterpaksaan.

Oleh karena itu beberapa gagasan ideal mengenai peresponan banjir pada perencanaan bangunan di daerah banjir yang sudah ada dapat dipakai sebagai acuan penggagasan desain.

Sesuai penuturan Kiran Curtis, desain dengan peresponan banjir yang ada teridentifikasi memiliki prinsip-prinsip flood proofing. Terlepas dari stimulasi ideal, nyatanya peresponan banjir memang telah banyak diterapkan pada perancangan bangunan yang sudah ada. Banjir sebagai kondisi alam yang ekstrim kadang menghasilkan desain arsitektur yang unik pula, karena memang perubahan skala prioritas terutama demi keamanan kadang harus meninggalkan ukuran-ukuran estetika publik yang dicerminkan oleh wujud-wujud standar relatif bangunan “konvensional” yang lebih dahulu ada.

10

(23)

commit to user

1) Rekayasa Elevasi Bangunan

Tipologi panggung sudah menjadi ciri rumah tradisional khususnya di kawasan Asia Tenggara, beberapa di antaranya di Indonesia seperti Rumah Panjang, Rumah Panggung, Rumah Gadang dan beberapa yang lain. Sejak awal, bentuk panggung diterapkan untuk menghindari bahaya. Banjir dan hewan buas merupakan yang dimaksud.

Selanjutnya, fungsi panggung semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan dan pemikiran akan tuntutan efisiensi. Mengingat bahwa banjir sifatnya insidental, juga intensitas kondisi banjir tentu lebih jarang dibanding kondisi normal, selebihnya sela di bawah panggung digunakan untuk penyimpanan, kandang, bekerja, dan sebagainya yang lebih fungsional daripada sekedar untuk ruang toleransi air. Dengan tetap mempertimbangkan resiko banjir, pemanfaatan kolong panggung bukan untuk fungsi krusial, melainkan fungsi kebutuhan sekunder.

Kini bentukan panggung tersebut tidak lebih dari sekedar ciri rumah adat regional lokasi yang bersangkutan. Yang aktual, ada beberapa rumah tradisional dengan panggung yang masih “berfungsi” seperti contohnya rumah tradisional Suku Asmat di Sungai Pomako.

Lebih modern, Hind House oleh John Pardew adalah contoh rekayasa elevasi bangunan. Hunian yang berada di tepi sungai ini dibuat berada lebih

Gambar 2.4

Beberapa Tipologi Rumah Tradisional Berpanggung Sumber: www.koran-jakarta.com, 17 September 2010

Gambar 2.5

(24)

commit to user

Gambar 2.7

MOS Floating House

Sumber: www.egodesign.ca, 17 Desember 2010

Gambar 2.6 Hind House by John Pardew

Sumber: www.topinteriordesign.com, 17 Desember 2010

tinggi dari permukaan tanah dengan tiang-tiang penyangga. Bagian bawah panggung dibiarkan berupa space kosong yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk sekedar memarkir mobil. Akses menuju rumah menggunakan tangga. Konstruksi rumah cukup sederhana, berupa struktur rangka metal dan kayu sebagai dindingnya.

2) Floating atau Amphibious

Konsep floating dapat dilihat dari MOS Floating House. Daripada rumah anti banjir, penerapan floating lebih karena lokasinya yang berada di perairan. Sub-strukturnya menggunakan bentuk drum-drum yang dirangkai untuk menunjang pengapungan. Dengan mekanisme pengapungan yang sederhana ini, konstruksi rumah bagian atas dibuat menggunakan material yang ringan.

(25)

commit to user

Gambar 2.9

Desain Rumah dengan Wet Flood Proofing

oleh Eleena Jamil Architects dan oleh Nissen Adams LLP Sumber: “Flood-proof Houses for the Future: A Compendium of Design

Gambar 2.8

Desain Rumah oleh Pohkit Goh

Sumber: “Flood-proof Houses for the Future: A Compendium of Design

3) Dry Flood Proofing

Pada penerapannya, metode ini sangat sedikit digunakan karena resikonya tinggi. Metode ini lebih familiar pada kondisi banjir yang kecil, dengan peresponan menyerupai sistem dam-dam sederhana. Desain

resilient house Pohkit Goh dapat menjadi contoh aplikasinya. Pada bangunan dengan bentuk kotak sederhana, kaca sebagai bagian luar bangunan yang dominan dibuat dengan ketahanan terhadap air sehingga banjir tidak dapat masuk ke rumah. Kekuatan kaca tersebut dibantu oleh susunan kayu-kayu, tidak hanya sebagai pelindung, namun juga menunjang estetika.

4) Wet Flood Proofing

(26)

commit to user

Gambar 2.10

Gambaran Kawasan Dordrecht Municipality

Sumber: www.baca.uk.com, 13 Agustus 2010

atau aliran air tidak menjadi terhambat. Contohnya dapat dilihat dari desain rumah oleh Eleena Jamil Architects dan juga Nissen Adams LLP berikut. Perencanaan unit rumah yang tipikal memungkinkan terbentuk jalur sirkulasi darurat saat banjir yang dapat diakses melalui lantai atas masing-masing.

Secara umum, ada pula Dordrecht Municipality, hunian massal berwujud apartemen dan rusun dengan unit yang berbeda-beda, yang menggunakan gabungan beberapa metode flood proofing. Desain ini masih dalam tahap pembangunan. Lokasinya berada di tepi sungai di Dordrecth yang telah diketahui berpotensi terjadi banjir.

Gambar 2.11

(27)

commit to user

Gambar 2.12

Perubahan Ketinggian Permukaan Air Terhadap Bangunan Sumber: www.baca.uk.com, 13 Agustus 2010

Gambar 2.13

Analisa Kawasan Dordrecht Municipality

Sumber: www.baca.uk.com, 13 Agustus 2010

(28)

commit to user

B. PEMAHAMAN MENGENAI PERMUKIMAN

1. Esensi Permukiman dan Kegiatan Bermukim11

Pengertian Umum Permukiman

Istilah permukiman pengertiannya luas sebagai suatu kesatuan ekologis antara masyarakat manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan, yang bertumbuh membangun peradabannya dalam multidimensi sosial-keluarga dan komunitas, sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-budaya, dan sosial-keagamaan.

Pada skala yang kecil, permukiman dapat diartikan sebagai lingkungan hunian, lebih luas dapat berwujud sistem lingkungan perkotaan, dan seterusnya. Meskipun tidak dihuni secara langsung, hutan, sungai, langit, lautan yang juga berperan pada sistem kehidupan manusia sebagai subjek yang melakukan aktivitas bermukim, juga merupakan bagian permukiman. Sehingga yang lebih luas lagi, tata surya dapat pula diartikan sebagai permukiman di mana mewadahi seluruh sistem aktivitas bermukim yang sangat besar.

Kegiatan Bermukim

Selain adanya kesatuan ekologis antara manusia dan lingkungannya, permukiman dapat diindikasikan dari telah tumbuhnya kegiatan bermukim. Suatu keluarga bekerja, bersekolah, bermain, bernafas, makan minum, beristirahat, beribadah, berolahraga dalam suatu lingkungan, baik dalam ruang rumah maupun ruang bersama, mereka telah disebut bermukim pada lingkup lingkungan tersebut. Kegiatan bekerja, rekreasi, dan sebagainya, juga dilakukan bukan hanya di lingkungan tempat tinggal, namun juga di tempat yang lebih jauh, di mana rumah-rumah tetap menjadi tempat berasal dan tempat kembali dari berbagai aktivitas tersebut, maka mereka juga melakukan kegiatan bermukim di wilayah yang lebih luas tersebut. Bahkan bagi yang sering berpindah tempat kerjanya, terbang menggunakan pesawat, berlayar dengan kapal, semua itu tergolong kegiatan bermukim. Semua itu dilakukan di tempat yang habitable.

Oleh karena itu sering dijumpai modifikasi lingkungan agar menunjang kegiatan bermukim, seperti toilet dan tempat makan pada alat transportasi seperti kapal, bus dan pesawat. Bahkan aktivitas yang ada di lahan yang dikatakan illegal untuk area “permukiman”, yang di dalamnya ada anak-anak bersekolah, ayah mencari nafkah, ibu mengurus rumah tangga, juga digolongkan kegiatan bermukim.

Adaptasi, Hubungan Alami, dan Menciptakan Tempat

Berdasarkan kesatuan ekologis dan tumbuhnya kegiatan bermukim tersebut, maka permukiman mengambil ruang dan tempat (space and place) dalam skala yang

11

(29)

commit to user

beragam. Permukiman dapat berupa lingkungan hunian, skala lingkungan kota, sistem kota atau sistem desa – kota, lebih luas lagi sistem antar wilayah negara, dan seterusnya. Kemampuan beradaptasi dalam ruang dan tempat kegiatanlah yang menentukan skala permukiman mereka. Tidak semua manusia memiliki kemampuan adaptasi terhadap berbagai skala ruang dan tempat. Ada manusia yang nyaman untuk bersekolah di dalam kota saja, berarti lingkup permukimannya dalam skala kota. Ada pula orang yang nyaman bekerja secara menglaju (commuting), maka lingkup permukiman yang terbentuk berskala antar-kota. Bahkan ada orang yang anti sosial, hanya dapat beradaptasi didalam rumah, maka lingkupnya hanya dalam skala rumah sebagai permukiman.

Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan ini menandai suatu hubungan yang alami antara manusia dan hunian serta lingkungan tempat tinggalnya. Berbagai faktor sosial budaya yang mempengaruhi adaptasi manusia dan lingkungan tempat tinggalnya inilah yang pada gilirannya menentukan pilihan-pilihannya akan tempat tinggal. Aspek inilah yang kemudian tidak menjadi prioritas dalam pertimbangan penyediaan tempat tinggal dan permukiman, contohnya seperti banyak sekali

mistarget pembangunan perumahan. Di satu sisi banyak perumahan yang tidak laku akibat tidak diminati mayarakat. Di sisi lain, tumbuhnya permukiman informal (ilegal) pada hakikatnya menunjukkan adanya kebutuhan riil akan tempat tinggal kelompok itu di lokasi tersebut.

Mengapa bisa terjadi? Karena didasari kemampuan beradaptasi tersebut, individu dan keluarga melakukan suatu pilihan tempat tinggalnya mengikuti dorongan kebutuhan yang khas dan unik untuk setiap individu dan keluarga. Individu dan keluarga memilih tempat tinggal dengan lebih banyak pertimbangan dan dengan waktu lebih lama.

Pengaturan Urusan Permukiman

Urusan permukiman di sini tentunya tidak menyangkut permukiman secara luas dan makro seperti diuraikan tersebut. Mangapa? Karena permukiman dalam arti luas pada dasarnya merupakan fenomena yang tumbuh secara alamiah. Oleh karena itu, istilah “penyelenggaraan permukiman” yang maknanya luas sekali, tentunya tidak tepat lagi. Penyelenggaraan permukiman dengan lingkup makro mungkin mendekati lingkup penyelenggaraan negara.

(30)

commit to user

2. Rumah Sebagai Unsur Utama Permukiman

Rumah, pengertiannya adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.12 Kebutuhan akan dapat berlindung sebenarnya termasuk kebutuhan yang utama, selanjutnya karena manusia tidak lagi hidup secara berpindah-pindah, maka mereka memerlukan tempat tinggal yang tetap, yang sekarang bisa disebut rumah.13

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia akan papan merupakan bagian dan perumahan dan permukiman yang perlu ditata agar dapat berkelanjutan, serta dapat meningkatkan kesejahteraan penghuni di dalamnya karena akan menunjang pembangunan ekonomi, sosial budaya dan bidang-bidang yang lain.14

Rumah beserta lingkungannya (permukiman) merupakan pusat kegiatan keluarga, pendidikan, pembentukan kepribadian dan nilai budaya suatu komunitas serta sebagai tempat persemaian generasi yang akan datang yang dapat melambangkan peradaban manusia serta dapat menjadi cermin jati diri dan taraf hidup penghuninya sebagai gambaran peri kehidupan dan penghidupan yang menyeluruh.15

Ketika permukiman diukur pada skala individu dan keluarga, maka rumah merupakan permukiman pada skala yang kecil. Paradigma mengenai kebutuhan hunian masyarakat di negara ini yaitu bahwa bertambahnya satu angka pernikahan berarti bertambahnya satu kebutuhan hunian. Artinya satu keluarga inti untuk satu rumah. Batasan rumah adalah rumah sebagai wadah privasi dan aktivitas anggota keluarga yang ditentukan menempati rumah tersebut.

Rumah tidak lebih dari sekedar wujud fisik rumah (ruang), hak untuk menempati, hak akan privasi, untuk melakukan aktivitas merumah, baik itu rumah sewa ataupun rumah sendiri tergantung kemampuan suatu keluarga dalam mengadakan hunian bagi mereka.

Fungsi utama yang terkandung dalam sebuah rumah sebagai tempat bermukim, yaitu:16

- Rumah sebagai penunjang identitas keluarga (identity) yang diwujudkan pada kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah. Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat berteduh guna melindungi diri dari iklim setempat.

12

Musthofa Bisri, 2008

13

Juhana, 2000.

14

UU RI No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.

15 Arti penting rumah, oleh Silas, 1993. 16

(31)

commit to user

- Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk berkembang dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi atau fungsi pengemban keluarga. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan.

- Rumah sebagai penunjang rasa aman (security) dalam arti terjaminnya keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan (the form of tenure).

3. Mengenai Penataan Permukiman

a. Metode Penataan Permukiman

Untuk kawasan di atas tanah legal (slums): 1) Model Land Sharing

Yaitu penataan ulang di atas tanah dengan kepemilikan masyarakat cukup tinggi. Masyarakat akan mendapatkan kembali lahannya dengan luas yang sama dengan memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (jalan, saluran, dan sebagainya).

Beberapa prasyaratnya antara lain:

- Tingkat kepemilikan/penghunian secara sah cukup tinggi dengan luasan yang terbatas.

- Tingkat kekumuhan tinggi dengan ketersediaan lahan yang memadahi untuk menempatkan sarana dan prasarana dasar.

- Tata letak permukiman belum berpola. 2) Model Land Consolidation

Model ini juga menerapkan penataan ulang di atas tanah yang selama ini telah dihuni. Beberapa prasyaratnya antara lain:

- Tingkat penguasaan lahan secara tidak sah (tidak memiliki bukti primer pemilikan atau penghunian) oleh masyarakat cukup tinggi.

- Tata letak permukiman tidak/kurang berpola, dengan pemanfaatan yang beragam (tidak terbatas pada hunian).

- Berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan fungsional yang lebih strategis dari sekedar hunian.

Untuk kawasan di atas tanah ilegal (squatters): 1) Resettlement

Pemindahan penduduk menuju pada suatu kawasan yang khusus disediakan. Pemindahan ini perlu dilakukan bila permukiman berada di kawasan fungsional yang akan direvitalisasi sehingga bertujuan juga untuk memberikan nilai ekonomi bagi pemerintah.

(32)

commit to user

Apabila dalam kawasan tersebut akan dilakukan refungsionalisasi kawasan dengan catatan sebagian lahan yang disediakan masih bagi lahan hunian, guna menampung penduduk yang kehidupannya sangat bergantung pada kawasan sekitarnya serta bagi penduduk yang masih ingin tinggal di kawasan ini. Salah satu pemecahannya adalah penempatan dalam rumah sewa.

b. Studi Penataan Permukiman

1) Penataan Permukiman di Kali Anyar, Mojosongo17

Diawali keinginan warga untuk memperjuangkan kepemilikan tanah secara serempak. Mulanya beberapa tidak dapat dikabulkan karena berbagai permasalahan.

- Tempat tinggal warga berada di area bentaran Kali Anyar.

- Beberapa berada dalam 10 meter garis sempadan sungai.

- Terkena proyek pelebaran Jln. Tentara Geni Pelajar.

- Lokasi merupakan area luapan banjir sungai.

Permasalahan tersebut dapat menjadi alasan kuat diadakan relokasi. Akan tetapi Pemda mengajukan alternatif lain yaitu kepemilikan tanah dapat diperoleh apabila warga bersedia lahannya ditata ulang.

Lokasi merupakan kawasan permukiman yang padat dengan letak permukiman yang tidak teratur. Hal ini telah menyebabkan timbulnya slum. Fasilitas MCK, selokan pembuangan, listrik, serta penyediaan air bersih pada permukiman ini tidak tersedia cukup.

Terdapat 61 rumah (61 KK) dengan kondisi fisik yang kotor, tidak beraturan. Material yang dipakai kebanyakan menggunakan triplek atau anyaman bambu dan lantai plester serta banyak yang tidak berventilasi. Jumlah rumah dengan kondisi demikian ada 65% atau sekitar 40 rumah. Kondisi rumah dengan anyaman bambu dan lantai tanah ada 21% atau 12 rumah. Sisanya rumah yang sudah lebih permanen. Kemudian diadakan peremajaan pada lahan ini dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, ditetapkan batas fisik lahan bantaran yang diperbolehkan untuk didirikan diatasnya hunian.

Pada penataannya, 61 unit yang ada dibagi menjadi 51 rumah dan 10 kios. Desain rumah dibuat seragam, bentuknya bertingkat yaitu sekitar 35 m2. Material menggunakan batu bata, kayu dan genteng keramik untuk atap, serta lantai berupa plesteran dan ubin. Kondisi ini telah memenihi standar rumah sehat oleh Umar Fachmi Ahmadi (Komarudin, 1996).

Fasilitas kawasan ini juga telah diperbaiki hingga telah layak digunakan. Jalan lingkungan berpaving. Terdapat area parkir yang memadai, penerangan jalan yang cukup, pohon peneduh di sepanjang sungai, dan taman-taman di depan rumah dan beberapa taman public. Saluran air bersih

17

(33)
[image:33.595.170.488.191.576.2]

commit to user

Gambar 2.14

Permukiman Kali Code

Sumber: proconcervation.blogspot.com, 6 Desember 2009

terdapat di tiap belakang rumah dan septic tank komunal terdapat pada masing-masing blok rumah sebanyak 5 unit. Disediakan sambungan telepon dan juga listrik. Selain itu disediakan sarana beribadah yang cukup.

2) Penataan Permukiman Bantaran Kali Code, Yogyakarta18

Kampung Code Utara di Yogyakarta merupakan contoh keberhasilan proyek alternatif penggusuran warga. Kampung sederhana binaan mendiang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini tertata apik dengan berbagai fasilitas, tempat bermain, WC umum, rumah susun yang sehat, dan balai warga.

Awalnya, Kampung Code ini merupakan permukiman liar yang sangat kumuh dan suram. Status tanah di bawah jembatan Gondolayu ini tidak bertuan, sehingga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang belum memiliki hunian untuk menjadikan wilayah ini sebagai tempat tinggal dengan bangunan seadanya, sangat menggambarkan kondisi masyarakat miskin kota. Bangunan yang ada sebagaian besar terbuat dari kardus dan triplek. Bila musim penghujan, ancaman banjir datang.

Pada tahun 1984, pemerintah berencana merelokasi daerah tersebut setelah terjadinya bencana banjir. Pemerintah beralasan daerah tersebut

18

(34)

commit to user

Gambar 2.15

Sketsa Bantaran Sungai Sumber: Dokumentasi pribadi

tidak layak untuk hidup. Saat itu masyarakat menolak adanya penggusuran ini. Awalnya Romo Mangun datang karena faktor kemanusiaan pasca bencana banjir, tetapi kedekatan terhadap masyarakat memicu nalurinya untuk menata kampung ini menjadi lebih baik dan sehat.

Romo Mangun menata ulang permukiman yang ada sehingga fasilitas umum menjadi terpenuhi seperti WC umum, open space untuk bermain, balai serbaguna yang berfungsi sebagai perpustakaan, tempat belajar dan tempat pertemuan warga. Romo Mangun juga mampu mengubah mental masyarakat di kampung Code sehingga mereka memiliki profesi yang lebih baik seperti pedagang, tukang parkir maupun karyawan toko.

Kampung Code memiliki aset kampung berupa rumah-rumah peninggalan Romo Mangun dan ada konvensi tak tertulis di dalamnya. Rumah-rumah tersebut tidak boleh dikalim oleh siapapun. Yang boleh menempati rumah tersebut adalah warga Code yang benar-benar belum memiliki rumah atau bagi gelandangan (homeless). Jika suatu saat keadaan ekonomi membaik, atau anggota keluarga”habis” karena telah meninggal dunia atau menikah dan keluar dari Kampung Code, maka rumah tersebut harus dikembalikan kepada kampung dan digunakan kembali oleh warganya yang benar-benar membutuhkan.

C. PEMAHAMAN MENGENAI BANTARAN SUNGAI

1. Mengenal Bantaran Sungai

Pengertiannya yaitu lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi hingga kaki tanggul sebelah dalam. Sedangkan tanggul merupakan bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan persyaratan teknis tertentu untuk melindungi daerah sekitar sungai dari limpasan air.19

Bantaran sungai merupakan ruang terbuka yang terbentuk akibat adanya aliran sungai, dengan lebar ruang bebas cukup beragam, dan sangat tergantung daerah yang dilalui aliran tersebut. Ruang bebas (bantaran) tersebut merupakan ruang penangkap air (apabila terjadi limpahan air). Dengan demikian ruang tersebut

19 Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 1991 Tentang Sungai,

(35)

commit to user

bersifat sebagai ruang pelindung dan pengamanan aliran sungai, sebagai daerah penyangga (buffer) dalam pengelolaan air.20

2. Menuju Bantaran Hijau

Keberadaan bantaran sungai secara primer adalah untuk kepentingan sungai, kepentingan air. Konsep keberlanjutan pada penataan lingkungan bantaran sungai tidak lepas dari tujuan konservasi sumber daya air. Hal itu terkait beberapa persoalan lingkungan yang berujung pada tiga permasalahan klasik air yaitu 3T, too little (kekeringan), too much (banjir), dan too dirty (ketersediaan air bersih) sebagai indikasi ketidakseimbangan peredaran air (siklus hidologi) terutama di ruang darat.

Untuk memenuhi aspek konservasi sumber daya air, prinsipnya yaitu bagaimana bisa menahan aliran permukaan (run-off) sebesar-besarnya dan memberi kesempatan selama-lamanya untuk meresap ke dalam tanah (menjaga keseimbangannya). Konsep ini aktual, terkait dengan isu banyak berubahnya area konservasi, lahan-lahan hijau menjadi area budidaya terbangun. Pemanfaatan bantaran sungai adalah salah satu contohnya.

Tingginya intensitas banjir atau luapan air yang menyebabkan permasalahan banjir di beberapa tempat menjadi indikasi makin banyaknya air yang beredar di atas permukaan tanah yang kemudian memakan ruang lebih, termasuk area bukan ruang untuk air ketika ruang air yang disedikan tidak memadahi lagi.

Bantaran sungai dalam landscape ekologi perkotaan merupakan elemen struktur

landscape dalam bentuk koridor hijau (vegetasi riparian), selain memberikan manfaat kesejukan dan keindahan,21 juga berfungsi sebagai jasa bio-eko-hidrologis di wilayah perkotaan.22

Berubahnya fungsi bantaran sungai dari yang semestinya sebagai area terbuka hijau menjadi area terbangun mengakibatkan beberapa hal.

- Menghilangkan kemampuan mengendalikan banjir. Adanya pepohonan dapat menghalangi kecepatan arus limpahan sungai yang terjadi sebelum mencapai area daratan sehingga kekuatan destruktifnya berkurang.

- Meningkatkan kepadatan tanah yang mengakibatkan porositas tanah berkurang. Sesuai prinsip konservasi air, air permukaan seharusnya terkonversi menjadi air tanah sehingga menjaga keseimbangan siklus hidrologi, peredaran air permukaan berkurang.

- Sedimentasi sungai karena kurangnya vegetasi. Adanya vegetasi sendiri dapat sebagai pengikat tanah oleh akar-akarnya.

Adapun manfaat penting mempertahankan bantaran sungai sebagaimana mestinya antara lain sebagai berikut.

20

Manan (1990).

21 Hough (1978). 22

(36)

commit to user

- Dapat memberikan naungan dan keteduhan oleh vegetasi peneduh.

- Bantaran sungai menjadi pengontrol sistem drainese alami sebagai area infiltrasi air ke dalam tanah. Adanya vegetasi alami di bantaran sungai menghambat arus air permukaan dan tanahnya menyerap sebagian air. Perakaran vegetasi meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap air. Melalui proses transpirasi, mendukung pula siklus hidrologi.

- Vegetasi yang ada pada bantaran berfungsi menyaring air dari limbah sebelum masuk ke aquifer, pencemaran air dari limbah berkurang, sebagai tindakan preventif dari permasalahan air, too dirty.

- Bantaran sungai juga sebagai cagar keanekaragaman hayati, baik digambarkan oleh varian vegetasi yang ada tapi juga bantaran sungai yang hijau sebagai habitat hewan, serangga, burung, mamalia.

- Area bantaran sungai sendiri secara otomatis berperan sebagai pengendali banjir (untuk ruang di luar bantaran). Hal ini sesuai dengan fungsi bantaran sebagai ruang toleransi limpasan air sungai. Sederhananya, memperbaiki daerah bantaran sungai sebagai kawasan bervegetasi alami, membiarkan sungai mengaliri dan menggenangi tempat yang diinginkannya sendiri, serta menghindari penutupan bantaran oleh bangunan.

(37)
[image:37.595.127.516.255.495.2]

commit to user

Gambar 3.1

Tinjauan Makro Lokasi Terhadap Kota Surakarta Sumber: Dokumentasi pribadi

BAB III

DATA DAN INFORMASI LAPANGAN

Lokasi permasalahan banjir sebagai objek pembahasan ini berada dalam wilayah administratif Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Lahannya merupakan salah satu segmen dari keseluruhan bantaran Bengawan Solo yang juga dibatasi oleh tanggul

Upper Solo River Improvement. Terhadap Kota Surakarta secara administratif dan letak geografis, lokasinya berada di pinggiran timur kota yang identik dengan sebutan “daerah terpinggirkan” kota pada umumnya.

A. BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH SEBAGAI FLOODPLAIN

1. Faktor Melimpasnya Air Bengawan Solo

Banjir yang terjadi di bantaran sungai di Sangkrah melibatkan luapan aliran Sungai Bengawan Solo sebagai penyebab utamanya. Seperti diketahui bahwa peran ruang di atas lahan bantaran sungai adalah untuk toleransi melimpahnya air, sehingga di sini ketika aliran air Bengawan Solo “membutuhkan” ruang lebih untuk mengalir, otomatis lahan bantaran yang ada menjadi terpakai oleh air.

Permasalahan banjir bantaran yang paling aktual terekam berdasarkan kejadian banjir yang melibatkan aliran air Bengawan Solo tahun 2007, yang merupakan banjir terbesar sejak tahun 1966, juga serupa dengan tahun 1863 dan 1904. Curah hujan di DAS Solo hulu per 26 Desember 2007 memiliki rata-rata 124 mm/hari atau ekuivalen dengan periode ulang 55 tahun (sebagai perbandingan banjir tahun 1966 ekuivalen dengan periode ulang 60 tahun). Debit puncak di Jurug diperkirakan sebesar 1986 m3/detik atau ekuivalen dengan periode ulang 30 tahun.1

1

(38)

commit to user

Gambar 3.2 Peta Banjir Kota Surakarta Sumber: Dokumen Budi Setiyarso

Penyebab bertambahnya debit air Bengawan Solo secara signifikan ini adalah melimpahnya suplai air pada hulu akibat curah hujan tinggi, dan juga pendangkalan Waduk Gajah Mungkur sebagai supplier air sehingga tidak mampu menampung air berlebih.

Kejadian banjir tersebut memberi dampak yang sangat luas, tidak hanya bagi area dalam badan sungai (termasuk bantaran sungai), tapi juga area di luar tanggul. Sebagai gambaran, pada Kota Surakarta sebagai contohnya, beberapa daerah di dalam kota juga menjadi terendam air karena sungai-sungai kecil yang melalui dalam kota (yang juga merupakan anak Bengawan Solo) alirannya meluap. Hal tersebut dikarenakan air tidak dapat mengalir menuju Bengawan Solo akibat ditutupnya pintu

air karena permukaan air Bengawan Solo meninggi. Penutupan pintu air dilakukan justru untuk menghindari kondisi banjir yang lebih parah apabila aliran air Bengawan Solo terlimpah pada sungai kota. Salah satunya Kali Pepe sebagai sungai yang alirannya “membelah” Kota Surakarta, belum lagi ada sungai-sungai yang lebih kecil yang merupakan anak sungainya, meluapnya sistem sungai ini membuat beberapa daerah di kota menjadi terendam air, seperti pada daerah Sangkrah yang terparah

karena sebagai lokasi pintu air menuju Bengawan Solo (muara Kali Pepe), Kelurahan Jagalan, Kampung Sewu, Semanggi, bahkan pada banjir tahun 1966 yang lebih parah, tengah kota juga terendam air.2 Kondisi serupa mungkin terjadi pada kota-kota lain yang berada pada DAS Bengawan Solo.

Pada lahan bantaran di Sangkrah yang relatif datar ini, permukaan air pada banjir besar terakhir dapat digambarkan hingga hampir mencapai langit-langit sebagian rumah, atau diperkirakan sekitar 2 meter dari permukaan tanah bantaran. Meskipun bukan tipe

Gambar

Gambar 2.14
Gambar 3.1 Tinjauan Makro Lokasi Terhadap Kota Surakarta
     Gambar 3.2  Peta Banjir Kota Surakarta Sumber: Dokumen Budi Setiyarso
    Gambar 3.3  Kondisi Penduduk Bantaran Sangkrah saat Banjir
+7

Referensi

Dokumen terkait

IDEOLOGY IN THE LANGUAGE OF THE ISLAMIC REPUBLIC OF IRAN BROADCASTING REGARDING IRANIAN NUCLEAR POLICY: A Critical discourse analysis.. Universitas Pendidikan Indonesia

[r]

The aims of study are to expose Jane Austen’s criticism against the domination of the upper class in the English society and to identify relation between the structure of Emma

[r]

Metode iteratif adalah suatu metode yang digunakan untuk mencari solusi suatu persamaan tak linear yang dimulai dengan memilih nilai awal dan kemudian berusaha

Model pangkat dalam penduga biomassa tegakan pada hutan rawa gambut dapat dibuat berdasarkan peubah kerapatan tajuk dari citra SPOT Pankromatik. Pembuatan model

Makalah pertama memaparkan penggunaan program k-means clustering untuk mengelompokkan rumah tangga di Salatiga dalam kriteria ekonomi bawah, ekonomi menengah, dan

1) Pertumbuhan pelanggan yang tinggi akan menjadi dasar untuk menghasilkan berbagai kinerja pemasaran lanjutan.. 2) Pengetahuan yang baik mengenai diri pelanggan dan perhatian yang