• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi fenotipik dan molekuler bakteri patogen serta epidemi penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman Acacia crassicarpa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi fenotipik dan molekuler bakteri patogen serta epidemi penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman Acacia crassicarpa"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI FENOTIPIK DAN MOLEKULER BAKTERI PATOGEN SERTA EPIDEMI PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI

PADA BIBIT TANAMAN Acacia crassicarpa

NI MADE LAKSMI ERNAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakterisasi Fenotipik dan Molekuler Bakteri Patogen Serta Epidemi Penyakit Hawar Daun Bakteri Pada Bibit Tanaman Acacia crassicarpa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2008

(3)

ABSTRACT

NI MADE LAKSMI ERNAWATI. Phenotypic and Molecular Characterizations of Bacterial Pathogen and Epidemy of Bacterial Leaf Blight on Acacia crassicarpa Seedlings. Under the directions of Budi Tjahjono, Muhammad Machmud, Sientje Mandang Sumaraw, and Giyanto.

Bacterial leaf blight (BLB) disease is a new and deadly disease on Acacia crassicarpa nursery in Pelalawan Riau and never been reported either in Indonesia or in other countries. This research was designed to study etiology of BLB disease on A. crassicarpa seedlings and other factors that triggered epidemy of BLB disease. The results showed that the first symptom of BLB appeared on 5-6 weeks-old seedlings and blight was formed within 1-2 weeks. Early symptoms appeared as small red streaks on tip, middle, or basal leaf that increase in length and width along the leaf veins and later turned into brownish red color. The streaks were then turned into dark brown in color which was surounded by a yellow halo, and finally, they might united and dried that made blight syndrome. Generally, colonies of the bacterial leaf blight pathogen on YDCA or NA media were yellow, round shape, wet appearance, smooth surface, and colony diameters 1.0-2.0 mm. The Koch’s postulate test has been conducted and pure isolates were further physiologically, morphologically, and molecularly characterized. Characteristics of the bacterial were Gram negative, aerobic growth, yellow colonies and mucoid on YDCA, positive growth on 33-35oC, positive in starch and esculin hydrolysis, positive in protein digestion and litmus milk, and positive utilization of arabinose, glycerol, and melibiose. Morphologically, the bacterial cells were rod-shape with cell sizes 0,5-0,7 x 0,8-1,7 µm. Based on phenotypic and molecular characterizations the bacterial pathogen belongs to Xanthomonas campestris. Since host range of the pathogen is limited on Acacia sp., the proposed name of the bacterium is Xanthomonas campestris pv. acaciae.

Some epidemiological factors, i.e., cultural techniques, initial inoculum around its host, rainfall, and source of seedlings, were examined for their effects on bacterial leaf blight disease development. The results showed that disease incidence and severity were decreased in 2007 than those in 2004 due to changes in cultural techniques applied. Generally, Xanthomonas campestris pv. acaciae can be detected either from seeds, culture media, or water sources of A. crassicarpa seedlings. Total of Xanthomonas campestris pv. acaciae population isolated from seeds, peat soil, oil palm compost, coconut powder, rice husk, and water sources were 9.0 x 105, 1.36 x 105, 1.033 x 107, 2.03 x 105, 1.17 x 104, and 8.2 x 102 CFU/ml respectively. The BLB disease incidence and severity were influenced by rainfall, but not the early initiation of the disease symptom. Disease developments on seedlings grown from seeds were slower than those on seedlings grown from cuttings. Percentages of BLB disease incidences and disease severities on seedlings were lower than those on seedlings grown from cutting.

(4)

RINGKASAN

NI MADE LAKSMI ERNAWATI. Karakterisasi Fenotipik dan Molekuler Bakteri Patogen serta Epidemi Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Bibit Tanaman Acacia crassicarpa. Dibimbing oleh Budi Tjahjono, Muhammad Machmud, Sientje Mandang Sumaraw, dan Giyanto.

Penyakit hawar daun bakteri pada pembibitan tanaman A. crassicarpa di Pelalawan Riau merupakan penyakit baru dan mematikan yang belum dilaporkan keberadaannya baik di Indonesia maupun negara lain yang menanam tanaman A. crassicarpa. Sampai sekarang ini belum dikarakterisasi dan diidentifikasi bakteri patogen yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa ini. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan mengidentifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa baik karakteristik fenotipik dan molekulernya serta beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit hawar daun bakteri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala awal penyakit hawar daun bakteri muncul pada bibit tanaman A. crassicarpa berumur 5-6 minggu dan hawar terbentuk dalam waktu 1-2 minggu. Gejala awal berupa garis merah kecil pada bagian ujung, tengah, atau pangkal daun dan berkembang memanjang sejajar tulang daun dan garis berubah warna menjadi merah kecoklatan. Garis selanjutnya berubah menjadi coklat tua dan ada halo berwarna kuning disekitarnya. Pada perkembangan penyakit tahap akhir garis dapat menyatu dan kering sehingga terbentuk hawar.

Secara umum bakteri patogen hawar daun pada media YDCA atau NA koloninya berwarna kuning, bentuk bulat, penampakan basah, permukaan halus, dan diameter koloni 1,0-2,0 mm. Pengujian selanjutnya menunjukkan bahwa semua isolat adalah patogen karena menunjukkan reaksi hipersensitivitas pada tanaman tembakau. Semua isolat menunjukkan gejala pada uji patogenisitas pada bibit A. crassicarpa. Gejala awal dapat berupa klorosis atau garis merah kecil, perkembangan selanjutnya klorosis makin jelas atau berubah menjadi klorosis kemerahan, berkembang dan menyatunya garis merah. Semua isolat yang diujikan dapat direisolasi dari tanaman yang bergejala dan menghasilkan isolat yang sama dengan yang pertama. Dengan demikian isolat bakteri yang diisolasi dari daun yang terinfeksi hawar memang benar merupakan organisme penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa.

(5)

campestris. Berdasarkan kisaran inangnya yang spesifik pada genus Acacia sp., maka nama patogen diusulkan Xanthomonas campestris pv. acaciae.

Isolat bakteri yang menunjukkan hasil uji fisiologi dan biokimia yang paling stabil dipilih 2 isolat untuk diidentifikasi lebih lanjut secara molekuler berdasarkan gen 16S rRNA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan sekuensing gen 16S rRNAnya isolat bakteri yang diisolasi dari daun A. crassicarpa termasuk ke dalam Xanthomonas campestris dengan tingkat kesamaan yang tinggi yaitu >90 %. Berdasarkan phylogenetic tree Xanthomonas campestris pv. acaciae merupakan patovar baru karena berada pada kelompok yang berbeda dengan patovar Xanthomonas campestris yang sudah ada di GeneBank. Dengan demikian baik identifikasi secara molekuler maupun non-molekuler menghasilkan spesies yang sama yakni Xanthomonas campestris.

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa telah dipelajari diantaranya pengaruh kultur teknis, inokulum awal dari patogen yang berada di sekitar tanaman inang, pengaruh curah hujan, dan asal bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan kultur teknis yang diterapkan secara terpadu seperti penggunaan media cocopeat, pupuk NPK hidrokompleks dan M-phospat, penjarangan tanaman, tabung dengan lubang hanya di bagian bawah, penambahan sodium hipoklorid pada air sumber irigasinya, sanitasi lingkungan, lamanya bibit di bedengan dengan naungan, dan sistim penyiraman, dapat menekan terjadinya epidemi penyakit sehingga kejadian dan keparahan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa di pembibitan Riau pada tahun 2007 (15,79 % dan 2,04 %) menurun dibandingkan tahun 2004 (59,5 % dan 9,64 %).

Secara umum Xanthomonas campestris pv. acaciae dapat diisolasi baik pada benih, media tanam maupun sumber air penyiraman bibit A. crassicarpa. Jumlah populasi Xanthomonas campestris pv. acaciae hasil isolasi dari benih, tanah gambut, kompos kelapa sawit, serbuk kelapa, sekam padi, dan sumber air berturut-turut adalah 9,0 x 105; 1,36 x 105;1,033 x 107;2,03 x 105;1,17 x 104;dan 8,2 x 102 CFU/ml. Dengan terdeteksinya inokulum awal bakteri patogen di sekitar tanaman inang yang cukup tinggi maka bila faktor lingkungan mendukung perkembangan dan penyebaran inokulum maka epidemi akan terjadi.

Curah hujan sangat mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Semakin tinggi jumlah curah hujan semakin tinggi persentase keparahan dan kejadian penyakit hawar daun bakteri, perkembangan penyakit juga lebih cepat, namun tidak ada perbedaan munculnya gejala awal penyakit hawar daun bakteri.

Asal bibit juga mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Bibit asal stek memicu terjadinya epidemi penyakit dibandingkan bibit asal biji jika faktor lingkungan mendukung. Pada bibit asal biji gejala awal penyakit hawar daun bakteri muncul dua minggu lebih lambat dibandingkan dengan bibit asal stek. Perkembangan gejala penyakit pada bibit asal biji lebih lambat dibandingkan bibit asal stek. Persentase kejadian dan keparahan penyakit hawar daun bakteri lebih rendah pada bibit asal biji dibandingkan dengan bibit asal stek.

(6)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(7)

KARAKTERISASI FENOTIPIK DAN MOLEKULER BAKTERI PATOGEN SERTA EPIDEMI PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI

PADA BIBIT TANAMAN Acacia crassicarpa

NI MADE LAKSMI ERNAWATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Proteksi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Disertasi : Karakterisasi Fenotipik dan Molekuler Bakteri Patogen serta Epidemi Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Bibit Tanaman Acacia crassicarpa

Nama Mahasiswa : Ni Made Laksmi Ernawati

NRP : A461030041

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Agr. Dr. Muhammad Machmud, M.Sc. APU Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Sientje Mandang Sumaraw Dr. Ir. Giyanto, MSi Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Entomologi-Fitopatologi

Dr.Ir. Sri Hendrastuti H, M.Sc. Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(9)

Sesungguhnya ilmu lebih baik dari

kebiasaan, meditasi lebih baik dari ilmu,

meningkatkan karma pala lebih baik dari

meditasi, dari meninggalkan (pala karma

itu) kedamaian akan datang kemudian

(Bhagawad Gita XII-13).

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga disertasi yang berjudul Karakterisasi Fenotipik dan Molekuler Bakteri Patogen serta Epidemi Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Bibit Tanaman Acacia crassicarpa dapat terselesaikan.

Penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing; Bapak Dr. Muhammad Machmud, M.Sc. APU., Ibu Prof. Dr. Ir. Sientje Mandang Sumaraw, dan Bapak Dr. Ir. Giyanto, MSi. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, nasehat, dan dorongan moral yang telah diberikan kepada penulis dari sejak awal sampai terselesaikannya karya ilmiah ini.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada seluruh staf di pembibitan Riau yang telah membantu penulis selama melakukan percobaan di lapang. Sahabat di Lab. Bakteriologi Ibu Asih, Ibu Ivone, Bapak Kikin, Adit, Diana, Yuni, Didi, Deden, Budi, Dako, Winda, Heri,Izmi, Raina dll. terima kasih atas bantuan dan persahabatan yang telah diberikan pada penulis. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada mba Tuti, Pak Rai, Pak Irwan dll. atas bantuan yang diberikan sehingga semuanya berjalan lancar. Rekan-rekan Gardu Raya terima kasih atas persaudaraan dan bantuan yang diberikan sehingga penulis merasa tidak sendiri.

Terima kasih disampaikan kepada Unram, IPB, Pemda NTB, Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Dana Mandiri atas pelayanan dan bantuan dananya. Sujud dan terimakasih yang dalam penulis persembahkan kehadapan ayahnda Wayan Wira, ibunda Made Sukerti, ibu-bapak mertua Ketut Redianing dan Ketut Wetan tercinta atas dorongan, kebijaksanaan, dan doa. Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada almarhum suami terkasih atas kesetiaan, pengertian yang dalam, dorongan yang tiada habisnya, bimbingan, dan doa. Juga kedua buah hatiku tersayang yang setia menunggu dan berdoa agar ibunda cepat selesai dan berkumpul kembali. Om shanti, shanti, shanti om.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Denpasar Bali pada tanggal 24 Januari 1962 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan I Wayan Wira dan Made Sukerti.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram pada tahun 1981 dan lulus pada tahun 1986. Sebelum melanjutkan ke pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Tanaman, Universitas Brawijaya Malang, penulis berkesempatan menempuh Program Master di University of British Columbia, Vancouver Canada melalui program OTO BAPPENAS dengan beasiswa dari CIDA tahun 1990 sampai 1992 namun tidak sampai tuntas. Penulis selanjutnya berkesempatan menempuh pendidikan Pascasarjana (S2) di Program Studi Ilmu Tanaman, Universitas Brawijaya Malang pada tahun 1998 dan lulus tahun 2001. Tahun 2003 penulis melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Entomologi-Fitopatologi Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Selama menempuh pendidikan S2 dan S3 penulis memperoleh dana Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional.

Selama menempuh pendidikan S1 penulis mendapatkan beasiswa dari Tunjangan Ikatan Dinas (TID) dan pada tahun 1988 diangkat sebagai tenaga edukatif di Program Studi Hama Penyakit Tumbuhan, Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Mataram sampai sekarang.

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Achmad, MS.

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.For.Sc.

(13)
(14)

IDENTIFIKASI BAKTERI HAWAR DAUN SECARA MOLEKULER BERDASARKAN SEKUENSING GEN 16S rRNA.. Abstrak………. PENGARUH KULTUR TEKNIS TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA BIBIT

(15)

Daftar Pustaka……….. PENGARUH BIBIT Acacia crassicarpa ASAL BIJI DAN STEK TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI……….. Abstrak……….

Abstract………

Pendahuluan………. Tujuan Penelitian……….. Bahan dan Metoda……… Hasil………. Pembahasan………. Simpulan……….. Daftar Pustaka……….. PEMBAHASAN UMUM………. SIMPULAN UMUM DAN SARAN……… DAFTAR PUSTAKA……… LAMPIRAN………..

101

103 103 103 103 104 104 105 107 109 109 110 117 119 127

(16)

DAFTAR TABEL

Hasil pengamatan koloni bakteri patogen hawar yang diisolasi dari daun A. crassicarpa dua hari setelah inkubasi terhadap bentuk, warna, diameter, dan permukaan koloni bakteri…………. Uji reaksi hipersensitivitas pada daun tembakau terhadap 12 isolat bakteri patogen hawar daun A.crassicarpa... Patogenisitas 12 isolat bakteri hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa………... Keparahan dan kejadian penyakit pada A. crassicarpa yang di- inokulasi dengan 8 isolat bakteri patogen hawar daun (6 minggu setelah inokulasi………. Karakteristik hasil reisolasi dari isolat yang menunjukkan gejala pada uji patogenisitas……….. Hasil uji genus dari 12 isolat hasil isolasi dari daun tanaman A. crassicarpa……….. Hasil uji spesies dari 12 isolat hasil isolasi dari daun

A. crassicarpa……….. Hasil penelusuran kesamaan antara isolat Xnml061 dengan 10 patovar Xanthomonas campestris yang ada di GeneBank……….. Hasil penelusuran kesamaan antara isolat Xnml061 dengan 10 patovar Xanthomonas campestris yang ada di GeneBank……….. Hasil penelusuran kesamaan antara isolat Xnml061 dengan 15 Xanthomonas sp.yang ada di GeneBank……… Hasil penelusuran kesamaan antara isolat Xnml061 dengan 15 Xanthomonas sp.yang ada di GeneBank……… Kultur teknis yang diterapkan pada pembibitan A. crassicarpa tahun 2004 dan 2007……… Rerata populasi koloni bakteri (CFU/ml) hasil isolasi dari benih, media tanam, dan sumber air penyiraman A. crassicarpa………... Uji reaksi hipersensitivitas 11 isolat bakteri pada tanaman

tembakau hasil isolasi dari benih, media tanam, dan sumber air penyiraman……….. Uji genus dari 11 isolat hasil isolasi dari benih, media tanam, dan sumber air penyiraman………. Uji spesies dari 11 isolat hasil isolasi dari benih, media tanam, dan sumber air penyiraman………..

(17)

DAFTAR GAMBAR

Bagan kerangka alur penelitian……… A. Gejala awal penyakit. B-H. Perkembangan gejala penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa... Isolat murni hasil isolasi bakteri hawar daun dari bibit tanaman A. crassicarpa kecuali Xnml061 (isolasi dari A. mangium)………. Gejala reaksi hipersensitivitas pada daun tembakau yang di- inokulasi dengan isolat uji (B), dan kontrol dengan air steril (A)…. Perkembangan gejala penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa yang diinokulasi buatan(C→D→E→F). A. Inokulasi dengan air steril,dan B. Inokulasi dengan E. coli

DH5α……….

Gejala akhir dari penyakit hawar daun bakteri pada tanaman A. crassicarpa yang diinokulasi dengan isolat Xnml051……….. Hasil uji Gram (A), oksidatif/fermentatif (B), dan pigmen

fluoresens (C, kanan=isolat uji, kiri=Pseudomonas fluorescens)…. Hidrolisis pati isolat bakteri hasil isolasi dari daun A. crassicarpa yang terinfeksi hawar. A. Kontrol (gelap), B dan C. Reaksi positif A. Hasil uji esculin hidrolisis, B. Hasil uji proteolisis, dan C. Hasil uji litmus milk……… A. Hasil uji produksi asam dari arabinose, B. Hasil penggunaan senyawa gliserol dan melibiose…….……… Morfologi sel isolat bakteri Xnml061 menggunakan SEM dengan perbesaran 7500x……….. DNA genom total dari bakteri Xnml061 (lajur 1) dan Xnml062 (lajur 2)menggunakan gel agarose 1% dan divisualisasikan dengan ethidium bromide……….. Hasil amplifikasi gen 16S rRNA dari bakteri Xnml061 (lajur 1) dan Xnml062 (lajur 2), ukuran fragmen 1500 bp. Primer yang digunakan 27F dan 142R. Sampel dipisahkan menggunakan gel agarose 1% dan divisua;isasikan dengan ethidium bromide………. Sekuen lengkap dari isolat Xnml061……… Sekuen lengkap dari isolat Xnml062………. Dendogram 2 isolat bakteri (Ac-PK=Xnml061, Ac-PK1=

Xnml062) hasil isolasi dari daun A. crassicarpa yang terinfeksi hawar dengan 10 patovar X. campestris yang ada pada GeneBank (AE012540= campestris, AY604178= coriandri, AJ811695= Poinsetticola, X99297= LMG62, AY605124= zantedestiae, EU089712= raphani, EU089711= armoraciae, L24791= translucens, EU089713= barbareae, dan EU089710=abberans) hasil analisis menggunakan program PAUP………. Dendogram 2 isolat bakteri (Ac-PK=Xnml061,Ac-PK1=Xnml062) hasil isolasi dari daun A. crassicarpa yang terinfeksi hawar dengan 15 Xanthomonas sp. yang ada pada GeneBank (AY288080= vesicatoria, AY288083= gardneri, Y10764= bromi, Y10758= pisi, Y10755= vasicola, Y10762= cassavae, Y10759= hortorum,

(18)

18

Y10757= arboricola, X95921= oryzae, EF989733= citri, X95920= fragariae,Y10765= codiaei, DQ991194= axonopodis, AF208315= cynarae, X95918= albilineans) hasil analisis menggunakan program PAUP……….. Skoring penyakit yang digunakan untuk menghitung keparahan penyakit hawar daun bakteri pada A. crassicarpa……….... Persentase kejadian penyakit hawar daun bakteri pada tahun 2004 dan tahun 2007……….. Persentase keparahan penyakit hawar daun bakteri pada tahun 2004 dan tahun 2007………. Kejadian penyakit hawar daun bakteri pada tanaman

A. crassicarpa lebih parah pada tahun 2004 (A) dibandingkan tahun 2007 (B)………... Jenis tabung yang digunakan dan pertumbuhan bibit A.crassicarpa A. Tabung dengan lubang di bawah (poly tube), B. Tabung dengan lubang dikeempat sisinya (site slide tube), C. Pertumbuhan bibit dengan poly tube, dan D. Pertumbuhan bibit dengan site slide tube A. Membuang bagian yang sakit, B. Bak cuci kaki, C dan D. saluran air……….. A. Bedeng pembibitan dengan naungan, B. Pertumbuhan bibit pada bedeng dengan naungan, C. Bedeng pembibitan tanpa

naungan, D. Pertumbuhan bibit pada bedeng tanpa naungan……… A. Sistim penyiraman pada bedeng pembibitan dengan sistim sprinkler (terpancang di lantai), B. Sistim boom (tergantung di atas)……… A. Hasil isolasi bakteri dari benih A. crassicarpa, B. Isolat murni dari XB1….………... A. Hasil isolasi bakteri dari tanah gambut, B. Isolat murni dari XG1, XG2, dan XG3…..………... A. Hasil isolasi bakteri dari kompos kelapa sawit, B. Isolat murni dari XK1 dan XK2……… A. Hasil isolasi bakteri dari serbuk kelapa, B. Isolat murni dari bakteri XS1 dan XS2…..………... A. Hasil isolasi bakteri dari sekam padi, B. Isolat murni dari bakteri XP1dan XP2..……… Hasil isolasi bakteri dari A. Boom, B. Springkel, C. Irigasi, dan D. Selokan………...……….. Isolat murni dari bakteri A3…………...………... Hidrolisis pati dari beberapa isolat bakteri hasil isolasi dari media tanam. A. Kontrol (gelap), B.C.D. Isolat bakteri dari media tanam.. Skor penyakit hawar daun bakteri. A. Skor 2 (26-50 % daun terserang hawar bakteri,B. Skor 3 (51-75 % daun terserang hawar bakteri)... Persentase kejadian penyakit hawar daun bakteri pada bulan April-Juni 2006 (a) dan bulan Oktober-Desember 2006 (b) pada bibit A. crassicarpa umur 6-9 minggu……….. Persentase keparahan penyakit hawar daun bakteri pada bulan April-Juni 2006 (a) dan bulan Oktober-Desember 2006 (b) pada

(19)

37

38

39

40

A. crassicarpa umur 6-9………... Gejala awal penyakit hawar daun bakteri. A. Pada bibit asal biji; B. Pada bibit asal stek………...……… Gejala penyakit hawar daun bakteri pada bibit A. crassicarpa asal stek. A. Pada daun awal; B. Pada daun baru………. Persentase kejadian penyakit hawar daun bakteri pada bibit

A. crassicarpa asal biji dan stek yang berumur 9 minggu... Persentase keparahan penyakit hawar daun bakteri pada bibit A. crassicarpa asal biji dan stek yang berumur 9 minggu...

98

105

106

107

107

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Sekuen DNA berdasarkan primer 27F dari isolat Xnml061……... Sekuen DNA berdasarkan primer 27F dari isolat Xnml062……... Sekuen DNA berdasarkan primer 142R dari isolat Xnml061…… Sekuen DNA berdasarkan primer 142R dari isolat Xnml062…… Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri (tahun 2004)……… Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri (tahun 2007)……… Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri (tahun 2004)………... Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri (tahun 2007)………... Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri pada bulan April-Juni 2006 pada bibit umur 6-9 minggu... Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri pada bulan Oktober-Desember 2006 pada bibit umur 6-9 minggu………... Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri pada bulan April-Juni 2006 pada bibit umur 6-9 minggu……… Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri pada bulan Oktober-Desember 2006 pada bibit umur 6-9 minggu……… Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri pada bibit asal biji dan stek……… Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri pada bibit asal biji dan stek……… Pengamatan suhu dan kelembaban untuk uji patogenisitas dari isolat (24-7-05

s/d 4-9-05)………. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan Juli, Agustus, dan September 2005 untuk uji patogenisitas dari isolat Xnml051, Xnml052, Xnml053, dan Xnml054……… Pengamatan suhu dan kelembaban untuk uji patogenisitas dari isolat Xnml061, Xnml062, Xnml063, Xnml064, Xnml065, Xnml066, Xnml067, dan Xnml068 (11-4-06 s/d 23-5-06)……… Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan April dan Mei 2006 untuk uji patogenisitas dari isolat Xnml061, Xnml062, Xnml063, Xnml064, Xnml065, Xnml066, Xnml067, dan Xnml068………. Pengamatan curah hujan harian (mm) pada bulan April, Mei, dan Juni tahun 2006……….. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan Oktober, Nopember, dan Desember tahun 2006……….. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan Januari, Februari, dan Maret 2007 untuk percobaan bibit asal biji dan stek…………

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penghutanan kembali (reforestation) dengan menggunakan spesies tanaman yang tumbuh cepat (fast-growing) merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah menurunnya area hutan, degradasi lingkungan hutan, dan menurunnya suplai kayu dikarenakan eksploitasi hutan. Spesies tanaman yang tumbuh cepat dapat bersifat indigenus maupun eksotik. Salah satu spesies tanaman indigenus yang tumbuh cepat yang dengan intensif dikembangkan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia adalah tanaman akasia.

Menurut Hadi dan Nuhamara (1996) Pemerintah Indonesia telah memulai program penanaman tanaman akasia dalam perkebunan skala besar sejak tahun 1984. Hal ini untuk mendukung penyediaan kayu secara berkesinambungan bagi industri yang berbasiskan kayu dan juga mengurangi tekanan terhadap hutan tropika. Kayu merupakan sumber energi biomassa utama bagi jutaan orang di negara sedang berkembang. Permintaan akan kayu meningkat setiap tahunnya seiring meningkatnya jumlah penduduk (World Wide Wattle 2004).

Tanaman akasia (Acacia sp.) telah ditanam di lebih dari 80 negara di dunia termasuk Indonesia. Tanaman akasia ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti diambil kayunya, diolah menjadi bubur kayu (wood pulp), kertas, bahan bakar (fuel), dan sebagainya (Eldoma dan Awang 1999). Daya adaptasinya yang luas baik pada ekosistem sangat basah maupun sangat kering, kemampuannya bersimbiosis dengan bakteri tanah yang dapat menfiksasi nitrogen, pertumbuhan, hasil, dan kualitas yang lebih baik, menjadikan tanaman akasia sebagai tanaman yang sangat menjanjikan untuk diusahakan secara luas (Eldoma dan Awang 1999; Old et al. 1999).

(22)

2

(powdery mildew), becak daun (leaf spot), rebah semai (damping-off), nekrosis pucuk (tip necrosis) (Hadi dan Nuhamara 1996), dan hawar daun (Budi Tjahjono 2004, komunikasi pribadi). Berdasarkan pengamatan mikroskopik terhadap jaringan daun yang terinfeksi hawar didapatkan tanda penyakit berupa aliran ooze bakteri dari potongan daun yang bergejala.

Penyakit hawar daun bakteri (bacterial leaf blight) merupakan salah satu penyakit yang dijumpai pada pembibitan tanaman Acacia crassicarpa di Riau. Penyebab penyakit hawar daun bakteri ini hanya menyerang bibit tanaman A. crassicarpa (inang spesifik) dan tidak menyerang spesies tanaman akasia yang lain termasuk tanaman eucalyptus, meskipun mereka ditanam secara berdampingan di pembibitan (Budi Tjahjono 2004, komunikasi pribadi).

Penyakit hawar daun bakteri ini merupakan penyakit baru pada pembibitan tanaman A. crassicarpa di Indonesia (khususnya ditemukan di pembibitan tanaman akasia di Riau) karena belum dilaporkan keberadaannya baik di Indonesia maupun negara lain yang menanam tanaman akasia. Penyakit ini muncul sejak tahun 2003 dan menyebabkan kerugian yang cukup signifikan dalam pengadaan bibit tanaman akasia.

Beberapa usaha pengendalian terhadap penyakit hawar daun bakteri sudah dilakukan di pembibitan tanaman A. crassicarpa diantaranya penjarangan (spacing), perlakuan benih, penggunaan bakterisida, sanitasi lingkungan, penggunaan mikrob antagonis Pseudomonas fluorescens, Trichoderma spp. dan Bacillus subtilis. Usaha pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan bakterisida antara lain Agrept 20 WP dan Kasumin 5/75 WP dengan interval penyemprotan seminggu dan konsentrasi 2,5 - 5,0 g/l belum mampu menekan perkembangan penyakit ini (Budi Tjahjono Agustus 2004, komunikasi pribadi).

(23)

3

hawar daun ini tidak mengakibatkan matinya bibit tanaman akasia, namun kerugian yang ditimbulkan cukup besar karena menurunnya kualitas bibit yang dihasilkan. Tanaman akasia di pembibitan yang terinfeksi hawar daun sampai 20% masih tetap dapat ditanam di lapang dan tanaman menjadi tahan terhadap penyakit ini dengan semakin bertambahnya umur tanaman.

Sampai sekarang ini belum dikarakterisasi dan diidentifikasi bakteri patogen

yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa ini. Untuk itu perlu dilakukan karakterisasi dan identifikasi dari bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa baik karakteristik fenotipik maupun molekulernya.

Diagnosis suatu penyakit baru atau yang belum terdapat dalam daftar penyakit yang sudah baku dapat dilakukan dengan dua cara (Hayward 1983; Lelliott dan Stead 1987). Pertama, cara diagnosis pendugaan (presumtive diagnosis) untuk mendapatkan informasi yang cepat tentang penyakit baru tersebut sehingga metode pengendalian yang memadai dapat direkomendasikan. Cara diagnosis pendugaan yang cepat ini biasanya sangat dibutuhkan oleh petani hortikultura. Pengamatan berdasarkan pada gejala, karakteristik koloni patogen pada media isolasi, dan sejumlah kecil uji kunci termasuk dalam cara diagnosis pendugaan yang cepat. Kedua, cara diagnosis konfirmasi (confirmatory diagnosis) untuk mendapatkan identifikasi yang akurat sehingga memenuhi standar daftar penyakit dan diterima oleh komunitas keilmuan yang ada. Identifikasi patogen baik secara fisiologi maupun molekuler dan pengujian pada inang termasuk dalam cara diagnosis konfirmasi ini.

(24)

4

(untuk parasit non-obligat) atau harus ditumbuhkan pada tanaman inang rentan (untuk parasit obligat), patogen dari kultur murni tersebut harus diinokulasikan pada tanaman sehat dari spesies yang sama atau varietas yang menunjukkan gejala penyakit tersebut dan harus menghasilkan penyakit yang sama pada tanaman yang diinokulasikan, dan langkah terakhir adalah patogen harus dapat diisolasi kembali sebagai kultur murni dengan karakteristik yang sama seperti isolasi pertama (Agrios 1997).

Karakterisasi bakteri patogen secara fenotipik penting untuk mendapatkan gambaran tentang bakteri patogen seperti morfologi sel dan koloni maupun karakter fisiologi dan biokimianya. Identifikasi secara biokimia dan fisiologi berdasarkan pada metabolisme senyawa-senyawa tertentu seperti uji reaksi gram, uji fluoresens, uji oksidase, uji oksidatif/fermentatif, uji urease, dan sebagainya bertujuan untuk mengetahui identitas genus dan spesies bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa (Hayward 1983a; Schaad 2001).

Selain analisis fenotipik, analisis secara molekuler perlu dilakukan untuk konfirmasi identifikasi secara non-molekuler yang telah dilakukan. Menurut Suwanto (1994) hasil analisis fenotipik seperti uji fisiologi atau biokimia sering sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau kondisi sel itu sendiri. Metoda molekuler yang berbasiskan DNA memiliki keuntungan karena keakuratan identifikasi tidak tergantung pada kondisi lingkungan, umur, atau sifat fisiologi dari patogen, namun lebih tergantung pada kualitas DNA yang diekstraksi (Louws dan Cuppels 2001). Identifikasi secara molekuler ini penting untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang penyebab penyakitnya. Selain itu, untuk tujuan jangka panjang informasi ini akan berguna sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.

(25)

5

sekuensing dapat dianalisis dengan menggunakan database internet dengan menggunakan fasilitas program BLAST (Dickstein et al. 2001). Hasil analisis dengan program BLAST ini dapat menunjukkan apakah spesies bakteri yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa sama dengan spesies yang sudah ada atau merupakan spesies baru.

Deteksi dan identifikasi secara non-molekuler berdasarkan pada karakterisasi morfologi sel maupun koloni, uji fisiologi dan biokimia termasuk uji patogenisitas dari patogen biasanya membutuhkan waktu yang lama. Dengan makin berkembangnya teknik identifikasi patogen baik teknik serologi maupun teknik molekuler maka waktu yang dibutuhkan untuk deteksi dan identifikasi patogen jauh lebih cepat, akurat, spesifik, dan sensitif. Contohnya, untuk mendeteksi Pseudomonas avellanae agen penyebab menurunnya hazelnut di Northern Greece dan central Italy membutuhkan sedikitnya 6-7 bulan untuk identifikasi patogen secara lengkap berdasarkan teknik tradisional, sedangkan dengan menggunakan teknik repetitive-PCR dengan primer ERIC hanya dibutuhkan 4-6 hari (Scortichini dan Marchesi 2001).

Pengadaan bibit tanaman A. crassicarpa dalam jumlah banyak dan secara terus menerus sepanjang tahun dapat memicu ledakan (epidemi) penyakit di pembibitan tanaman akasia. Menurut Sinaga (2003) beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya epidemik penyakit adalah tersedianya inang secara berkesinambungan dan bersifat rentan, adanya patogen yang virulen, dan adanya faktor lingkungan yang mendukung perkembangan patogen. Untuk itu perlu dikaji beberapa faktor yang dapat meningkatkan perkembangan penyakit di pembibitan tanaman A. crassicarpa.

Tujuan Penelitian

(26)

6

terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa, (5) mengetahui populasi bakteri patogen hawar daun di sekitar

tanaman inang, (6) mengetahui pengaruh curah hujan dan bibit asal biji dan stek

terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam menyediakan informasi dasar

tentang bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa terutama tentang spesies yang menyerang, karakteristik fenotipik

dan molekuler, serta faktor yang mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Informasi ini diharapkan dapat membantu dalam menyusun pengelolaan penyakit yang tepat.

Strategi Penelitian

(27)

7

Penyakit Hawar Daun Bakteri Pada Tanaman Acacia crassicarpa

Koleksi tanaman sakit dan isolasi

bakteri patogen hawar daun

Uji morfologi,

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Pertelaan Tanaman Akasia

Tanaman akasia (Acacia sp.) termasuk tanaman legum berkayu yang merupakan tanaman indigenus untuk Australia, Papua New Guinea, dan Indonesia (Eldoma dan Awang 1999). Klasifikasi tanaman akasia berdasarkan data dari GRIN (2005) dan Caine (2005) sebagai berikut:

Ordo : Acacieae (atau Mimosaceae) Subfamili : Mimosoideae

Famili : Fabaceae (atau Leguminosae) Genus : Acacia

Di dunia ada kurang lebih 1500 spesies tanaman akasia yang dikenal dan 1200 spesies diantaranya endemik bagi Australia. Kebanyakan spesies ini merupakan tanaman pionir di lingkungannya dan ukurannya sangat bervariasi dari semak kecil sampai tanaman hutan yang besar (Old et al. 1999).

Kebanyakan tanaman akasia memiliki biji yang dapat bertahan sangat lama, memiliki ketahanan terhadap kebakaran dan tetap hidup dalam kurun waktu yang lama dalam tanah pada kondisi di bawah pertanaman akasia atau lingkungan alaminya (Old et al. 1999). Acacia crassicarpa contohnya, crassicarpa berasal dari bahasa latin yaitu crassus yang artinya tebal dan carpus yang artinya buah (Doran dan Turnbull 1997). Jadi Acacia crassicarpa memiliki buah yang tebal dan bijinya juga sangat tebal dan keras. Untuk pembenihan, sebelum ditanam biasanya biji diperlakukan dahulu dengan menggunakan air panas atau asam (Old et al. 1999).

(29)

9

Tanaman akasia memberikan keuntungan yang luas baik secara ekonomi maupun untuk lingkungan. Secara ekonomi tanaman akasia menguntungkan karena dapat diambil kayunya, diolah menjadi bubur kayu (wood pulp), kertas, dan bahan bakar (fuel) yang potensial untuk produksi charcoal. Menguntungkan bagi lingkungan karena dapat berfungsi untuk memperbaiki tanah (soil improver), potensial untuk mengontrol erosi, dan sebagai revegetator (Eldoma dan Awang 1999; GRIN 2005).

Di Indonesia ada 4 spesies tanaman akasia yang ditanam secara luas yaitu Acacia auriculiformis, A. mangium, A. crassicarpa, dan A. aulacocarpa (Zulfiyah dan Gales 1996; Hadi dan Nuhamara 1996). Diantara keempat spesies ini A. crassicarpa merupakan spesies tanaman yang paling produktif dibandingkan yang lain (Lau 1999). Penelitian Jayusman et al. (1992) dalam Andes (1998) menyebutkan bahwa dari 12 spesies tanaman yang cepat tumbuh yang diuji didapatkan bahwa A. crassicarpa mempunyai persentase hidup, pertambahan tinggi dan diameter batang terbaik. Hasil penelitian Roongrattanakul et al. (2005) menunjukkan bahwa A. crassicarpa pertumbuhannya paling cepat dan A. oraria pertumbuhannya paling lambat.

Secara umum A. crassicarpa dapat tumbuh pada ketinggian antara 0- 700 m dpl. Daya adaptasinya tinggi, dapat dijumpai baik pada ekosistem sangat basah ataupun sangat kering. Pada habitat alaminya, curah hujan tahunan yang dibutuhkan A. crassicarpa bervariasi antara 900-4000 mm, namun di Australia bagian utara, A. crassicarpa dapat dijumpai pada daerah dengan curah hujan tahunan hanya 500 mm (Eldoma dan Awang 1999; Old et al. 1999). Di Irian Jaya dan Papua New Guinea, A. crassicarpa dapat tumbuh pada tanah yang agak bergelombang dan berdrainase baik atau kurang baik, tanah yang tergenang waktu hujan dan kering pada musim kemarau, pada tanah sangat masam, tanah latosol, dan tanah yang kesuburannya rendah (Rettob 1994).

(30)

10

Tanaman A. crassicarpa pada tempat asalnya di North Queensland dan Papua New Guinea dapat mencapai tinggi 30 m (Midgley 2000). Tanaman A. crassicarpa dapat mencapai tinggi 30 m dengan batang yang besar dan diameter mencapai 50 cm pada hutan terbuka, sedangkan pada hutan tertutup tingginya berkisar antara 5-20 m dan berbatang lurus. Pada lahan yang terbuka A. crassicarpa banyak bercabang dan membentuk naungan (Rettob 1994).

Identifikasi Patogen Berdasarkan Karakter Fisiologi dan Morfologi

Bakteri patogen tumbuhan dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik fisiologinya. Secara umum, karakteristik fisiologi yang diamati terhadap koloni bakteri hasil dari isolasi adalah uji metabolisme senyawa-senyawa tertentu dan beberapa karakteristik kultur misalnya bentuk dan ukuran sel, warna koloni, diameter koloni, dan flagela (Hayward 1983a). Beberapa uji fisiologis yang dilakukan untuk membedakan genera dari prokaryot patogenik tumbuhan adalah uji oksidase, urease, oksidatif/fermentatif, pigmen fluoresen, reaksi gram, dan sebagainya (Hayward 1983a; Schaad 2001).

Secara sederhana beberapa genus prokariot yang dapat menyebabkan penyakit tumbuhan dapat dibedakan. Cara tersebut adalah menggunakan metode Schaad (2001): (1) mengisolasi bakteri patogen tumbuhan dengan media umum NA, jika bakteri dapat tumbuh maka dilanjutkan dengan uji pewarnaan Gram; (2) melakukan pewarnaan Gram, jika bersifat gram positif maka kemungkinan bakteri tersebut termasuk genus Coryneform, Bacillus, Clostridium, atau Streptomyces, sedangkan jika menunjukkan gram negatif maka kemungkinan termasuk genus Erwinia, Pantoea, Xylophilus, Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia,

Pseudomonas, Xanthomonas, atau Agrobacterium; (3) untuk bakteri gram negatif dilanjutkan dengan uji pertumbuhan anaerobik, jika positif maka kemungkinan masuk genus Pantoea atau Erwinia, sedangkan jika negatif termasuk genus Xylophilus, Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia, Pseudomonas, Xanthomonas,

(31)

11

maka kemungkinan termasuk genus Pseudomonas, sedangkan jika negatif termasuk genus Xylophilus, Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia, Xanthomonas, atau Agrobacterium; (6) dilanjutkan dengan menumbuhkan pada media YDC/NA, jika koloni berwarna kuning kemungkinan masuk genus Xylophilus atau Xanthomonas, sedangkan jika koloni tidak kuning termasuk genus , Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia, atau Agrobacterium; (7) genus Xylophilus atau Xanthomonas dapat dibedakan dengan uji urease atau menumbuhkan pada media YDC pada suhu 33oC, jika urease negatif dan dapat tumbuh pada 33oC maka termasuk genus Xanthomonas dan jika urease positif dan tidak tumbuh pada 33oC maka masuk Genus Xylophilus; (8) ke empat genus yang lain ditumbuhkan pada media D1M agar, jika tumbuh maka termasuk genus Agrobacterium sedangkan jika tidak tumbuh kemungkinan masuk genus Acidovorax, Burkholderia, atau Ralstonia; (9) ke tiga genus diuji lebih lanjut dengan bisa atau tidak menggunakan arginin dan betaine, jika positif masuk genus Burkholderia sedangkan jika negatif masuk genus Acidovorax atau Ralstonia; (10) uji dilanjutkan dengan menumbuhkan pada suhu 40oC, jika tumbuh masuk genus Acidovorax dan jika tidak tumbuh masuk genus Ralstonia.

Bakteri gram positif dapat dibedakan genusnya dengan cara Schaad (2001): (1) uji pembentukan endospora, jika membentuk endospora kemungkinan termasuk genus Bacillus atau Clostridium, sedangkan jika tidak membentuk endospora termasuk genus Coryneform atau Streptomyces; (2) genus Bacillus atau Clostridium dapat dibedakan dengan uji pertumbuhan anaerobik, jika positif masuk genus Clostridium dan jika negatif masuk genus Bacillus ; (3) genus Coryneform atau Streptomyces dapat dibedakan dengan uji pembentukan miselium aerial, jika membentuk miselium aerial masuk genus Streptomyces dan jika tidak membentuk miselium aerial masuk genus Coryneform.

(32)

12

positif maka termasuk genus Corynebacterium dan jika bersifat gram negatif maka kemungkinan termasuk genus Erwinia, Xanthomonas, Pseudomonas, atau Agrobacterium; (3) menumbuhkan bakteri pada media YDC agar, jika koloni berwarna kuning maka termasuk genus Erwinia atau Xanthomonas; sedangkan jika tidak berwarna kuning kemungkinan termasuk genus Pseudomonas, atau Agrobacterium; (4) menumbuhkan pada media MS agar atau CVP agar, jika tumbuh maka termasuk genus Erwinia dan jika tidak tumbuh maka termasuk genus Xanthomonas; (5) menumbuhkan pada media D-t, jika tumbuh termasuk genus Agrobacterium dan jika tidak tumbuh termasuk genus Pseudomonas.

Identifikasi Patogen Berdasarkan Karakter Molekuler

Identifikasi bakteri patogen tumbuhan selain dengan cara analisis fenotipik, dapat juga dilakukan dengan menggunakan analisis genotipik secara molekuler. Menurut Suwanto (1994) hasil analisis fenotipik seperti uji fisiologis atau biokimia sering sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau kondisi sel itu sendiri. Metoda molekuler yang berbasiskan DNA memiliki keuntungan karena keakuratan identifikasi tidak tergantung pada kondisi lingkungan, umur, atau sifat fisiologi dari patogen, namun lebih tergantung pada kualitas DNA yang diekstraksi (Louws dan Cuppels 2001).

(33)

13

Gen 16S rRNA pada bakteri sangat konserf dengan variasi sangat kecil. Adapula beberapa segmen RNA sangat lambat evolusinya sehingga filogeni dari taksa yang berdekatan dapat dikonstruksi kembali. Dengan demikian, kombinasi dari persamaan dan sekuen yang bervariasi ini sangat berguna dalam identifikasi genus dan spesies bakteri (Alizadeh et al. 1997).

Sekuensing gen 16S-rRNA dapat dilakukan pertama-tama dengan mengamplifikasi bagian 16S-rRNA dari DNA dengan menggunakan teknik PCR (polymerase chain reaction) dan primer universal untuk prokaryot. Teknik PCR merupakan teknik yang dapat mengamplifikasi DNA secara in vitro dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (Mullis et al. 1986). Setiap siklus pada amplifikasi DNA secara in vitro ini terdiri dari 3 tahap yaitu denaturasi, pelekatan (annealing), dan pemanjangan (elongation). Tahap denaturasi merupakan pembentukan DNA utas tunggal dari DNA utas ganda yang umumnya terjadi pada suhu lebih besar atau sama dengan 95oC. Selanjutnya diikuti tahapan pelekatan primer pada DNA yang biasanya berlangsung pada suhu 35-65oC tergantung pada panjang pendeknya oligonukleotida primer yang digunakan. Tahap pemanjangan primer biasanya terjadi pada suhu 72oC yang merupakan hasil polimerisasi dengan bantuan dari kerja enzim Taq DNA polimerase. Ketiga tahap ini akan berlangsung secara terus menerus sampai beberapa siklus (Madigan et al. 1997).

Berhasil tidaknya amplifikasi gen 16S-rRNA yang telah dilakukan dapat divisualisasikan dengan elektroforesis gel. Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul bermuatan dalam medan listrik. Penggunaan teknik elektroforesis gel dapat digunakan untuk memisahkan dan menentukan ukuran fragmen DNA (Agus 2002).

(34)

14

Produk amplifikasi PCR dapat langsung disekuen atau dipurifikasi dahulu dan diligasikan ke dalam vektor. Sel E. coli ditransformasikan dengan plasmid yang berisi insersinya. Sel ini kemudian ditumbuhkan pada kultur cair dan selanjutnya plasmid diisolasi dan dipurifikasi kembali. Hasil klon atau produk amplifikasi dapat disekuensing menggunakan kit sekuensing yang tersedia secara komersial atau menggunakan sistim sekuensing otomatis. Primer universal dapat digunakan untuk PCR maupun sekuensing. Hasil sekuensing dapat dianalisis dengan menggunakan database internet dengan menggunakan fasilitas program BLAST. Program BLAST ini disediakan oleh NCBI (National Center for Biotechnology Information) (Dickstein et al. 2001).

Epidemiologi Penyakit Tumbuhan

Epidemiologi penyakit tumbuhan merupakan ilmu yang mempelajari tentang epidemi penyakit tumbuhan. Dalam hal ini epidemiologi merupakan analisis komprehensif dari interaksi antara tiga komponen segitiga penyakit yaitu inang, patogen, dan lingkungan (Jones 1998).

Beberapa definisi telah diberikan oleh para pakar mengenai epidemiologi penyakit tumbuhan. Van der Plank (1963) menyebutkan bahwa epidemik adalah peningkatan per luasan terjadinya penyakit (disease incidence) dalam suatu populasi tumbuhan per satuan waktu per satuan luas atau secara singkat dikatakan epidemiologi adalah ilmu tentang penyakit dalam populasi. Sedangkan Zadock dan Schein (1979) menyebutkan bahwa epidemi merupakan pertambahan penyakit dalam suatu populasi tumbuhan per satuan waktu per satuan luas. Dengan demikian, dalam epidemiologi dibahas mengenai cara-cara penyebaran penyebab penyakit, berbagai faktor yang mempengaruhi patogen maupun populasi tumbuhan, dan juga dipelajari faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi antara populasi patogen dengan populasi tumbuhan (Semangun 1996).

(35)

15

kondisi lingkungan harus sesuai untuk reproduksi, penyebaran, dan infeksi patogen, terutama faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, pH, angin, vektor, dan keberadaan agen antagonis yang bersifat mematikan atau menyebabkan statis (Sinaga 2003).

Inang sebagai salah satu faktor dalam terjadinya epidemi sangat dipengaruhi oleh keadaan internal maupun eksternal dari inang itu sendiri. Beberapa faktor internal dari inang antara lain tingkat ketahanan atau kerentanan inang, tipe tanaman, keragaman genetik inang, umur tanaman, kandungan nutrisi, dan sebagainya. Jika tanaman inang yang memiliki tingkat keragaman genetik tinggi dan memiliki gen ketahanan terhadap penyakit ditanam pada suatu areal, maka epidemi penyakit dapat terjadi jika ada ras atau strain baru patogen yang dapat mematahkan ketahanan inang tersebut (Sinaga 2003). Epidemi penyakit akan mudah juga terjadi jika tanaman rentan ditanam secara luas dan monokultur (Semangun 1996). Umumnya, epidemik penyakit lebih cepat terjadi pada tanaman semusim dibandingkan dengan tanaman tahunan. Dalam hubungannya dengan umur tanaman, epidemik penyakit dapat terjadi pada berbagai fase tanaman antara lain pada fase awal pertumbuhan, pada fase pematangan dan pengusangan, dan pada fase masih sangat muda dan setelah mencapai fase pematangan (Sinaga 2003).

(36)

16

serangga juga memerankan peranan yang penting dalam penyebaran, penularan, pembiakan, dan pertahanan patogen. Semakin efisien serangga sebagai vektor penularan dan penyebaran patogen maka semakin besar kemungkinan terjadinya epidemi. Selain ketiga faktor yang membantu penyebaran patogen, manusia merupakan agen penyebaran patogen yang paling efektif dibandingkan yang lain. Hal ini karena manusia dapat mengatasi barier alam yang membatasi agen penyebaran yang lain (Semangun 1996). Manusia selain efektif sebagai pengintroduksi patogen baru, beberapa aktivitas manusia secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Aktivitas tersebut antara lain: seleksi lokasi dan persiapan, seleksi bahan tanaman, teknik budidaya, dan teknik pengendalian penyakit (Sinaga 2003).

(37)

PEMBAHASAN UMUM

Sampai saat ini penyakit hawar daun bakteri hanya menyerang bibit

tanaman A. crassicarpa di pembibitan Riau dan belum dilaporkan di tempat

pembibitan yang lain. Namun di awal tahun 2006 gejala penyakit yang sama

ditemukan pada bibit tanaman A. mangium meskipun kerusakan yang

ditimbulkannya tidak parah dan tidak berkelanjutan seperti pada A. crassicarpa.

Hal ini karena sebelum gejala menyebar lebih lanjut telah dilakukan eradikasi.

Ada sedikit perbedaan gejala yang nampak pada pada bibit tanaman

A. mangium jika dibandingkan dengan A. crassicarpa yakni hawar pada

A. mangium terlihat lebih basah dan A. crassicarpa hawarnya kering. Dengan

ditemukannya penyakit hawar daun bakteri ini pada spesies tanaman A. mangium

maka penyakit ini tidak lagi inangnya spesifik hanya pada A. crassicarpa. Hal ini

kemungkinan karena di pembibitan A. mangium ada bibit A. crassicarpa yang

diletakkan bersebelahan dengan A. mangium. Penyakit hawar daun bakteri pada

bibit tanaman A. crassicarpa telah muncul akhir tahun 2003 sehingga seiring

dengan berjalannya waktu bakteri patogen juga mengalami evolusi bersama-sama

dengan tanaman. Dengan demikian meskipun awalnya tidak menyerang tanaman

A. mangium namun kemungkinan dengan terbentuknya strain baru dari patogen

hasil evolusinya maka berhasil menginfeksi tanaman A. mangium.

Jika diamati koloni dari isolat yang diisolasi dari daun bibit tanaman

A. crassicarpa dan A. mangium maka warna koloni dari isolat A. mangium kuning

muda pada awalnya. Setelah beberapa kali subkultur dan mengalami penyimpanan

dalam gliserol maka warna koloninya sama dengan isolat dari A. crassicarpa pada

umumnya (berwarna kuning).

Penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa ditandai

dengan munculnya garis kecil berwarna merah berukuran kurang lebih 1-3 mm

baik pada daerah ujung daun, bagian tengah daun, bagian pangkal daun atau

variasinya pada bibit yang berumur 5-6 minggu. Jika faktor lingkungan

mendukung garis akan berkembang memanjang sejajar dengan tulang daun dan

berubah warna menjadi merah kecoklatan. Garis selanjutnya berubah menjadi

(38)

111

penyakit tahap akhir garis dapat menyatu dan kering sehingga terbentuk hawar.

Perkembangan penyakit dari gejala awal sampai terbentuk hawar membutuhkan

waktu lebih kurang satu sampai dua minggu. Perkembangan penyakit ini sangat

dipengaruhi oleh faktor lingkungan khususnya curah hujan. Jika curah hujan

tinggi (>20 mm/hari) maka perkembangan penyakit cepat sehingga hawar

terbentuk kurang dari 2 minggu.

Isolat murni hasil isolasi bakteri dari daun bibit tanaman A. crassicarpa

benar-benar merupakan bakteri yang bertanggung jawab terhadap terjadinya

penyakit hawar daun. Hal ini didukung oleh hasil uji Postulat Koch yang telah

dilakukan yakni patogen ditemukan berasosiasi dengan tanaman sakit yang diuji

(A. crassicarpa), patogen dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai kultur murni

pada media YDCA atau NA, patogen dari kultur murni tersebut diinokulasikan

pada tanaman A. crassicarpa sehat dan menghasilkan penyakit yang sama pada

tanaman yang diinokulasikan meskipun gejalanya tidak separah seperti di lapang,

dan terakhir adalah patogen dapat diisolasi kembali sebagai kultur murni dengan

karakteristik yang sama seperti isolasi pertama.

Hasil identifikasi baik secara non-molekuler maupun molekuler

membuktikan bahwa isolat bakteri patogen yang diisolasi dari daun yang

terinfeksi hawar termasuk ke dalam spesies Xanthomonas campestris.

Karakteristik fenotipiknya antara lain sel berbentuk batang dengan ukuran 0,5-0,7

x 0,8-1,7 µm (menggunakan mikroskop elektron), bersifat gram negatif,

pertumbuhan aerobik, tidak menghasilkan pigmen fluoresens, koloni berwarna

kuning dan mukoid pada media YDCA, dapat tumbuh pada suhu 33-35 ºC, dapat

menghidrolisis pati, dapat menghidrolisis esculin, dapat melisiskan protein,

bersifat alkalin, memproduksi asam dari arabinose, dan dapat menggunakan

senyawa gliserol dan melibiose. Kriteria ini sesuai untuk genus dan spesies

Xanthomonas campestris. Untuk nama patovarnya diusulkan acaciae karena

disamping dapat menimbulkan penyakit pada Acacia crassicarpa juga dapat

menginfeksi Acacia mangium. Dengan demikian nama lengkap yang diusulkan

untuk spesies bakteri yang menginfeksi daun bibit A. crassicarpa dan dapat

(39)

112

Karakterisasi molekuler dengan menggunakan sekuensing gen 16S rRNA

dan penelusuran sekuen dengan menggunakan program BLAST didapatkan hasil

yang sama dengan karakterisasi secara non-molekuler yakni Xanthomonas

campestris dengan tingkat kesamaan ≥90 %. Jika dibandingkan kesamaan

Xanthomonas campestris pv. acaciae dengan patovar Xanthomonas campestris

maupun dengan Xanthomonas sp. yang lain yang ada di GeneBank tinggi juga

berkisar antara 90-93 %. Dengan demikian bakteri patogen yang didapatkan dari

hasil isolasi daun bibit tanaman A. crassicarpa yang terinfeksi hawar merupakan

patovar baru meskipun tingkat kesamaannya tinggi.

Sejak kemunculan penyakit hawar daun bakteri pada pembibitan tanaman

A. crassicarpa akhir tahun 2003 di Riau telah berulangkali terjadi epidemi

penyakit hawar daun bakteri ini. Pengertian epidemi penyakit tumbuhan menurut

orang awam adalah terjadinya ledakan penyakit yang mendadak dalam jumlah

yang besar pada suatu area. Padahal menurut ahli fitopatologi tidaklah demikian

halnya. Epidemi penyakit merupakan pertambahan penyakit dalam populasi

tumbuhan baik pertambahannya sedikit atau banyak, lambat ataupun cepat.

Karenanya, ahli fitopatologi selalu memonitor perkembangan dan pertambahan

penyakit di lapang sehingga bila diperlukan tindakan segera dapat diambil.

Faktor yang memicu terjadinya epidemi penyakit tumbuhan adalah interaksi

antara inang, patogen, dan faktor lingkungan. Jika salah satu faktor tidak

mendukung maka epidemi penyakit tidak akan terjadi. Beberapa telah dicoba

untuk diamati sehubungan dengan epidemi penyakit hawar daun bakteri pada

pembibitan tanaman A. crassicarpa ini baik yang menyangkut patogennya,

inangnya, maupun faktor lingkungannya.

Kultur teknis yang diterapkan di pembibitan A. crassicarpa dapat

mempengaruhi baik pertumbuhan bibit maupun penyakit hawar daun bakteri.

Secara umum penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa di

pembibitan Riau pada tahun 2007 mengalami penurunan dibandingkan tahun

2004. Hal ini didukung oleh fakta dengan munculnya gejala awal penyakit yang

lebih lambat, kejadian dan keparahan penyakit yang menurun. Penurunan ini

disebabkan oleh diterapkannya pengendalian secara terpadu khususnya dari segi

(40)

113

75% cocopeat dan 25% peat compost), pemupukan (M-phospat dan NPK

hidrokompleks), jarak antar tabung dalam baki (penjarangan tanaman dengan

pengosongan selang seling tiap baris), jenis tabung yang dipergunakan (lebih

banyak yang hanya berlubang di bagian bawah atau poly tube), perlakuan sumber

air penyiraman (penambahan sodium hipoklorid), sanitasi lingkungan (membuang

bagian tanaman yang terserang penyakit, perbaikan drainase, penyemprotan

dengan bakterisida, dan penempatan bak cuci kaki yang sudah ditambahkan

sodium hipoklorid), lamanya bibit dalam naungan (seminggu lebih lama), dan

sistim penyiraman (penggunaan sistim boom). Perubahan penggunaan media

tanam, jenis tabung, dan pemupukan mendorong pertumbuhan bibit lebih baik

sehingga disamping bibit lebih tahan terhadap penyakit juga dapat dipindah ke

lapang 3 minggu lebih cepat dari biasanya. Perlakuan lainnya lebih

menitikberatkan pada memperlambat atau mencegah perkembangan dan

penyebaran penyakit hawar daun. Lebih tahannya bibit tanaman karena

pertumbuhan yang lebih baik, tertekannya penyebaran dan perkembangan

penyakit pada akhirnya akan menurunkan kejadian dan keparahan penyakit hawar

daun bakteri di pembibitan sehingga kebutuhan bibit A. crassicarpa di lapang

dapat terpenuhi.

Hasil penelitian dari segi patogennya menunjukkan bahwa sumber inokulum

awal selalu ada di pembibitan A. crassicarpa. Ini terbukti dari terdeteksinya

bakteri patogen dari benih, media tanam (tanah gambut, sekam padi, serbuk

kelapa, kompos kelapa sawit), maupun sumber air penyiramannya (air irigasi,

boom, springkel) dengan populasi cukup tinggi yaitu 2,9 x 102 sampai 9,9 x 106

CFU/ml. Keberadaan inokulum awal yang cukup tinggi di sekitar tanaman inang

ini memberi peluang untuk terjadinya epidemi penyakit jika faktor lingkungan

lebih mendukung perkembangan dan penyebaran inokulum patogen namun

melemahkah pertumbuhan tanaman inang. Sistim penanaman dan pemeliharaan

bibit tanaman A. crassicarpa dari tahun 2004 sampai tahun 2007 telah banyak

mengalami perubahan. Pengelolaan yang menyeluruh terhadap penyakit hawar

daun bakteri di pembibitan telah dilakukan. Setidaknya usaha untuk

meminimalkan sumber inokulum awal telah dilakukan. Beberapa hal yang telah

(41)

114

media tanam yang digunakan yakni awal tahun 2007 telah diganti menggunakan

100% cocopeat atau 75% cocopeat dan 25% peat compost. Dengan beberapa

kelebihan yang dimiliki oleh media tanam ini maka lebih mendukung

pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik sehingga lebih tahan terhadap penyakit

hawar daun. Namun yang lebih penting menurut spesifikasinya media ini juga

bebas dari patogen tular tanah dan gulma karena merupakan medium bebas tanah

sehingga sumber inokulum awal dapat diminimalkan karena tidak terbawa media

tanam lagi. Untuk sumber air penyiraman beberapa hal juga telah dilakukan

diantaranya sumber air irigasinya sebelum disalurkan lebih lanjut ke sistim boom

atau springkel dari akhir tahun 2005 telah ditambahkan sodium hipoklorid untuk

sterilisasi airnya. Hal ini diharapkan dapat mengurangi sumber inokulum awal di

sekitar tanaman inang sehingga laju infeksi dapat ditekan. Untuk benih,

sebenarnya sudah dilakukan perlakuan benih sebelum benih disemaikan misalnya

perlakuan perendaman benih dengan bakterisida atau campuran bakterisida dan

fungisida, perendaman dengan air panas atau asam sulfat. Namun mungkin

perlakuan ini belum efektif, karena dari benih yang telah direndam dengan air

panas setelah diisolasi masih didapatkan bakteri patogen hawar daun meskipun

belum diidentifikasi sampai tingkat spesies namun dari morfologi koloninya sama

seperti yang diisolasi dari benih tanpa perlakuan perendaman air panas. Hal ini

kemungkinan patogen yang terbawa benih lokasinya tidak pada permukaan benih

tapi mungkin pada jaringan di bawah selubung benih atau pada bagian embrio.

Menurut Rennie (1998) secara umum kebanyakan patogen yang terbawa benih

secara pasif terbawa pada permukaan benih, namun ada juga lokasinya di bawah

jaringan selubung benih atau pada bagian embrio. Dengan demikian, meskipun

telah dilakukan sterilisasi permukaan tidak akan efektif menghilangkan inokulum

patogen yang ada jika lokasinya bukan pada permukaan benih. Karena itu sangat

penting untuk menggunakan benih yang bebas patogen sehingga sumber

inokulum awal dapat diminimalkan.

Hasil penelitian dari faktor lingkungan terutama curah hujan ternyata juga

berpengaruh terhadap penyebaran dan perkembangan inokulum patogen serta

ketahanan tanaman terhadap penyakit hawar. Perkembangan gejala penyakit pada

(42)

115

ditanam pada bulan Oktober-Desember 2006. Hal ini juga didukung dengan

persentase kejadian dan keparahan penyakit dari bibit yang ditanam pada bulan

April-Juni 2006 dan bulan Oktober-Desember 2006. Pada bibit yang ditanam pada

bulan April-Juni 2006 persentase kejadian penyakitnya 2 minggu lebih cepat

mencapai 100% dibandingkan bibit yang ditanam pada bulan Oktober-Desember

2006. Demikian juga dengan persentase keparahan penyakitnya, pada akhir

pengamatan (9 minggu setelah tanam) keparahan penyakit dari bibit yang ditanam

pada bulan April-Juni 2006 lebih tinggi dari bibit yang ditanam pada bulan

Oktober-Desember 2006. Hal ini berhubungan dengan curah hujan yang lebih

tinggi pada bulan April-Juni 2006 dibandingkan pada bulan Oktober-Desember

2006 yang penting bagi penyebaran atau diseminasi dari bakteri patogen hawar

daun. Dengan adanya percikan air hujan maka penyebaran inokulum bakteri

semakin cepat karena bakteri membutuhkan air untuk multiplikasi dan

penyebarannya ke daun yang sehat. Curah hujan yang tinggi juga menyebabkan

kelembaban yang tinggi, pada kelembaban udara yang tinggi ooze bakteri dalam

jumlah yang besar akan keluar dari permukaan daun tanaman yang terinfeksi

hawar. Dengan demikian penyebaran inokulum bakteri semakin tinggi dengan

adanya curah hujan yang tinggi. Kelembaban yang tinggi juga berpengaruh

terhadap pertumbuhan tanaman. Kelembaban yang terlalu tinggi berpengaruh

terhadap sukulentis tumbuhan sehingga ketahanan tanaman berkurang terhadap

patogen.

Jika ditinjau dari faktor inangnya, terjadinya epidemi penyakit hawar daun

bakteri ternyata bibit A. crassicarpa yang berasal dari biji daya tahannya terhadap

penyakit hawar daun bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan bibit asal stek. Hal

ini didukung dengan tertundanya kemunculan gejala awal pada bibit asal biji

yakni 2 minggu lebih lambat dibandingkan bibit asal stek. Perkembangan gejala

penyakit pada bibit asal stek lebih cepat dibandingkan dengan bibit asal biji.

Demikian pula dengan kejadian dan keparahan penyakit hawar daun bakteri juga

lebih rendah pada bibit asal biji dibandingkan dengan bibit asal stek. Beberapa hal

yang menyebabkan lebih tahannya bibit asal biji terhadap penyakit hawar daun

bakteri adalah kemungkinan masuknya atau penetrasi bakteri patogen pada daun

(43)

116

lewat lubang alami juga dapat melalui luka. Luka pada bibit asal stek berasal dari

daun yang dipotong 2/3 bagian dari atas sehingga terjadi pelukaan disepanjang

potongan daun tersebut. Bakteri patogen tanaman tidak dapat mempenetrasi

langsung tanaman yang tidak terluka dan hanya masuk melalui lubang alami dan

luka. Dengan keadaan inang yang lebih rentan, jumlah inokulum awal yang lebih

banyak, dan faktor lingkungan yang mendukung maka perkembangan penyakit

(44)

117

SIMPULAN UMUM DAN SARAN

SIMPULAN

Secara umum dari penelitian yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa hanya

menyerang di pembibitan Riau dan belum dilaporkan dari tempat lain.

2. Gejala awal penyakit muncul pada bibit tanaman berumur 5-6 minggu bisa

pada bagian pangkal, tengah, atau ujung daun atau kombinasinya dan

perkembangan gejalanya lengkap dalam waktu 1-2 minggu.

3. Secara umum bakteri patogen hawar daun pada media YDCA atau NA

koloninya berwarna kuning, bentuk bulat, penampakan basah, permukaan

halus, dan diameter koloni 1,0-2,0 mm.

4. Dengan uji Postulat Koch terbukti bahwa patogen yang diisolasi pertama

kali benar-benar merupakan penyebab dari penyakit hawar daun bakteri

pada pada bibit tanaman A. crassicarpa.

5. Berdasarkan identifikasi secara non-molekuler dan molekuler spesies

bakteri yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A.

crassicarpa adalah Xanthomonas campestris pv. acaciae.

6. Xanthomonas campestris dapat dideteksi baik pada benih, media tanam

maupun sumber air penyiraman bibit A. crassicarpa dengan jumlah

populasi berkisar antara 2,9 x 102 sampai 9,9 x 106 CFU/ml.

7. Kultur teknis berpengaruh terhadap munculnya gejala awal, kejadian dan

keparahan penyakit hawar daun bakteri pada pembibitan tanaman A.

crassicarpa.

8. Perkembangan penyakit, persentase kejadian dan keparahan penyakit hawar

daun bakteri lebih tinggi dan lebih cepat pada bibit yang ditanam pada

bulan April-Juni 2006 dibandingkan pada bulan Oktober-Desember 2006.

9. Gejala awal dan perkembangan gejala penyakit lebih lambat pada bibit asal

biji dibandingkan bibit asal stek. Demikian pula persentase kejadian dan

keparahan penyakit hawar daun bakteri lebih rendah pada bibit asal biji

(45)

118

SARAN

Dari keseluruhan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disarankan

beberapa hal sebagai berikut:

1. Uji Postulat Koch (khususnya uji patogenisitas) sebaiknya dilakukan di

pembibitan Riau, sehingga faktor lingkungan lebih mendukung

perkembangan penyakit.

2. Untuk lebih stabilnya hasil uji fisiologi dan biokimia, lebih baik jika

menggunakan Biolog kit.

3. Untuk isolat yang hasil uji fisiologi dan biokimianya belum stabil bisa di

sekuensing gen 16S rRNAnya atau dipotong dengan enzim restriksi

sehingga jelas spesiesnya.

4. Diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap benih A. crassicarpa untuk

mengetahui lokasi dari inokulum bakteri patogen hawar daun dan cara

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Agus R. 2002. Kursus singkat teknik dasar preparasi DNA genom pada organisme prokariotik (Teknik elektroforesis DNA). Kerjasama FMIPA Universitas Hasanuddin Makasar dengan Bagro Pengembangan dan Peningkatan SDM, DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Fourth edition. Academic Press. Inc. San diego California.

Alizadeh A, Arlat M, Sarrafi A, Barrault G. 1997. Restriction fragment length polymorphism analyses of Iranian strains of Xanthomonas campetris from cereals and grasses. Plant Dis. 81:31-35.

Alvarez AM. 2004. Integrated approches for detection of plant pathogenic bacteria and diagnosis of bacterial diseases. Annu. Rev. Phytopathol 42: 339-366.

Andes HEP. 1998. Efektifitas inokulasi fungi ektomikorisa Pisolithus tintorius dan Scleroderma columnare dan fungi endomikorisa campuran terhadap pertumbuhan semai Acacia crassicarpa pada media tanah podzolik merah kuning. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Babadoost M. 2000. Bacterial diseases of beans. Department of Crop Science. University of Illionis. Urbana-Champaign. http://web.aces.uiuc.edu/vista/ pdf_pubs/921.pdf (Kamis, 25-10-2007).

Bavykin SG, Yuri PL, Vladimir Z, John JK, Joany J, David AS, Alexey C. 2004. Use of 16S rRNA, 23S rRNA, and gyrB gene sequence analysis to determine phylogenetic relationships of Bacillus cereus group microorganism. Journal of Clinical Microbiology 42(8): 3711-3730.

Beattie GA, Lindow SE. 1999. Bacterial colonization of leaves: A spectrum of strategies. Phytopathology 89: 353-359.

Berg T, Tesoreiro L, Hailstones DL. 2005. PCR-based detection of Xanthomonas campetris patovars in Brassica seed. Plant Pathology 54: 416-427.

Bodman SB von, Bauer WD, Coplin DL. 2003. Quorum sensing in palnt-pathogenic bacteria. Annu. Rev. Phytopathol 41: 455-482.

Gambar

Gambar 1. Bagan kerangka alur penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan nilai absorbansi untuk pita spektrum inframerah pada bilangan gelombang 1670,35 cm -1 pada spektrum kitin hasil ekstraksi dengan 1661,50 cm -1 pada

Jo yksinkertainen kuntien väkilukujen vertailu kuitenkin osoittaa, että väestökehitys on hyvin epätasaista (ks. kuvio 1), jolloin myös väestön ja kunnan henkilöstön

Hasil analisis menunjukkan : (1) Tingkat Partisipasi pada Kelompok Tani Mekar Bakti 3 sebagai anggota baik itu partisipasi dalam pengambilan keputusan, dalam permodalan

Sedangkan pada seseorang yang memiliki pengetahuan rendah akan mengalami kebimbangan atau kebingungan karena kurang mengetahui hal-hal apa saja yang dilakukan untuk

Secara tektonik mineralisasi kromit di daerah Dosay terjadi dan terbentuk dari mineralisasi batuan induk ultrabasa dari kelompok Ofiolit Pegunungan Cycloop, yang

Berdasarkan penjelasan mengenai kondisi perbankan di Indonesia tersebut mengindikasikan adanya gap antara kondisi di Indonesia yang menunjukkan peningkatan pendapatan nonbunga

Investasi yang berorientasi padat karya akan berakibat pada semakin besarnya penyerapan tenaga kerja dibandingkan dengan investasi padat modal (Icovoiu, 2012 : 38).

Aspek teknis : Upaya pengolahan limbah padat medis dengan menggunakan insinerator RSUD Ponorogo untuk melayani limbah padat medis dari RSUD Ponorogo dan