Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)
Oleh
Ridho Abdi Winahyu NIM: 1006033201190
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iii
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
menganugerahkan nikmat Islam dan Iman. Shalawat dan salam semoga senantiasa
dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul pembawa misi pembebasan
dari pemujaan terhadap berhala, Rasul dengan misi suci untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia. Semoga kesejahteraan senantiasa menyelimuti keluarga dan
sahabat Nabi beserta seluruh ummat Islam.
Dengan tetap mengharapkan pertolongan, karunia dan hidayah-Nya,
alhamdulillah penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk
melengkapi salah satu syarat memperolah gelar sarjana dalam Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, dengan judul: “Politik Pencitraan Partai Gerindra terhadap Prabowo Subianto pada Pilpres 2009.”
Penulis menyadari, penyusunan skripsi ini tentunya tidak bisa lepas dari
kelemahan dan kekurangan serta menjadi pekerjaan yang berat bagi penulis yang
jauh dari kesempurnaan intelektual. Namun, berkat pertolongan Allah SWT dan
bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya
kepada:
Bapak Prof. DR. Bahtiar Effendy, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Bapak Ali Munhanif, Ph. D. sebagai kepala Jurusan Ilmu Politik yang
Bapak M. Zaki Mubarak, M. Si. sebagai Sekertaris jurusan Ilmu Politik, dengan
semangat dan masukan yang bapak berikan membuat penulis termotivasi untuk
mneyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Bapak Idris Thaha, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan
sabar dan bijak terus membimbing, menasehati dan mengarahkan penulis untuk
menghasilkan karya terbaik yang penulis miliki. Penulis mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Kepada dosen-dosen
Jurusan Ilmu Politik yaitu Bapak Saleh, Bapak Agus, Ibu Suryani, Ibu Haniah
Hanafie, Ibu Ghefarina Djohan, dan dosen-dosen Ilmu Politik yang lainnya yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu namanya. Selanjutnya, penulis mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Jajang dan para staf ilmu politik atas kemudahan dan
keramahan dalam membantu administrasi akademik dan skripsi penulis.
Bapak Adam Muhammad, ST, sebagai Wakil Kepala Sekretariat DPP
Partai Gerindra dan Bapak Wendra Wizar sebagai Sekretaris Redaksi GEMA
Indonesia Raya , yang telah menjembatani penulis untuk bertemu dengan Bapak
Fadli Zon, SS, MSc sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Politik dan Keamanan
DPP Partai Gerindra. Penulis ucapkan terima kasih atas bantuan yang telah
diberikan kepada penulis untuk mendapatkan data-data dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Wahino Widiantoro dan Ibunda
Kuswandari, Spd terima kasih atas kasih sayang, bimbingan dan motivasi yang
tak kenal henti dari mereka berdua sehingga penulis mampu mengenyam
pendidikan yang layak untuk bekal masa depan. Sebagai wujud terima kasih,
khususnya, senantiasa penulis harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.
Terima kasih juga untuk adikku Rizka Ayustinandini yang telah memberikan
semangat kepada penulis, teruslah berjuang sampai titik darah penghabisan.
Terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Politik tahun 2006/2007 yaitu Haikal,
Haris, Hasyim, Hadi, Irdia, Rahmat, Thoriq, Eko, Anwar, Hawasi, Aryo, Fikri,
Yebi, Bara, Rikih dan kawan-kawan sekelas lainnya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu namanya.
Terima Kasih kepada pengurus Sanggar Kreatif Anak Bangsa (SKAB) dan
pengurus PAUD Delima Jaya yang selalu memberikan semangat kepada penulis
dalam membuat skripsi. Terimakasih juga kepada Siti Masitoh yang menjadi
teman seperjuangan penulis dan Rijal yang telah meminjamkan laptopnya. Dan
buat calon istri Silmy Adiyati yang telah meminjamkan hati, pikiran, dan
tenaganya untuk mempermudah penulis dalam menyusun skripsi. Tak lupa
penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Firdaus Alamhudi atas motivasi
dan bimbingannya.
Akhirnya penulis ucapkan terima kasih banyak kepada seluruh komponen
yang telah berjasa memberikan kontribusinya, semoga Allah SWT membalas
segala kebaikan amal budi baik mereka dengan sebaik-baiknya balasan. Dan
skripsi ini walaupun masih banyak kekurangan semoga dapat bermanfaat bagi kita
semua. Aamiin.
Jakarta, 26 September 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ………...…………i
HALAMAN PERNYATAAN ………..………ii
KATA PENGANTAR ……….………iii
DAFTAR ISI ………...……vi ABSTRAKSI ………..…..…ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………..…..………..1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….………...11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..…………12
D. Metode Penelitian………..…………13
E. Sistematika Penulisan………..……..14
BAB II KERANGKA TEORI POLITIK PENCITRAAN A. Politik Pencitraan……….….…….19
B. Komunikasi Politik……….….…..….23
C. Wacana Politik………...27
D. Kampanye Politik……….…..34
E. Media Massa dalam Politik Pencitraan……….….……40
1. Iklan Politik………...…….43
BAB III SEKILAS TENTANG PARTAI GERINDRA DAN PRABOWO SUBIANTO A. Sejarah Singkat Partai Gerindra………..….….50
B. Visi dan Misi, AD/ART, dan Struktur Organisasi Partai Gerindra…...56
C. Potret Prabowo Subianto………...…...…..62
1. Biografi Prabowo Subianto………..…...…..63
2 Kontroversi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia………66
3. Kiprah Politik Prabowo Pasca Orde Baru………...……..68
BAB IV POLITIK PENCITRAAN PARTAI GERINDRA TERHADAP PRABOWO SUBIANTO PADA PILPRES 2009 A. Peran Partai Gerindra dalam Politik Pencitraan Prabowo Subianto….….72 B. Langkah-langkah Strategi Politik Partai Gerindra dalam Melakukan Politik Pencitraan Prabowo Subianto………..………...…………...73
1. Komunikasi Politik Partai Gerindra dalam Politik Pencitraan Prabowo Subianto………75
2. Mengembangkan Wacana Ekonomi Kerakyatan sebagai Strategi Politik Pencitraan Prabowo Subianto………..77
3. Partai Gerindra dalam Mengkampanyekan Politik Pencitraan Prabowo Subianto………..…….…….80
4. Penggunaan Media Massa dalam Politik Pencitraan Prabowo Subianto………86
5. Mengkonstruksi Citra Prabowo Subianto Melalui Iklan Politik………...…89
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……….…..93
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Pustaka………..97
LAMPIRAN – LAMPIRAN A. Print Screen dan Foto Dokumentasi...102
1. Print Screen Website Pribadi Prabowo Subianto...102
2. Print Screen Website Partai Gerindra...102
3. Print Screen Video Iklan Politik Prabowo Subianto...103
4. Foto Dokumentasi Kampanye Politik Partai Gerindra dan Prabowo Subianto Pada Pemilu 2009...103
5. Poster Kampanye Koalisi Mega-Prabowo Pada Pemilihan Presiden 2009...104
6. Foto Buku Prabowo Subianto “Membangun Kembali Indonesia Raya”...104
7. Foto Majalah Tani Merdeka...105
8. Foto Dokumentasi Penulis dengan Narasumber (Fadli Zon)...105
B. Deklarasi Partai Gerindra...106
C. Susunan Pengurus Partai Gerindra………...107
ix ABSTRAKSI
Partai Gerindra merupakan bagian dari 18 partai politik baru yang ikut pemilu 2009, dan mengusung figur kontroversial Prabowo Subianto sebagai capresnya. Kondisi tersebut menempatkan Partai Gerindra pada dua masalah sekaligus. Pertama, berada dalam posisi limited populerities (popularitas terbatas), dikarenakan posisinya sebagai partai yang relatif baru. Kedua, berkaitan dengan persepsi publik terhadap capres yang diusung Partai Gerindra (Prabowo Subianto), sebagai figur kontroversial. Mengusung figur kontoversial di panggung politik bukanlah pekerjaan mudah, sebab di dalam politik, citra politik kandidat sangat diperhitungkan oleh konstituen. Oleh karena itu, Partai Gerindra memerlukan intensitas kerja yang tinggi, profesionalitas, serta perencanaan yang matang agar konstruksi citra positif pada figur politik yang diusungnya (Prabowo Subianto) bisa kembali diterima oleh masyarakat.
Dalam skripsi ini penulis merumuskan masalah sebagai acuan penulis, adapun rumusan masalahnya adalah apa yang dilakukan Partai Gerindra dalam membangun politik pencitraan Parabowo Subianto pada pilpres 2009. Perumusan masalah itu dijabarkan dengan menggunakan metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan jenis penelitiaan kualitatif. Penelitian kualitatif ini menggunakan teknik wawancara individu intensif (mendalam). Wawancara mendalam didasarkan pada sebuah panduan wawancara, pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan penyelidikan informal untuk memfasilitasi diskusi tentang isu-isu dengan cara yang setengah terstruktur atau tidak terstruktur. Pertanyaan terbuka digunakan untuk memungkinkan terwawancara berbicara panjang lebar mengenai sesuatu topik. Selain data dari wawancara mendalam, penelian ini menggunakan data-data dari buku beserta artikel yang berhubungan dengan AD/ART partai Gerindra, catatan pemerintah, media massa, internet, dan sumber lain yang relevan dengan penelitian.
1 A. Latar Belakang Masalah
Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) merupakan bagian dari 18
partai politik baru pada pemilu 2009.1 Partai ini (Gerindra) dideklarasikan secara
resmi pada 6 Februari 2008.2 Salah satu faktor yang melatarbelakangi
didirikannya Partai Gerindra adalah sebagai respon terhadap kondisi sosial,
politik, dan ekonomi yang dianggap semakin melemah. Bahkan menurut para
inisiator Partai Gerindra, upaya yang dilakukan para pemegang kebijakan dalam
membangun bangsa justru terjebak pada arus ekonomi pasar, sehingga yang
terjadi malah kemunduran sistem perekonomian kita (Indonesia) dan kehidupan
masyarakat malah menjadi lebih sulit.3 Maka dari itu, ide untuk mendirikan partai
politik oleh para elit Partai Gerindra menjadi sebuah keniscayaan.
Pokok-pokok perjuangan platform4 yang ditawarkan oleh Partai Gerindra
tidak berbeda dengan partai politik di Indonesia yaitu mencakup beberapa sektor
diantaranya adalah di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, pertanian dan
perikanan, lingkungan hidup, sosial dan budaya, hukum dan HAM (Hak Asasi
Manusia), pertahanan dan keamanan, otonomi daerah, politik luar negeri,
1
Selanjutnya, menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 38 partai politik dan 6 partai lokal di Aceh yang bisa lolos menjadi peserta pemilu 2009. Kemudian dari 38 partai tersebut, terdapat 18 partai politik yang benar-benar baru dan kompetisi pada pemilu 2009 merupakan pengalaman pertamanya. Lihat, Arief Mujayatno, Gagalnya Upaya Penyederhanaan Jumlah Parpol, artikel diakses pada 15 Agustus 2011 http://www.antaranews.com/view/?i=1215515162&c=ART&s=
2
DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Tanya Jawab Seputar Partai Gerindra, (Jakarta: Gerindra, 2008), h. 3.
3Ibid. 4
perburuhan, pengembangan riset, teknologi dan sebagainya.5 Dengan adanya
perhatian terhadap masalah tersebut (sebagaimana tercantum di dalam platform
Gerindra), Partai Gerindra yakin bahwa berbagai masalah sosial di Indonesia akan
mudah teratasi.
Meskipun keberadaan Partai Gerindra masih baru di kancah perpolitikan
nasional, namun Partai Gerindra memiliki perhatian yang tinggi terhadap
perubahan system dan pendekatan dalam pembangunan ekonomi. Pendekatan
yang dilakukan Partai Gerindra adalah dengan mengganti pendekatan neo-liberal
dengan pendekatan ekonomi kerakyatan.6
Gagasan ekonomi kerakyatan yang ditawarkan Partai Gerindra
diaplikasikan melaluli berbagai kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan seperti
melaksanakan pelatihan keberbagai daerah, melakukan penyuluhan terhadap para
pedagang tradisional serta mempererat relasi dengan berbagai
organisasi-organisasi ekonomi.7 Orientasi dari usaha yang dibangun tersebut ialah untuk
meperoleh pengertian, kepercayaan, penghargaan, mengembangkan citra positif
partai, dari suatu badan khusus dan masyarakat pada umumnya.8 Organisasi yang
dekat dengan Gerindra diantaranya adalah APPSI (Asosiasi Pedagang
SeIndonesia), HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), terlebih lagi
Prabowo Subianto secara personal memiliki kedekatan dengan kedua organisasi
tersebut.9
5
DPP Partai Gerindra, Tanya Jawab, h. 19-39. 6
A. Pambudi, Kalau Prabowo Jadi Presiden, (Jakarta: Penerbit Narasi, 2009), h. 124. 7
DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Acuan Kampanye Menejemen Pemasaran Partai Politik: Strategi Pemenangan Pemilu 2009,(Jakarta: Gerindra, 2008), h. 40-42.
8Ibid, 9
Dalam kampanye politik pada pemilu (pemilihan umum) 2009, Partai
Gerindra mengangkat isu ekonomi kerakyatan sebagai bagaian dari produk
politiknya. Hal ini terlihat pada tulisan Prabowo Subianto yang berjudul
“Membangun Kembali Kemakmuran Indonesia Raya, Delapan Program Aksi
untuk Kemakmuran Rakyat”, delapan aksi yang dimaksud semua berisi masalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi kerakyatan.10
Pemilu 2009 merupakan ajang pertama Partai Gerindra menjadi kontestan
politik di pentas nasional. Berbekal kerja keras para elit partai, kharismatik
ketokohan, serta dukungan finansial yang cukup tinggi hingga mencapai 15 Miliar
untuk biaya oprasional kepartaian, maka Partai Gerindra tergolong sebagai partai
yang diperhitungkan oleh kontestan lainnya (partai peserta pilpres 2009).11
Termasuk oleh partai-partai besar yang telah lebih dahulu berkecimpung di politik
Indonesia, seperti Golkar (Partai Golongan Karya), PDIP (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan), maupun Partai Demokrat.
Perolehan kursi di legislatif yang di dapat Partai Gerindra pada pemilu
2009 merupakan bukti rill kekuatan Partai Gerindra. Berkisar 26 kursi (4,8 %)
DPR dari 560 kursi (100 %) yang diperebutkan berhasil diperoleh oleh Partai
Gerindra.12 Jumlah ini merupakan prestasi yang luar biasa untuk kategori partai
baru dan sekaligus menempatkan Partai Gerindra pada posisi setrategis dalam
persaingan antar partai.
Mohammad Choiruman, Dana Kampanye Gerindra Paling Besar, Rp 15 Miliar, artikel diakses pada 15 Agustus 2011 http://forum.detik.com/ t90781.html.
12 Inke Suharni, “Humas dal
am Kompanye Politik: Studi Partai Gerindra Menghadapi
pemilu 2009,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Faktor keberhasialan Partai Gerindra pada pemilu 2009 tidak hanya
dipengaruhi oleh kehebatan dalam menajemen pemasaran partai, atau besarnya
ketersediaan finansial saja. Hal lain yang penting diperhatikan adalah keberadaan
figur politik sekelas Prabowo Subianto di dalam kepengurusan partai tersebut
(Gerindra). Kehadiran Prabowo berpengaruh besar terhadap peningkatan
popularitas partai. Inilah yang menjadi salah satu inisiatif Partai Gerindra
mengusung Prabowo Subianto sebagai salah satu figur utama politiknya. Telah
umum ketahui bahwa Prabowo Subianto adalah figur kontroversial yang telah
berpengaruh sejak reformasi awal 1998, maka Prabowo Subianto sedikit banyak
telah dikenal publik. Realitas seperti ini memberikan keuntungan bagi Partai
Gerindra untuk mendongkrak popularitas partai serta kandidatnya (Prabowo
Subianto).13
Dalam pilpres (pemilihan presiden) maupun pilkada (pemilihan kepala
daerah) langsung, kepopuleran sangat mendominasi dan menentukan bagi
pilihan-pilihan yang dilakukan oleh rakyat.14 Selain itu garis ideologis Prabowo Subianto
memiliki kesamaan visi dan misi dengan Partai Gerindra yaitu memperjuangkan
konsep ekonomi kerakyatan.15 Paling tidak, inilah yang menjadi alasan Partai
Gerindra mengusung Prabowo Subianto sebagai figur politik dan capresnya pada
pilpres 2009.
13
Selanjutnya, sepuluh tahun sejak reformasi 1998, Prabowo Subianto masih memiliki popularitas. Survei yang dilakukan Pride Indonesia (Political Research Institute For Democracy) periode Juni-Juli 2008 menunjukan bahwa Prabowo meraih popularitas paling tinggi. Survei ini ditujukan untuk mengetahui tingkat popularitas para mantan tentara dan polisi. Sebanyak 89,9 % responden mengaku mengenal nama Prabowo. Berturut-turut eks militer yang dikenal publik adalah Adang daradjatun (78,3%), Sutanto (75,3 %), Mardiyanto (50,4%), Ryamizard Ryacudu (49,2%). Lihat, A. Pambudi, Kalau Prabowo Jadi Presiden, h. 139.
14
Pahmy Sy, Politik Pencitraan, ( Jakarta: Gaung Persada Pers 2010), h. 37. 15
Sepak terjang Prabowo di belantika politik Indonesia memang penuh
dengan kontroversial, berbagai spekulasi negatif tidak jarang dilontarkan pada
pribadinya, terutama isu tentang pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia).16
Kemudian Prabowo Subianto pernah menjadi bagian dari keluarga penguasa
otoriter yaitu mantan presiden Soeharto. Posisi Prabowo sebagai bagian dari
mantan keluarga Soeharto jelas berpengaruh pada citranya sebagai figur politik.
Mengusung figur kontoversial di panggung politik bukanlah pekerjaan
mudah, sebab di dalam politik, citra politik kandidat sangat diperhitungkan oleh
konstituen. Oleh karena itu, Partai Gerindra memerlukan intensitas kerja yang
tinggi, profesionalitas, serta perencanaan yang matang agar konstruksi citra positif
pada figur politik yang diusungnya (Prabowo Subianto) bisa kembali diterima
oleh masyarakat. Upaya membangun citra agar sampai di masyarakat sesuai
dengan apa yang diharapkan, maka diperlukan adanya komunikasi politik.
Komunikasi politik di sini dipahami sebagai usaha terus-menerus oleh
suatu partai untuk melakukan komunikasi yang bersifat dialogis maupun
monologis dengan masyarakat. Komunikasi politik yang dibangun tidak hanya
berisifat temporal (dilakukan hanya pada waktu kampanye politik), melainkan
melekat juga pada pemberitaan dan publikasi atas apa saja yang telah, sedang, dan
akan dilakukan oleh partai politik bersangkutan. Tujuan dari komunikasi politik
ini menciptakan kesamaan pemahaman politik (misalnya pesan, permasalahan,
16
isu, kebijakan politik) antara satu partai politik dengan masyarakat.17 Apabila
proses komunikasi ini dibangun, maka konstruksi citra (image) akan terbentuk
pada masyarakat.18
Keputusan Partai Gerindra mengusung figur Prabowo Subianto sebagai
kandidat Presiden pada pemilu 2009, tentunya membutuhkan strategi politik yang
baik. Karena telah menjadi rahasia umum bahwa Prabowo memiliki latar
belakang sejarah yang bermasalah (kasus HAM) pada saat dia masih aktif di
militer, maka sedikit banyak telah mempengaruhi citra positifnya. Skripsi ini
berusaha mengangkat fenomena politik pencitraan Prabowo Subianto oleh Partai
Gerindra pada pilpres 2009. Dan penulis menggunakan sebagian dari metodelogi
marketing politik, seperti iklan politik (adverstising), pendekatan citra politik
(political image), untuk dijadikan sebagai salah satu kerangka teoritisnya.
Meskipun istilah marketing politik baru berkembang akhir-akhir ini, namun
aktifitas marketing dalam politik telah dilakukan sebelum kaum intelektual dan
akademisi mempelajarinya.19
Di Indonesia sendiri aktivitas marketing politik dijadikan strategi handal
untuk membangun citra dan popularitas partai maupun kandidatnya. Di dalam
17
Firmanzah Ph.D. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 242.
18
Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 176.
19
Selanjutnya, di Inggris pada pemilu 1929, aktivitas marketing politik (political Marketing) telah banyak dilakukan oleh partai politik Inggris. Partai Konservatif menjadi partai pertama yang menggunakan agen biro iklan (Holford-Bottomley Adverstising Service) dalam membantu mendesain dan mendistribusiakn poster dan pamfletnya. Lihat, Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, h. 149-150. Sementara Partai Buruh mulai menggunakan marketing nya pada saat diresmikanya departemen publikasi ditahun 1917 dan dibantu oleh agen publikasi Egerton Wake yang kemudian berperan aktif dalam kampanye Partai Buruh. Selain itu, media-media massa seperti TV, radio, koran juga turut mewarnai kehidupan politik di inggris. Media massa bernama Saatchi dan Saatchi sangat berperan dalam penciptaan
slogan “Labour isn’t Working” yang mampu mempengaruhi penurunan tingkat kepercayaan
massa Partai Buruh dan mengantarkan Parati Konservatif memenangkan pemilu di tahun 1979 .
konstelasi politik, citra dan popularitas menduduki posisi penting. Selain
bertujuan untuk menjaring suara konstituen, popularitas juga berperan sebagai
jalan untuk mengkonstruksi citra partai atau kandidat. Hasil studi Fritz Plasser e
al, menunjukan bahwa faktor pertama yang mempengaruhi peluang kandidat
untuk menang pemilu di Eropa adalah image atau citra.20 Citra sebagai kunci
kemenangan pemilu juga menjadi keniscayaan di Indonesia sejak pemilu 2004.
Citra adalah gambaran manusia mengenai sesuatu, atau jika mengacu pada
Lippman, citra adalah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang dan citra
tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya.21
Pentingnya citra diri dalam peta politik juga dikemukakan oleh Yasraf
Amir Piliang. Ia menyatakan:
“Dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh yang dibangun melalui
aneka media cetak dan elektronik seakan menjadi mantra yang menentukan pilihan
politik. Melalui mantra elektronik itu, maka presepsi, pandangan dan sikap politik
masyarakat dibentuk bahkan dimanipulasi. Ia juga telah menghanyutkan para elit politik
dalam gairah mengkonstruksi citra diri, tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas
sebenarnya. Politik kini menjelma menjadi politik pencitraan, yang merayakan citra
ketimbang kompetensi politik”.22
Berkaitan dengan Partai Gerindra, dari awal telah di singgung bahwa
Partai Gerindra merupakan partai baru dari 38 partai politik yang ikut pemilu
2009, dan mengusung figur kontroversial Prabowo Subianto sebagai Capres.
Kondisi tersebut menempatkan Partai Gerindra pada dua masalah sekaligus.
Pertama, berada dalam posisi limited populerities (popularitas terbatas),
dikarenakan posisinya sebagai partai yang relatif baru. Kedua, berkaitan dengan
20
Adam Nursal, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 75.
21
Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Ramaja Rosdaka, 2001), h. 223. 22
persepsi publik terhadap Capres yang diusung Partai Gerindra (Prabowo
Subianto), sebagai figur kontroversial. Kehadiran tokoh dalam partai juga
memiliki pengaruh besar terhadap politik pencitraan partai. Neil Postman, seorang
pedagang dan kritikus media mengatakan bahwa politik adalah bisnis. Dalam
masyarakat, citra, kesan dan penampilan luar adalah segalanya. Di Indonesia tipe
pemilih masih termasuk tradisional. Dalam politik tradisional, politik ditandai
oleh ketergantungan partai pada kharisma individu pemimpinnya. Realitas yang
diperoleh dari survei yang dilakukan majalah MIX-MarketingXtra menujukan,
citra yang dibangun oleh partai sebagian besar ditentukan oleh tokohnya.23 Oleh
kerena itu, wajar apabila Partai Gerindra sangat gencar melakukan pencitraan
tokoh dan promosi partai karena terdapat kecenderuangan simbiosis mutualistik
(saling menguntungkan) antara keduanya (Gerindra dan Parbowo).
Untuk merekam usaha politik pencitraan Prabowo Subianto oleh Partai
Gerindra pada pilpres 2009, bisa terlihat pada strategi kampanye Partai Gerindra
terutama melalui berbagai media massa. Dengan memanfaatkan kelebihan media
inilah Partai Gerindra mampu mempromosikan pesan, gagasan, ideologi,
pandangan politik, serta pencitraan figur Parbowo Subianto yang dikemas dalam
iklan politiknya.24
Hasil dari usaha politik pencitraan Prabowo oleh Partai Gerindra pada
pemilu 2009, mengalami peningkatan cukup baik atau dengan kata lain, Partai
23
Aruman, “Tirani Citra”, Majalah Mix Marketing Xtra, edisi 01/VI/12 Januari-8 Februari 2009, h 28.
24
Gerindra berhasil melakukan politik pencitraan tokoh Parbowo Subianto. Hasil ini
bisa dilihat pada hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI)
pada 2008. Berdasarkan Survei menyebutkan, simpati dan dukungan massa
terhadap Partai Gerindra beserta Prabowo pada Juni 2008 berada pada tingkatan
1,0 %. Namun, pada September dan November mengalami peningkatan menjadi
3,0 % dan 4,0 %. Kemudian hasil survei Cirus Surveior Group pada November
menunjukan, dukungan terhadap Gerindra sekitar 5,5 %.25
Di luar media, upaya pencitraan Prabowo tercermin pada keputusan Partai
Gerindra untuk berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Landasan paling fundamental
dari koalisi yang dibangun oleh kedua partai ini (Gerindra dan PDIP) ialah adanya
kesamaan ideologi nasionalis di antara keduanya. Dalam teori koalisi, corak
koalisi seperti ini disebut koalisi berbasis ideologi yang menekankan pentingnya
ideologi partai dalam pembentukan koalisi.26 Meraih kekuasaan dipemerintahan
bukanlah tujuan akhir politisi partai, tetapi sarana untuk menjalankan program
ideologis dan menerapkan berbagai kebijakan yang didasarkan pada ideologi.
Kemudian koalisi yang dibangun bertujuan agar membentuk pemerintahan yang
kompak.27
Dilihat dari target pemilih atau basis massa, kedua partai ini juga memiliki
kesamaan yaitu kalangan menengah ke bawah atau biasa di sebut wong cilik, yang
tinggal di pelosok desa maupun pelosok kota seperti kaum petani, nelayan, buruh
dan lainya. Identitas wong cilik yang sebelumnya identik dengan PDI Perjuangan,
kini mengalami perluasan. Partai Gerindra juga turut mempromosikan dirinya
25
Soempeno, Prabowo Berbintang Tiga: Dari Cijantung Bergerak ke Istana, h. 209. 26
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Stadi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, (Jakrta: Gramedia, 2009), h. 26.
sebagai bagian dari partai untuk masyarakat kecil atau wong cilik. Seperti
disebutkan oleh M. Asrian Mirza ketika memberikan argumentasinya mengenai
positioning Partai Gerindra mengatakan :
“Pencitraan partai baru, sebagai partai baru kita ingin memperkenalkan ini partai kita, partai kita adalah partai wong cilik, partai untuk petani, partai untuk pedagang pasar,
partai untuk nelayan, itu yang akan kita bela. Nah itu semua kita citrakan melalui media.
Ini yang membedakan perjuangan partai kita dengan partai lain. Kita memposisikan partai
kita sebagai partai wong cilik yang ingin memperjuangkan nasib rakyat kecil. Semuanya
berusaha kita rangkul”.28
Dari argumentasi ini semakin mempertegas bahwa Partai Gerindra
memposisikan dirinya sebagai partai untuk rakyat kecil (wong cilik). Pembelaan
terhadap rakyat kecil ini sekaligus menjadi positioning Partai Gerindra yang
bertujuan untuk memberikan kesan di benak masyarakat agar bisa membedakan
pesan-pesan yang berkaitan dengan nilai, visi, misi tujuan dan cita-cita politik
Partai Gerindra sehingga dapat diterima oleh masyarakat.29 Dengan positioning
masyarakat dapat membedakan karakterristik Partai Gerindra dengan partai lain
dan karakteristik partai menjadi image (citra) di mata msyarakat.
Berdasarkan analisa di atas, memberikan deskripsi bahwa pilpres 2009
merupakan ajang bagi Partai Gerindra untuk melakukan konstruksi image (citra)
ketokohannya (Parbowo Subianto), untuk proyek masa depan partai. Besarnya
28
Arifi Bambani Amri, “Kepak Syap Gerindra”. Artikel diakses 4 Agustus 2011 dari http://sorot.vivanews.com/news/read/27935-kepak_sayap_gerindra.
29
Positioning dalam marketing di definisikan sebagai semua aktivitas untuk menanamkan kesan di benak para konsumen agar mereka bisa membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi bersangkutan. Dalam positioning, atribut produk dan jasa yang dihasilkan akan di rekam dalam bentuk image (citra) yang terdapat dalam sistem kognitif konsumen. Dengan demikian, konsumen akan mudah mengidentifikasi dan membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dengan produk yang lainnya. Dalam konteks politik, pemahaman
suara yang diperoleh Partai Gerindra hingga mencapai 26 kursi (4,8 %) di DPR
dari 560 kursi (100 %) yang diperebutkan pada pemilu 2009. Serta meningkatnya
presentasi simpati publik terhadap Prabowo Subianto (LSI Juli 2008, 1,0 %.
September dan November 2008 3,0 % dan 4,0 %. Cirus Surveror. November
2008, 5,5 %), mengindikasikan bahwa Partai Gerindra telah berhasil membangun
citra (image) figur Prabowo Subianto di mata publik. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk meneliti lebih dalam fenomena politik pencitraan Prabowo Subianto
oleh Partai Gerindra. Judul yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah “Politik
Pencitraan Partai Gerindra terhadap Prabowo Subianto pada Pilpres 2009.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pesatnya arus perkembangan media informasi, serta diberikannya hak
masyarakat untuk dapat memilih secara langsung pemimpin nasional dan daerah
di legeslatif serta eksekutif, maka semakin memperketat persaingan antar partai
dan kandidatnya pada arena-arena politik. Realitas seperti ini menuntut hampir
semua institusi politik dan figur-figur politik untuk terjun secara langsung ke
masyarakat serta berupaya keras membangun citra politik yang baik, berwibawa,
populis, cerdas, bermoral dan lain-lain. Konstruksi citra yang dikembangkan di
percaya sebagai strategi positif untuk menarik simpati masyarakat. Sehingga
ketika pemilu digelar, masyarakat sudah dapat mengenali figur mana yang telah di
kenal dan akan dipilihnya.
Pemilu 2009 adalah ajang di mana aktivitas politik pencitraan begitu
mendominasi politik Indonesia. Fenomena ini bisa terlihat pada peningkatan
akan diselenggarakan. Hasil riset AC Nielsen dalam kuartal pertama pemilu 2009
memperlihatkan, Partai Golkar menempati posisi teratas dengan belanja iklan
sebanyak Rp. 185 Miliar dengan 16 ribu spot iklan. Kemudian disusul oleh Partai
Demokrat Rp. 123 Miliar dalam 11 ribu spot dan Partai Gerindra Rp. 66 Miliar
yakni 4 ribu spot iklan.30
Analisa Neilsen di atas, tidak hanya memprediksiakan partai-partai lama
yang sibuk melakukan pencitraan, namun terlihat jelas Partai Gerindra sebagai
kontestan baru pada pemilu 2009, turut terlibat didalamnya. Upaya Partai
Gerindra melakukan sebuah pencitraan dipengharuhi oleh adanya figur politik
Prabowo Subianto yang identik dengan figur kontroversial.
Agar pembahasan skripsi ini tidak melebar, penulis akan memfokuskan
pada penelitian tentang politik pencitraan Parbowo Subianto oleh Partai Gerindra
pada pilpres 2009. Maka dari itu, pertanyaan yang akan diteliti pada skripsi ini
adalah apa yang dilakukan Partai Gerindra dalam membangun politik pencitraan
Parabowo Subianto pada pilpres 2009. Itulah yang menjadi fokus perumusan
masalah dalam penelitian ini.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian skripsi ini penulis mencoba untuk mengetahui
bagaimana peran dan strategi politik Partai Gerindra dalam mengkonstruksi
reputasi image (citra) positif Prabowo Subianto yang dianggap buruk pada masa
lalu karena terkait isu-isu pelanggaran HAM dan kedekatannya dengan keluraga
Soeharto yang menjadi penguasa pada saat itu.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini untuk menambah wawasan mahasiswa pada
umumnya dan bagi penulis pribadi pada khususnya bahwa keberhasilan politik
pencitraan Prabowo Subianto tidak terlepas dari peran Partai Gerindra yang
menjadi instrumen untuk membentuk politik pencitraanya. Maka dari itu, perlu
kita ambil hikmah dari fenomena tersebut bahwa perlu adanya kerjasama yang
baik antara partai dengan figur yang akan diusungnya, sehingga pencitraan yang
dibentuk dapat diterima di benak masyarakat.
D. Metode Penelitian
Penelitian skripsi ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini lebih
memengedepankan kualitas data yang diperoleh. Metode penelitian kualitatif
menghasilkan data deskriptif . Analisis data dalam penelitian ini menggunakan
teknik pembahasan deskriptif analsis yaitu dengan memaparkan dan
menggambarkan serta menganalisa data-data yang diperoleh. Penelitian deskriptif
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku
dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu.
“Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku yang dapat diamati dari subjek itu sendiri.
Pendekatan ini menunjukan langsung dari seting itu secara keseluruhan. Subjek setudi
baik berupa organisasi, lembaga, atau pun individu tidak dipersempit menjadi variabel
yang terpisah atau menjadi hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari satu
keseluruhan”.31
31
Penelitian kualitatif ini menggunakan teknik wawancara individu intensif
(mendalam). Wawancara mendalam didasarkan pada sebuah panduan wawancara,
pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan penyelidikan informal untuk memfasilitasi
diskusi tentang isu-isu dengan cara yang setengah terstruktur atau tidak
terstruktur. Pertanyaan terbuka digunakan untuk memungkinkan terwawancara
berbicara panjang lebar mengenai sesuatu topik.32
Data wawancara dalam penelitian ini adalah narasumber dari Partai
Gerindra, Bapak Fadli Zon (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra). Selain data dari
wawancara mendalam, penelian ini menggunakan data-data dari buku beserta
artikel yang berhubungan dengan AD/ART partai Gerindra, catatan pemerintah,
media massa, internet, dan sumber lain yang relevan dengan penelitian.
Mengenai teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis mengacu sepenuhnya
pada buku standar penulisan skripsi untuk pedoman penulisan skripsi pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Desertasi) yang diterbitkan oleh
CeQDA (Center for Quality Development and Anssurance).
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisan ini menjadi lebih sistematis, maka penulis membagi isi
skripsi ini menjadi lima bab, tiap bab yang di dalamnya terdiri dari
beberapa sub-bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:
Penulisan ini di mulai dari bab pertama, yang menjelaskan latar belakang
masalah. Di mana di dalamnya mendeskripsikan usaha Partai Gerindra dalam
32
melakukan politik pencitraan Prabowo Subianto, latar belakang Partai Gerindra
mengusung Prabowo Subianto, sekilas menguraikan tentang figur Prabowo
Subianto, memotret fenomena koalisi antara Gerindra dengan PDI Perjuangan dan
mengidentifikasi Partai Gerindra sebagai partai wong cilik. Bab pendahuluan juga
berisikan pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.
Selanjutnya dalam bab kedua, berisi teori-teori politik yang berkenaan
dengan rumusan masalah yang hendak diteliti. Dalam penelitian ini penulis ingin
meneliti langkah_langkah strategi politik Partai Gerindra dalam melakukan politik
pencitraan terhadap Prabowo Subianto. Sehingga teori-teori yang penulis gunakan
diantaranya adalah teori politik pencitraan yang dalam substansi pembahasannya
berisikan pendekatan teori citra politik dan teori-teori pendukung seperti
komunikasi politik, wacana politik, dan kampanye politik. Selanjutnya
keterlibatan media massa sebagai penunjang saluran informasi dalam membentuk
pencitraan Partai Gerindra memiliki peran penting karena kecepatan informasi
yang didapatkan masyarakat melalui iklan-iklan politik, maka dari itu teori media
massa turut melengkapi pada pembahasan bab ini.
Selanjutnya pada bab ketiga, menjelaskan secara umum gambaran dari
Partai Gerindra sebagai partai baru pada pilpres 2009. Dari sejarah singkat
berdirinya Partai Gerindra, partai ini termasuk partai termuda di belantika politik
Indonesia. Partai Gerindra membawa visi-misi kerakyatan yang membedakan
partai ini dengan partai-partai lainnya. Bab ini menjelaskan sekilas tentang
menguraikan tentang profil Prabowo Subianto sampai pada kiprahnya di politik
pasca Orde Baru.
Kemudian pada bab keempat (isi), merupakan inti dari skripsi ini, penulis
akan menguraikan peran Partai Gerindra dalam melakukan politik pencitraan
Prabowo Subianto, serta strategi politik yang terekam dalam langkah-langkah
Partai Gerindra dalam membentuk politik pencitraan Prabowo Subianto pada
pilpres 2009. Peran Partai Gerindra dalam melakukan politik pencitraan Prabowo
Subianto terekam dari langkah-langkah srategi politik pencitraan yang dilakukan
partai, diantaranya adalah Partai Gerindra melakukan komunikasi politik kepada
masyarakat untuk menampung aspirasi dan membuat kebijakan politik yang
populer (pro-rakyat) seperti gagasan mengenai wacana ekonomi kerakyatan.
Untuk menyalurkan gagasan dan wacana politik nya (ekonomi kerakyatan) Partai
Gerindra memanfaatkan momentum kampanye dengan cukup baik dengan
menggunakan jasa media massa (media cetak dan media elektronik) untuk
mempromosikan (iklan) Partai Gerindra dan kandidatnya (Prabowo Subianto).
Selanjutnya dalam bab kelima adalah bab penutup, di mana dalam bab ini
penulis mencoba menyimpulkan, serta menjelaskan substansi dari bab-bab
sebelumnya yang menjelaskan tentang apa yang menjadi tema sekripsi ini.
Ternyata politik pencitraan sangat diperlukan di era demokrasi dan teknologi
informasi. Momentum tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Partai Gerindra
dalam membentuk dan menjaga citra (pencitraan) Prabowo Subianto. Tujuan
utama Partai Gerindra pada pilpres 2009 adalah menjadikan partai ini sebagai
partai pemenang dan penguasa di negeri ini (Republik Indonesia). Untuk
langkah-langkah politik yang baik (tahapan strategi politik Partai Gerindra; membangun
komunikasi politik dengan masyarakat, menciptakan kebijakan publik yang
pro-rakyat, dan memanfaatkan momentum kampanye dengan baik dengan
menggunakan jasa media massa) sehingga mendapat simpatik dari rakyat
Indonesia. Walaupun cita-cita tersebut belum terlaksana, Partai Gerindra sebagai
partai baru yang mengusung figur kontroversi (Prabowo Subianto) telah berhasil
membentuk dan menjaga citra partai. Hal ini terlihat dengan perolehan suara pada
pemilu 2009, Partai Gerindra menduduki urutan kedelapan dalam perolehan suara
dengan meraih 26 kursi (4,5%) dari 560 kursi (100%) di DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) Republik Indonesia.
Selanjutnya bab penutup berisi saran-saran dari penulis yang nanti bisa
bermanfaat. Terkai politik pencitraan yang dilakukan Partai Gerindra terhadap
Prabowo Subianto pada pilpres selanjutnya. Agar sebaiknya Partai Gerindra dan
Prabowo Subianto lebih mengedepankan program-program nyata yang langsung
berdampak positif kepada masyarakat, karena pencitraan tidak selamanya sesuai
dengan realitas sesungguhnya. Pada bagian akhir penulis juga mencantumkan
daftar pustaka yang digunakan penulis sebagai rujukan dalam penulisan skripsi
18
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan dalam Bab I bahwa
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Partai
Gerindra dalam membangun politik pencitraan Parbowo Subianto pada pilpres
2009. Partai Gerindra merupakan infrastruktur politik yang melakukan proses
politik pencitraan pada Prabowo Subianto. Untuk itu, penulis mengawali analisa
bab ini dengan teori-teori yang mendukung pembahasan tentang usaha Partai
Gerindra dalam melakukan politik pencitraan Prabowo Subianto. Teori yang
dikemukakan penulis diawali dari fakta teori yang kemudian diikuti dengan
teori-teori yang lebih spesifik penujang skripsi ini.
Tuntutan untuk membentuk strategi politik yang handal bagi para
kontestan politik (partai atau kandidat partai) adalah indikator bahwa persaingan
politik semakin menguat. Pengalaman di berbagai negara yang menerapkan
pemilihan umum yang terbuka dan kompetitif menujukan bahwa yang paling
penting di atas segalanya adalah citra si kandidat. Menurut Armando, seorang
kandidat yang sudah tercemar namanya secara serius di kalangan luas, tidak akan
lolos dalam kompetisi terbuka dan objektif.1 Oleh karena itu, pembentukan citra
kandidat atau partai politik memegang peran penting. Ide mengembangkan politik
pencitraan juga diyakini oleh Partai Gerindra sebagai strategi politik yang efektif
untuk mengkonstruksi image positif beserta mendongkrak popularitas Prabowo
Subianto ketengah-tengah masyarakat.
1
A. Politik Pencitraan
Hasil studi Fritz Plasser, menunjukan faktor pertama yang mempengaruhi
peluang kandidat untuk kemenangan pemilu di Eropa adalah image atau citra.2
Citra sebagai kunci kemenangan pemilu juga menjadi keniscayaan di Indonesia
sejak pemilu 2004 hingga pilpres 2009. Partai Gerindra yang merupakan bagian
dari 18 partai baru juga terlibat dalam usaha pembentukan citra untuk
memperoleh dukungan di masyarakat.
Keputusan Partai Gerindra untuk mengusung figur Prabowo subianto
sebagai kandidat presiden pada pilpres 2009, tentunya membutuhkan strategi
politik yang baik. Karena telah menjadi rahasia umum bahwa Prabowo Subianto
memiliki latar belakang sejarah yang bermasalah (kasus HAM) pada saat Dia
masih aktif di militer dan sedikit banyak telah mempengaruhi citranya. Citra
kurang baik yang melekat di masyarakat mengenai Prabowo akan berdampak
pada popularitas yang kurang baik juga terhadap Partai Gerindra. Untuk
meningkatkan popularitas partai beserta kandidatnya, Partai Gerindra
membutuhkan strategi politik pencitraan untuk membentuk image positif agar
mendapatkan kesan yang baik di benak masyarakat dan memperoleh suara yang
signifikan pada pilpres 2009.
Pengertian citra (image) itu sendiri adalah gambaran manusia mengenai
sesuatu, atau jika mengacu pada Lippman, citra adalah presepsi akan sesuatu yang
ada di benak seseorang dan citra tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas
2
sesungguhnya.3 Sementara menurut Peteraf dan Shanley yang dikutip oleh
Firmanzah menyebutkan, citra bukan sekedar masalah persepsi atau identifikasi
saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap
kelompok atau grup. Pendekatan ini dapat dilakukan secara rasional (kognitif)
maupun emosional (afektif).4
Dalam konteks politik, pendekatan kognitif beranggapan bahwa
masyarakat akan menilai dan kemudian memilih partai politik yang program
kerjanya paling rasional. Maka dari itu, yang menjadi perhatian Partai Gerindra
ketika membangun relasi dengan masyarakat seperti ini adalah dengan menyusun
dan mengimplementasikan program kerja objektif yang sesuai dengan apa yang
diharapkan masyarakat, salah satu program kerja tersebut Partai Gerindra
menawarkan konsep wacana ekonomi kerakyatan yang akan dibahas pada Bab IV.
Selain pendekatan kognitif Partai Gerindra juga menggunkan pendekatan
afektif. Menurut prespektif ini bahwa tidak semua masyarakat memiliki kapasitas
untuk berfikir dan menganalisa apa yang mereka butuhkan dan bagaimana
memenuhinya. Masyarakat tipe ini adalah masyarakat yang tidak memiliki
pendidikan tinggi serta berpemahaman relatif rendah mengenai hak dan kewajiban
politiknya. Untuk membangun relasi dengan masyarakat seperti ini Partai
Gerindra membangun ikatan emosional dengan menggunakan media informasi,
salah satu nya dengan pemanfaatan iklan politik.
“Coba perhatikan iklan Partai Gerindra di TV, lewat iklan dengan tema kerakyatan berhasil menyentuh emosional dan rasional masyarakat. Dalam iklan itu
3
Rahmat, Psikologi Komunikasi, h. 223. 4
diangkat fenomena yang ada di Indonesia lengkap dengan solusi yang kita tawarkan. Tidak salah kalau iklan Partai Gerindra menjadi iklan terpopuler pada
pemilu 2009”.5
Untuk meningkatkan popularitas partai berserta kandidatnya, Partai
Gerindra membutuhkan strategi positioning6 yang baik. Dalam konteks politik
pembentukan positioning partai sangat dibutuhkan untuk mempermudah
konstituen mengidentifikasi sekaligus membedakan prodak dan jasa yang
dihasilkan oleh suatu partai atau kandidat politik. Semakin tinggi image yang
direkam dalam benak konstituen, semakin mudah pula mengigat partai dan
kandidat bersangkutan.
Untuk melakukan positioning Partai Gerindra menggunakan media
reputasi partai. Salah satu positioning Partai Partai Gerindra adalah dengan
menempatkan posisi partai sebagai partai wong cilik atau partai yang
memperjuangkan rakyat kecil. Terbukti dengan terjalinnya hubungan baik antara
Partai Gerindra maupun Prabowo Subianto dengan kelompok-kelompok
masyarakat, baik itu dari golongan petani, nelayan, dan kelompok lainnya.
Positioning yang dilakukan Partai Gerindra dengan menampilkan nilai-nilai
5
Inke Suharni, “Humas dalam Kompanye Politik: Studi Partai Gerindra Menghadapi pemilu 2009”, h. 86
6
Positioning dalam marketing didefinisikan sebagai semua aktivitas untuk menanamkan kesan di benak para konsumen agar mereka bisa membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi bersangkutan. Dalam positioning, atribut produk dan jasa yang dihasilkan akan di rekam dalam bentuk image (citra) yang terdapat dalam sistem kognitif konsumen. Dengan demikian, konsumen akan mudah mengidentifikasi dan membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dengan produk yang lainnya. Dalam konteks politik, pemahaman
ekonomi kerakyatan yang menjadi identitas partai.7 Sebagaimana dikemukakan
oleh M. Asrian Mirza:
“Pencitraan partai baru, sebagai partai baru kita ingin memperkenalkan ini partai kita, partai kita adalah partai wong cilik, partai untuk petani, partai untuk pedagang pasar,
partai untuk nelayan, itu yang akan kita bela. Nah itu semua kita citrakan melalui media.
Ini yang membedakan perjuangan partai kita dengan partai lain. Kita memposisikan partai
kita sebagai partai wong cilik yang ingin memperjuangkan nasib rakyat kecil. Semuanya
berusaha kita rangkul”.8
Seperti yang dikemukakan oleh Joe Marconi orang yang memandang
suatu benda yang sama dapat mempunyai persepsi yang berlainan terhadap benda
itu.9 Maka dari itu, dalam konteks politik pembentukan positioning partai sangat
dibutuhkan untuk mempermudah konstituen mengidentifikasi sekaligus
membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh suatu partai atau kandidat
politik. Semakin tinggi image yang direkam dalam benak konstituen, semakin
mudah pula mengingat produk dan jasa bersangkutan.
Politik pencitraan dalam era demokrasi dan informasi menjadi keniscayaan
semua partai politik di Indonesia termasuk Partai Gerindra dalam menghadapi
pertarungan politik pada pilpres 2009. Hal itu dikarenakan politik pencitraan itu
sendiri adalah konstruksi atas representasi dan presepsi masyarakat (publik) akan
suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan
aktivitas politik.10 Dari uraian tesebut dapat dipahami bahwa Partai Gerindra
7 Suharni, “Humas dalam
Kampanye Politik: Studi Partai Partai Gerindra Menghadapi
pemilu 2009,” h. 81-13. 8
Arifi Bambani Amri, “Kepak Syap Gerindra”. Artikel diakses 4 Agustus 2011 dari http://sorot.vivanews.com/news/read/27935-kepak_sayap_gerindra.
9
Siswanto Sutojo, Manajemen Perusahaan Indonesia: Sebuah Pendekatan Filosofis dan Akademis Praktis, (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 2004), h. 18.
10
menggunakan politik pencitraan sebagai salah satu strategi untuk membangun
image (citra) partai beserta kandidat (Prabowo Subianto) agar ingatan akan
reputasi Prabowo yang buruk pada masa lalu dapat dilupakan, selain itu Partai
Gerindra juga membentuk image positif supaya popularitas partai meningkat
sehingga berkorelasi pada perolehan suara yang signifikan pada pilpres 2009.
Dalam mengkonstruksi image (citra) partai politik atau konstestan individu
membutuhkan strategi komunikasi agar citra yang dibangun bisa sampai pada
konstituen. Maka dari itu usaha pencitraan yang dilakukan Partai Gerindra
membutuhkan strategi komunikasi politik dalam penyampaiannya.
B. Komunikasi Politik
Tugas dari partai politik dalam negara yang menganut demokrasi adalah
sebagai lembaga penyalur aspirasi masyarakat. Dalam konteks politik di Indonesia
Partai Gerindra merupakan salah satu partai politik yang ikut berpartisipasi dalam
demokrasi dan sebagai penampung aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu, untuk
menjalankan sistem demokrasi yang maksimal Partai Gerindra membangun
komunikasi yang efektif antara masyarakat dengan para elit politiknya begitu pula
sebaliknya. Semakin optimal komunikasi yang dibagun oleh Partai Gerindra maka
semakin penting eksistensinya dimasyarakat. Bentuk komunikasi yang dilakukan
oleh Partai Gerindra yaitu sebagai penyalur aspirasi merupakan bagian dari
komunikasi politik.
melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Citra politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu agar melakukan suatu hal. Disamping itu, citra politik dapat pula mempengaruhi opini publik sekaligus menyebarkan makna-makana tertentu. Firmanzah Ph.D.
Membangun suatu image politik tidak dapat dilakukan tanpa adanya
komunikasi politik. Komunikasi politik yang dimaksud disini adalah semua hal
yang dilakukan oleh partai politik untuk mentransfer sekaligus menerima
unpan-balik (feedback) tentang isu-isu politik berdasarkan semua aktivitas yang
dilakukannya terhadap masyarakat. Isu politik ini dilihat dalam prespektif yang
sangat luas dan sangat terkait dengan usaha partai politik untuk memposisikan
dirinya dan membangun identitas dalam rangka memperkuat citra di benak
masyarakat. Isu politik tersebut dapat berupa ideologi partai, program kerja, figur
pemimpin partai, latarbelakang pendirian partai, visi dan tujuan jangka panjang
partai dan permasalahan-permasalahan yang diungkapkanya.
Komunikasi dalam hal ini diartikan sebagai komunikasi dyadic
communication, (komunikasi dua arah). Dyadic communication bekerja tidak
hanya dilakukan oleh suatu partai politik kepada masyarakat, tetapi ada timbal
balik (feedback) dari masyarakat kepada partai yang bersangkutan.11 Melihat
realitas masyarakat moderen yang cenderung plural (terdiri dari berbagai
segmentasi masyarakat), tersebar dan terkadang tidak terorganisir, maka akan sulit
membayangkan adanya sistematisasi komunikasi pesan yang dilakukan
masyarakat terhadap partai politik. Hal ini membuat partai politik harus
mengambil inisiatif untuk mentransfer sekaligus merumuskan signal-signal atau
pesan yang disampaikan oleh masyarakat. Berbagai permasalahan sosial-politik
yang terjadi dalam masyarakat harus dipahami secara detil oleh suatu partai
politik untuk kemudian dianalisis lebih dalam berdasarkan data dan peristiwa, lalu
kemudian natinya akan dijadikan input sistem politik.
Komunikasi politik adalah suatu proses dan kegiatan-kegiatan membentuk
sikap dan prilaku politik yang terintegrasi kedalam sebuah sistem politik dengan
menggunakan simbol-simbol.12 Aplikasi dari komunikasi politik akan
berpengaruh pada dinamisasi sistem politik kemudian akan berdampak juga pada
sistem sosial yang berkembang dalam masyarakat. Komunikasi politik terjalin dan
terdistribusi antar sistem politik dengan sistem politik lainya, seperti halnya
tergambarkan antara sistem politik dan sistem sosial. Partai Gerindra
memposisikan komunikasi politik menjadi hal yang penting karena komunikasi
politik menjadi dasar pelaksana fungsi partai seperti sosialisasi politik, partisipasi
politik, rekrutmen dan lain sebagainya.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa komunikasi politik sebagai alat
untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik masyarakat, kemudian
dijadikan input sistem politik dan pada waktu yang sama ia juga menyalurkan
kebijakan yang diambil atau output sistem politik itu.13 Proses input dalam sebuah
sistem politik melibatkan partai dalam hal ini Partai Gerindra sebagai infrastruktur
untuk mengumpulkan aspirasi agar Partai Gerindra mendapatkan dukungan dari
masyarakat. Melalui proses komunikasi politik itu pula masyarakat akan
mengetahui apakah dukungan, aspirasi, dan pengawasan itu tersalur atau tidak
sebagaimana dapat mereka simpulkan dari aplikasi sebagai kebijakan politik yang
diambil pemerintah.
Lord Windelesham mengemukakan bahwa tujuan komunikasi adalah suatu
penyampaian pesan politik yang secara sengaja dilakukan oleh komunikator
12
Rochajat Harun dan Sumarno AP, Komunikasi politik (Bandung: Madar Maju, 2006), h. 5.
13
kepada komunikan dengan tujuan membuat yang terlibat komunikasi berprilaku
tertentu.14 Komunikasi politik juga dijadikan alat untuk menghubungkan pikiran
politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intern golongan, instansi,
asosiasi, atau sektor kehidupan politik pemerintahan. Menempatkan komunikasi
politik sebagai pendekatan politik yang merupakan alat untuk penyampain
pesan-pesan yang bercirikan politik oleh para aktor-aktor politik pada pihak lain.15
Partai Gerindra sebagai Partai Politik juga melakukan komunikasi politik
dengan melakukan penyampaian ide-ide dengan cara menghubungkan
gagasan-gagasan politiknya kepada masyarakat agar terciptanya perubahan di masyarakat
sesuai dengan cita-cita politik yang di usung. Tujuan komunikasi politik adalah
menjalankan proses komunikasi secara optimal untuk mencapai kesamaan
persepsi tentang isu-isu atau ide-ide politik antara para elit politik dengan
masyarakat. Komunikasi politik dianggap gagal apabila kesamaan persepsi antara
komunikator dan komunikan tidak menemukan titik temu dalam kesamaan
persepsi. Sebagai partai politik, Gerindra merupakan subjek dalam komunikasi
politik dan Partai Gerindra membutuhkan dukungan dari masyarakat untuk
mempertahankan eksistensinya serta dukungan terhadap Prabowo Subianto.
Dukungan tersebut tidak akan diberikan oleh masyarakat apabila nilai utama
dalam komunikasi yaitu kesamaan ide dan gagasan tidak tebentuk.
Pada paruh musim pemilu 2009 gagasan tentang ekonomi kerakyatan
mendominasi isu politik yang diangkat oleh Partai Gerindra. Kesenjangan sosial
dan ekonomi yang terjadi pada masyarakat Indonesia dianggap menjadi titik
14
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.158.
15
permasalahan utama. Isu sosial dan ekonomi yang di dapat di lapangan adalah
bagian dari hasil komunikasi politik Partai Gerindra dengan masyarakat.
Kemudian temuan tersebut dijadikan input yang menghasilkan output tentang
gagasan ekonomi kerakyatan. Komunikasi politik yang dibangun Partai Gerindra
juga mengandung unsur pencitraan politik (image), di mana output tentang
gagasan ekonomi kerakyatan yang disosialisasikan kepada masyarakat selalu
dikaitkan dengan figur Prabowo Subianto. Hal ini bisa terlihat pada beberapa
iklan politik Partai Gerindra yang ditampilkan di beberapa media. Iklan politik
tersebut dikemas lalu kemudian menampilkan Prabowo Subianto bersama Partai
Gerindra, yang kemudian memberikan ajakan kepada publik untuk mencintai
produk lokal, mengembangkan prasar tradisional dan lain sebaginya.
Seperti telah disinggung di atas, komunikasi yang dibangun oleh Partai
Gerindra adalah Komunikasi dua arah (dyadic communication), yang melibatkan
Partai Gerindra dengan masyarakat dan masyarakat terhadap Partai Gerindra.
Proses analisis terhadap masalah publik yang dilakukan Partai Gerindra kepada
masyarakat untuk dijadikan input dan output yang dihasilkan Partai Gerindra, lalu
kemudian disosialisasikan kepada masyarakat termasuk proses komunikasi
politik. Dengan demikian feedback yang akan didapatkan Partai Gerindra serta
Prabowo adalah terbentuknya image positif di masyarakat.
C. Wacana Politik
Partai Gerindra merupakan partai baru di kancah perpolitikan nasional,
namun peran Partai Gerindra dalam mempromosikan gagasan-gagasan politiknya
ditawarkan oleh Partai Gerindra sebagian telah mendapatkan tempat di hati
masyarakat. Sebagai contoh ide tentang wacana ekonomi kerakyatan, melalui
gagasan ini Partai Gerindra mampu menjalin hubungan langsung dengan elemen
masyarakat secara luas. Wacana ekonomi kerakyatan Partai Gerindra
diaplikasikan melaluli berbagai kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan seperti
melaksanakan pelatihan keberbagai daerah, melakukan penyuluhan terhadap para
pedagang tradisional serta mempererat relasi dengan berbagai
organisasi-organisasi ekonomi.16
Ide mengenai wacana ekonomi kerakyatan17 menjadi popular menjelang
pilpres 2009. Wacana ini menjadi serangan balik terhadap kebijakan ekonomi
pemerintah yang dinilai terlalu liberal dalam kebijakan ekonominya. Sehingga
masyarakat Indonesia terjebak pada sistem ekonomi pasar (sistem ekonomi
liberal)18 yang telah memporak-porandakan perekonomian bangsa. Kemudian
yang terjadi malah sebaliknya masyarakat semakin terpojokan oleh struktur
16
DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Acuan Kampanye Menejemen Pemasaran Partai Politik: Strategi Pemenangan Pemilu 2009,(Jakarta: Gerindra, 2008), h. 40-42.
17
Selanjutnya, Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Di mana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Lihat, Sarbini Sumawinata, Politik ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 161.
18
ekonomi tersebut (ekonomi liberal) yang berkembang jauh dari nilai keadilan.
Pada situasi demikian, Partai Gerindra ingin memberikan alternatif kepada bangsa
dan negara agar tercipta Indonesia makmur dan sejahtera.19
Istilah wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut pada saat ini
selain demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil dan lingkungan hidup. Kata
wacana juga sering digunakan oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa,
psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Banyaknya
perbedaan lingkup dan disiplin ilmu yang memakai istilah wacana maka
mempengaruhi terhadap perluasan makna atas wacana itu sendiri.
Wacana atau discourse berasal dari bahasa latin yang berati lari kian
kemari. Alex Sobur memberikan definisi wacana sebagai Komunikasi pemikiran
dengan kata-kata, ekspresi, ide, gagasan, konservasi atau percakapan.20 Samsuri,
mendefinisikan wacana sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang suatu
peristiwa komunikasi, terdiri dari seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan
pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu bisa menggunakan bahasa
lisan maupun tulisan.21
Michel Foucault mengartikan wacana tidaklah dipahami sebagai
serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi sesuatu yang memproduksi
yang lain (sebuah gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat di deteksi karena
secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam
suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berfikir dan bertindak
19
DPP Partai Gerindra, Tanya Jawab, h. 3 20
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 9-10. 21Ibid.
tertentu.22 Kemudian menurut Emile Benveniste, wacana sebagai modus
komunikasi verbal (kebahasaan) tempat posisi si penutur tampak dengan jelas.23
Dari sebagian penjelasan di atas, bahasa merupakan unsur pokok dan
penting dalam sebuah wacana. Menurut Nimmo, bahasa adalah proses komunikasi
makna melalui lambang. Bahasa salah satu sistem komunikasi yang tersusun dari
kombinasi lambang-lambang signifikan (tanda dengan makna dan tanggapan
bersama bagi orang-orang), didalamnya signifikasi lambang-lambang itu lebih
penting daripada situasi langsung tempat bahasa itu digunakan, dan
lambang-lambang itu digabungkan menurut peraturan tertentu.24
Karena wacana memiliki keterkaitan yang erat dengan bahasa, bahkan
wacana sering disebut peristiwa bahasa. Maka dari itu, usaha untuk menganalisa
wacana banyak melibatkan bahasa atau studi kebahasaan sebagai pisau
analisisnya. Dalam hal ini, penulis tidak akan terlalu memfofuskan pada kajian
kebahasaan atau analisis bahasa yang begitu mendalam, akan tetapi dalam
pandangan penulis ada bagian yang menarik untuk diperhatikan dalam studi
kebahasaan yaitu karakter bahasa itu sendiri yang memberikan ruang bebas pada
subjek (penutur) untuk mengungkapkan suatu pernyataan atau dengan kata lain
bahasa tidak bebas nilai. Jadi unsur subjektifitas dalam penggunaan bahasa sangat
mungkin terjadi sehingga di dalam penggunaan bahasa maupun wacana sangat
mungkin mengandung maksud tersendiri dari subjek (penulis/penutur). Maksud
tersembunyi dari subjek tersebut bisa berupa politisasi, ideologis, kuasa,
22
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS , 2001), h. 65.
23
Pahmi Sy, Politik pencitraan, h. 48. 24
dominasi, marjinalisasi, bahkan upaya mengkontstruksi citra dengan cara
memanipulasi bahasa yang didesain sedemikian rupa.
Dalam teori analisis bahasa kritis (Critical Liguistics), yang berkembang
di Universitas East Angelo pada 1970-an melihat bagaimana gramatika (tata
bahasa) membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Dengan kata lain, aspek
ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang
dipakai. Bahasa baik pilihan kata maupun struktur gramatika, dipahami sebagai
pilihan, oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna ideologis. Ideologi
itu dalam taraf yang umum menunjukan bagaimana suatu kelompok berusaha
memenangkan dukungan publik, dan bagaimana kelompok lain berusaha
dimarjinalkan lewat pemakaian bahasa dan struktur gramatika tertentu.25
Pemikir analisis wacana seperti Norman Fairclough melihat bahwa bahasa
sebagai praktek kekuasaan. Bagi Fairclough bahasa secara sosial dan historis
adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Maka
dari itu, usaha analisis wacana yang dibangun dipusatkan pada bagaimana bahasa
itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Terhadap
wacana Fairclough melihat wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai
praktek sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu.
Wacana adalah Bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai
sesuatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi ketika
melihat dunia atau realitas. Praktek wacana bagi Fairlough bisa jadi menampilkan
efek ideologis artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang
25