• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Masyarakat Indonesia Terkini dalam Grafiti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa Masyarakat Indonesia Terkini dalam Grafiti"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAHASA MASYARAKAT INDONESIA

TERKINI DALAM GRAFITI

(Kajian Teks Dan Konteks Wacana Grafiti di Terminal Bungurasih)

Iqbal Nurul Azhar1

Abstrak:

Pengalaman, maupun masalah sehari-hari masyarakat yang bersifat komunal dapat pula menentukan variasi bahasa yang terjadi di dalam sebuah kebudayaan. Masyarakat yang sedang berada dalam titik emosional tertinggi seperti sedang marah atau sedih akan menghasilkan tuturan yang berhubungan dengan kemarahan dan kesedihan. Demikian juga masyarakat yang sedang berada dalam tekanan krisis ekonomi tentunya akan menghasilkan tuturan-tuturan baru yang berhubungan dengan dunia ekonomi atau bisnis. Dengan bersandar pada pernyataan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa (meskipun tidak selalu), sanggup menjadi representer dari kondisi masyarakat sebuah kebudayaan. Grafiti (Latrinal) sebagai salah satu bentuk bahasa tulis, seakan menegaskan hal ini. Dengan melihat fenomena grafiti yang ada di toilet umum, kita dapat melihat potret bangsa Indonesia yang ternyata sangat ”unik”

Kata-kata Kuni : bisnis, grafiti, teks, konteks

A. Pendahuluan

Banyak karya sastra yang ditulis baik oleh orang Indonesia maupun orang asing

memotret sisi-sisi natural Indonesia. Beberapa diantaranya berhubungan dengan dunia

politik dan dunia ekonomi seperti: Schwarz (2004), Santoso (2003), Sulistyo, Achwan &

Soetrisno (2002), Effendy (2003), kondisi sosial bangsa Indonesia seperti: Winarta

(2004), Herlijanto (2003), serta kondisi budaya yang termasuk di dalamnya dunia sastra

dan segala isinya seperti: Aveling (2001), dan Jordaan (1997). Sayangnya diantara

karya-karya tulis tentang Indonesia tersebut, sangat sedikit dijumpai karya-karya sastra khusus

mengulas grafiti di Indonesia, utamanya grafiti yang terdapat di toilet umum dalam

perspektif linguistik. Sedikitnya tulisan yang mengupas tentang grafiti di toilet umum ini

dapat diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain; (a) adanya anggapan bahwa grafiti di

toilet adalah produk dari tangan-tangan orang-orang yang kurang paham tentang

kebersihan sehingga tidak layak untuk didiskusikan, (b) grafiti di toilet umum adalah

produk orang-orang yang tidak terpelajar dan karenanya mengandung makna dangkal

atau rendah, (c) dan adanya anggapan bahwa toilet umum adalah tempat yang kurang

(2)

Kesan minus juga peneliti dapatkan ketika pertama kali menjumpai grafiti (atau

yang lebih kita kenal sebagai corat-coret) di tembok toilet umum. Ada perasaan tidak

nyaman ketika membaca tulisan-tulisan yang tertera di tembok tersebut. Selain banyak

mengandung kata-kata yang tidak pantas, tidak sopan, rasis, ataupun vulgar, bentuk font

tulisannyapun sangatlah rendah kualitasnya apabila ditinjau dari sudut pandang

keindahan. Namun anehnya, semakin sering peneliti bersua dengan grafiti yang tertulis

di tembok toilet umum, perasaan tidak nyaman itu kemudian berubah menjadi perasaan

positif karena terkadang, coretan-coretan di dinding toilet umum di tulis dengan

menggunakan gaya yang mengesankan. Ada banyak sekali pertanyaan yang kemudian

muncul terkait grafiti di dinding toilet umum, seperti; mengapa penulis grafiti tersebut

menulisnya di dinding toilet, siapa gerangan penulisnya, dan untuk siapa tulisan tersebut

diajukan. Seperti contoh salah satu grafiti yang penulis jumpai di dinding toilet terminal

Bungurasih: Rhy Chaa. Sunrise in the Dark, memunculkan banyak sekali pertanyaan

dan asumsi. Tidak hanya tulisan tersebut memunculkan pertanyaan siapakah sosok Rhy

Chaa yang tertulis dalam grafiti, frasa Sunrise in the Dark pun mampu memikat penulis

karena pilihan bahasanya yang tinggi dengan muatan ironi. Sunrise in the Dark adalah

frasa dalam bahasa Inggis yang berarti mentari pagi yang terbit di kegelapan. Bentuk

lingualnya yang menunjukkan kemampuan intelektual seseorang karena menggunakan

bahasa Ingris yang puitis terlihat ironi apabila dilihat dari keberadaannya yang tercetak di

dinding toilet yang kotor. Kesan akhir dari peneliti yang timbul dalam menangkap

fenomena grafiti adalah: grafiti sangatlah menantang untuk dikaji.

Perubahan kesan dari negatif menjadi positif ini membimbing peneliti untuk

kemudian mencoba mencari beberapa literatur dalam rangka memahami grafiti lebih

dalam lagi. Dalam proses pencarian tersebut peneliti mengalami kesulitan untuk

menemukan tulisan yang benar-benar tuntas mengupas grafiti yang ada di toilet umum.

Beberapa artikel yang berhubungan dengan grafiti memang ditemukan, namun semuanya

adalah kajian grafiti di toilet umum yang ada di negara lain. Minimnya tulisan tentang

grafiti di toilet umum yang berada di Indonesia inilah, manyebabkan peneliti memiliki

pandangan bahwa penelitian, atau artikel yang mengupas tentang grafiti di toilet umum

di Indonesia, wajib ada. Karena itulah, sebuah penelitian telah peneliti lakukan dan paper

inipun di sajikan.

Sumarlam (2009: 15) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap

(3)

tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat dan dokumen tertulis yang dapat dilihat struktur

lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari

segi makna) bersifat terpadu. Grafiti adalah dokumen tertulis yang memiliki bentuk

kohesif (meskipun banyak juga yang tidak kohesif) serta memiliki makna koheren atau

padu. Karena telah memenuhi syarat minimum sebuah objek dikatakan sebuah wacana

inilah, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Grafiti adalah sebuah wacana. Artikel ini

secara umum membahas tentang grafiti sebagai salah satu bentuk wacana dalam sudut

pandang linguistik, dan karena berbentuk wacana, maka bidang linguistik yang tepat

untuk mengkaji objek ini adalah analisis wacana. Pisau analisis yang digunakan untuk

membedah wacana grafiti ini adalah analisis Kohesi Tekstual dan Kontekstual

B. Definisi dan Klasifikasi Grafiti

Kata ‘grafiti’ berasal dari bahasa Itali dan kata ini merupakan bentuk plural dari

kata ’grafito’ yang berarti gambar atau tulisan. Dalam bahasa Inggris, kata grafiti telah

berubah makna dari yang semula gambar atau tulisan menjadi tulisan yang berada di

tempat umum, di tempat yang tidak semestinya. Seiring perkembangan jaman, definisi

tersebut mulai melonggar dan lukisan muralpun kini telah dianggap sebagai grafiti.

Grafiti di masa kini mencakup segala jenis coretan, gambar-gambar, lukisan-lukisan,

simbol-simbol, lambang-lambang yang tertulis pada dinding, apapun motivasi

penulisannya. Besarnya ruang lingkup grafiti, menyebabkan beberapa orang terpanggil

untuk melakukan kodifikasi, seperti Gadsby (1995) mencoba memberikan klasifikasi

terhadap grafiti; ia mengkategorikan grafiti kedalam enam jenis yaitu: (1) latrinalia,

(2) public, (3) tags, (4) historical, (5) folk epigraphy, dan (6) humorous.

Latrinalia pertama kalinya didefinisikan dengan jelas oleh Dundes yang merujuk

pada tulisan yang ditemukan di toilet (Gadsby, 1995; Emmison & Smith, 2000).

Latrinalia adalah salah satu tipe grafiti yang telah menarik banyak orang dari berbagai

disiplin ilmu di Amerika Serikat untuk menelitinya. Dengan adanya banyak penelitian

tersebut, toilet menjadi tempat terkotor namun paling diungkap di negara tersebut.

Public mengacu pada grafiti yang ditulis di tempat-tempat umum seperti

taman-taman, gedung-gedung, maupun tembok-tembok di pinggir jalan. Penamaan public

diambil dari karakteristiknya yang mengisi tempat umum, entah ditujukan untuk

mempercantik atau malah memperburuk pemandangan di tempat umum tersebut.

(4)

bersifat unik dan individualis. Tags dapat berbentuk nama individu, atau expresi

individu. Dengan kata lain, Tags dapat diibaratkan sebagai sidik jari seseorang.

Bentuk-bentuk umum Tags berupa nama penulis, inisial, alamat, atau simbol-simbol khusus

individu.

Berbeda dengan beberapa jenis Grafiti di atas, Historical mengacu pada grafiti

yang kebeadaannya terungkap oleh orang-orang yang hidup pada masa jauh setelah

grafiti tersebut dibuat. Dari masa dibuat dan masa penemuannya yang terpaut jauh,

menyebabkan orang-orang yang mengadakan penelitian terhadap grafiti tersebut tidak

memiliki akses langsung terhadap pikiran internal dari penulis grafiti. Peneliti hanya bisa

menemukan arsi-arsip bersejarah yang cukup untuk menguak misteri grafiti, namun

tidak dapat menjelaskannya secara tuntas.

Folk epigraphy adalah tulisan yang dibuat oleh orang-orang kebanyakan pada

dinding, batu, kayu dan lainnya. Gadsby (1995) menemukan bahwa tipe grafiti jenis ini

cenderung dituliskan dengan cat semprot yang banyak dijual ditoko-toko.

Jenis terakhir dari grafiti adalah Humorous. Grafiti berjenis ini sangat sulit untuh

didefinisikan, namun pada dasarnya, grafiti jenis ini berkarakter untuk menghibur

pembacanya.

Grafik di bawah ini merupakan perbandingan dari jumlah orang-orang yang

mengadakan penelitian terhadap Grafiti. Dari grafik di bawah, kita dapat melihat bahwa

grafiti berjenis public dan latrinalia adalah dua jenis Grafiti yang paling banyak diteliti

dan diungkap oleh peneliti pada masyarakat

Tabel 1. Grafik Perbandingan jumlah penelitian terhadap berbagai tipe Grafiti. (Gadsby, 1995)

Klasifikasi Grafiti lain disampaikan oleh Blume (Dalam Gadsby, 1995). Blume

membagi grafiti kedalam dua jenis yaitu: Conversational dan Declarative. Grafiti

Conversational mengajak pembacanya (baik itu sengaja maupun tidak oleh penulisnya)

(5)

skrip percakapan yang ditulis oleh penulis yang beraneka macam. Berbeda dengan

percakapan biasa, grafiti Conversational memiliki karakter mengajak berkomunikasi

partisipan baik itu yang dikenal maupun yang tidak.

Perlu dicatat bahwa tidak semua Grafiti mengajak partisipasi dari pembacanya.

Ketika sebuah graffito tidak dimaksudkan untuk mengajak pembacanya berkomunikasi,

maka grafiti jenis ini disebut sebagai Declarative. Pada beberapa kasus, grafiti Artistik

maupun tags temasuk dalam kategori grafiti jenis ini

C. Kajian-kajian Tentang Grafiti

Grafiti dapat ditemukan di berbagai tempat. Corat-coret ini menghiasi berbagai

tempat termasuk di dalamnya toilet umum. Keberadaannya yang umum telah

mengundang berbagai orang dari berbagai bidang ilmu untuk mengadakan eksplorasi

dengan menempatkan grafiti sebagai objeknya. Namun, seperti yang telah disebutkan di

atas, penelitian-penelitian yang telah dilakukan kebanyakan dilakukan di luar Indonesia

seperti; Obeng (2000); Adams & Winter (1997); Moonwomon (1995); Gadsby (1995);

Rodriguez & Clair (1999); dan Joswig-Mehnert & Yule (1996). Hanya satu artikel

bersetting Indonesia ditemukan, artikel ini ditulis oleh Basthomi (2007)

Penelitian grafiti yang dilakukan oleh Obeng (2000) sebagai contoh mengambil

lokasi di Legon, Gana. Fokus penelitian Obeng adalah hubungan grafiti dengan politik.

Dalam penelitiannya, Obeng meletakkan grafiti sebagai sebuah wacana yang berada

dalam ranah politik. Wacana grafiti ini kemudian digunakan oleh masyarakat yang

memiliki sikap dan pandangan yang berbeda dengan pemerintah untuk mengungkapkan

aspirasinya. Grafiti juga difungsikan sebagai media penyampai rasa marah, frustasi atas

kejenuhan dan keresahan masyarakat terhadap panasnya situasi politik yang ada di

negara tersebut.

Berbeda dengan Obeng yang lebih menitik beratkan pada aspek politik, Adam

dan Winter (1997) melakukan penelitian dengan fokus pada gafiti di gang-gang kota.

Dari hasil penelitian mereka, grafiti di gang-gang ternyata tidak hanya memiliki fungsi

sebagai penanda kekuasaan dari komunitas pemilik gang (gangster), tapi grafiti tersebut

juga merefleksikan serta merepresentasikan sosiokultur dari subkultur para gangster

pemilik gang tersebut. Grafiti ternyata menjadi penanda perasaan kesetiakawanan

(6)

Selain itu, grafiti dapat pula digunakan sebagai tanda penghormatan terhadap anggota

mereka yang telah tewas dalam pertarungan antargangster atau dengan aparat kepolisian.

Moonwomon (1995) melakukan pengajian terhadap grafiti yang ada di kamar

mandi wanita. Di tempat tersebut ia menjumpai bahwa graffiti yang ditulis kaum wanita

pengguna toilet, kebanyakan merupakan wacana politik, gender dan rasis. Berdasarkan

pada data yang diambilnya di toilet umum yang ada di Universitas Kalifornia Berkeley,

Moonwomon menemukan bahwa grafiti yang ada di kamar mandi wanita

menggambarkan berbagai wacana yang berbentuk diskusi antar komunitas wanita

dengan tema perkosaan, bias gender, ataupun rasis yang ditulis dengan nada “ hangat.”

Grafiti ini juga mencakup wacana adanya pratek-praktek dan atau suara-suara pro kontra

yang berhubungan dengan rasis/nonrasis dalam lingkaran komunitas kampus tersebut.

Berbeda dengan penelitian yang telah disebutkan di atas, penelitian yang

dilakukan oleh Joswig-Mehnert and Yule (1996) menitikberatkan pada bagaimana

pembaca (dalam hal ini siswa) memberikan respon atau menginterpretasikan sebuah

grafito. Subjek penelitian mereka adalah 75 siswa. Ke75 siswa tersebut diminta untuk

membaca 12 grafiti. Dari pengamatan Joswig-Mehnert and Yule, mereka menjumpai

bahwa subjek cenderung memberikan interpretasi berbeda. Mereka juga berbeda dalam

menjelaskan sisi mana yang menarik dari grafiti yang telah mereka lihat. Dari data ini,

Joswig-Mehnert and Yule menyimpulkan bahwa pembaca grafiti cenderung mengalami

kesulitan dalam menginterpretasikan grafti tanpa identitas. Ternyata, informasi tentang

pembuat graffti tersebut mempengaruhi interpretasi terhadap sebuah grafito. Simpulan

ini dikuatkan oleh temuan Rodriguez and Clair (1999) dalam studinya terhadap teks-teks

tanpa identitas penulisnya.

Vernedoe and Gopnik (dalam Gadsby, 1995) membuat studi komparatif terhadap

seni dan grafiti. Mereka menemukan bahwa grafiti adalah perpaduan dari expresi dewasa

dan kekanak-kanakan. (Gadsby, 1995). Temuan Abel dan Buckley (dalam Gadsby,

1995) bertentangan dengan temuan Vernedoe and Gopnik. Dalam hal ini, mereka

memandang grafiti sebagai fenomena pertentangan psikologis, yaitu bagi penulis grafiti,

grafiti yang dihasilkannya adalah sebentuk komunikasi personal dan dianggap sebagai

hal biasa padahal bagi orang lain, hal tersebut adalah sebuah problema (Gadsby, 1995).

Sedang Basthomi (2007) yang oleh peneliti sampai saat ini dijumpai sebagai

satu-satunya pengkaji grafiti dengan setting Indonesia, mengangkat grafiti yang ada di bak

(7)

D. Limitasi, Jenis dan Metode Penelitian D.1. Limitasi Penelitian

Ada ribuan toilet umum tersebar di Indonesia. Karena jumlahnya sangat banyak,

maka toilet yang dikaji dibatasi. Terminal Bungurasihpun dipilih sebagai lokasi

penelitian. Dipilihnya bungurasih sebagai lokasi penelitian bukanlah tanpa alasan. Ada

banyak pertimbangan yang mendasari pemilihan ini antara lain: (a) Bungurasih adalah

termasuk terminal primer di Indonesia yang memiliki trayek hampir ke seluruh kota

besar di pulau Jawa, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara, sehingga dengan besarnya

trayek ini, dipastikan hampir semua suku bangsa di Indonesia pernah singgah dan bahkan

menggunakan toilet yang ada di terminal bungurasih (b) akses peneliti terhadap teminal

ini sangat mudah karena hampir dua minggu sekali peneliti berkunjung ke terminal ini

dalam rangka bepergian.

Adapun grafiti yang menjadi objek penelitian adalah grafiti yang tertulis di dalam

kamar mandi toilet, bukan di luar atau bukan pula di sekitar toilet. Dipilihnya grafiti

yang ada di dalam kamar mandi didasar pertimbangan antara lain: (a) kamar mandi

adalah tempat privat, hanya satu orang saja yang boleh memasukinya dalam satu waktu,

tidak boleh dua ataupun lebih. Karena itulah, toilet dapat menjadi tempat yang aman bagi

penulis grafiti untuk membuang hajat ataupun untuk menuliskan sesuatu yang bersifat

pribadi tanpa harus merasa malu dan takut diketahui orang lain (b) karena bebas dari

orang lain, maka bahasa yang digunakan akan lebih ekspresif dan lebih vulgar.

Berdasarkan hasil studi lapangan, tidak adanya grafiti di toilet perempuan, sehingga

grafiti yang dikaji dalaam artikelpun adalah grafiti yang dimbil di toilet laki-laki.

Ada 23 Grafiti yang akan dianalisa dalam paper ini. Pengambilan ke-23 grafiti

tersebut didasarkan pada beberapa aspek yaitu (1) kejelasan tulisan, (2) dipahaminya

pesan dan (3) kemampuannya grafiti untuk merepresentasikan grafiti lain yang sejenis.

D.2. Jenis dan Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan cara memerikan gejala

kebahasaan secara cermat dan teliti berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya dengan

tidak melibatkan angka.

Adapun langkah-langkah penelitian dimulai dari: (a) pengumulan data, (b)

klasifikasi data (c) analisis mikrostruktural dengan menitikberatkan pada mekanisme

(8)

menjadi koheren (d) analisis makrostruktural dengan mempertimbangkan konteks situasi

(e) menyimpulkan

E. Analisis Kohesi dan Koherensi Wacana Grafiti Di Toilet Umum Bungurasih

Berdasarkan data yang dikumpulkan peneliti dalam studi lapangan yang

dilakukan pada tanggal 28 Maret 2009, peneliti menemukan banyak hal menarik yang

akan di bahas pada bagian ini. Hasil temuan dalam studi lapangan tersebut selanjutnya

dianalisis dengan menggunakan pendekaan mikrostruktural melalui penanda kohesi

grammatikal dan leksikal dan pendekatan makrostruktural secara konteks.

Adapun hasil temuan yang telah melalui proses reduksi data disajikan dalam

bentuk tabel di bawah ini:

a. HENI BTH DUIT 031724XX 08180387XX

m. Cowok Cari Teman Curhat Cowok 17-21 Thn

n. Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni

c. CO-BOKINGAN GRATIS 031-8123213130 EDI

o. Cowok Brondong Cakep Imut-imut Cari Bapak-bapak ABRI/Polri

i. Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing pake doa

j. Mita Butuh Yang Besar Banget 081852335xxx

(9)

E.1. Kohesi Grammatikal

Sebuah wacana dapat dipahami apabila memiliki kepaduan struktur lahir dan struktur

batin. Padunya dua struktur in dapat dilihat dari hadir atau tidaknya alat-alat pembentuk

jaringan teks yang meliputi: (a) referensi, (b) substitusi, (c) elipsis, (d) konjungsi,

(Halliday, 1976:9)

Diantara lima alat-alat pembentuk jaringan teks, tidak semuanya hadir dalam

wacana grafiti yang muncul di toilet umum bungurasih. Adapun alat-alat tersebut adalah:

(a) referensi, (b) substitusi, dan (c) elipsis

E.1.a. Referensi

Referensi (pengacuan) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan

lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului atau

mengikutinya. Ada tiga pengacuan yang ditemukan dalam grafiti yaitu (1) pengacuan

persona (2) pengacuan demonstratif (3) pengacuan komparatif.

Pengacuan yang berupa pronomina persona dalam grafiti dapat dilihat pada data

di bawah ini:

1. Gay Cakep Pacaku Yang Macho Aja boleh

2. Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing pake doa Habis duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

Pengacuan pada data 1 yaitu -ku, merupakan pronomina persona pertama tungal

terikat lekat kanan. Pronomina -ku mengacu pada penulis grafiti ini yang identitasnya

tidak jelas. Pada data 2, terdapat juga pengacuan pronomina -mu yang berbentuk

pronomina kedua tunggal lekat kanan. Satuan lingual -mu mengacu pada setiap orang

(tunggal) yang membaca grafiti tersebut. Karena hal yang diacu (acuan) dari dua

pronomina persona -ku dan -mu pada data di atas berada di luar teks wacana, maka

pengacuan ini disebut pengacuan eksofora.

Pengacuan yang berupa demonstratif waktu dan tempat ada pada data (3)–(11) di

(10)

3 Boromania

9 Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni

6 Awas penipuan di pondok alas tengah

Paiton Belajar bhs Asing pake doa

Habis duitmu

Pada data (3) dan (4) terdapat pengacuan satuan lingual waktu netral yaitu satuan

lingual 19 Juni 2009 dan Kamis 13-09-09, 01.00 WIB. Pada data 4-11 terdapat

pengacuan waktu tempat menunjuk secara eksplisit yaitu Afrika, Arabia, Indonesia, India

(data 5), alas tengan Paiton (data 6), Solo (data 7), Sleman (data 8), Bojonegoro,

Surabaya (data 9), Kemayoran, lamongan (data 10), dan Jogja (data 11)

Adapun engacuan yang berupa komparatif ada pada data 12 di bawah ini.

12. Bonek Viking sama saja Sama-sama anjing

Satuan lingual sama-sama adalah pengacuan komparatif yang membandingkan

antara ciri dan sifat yang dimiliki Bonek dan Viking dengan anjing.

E.1.b. Substitusi

Substitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian

(11)

Arema Jancok LA mania pecundang

19 Juni 2009 14. SALAM

AGENT DOSA

GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID

15. Asu Slemania 100% Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar 100% Asu

Kata Anjing yang ada pada data 13, adalah kata makian. Kata ini bermuatan

penghinaan yang kasar. Namun bagi orang Jawa Timur, makian ‘Anjing’ tidaklah

seburuk kata makian ’Jancok’. ’Pecundang’ adalah juga kata makian, namun sifat

penghinaannya tidaklah seburuk kata Anjing maupun Jancok. Dari data 13, kita dapat

melihat bahwa penulis grafiti sangat mahir dalam memilih kata. Ia berusaha

mengungkapkan kebenciannya pada The Jack dengan menggunakan kata ’Anjing,’

Sedangkan pada Arema yang mungkin lebih ia benci daripada ’The Jack,’ ia

menggunakan kata makian yang lebih sarkastis dengan menggunakan kata ’Jancok.’

Pada LA Mania, ia ungkapkan juga perasaan bencinya dengan menggunakan kata

makian. Namun untuk LA Mania, kata makiannya lebih halus daripada kata makian yang

ditujukan pada The Jack dan Aremania. Dari pilihan inilah kita dapat menilai bahwa

kebencian penulis grafiti ini kepada LA Mania tidaklah sebesar kebenciannya pada The

Jack, lebih-lebih pada Aremania.

Pada data 14, sebuah frasa ’agen dosa’ disubstitusikan dengan kata ’gigolo.’

Fenomena substitusi frasa inilah yang kita kenal dengan sebutan substitusi frasal berbalik

arah. Frasa ’agen dosa’ dan ’gigolo’ merupakan frasa atau kata yang memiliki sifat sama

yaitu kata atau frasa yang berkonotasi negatif. Agen Dosa dan Gigolo memiliki

kemiripan nuansa makna yaitu sama-sama memiliki nuansa pekerjaan yang ilegal dan

dekat dengan dunia hitam.

Data 15 hampir sama dengan data 13. Penulis menggunakan kata ‘anjing’ dan

‘anjing liar’ untuk mensubstitusi kata ‘asu.’ Dengan disubstitusikannya kata ‘asu’ dengan

kata yang lain, maka kata-kata yang ada dalam grafiti menjadi lebih variatif

E.1.c. Elipsis

(12)

bahasa, dan bagi pembaca untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang sengaja

(tidak) diungkapkan dalam satuan bahasa (Sumarlam, 2009:30). Teknik seperti ini ada

pada beberapa grafiti yang ditemukan di toilet umum bungurasih, sepert contoh:

16 Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing

pake doa. Ø Habis duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

19 Cewek Bispak asli Bojonegoro

Ø Domisili Surabaya Ø Asli Hot Ø Lagi butuh duit, Ø Hot mas!

20 Cowok Brondong Cakep Imut-imut

Ø Cari Bapak-bapak ABRI/Polri

18 Rhy Chaa.

Ø Sunrise in the dark

21 Bonek Viking sama saja

Ø Sama-sama anjing

Beberapa penulisan grafiti di toilet Bungurasih menggunakan cara lesap untuk

memperoleh keekonomisan penggunaan bahasa. Pada data 16, satuan lingual Belajar

Bahasa Inggris Pake doa dilesapkan pada baris keempat di awal kalimat. Pada data 17,

satuan lingual Slemania PSIM dilesapkan pada awal kalimat baris keempat. Pada data

18, satuan lingual Rhy Cha mengalami pelesapan pada awal kalimat baris kedua. Pada

data 19, satuan lingual cewek bispak dilesapkan pada awak kalimat pertama baris kedua,

awal kalimat kedua baris kedua, awal kalimat pertama baris ketiga, dan awal kalimat

kedua baris ketiga. Pada data 20, satuan lingual Cowok Brondong Cakep Imut-imut

dilesapkan pada awal kalimat baris kedua. Dan pada data 21, satuan lingual Bonek Viking

mengalami pelesapan pada awal kalimat baris kedua

Seluruh satuan lingual yang dilesapkan data 16-21 apabila keseluruhannya

dimunculkan kembali akan membentuk kalimat-kalimat di bawah ini

22 Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing

pake doa.

(Belajar bhs Asing pake doa) Habis

duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

25 Cewek Bispak asli Bojonegoro

(Cewek Bispak) Domisili Surabaya (Cewek Bispak) Asli Hot

(Cewek Bispak) Lagi butuh duit, (Cewek Bispak) Hot mas!

26 Cowok Brondong Cakep Imut-imut

(Cowok Brondong Cakep Imut-imut) Cari

Bapak-bapak ABRI/Polri

24 Rhy Chaa

(Rhy Chaa) Sunrise in the dark

27 Bonek Viking sama saja

(Bonek Viking) Sama-sama anjing

(13)

Kohesi leksikal ialah hubungan antar unsur dalam wacana secara semantis.

Dalam hal ini, untuk menghasilkan wacana yang padu, pembicara atau penulis dapat

menempuhnya dengan cara memilih kata-kata yang sesuai dengan isi kewacanaan yang

dimaksud. Hubungan ini didasarkan pada aspek leksikal yaitu pilihan kata yang serasi,

yang menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antara satuan lingual yang satu

dengan satuan lingual yang lain dalam wacana (Sumarlam, 2009:35)

Terdapat sejumlah piranti kohesi leksikal untuk mewujudkan keutuhan suatu

wacana yaitu: (a) repetisi (pengulangan) (b) sinonimi (persamaan kata) (c) antonomi

(lawan kata) (d) hiponimi (hubungan atas bawah) (e) kolokasi (sanding kata, dan (f)

ekuivalensi (kesepadanan)

Pada bagian ini, tidak semua piranti kohesi leksikal digunakan dalam

menganalisa grafiti yang ada didinding toilet Bungurasih karena tidak semuanya hadir

pada wacana tersebut. Adapun Piranti kohesi leksikal yang hadir adalah:

E.2.a. Repetisi

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat)

yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.

Berikut ini adalah Grafiti yang mengandung repetisi

28. Kadal Afrika

Kadal Arabia Kadal Indonesia

Kadal India

Pada contoh 28 terdapat fenomena repetisi anafora. Repetisi anafora adalah

pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada setiap baris atau kalimat

berikutnya. Kita dapat melihat bahwa dalam salah satu grafiti yang ditemukan di toilet

Bungurasih, kata kadal pada baris pertama mengalami perulangan pada baris kedua,

ketiga dan baris terakhir.

29. Asu Slemania 100% Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar 100% Asu

Pada contoh 29 juga terdapat fenomena repetisi, yaitu kata 100% yang diulang

kemunculannya kembali pada akhir baris. Fenomena inilah yang disebut sebagai repetisi

epistrofa. Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir

baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. Contoh lain

(14)

Sama-sama anjing

31. Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni

Pada contoh 30 kata ’sama’ pada penultima (pada baris pertama) mengalami

repetisi, yaitu muncul pada awal kalimat pada baris kedua. Kemunculan seperti inilah

yang disebut dengan repetisi anadiplosis. Demikian juga contoh 31, mengandung repetisi

anadiplosis. Bedanya, jika pada contoh 30 repetisi muncul di awal baris, maka pada

contoh 31, repetisi muncul pada awal klausa setelah koma.

E.2.b. Sinonimi

Sinonimi (persamaan kata) adalah pemakaian bentuk bahasa yang maknanya sama atau

mirip dengan bentuk lain. Kesamaan ini berlaku dalam tataran kata, frasa,

klausa/kalimat. Simpulannya, sinonimi adalah satuan-satuan lingual yang memiliki the

sameness of meaning (kesamaan arti), dapat pada tataran kata, frasa maupun klausa.

Penggunaan kohesi leksikal yang berupa sinonimi terjadi jika suatu wacana

menggunakan kata/frasa/klausa yang memiliki kesamaan atau kemiripan makna, seperti

contoh di bawah ini:

32. Asu Slemania 100% Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar

100% Asu

33. Boromania Bonek 1 Jiwa

The Jack Anjing! Arema Jancok LA mania pecundang 19 Juni 2009

Pada contoh 32, terdapat pemakaian sinonimi dari kata anjing yaitu ‘asu.’

Demikian juga pada contoh 33. terdapat juga penggunaan sinonimi dari kata makian

‘anjing,’ dengan kata makian lain (meskipun tingkatannya berbeda) yaitu ‘jancok’ dan

‘pecundang’

E.3. Analisis Konteks

Analisis ini merupakan penafsiran atas suatu penulisan grafiti berdasarkan pada irama

konteks yang melatar belakanginya. Latar belakang yang dijadikan sebagai pedoman

(15)

E.3.a. Konteks Personal

Penafsiran berdasarkan konteks personal berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang

menjadi partisipan dalam suatu wacana. Dalam hal yang berhubungan dengan grafiti

yang ditemukan di toilet yang ada di terminal bungurasih, maka siapa penutur maupun

siapa mitra tutur yang terlibat dalam wacana grafiti akan diulas pada bagian ini.

Mengetahui siapa penutur dan siapa mitra tutur (pelibat wacana) sangatlah penting

karena dua hal tersebut sangat menentukan makna sebuah tuturan. Halliday dan Hasan

(dalam Sumarlam, 2009:48) menjelaskan bahwa pelibat wacana merujuk pada

orang-orang yang mengambil bagian, sifat-sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka,

misalnya jenis-jenis hubungan peran apa yang terdapat diantara para pelibat. Ciri-ciri

fisik maupun nonfisik, termasuk umur dan kondisi penutur dan mitra tutur perlu pula

ditambahkan kedalam diri pelibat wacana untuk lebih detail dalam menjelaskan makna

wacana dalam hal ini grafiti.

Dengan menggunakan prinsip ini, kita dapat membagi data temuan 1 s.d. 23 ke

dalam beberapa setting antara lain

a) Penawaran Produk dan Jasa

Grafiti yang mengandung muatan promosi produk dan jasa dapat dilihat pada

data di bawah ini:

34 HENI BTH DUIT 031724xx 08180387xx

37 CO-BOKINGAN GRATIS 031-8123213130 EDI

35 Mita Butuh Yang Besar Banget 081852335xxx

38 SALAM AGENT DOSA GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID

36 Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni

39 Butuh Homo cepat

Ada dua kemungkinan siapa penutur pada data 34, 35, dan 36. Pada data 34

Kemungkinan pertama adalah seseorang yang sedang membutuhkan uang yang bernama

Heni, karena nama Heni tertulis pada Grafiti tersebut. Pada data 35, penutur adalah

seorang perempuan bernama Mita yang sedang membutuhkan sesuatu yang besar,

sedang pada data 36, penutur adalah seorang perempuan yang berasal dari bojonegoro

dan berdomisili di Surabaya. Kemungkinan lain dari siapa penutur data 34, 35, dan 36

(16)

memiliki akses masuk ke toilet laki-laki dan memiliki kesempatan untuk menuliskan

grafiti di tempat tersebut. Tidak diketahui berapa umur, dan kondisi fisik dari Heni, Mita,

dan Luni, maupun laki-laki yang menawarkan produk Heni dan Mita, karena tidak ada

petunjuk pada koteks. Pada data 36 hanya dijelaskan sedikit bahwa perempuan yang

bernama Luni memiliki sesuatu yang hot atau bersifat hot. Meskipun tidak terlalu jelas

gambaran fisik dari penutur, namun yang jelas, tujuan dari penulisan Grafiti ini adalah

menawarkan produk wanita bernama Heni, Mita dan Luni, berdasarkan pada

diletakkannya dua nomor telpon seluler di baris kedua dan ketiga (pada data 34) dan

baris kedua (pada data 35) pada grafiti, serta munculnya kata ’butuh duit’ (butuh uang)

(pada data 34 dan 36) yang menjadi penanda adanya sebuah kegiatan komersial. Mitra

tutur wacana ini adalah semua laki-laki yang berminat menggunakan produk atau jasa

Heni, Mita atau Luni.

Sama seperti data 34-36, pada data 37-39, ada dua kemungkinan siapa penutur

wacana ini. Kemungkinan pertama adalah seseorang yang bernama Edi (data 37) dan

Mokid (data 38) karena dalam koteks, nama Mokid dan Edi tertulis jelas. Kemungkinan

kedua adalah orang lain yang menawarkan produk gigolo (orang ini berfungsi sebagai

makelar), dengan Mokid dan Edi sebagai penyedia gigolonya. Pada data 39, tidak

diketahui siapa penutur karena tidak ada petunjuk pada koteks. Ketiga data tidak

menjelaskan berapa umur, dan kondisi fisik dari penutur, namun yang jelas, seluruh

penutur adalah laki laki. Tujuan dari penulisan Grafiti ini adalah menawarkan jasa

gigolo. Mitra tutur wacana ini adalah laki-laki yang mau menggunakan jasa gigolo.

b) Pengungkapan Jati diri

Grafiti dapat pula berfungsi sebagai wadah mengungkapkan, menunjukkan dan

mempromosikan diri sendiri seperti terlihat pada data di bawah ini:

40. Aku SH Terate 41. PSS Slemania QZ ROEH JOGJA 42. Pasoepati Solo By Winners

Pada data 40, terdapat pengungkapan jati diri dari seorang ”Aku” yang

merupakan anggota dari salah satu perguruan pencak silat yaitu Setia Hati Terate. Selain

pengungkapan siapa sebenarnya ‘Aku,’ grafiti tersebut juga seakan berusaha

(17)

Seseorang yang beridenttas atau berinisial QZ ROEH dari Jogjakarta, dan Winers

berusaha memperkenalkan sesuatu. Berbeda dengan data 40 yang memperkenalkan

perguruan pencak silat, data 41 berusaha memperkenalkan tim sepak bola kesayangan

mereka yaitu PSS Sleman. Data 42 hampir sama dengan data 41, bedanya, penuturnya

berusaha memperkenalkan nama kelompok suporter sepakbola yaitu Pasopati dari Solo.

c) Sentimen Terhadap Rival

Ada beberapa grafiti yang secara jelas menggambarkan kondisi rivalitas dan

sentimen-sentimen yang berhubungan dengan rivalitas tersebut. Data di bawah ini dapat

menggambarkan betapa kuatnya rasa kepemilikan seseorang terhadap sebuah

perkumpulan serta sentimen negatif terhadap perkumpulan lain yang menjadi rival dari

perkumpulan yang digemarinya.

47 Bonek Viking sama saja Sama-sama anjing

Data 43 s.d.47 adalah data yang berhubungan erat dengan dunia sepak bola.

Petunjuk yang bisa digunakan untuk menyimpulkan hal ini adalah satuan lingual

Boromania, Bonek, The Jack, Arema, LA mania, Slemania, PSIM, Singo Edan, Pasopati,

Macan Kemayoran, PSS Sleman, dan Viking.

Dari kata-kata yang berhubungan dengan dunia olahraga di atas, kita dapat

menyimpulkan bahwa penutur adalah penggemar sepakbola atau suporter sebuah

kesebelasan dan mitra tutur adalah juga penggemar sepak bola. Grafiti tersebut dibuat

tidak hanya untuk dibaca penggemar sepakbola yang memiliki tim favorit yang sama

dengan tim penutur, tapi juga untuk dibaca penggemar sepakbola yang mendukung

kesebelasan yang menjadi rival dari kesebelasan favorit penutur.

Pada data 43, jelas menunjukkan keberpihakan penutur kepada sebuah

(18)

dengan hadirnya nuansa positif pada kata Bonek dan Boro mania (baris 1 dan 2) yang

disebutkan sebagai satu jiwa.

Pada data 44 s.d. 47 tidak diketahui dari pendukung kesebelasan mana penutur

berasal, namun kita dapat menyimpulkan bahwa penutur adalah suporter dari pendukung

kesebelasan yang menjadi rival dari kesebelasan sepak bola yang dimaki-makinya dalam

grafiti tersebut

d) Romantisme Tak Terungkap

Grafiti di toilet Bungurasih juga menjadi media menyalurkan perasaan romantis

dan sayang pada seseorang. Dikatakan tidak terungkap karena grafiti yang berisi muatan

perasaan sayang ini berbentuk tulisan yang berada di tempat tersembunyi. Padahal,

perasaan cinta dan sayang biasanya diungkap secara lisan pada orang yang dicintai, atau

melalui tulisan dan dikirimkan pada orang tercinta tersebut. Seperti yang terdapat pada

data 85 dan 86 di bawah ini terdapat dua wacana yang berisi romantisme yang tak

terungkap.

48. KUSNUL LOVE SAMSUL 49. Rhy Chaa

Sunrise in the dark

Data 48 menunjukkan romantisme yang terjadi antara dua orang yaitu Kusnul dan

Samsul. Penutur dari grafiti ini adalah Samsul, karena Kusnul (perempuan) tidak

mungkin menuliskan grafiti ini di toilet laki laki. Peletakan kata Kusnul sebagai Subjek

dari kalimat bukan tanpa alasan. Dengan diletakkannya Kusnul sebagai subjek kalimat

seakan-akan menunjukkan bahwa Kusnullah yang mencintai penutur bukan sebaliknya.

Kusnullah yang menjadi inisiator hubungan tersebut. Samsul sebagai seseorang yang

juga mencintai Kusnul dengan menuliskan Grafiti ini seakan menginginkan bahwa

hubungan mereka diketahui banyak orang. Nuansa inilah yang menjadi penyebab mitra

tutur grafiti ini menjadi tidak terbatas. Seluruh pembaca yang memiliki kesempatan

membaca grafiti ini adalah mitra tutur dari grafiti, bahkan Kusnul, andaikata memiliki

kesempatan masuk ke dalam toilet laki-laki, dapat juga menjadi mitra tutur dari grafiti

ini.

Data 49 juga menunjukkan suasana romantisme, Namun, pada grafiti ini tidak

diketahui siapa penuturnya karena grafiti ini anonimous (tanpa nama). Meskipun

demikian, kita masih tetap dapat menyimpulkan bahwa penutur adalah seseorang

(19)

sebagai the sunrise in the dark, mentari pagi yang terbit dalam kegelapan. Sama seperti

data 85, mitra tuturnya adalah semua orang yang memiliki kesempatan untuk membaca

grafiti ini.

e) Berbagi Pengalaman

Terkadang pengalaman yang menarik perlu diabadikan dalam berbagai bentuk

baik itu gambar maupun tulisan. Penutur wacana pada data 50 telah melakukan hal

tersebut. Dengan menggunakan media grafiti, penutur mengabadikan pengalaman yang

telah didapatkannya.

50. Ini adalah Saksi Bisu Kenikmatan Bu Neli

Kamis 13-09-09, 01.00 WIB

Data di atas adalah rekaman pengalaman penutur yang luar biasa. Pengalaman

tersebut terjadi pada hari kamis, tanggal 13 September 2009 jam 01 dini hari yaitu

pengalaman menikmati Bu Neli. Kisah pengalaman penutur demikian berkesan dan

indah hingga penutur memulai bahasanya dengan menggunakan kalimat metafora ”Ini

adalah Saksi Bisu,”

f) Ajakan Kencan Menyimpang

Data 51 s.d 53 mengandung ajakan kencan. Dikatakan menyimpang karena

penutur dari tiga data tersebut adalah laki-laki dan mitra tutur, atau target ajakan kencan

dari penutur tersebut adalah laki-laki juga.

51 Cowok Cari Teman Curhat Cowok 17-21 Thn

Yang mau menerima apa adanya

53 Cowok Brondong Cakep Imut-imut Cari Bapak-bapak ABRI/Polri

52 Gay Cakep Pacaku Yang Macho Aja boleh

Petunjuk yang mengarah pada kesimpulan kencan ada pada kalimat “Cari teman

curhat” (data 51), “yang macho aja boleh (data 52) dan “cari bapak-bapak ABRI/Polri

(data 53). Kata cari yang muncul pada pada dua data (51 dan 53) mengandung arti

ajakan kencan pada seseorang.

(20)

Selain beberapa muatan yang telah disebutkan di atas, grafiti dapat juga

mengandung muatan peringatan pada orang lain seperti yang terlihat pada data di bawah

ini.

54. Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing pake doa Habis duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

Penutur adalah anonimous (tanpa identitas). Tujuan penutur menuliskan grafiti

ini adalah untuk memberikan peringatan pada mitra tutur agar berhati-hati (kata ”awas

pada baris pertama) atau ajakan untuk tidak belajar bahasa ssing di pondok Alas Tengah

Paiton. Pada wacana ini juga disebutkan dua oknum penipu yaitu Kusnadi dan Gus

Saleh, sebagai alasan penutur menuliskan grafiti tersebut.

h. Ungkapan Kekesalan

Data 55 yang berisikan kata umpatan terhadap sesuatu sangat unik bentuknya.

Seperti terlihat di bawah ini.

55. Jancok Kabeh Seng Nyoret

Keunikan ini disebabkan bahwa data 55 memiliki bentuk yang kurang sempurna

untuk menjadi sebuah kalimat yang baik, koteks maupun konteks yang mendukung

interpretasi penutur juga tidak ada. Kurangnya bantuan dari koteks dan konteks dalam

menginterpretasikan data 55 menyebabkan siapa penutur sebenarnya menjadi kuang

jelas. Kurang jelasnya penutur ini karena sangat bergantung pada parafrase wacana

tersebut. Kalimat ”Jancok Kabeh Seng Nyoret” apabila diparafrasekan dapat berbentuk:

(a) ”Jancok Kabeh Seng Nyoret (tulisanku kemarin ini)” dan (b) ”Jancok Kabeh Seng

Nyoret (tembok ini)”. Jika kita menerima parafrase (a) sebagai parafrase yang sahih,

maka penuturnya adalah seseorang yang telah menuliskan sesuatu di tembok toilet yang

kemudian tulisannya dicoret oleh orang lain yang datang setelahnya. Namun jika kita

menerima parafrase (b) maka penutur wacana ini adalah penjaga toilet sebagai

penanggung jawab kebersihan toilet. Ia kesal karena toiletnya dicoreti oleh orang yang

tidak bertanggung jawab. Apabila benar penutur adalah penjaga toilet, fenomena ini

sangatlah unik, mengingat ia sangat kesal pada orang yang mencoret-coret dinding toilet,

padahal ia sendiri juga melakukan kegiatan corat-coret tersebut.

i. Anfora Absurd

Jenis wacana yang mengandung muatan perulangan anafora ada pada data 56. Dari data

(21)

56. Kadal Afrika Kadal Arabia Kadal Indonesia Kadal India

Data di atas tidak jelas maksud penulisan maupun identitas penuturnya. Kata

kadal juga multiinterpretasi. Kata itu dapat bermakna hewan melata, atau singkatan dari

“Katok Dalem” atau bahkan alat kelamin laki-laki. Karena minimnya bantuan dari koteks

inilah maka wacana grafiti yang seperti ini disebut sebagai wacana absurd

E.3.b. Penafsiran Berdasarkan Konteks Lokal Temporal

Prinsip lokasional ini berkaitan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya

suatu situasi dalam rangka memahami wacana. Prinsip penafsiran temporan berkaitan

dengan waktu dengan menggunakan konteksnya. Seluruh data grafiti tidak dapat

dipahami dengan menggunakan dua pendekatan ini. Hal ini diakibatkan oleh minimnya

petunjuk baik itu yang ada pada koteks maupun konteks. Andaikata ada, maka grafiti

tersebut tidak perlu ditafsirkan kapan waktu dan tempat kejadian karena telah jelas

petunjuknya dalam koteks. Ketika informasi yang dibutuka ada pada wacana, maka

analisisnya masuk pada bagian pembahasan referensi temporal dan lokasional

E.3.c. Inferensi 1) Inferensi Lingual

Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan untuk memahami makna

yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkap oleh komunikator, atau

dengan kata lain inferensi adalah proses memahami makna tuturan sedemikian rupa

sehingga sampai pada penyimpulan maksud dan tuturan.

Beberapa grafiti yang membutuhkan inferensi untuk memahami pesan atau

makna di balik keberadaannya adalah:

57 HENI BTH DUIT 031724XX 08180387XX

60 SALAM AGENT DOSA GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID

58 Mita Butuh Yang Besar Banget 81852335xxx

61 CO-BOKINGAN GRATIS 031-8123213130 EDI 59 Cewek Bispak asli Bojonegoro

(22)

Data 57 s.d 59 secara implisit memberi informasi bahwa Heni, Mita, dan Luni

adalah Wanita Tuna Susila. Melalui grafiti ini, mereka dipromosikan untuk mendapatkan

pelanggan yang mau menggunakan jasa mereka. Berdasarkan konteks inilah, maka frasa

“Yang Besar Banget” dapat dipahami sebagai kelamin laki-laki

Data 60 dan 61 juga memberikan informasi secara implisit bahwa nama Mokid

dan Edi adalah nama penyedia gigolo. Bagi masyarakat yang berminat, Edi dan Mokid

sanggup menyediakan gigolo untuk masyarakat tersebut.

Beberapa data lain yang melibatkan inferensi adalah:

62 Cowok Brondong Cakep Imut-imut Cari Bapak-bapak ABRI/Polri

64 Cowok Cari Teman Curhat Cowok 17-21 Thn

Yang mau menerima apa adanya 63 Gay Cakep Pacaku

Yang Macho Aja boleh

Melalui proses inferensi, kita dapat menjumpai informasi bahwa grafiti ini ditulis

oleh seorang homoseksial yang memiliki fungsi untuk mengajak berkencan sesama

homoseksual lainnya.

Harus diakui bahwa seluruh data yang didapat (sebelum proses reduksi) memiliki

kaitan erat dengan dunia seksual ilegal, baik itu dengan wanita tuna susila, gigolo,

maupun homoseksual. Bahkan data di bawah ini yang sekilas terlihat biasa saja, namun

karena bergabung dengan data lain yang berhubungan dengan seksualitas ditambah

dengan adanya bantuan gambar berupa alat kelamin laki-laki, maka kata kadal akhirnya

berbau seksual juga:

65. Kadal Afrika Kadal Arabia Kadal Indonesia Kadal India

Kata kadal, tanpa ada petunjuk koteks maupun konteks secara alami akan

dimaknai hewan melata seperti cicak, namun tubuhnya lebih besar dan licin. Namun,

karena kata ini berada dalam konteks seksualitas, maka kata kadal dimaknai alat kelamin

laki-laki. Penutur berusaha mendaftar alat kelamin laki-laki dari beraneka jenis suku

bangsa di dunia.

(23)

Fenomena penulisan grafiti di toilet Bungurasih dapat dianalisa dengan menggunakan

pendekatan inferensi dari sudut pandang sosiokultural. Ada beberapa poin yang dapat

disimpulkan dari munculnya ke-23 grafiti di toilet umum antara lain:

a. Masyarakat Indonesia yang terkenal adat sopan santunnya, bahasanya yang halus dan

penuh tata krama, ternyata ketika mereka diberikan media yang menawarkan provasi

tinggi berubah menjadi lebih ekspresif dan berani, terutama dalam menunjukkan

perasaan dan menggunakan kata-kata makian

b. Berdasarkan data grafiti yang dikumpulkan, ada beberapa aspek yang dapat memicu

dan mendorong masyarakat untuk lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaan dan

menggunakan kata-kata makian yaitu asmara, sex, dan dunia sepak bola

c. Wanita, masih tetap menjadi ‘objek penderita’ dalam kacamata lelaki, terbukti

banyak grafiti yang berisi penawaran-penawaran wanita untuk dibooking, meskipun

banyak juga yang menawarkan pria sebagai komoditas dagang.

d. Dengan tidak ditemukannya grafiti di toilet wanita, maka secara tidak langsung

memberikan kesan pada kita meskipun terdapat media yang menawarkan privasi

tingkat tinggi, kaum wanita tidak mudah terpancing untuk memanfaatkannya dan

berubah menjadi lebih ekspresif seperti laki-laki dengan memunculkan kata-kata

vulgar dan jorok. Sikap tertutup dan malu-malu wanita Indonesia masih melekat kuat

F. Simpulan

Berdasarkan analisis kewacanaan terhadap grafiti yang ditemukan didinding toilet umum

terminal Bungurasih melalui pendekatan mikro dan makrostruktural sebagaimana telah

diuraikan, maka dapat dirunut menjadi sebuah simpulan sebagai berikut:

a. Berdasarkan isi grafiti/latrinal serta manfaatnya, ditemukan bentuk-bentuk manfaat

latrinal baru yang belum pernah dijelaskan dalam laporan penelitian tentang grafiti

yang ada di Amerika Serikat atau negara lain, yaitu graiti ternyata dapat juga

berfungsi sebagai (1) alat menawarkan produk dan jasa, (2) pengungkapan jati diri

(3) sarana memberikan peringatan, dan (4) ajakan kencan menyimpang

b. Semakin pendek sebuah teks, semakin banyak inferensinya, semakin panjang sebuah

teks, semakin sedikit inferensi yang terlibat

c. Grafiti yang ada ditoilet umum Bungurasih dapat dianalisis dengan menggunakan

(24)

d. Meskipun dapat dianalisis dengan menggunakan analisis wacana, namun tidak semua

piranti analisis dapat digunakan dalam menganalisis grafiti tersebut.

e. Dengan menggunakan kohesi gramatikal, hanya tiga piranti yang dapat digunakan

yaitu Substitusi, Elipsis dan Referensi

f. Pada kohesi leksikal hanya ada dua piranti yang digunakan yaitu repetisi dan

sinonimi

g. Pada analisa konteks, piranti penafsiran personal dapat digunakan dengan baik.

Piranti temporal dan lokasional kurang dapat berperan karena minimnya petunjuk

dalam koteks maupun konteks. Inferensi masih dapat berperan meskipun tidak dapat

mencakup seluruh grafiti yang ada dalam daftar

h. Dengan menggunakan prinsip penafsiran personal ini, maka ke-23 data temuan dapat

dibagi ke dalam 9 setting antara lain: (1) promosi produk, (2) pengungkapan jati diri,

(3) sentimen terhadap rival, (4) ajakan kencan menyimpang, (5) peringatan, (6)

romantisme tak terungkap, (7) berbagi pengalaman, (8) ungkapan kekesalan, (9) dan

daftar

i. Grafiti dapat pula dianalisis dengan piranti inferensi sosiokultural.

j. Mayoritas grafiti berhubungan dengan seksualitas ilegal

k. Banyak dijumpai penggunaan kata-kata tidak sopan, makian, vulgar, dan

pendiskreditan kelompok dalam membentuk sebuah grafiti sehingga dengan

demikian, penelitian ini, meskipun tidak seratus persen benar, dapat digeneralisasi

sebagai rapor merah bagi masyarakat Indonsia, utamanya kaum laki-lakinya. Dari

hasil penelitian ini kita dapat menyimpulkan bahwa kondisi sosial yang berkembang

yang diiringi kondisi ekonomi yang semakin sulit ternyata dapat merubah bahasa

yang dunakan masyarakat Indonesia. Masyarakat ternyata mulai mudah

menggunakan bahasa kotor ketika bersinggungan dengan dunia seksual dan

sepakbola.

REFERENSI

Adams, K. L., & Winter, A. 1997. Gang Grafiti As a Discourse Genre. Journal of Sociolinguistics, 1(3), 337-360.

(25)

Basthomy, Yazid. 2007. An Initial Intimation Of a Yet Banal Discourse: Truck Graffiti. K@TA 9:1.34-48

Effendy, B. 2003. Islam and the state in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Emmison, M., & Smith, P. 2000. Researching the visual: Images, objects, contexts and

interactions in social and cultural inquiry. London: Sage Publications.

Gadsby, J. (1995). Taxonomy of analytical approaches to grafiti. Retrieved July 22, 2004, from http://www.grafiti.org/faq/appendix.html

Herlijanto, J. 2003. The politics of Chinese Indonesians after the May 1998 tragedy. Paper presented at the 3rd International Convention of Asia Scholars, August 19-22, 2003, organized by National University of Singapore, Singapore.

Jordaan, R. E. 1997. Tara and Nyai Lara Kidul: Images of the Divine Feminine in Java.

Asian Folklore Studies, 56(2), 285-312.

Joswig-Mehnert, D., &Yule, G. 1996. The trouble with grafiti. Journal of English

Linguistics, 24(2), 123-130.

Moonwomon, B. 1995. The writing on the wall: A border case of race and gender. In K. Hall, & M. Bucholtz (Ed.), Gender articulated: Language and the socially

constructed self (pp. 447-467). New York: Routledge.

Obeng, S. G. (2000). Speaking the unspeakable: Discursive strategies to express language attitudes in Legon (Ghana) grafiti. Research on Language and Social

Interaction, 33(3), 291-319.

Rodriguez, A., & Clair, R. P. (1999). Grafiti as communication: Exploring the discursive tensions of anonymous texts. Southern Communication Journal, 65(1), 1-15.

Santoso, A. (2003). Bahasa politik pasca Orde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Schwarz, A. (2004). Indonesia: The election and beyond. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Sulistyo, H., Achwan R., & Soetrisno, B. R. (2002). Beyond terrorism: Dampak dan

strategi pada masa depan.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sumarlam, 2009, Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Surakarta. Pustaka Caraka

Winarta, F. H. (2004). Racial discrimination in the Indonesian legal system: Ethnic Chinese and nation-building. In L. Suryadinata (Ed.), Ethnic relations and

nation-building in Southeast Asia: The case of the ethnic Chinese (pp. 66-81).

(26)

Lampiran-lampiran

Gambar

Tabel 1. Grafik Perbandingan jumlah penelitian terhadap berbagai tipe Grafiti. (Gadsby, 1995)

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembelian industri adalahjauh lebih kompleks dari pada keputusan membeli yang dibuat oleh konsumen. Titik berat dari model ini adalah pada proses

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DIPADU DENGAN METODE PEMBELAJARAN EVERYONE IS A TEACHER HERE TERHADAP HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS X SMA NEGERI 1

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari

Hasil: Dari 214 sampel terdiri dari 116 sampel rural area dan 98 sampel urban area, hanya faktor durasi membaca buku pada sampel di rural area yang berhubungan dengan

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis berapa besar pengaruh variabel harga cabai merah, jumlah penduduk dan pendapatan terhadap permintaan cabai merah di

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PEMBELIAN PAKET WISATA D I LITTLE FARMERS KABUPATEN BAND UNG BARAT. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

In this novel, Christina and Valhalla have revealed the ideas of liberal feminism which are freedom of choice and

Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa perlakuan kombinasi yang terbaik akan meningkatkan volume semen, memperkecil konsentrasi dan memeprbesar