i
KONDISI KUALITAS PERAIRAN DI WAY PERIGI,
KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN
LAMPUNG TIMUR
Eka Anisa Widya Bahri C24080034
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai,
Kabupaten Lampung Timur
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam tubuh tulisan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
iii
RINGKASAN
Eka Anisa Widya Bahri. C24080034. Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi,
Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Dibimbing oleh
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc.
Sungai merupakan salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi
kehidupan organisme didalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai memiliki
beberapa fungsi antara lain sebagai sumber air keperluan rumah tangga, irigasi,
perindustrian, pertanian, dan kegiatan perikanan. Namun terdapat satu pemanfaatan
dari sungai yang dapat menimbulkan masalah, yaitu sungai sebagai tempat
pembuangan limbah, baik limbah domestik maupun limbah industri. Way Perigi,
merupakan salah satu sungai di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten
Lampung Timur, yang melewati beberapa desa. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian terhadap kondisi kualitas perairan baik parameter fisika dan kimia
perairan di Way Perigi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan status
mutu perairan Way Perigi dari daerah hulu sungai yang berupa mata air hingga
bagian hilir sungai sebelum air payau serta pengelolaan lebih lanjut dari sungai ini.
Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei
2012, sebanyak 3 kali pengambilan contoh air dengan jarak waktu 2 minggu. Lokasi
penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung
Timur dari hulu berupa mata air (stasiun 1), tengah sungai (stasiun 2) berada di
pemukiman warga, dan hilir (stasiun 3) berupa muara sungai. Analisis air dilakukan
di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, MSP-IPB. Penentuan
status mutu perairan di Way Perigi, dianalisis menggunakan Metode Indeks
STORET dan Indeks Pencemaran.
Bila dilihat dari hasil pengukuran parameter-parameter kualitas air, perairan
Sungai Way Perigi masih berada dalam kisaran yang diperbolehkan menurut
Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III (baku mutu air yang digunakan
untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan atau peruntukan lain). Pada
analisis indeks STORET dapat diketahui bahwa pada hulu dan tengah sungai
iv
yang berarti tercemar ringan. Berbeda dengan Indeks Pencemaran yang menyatakan
bahwa ke tiga stasiun masih dalam kondisi baik.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi
kualitas perairan di Sungai Way Perigi masih dalam kondisi baik, kecuali pada
bagian hilir sungai yang tercemar ringan. Namun secara keseluruhan Sungai Way
Perigi masih dapat di manfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan
sehari-hari, maupun kegiatan perikanan dan pertanian.
v
KONDISI KUALITAS PERAIRAN DI WAY PERIGI,
KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN
LAMPUNG TIMUR
EKA ANISA WIDYA BAHRI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
vi
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul penelitian : Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi Kecamatan
Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur
Nama : Eka Anisa Widya Bahri
NIM : C24080034
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui,
Tanggal lulus : 7 Agustus 2012 Pembimbing I,
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga NIP. 19481207 198012 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002
Pembimbing II,
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1) Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia-Nya;
2) Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. selaku
pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan, ilmu dan
arahan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi;
3) Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Ketua Komisi Pendidikan yang
telah banyak memberikan masukan dan saran terkait penulisan skripsi;
4) Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan
saran dan masukan;
5) Seluruh staf Tata Usaha dan civitas MSP terutama Mbak Widar atas bantuan
dan dukungannya dalam penyelesaian administrasi;
6) Ir. Zairion, M.Sc. atas ilmu, doa, dan dukungan serta bantuan dalam jalannya
penelitian dan penyusunan skripsi;
7) Ibu Ana selaku Ketua Laboran Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan
Perairan MSP yang telah banyak membantu dalam analisis laboratorium;
8) Bapak Samsul Bahri, SH dan Ibu Widi Handayani selaku kedua orang tua
penulis serta Ugi Lestari Widya Bahri selaku adik penulis atas semua doa,
nasehat, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis;
9) Bachtiar Umar yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian di
lapang serta doa, semangat, nasihat, dan ilmu dan penyusunan skripsi;
10)Christian Halawa, Aditya Sinugraha Pamungkas, dan Bang Harun yang telah
membantu dalam penelitian di lapang;
11)Irwan Rudy Pamungkas ITK 46, yang telah banyak membantu dalam
pembuatan peta penelitian;
12)Tanti, Niear, Yuni, Nisa, Dina, Dara atas doa, dukungan, nasehat, dan
persahabatan yang tulus kepada penulis sewaktu di Pondok Citra Ayu;
13) Sahabat tercinta di MSP 45 (Dila, Kanti, Dina, Hendri, Rikza, Wening, dan
Aang) atas doa, dukungan, nasehat, dan persahabatan yang tulus kepada
penulis;
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 19 Juni 1991
sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Samsul
Bahri, SH dan Widi Handayani. Pendidikan formal yang pernah
dijalani penulis berawal dari TK Diponegoro 16 Purwokerto (1995-1996), SDN 01
Karang Pucung Purwokerto (1996-2002), SMPN 5 Purwokerto (2002-2005), SMAN
2 Purwokerto (2005-2006) dan SMAN 4 Bandar Lampung (2006-2008). Pada tahun
2008 penulias diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI), kemudian diterima di Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Selain mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata
Kuliah Limnologi (2010/2011 dan 2011/2012), dan Asisten Mata Kuliah Metode
Penarikan Contoh (2011/2012). Penulis juga aktif di organisasi kemahasiwaan
Dewan Perwakilan Mahasiswa FIPIK (2009/2010 dan 2010/2011), Himpunan
Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai Badan
Pengawas (2010/2011) serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpartisipasi
dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung
ix
PRAKATA
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kondisi
Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten
Lampung Timur”. Penelitian ini dilakukan dari bulan April – Mei 2012.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyusunan
penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun dan saran demi
kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca.
Bogor, September 2012
x
2.4.2. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand - BOD) ... 10
2.4.3. Oksigen terlarut (DissolvedOxygen - DO) ... 12
2.4.4. Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen) ... 13
3.3.2. Pengambilan dan penanganan air contoh ... 18
xi
4.3.3. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand- BOD) ... 31
4.3.4. Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen) ... 32
4.3.5. Total fosfat ... 36
4.4. Karakteristik Perairan ... 37
4.4.1. Debit air ... 37
4.5. Evaluasi kualitas perairan Way Perigi dengan Indeks STORET ... 38
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan
tersuspensi (Alabaster dan Llyoyd 1982 in Effendi 2003). ... 6
2. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD (Lee et al. 1978 in Lestari 2004) ... 11
3. Paramater fisika-kimia perairan yang diamati beserta metode/alat yang
digunakan (APHA 2005). ... 19
4. Penetuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air (Canter 1997 in
KepMen LH No 115 tahun 2003) ... 22
5. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks STORET ... 22
6. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks Pencemaran ... 23
7. Jumlah skor STORET dan klasifikasi perairan pada setiap stasiun selama
pengamatan ... 39
8. Nilai Indeks Pencemaran dan klasifikasinya pada setiap stasiun selama
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema perumusan masalah ... 2
2. Sketsa lokasi penelitian, stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 di Way Perigi... 18
3. Sebaran rataan nilai suhu setiap stasiun selama pengamatan ... 25
4. Sebaran rataan nilai TSS setiap stasiun selama pengamatan ... 26
5. Sebaran rataan nilai kekeruhan setiap stasiun selama pengamatan ... 27
6. Hubungan antara nilai TSS dengan Kekeruhan ... 27
7. Sebaran rataan nilai TDS setiap stasiun selama pengamatan ... 28
8. Sebaran rataan nilai pH setiap stasiun selama pengamatan ... 29
9. Sebaran rataan nilai DO setiap stasiun selama pengamatan ... 30
10. Sebaran rataan nilai BOD setiap stasiun selama pengamatan... 31
11. Sebaran rataan nilai nitrat (NO3-N) setiap stasiun selama pengamatan... 32
12. Sebaran rataan nilai nitrit(NO2-N) setiap stasiun selama pengamatan ... 33
13. Sebaran rataan nilai amonia (NH3-N) setiap stasiun selama pengamatan ... 34
14. Sebaran nilai rata-rata dari nitrat, nitrit, dan amonia ... 35
15. Sebaran rataan nilai total fosfat setiap stasiun selama pengamatan ... 36
16. Sebaran nilai rata-rata debit air di setiap stasiun pengamatan ... 38
17. Nilai Indeks STORET Way Perigi menurut ... 39
18. Grafik nilai IP pada setiap stasiun selama pengamatan ... 41
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Way
Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur ... 37
2. Kriteria mutu air berdasarkan kelas ... 50
3. Perhitungan Indeks STORET ... 51
4. Perhitungan Indeks Pencemaran (IP) ... 52
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sungai merupakan salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi
kehidupan organisme di dalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai
memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai sumber air keperluan rumah tangga,
irigasi, perindustrian, dan kegiatan perikanan. Namun terdapat satu pemanfaatan dari
sungai yang dapat menimbulkan masalah, yaitu sungai sebagai tempat pembuangan
limbah, baik limbah rumah tangga (domestik) maupun limbah industri. Hal tersebut
dapat menimbulkan ketidakseimbangan dari ekosistem di dalamnya. Jika
pengelolaan sungai diabaikan, maka kualitas perairan dari sungai akan menurun dan
berdampak pada kehidupan organisme di dalamnya serta berdampak bagi kegiatan
manusia yang memanfaatkan sungai untuk kegiatan sehari-hari.
Way Perigi, merupakan salah satu sungai di Kecamatan Labuhan Maringgai,
Kabupaten Lampung Timur, yang melewati beberapa desa, antara lain Desa
Maringgai, Desa Donoharjo, dan Desa Muara Gading Mas. Bagian hulu dari Way
Perigi yaitu berupa mata air yang terletak di Desa Maringgai, biasanya dimanfaatkan
masyarakat sekitar sebagai sumber air minum, kegiatan mandi dan cuci. Pada bagian
hulu sungai, masih belum terlalu padat pemukiman. Bagian hilir Way Perigi, terletak
di muara pesisir pantai, masyarakat menggunakannya sebagai kegiatan perikanan
dan pertanian.
Pada bagian hilir sungai sudah banyak terdapat pemukiman serta limpasan dari
aktivitas pemukiman yang semakin banyak, sehingga diduga dapat mempengaruhi
kondisi kualitas perairan di Way Perigi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
terhadap kondisi kualitas perairan baik parameter fisika dan kimia perairan di Way
Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur agar masyarakat
dapat memanfaatkan sungai tersebut secara optimal dan tidak menurunkan kualitas
perairan. Selain itu penelitian ini dilakukan sebagai data awal kualitas periran Way
1.2. Perumusan Masalah
Sungai biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai aktivitas sehari-hari
seperti untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK), perikanan, peternakan, dan pertanian.
Kegiatan-kegiatan tersebut yang berada di sekitar sungai akan mempengaruhi
kondisi kualitas perairan akibat limpasan (run-off) menuju sungai. Apabila masukan
bahan-bahan organik dari kegiatan tersebut telah melebihi ambang batas
kemampuan perairan untuk menampungnya, maka sungai dapat terjadi pencemaran
dan dapat mengganggu kehidupan organisme di dalamnya serta dapat mengganggu
aktivitas masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mengenai
parameter fisika dan kimia dari sungai tersebut untuk menentukan status mutu
perairan seperti yang terlihat pada skema Gambar 1.
Gambar 1. Skema Perumusan Masalah
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan status mutu perairan Way
Perigi yang berada di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur
dari daerah hulu sungai yang berupa mata air hingga bagian hilir sungai sebelum air
payau.
Aktivitas Manusia
Hidrologi Sungai
Karakteristik Fisika-Kimia Perairan
Kondisi kualitas perairan
Penentuan Status Mutu
1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah dan data
kondisi fisika dan kimia perairan Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai,
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Perairan
Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan
(UU No. 32 tahun 2009). Pencemaran adalah perubahan lingkungan yang tidak
menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola
penggunaan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia dan
jumlah organisme (Sastrawijaya 2000). Sedangkan menurut Mason (1981)
pencemaran adalah kehadiran dari suatu zat yang tidak alami dalam jumlah besar
dan konsentrasinya tidak normal pada suatu keadaan alamiah, serta menyebabkan
efek yang tidak diinginkan seperti perubahan secara ekologis.
Sumber pencemar dapat berupa lokasi tertentu (point source) atau tak tentu/
tersebar (non-point source). Sumber pencemar dari point source misalnya cerobong
asap pabrik dan saluran limbah industri. Volume pencemar dari point source
biasanya relatif tetap. Sedangkan sumber pencemar non-point source dapat berupa
point source dalam jumlah yang banyak, misalnya limpasan dari daerah pertanian
yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik)
dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003).
Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan
menjadi polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan
yang masuk ke dalam lingkungan secara alami, misalnya akibat letusan gunung
berapi. Pulutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke lingkungan akibat
aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), dan kegiatan
industri.
2.2. Ekosistem Mengalir
Perairan sungai adalah suatu perairan yang dicirikan oleh arus yang relatif
kencang. Perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh
Menurut Welch (1952) ekosistem mengalir dicirikan dengan badan air yang
bergerak atau mengalir secara berkesinambungan dengan arah terntentu. Sedangkan
menurut Dodds (2002) sungai memiliki karakteristik yang bagus dalam hidrologi,
karena ketertarikaan saat banjir, erosi, dan supply air. Sungai yang alami pada
dasarnya merupakan refleksi dari proses vulkanik yang bersangkutan dengan
transpor air dan material (Reid 1961). Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi
merupakan fenomena umum yang terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan
fauna pada sungai sangat dipengaruhi ketiga variabel tersebut (Effendi 2003).
Menurut Reid (1961) berdasarkan faktor ekologi sungai dapat dibagi menjadi
3 bagian, yaitu :
- Hulu sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang cukup
besar sehingga dicirikan dengan arus yang cepat. Substrat dasar biasanya
terdiri dari batu dan kerikil, namun pada arus yang lambat (pools)
ditemukan juga substrat detritus organik yang sedikit dan pasir.
- Tengah sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang tidak
terlalu besar sehingga dicirikan dengan arus yang lebih lambat
dibandingkan daerah hulu. Substrat dasarnya terdiri dari material kasar
seperti pasir, namun pada bagian sungai yang sedikit tergenang (pools) dan
pinggiran sungai ditemukan lumpur.
- Hilir sungai. Bagian sungai yang terletak di mulut sungai dengan substrat
dasarnya terdiri dari lumpur dan detritus organik. Pada bagian ini ditandai
dengan adanya semak-semak dan rawa.
2.3. Parameter Fisika
2.3.1. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan
Padatan total, sebagian besar terdiri dari bikarbonat yang merupakan anion
utama di perairan yang telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida,
sehingga karbondioksida dan gas-gas laiin tidak termasuk dalam padatan total saat
pemanasan (Boyd 1988). Menurut APHA (2005) padatan total adalah bahan yang
tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu.
Sedangkan padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid) merupakan
dengan kertas saring yang mempunyai pori-pori berdiameter 0.45 μm akan tertahan
(Effendi 2003). Tinggi rendahnya nilai padatan tersuspensi tidak selalu diikuti oleh
tinggi rendahnya nilai kekeruhan secara linier, karena pengukuran kekeruhan
didasarkan pada banyaknya cahaya yang tersisa setelah diserap oleh bahan-bahan
yang terkandung dalam air, sedangkan padatan tersuspensi didasarkan atas bobot
residu dari bahan-bahan yang terkandung dalam air sebagai suspensi (Widigdo 2001
in Feriningtyas 2005).
Alabaster dan Lloyd (1982) in Effendi (2003) mengkategorikan kesesuaian
perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi total
menjadi 4 kelompok dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi .
Sumber : Alabaster dan Lloyd 1982 in Effendi 2003
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria
baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air
minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan
perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan tersuspensi
(Total Suspended Solid) dibawah 50 mg/l dan 400 mg/l.
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
didalam air (Effendi 2003). Kekeruhan adalah kondisi yang dihasilkan air dari
adanya bahan tersuspensi di perairan. Secara umum kekeruhan air akan terjadi jika
beban dari padatan tersuspensi banyak. Kekeruhan sungai yang berada didaerah
pegunungan hulu memiliki nilai yang sangat rendah dibandingkan sungai yang
berada di hilir (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid (1961) di sungai yang
rendah, kekeruhan menjadi lebih dominan dan menjadi fitur karakteristik pada
sebagian besar sungai. Bergantung pada sifat kimia alami dari material tersuspensi
Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan
<25 Tidak berpengaruh
25 – 80 Sedikit berpengaruh
81 – 400 Kurang baik bagi perikanan
dan ukuran partikel, warna sungai dapat berkisar mendekati putih, merah dan coklat.
Di sungai yang kekeruhannya tidak terlalu banyak, plankton dapat berkembang dan
membuat warna sungai menjadi kehijauan.
Menurut Mason (1981) nilai kekeruhan dapat menunjukan kandungan bahan
tersuspensi dan koloid yang terdapat pada perairan sungai. Kekeruhan di sungai
terutama disebabkan oleh adanya erosi dari daratan yang terbawa masuk ke sungai.
Kekeruhan dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan sehingga
dapat mengganggu proses fotosintesis. Menurut Effendi (2003), padatan tersuspensi
berkolerasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai
kekeruhan juga semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya nilai kekeruhan tidak selalu
diikuti dengan tingginya padatan terlarut.
2.3.2. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS)
Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid) adalah bahan-bahan terlarut
(diameter 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm – 10-3 mm) yang berupa
senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring
berdiameter 0,4μm (Rao 1992 in Effendi 2003). Nilai padatan terlarut total perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh
antropogenik (berupa limbah domestik dan industri) (Effendi 2003). Menurut Reid
(1961) reaksi dan proses dari ion-ion dan materi organis di sungai berasal dari
proses kimia dan biologi dan kondisi sungai tersebut. Air yang ada di sungai yang
besar, secara umum memiliki keseragaman yang sama, begitu banyak sehingga
secara kuantitatif, kandungannya menjadi bermakna.
Kandungan jumlah zat padatan terlarut berpengaruh terhadap kesadahan air
yaitu garam-garam kalsium, sulfat dan klorida, semakin tinggi zat padatan terlarut di
dalam air semakin tinggi pula nilai kesadahan dan kadar garamnya, sehingga akan
menurunkan kandungan oksigen yang terlarut dalam air (Fardiaz 1992). Padatan
terlarut total sangat bervariasi, tergantung pada karakteristik masukan ke sungai.
Dalam hal ini, ekosistem lotik dan lentik mempunyai beberapa perbedaan yang
umum. Pada kenyataannya keduanya saling mempengaruhi satu sama lain
dikarenakan cara yang memungkinkan saling berhubungan seperti di inlet atau outlet
kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air
baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi
kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan
terlarut total maksimal sebesar 1000 mg/l.
2.3.3. Suhu
Pada ekosistem lotik, fenomena temperatur biasanya berbeda dengan
ekosistem lentik. Prinsipnya adalah (1) suhu cenderung sama di setiap kedalaman,
bahkan di sungai yang dangkal, perbedaan suhu antara permukaan dan dasar
diabaikan, (2) kecenderungan mengikuti suhu udara lebih dekat daripada di danau,
(3) stratifikasi suhu hampir tidak ada. Beberapa prinsip dari keadaan utama
terjadinya perbedaan suhu yaitu (1) kedalaman air, (2) kecepatan arus, (3) material
dasar, (4) suhu masukan air dari anak sungai, (5) masuknya cahaya matahari, (6)
tingkat penutupan sungai, (7) waktu harian (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid
(1961) sebagian besar faktor yang menetukan suhu adalah radiasi panas langsung
dari matahari. Di sisi lain, suhu dari sungai merupakan sebuah ukuran dari aksi dan
interaksi bebrapa faktor, seperti pada sungai yang berada di pegunungan memiliki
suhu yang lebih sejuk dari substratnya, akibat dari bayangan vegetasi yang
menutupinya. Sedangkan pada sungai yang berada di dataran rendah, lebih lebar dan
dalam, sehingga air lebih terpapar oleh sinar matahari, dan menyimpan energi panas
lebih besar.
Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti intensitas cahaya penyinaran matahari, pertukaran panas
antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy
(penutupan oleh vegetasi). Moriber (1974) menyatakan bahwa peningkatan suhu
menyebabkan penurunan daya larut oksigen dan juga akan menaikan daya racun
polutan terhadap organisme perairan. Suhu optimal bagi ikan dan organisme
makanannya adalah berkisar antara 25 – 30 °C (Boyd 1988). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu
perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu
perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan
2.3.4. Kecepatan arus
Kecepatan arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap
kemampuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar
(Effendi 2003). Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan gradien ketinggian
antara hulu dan hilir. Apabila perbedaan ketinggian cukup besar maka arus semakin
deras. Kecepatan arus adalah faktor penting diperairan. Kecepatan arus yang besar
(>5m/detik) mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya jenis yang
melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami kerusakan fisik.
2.3.5. Debit air
Menurut Seyhan (1990) debit air merupakan volume air yang mengalir
melalui suatu irisan melintang dalam satu satuan waktu. Adanya aktivitas manusia
yang menggunakan lahan disekitar sungai dan curah hujan mempengaruhi debit air.
Semakin tinggi curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia semakin tinggi
pula debit airnya. Sedangkan bila curah hujan dan masukan air dari aktivitas
manusia rendah maka rendah pula debit airnya. Debit air yang meningkat, akan
meningkatkan kadar bahan-bahan alam terlarut secara eksponensial (Effendi 2003)
Menurut Efffendi (2003) konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang memasuki
badan air mengalami penurunan dengan meningkatnya debit badan air karena terjadi
proses pengenceran.
Debit sungai dapat juga diperoleh dari permukaan air sungai. Dalam
persoalan pengendalian sungai, permukaan air sungai yang sudah dikorelasikan
dengan curah hujan dapat membantu mengadakan data untuk pengelakan banjir,
peramalan banjir, pengendalian banjir dengan bendungan. Dalam usaha pemanfaatan
air, permukaan air sungai dapat juga digunakan untuk mengetahui secara umum
banyaknya air sungai yang tersedia, penentuan kapasitas bendungan dan seterusnya
2.4. Parameter Kimia
2.4.1. pH
Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa
dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan (Saeni
1989). Menurut Reid (1961) peningkatan nilai pH dapat disebabkan peningkatan
pada nilai total alkalinitas, dan penurunan karbondioksida. Sedangkan menurut
APHA (2005) pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif dari air
untuk menetralkan basa hingga pH tertentu. Menurut Boyd (1982) sebagian besar
perairan alami memiliki nilai pH berkisar antara 6.5 – 9, tetapi terdapat banyak
pengecualian. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang
lebih tinggi, makin ke hilir pH air akan menurun menuju suasana asam. Hal ini
disebabkan oleh adanya penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang terurai
(Sastrawijaya 2000).
Aliran sungai relatif tidak larut terhadap kandungan silika yang tinggi yang
bersifat lembut, karena terdapat kandungan bikarbonat yang cukup untuk menjadi
buffer dari perubahan pH yang disebabkan oleh karbondioksida. Berdasarkan
karbondioksida, bikarbonat, dan karbonat, dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan dengan pH, yaitu 1) nilai pH berbanding terbalik dengan konsentrasi
karbondioksida terlarut, dan berhubungan langsung dengan konsentrasi bikarbonat;
2) nilai kritis yang berkaitan dengan ada atau tidak adanya karbondioksida bebas
adalah pada pH 8, gas bebas tidak akan ada pada pH tersebut; 3) tidak adanya
karbondioksida bebas tidak melimitkan proses fotosintesis dari alga dan tumbuhan
tingkat tinggi, beberapa beradaptasi untuk mendapatkan karbondioksida dari
karbonat, biasanya dihasilkan pada pH yang sangat tinggi (Reid 1961). Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I,
yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III,
yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan,
dan pertanaman harus memiliki nilai pH berkisar dari 6 – 9.
2.4.2. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand - BOD)
Kebutuhan oksigen biokimiawi atau Biochemical Oxygen Demand (BOD)
menguraikan dan menstabilkan sejumlah senyawa organik dalam air melalui proses
oksidasi biologis aerobik (Buchari et al. 2001). Menurut Boyd (1988) BOD
menunjukan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob
yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 °C selama 5
hari, dalam keadaan tanpa cahaya. Sedangkan menurut Fardiaz (1992) nilai BOD
tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur
secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan
buangan. Perairan alami yang baik untuk perikanan memiliki nilai BOD yang
berkisar pada 0.5 – 7.0 mg/l dan perairan dengan nilai BOD melebihi 10 mg/l
dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003).
Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan salah satu indikator
pencemaran organik. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air
tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara
biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik.
Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut
diperairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob
yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) in Lestari
(2004) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai
berdasarkan nilai BOD5-nya, seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD
No Nilai BOD5 Status Kualitas Air
1 2,9 Tidak tercemar
2 3,0 – 5,0 Tercemar ringan
3 5,1 – 14,9 Tercemar sedang
4 15 Tercemar berat
Sumber : Lee et al. 1978 in Lestari 2004
Konsentrasi BOD berhubungan dengan proses dekomposisi khususnya
terhadap sampah atau kotoran yang tergolong organik, yang menyebabkan beberapa
bakteri membutuhkan sejumlah oksigen dalam air untuk melangsungkan proses
aerobiknya pada sungai-sungai, terutama sungai dekat kota dan/atau pemukiman
penduduk mengalami gangguan berupa masuknya sampah atau kotoran organik
dekomposisi bahan organik tersebut (Sarminah 2003). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas I, yaitu perairan
tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan
tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman
harus memiliki nilai BOD dibawah 2 mg/l dan 6 mg/l.
2.4.3. Oksigen terlarut (DissolvedOxygen - DO)
Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air. Tingkat
kelarutan oksigen di perairan alami dan limbah berasal dr aktivitas fisika, kimia, dan
biokimia di badan perairan (APHA 2005). Menurut Effendi (2003) kadar oksigen
terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air,
dan tekanan atmosfer. Sedangkan menurut Reid (1961) terdapat tiga sumber utama
oksigen, kontribusi masing-masing yang sama dan memang bervariasi dari waktu
dalam sehari, cuaca, velocity dan morfologi sungai, suhu, dan karakteristik biologi.
Kelarutan oksigen di air sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, tekanan parsial
gas-gas yang ada di udara atau di air serta keberadaan unsur-unsur atau senyawa yang
mudah teroksidasi yang terdapat di air (Wardoyo 1975). Prinsip dari kelarutan
oksigen adalah (1) berasal langsung dari atmosfer yang terdifusi di permukaan
perairan, (2) berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan berklorofil. Penurunan oksigen
diperairan dapat berasal dari aktivitas respirasi hewan dan tanaman, dekomposisi
bahan organik, reduksi gas, pengurangan oksigen secara otomatis pada lapisan
epilimnion, inflow, dan aktivitas panas (Welch 1952). Hilangnya oksigen di
perairan, selain akibat respirasi hewan dan tumbuhan, disebabkan juga oleh mikroba
yang menggunakan oksigen untuk oksidasi bahan organik (Boyd 1988).
Menurut Buchari et al. (2001) bila bahan-bahan organik yang mencemari
badan air cukup banyak maka jumlah oksigen yang dikonsumsi untuk menguraikan
bahan-bahan tersebut semakin banyak pula sehingga kandungan oksigen terlarut
dalam air turun sampai sedemikian rendah. Brown (1987) menyatakan dengan
bertambahnya ketinggian, akan menyebabkan tekanan udara dan suhu perairan akan
menjadi lebih rendah. Hal tersebut dapat mempengaruhi kelarutan oksigen dalam
perairan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria
minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan
perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai oksigen terlarut diatas 6
mg/l dan 4 mg/l.
2.4.4. Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen)
Nitrogen merupakan nutrien makro bagi pertumbuhan alga yang selalu hadir
di perairan umum. Meskipun nitrogen ditemukan dalam jumlah berlimpah di lapisan
atmosfer, akan tetapi nitrogen harus difiksasi terlebih dahulu menjadi senyawa NH3,
NH4+, dan NO3- agar bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dan hewan perairan (Saeni
1998). Senyawa nitrogen merupakan senyawa yang penting dalam menyintesis dan
menghasilkan protein yang selanjutnya bersama karbohidrat dan lemak menjadi
sebagian besar substansi di lingkungan hidup. Senyawa nitrogen secara normal
menunjukan fluktuasi yang menonjol dan variasi yang nyata di sepanjang gradien
sungai yang kecil (Reid 1961).
Nitrat – Nitrogen (NO3– N) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami.
Secara umum jumlah nitrat di perairan tetapi bisa lebih tinggi di bebrapa air tanah.
Nitrat hanya ditemukan dalam jumlah kecil di limbah domestik yang masih baru
tetapi pada effluent dari biologi nitrifikasi pada pengolahan tanaman, nitrat bisa
ditemukan hingga 30 mg nitrat sebagai nitrogen/L (APHA 2005). Effendi (2003)
menyatakan bahwa kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya
pencemaran antropogenik yang berasal dari kegiatan manusia serta tinja hewan.
Kadar nitrat – nitrogen yang lebih dari 2 mg/l akan menyebabkan terjadinya
eutrofikasi, selanjutnya akan merangsang pertumbuhan algae dan tumbuhan air
secara pesat (blooming). Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi
nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung
dalam proses aerob (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) keberadaan nitrat di
perairan yang tidak tercemar sangat kecil, hanya sekitar 0,30 ppm. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu
perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu
perairan tawar yang diperuntukkan bagi perikanan, peternakan, dan pertanaman
Nitrit – nitrogen (NO2 – N) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, dikarenakan bersifat tidak stabil dengan
keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat.
Sumber nitrit dapat berasal dari limbah industri dan limbah domestik. Keberadaan
nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik
yang memiliki kadar oksigen terlarut yang sangat rendah (Effendi 2003). Menurut
APHA (2005) nitrit juga merupakan bentuk peralihan dari tahap oksidasi nitrogen,
yaitu amonia menjadi nitrat dan reduksi nitrat. Nitrit dapat masuk ke perairan karena
korosi berasal dari industri. Menurut Reid (1961) nitrit selalu terjadi perubahan
kuantitas di setiap menitnya, pada perairan yang tidak tercemar. Nitrit dapat dirubah
dalam proses reduksi nitrat dan sangat memungkinkan terdapat banyak kandungan
nitrit di sebagaian besar perairan alami yang berasal dari proses ini, daripada proses
oksidasi amonia. Keberadaan nitrit berasal dari reduksi nitrat melalui bakteri
anaerob di air. Ketidakseimbangan reaksi nitrifikasi berdampak pada
terakumulasinya senyawa nitrit (Boyd 1982). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang
diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang
diperuntukkan bagi perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai
nitrit – nitrogen dibawah 0,06 mg/l.
Amonia – nitrogen (NH3 – N) dan garam – garamnya bersifat mudah larut
dalam air (Effendi 2003). Amonia keberadaan secara natural di permukaan dan
limbah konsentrasinya sangat rendah di air tanah karena terserap pada partikel, tanah
(APHA 2005). Kadar amonia pada perairan alami biasanya lebih dari 0,1 mg/l.
Kadar amonia bebas yang melebihi 0,2 mg/l bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan.
Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik dan nitrogen
anorganik yang terdapat didalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan
organik oleh mikroba dan jamur. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan
indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik,
industri, dan limpasan pupuk pada pertanian. Amonia di perairan dapat menghilang
melalui proses volatilisasi karena tekanan parsial amonia dalam larutan meningkat
dengan meningkatnya pH (Effendi 2003). Nitrogen dalam bentuk amonia terdapat di
konsentrasinya kecil, yaitu dibawah 1 ppm. Pencemaran dapat meningkatkan nilai
amonia, dan dalam batas tertentu dapat meningkatkan produktivitas biologi. Nilai
amonia yang tinggi dapat diduga dari dekomposisi protein tanaman dan hewan.
Keberadaan amonia bebas tergantung pada pH dan suhu yang
berkesimbangan dengan amonium. Amonia bebas yang tinggi sangat toksik bagi
kehidupan ikan, tetapi ion amonium cenderung tidak toksik. Penjumlahan dari
jumlah amonia bebas dan amonium adalah total amonia nitrogen (Boyd 1982).
Proporsi dari amonia bebas semakin meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu
(Tabel 3) (Boyd 1988). Amonia lebih berbahaya ketika oksigen terlarut rendah, dan
tingkat toksisitas amonia akan berkurang dengan meningkatnya konsentrasi
karbondioksida (Boyd 1982). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun
2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan
sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan
bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai
amonia – nitrogen kurang dari 0,5 mg/l dan 0,02 mg/l (bagi kegiatan perikanan yang
peka terhadap amonia).
Tabel 3. Presentasi amonia bebas dalam perairan pada suhu dan pH berbeda
2.4.5. Total fosfat
Fosfat merupakan salah satu nutrien makro bagi pertumbuhan alga
diperairan. Menurut Dodds (2002) fosfat merupakan zat yang dominan dalam
bentuk fosfor inorganik di perairan alami, tetapi keberadaannya sering dibawah
pendeteksian. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh
tumbuhan. Sumber fosfat dalam perairan dapat berasal dari pelapukan batuan
mineral, dekomposisi bahan organik, pupuk buatan (limbah pertanian), limbah
industri, limbah rumah tangga, detergen, dan mineral-mineral fosfat (Saeni 1989).
Fosfor bebas tidak ada di alam namun dalam bentuk fosfat. Kurang lebih ada 0,12 %
fosfor yang ada di bumi dalam kombinasi fosfat (Welch 1952). Sedangkan menurut
Boyd (1988) kadar fosfor total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg/l. Total
fosfat terbagi dalam dua komponen yaitu fosfor yang larut dalam bentuk fosfat dan
fosfor organik yang terdapat pada plankton dan bahan organik yang lain (Welch
1952). Fosfat yang berikatan dengan ferri bersifat tidak larut dan mengendap di
dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi bervalensi 3 (ferri) ini
mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan
melepas fosfat ke perairan, sehingga meningkatkan keberadaan fosfat di perairan
(Brown 1987).
Fosfat di sungai berasal dari proses biologi maupun kimia disepanjang aliran
sungai. Selama musim panas, konsentrasi dari fosfat inorganik dapat agak
meningkat, disebabkan oleh kegiatan biologi (Reid 1961). Menurut Effendi (2003)
pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif kecil dan mudah mengendap.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air
Kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan
Kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan,
peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai total fosfat dibawah 0,2 mg/l dan 1
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei
2012. Lokasi penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten
Lampung Timur dari hulu berupa mata air yang berada di Desa Maringgai, hingga
hilir berupa muara sungai di Desa Muara Gading Mas. Pengambilan contoh air
dilakukan sebanyak 3 kali pengambilan contoh dengan jarak waktu pengambi1an
selama 1 minggu.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah botol sampel, pH stik,
termometer, ice box, botol BOD, aerator, syiringe, pompa vakum, labu takar, gelas
ukur, erlenmeyer, bulb, gelas arloji, pipet, timbangan, hotplate, desikator, oven,
TDS meter, dan inkubator.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian diantaranya adalah es
(pendingin sampel), akuades, kertas saring membran whatman 934-AH, akuabides,
HCL bilas, pereaksi NH3-N, NO2-N, NO3-N, DO, BOD, dan total fosfat.
.
3.3. Metode Pengambilan Contoh
3.3.1. Penentuan lokasi
Penentuan lokasi pengambilan contoh fisika dan kimia air didasarkan pada
kegiatan dan lahan yang digunakan untuk menghasilkan bahan organik yang
dibuang ke sungai. Oleh karena itu ditetapkan 3 titik stasiun di Way Perigi seperti
pada Gambar 2.
Stasiun I terletak di Desa Maringgai, Kecamatan Labuhan Maringgai,
Kabupaten Lampung Timur. Stasiun I merupakan hulu dari Way Perigi yang berupa
mata air dan biasa digunakan masyarakat untuk kegiatan mandi dan cuci serta
sebagai sumber air minum. Stasiun II merupakan bagian tengah sungai, biasanya
pembuangan limbah rumah tangga serta limbah industri rumah tangga. Stasiun III
merupakan bagian hilir sungai yang masih tawar, masyarakat menggunakannya
untuk kegiatan MCK, dan perladangan.
Gambar 2. Sketsa Lokasi Penelitian, Stasiun 1, Stasiun 2, dan Stasiun 3 di Way Perigi
Sumber : Badan Pembangunan Daerah Provinsi Bandar Lampung
3.3.2. Pengambilan dan penanganan air contoh
Kegiatan di lapangan meliputi pengukuran secara in situ parameter
fisika-kimia air dan pengambilan contoh air yang akan diteliti. Kemudian analisis contoh
air dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan
Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pengambilan contoh air untuk parameter fisika-kimia dibagi menjadi 3
substasiun secara melintang yaitu di kedua bagian tepi dan bagian tengah. Untuk
ditutup rapat dan dimasukkan ke dalam ice box yang berisi es batu. Contoh air yang
sudah diambil kemudian dimasukkan ke dalam botol contoh berukuran 250 ml dan
diawetkan dengan menggunakan H2SO4 pekat sebanyak 0,3 ml (6 tetes) untuk
analisa nitrat dan amonia. Pada analisa total fosfat, contoh air disimpan dalam suhu
4oC dan tidak menggunakan pengawet.
Parameter kualitas air yang dianalisis di lapangan adalah suhu, kecepatan
arus, debit air, dan oksigen terlarut. Contoh air yang dianalisis di laboratorium
adalah kekeruhan, TDS, TSS, BOD5, NO3-N, NH3-N, dan total fosfat. Metode/alat
pengukuran terhadap parameter kualitas air yang terkait dengan penelitian dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Paramater fisika-kimia perairan yang diamati beserta metode/alat yang digunakan (APHA 2005).
No Parameter Satuan Alat/Metode Analisis A. Fisika
1 Suhu oC Termometer/pemuaian In situ
2 Kekeruhan NTU Turbiditimeter/nephelometric Laboratorium
3 Arus m/detik Pelampung, stopwatch/visual In situ
4 TSS mg/l Filter/gravimetrik Laboratorium
5 TDS mg/l Filter/gravimetrik Laboratorium
6 Debit air m3/detik Perhitungan In situ
B. Kimia
1 pH - pH meter/potensiometer In situ
2 DO mg/l Alat titrasi/modifikasi Winkler In situ
3 BOD5 mg/l Alat titrasi/modifikasi Winkler
dengan inkubasi 5 hari
Laboratorium
4 NO3-N mg/l Spektrofotometer/metode Brucine Laboratorium
5 NH3-N mg/l Spektrofotometer/metode Phenate Laboratorium
6 NO2-N mg/l Spektrofotometer/metode
Colorimetri
Laboratorium
7 TP mg/l Spektrofotometer/metode Ascorbic
Acid
Laboratorium
Keterangan : TSS = total suspended solid; TDS = total dissolved solid; DO = dissolved oxygen; BOD5 = 5-day biochemical oxygen demand; NO3-N = nitrat nitrogen; NO2-N = nitrit nitrogen; NH3-N = amonia nitrogen; TP = total pospat
3.4. Karakteristik Sungai
3.4.1. Lebar sungai
Penentuan lebar sungai pada setiap stasiun dilakukan dengan cara
membentangkan roll meter secara melintang dari bagian kiri sampai kanan sungai
yang masih terdapat aliran. Penentuan lebar sungai dari masing-masing stasiun
10 meter, dan pembagian ulangan tersebut ditentukan berdasarkan interval 2 meter
(0 meter, 2 meter, dan 4 meter)
3.4.2. Kedalaman air
Pengukuran kedalaman perairan dilakukan sebanyak tiga titik yaitu di kedua
tepi dan tengah sungai secara melintang. Pengukuran ini dilakukan secara langsung
dengan menggunakan bambu berskala yang di celupkan sampai kedasar perairan.
3.4.3. Kecepatan arus
Pengukuran kecepatan arus pada masing-masing stasiun dilakukan secara
melintang di pinggir kiri, tengah, dan kanan sungai dengan menggunakan bola
ping-pong yang diikatkan sepanjang 2 meter. Setelah itu, bola tersebut dihanyutkan
mengikuti aliran sungai dan dicatat waktu yang diperlukan bola tersebut untuk
mencapai jarak 2 meter. Berikut perhitungan kecepatan arus :
V = 2 � �
Keterangan :
V : kecepatan arus (m/detik)
t : waktu yang diperlukan untuk mencapai jarak 2 meter (detik)
3.4.4. Debit air
Perhitungan debit air dilakukan dengan cara mengetahui dan mengukur nilai
kecepatan arus, kedalaman, dan lebar sungai. Setelah itu, perhitungan debit air
dilakukan dengan mengalikan luas penampang dengan kecepatan arus. Dalam hai ini
luas penampang didapat dari perkalian kedalaman dengan lebar sungai. Kemudian
perhitungan debit dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Jeffries dan Mills
D = v x A
= v x (d x w)
Keterangan :
D : debit air (m3/detik) v : kecepatan arus (m/detik) A : luas penampang (m3) d : kedalaman (m) w : lebar sungai (m)
3.5. Analisis Data
Hasil analisis yang dihasilkan, dibandingkan dengan baku mutu air
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu
air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan
kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan,
peternakan, dan pertanaman. Baku mutu air kelas I hanya digunakan pada stasiun 1
saja, karena mata air digunakan sebagai air minum oleh masyarakat setempat.
Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Indeks STORET dan Indeks
Pencemaran.
3.5.1. Indeks STORET
Analisis data kualitas air dengan metode STORET (Storage and Retrieval)
adalah untuk mengetahui tingkat mutu kualitas perairan setiap titik lokasi dan setiap
waktu pengamatan yang dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Melakukan pengumpulan data kualitas air secara periodik sehingga
membentuk data dari waktu ke waktu (time series data).
2. Membandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air
dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan peruntukannya.
3. Jika hasil pengukuran memenuhi baku mutu maka diberi skor 0.
4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi baku mutu maka diberi skor tertentu
Tabel 5. Penetuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air (Canter 1997 in KepMen LH No 115 tahun 2003)
Jumlah contoh *)
dijumlahkan, selanjutnya dari total skor dapat ditentukan status mutu
perairan dengan menggunakan sistem skor untuk mengetahui status mutu air
pada tabel 6.
Tabel 6. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks STORET
Skor Kriteria
Indeks Pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif
terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow 1974 in KepMen LH
no.115 Tahun 2003). Pengelolaan kualitas air dengan menggunakan Indeks
Pencemaran dapat memberi masukan pada penilaian terhadap kualitas suatu badan
air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas air
jika terjadi pencemaran.
Prosedur dalam penggunaan Indeks Pencemaran adalah sebagai berikut :
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan
dalam baku mutu peruntukkan air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter
pengambilan contoh dari suatu alur sungai, maka Pij adalah Indeks Pencemaran bagi
peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij. Harga Pij ditentukan dengan cara:
1. Memilih parameter yang terdapat pada baku mutu yang dijadikan acuan.
2. Menghitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi
pengambilan contoh air.
3a. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat
pencemaran meningkat, misal DO, tentukan nilai teoritik atau nilai
maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim adalah nilai DO jenuh). Dalam
kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij hasil
perhitungan :
(Ci/Lij)baru = � −�(ℎ� �� � � )
� −
3b. Jika nilai baku mutu memiliki rentang : - Untuk Ci < Lij rata-rata
(Ci/Lij)baru = [� −( ) � � − � �]
[ − � � − � �]
- Untuk Ci > Lij rata-rata
(Ci/Lij)baru = [� −( ) � � − � �]
[ � − � � − � �]
4.Harga Pij
Pij =
(� ) 2−(� )�2 2
Tabel 7. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks Pencemaran
Skor Kriteria
0 ≤Pij≤ 1,0 Kondisi baik
1,0 ≤Pij≤ 5,0 Tercemar ringan
5,0 ≤Pij≤ 10 Tercemar sedang
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Way Perigi
Pengamatan parameter fisika-kimia perairan Way Perigi, Kecamatan
Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dilakukan sebanyak 3 kali
pengambilan sample, yaitu sampling pertama pada hari Sabtu, 21 April
2012,sampling kedua pada hari Sabtu, 5 Mei 2012, dan sampling ketiga pada hari
Sabtu, 19 Mei 2012. Ketiga sampling ini dilakukan pada musim peralihan antara
kemarau dan penghujan. Pada sampling 1, kondisi pengambilan sample yaitu 1 hari
setelah hujan, pada sampling 2, kondisi pengambilan sample yaitu cuaca panas terik,
dan sampling 3, kondisi pengambilan sample yaitu hujan.
Way Perigi biasa digunakan masyarakat setempat sebagai tempat kegiatan
MCK, budidaya ikan di hulu sungai, dan sebagian besar digunakan sebagai
pengairan sawah. Oleh karena itu baku mutu yang digunakan untuk menentukan
status mutu Way Perigi adalah menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001
kelas III tentang baku mutu air yang digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Pada sepanjang aliran Way Perigi, dari bagian hulu (Stasiun 1) yang berupa
mata air hingga ke bagian tengah (Stasiun 2) yang terletak di pemukiman warga,
terdapat aktivitas budidaya ikan dan mayoritas terdapat aktivitas persawahan.
Sedangkan dari tengah sungai hingga ke hilir sungai (Stasiun 3) terdapat banyak
aktivitas warga seperti kegiatan MCK, aktivitas persawahan, perkebunan sawit, dan
terdapat pemukiman warga kembali di bagian hilir, namun tidak sebanyak pada
bagian tengah sungai.
Bila dilihat dari hasil pengukuran parameter-parameter kualitas air perairan
Way Perigi masih berada dalam kisaran yang diperbolehkan menurut Peraturan
Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III, namun pada bagian hulu sungai terdapat
beberapa parameter yang melebihi baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah RI
No. 82 tahun 2001 kelas I . Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia
4.2. Parameter Fisika
4.2.1. Suhu
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai suhu di Way
Perigi berkisar antara 27 oC sampai 30 oC. Hasil sebaran suhu pada stasiun 1 sampai
stasiun 3, pada sampling 1 sampai sampling 3 bisa terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Sebaran rataan nilai suhu setiap stasiun selama pengamatan
Pada Gambar 3 mengenai grafik suhu dapat terlihat bahwa pada setiap
stasiun dari hulu ke hilir, memiliki nilai suhu yang cenderung meningkat. Hal ini
dikarenakan oleh salah satu faktor yaitu penutupan sungai oleh tumbuh-tumbuhan.
Pada stasiun 1 yang berupa mata air terdapat pepohonan yang masih tergolong
rimbun sehingga suhu cenderung lebih rendah, sedangkan pada stasiun 2 dan 3
faktor penutupan lebih rendah sehingga suhu cenderung lebih tinggi. Menurut Barus
(2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya,
ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi) dari
pepohonan yang tumbuh di tepi. Selain faktor penutupan canopy, cuaca saat
pengambilan sample juga mempengaruhi tinggi rendahnya suhu. Seperti pada
sampling 3 suhu lebih rendah dikarenakan cuaca pengambilan sample adalah hujan,
sedangkan pada sampling 2 suhu lebih tinggi, dikarenakan cuaca saat pengambilan
sample adalah panas terik. Berdasarkan baku mutu PP RI no. 82 tahun 2001 kelas I
dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk suhu yaitu sebesar deviasi 3oC dari
keadaan alamiahnya, sehingga nilai suhu dari ketiga stasiun selama pengamatan di
Way Perigi, dapat dikatakan masih dalam kisaran yang baik.
4.2.2. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai padatan
tersuspensi total (Total Suspended Solid –TSS) di Way Perigi berkisar antara 3 mg/l
sampai 24,33 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai TSS di setiap stasiun selama
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Sebaran rataan nilai TSS setiap stasiun selama pengamatan
Pada setiap stasiun dari hulu ke hilir selama waktu pengamatan memiliki
nilai TSS yang semakin meningkat. Nilai TSS terrendah yaitu terdapat pada stasiun
1, hal ini dikarenakan stasiun 1 berupa mata air, sehingga tidak ada kegiatan
pertanian maupun perikanan yang bisa meningkatkan nilai TSS. Selain itu tipe
substrat berbatu pada stasiun 1, tidak menyebabkan nilai TSS yang terlalu tinggi.
Nilai TSS tertinggi yaitu terdapat pada stasiun 3, hal ini dikarenakan stasiun 3
terletak di hilir sungai dan terdapat akumulasi bahan organik dari kegiatan
antropogenik dan bahan tersuspensi dari kegiatan pertanian dan perikanan di
sepanjang aliran sungai. Selain itu tipe substrat pada stasiun 2 dan 3 yang berupa
lumpur, dapat menambah tingginya nilai TSS saat terjadi pengadukan dari arus
maupun dari hujan. Nilai TSS dari Way Perigi yang masih bernilai kurang dari 25
mg/l, memiliki arti bahwa kandungan bahan-bahan tersuspensi di Way Perigi tidak
berpengaruh pada kegiatan perikanan (Tabel 1)
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai kekeruhan di
Way Perigi berkisar antara 0,19 NTU sampai 25,90 NTU. Hasil sebaran rataan nilai
kekeruhan di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Sebaran rataan nilai kekeruhan setiap stasiun selama pengamatan
Pada stasiun 1 dan 2, nilai kekeruhan tertinggi yaitu terdapat pada sampling
3. Hal ini dikarenakan cuaca saat pengambilan sample adalah hujan, sehingga
disebabkan karena adanya lapisan tanah yang terbawa oleh aliran air (Effendi 2003).
Pada setiap stasiun dari hulu ke hilir memiliki nilai kekeruhan yang semakin
meningkat. Menurut Welch (1952) sungai yang berada di daerah pegunungan (hulu)
memiliki nilai kekeruhan yang lebih rendah daripada sungai yang berada di daerah
hilir. Hal tersebut dapat diduga dari penggunaan lahan sekitar sungai, yang berupa
kegiatan pertanian (sawah dan ladang) dan limpasan tanah di sekitar sungai akibat
hujan pada stasiun 2 dan 3, sedangkan pada stasiun 1 tidak ada kegiatan tersebut dan
limpasan tanah dari hujan juga sedikit karena pepohonan yang masih rimbun dan
tidak ada aktivitas pertanian disekitar mata air. Menurut Effendi (2003) nilai TSS
berbanding lurus dengan nilai kekeruhan. Hal ini terbukti dengan regresi antara
keduanya seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan antara nilai TSS dengan kekeruhan
Berdasarkan regresi dari nilai TSS dengan kekeruhan, menyatakan bahwa
nilai TSS dengan kekeruhan berhubungan erat, dibuktikan dengan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,938 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0,968 atau 96,8
%. Nilai TSS berbanding lurus dengan nilai kekeruhan, semakin tinggi nilai
kekeruhan maka semakin tinggi juga nilai TSS. Hal ini terbukti bahwa nilai TSS
yang semakin tinggi pada setiap stasiunnya (Gambar 4), diiringi dengan nilai
kekeruhan yang semakin tinggi (Gambar 5) juga pada setiap stasiunnya.
Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang
diperbolehkan untuk TSS adalah 50 mg/l dan 400 mg/l (Lampiran 2), sehingga dari
ketiga stasiun pengamatan memiliki nilai TSS yang masih memenuhi kriteria baku
mutu air.
4.2.3. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid- TDS)
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai padatan terlarut
total (Total Dissolved Solid –TDS) di Way Perigi berkisar antara 76,67 mg/l sampai
140 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai TDS di setiap stasiun selama pengamatan dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Sebaran rataan nilai TDS setiap stasiun selama pengamatan
Pada setiap stasiun pengamatan dari hulu ke hilir, diperoleh nilai TDS yang
cenderung semakin menurun. Secara keseluruhan di setiap stasiun selama waktu
stasiun 3. Menurut Effendi (2003) nilai TDS sangat dipengaruhi oleh pelapukan
batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik. Oleh karena itu, nilai TDS
tertinggi di stasiun 1, dapat diduga dari aktivitas pelapukan batuan yang berasal dari
substrat yang berupa batuan, serta limpasan ion-ion yang berasal dari tanah
dikarenakan pada stasiun 1 yaitu berupa mata air, sehingga air yang keluar dari
dalam tanah lebih banyak membawa ion-ion terlarut di air. Nilai TDS pada stasiun 2
yang masih tergolong tinggi, dapat diduga dari aktivitas antropogenik karena lokasi
pada stasiun 2 berupa pemukiman warga. Sedangkan nilai TDS terrendah terdapat
pada stasiun 3, hal ini dapat diduga dari tidak adanya pelapukan batuan. Selain itu
kandungan TDS yang rendah dapat diindikasikan bahwa ion-ion yang terlarut di air
memiliki kandungan yang rendah. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun
2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk TDS adalah 1000 mg/l
(Lampiran 2), sehingga dari ketiga stasiun pengamatan memiliki nilai TDS yang
masih memenuhi kriteria baku mutu air.
4.3. Parameter Kimia
4.3.1. pH
Berdasarkan hasil analisis insitu dari parameter pH, rataan nilai pH di Way
Perigi berkisar antara 6,5 sampai 7,3. Sebaran nilai pH dapat terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Sebaran rataan nilai pH setiap stasiun selama pengamatan
Pada setiap stasiun pengamatan nilai pH tidak terlalu berfluktuasi jauh. Nilai
yang didapatkan cenderung sama pada setiap stasiun dan setiap sampling. Menurut
Sastrawijaya (2000) air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH
yang lebih tinggi, semakin ke hilir pH air akan semakin asam, karena ada
penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang terurai. Berdasarkan baku mutu
air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas 1 dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk pH
yaitu berkisar antara 6 – 9 (Lampiran 2), sehingga nilai sebaran pH di ketiga stasiun
pengamatan di Way Perigi memenuhi kriteria baku mutu.
4.3.2. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen- DO)
Berdasarkan hasil analisis oksigen terlarut atau DO, rataan nilai DO di Way
Perigi berkisar antara 4,54 mg/l sampai 6,82 mg/l. Nilai sebaran DO seluruh stasiun
pengamatan masih tergolong baik, terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Sebaran rataan nilai DO setiap stasiun selama pengamatan
Pada setiap stasiun, nilai DO tertinggi yaitu saat sampling 3 dan terrendah
stasiun 2 yang lebih deras dibandingkan stasiun 1 dan 3 (Lampiran 1). Namun pada