• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Karakteristik Hujan dan Penggunaan Lahan terhadap Debit Aliran Sungai DAS Ciliwung Hulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Karakteristik Hujan dan Penggunaan Lahan terhadap Debit Aliran Sungai DAS Ciliwung Hulu"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan essensial untuk kegiatan pertanian. Indonesia sebagai wilayah tropis dengan curah hujan yang relatif tinggi mempunyai potensi sumberdaya air yang cukup besar. Curah hujan merupakan unsur iklim yang mempunyai keragaman dan fluktuasi terbesar. Indonesia memiliki rata – rata curah hujan tahunan sebesar 2.779 mm/tahun dengan kisaran 600 mm/tahun (di Palu) – 7.000 mm/tahun di daerah Gunung Slamet (Justika et al., 1997). Sekitar 2,6% wilayah Indonesia mempunyai curah hujan > 5000 mm/tahun dan 20,5% 3.500 – 5.000 mm/tahun. Lebih dari 59,7% bercurah hujan 2.000 – 3.500 mm/tahun. Hanya sekitar 1% wilayah Indonesia (sebagian besar di Nusatenggara), memiliki curah hujan < 1.000 mm/tahun (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi Curah Hujan di Indonesia

Wilayah Curah Hujan Rata - Rata (mm/tahun)

<1000 1000-2000 2000-3500 3500-5000 >5000

Sumatera 6,2 71,5 21,5 0,8

Jawa 29,5 56,0 12,6 1,9

Bali & Nusa Tenggara 12,0 69,5 16,3 2,1

Kalimantan 4,7 66,3 29,0

Sulawesi 0,8 30,9 66,1 23,0

Maluku 26,4 71,9 1,7

Papua 15,7 40,3 33,7 10,3

Indonesia 1,0 16,2 59,7 20,5 2,6

Sumber: (Pawitan, 1989)

(2)

Menurut Brown (2010), karakteristik hujan (frekuensi dan intensitas) merupakan karakteristik penting untuk dipahami dan diprediksi responnya terhadap keseluruhan perubahan iklim. Informasi mengenai jumlah dan distribusi hujan sangat bermanfaat dalam membuat kebijakan yang menyangkut pemanfaatan air hujan sehingga dapat dilaksanakan penanaman tanaman secara optimal. Selain berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan tanaman, curah hujan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi erosi dan debit aliran sungai di suatu daerah.

Meningkatnya jumlah penduduk dunia menyebabkan permintaan lahan untuk tempat tinggal semakin meningkat sehingga konversi lahan terbangun semakin meningkat. Kejadian ini tidak hanya terjadi di kawasan perkotaan, namun sudah merambah ke kawasan budidaya bahkan sudah terjadi juga pada kawasan lindung dan konservasi, salah satunya ialah daerah resapan air. Salah satu kawasan konservasi yang merupakan daerah resapan air adalah kawasan Puncak. Puncak merupakan kawasan wisata potensial karena topografinya yang unik dan tersedianya sarana dan pra sarana yang menunjang aktivitas pariwisata. Hal ini menyebabkan peluang terjadinya konversi lahan terbangun semakin besar. Apabila hal ini terjadi di daerah hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti DAS Ciliwung Hulu, maka daerah tersebut akan mengalami penurunan kualitas lahan. Dampak negatif adalah banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di daerah hilir (Jakarta dan sekitarnya).

(3)

tersebut dapat menjadi masukan dalam membuat keputusan tindakan konservasi untuk daerah hulu suatu daerah aliran sungai, seperti DAS Ciliwung Hulu.

Tabel 2. Data Kejadian Banjir Besar yang Melanda Jakarta (1978 – 1985) Episode Banjir CH (mm) Banjir (%)

13-24 Agustus 1978 206,7 51

21-31 Januari 1979 209,0 49

17-30 Januari 1980 324,1 20

5-18 April 1980 88,1 33

21-31 Januari 1981 252,6 43

1-12 Februari 1981 161,1 43

10-21 April 1982 195,2 16

1-13 November 1983 254,5 41

1-13 Februari 1984 187,7 20

12-24 Oktober 1985 196,4 32

Sumber: Pawitan (1989)

Kerusakan di kawasan Puncak, Bogor menyebabkan DAS Ciliwung Hulu sensitif terhadap perubahan debit aliran sungai. Hal ini menyebabkan potensi banjir di kawasan hilir (Jakarta dan sekitarnya) semakin besar. Berdasarkan permasalahan ini diperlukan suatu penelitian untuk dapat memahami sifat hujan serta faktor – faktor yang mempengaruhi debit aliran sungai DAS Ciliwung Hulu.

1.2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1) Menganalisis karakteristik hujan DAS Ciliwung Hulu 2) Menganalisis erosivitas hujan DAS Ciliwung hulu

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Hujan

Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Curah hujan adalah butiran air dalam bentuk cair atau padat di atmosfer yang jatuh ke permukaan bumi. Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting bagi kehidupan di bumi. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter (1 inchi = 25,4 mm). Jumlah curah hujan 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan 1 mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer.

Definisi curah hujan menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika adalah ketinggian air hujan yang terkumpul dalam suatu tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sifat hujan adalah ukuran kualitatif hujan yaitu :

1. Atas Normal (AN), jika nilai perbandingan curah hujan terhadap rata – ratanya lebih besar dari 115%. Pada periode musim hujan, daerah AN memiliki potensi terjadi bencana alam (banjir dan longsor).

2. Normal (N), jika nilai perbandingan curah hujan terhadap rata – ratanya antara 85% – 115%.

3. Bawah Normal (BN), jika nilai perbandingan curah hujan terhadap rata – ratanya kurang dari 85%. Pada periode musim kemarau daerah BN memiliki potensi terjadi kekeringan.

Sedangkan kriteria hujan ukuran kuantitatif yang dikeluarkan BMKG, yaitu: 1. Sangat ringan : < 1 mm/jam atau 0 – 5 mm/hari

2. Ringan : 1 – 5 mm/ jam atau 5 – 20 mm/hari 3. Sedang : 5 – 10 mm/jam atau 20 – 50 mm/hari 4. Lebat : 10 – 20 mm/jam atau 50 – 100 mm/hari 5. Sangat Lebat : 20 mm/jam atau > 100 mm/hari

(5)

1. Pola A atau Pola Monsun, dipengaruhi oleh angin monsun dengan karakteristik distribusi bulanannya membentuk huruf (V). Pola monsun digerakkan oleh adanya sel tekanan tinggi dan sel tekanan rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Pada bulan Desember, Januari, dan Februari di belahan bumi utara terjadi musim dingin akibat adanya sel tekanan tinggi di benua Asia, sedangkan pada waktu yang sama terjadi musim panas akibat adanya sel tekanan rendah di benua Australia. Perbedaan tekanan udara ini yang menyebabkan curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli atau Agustus, sedangkan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Pola ini terdapat di sebelah Utara dan Selatan garis ekuator. Daerahnya meliputi Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Maluku Tenggara, Aceh serta Irian Jaya bagian Utara dan Selatan.

2. Pola B atau Pola Ekuatorial, distribusi curah hujan dengan dua maksimum yaitu sekitar bulan April dan Oktober, tidak selalu jelas perbedaannya pada distribusi curah hujan bulanannya. Pola ini terdapat di daerah ekuatorial yang meliputi daerah bagian tengah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. 3. Pola C atau Pola Lokal, dimana distribusi curah hujan bulanannya berlawanan dengan pola A. Pola ini banyak dipengaruhi oleh kondisi lokal (efek orografi). Dijumpai di daerah Sulawesi Selatan bagian Timur, Sulawesi Tengah bagian Timur, dan sekitar Ambon – Seram.

Karakteristik curah hujan daerah yang dapat diamati dan dianalisis adalah dengan menghitung nilai frekuensi, intensitas, dan kategori curah hujan. Pendekatan komplementer ini adalah untuk mempertimbangkan karakteristik curah hujan yang terkait dengan rezim daerah (Brown, 2010). Hujan merupakam komponen masukan yang paling penting dalam proses analisis hidrologi. Hal ini dikarenakan kedalaman curah hujan (rainfall depth) yang turun dalam suatu DAS akan dialihragamkan menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran antara (interflow, sub-surface runoff), maupun sebagai aliran air tanah (groundwater flow) (Harto, 1999).

2.2. Erosivitas Hujan

(6)

tanah yang dialami pada tempat terjadinya erosi berupa kemunduran sifat – sifat kimia dan fisika tanah. Di daerah beriklim tropika basah seperti Indonesia, air merupakan penyebab erosi tanah.

Energi kinetik hujan merupakan suatu sifat hujan yang sangat penting dalam mempengaruhi erosi. Hal ini dikarenakan energi kinetik hujan merupakan penyebab pokok dalam penghancuran agregat tanah. Energi kinetik hujan dapat dengan mudah dihitung dari persamaan dasar :

EK = m v2

yang menyatakan EK adalah energi kinetik, m adalah massa butir hujan, dan v adalah kecepatan jatuhnya.

Korelasi yang lebih erat dengan erosi didapat dengan menggunakan term interaksi energi – intensitas hujan (Wischmeier dan Smith, 1958). Term ini adalah hasil kali total energi hujan dengan intensitas hujan maksimum 30 menit. Term interaksi merupakan suatu pengukur hujan yang baik bagi pengaruh bersama antara (1) laju infiltrasi yang berkurang setelah hujan, (2) pengaruh aliran permukaan yang berbentuk geometri terhadap erosi, dan (3) perlindungan lapisan air terhadap pengaruh percikan butir – butir hujan terhadap tanah.

Energi kinetikhujan didapat dari persamaan (Wischmeier dan Smith, 1958) berikut :

E = 210 + 89 log i

yang menyatakan E adalah energi kinetik dalam metrik ton–meter ha-1 cm-1 hujan, dan i adalah intensitas hujan dalam cm jam-1. Term interaksi energi dengan intensitas hujan maksimum 30 menit didapat dari hubungan berikut :

EI30 = E (I30.10-2)

(7)

2.3. Debit Aliran Sungai

Debit aliran atau aliran sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air (Widyaningsih, 2008). Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu, biasanya dalam satuan meter kubik per detik (m3/dtk) (Asdak, 2004).

Debit aliran sungai terjadi ketika intensitas curah hujan maupun laju lelehan salju melebihi laju infiltrasi, maka kelebihan air mulai berakumulasi sebagai cadangan permukaan. Ketika kapasitas cadangan permukaan dilampaui, limpasan permukaan mulai terjadi sebagai suatu aliran lapisan yang tipis. Kemudian lapisan aliran air ini berkumpul ke dalam saluran sungai yang diskrit. Air yang mengalir pada saluran – saluran yang kecil, parit – parit, sungai – sungai, dan aliran – aliran merupakan kelebihan curah hujan terhadap evapontranspirasi, cadangan permukaan, dan air bawah tanah (Seyhan, 1977).

2.4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Debit Aliran Sungai

Aliran sungai tergantung pada faktor – faktor meteorologi dan sifat – sifat fisik DAS. Faktor-faktor meteorologi yang mempengaruhi limpasan terdiri dari jenis presipitasi, intensitas curah hujan, lamanya curah hujan, distribusi curah hujan pada DAS (daerah aliran sungai), arah pergerakan curah hujan, curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah, suhu udara, kecepatan angin, kelembaban relatif udara dan faktor meteorologi lainnya yang mempengaruhi secara tidak langsung. Sifat – sifat fisik DAS (daerah aliran sungai) terdiri dari kondisi tata guna lahan, luas daerah pengaliran, topografi, jenis tanah, karakteristik jaringan sungai, dan adanya drainase buatan (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

(8)

2.4.1. Hujan

Semakin besar curah hujan dan semakin tinggi intensitas hujan, maka semakin besar pula aliran permukaan yang ditimbulkan (Haridjaja et al., 1991). Hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif sehingga menyebabkan total volume air larian akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif meskipun curah hujan total untuk kedua hujan tersebut sama besarnya (Asdak, 2007). Haridjaja et al. (1991) menambahkan bahwa semakin lama hujan turun, maka aliran permukaan semakin besar, walaupun masih tergantung pada intensitas dan jumlah.

2.4.2. Penggunaan Lahan

Pengaruh penggunaan lahan terhadap aspek hidrologi suatu erat kaitannya dengan fungsi vegetasi sebagai penutup lahan dan sumber bahan organik yang dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi. Di samping itu secara fisik vegetasi akan menahan aliran permukaan dan meningkatkan simpanan permukaan (depression storage) sehingga menurunkan besarnya aliran permukaan dan pada akhirnya menurunkan besarnya aliran yang masuk ke sungai (Widyaningsih, 2008).

Apabila terjadi proses alih fungsi lahan dari hutan ke fungsi lainnya (pemukiman), maka kondisi hidrologi pada DAS tersebut akan berubah secara drastis. Hal ini dikarenakan hutan mempunyai fungsi ekologi yang sangat penting, antara lain sebagai penyimpan sumber genetik dan pengatur kesuburan tanah (Soemarwoto, 2004). Vegetasi yang lebat, seperti hutan lebat, mampu menahan laju derasnya air hujan sehingga tidak menyebabkan terjadinya kerusakan tanah. Pembukaan hutan (clearing) yang membuat lapisan top soil hilang dapat merusak struktur dan tekstur tanah, memperbesar jumlah dan kecepatan aliran permukaan akibat daya serap (infiltrasi) berkurang atau terhambat (Widyaningsih, 2008).

(9)

sehingga aliran permukaan akan mudah berkumpul ke badan – badan sungai dengan kecepatan tinggi (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

2.4.3. Kondisi Topografi

Menurut Sasrodarsono dan Takeda (2003), parameter – parameter dalam kondisi topografi yaitu elevasi, variasi topografi, gradien, dan arah kemiringan akan mempengaruhi kondisi sungai dan hidrologi daerah pengaliran. Topografi berperan dalam menentukan kecepatan dan volume debit aliran sungai. Ada dua unsur yang berpengaruh terhadap volume debit aliran sungai, yaitu panjang lereng dan kemiringan lereng. Semakin panjang lereng, maka volume kelebihan air yang terakumulasi dan melintas akan semakin besar. Peningkatan kemiringan lereng menyebabkan kemampuan tanah untuk meresapkan air hujan semakin rendah, sehingga akan lebih banyak air yang terakumulasi menjadi aliran permukaan dan kemudian masuk ke badan – badan sungai menjadi debit aliran sungai.

2.4.4. Tanah

Menurut Indarto (2010), kepekaan tanah terhadap butiran dan pukulan air hujan yang jatuh di atasnya, dipengaruhi oleh :

1. Ruang pori tanah

Ruang pori adalah ruang kosong diantara partikel – partikel tanah. Jumlah air hujan yang dapat terinfiltrasi ditentukan oleh jumlah ruang pori yang tersedia pada lapisan tanah. Semakin banyak ruang pori yang tersedia, maka akan semakin banyak air hujan yang dapat terinfiltrasi sehingga aliran permukaan langsung yang akan masuk ke badan sungai semakin berkurang.

2. Tekstur tanah

(10)

3. Profil tanah

Profil tanah memberikan informasi mengenai karakteritik tanah dan kedalaman tanah. Kedalaman tanah bervariasi dari 25 cm sampai dengan 200 cm. Wilayah dengan kedalaman tanah cukup tebal akan mempunyai kapasitas besar untuk menyerap dan menyimpan air, sebaliknya lapisan tanah yang tipis akan cepat jenuh dan menghasilkan lebih banyak aliran permukaan sehingga akan lebih banyak volume air yang masuk ke badan sungai dengan kecepatan tinggi.

2.5. Hidrograf Aliran Sungai

Debit aliran sungai biasanya digambarkan dalam bentuk hidrograf aliran. Hidrograf aliran adalah suatu perilaku debit sebagai respon adanya perubahan karakteristik biogeofisik yang berlangsung dalam suatu DAS (oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS) dan adanya perubahan (fluktuasi musiman atau tahunan) iklim lokal (Asdak, 2007).

Sebuah hidrograf memiliki empat komponen elemen – elemen 1) aliran permukaan langsung (direct surface runoff/overlandflow), yaitu aliran di atas permukaan yang terjadi karena laju curah hujan melampaui laju infiltrasi 2) aliran bawah permukaan (interflow), yaitu aliran air yang masuk ke dalam tanah yang tidak cukup dalam dan kemudian bergerak keluar menuju permukaan dalam waktu yang pendek. Aliran ini sering dianggap sebagai bagian dari aliran permukaan langsung (direct surface runoff/overlandflow), 3) aliran air bawah tanah (groundwater flow/baseflow), yaitu aliran yang berasal dari air bawah tanah atau aliran sungai yang terjadi selama musim kering, dan dianggap sebagai debit sungai harian normal, 4) hujan yang jatuh langsung di atas sungai (channel precipitation) (Viesmann et al., 1977)

Gabungan intersepsi saluran, air larian, dan aliran air bawah permukaan dikenal sebagai debit aliran (stormflow). Stormflow menjadi komponen hidrograf yang paling diperhatikan dalam analisis banjir, terutama dalam kaitannya dengan karakteristik DAS (Asdak, 2007).

(11)

mengalir sepanjang musim kemarau ketika tidak ada komponen curah hujan yang membentuk debit aliran (Asdak, 2007).

Gambar 1. Komponen Hidrograf (Viesmann et al., 1977)

2.6. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Berdasarkan Undang – undang (UU) No.7 tahun 2004, daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak – anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, dimana batas di darat merupakan pemisah topografis. Menurut Sinukaban (2007), Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas – batas topografi sehingga setiap hujan akan mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di sungai) dalam DAS tersebut.

(12)

III. METEDOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2011, berlokasi di DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Wilayah penelitian meliputi tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Cisarua, Ciawi, dan Kedung Halang.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian adalah :

1. Data curah hujan harian tahun 1985 – 2010 dari stasiun pengamatan hujan Katulampa, Gunung Mas, Citeko, dan Empang.

2. Data pias hujan tahun 2007 – 2010 yang diperoleh dari penakar hujan otomatik Stasiun pengamatan hujan Citeko.

3. Data debit aliran sungai harian Bendung Katulampa tahun 1985-2010.

4. Data penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1985 dan 1990 yang merupakan hasil penelitian Sudadi et al. (1991).

5. Data penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1994 dan 2001 yang merupakan hasil penelitian dari Janudianto (2004).

6. Citra Landsat ETM+ tahun 2010 yang diperoleh dari halaman website

www.usgsglovis.gov

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perangkat keras komputer dan perangkat lunak, yaitu : Arcview GIS 3.3, Microsoft Excel 2010, Statistica 8.0, dan Minitab for Windows.

3.3. Metodologi

(13)

Gambar 2. Diagram Alir Tahapan Penelitian

Data curah hujan harian stasiun citeko, katulampa, gunung mas, empang (1985 –

2010) dan data pias harian stasiun citeko (2007 – 2010)

Model persamaan hubungan penggunaan lahan, curah hujan, dan debit aliran

sungai DAS Ciliwung Hulu

Analisis Direct Runoff menggunakan straight line

method

Direct Runoff 1985 dan 2010 Citra landsat ETM+

2010

Analisis karakteristik hujan (Curah hujan harian, bulanan, tahunan, sifat hujan, dan erosivitas hujan) DAS Ciliwung Hulu

Analisis komponen utama

Teknik Pendugaan pertumbuhan eksponensial Data luas penggunaan lahan 1985,1990, 1994, 2001, 2010

Koreksi geometri dan pemotongan sesuai

batas daerah

Peta penggunaan lahan tahun 2010 Interpretasi dan

digitasi

Analisis Regresi berganda

Hasil pendugaan pertumbuhan penggunaan lahan (1985 – 2010)

Debit Aliran Sungai h ≥

80 cm (1985 – 2010) Curah hujan rata – rata bulanan dan Curah hujan

total tahunan (1985 – 2010) dan nilai erosivitas hujan DAS Ciliwung hulu

(14)

3.3.1. Karakteristik Curah Hujan

Stasiun pengamatan hujan yang digunakan adalah stasiun pengamatan hujan Gunung Mas, Katulampa, Empang, dan Citeko. Data curah hujan harian didapat dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Ciliwung – Cisadane, Bogor dan sebagian lagi didapat dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Citeko, Bogor. Distribusi curah hujan dihitung dengan menggunakan metode poligon

Thiessen (menggunakan software Arc GIS) berdasarkan lokasi stasiun pengukur hujan dengan membuat poligon tertentu yang ditentukan luasannya. Curah hujan wilayah DAS Ciliwung Hulu dihitung dengan menggunakan persamaan :

...(1)

dimana,

X = curah hujan rata – rata DAS (mm) xi = curah hujan pada stasiun ke-i (mm) Ai = luas polygon stasiun ke-i

Evaluasi sifat hujan dihitung dengan menggunakan rumus simpangan baku. Curah hujan dengan metode simpangan baku diklasifikasikan menjadi lima sifat hujan, yakni :

1. Jauh di bawah Normal (JBN) JBN = x X – 1,5 SD 2. Di bawah Normal (BN)

BN = X – 1,5 SD < x X – 0,5 SD

3. Normal (N) ...(2) N = X – 0,5 SD < x X + 0,5 SD

4. Di atas Normal (AN)

AN = X + 0,5 SD < x X + 1,5 SD 5. Jauh di atas Normal (JAN)

JAN = x > X + 1,5 SD dimana,

(15)

x = curah hujan bulanan ke-i (mm) SD = standar Deviasi

Standar deviasi dihitung dengan menggunakan rumus :

SD =

...

...(3) dimana,

Xi = curah hujan bulanan pada stasiun ke-i n = banyaknya tahun pengamatan

3.3.2. Intensitas Hujan dan Intensitas Hujan 30 Menit

Intensitas curah hujan harian diperoleh dari pengolahan data pias hujan harian yang diperoleh dari penakar hujan otomatik stasiun pengamatan hujan Citeko selama periode (2007 – 2010). Analisis pias hujan dilakukan dengan membagi kurva kejadian hujan yang ada dalam data pias menjadi segmen hujan. Setiap segmen hujan menggambarkan jumlah curah hujan setiap bagian dan waktu hujan dalam menit untuk segmen bersangkutan. Intensitas hujan setiap segmen hujan (I) dihitung dengan persamaan :

Is =

x 60 ...(4)

dimana,

Is = intensitas hujan setiap segmen (mm/jam) Chs = jumlah curah hujan setiap segmen (mm)

Ts = lama (jangka waktu) hujan setiap segmen (menit)

(16)

3.3.3. Erosivitas Hujan (EI30 )

Metode penghitungan erosivitas hujan yang digunakan adalah persamaan menurut Wischmeier dan Smith (1958). EI30 dihitung untuk setiap kejadian hujan dengan menggunakan persamaan:

EI30 = E (I30 . 10 -2 ) ...(5) dimana,

E = 210 + 89 log i

E = energi kinetik hujan (ton.m/ha)

I30 = intensitas hujan maksimum 30 menit (cm/jam) i = intensitas hujan (cm/jam)

3.3.4. Teknik Pendugaan Perubahan Penggunaan Lahan

Data penggunaan lahan yang digunakan pada penelitian ini adalah data penggunaan lahan tahun 1985 dan 1990 yang merupakan hasil penelitian Sudadi

et al. (1991) serta data penggunaan lahan tahun 1994 dan 2001 yang merupakan hasil penelitian Janudianto (2004). Data penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh melalui pengolahan citra landsat ETM+ tahun 2010 dengan menggunakan

software ARCVIEW GIS 3.3.

Citra komposit (band combination)yang digunakan pada penelitian ini adalah citra komposit (band combination) RGB-543. Citra komposit RGB-543 menunjukkan hasil terbaik pada model daerah volkan seperti daerah DAS Ciliwung hulu, karena menampilkan warna natural dengan kontras warna paling tegas dan paling jelas dalam menampilkan bentuk permukaan bumi. Langkah selanjutnya adalah koreksi geometri citra terhadap peta penggunaan lahan hasil penelitian Sudadi et al. (1991) dan Janudianto (2004). Setelah citra asli terkoreksi, kemudian dilakukan pemotongan citra sesuai dengan batas wilayah penelitian.

(17)

Tabel 3. Karakteristik Penampakan Penggunaaan Lahan pada Citra Landsat ETM+

Penggunaan lahan Karakteristik penampakan pada citra landsat ETM+ Hutan lebat Bentuk dan pola yang tidak teratur dengan ukuran

yang cukup luas dan menyebar. Berwarna hijau tua sampai gelap, tekstur relatif kasar, ada bayangan igir-igir puncak gunung yang menunjukkan sebaran hingga daerah yang curam, dan identik dengan letaknya yang berada di sekitar puncak gunung.

Semak atau belukar Bentuk dan pola yang hampir serupa dengan hutan lebat. Berwarna hijau agak terang dengan tekstur yang lebih halus dibandingkan hutan lebat.

Kebun campuran Tekstur relatif kasar. Berwarna hijau bercampur dengan sedikit magenta, bentuk dan pola memanjang dijumpai pada lembah dan sepanjang sungai, seringkali bercampur dengan pemukiman.

Kebun teh Tekstur halus dan berwarna hijau muda

Lahan terbuka Warna putih hingga merah jambu dengan tekstur halus. Keberadaanya sangat sulit ditemukan pada citra, hal ini disebabkan karena luas sebarannya yang relatif kecil pada tahun 2010.

Pemukiman Tekstur halus sampai kasar, warna magenta, ungu kemerahan, pola bergerombol.

Sawah Tekstur kasar, warna hijau agak gelap bercampur dengan magenta dan biru.

Tegalan atau ladang Tekstur relatif sedang sampai kasar, hijau tua agak terang, bercampur dengan sedikit magenta dan kuning.

Sumber :Lillesand dan Kiefer (1997)

(18)

1985 – 2010 adalah model pertumbuhan atau peluruhan eksponensial. Model ini dipilih karena merupakan model yang paling mendekati kemungkinan pergerakan perubahan penggunaan lahan. Pengertian model eksponensial itu sendiri merupakan model yang didasarkan pada persen (%) laju yang berubah – ubah. Kondisi seperti ini ditemui pada wilayah yang masih terus berkembang dalam hal pembangunannya. Pendugaan yang bersifat statistik ini akan menghasilkan nilai peluang, tingkat kepercayaan, dan nilai parameter koefisien determinasi. Model perubahan penggunaan lahan terbaik dipilih berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) terbesar. Model pertumbuhan eksponensial menggunakan persamaan sebagai berikut :

Pt Pt = P0 exp ( ...(6)

t

dimana,

Pt = luas penggunaan lahan pada saat t

P0 = luas penggunaan lahan pada t=0 (nilai data luas penggunaan tahun pertama)

α = konstanta

t = tahun pengamatan

3.3.5. Analisis Aliran Permukaan Langsung (Direct Runoff)

Volume aliran permukaan langsung dapat diperoleh dengan memisahkan hidrograf dari aliran dasarnya (baseflow). Analisis hidrograf untuk menentukan besaran direct runoff yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode garis lurus (straight line method). Metode ini digunakan karena merupakan metode yang paling sederhana untuk mengetahui perubahan volume aliran permukaan langsung (direct runoff) DAS Ciliwung hulu pada tahun 1985 dan 2010. Tahapan analisis hidrograf adalah sebagai berikut :

(19)

2. Memisahkan antara komponen aliran dasar sungai (baseflow) dan aliran permukaan langsung (direct runoff) dengan menghubungkan dan menarik garis lurus titik – titik debit terendah pada hidrograf.

3. Menentukan besaran debit aliran dasar sungai (baseflow) dengan rumus : Baseflow = debit – titik baseflow...(7) 4. Menentukan besaran debit aliran permukaan langsung (direct runoff) dengan

rumus :

Direct runoff = debit – baseflow ...(8) 5. Mengkonversi satuan direct runoff (m3/dtk) menjadi satuan (m3)

3.3.6. Regresi Komponen Utama (PrincipleComponent Regression)

Analisis komponen utama pada dasarnya mentransformasi peubah – peubah bebas yang berkorelasi menjadi peubah – peubah baru yang orthogonal dan tidak berkorelasi dengan cara mereduksi dimensinya. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan korelasi diantara peubah melalui transformasi peubah asal ke peubah baru (komponen utama) yang tidak berkorelasi (Gaspertz, 1995).

Sebelum menggunakan analisis regresi perlu diselidiki terlebih dahulu apakah semua asumsi statistik yang telah ditetapkan sudah terpenuhi. Salah satu asumsi yang harus dipenuhi adalah tidak terdapat multikolinearitas diantara peubah bebas. Menurut Soleh (2004), jika variabel – variabel bebas dalam keadaan multikolinier (saling berpengaruh), maka pendugaan koefisien regresi hanya dengan menggunakan metode regresi berganda cenderung memberikan hasil yang tidak stabil. Metode regresi komponen utama merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk mengatasi variabel – variabel bebas yang saling berpengaruh (multikolinier). Metode ini merupakan gabungan antara analisis komponen utama dengan metode regresi berganda.

(20)

Analisis komponen utama pada peubah penggunaan lahan hutan lebat, pemukiman, sawah, kebun campuran, dan tegalan menghasilkan sebuah komponen utama yang mewakili seluruh peubah penggunaan lahan. Komponen utama tersebut mampu mewakili keberagaman peubah bebas penggunaan lahan sebesar 98,1 %. Setelah didapat komponen utama yang mewakili seluruh peubah penggunaan lahan, kemudian dilakukan analisis regresi berganda antara debit aliran sungai sebagai (Y) dengan komponen utama yang mewakili peubah penggunaan lahan sebagai (W1) dan peubah curah hujan tahunan sebagai (X1) untuk mengetahui besarnya pengaruh masing – masing peubah bebas terhadap perubahan debit aliran sungai DAS Ciliwung hulu selama periode 1985 hingga 2010 (Tabel Lampiran 7).

Komponen utama pada hasil analisis regresi berganda kemudian ditransformasikan (dipecah) kembali menjadi peubah penggunaan lahan hutan lebat, kebun campuran, pemukiman, sawah, dan tegalan atau ladang sehingga dihasilkan model persamaan antara debit aliran sungai sebagai (Y) dan curah hujan tahunan (X1), hutan lebat (X2), kebun campuran (X3), pemukiman (X4), sawah (X5), dan tegalan atau ladang (X6).

3.3.6. Uji Statitistik

1. Uji R-squared (R2)

Uji koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur keragaman pada variabel terikat (dependent) yang dapat diterangkan oleh variasi pada model regresi. Nilai R2 akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya jumlah variabel bebas (independent) yang dimasukkan ke dalam model. Nilai ini berkisar antara (0<R2<1), dengan nilai yang mendekati satu menunjukkan model yang terbentuk mampu menjelaskan keragaman dari variabel terikat (dependent).

2. Uji Statistik t

Uji t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Tujuan dari uji t adalah untuk menguji koefisien regresi secara individual.

(21)

Apabila nilai P pada masing – masing variabel < α maka disimpulkan bahwa variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya.

3. Uji terhadap Multikolinear (Multicolinearity)

Model yang melibatkan banyak variabel bebas sering terjadi masalah multikolinearitas, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar variabel – variabel bebas. Menurut Sarwoko (2005), pendeteksian multikolinearitas dapat dilakukan dengan menghitung nilai variance inflation factor (VIF) melalui ouput (keluaran) komputer, dimana apabila nilai VIF < 10, maka tidak ada masalah multikolinearitas.

4. Uji terhadap Autokorelasi

Apabila nilai yang diharapkan dari koefisien korelasi sederhana antara setiap dua pengamatan error term adalah tidak sama dengan nol, maka error term

tersebut dikatakan memiliki autokorelasi yang disebabkan oleh kesalahan spesifikasi menghilangkan variabel yang penting atau bentuk fungsi yang salah. Sementara autokorelasi murni disebabkan oleh alasan pokok distribusi error term

pada persamaan yang spesifikasinya sudah benar. Autokorelasi tidak murni disebabkan oleh kesalahan spesifikasi yang masih dapat diperbaiki oleh peneliti.

5.Uji Heteroskedastisitas

(22)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum DAS Ciliwung Hulu

Secara geografis DAS Ciliwung Hulu terletak pada 6˚36’45” – 6˚46’30” LS dan 106˚48’45” – 107˚00’30” BT. DAS Ciliwung Hulu meliputi Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Kedunghalang yang dibatasi oleh Bendung Katulampa sebagai outletnya, serta dikelilingi oleh Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Gunung Hambalang. Luas total DAS Ciliwung Hulu secara keseluruhan adalah 14.920 ha.

Iklim di daerah penelitian tergolong ke dalam tipe iklim B1. Suhu berkisar antara 23 – 24 °C dengan kelembaban nisbi antara 73 – 82 %. Radiasi surya minimum terjadi pada bulan Januari (27,36 %) dan maksimum pada bulan September (81,85 %). Rata – rata penguapan minimum sebesar 2,08 mm terjadi pada bulan Januari sedangkan rata – rata penguapan maksimum sebesar 3,56 mm pada bulan Oktober (Riyadi, 2003).

Ditinjau dari kondisi geomorfologinya, DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh dataran volkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung, hanya sebagian kecil merupakan dataran aluvial. Geomorfologi daerah penelitian ini dibentuk oleh gunung api muda dari Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango, rangkaian pegunungan api tua dari Gunung Malang, Gunung Limo, Gunung Kencana dan Gunung Gedongan (Riyadi, 2003).

Tanah di DAS Ciliwung Hulu terdiri dari lima jenis tanah, yaitu Aluvial Kelabu, Assosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat, Andosol Coklat, Latosol Coklat Kemerahan, dan Assosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat. Dari kelima jenis tanah tersebut, Assosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat merupakan tanah yang mempunyai luasan yang paling besar, diikuti kemudian oleh tanah Assosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat, sedangkan tanah Aluvial Kelabu menempati luasan yang paling kecil (RLKT, 2000).

4.2. Karakteristik Hujan

(23)

sebanyak empat bulan yaitu dari bulan Juni – September. Hujan dengan periode curah hujan 200 mm (bulan basah) terjadi sebanyak delapan bulan yaitu dari bulan Oktober – Mei, sedangkan tidak terdapat periode terjadinya curah hujan ≤ 100 mm (bulan kering) di DAS Ciliwung Hulu. Berdasarkan hasil analisis curah hujan bulanan DAS Ciliwung Hulu, iklim di DAS Ciliwung hulu merupakan tipe iklim B1.

Klasifikasi yang digunakan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) mengenai panjangnya suatu musim yakni apabila CH ≥ 150 mm/bulan

disebut periode musim hujan dan apabila CH ≤ 150 mm/bulan disebut periode musim kemarau. Berdasarkan klasifikasi BMKG, hujan yang jatuh di DAS Ciliwung Hulu memiliki periode musim hujan sebanyak 10 bulan, dan musim kemarau sebanyak 2 bulan, yaitu pada bulan Juni dan Juli.

Distribusi curah hujan bulanan DAS Ciliwung Hulu menunjukkan pola curah hujan monsun yakni terdapat satu puncak maksimum dan satu puncak minimum yang terjadi di bulan Juni, Juli, dan Agusutus. Grafik curah hujan bulanan DAS Ciliwung Hulu (Gambar 3) yang membentuk pola huruf (V) merupakan salah satu karakteristik hujan yang dipengaruhi oleh angin monsun. Angin monsun merupakan angin yang berhembus secara periodik (minimal 3 bulan), dan antara periode yang satu dengan periode terbentuk pola yang berlawanan, seperti pada pola yang dibentuk oleh distribusi curah hujan bulanan DAS Ciliwung Hulu (membentuk huruf V).

Gambar 3. Curah Hujan Bulanan DAS Ciliwung Hulu (1985 – 2010) 0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

(24)

Distribusi curah hujan harian DAS Ciliwung Hulu diperoleh dengan membagi antara jumlah curah hujan tiap bulan dari masing – masing stasiun pengamatan hujan dengan jumlah hari hujan pada bulan tersebut selama periode 1985 – 2010. Berdasarkan data curah hujan harian dari keempat stasiun pengamatan hujan, curah hujan harian yang jauh di bawah atau di atas rata – rata curah hujan harian tidak ditemukan. Curah hujan harian tertinggi terjadi pada bulan Oktober, sebesar 30 mm, dan terendah pada bulan Juli, sebesar 22 mm. Berdasarkan kriteria hujan yang ditetapkan oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), curah hujan harian DAS Ciliwung Hulu masuk dalam kriteria hujan sedang dengan kriteria curah hujan sebesar 20 mm – 50 mm per hari (Gambar 4).

Gambar 4. Curah Hujan Harian DAS Ciliwung Hulu (1985 – 2010)

Curah hujan tahunan tertinggi terjadi pada tahun 2010, sebesar 4.536 mm, dan terendah pada tahun 1997 sebesar 2.667 mm. Curah hujan tahunan terendah DAS Ciliwung Hulu tidak berbeda jauh dengan rata – rata curah hujan Indonesia yang sebesar 2.779 mm. Banyaknya jumlah curah hujan di DAS Ciliwung Hulu setiap tahunnya cukup beragam (Gambar 5), tetapi jumlah curah hujan yang dihasilkan tidak pernah kurang dari 2.700 mm setiap tahunnya. Berdasarkan hasil analisis tersebut, DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah dengan curah hujan tinggi merata sepanjang tahun dengan rata – rata curah hujan tahunan sebesar

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

(25)

3.719 mm, jauh di atas rata – rata curah hujan tahunan Indonesia yaitu sebesar 2.779 mm (Tabel Lampiran 1) .

Gambar 5. Curah Hujan Tahunan DAS Ciliwung Hulu (1985 – 2010) Sifat hujan merupakan perbandingan antara curah hujan yang terjadi selama satu bulan dengan nilai rata – rata curah hujan bulan tersebut dalam periode jangka panjang, misal 26 tahun (1985 – 2010). Sifat hujan dihitung menggunakan metode deviasi simpangan baku. Berdasarkan hasil evaluasi sifat hujan selama periode 1985 – 2010, sifat hujan normal (N) merupakan sifat hujan yang paling mendominasi dengan presentase maksimum sebesar 36 %. Sifat hujan yang mendominasi kedua dan ketiga adalah sifat hujan bawah normal (BN) yaitu sebesar 28 % dan atas normal (AN) yaitu sebesar 25 %. Sifat hujan bawah normal banyak terjadi di bulan Juni, sedangkan sifat hujan atas normal (AN) banyak terjadi pada bulan November, Desember, dan Januari. Menurut kriteria BMKG, sifat hujan atas normal (AN) merupakan sifat hujan yang berpotensi menghasilkan banjir dan longsor. Presentase 25 % dari sifat hujan Atas Normal di DAS Ciliwung hulu menunjukkan bahwa 25 % hujan di kawasan DAS Ciliwung Hulu memiliki sifat berpotensi menghasilkan banjir dan longsor. Sifat curah hujan jauh atas normal (JAN) tidak begitu mendominasi, terjadi sebanyak 7 %, sedangkan sifat hujan jauh bawah normal (JBN) sebesar 4 % (Gambar 6).

(26)

Gambar 6. Presentase Sifat Curah Hujan DAS Ciliwung Hulu (1985 – 2010)

Variabilitas curah hujan tertinggi di keempat stasiun DAS Ciliwung Hulu terjadi di bulan Agustus, dengan nilai variabilitas hujan stasiun Gunung Mas sebesar 93 %, Katulampa sebesar 82 %, Empang sebesar 79 %, dan Citeko dengan nilai variabilitas hujan tertinggi sebesar 94 %. Curah hujan dengan variabilitas terendah terjadi pada bulan Januari. Nilai variabilitas hujan terendah stasiun Gunung Mas sebesar 38 %, Katulampa sebesar 31 %, Citeko sebesar 36 %, dan Empang dengan nilai variabilitas terendah sebesar 29 %. Grafik variabilitas hujan (Gambar 7) menggambarkan bahwa stasiun Citeko merupakan stasiun dengan variasi hujan tertinggi, sedangkan stasiun Empang merupakan stasiun hujan dengan variasi kejadian hujan terendah. Variasi kejadian hujan tinggi pada stasiun pengamatan hujan Citeko dikarenakan letaknya yang berada pada ketinggian 920 mdpl. Hal ini menyebabkan pada periode musim kemarau, seperti bulan Agustus, masih dapat ditemukan beberapa kejadian hujan dengan jumlah dan intensitas hujan tinggi. Menurut Tjasyono (2004), daerah pegunungan dan lembah dapat mempengaruhi jumlah curah hujan. Semakin menjauhi daerah pantai menuju daerah pegunungan, jumlah curah hujan semakin bertambah besar sampai pada ketinggian tempat tertentu yang disebut daerah maksimum.

Variasi kejadian hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli dan Agustus, sedangkan variasi kejadian hujan terendah terjadi pada bulan November, Desember, Januari, dan Februari. Tingginya variasi hujan pada bulan Agustus dikarenakan bulan Agustus yang merupakan bulan kering, masih dapat ditemukan

4%

28%

36% 25%

7% JBN (Jauh Bawah

Normal)

(27)

beberapa kejadian hujan yang tinggi, jauh di atas rata – rata curah hujan bulan Agustus, sedangkan pada bulan November, Desember, Januari, dan Februari yang merupakan musim hujan (bulan basah), jarang ditemukan curah hujan di bawah rata – rata curah hujan bulan tersebut.

Gambar 7. Variasi Hujan DAS Ciliwung Hulu (1985 – 2010)

4.3. Karakteristik Erosivitas Hujan

Nilai erosivitas hujan harian, bulanan, dan tahunan diperoleh dari pengolahan data pias hujan harian periode 2007 – 2010. Data pias hujan harian dihasilkan dari penakar hujan otomatik (Hellman) yang terpasang di stasiun pengamatan hujan Citeko, kabupaten Bogor. Stasiun pengamatan hujan Citeko berada pada ketinggian 920 mdpl dan terletak di 06˚ 42’ lintang selatan dan 106˚

56’ bujur timur (Gambar 8).

Gambar 8. Penakar Hujan Otomatik (Hellman) di Stasiun Citeko 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

v

ar

ia

b

il

it

as

h

u

ja

n

(

%)

(28)

Erosivitas hujan harian tertinggi pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April terjadi pada tanggal 14 Januari 2009, 01 Februari 2009, 11 Maret 2010, dan 19 April 2009 dengan nilai erosivitas masing – masing sebesar 145,58 ton.m/ha cm/jam, 333,43 ton.m/ha cm/jam, 254,56 ton.m/ha cm/jam, dan 737,98 ton.m/ha cm/jam. Erosivitas hujan harian tertinggi pada bulan Mei, Juni, Juli, dan Agustus terjadi pada tanggal 18 Mei 2009, 08 Juni 2009, 24 Juli 2009, dan 15 Agustus 2008, dengan nilai erosivitas masing – masing sebesar 266,93 ton.m/ha cm/jam, 173,87 ton.m/ha cm/jam, 90,56 ton.m/ha cm/jam, dan 95,16 ton.m/ha cm/jam. Erosivitas hujan harian tertinggi pada bulan September, Oktober, November, dan Desember terjadi pada tanggal 30 September 2008, 28 Oktober 2009, 14 November 2008, dan 02 Desember 2008, dengan nilai erosivitas hujan masing – masing sebesar 81,47 ton.m/ha cm/jam, 93,98 ton.m/ha cm/jam, 122,63 ton.m/ha cm/jam, dan 108,08 ton.m/ha cm/jam.

Erosivitas hujan harian terendah pada bulan Januari, Februari, Maret , dan April masing – masing sebesar 0,011 ton.m/ha cm/jam, 0,031 ton.m/ha cm/jam, 0,011 ton.m/ha cm/jam, dan 0,014 ton.m/ha cm/jam. Erosivitas hujan harian terendah pada Mei,Juni, Juli, dan Agustus masing – masing sebesar 0,003 ton.m/ha cm/jam, 0,006 ton.m/ha cm/jam, 0,026 ton.m/ha cm/jam, dan 0,016 ton.m/ha cm/jam. Erosivitas hujan harian terendah pada bulan September, Oktober, November, dan Desember masing – masing sebesar 0,004 ton.m/ha cm/jam, 0,042 ton.m/ha cm/jam, 0,004 ton.m/ha cm/jam, dan 0,013 ton.m/ha cm/jam.

(29)
(30)
(31)

Gambar 11. Erosivitas Hujan Harian Stasiun Citeko Bulan (a) Juli (b) Agustus, dan (c) September

(32)
(33)

Erosivitas hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan April 2009, Maret 2010, dan bulan Februari 2009, dengan nilai erosivitas hujan masing – masing sebesar 1.996,95ton.m/ha cm/jam, 838,41 ton.m/ha, cm/jam dan 644,70 ton.m/ha cm/jam. Erosivitas hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus 2009, Juli 2008, dan September 2007 dengan nilai erosivitas masing-masing sebesar 0,02 ton.m/ha cm/jam, 0,89 ton.m/ha cm/jam, dan 5,09 ton.m/ha cm/jam (Gambar 13).

Berdasarkan rata – rata erosivitas hujan bulanan selama periode 2007 – 2010 (Gambar 13, Tabel 4), bulan April dan Maret merupakan bulan yang paling banyak menghasilkan erosivitas hujan tertinggi. Erosivitas hujan pada bulan April sebesar 656,16 ton.m/ha cm/jam dan Maret sebesar 504,78 ton.m/ha cm/jam, sedangkan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 39,17 ton.m/ha cm/jam.

Bulan Juni dan Juli dimana kejadian hujan yang menghasilkan total erosivitas hujan rendah terjadi, masih dapat ditemukan beberapa kejadian hujan yang menghasilkan erosivitas hujan harian tinggi, seperti pada tanggal 08 Juni 2009 menghasilkan nilai erosivitas hujan sebesar 173,87 ton.m/ha cm/jam dan pada tanggal 24 Juli 2009 sebesar 90,56 ton.m/ha cm/jam (Tabel Lampiran 6). Nilai tersebut jauh di atas rata – rata erosivitas hujan harian bulan Juni dan Juli yang tidak lebih dari 10 ton.m/ha cm/jam. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar kejadian hujan di kawasan DAS Ciliwung Hulu menghasilkan erosivitas hujan tinggi dan dapat berpengaruh terhadap potensi terjadinya erosi.

Bulan Agustus dan September tahun 2010 menghasilkan hari hujan berpotensi menghasilkan erosivitas hujan lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2007, 2008, 2009, dan 2010. Bulan Agustus tahun 2007 menghasilkan 4 hari hujan yang berpotensi menghasilkan erosivitas hujan. Bulan Agustus 2008 menghasilkan 7 dan bulan Agustus 2009 menghasilkan 1 hari hujan, sedangkan pada bulan Agustus tahun 2010 menghasilkan 11 hari yang berpotensi menghasilkan erosivitas hujan. Bulan September tahun 2007, 2008, 2009 masing

(34)

berpotensi menghasilkan erosivitas hujan, walaupun nilai erosivitas hujan yang dihasilkan bukan erosivitas hujan tinggi (Tabel Lampiran 6).

Secara umum bulan Oktober, November, Desember, Januari, Februari, Maret, April, dan Mei merupakan bulan dengan kejadian hujan yang banyak menghasilkan erosivitas hujan tinggi sehingga disarankan pada bulan – bulan tersebut untuk menghindari melakukan penanaman komoditas tanaman yang memerlukan pengelolaan tanah yang intensif. Pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September merupakan bulan dengan kejadian hujan yang menghasilkan erosivitas hujan rendah.

Gambar 13. Erosivitas Hujan (EI30) Bulanan DAS Ciliwung Hulu (2007 – 2010)

Berdasarkan hasil analisis data erosivitas hujan tahunan yang tersaji pada Tabel 4 dan Gambar 14, dapat diidentifikasikan bahwa tahun 2009 merupakan tahun dimana banyak kejadian hujan menghasilkan erosivitas hujan tinggi, sebesar 5.188,45 ton.m/ha cm/jam. Nilai erosivitas hujan tahunan 2008 dan 2010 tidak berbeda jauh, yaitu 2.881,72 ton.m/ha cm/jam dan 2.759,14 ton.m/ha cm/jam, sedangkan tahun 2007 merupakan tahun dimana kejadian hujan dengan nilai erosivitas hujan terendah terjadi, yaitu sebesar 2.020,40 ton.m/ha cm/jam. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2009, hujan yang terjadi memberi kontribusi besar terhadap terjadinya erosi di kawasan DAS Ciliwung hulu.

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

(35)

Tabel 4. Erosivitas Hujan (EI30) Bulanan dan Tahunan DAS Ciliwung Hulu *) dihitung dengan menggunakan rumus Wischmeier dan Smith (1958)

Gambar 14. Erosivitas Hujan (EI30) Tahunan DAS Ciliwung Hulu (2007 – 2010)

Erosivitas hujan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya erosi. Distribusi besaran nilai erosivitas hujan dapat digunakan sebagai masukan dalam penentuan waktu pengelolaan tanaman sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya erosi tanah. Pada bulan dengan nilai erosivitas hujan yang tinggi diupayakan menghindari pengolahan lahan secara intensif dan pembersihan lahan dari gulma. Pada bulan dengan kejadian hujan yang menghasilkan erosivitas hujan tinggi dapat juga dilakukan pemberian penutup permukaan lahan dengan mulsa, serasah daun – daunan atau penambahan bahan organik lainnya. Hal ini dilakukan

(36)

dengan tujuan untuk mempertahankan agregat tanah dari pukulan air hujan yang besar sehingga menyebabkan terjadinya erosi tanah. Pada bulan dengan kejadian hujan yang menghasilkan erosivitas hujan rendah dapat dilakukan pemilihan jenis tanaman musiman yang memerlukan pengolahan intensif tinggi dan tidak memerlukan banyak air.

Distribusi besaran nilai erosivitas hujan juga dapat digunakan sebagai salah satu faktor masukan dalam menentukan nilai prediksi erosi suatu daerah. Erosivitas hujan merupakan faktor alami yang tidak mungkin dikelola dan diatur oleh manusia waktu terjadinya dan besaran nilai yang dihasilkannya. Nilai erosivitas hujan yang tinggi di kawasan DAS Ciliwung Hulu merupakan tetapan yang tidak mungkin diperkecil atau dirubah waktu terjadinya. Untuk memperkecil laju erosi dapat dilakukan dengan mengelola faktor – faktor erosi yang lain. Menurut Arsyad (2010), besarnya erosi pada suatu lahan ditentukan oleh lima faktor utama, yaitu erosivitas hujan, erodibilitas hujan, bentuk lahan, vegetasi penutup tanah, dan tingkat pengelolaan tanah. Berdasarkan hasil penelitian mengenai besaran erosivitas hujan di kawasan DAS Ciliwung Hulu, maka usaha pengelolaan tanah secara konservasi perlu dilakukan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menekan laju erosi yang dihasilkan akibat besarnya nilai erosivitas hujan yang dihasilkan dari setiap kejadian hujan.

4.4. Perubahan Penggunaan Lahan

Dalam menginterpretasi citra landsat ETM+, Sudadi et al. (1991) dan Janudianto (2004) mengelompokkan penggunaan lahan menjadi kategori hutan lebat, hutan semak atau belukar, kebun campuran, kebun karet, lahan terbuka, pemukiman, sawah, dan tegalan atau ladang. Berdasarkan pengelompokan ini, hasil analisis penggunaan lahan terhadap peta penggunaan lahan kawasan DAS Ciliwung hulu tahun 1985, 1990, 1994, 2001, dan 2010 ditampilkan pada Tabel 6.

(37)

kenaikan luasan lahan yang masing – masing sebesar 479,39 ha menjadi 873,46 ha, 3.166,06 ha menjadi 3.838,64 ha, dan untuk tegalan sebesar 174,42 ha menjadi 619,93 ha. Pemukiman juga termasuk salah satu penggunaan lahan yang mengalami kenaikan luas lahan dari 1.765,58 ha menjadi 2.482,24 ha.

Tabel 5. Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Hulu (1985 – 2010)

Pada periode 1990 – 1994, lahan pertanian seperti sawah dan tegalan atau ladang mengalami penurunan masing – masing sebesar 213,62 ha dan 250,86 ha. Kebun teh, lahan terbuka, dan hutan semak atau belukar juga mengalami penurunan luasan lahan yang masing-masing sebesar 79,48 ha, 62,71 ha, dan 361,40 ha. Penggunaan lahan yang mengalami kenaikan dalam luasan lahannya adalah pemukiman dan kebun campuran sebesar 533,77 ha dan 434,68 ha. Hutan lebat pada periode ini hanya mengalami penurunan luasan sebesar 0,37 ha.

Pada periode 1994 – 2001, penggunaan lahan yang mengalami penurunan luasan lahannya adalah hutan lebat, hutan semak, kebun teh, dan lahan terbuka masing-masing sebesar 149,49 ha, 233,37 ha, 664,39 ha, dan 32,74 ha. Sebaliknya penggunaan lahan yang mengalami penambahan luasan lahan yang cukup besar adalah pemukiman, yakni sebesar 938,87 ha. Pada periode ini penggunaan lahan yang paling banyak mengalami penambahan luasan lahan adalah tegalan atau ladang, yakni sebesar 1.272,06 ha, sedangkan penggunaan lahan yang mengalami

Penggunaan Lahan

1985 1990 1994 2001 2010

Hektar Persen Hektar

Persen Hektar Persen Hektar Persen Hektar Persen Hutan Lebat 3.869,93 25,94 3.143,39 21,07 3.143,02 21,07 2.993,53 20,06 1.462,15 9,80 Semak/belukar 479,39 3,21 873,46 5,85 512,06 3,43 278,69 1,87 903,67 6,06 Kebun

Campuran 1.317,45 8,83 1.151,73 7,72 1.586,41 10,63 1.582,01 10,60 2.264,33 15,18 Kebun Karet 188,53 1,26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Kebun Teh 3.166,06 21,22 3.838,64 25,73 3.759,16 25,20 3.094,77 20,74 4.057,06 27,19 Lahan

Terbuka 540,70 3,62 107,15 0,72 44,44 0,30 11,70 0,08 35,45 0,24

Pemukiman 1.765,58 11,83 2.482,24 16,64 3.016,01 20,21 3.954,88 26,51 4.238,13 28,40

(38)

penurunan luasan lahan terbesar adalah sawah, yakni sebesar 1.126,52 ha. Kebun campuran mengalami penurunan luasan lahan sebesar 4,40 ha.

Penggunaan lahan pada tahun 2010 (Tabel 5, Gambar Lampiran 1) didominasi oleh pemukiman. Luasan lahan pemukiman pada tahun 2010 naik secara signifikan, pada tahun 1985 sebesar 1.765,58 ha, dan meningkat menjadi 4.238,13 ha pada tahun 2010. Periode 2001 – 2010, penggunaan lahan yang mengalami penurunan luasan lahan adalah hutan lebat, sawah, dan tegalan, yang masing – masing perubahan penurunan luasannya adalah 1.531,38 ha, 934,26 ha, dan 110,55 ha. Penggunaan lahan luasannya bertambah adalah hutan semak, kebun campuran, pemukiman, lahan terbuka, yamg masing-masing kenaikan luasannya sebesar 624,98 ha, 682,32 ha, 283,25 ha, dan 23,75 ha. Pada periode ini, kebun teh mengalami penambahan luasan, yakni sebesar 962,29 ha.

4.4.1. Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Lebat

Perubahan luas hutan lebat memiliki laju peluruhan eksponensial yang tergambar dalam model persamaan y = 4.010,8 exp(-0,029X) dengan nilai R square (R2) = 0,91 (Gambar 15 dan Tabel 6). Laju peluruhan hutan lebat mengalami penurunan luasan lahannya dari tahun 1985 ke tahun 2010, yakni sebanyak 2.407,78 ha atau berkurang sebanyak 62,21 %.

Gambar 15. Model Persamaan Eksponensial Laju Perubahan Hutan Lebat

Hutan lebat di DAS Ciliwung Hulu kebanyakan berada di wilayah dengan elevasi tinggi dan kemiringan lereng yang curam, sekitar puncak gunung (Janudianto, 2004). Hal ini menyebabkan sangat sulit hutan lebat langsung

urutan tahun pengamatan

luas

an (

ha)

(39)

dikonversi menjadi pemukiman. Kenyataannya karena teknologi yang semakin berkembang dari waktu ke waktu menyebabkan semakin banyak ditemui pemukiman atau lahan terbangun yang berada di sekitar puncak gunung.

Tabel 6. Model Pendugaan Perubahan Berbagai Tipe Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Hulu (1985 – 2010)

Model persamaan pendugaan pertumbuhan eksponensial penggunaan lahan DAS Ciliwung hulu (y = c*exp(b0+b1*x1+b2*x2...)

Tipe penggunaan lahan R2 Persamaan

Hutan Lebat 0,91 y = 4.010,8exp(-0,029X)

Hutan Semak/Belukar 0,25 y = 521,6exp(0,012X)

Kebun Campuran 0,92 y = 1.140,1exp(0,025X)

Kebun Teh 0,41 y = 3.368,7exp(0,005X)

Lahan Terbuka 0,99 y = 736,6exp(-0,31X)

Pemukiman 0,93 y = 2.109,5exp(0,029X)

Sawah 0,97 y = 3.808,2exp(-0,06X)

Tegalan/Ladang 0,82 y = 399exp(0,056X)

Ket: y = luas pendugaan penggunaan lahan (ha); x = urutan tahun pengamatan Tabel 7. Hasil Estimasi Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan Model

(40)

4.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran

Luas penggunaan lahan kebun campuran selama periode 1985 – 2010 mengalami peningkatan, yakni sebesar 946,88 ha. Model persamaan pertumbuhan penggunaan lahan kebun campuran adalah y = 1.140,1exp(0,025X) dengan nilai koefisien determinasi (R2) = 0,92. Peningkatan luas kebun campuran umumnya merupakan penambahan lahan kebun campuran atau pekarangan di sekitar pemukiman dan konversi dari semak belukar. Kebun campuran pada penelitian ini terdiri atas campuran yang tidak teratur antara tanaman tahunan dan tanaman semusim yang terletak pada satu bidang lahan yang pengolahannya menggunakan alat berat sehingga menyebabkan kondisi fisik tanah menurun. Model persamaan eksponensial laju pertumbuhan kebun campuran dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Model Persamaan Eksponensial Laju Perubahan Kebun Campuran

4.4.3. Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka

Luas lahan terbuka mengalami penurunan sebesar 505,25 ha. Penurunan luas lahan terbuka dinyatakan dalam persamaan y = 736,6exp(-0,31X) dengan nilai koefisien determinasi (R2) = 0,99 (Gambar 17). Luas lahan terbuka di akhir – akhir tahun pengamatan semakin sedikit jumlahnya, hal ini dapat dilihat dari luas lahan terbuka 2010 yang hanya sebesar 0,23 ha.

urutan tahun pengamatan

luas

an (

ha) y = 1.140,1exp

(41)

Gambar 17. Model Persamaan Eksponensial Laju Perubahan Lahan Terbuka

4.4.4. Perubahan Penggunaan Lahan Pemukiman

Pemukiman meningkat pesat dibandingkan penggunaan lahan lain, sebesar 2.472,55 ha atau meningkat sebesar 58,34 %. Pertumbuhan pemukiman dinyatakan dalam persamaan y = 2.109,5exp(0,029X) dengan R square (R2) = 0,99 (Gambar 18). Pemukiman dalam penelitian ini meliputi kampung dan penggunaan lahan non pertanian (Janudianto, 2004). Pertumbuhan pemukiman yang pesat terjadi karena DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah yang menawarkan pertumbuhan ekonomi tinggi dari sektor pariwisatanya. Pemukiman dalam penelitian ini meliputi kampung dan penggunaan lahan non pertanian lainnya, seperti sarana dan prasarana daerah wisata (Sudadi et al., 1991).

Gambar 18. Model Persamaan Eksponensial Laju Perubahan Pemukiman

urutan tahun pengamatan

luas

an (

ha)

urutan tahun pengamatan

luas

an (

ha)

y = 736,6exp(-0,31X)

(42)

4.4.5. Perubahan Penggunaan Lahan Tegalan atau Ladang

Luas lahan tegalan atau ladang pada periode 1985 – 2010 bertambah sebesar 1.355,56 ha. Model persamaan laju pertumbuhan tegalan atau ladang periode (1985 – 2010) adalah y = 399exp(0,056X) dengan nilai koefisien determinasi (R2) = 0,92. Model persamaan dapat dilihat pada Gambar 19. Tegalan atau ladang dalam penelitian ini merupakan usahatani lahan kering yang ditanami komoditas seperti palawija.

Gambar 19. Model Persamaan Eksponensial Laju Perubahan Tegalan atau Ladang

4.4.6. Perubahan Penggunaan Lahan Sawah

Luas sawah berkurang signifikan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan sawah dapat dinyatakan dalam persamaan y = 3.808,2exp(-0,06X) dengan nilai nilai koefisien determinasi (R2) = 0,97 (Gambar 20).

Sawah merupakan lahan yang paling berpotensi dikonversi menjadi kawasan pemukiman (tempat peristirahatan, restaurant, toko, dan tempat wisata). Hal ini disebabkan karena umumnya sawah berlokasi di sekitar pemukiman, dekat dengan aliran sungai dan jalan (Janudianto, 2004). Luas penggunaan lahan sawah berkurang sebanyak 2.988,29 ha atau sebanyak 87,43 %. Sawah dalam penelitian merupakan usahatani yang ditanami padi.

urutan tahun pengamatan

luas

an (

ha)

(43)

Gambar 20. Model Persamaan Eksponensial Laju Perubahan Sawah

4.5. Hubungan Penggunaan Lahan, Curah Hujan, dan Debit Aliran Sungai

Peubah penggunaan lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggunaan lahan yang didapat dari hasil analisis pendugaan pertumbuhan eksponensial yang memiliki nilai koefisien determinasi (R2) tinggi. Penggunaan lahan yang memenuhi syarat tersebut adalah penggunaan lahan hutan lebat, kebun campuran, pemukiman, sawah, dan tegalan atau ladang. Penggunaan lahan terbuka dan kebun karet tidak dijadikan masukan (input) peubah penjelas dalam model regresi berganda dikarenakan jumlah luasannya yang semakin kecil atau hampir tidak ada di tahun – tahun akhir pengamatan. Penghilangan peubah lahan terbuka dan kebun karet dari model persamaan dilakukan agar model persamaan yang dihasilkan tidak menimbulkan bias antar koefisien peubah.

Debit aliran sungai yang digunakan dalam penelitian ini adalah debit aliran sungai tahunan dengan tinggi muka air (TMA) di atas 80 cm, yang merupakan debit di atas ketinggian normal yang dapat berdampak pada kemungkinan banjir di bagian hilir. Debit dengan ketinggian ini terjadi pada musim penghujan. Debit ini dipilih karena merupakan debit yang paling representatif menunjukkan hasil yang signifikan pada model persamaan dibandingkan dengan total debit harian selama setahun, dimana debit aliran sungai yang terjadi selama musim kemarau diperhitungkan juga.

Pada uji statistik hasil analisis regresi berganda ditemukan adanya korelasi kuat antar variabel bebas, yang disebut multikolinearitas. Multikolinearitas akan

luas

an (

ha)

(44)

menghasilkan nilai nilai koefisien determinasi (R2) yang tinggi, namun koefisien regresi yang dihasilkan tidak bersifat nyata secara statistik sehingga perlu dilakukan orthogonalisasi peubah dengan menggunakan analisis antara berupa analisis komponen utama (principle component analysis). Analisis komponen utama digunakan terhadap peubah penggunaan lahan yang terkait satu sama lain sehingga diperoleh sebuah komponen utama yang mampu menjelaskan 98,1 % keragaman data. Peubah – peubah yang mempengaruhi debit aliran sungai DAS Ciliwung Hulu tertera pada Tabel 8 dan Tabel Lampiran 7.

Tabel 8. Peubah – peubah yang Mempengaruhi Debit Aliran Sungai DAS Ciliwung Hulu

Peubah

Koefisien p-level

Curah hujan tahunan (X1) 0,94 0,031

Hutan lebat (X2) -0,21 0,008

Kebun campuran (X3) 0,41 0,008

Pemukiman (X4) 0,92 0,008

Sawah (X5) -0,17 0,008

Tegalan atau ladang (X6) 0,15 0,008

α = 0,05; R-Sq = 42,4 %

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda antara peubah penggunaan lahan dan curah hujan terhadap debit aliran sungai DAS Ciliwung Hulu pada taraf nyata 5 % (α = 0,05), diperoleh model persamaan sebagai berikut:

Y = –996,63 + 0,94 X1 – 0,21 X2 + 0,41 X3 + 0,92 X4 – 0,17 X5 + 0,15 X6 dimana,

Y = debit aliran sungai (h ≥ 80 cm, Q = m3/detik) X1 = curah hujan tahunan (mm)

X2 = luas hutan lebat (ha) X3 = luas kebun campuran (ha) X4 = luas pemukiman (ha) X5 = luas sawah (ha)

X6 = luas tegalan atau ladang (ha)

(45)

aliran sungai DAS Ciliwung Hulu. Besarnya pengaruh peubah hujan pada perubahan debit aliran sungai dikarenakan karakteristik hujan DAS Ciliwung Hulu yang memiliki periode musim hujan sebanyak 10 bulan (kriteria BMKG) atau karakteristik hujan dengan bulan basah (CH > 200 mm) sebanyak 8 bulan (kriteria Oldeman, 1975). Besarnya volume air hujan dan intensitas hujan menyebabkan banyaknya air hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Volume air hujan tersebut tidak semuanya dapat terserap baik oleh tanah dan akhirnya air hujan berlebih tersebut menjadi limpasan air sungai dalam volume yang besar.

Berkurangnya luas hutan lebat dari tahun ke tahun menyebabkan meningkatnya debit aliran sungai setiap tahunnya. Hutan lebat selama periode 1985 – 2010 mengalami penurunan dari 3.897,06 ha menjadi 1.898,80 ha. Pengaruh baik keberadaan hutan terhadap pengurangan perbedaan fluktuasi debit sepanjang tahun disebabkan oleh perubahan evapotranspirasi. Persentase dari total hutan dan luas bidang dasar (basal area) yang ditebang berkorelasi langsung dengan penambahan hasil air. Secara fisik vegetasi akan menahan aliran permukaan dan meningkatkan simpanan permukaan (depression storage, surface detention) sehingga menurunkan besarnya aliran permukaan dan pada akhirnya menurunkan besarnya aliran air yang masuk ke sungai. Selain itu vegetasi yang lebat mampu menahan laju derasnya air hujan sehingga tidak menyebabkan terjadinya kerusakan tanah dan mengurangi terjadinya erosi (Manan, 1993). Menurut Arsyad (2010), vegetasi mempengaruhi siklus hidrologi melalui pengaruhnya terhadap air hujan yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi, ke tanah dan batuan di bawahnya. Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam (1) intersepsi air hujan, (2) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak hujan dan aliran permukaan, (3) pengaruh akar, bahan organik sisa-sisa tumbuhan yang jatuh dipermukaan tanah, dan kegiatan – kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan (4) transpirasi yang mengakibatkan berkurangnya kandungan air tanah.

(46)

kawasan DAS Ciliwung hulu mengakibatkan bertambahnya daerah kedap air sehingga mengurangi daya infiltrasi air ke dalam tanah, yang berimplikasi terhadap meningkatnya volume limpasan air menuju sungai. Menurut Indarto (2010), penutupan permukaan tanah oleh aspal membuat permukaan menjadi

impermeabel dan mengurangi infiltrasi air. Tanah yang padat menyebabkan infiltrasi, perkolasi, dan penyimpanan lengas tanah berkurang.

Bertambahnya luas kebun campuran dari 1.317,45 ha menjadi 2.264,33 ha dan luas tegalan dar 422,03 ha menjadi 1.718,93 ha meningkatkan volume debit aliran sungai. Menurut Arsyad (2010), ladang adalah jenis usahatani berpindah – pindah dari satu bidang ke bidang lain dalam siklus tertentu, yang mengandalkan sumber air dari curah hujan. Sistem usahatani ladang tidak lagi dianjurkan, terutama pada daerah daerah berpenduduk padat, karena berpotensi memboroskan dan merusak tanah. Lahan tegalan dan kebun campuran merupakan lahan pertanian yang pengelolaan lahannya kurang baik sehingga menyebabkan lahan lama kelamaan menjadi tidak produktif. Meningkatnya luasan lahan kebun campuran dan tegalan biasanya merupakan konversi dari hutan lebat semak belukar, dimana pada saat pembukaannya menggunakan alat berat yang bertujuan meratakan tanah sehingga menyebabkan lapisan tanah yang subur hilang dan mempengaruhi sifat fisik tanah. Rusaknya sifat fisik tanah menyebabkan daya serap (infiltrasi) berkurang sehingga ketika hujan dengan intensitas tinggi terjadi akan banyak limpasan air permukaan yang tidak terserap tanah kemudian limpasan air tersebut mengalir di atas permukaan tanah dan jatuh ke badan sungai. Peubah penggunaan lahan sawah berpengaruh negatif terhadap perubahan debit aliran sungai. Penggunaan lahan sawah berfungsi menurunkan debit aliran sungai, tetapi tidak secara nyata. Hal ini dapat disebabkan karena landform dari sawah yang berbentuk pematang sehingga memungkinkan hujan yang turun tertampung sementara sampai batas dari permukaan sawah penuh terisi air. Ketika air telah memenuhi sawah, maka air hujan yang terus turun akan mengalir keluar pematang menjadi aliran permukaan.

(47)

lapisan bajak dan tingginya kandungan air tanah sehingga menghalangi masuknya air ke dalam tanah. Air akan tertahan di permukaan dan berubah menjadi aliran bila daya tampung sawah terpenuhi (Suryani dan Agus, 2005).

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda secara agregasi (keseluruhan model), debit aliran sungai selama periode 1985 – 2010 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1985, debit aliran sungai pada bendungan Katulampa

(TMA ≥ 80 cm) sebesar 1.716,65 m3

/dtk, tahun 1995 sebesar 2.666,22 m3/dtk, dan pada tahun 2010 sebesar 6.943,79 m3/dtk (Tabel Lampiran 5). Peningkatan debit aliran sungai tersebut dikarenakan meningkatnya konversi lahan bervegetasi permanen, seperti hutan lebat, menjadi lahan terbangun dan lahan pertanian (sawah, kebun campuran, kebun teh, dan tegalan atau ladang). Konversi ini menyebabkan semakin sedikit jumlah lahan yang memiliki kemampuan infiltrasi (daya serap air) tinggi, sebaliknya meningkatnya lahan terbangun dan lahan pertanian menyebabkan semakin banyak luasan lahan yang kedap terhadap air sehingga aliran permukaan di kawasan DAS Ciliwung Hulu terus meningkat dan berimplikasi pada meningkatnya debit aliran sungai setiap tahunnya. Konversi ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya jumlah curah hujan tahunan DAS Ciliwung Hulu (1985 – 2010) sehingga debit aliran sungai DAS Ciliwung hulu semakin meningkat setiap tahunnya (Gambar 6). Curah hujan pada tahun 1985 sebesar 3.129 mm, tahun 1995 sebesar 3.903 mm, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 4.536 mm.

(48)

perubahan debit aliran sungai DAS Ciliwung Hulu karena model tersebut mempunyai taraf nyata (p-level = 0,013), di bawah taraf nyata (p-level = 0,05).

4.6. Aliran Permukaan Langsung (Direct Runoff) Tahun 1985 dan 2010

Komponen aliran permukaan langsung pada hidrograf aliran sungai merupakan indikator dalam menentukan besarnya jumlah curah hujan yang tidak terserap oleh tanah.Aliran permukaan langsung yang semakin besar menunjukkan jumlah curah hujan yang diserap oleh tanh dan dievapotranspirasikan semakin berkurang sehingga jumlah air yang mengalir di titik penglepasan sungai (outlet) semakin besar. Aliran permukaan langsung (direct runoff) terjadi karena kapasitas infiltrasi tanah lebih rendah daripada intensitas hujan yang jatuh ke permukaan. Sebagian hujan yang sampai ke permukaan tanah menjadi aliran permukaan karena tidak semua air hujan dapat diserap oleh tanah (Indarto, 2010). Untuk mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan dan curah hujan terhadap aliran permukaan, dilakukan analisis hidrograf debit aliran sungai tahunan dengan memisahkan antara aliran permukaan langsung (direct runoff) dari aliran dasar sungai (baseflow).

Gambar

Gambar 10.  Erosivitas Hujan Harian Stasiun Citeko Bulan (a) April (b) Mei, dan        (c) Juni
Gambar 11.
Gambar 12. Erosivitas Hujan Harian Stasiun Citeko Bulan (a) Oktober               (b) November, dan (c) Desember
Gambar 13. Erosivitas Hujan (EI30) Bulanan DAS Ciliwung Hulu (2007 – 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan akhir-akhir ini, terlihat secara fakta hasil audit Badan Pemeriksaan Kekuasaan atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan ini sudah mengarah pada

Analisis statistik deskriptif dbertujuan untuk mengetahui gambaran umum tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar

Juana is depicted as a domestic woman who takes the role of a mother and wife.. She is a typical representation of feminine woman who is “patient, obedient, respectful and cheerful”

Pada penyakit graves tubuh se&#34;ara patologis membentuk anti &amp;% reseptor yang akan berikatan dengan reseptor &amp;% di kelenjar tiroid, dan merangsang kerja kelenjar

ie ye atau ikat celup pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama yaitu menghias kain dengan cara diikat atau dalam bahasa &lt;a)a dijumput sedikit, dengan tali atau

Dari hasil praktikum yang kami lakukan dapat disimpulkan bahwa setiap spesies dalam Chlorophyta memiliki bentuk yang berbeda antara satu spesies dengan spesies lainnya. Hal ini

Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan metode NDLC, dibangunlah sebuah keamanan internet dengan WPA2-PSK, management bandwidth

Dalam membentuk harga pokok penjualan caranya adalah persediaan barang dagangan awal periode ditambah dengan harga pokok pembelian akan membentuk harga pokok barang