• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sebaran Lahan Industri Dalam Pengembangan Wilayah Di Jabodetabek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sebaran Lahan Industri Dalam Pengembangan Wilayah Di Jabodetabek"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SEBARAN LAHAN INDUSTRI DALAM

PENGEMBANGAN WILAYAH DI JABODETABEK

DEWI SETYOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sebaran Lahan Industri Dalam Pengembangan Wilayah di Jabodetabek adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Dewi Setyowati

(4)

DEWI SETYOWATI. Analisis Sebaran Lahan Industri Dalam Pengembangan Wilayah di Jabodetabek. Di bawah bimbingan KHURSATUL MUNIBAH dan SETIA HADI.

Pengembangan kawasan industri di Jabodetabek berkembang pesat sejak awal 1970. Perkembangan perkotaan yang pesat di Jabodetabek mengakibatkan munculnya daerah-daerah baru di pinggiran kota induk untuk menampung pertumbuhan kegiatan kota induk tersebut, diantaranya dengan membangun daerah industri. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan penyediaan lahan dalam skala besar terutama untuk kegiatan industri. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perubahan penggunaan lahan ke lahan industri di Jabodetabek dan kaitannya dengan PDRB sektor industri, menganalisis faktor yang mempengaruhi PDRB sektor industri, menganalisis pemusatan dan pertumbuhan sektor industri di Jabodetabek, menyusun arahan pengembangan industri di Jabodetabek.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perubahan penggunaan lahan non industri ke industri Tahun 1998 sampai Tahun 2012 terbesar terdapat di Kabupaten Bekasi dengan penambahan jenis penggunaan lahan permukiman, ruang terbuka dan persawahan. Terdapat korelasi yang positif antara perubahan penggunaan lahan non industri ke industri dengan perubahan PDRB industri di Jabodetabek. Terdapat beberapa variabel internal yang berpengaruh terhadap pembentukan PDRB sektor industri, namun hanya variabel bahan baku yang pengaruhnya kuat.Terdapat beberapa kecamatan potensial yang mempunyai nilai Location Quotient (LQ) >1 dan Shift Share Analysis positif.

Untuk menentukan arahan pengembangan industri di Jabodetabek didasarkan pada pertimbangkan nilai LQ dan SSA, penyerapan tenaga kerja, ketersediaan lahan, inkonsistensi lahan industri dan arahan pola ruang dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupten/ Kota di Jabodetabek. Hasilnya terdapat 4 (empat) prioritas lokasi pengembangan sektor industri yang sebagian besar berada di daerah pinggiran Kota Jakarta.

(5)

SUMMARY

DEWI SETYOWATI. Industrial Land Distribution Analysis in Regional Development of Jabodetabek. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and SETIA HADI.

The development of industrial zones in Jabodetabek area growing rapidly since the early 1970s. Urban developments very fast in Greater Jakarta resulting in the appearance of new areas in core city of the suburbs to accommodate growth activities core city the like build industrial area. This is due to the limited supply of land on a large scale, especially for industrial activities. The purpose of this research is analyzing changes in land use and connection with industrial land to industrial gdp, analyzing the factors affecting the industrial sector, analyzing the concentration and growth of the industrial sector in Greater Jakarta and determining direction industrial sector development.

The results showed that the largest industrial area in the period 1998 and 2012 is in Regency of Bekasi with the addition of the settlement, open space and rice fields.. Showed a positive correlation where non-industrial land use change to the industry will be followed by changes in industrial GDP. There are several internal variables that affect the formation of industrial sector GDP, but only variable raw material strong influence. There are some districts that have a potential value of Location Quotient (LQ)> 1 and Shift Share Analysis positive.

The direction of development of the industrial sector on the basis of consideration of the value of LQ and SSA, absorption of labor, availability of land, industrial land inconsistencies and direction of spatial plans districts / cities in Greater Jakarta. The result is there are four (4) priority development sites are mostly industrial sector is in a suburb of Jakarta.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

ANALISIS SEBARAN LAHAN INDUSTRI DALAM

PENGEMBANGAN WILAYAH DI JABODETABEK

DEWI SETYOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(8)
(9)
(10)

Dengan mengucap Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian yang berjudul “Analisis Sebaran Industri dalam

Pengembangan Wilayah di Jabodetabek” dapat selesai dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih atas masukan dan arahan dari Dr.Dra. Khursatul Munibah, MSc, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Setia Hadi MS selaku anggota Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Santun RP Sitorus sebagai Penguji Luar Komisi, serta Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku Pimpinan Sidang Ujian Tesis. Tak lupa juga penulis haturkan terima kasih kepada rekan-rekan kuliah PWL regular dan kelas khusus angkatan 2012 dan rekan-rekan lainnya yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang memberi bantuan moril dan material kepada penulis dalam melakukan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda tercinta, serta seluruh keluarga, teman atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini.

Demikian penulis sampaikan, besar harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak yang berkepentingan.

Bogor, Juni 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Kegunaan Penelitian 4 Kerangka Pemikiran 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6 Pengembangan Wilayah 6 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan 7 Teori Lokasi Industri 10

3 METODE PENELITIAN 13 Lokasi dan Waktu Penelitian 13 Bahan 13 Alat 13 Metode analisis 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Penggunaan Lahan Aktual 19

Analisis Perubahan Sebaran Lahan Industri 1998-2012 dan Kaitannya dengan Perubahan PDRB Sektor Industri 20

Faktor Internal Yang Mempengaruhi PDRB Industri 38

Analisis Pemusatan dan Pertumbuhan Industri 47

Prioritas Pengembangan Wilayah Industri di Jabodetabek 48

Arahan Pengembangan Wilayah Lokasi Industri di Jabodetabek 58

5 SIMPULAN DAN SARAN 64

Simpulan 64

Saran 64

DAFTAR PUSTAKA 65

LAMPIRAN 69

GLOSARIUM 70

(12)

1 Interpretasi Koefisien Korelasi 15

2 Rencana Metode Penelitian 18

3 Kriteria Arahan Prioritas Pengembangan Industri 18

4 Kriteria Arahan Pengembangan Wilayah Lokasi Industri 18

5 Luas Lahan (ha) Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tiap Kabupaten/ Kota di Jabodetabek, Tahun 2012 21

6 Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri Dan Industri Tahun 1998-2012 di Jabodetabek 27

7 Variabel Internal yang Mempengaruhi Proses Pembentukkan PDRB 42

8 Nilai Bahan Baku (Rp) yang Digunakan dalam Kegiatan Industri di Jabodetabek 44

9 Panjang Jalan di Jabodetabek Tahun 2012 46

10 Kecamatan-Kecamatan Potensial di Jabodetabek Berdasarkan Nilai Shift Share Analysis (SSA) dan LQ (Location Quotient)) 48

11 Jumlah Penduduk dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Kabupaten/ Kota Jabodetabek Tahun 2012 50

12 Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Menurut Kecamatan di Jabodetabek 52

13 Inkonsistensi Lahan Industri di Jabodetabek 53

14 Ketersediaan Lahan Menurut Kecamatan Potensial (Nilai SSA positif dan LQ >1) di Jabodetabek 57

15 Pemilihan Prioritas Lokasi Industri 58

(13)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran 5

2. Teori Jalur Terpusat 8

3 Teori Sektor 9

4. Teori Pusat Lipat Ganda 9

5. Lokasi Penelitian 13

6. Kerangka Pendekatan Studi 14

7 Type Penggunaan Lahan di Jabodetabek 19

8 Sebaran Lahan Industri di Jabodetabek Tahun 2012 20

9 Penggunaan Lahan di Jabodetabek Tahun 2012 22

10. Sebaran Lahan Industri di Jabodetabek Tahun 1998 23

11. Sebaran Lahan Industri di Jabodetabek Tahun 2012 24

12. Luas Penggunaan Lahan Industri Tahun 1998 - 2012 25

13 Lahan industri di Jabodetabek 26

14. Penambahan Jenis Lahan Non Industri ke Industri di Jabodetabek 27

15. Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri ke Industri Tahun 1998 sampai Tahun 2012 Pada Setiap Kabupaten/ Kota di Jabodetabek 27

16. Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri menjadi Lahan Industri 29

17. Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Jakarta Tahun 1998 dan 2012 30

18 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Bogor Tahun 1998 dan 2012 31

19 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Tangerang Tahun 1998 dan 2012 32

20 Perbandingan sebaran penggunaan lahan industri di Wilayah Bekasi Tahun 1998 dan 2012 33

21. Kontribusi PDRB Industri Kabupaten/Kota di Jabodetabek Tahun 2012 34

22. Sebaran Jarak Industri di wilayah DKI Jakarta dari Pusat Kota Jakarta 35

23. Sebaran Jarak Industri di wilayah Bekasi dari Pusat Kota 35

24. Sebaran Jarak Industri di wilayah Bogor dari Pusat Kota 36

25. Sebaran Jarak Industri di wilayah Tangerang dari Pusat Kota 38

26. Peta Arah Kecenderungan Penyebaran Lahan Industri Jabodetabek 39

27. Grafik biplot faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Sektor Industri 41

28. Peta Sebaran Jenis Industri di Jabodetabek 43

29. Analisis Regresi Variabel Bahan Baku 45

30. Analisis Regresi Variabel Tenaga Kerja 45

31. Analisis Regresi Variabel Laju Pertumbuhan PDRB 45

32. Analisis Regresi Variabel Panjang Jalan 45

33. Analisis Regresi Variabel Penjualan/ Pengurangan Kendaraan 45

34. Kecamatan Potensial dengan Nilai LQ >1 dan SSA positif 49

35. Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Jabodetabek 54

36 Inkonsistensi Lahan Non Industri Menjadi Lahan Industri di Jabodetabek 55

37 Peta Konsistensi Penggunaan Lahan Industri 56

(14)

2. Jarak Lokasi Industri dari Pusat Kota Jakarta 73 3. Perhitungan Analisis Korelasi antara Perubahan Lahan Non Industri ke Industri

dengan Perubahan PDRB Industri 75

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukkan PDRB Sektor Industri 76

5. Analisis per Kecamatan di Jabodetabek 77

(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana pada pasal 4 menyatakan tentang penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan. memberikan pengaruh yang sangat besar bagi desentralisasi daerah.

Tiap-tiap daerah mempunyai potensi sumber daya alam yang berbeda-beda. Potensi tersebut agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran penduduk di wilayah tersebut, sehingga dapat dihindari adanya ketimpangan wilayah. Penerapan UU diatas dipandang sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan antar wilayah.

Ketimpangan tersebut dapat dicegah dengan adanya pemerataan pembangunan sebagai bagian dari upaya pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah mempunyai target untuk pembangunan jangka panjang, yaitu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan yang dilaksanakan melalui pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki secara optimal agar harmonis, selaras dan terpadu melaui pendekatan yang bersifat komprehensif (Djakapermana 2010).

Sektor industri adalah salah satu sektor yang berperan penting dalam pengembangan wilayah. Agar pengembangan wilayah dapat berjalan dengan sebagimana mestinya, maka diperlukan perwujudan sarana-sarana pembangunan khususnya yang menyangkut pemerataan dan pengembangan lapangan kerja, agar tujuan pengembangan wilayah dapat tercapai, maka pembangunan industri yang mamanfaatkan kekayaan sumberdaya alam yang terdapat di daerah perlu digalakkan yang berarti bahwa industri tersebut pada umumnya berada di lokasi sumber daya alam tersebut. juga sedekat mungkin dengan sumber daya energi (Balitbang Industri Hasil Pertanian 1985).

Dalam tahap operasinya industri-industri tersebut perlu didukung berbagai sarana dan prasarana, seperti jalan, air bersih, listrik, pelabuhan dan permukiman. Keseluruhan proses industri ini dapat mendorong berdirinya beragam industri hilir dan beragam kegiatan ekonomi lainnya (Balitbang Industri Hasil Pertanian 1985).

Di Indonesia pengembangan kawasan industri pada awal Tahun 1970 oleh BUMN sebagai reaksi terhadap meningkatnya penanaman modal di bidang perindustrian. Untuk mendorong pembangunan industri dilakukan pembangunan kawasan industri, hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2009 tentang kawasan industri. Seiring dengan meningkatnya perkembangan investasi, kemudian swasta dilibatkan melalui Keppres No 53 Tahun 1989. Swasta dalam ini bisa domestik atau asing tanpa partispasi dari BUMN, maka munculah kawasan-kawasan industri baru seperti beberapa tempat di Jabodetabek (Kwanda 2000).

(16)

adanya keterbatasan dalam penyediaan lahan dengan skala besar, terutama untuk kegiatan industri serta keterbatasan daya dukung lingkungan. Sebagai contoh adalah Kota Jakarta yang mengalami pertumbuhan sangat pesat, sehingga mengakibatkan sulitnya mencari lahan bagi pengembangan kegiatan maupun untuk penyediaan sarana dan prasarana. Akibatnya banyak kegiatan, diantaranya kegiatan industri dan permukiman yang diarahkan ke daerah pinggiran atau ke kota-kota di sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi yang tujuannya untuk mengurangi beban kota Jakarta. Hal ini menimbulkan zona industri yang sudah ada sejak Tahun 1970 di Jabodetabek mengalami perkembangan pesat (Tjahjati 1995).

Ekonomi di kawasan Jabodetabek yaitu sektor industri, jasa dan perdagangan akan tetap berkembang di pusat kawasan, yaitu DKI Jakarta, namun kehidupan ekonomi perkotaannya mulai menyebar di Bodetabek diwarnai oleh berkembang dan tumbuhnya sektor jasa, jasa angkutan, perdagangan grosir dan eceran, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan, pengetahuan dan perkembangan teknologi sampai pada pelayanan teknologi informasi (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).

Sehubungan dengan itu. semua bentuk kegiatan ekonomi di kawasan Jabodetabek harus mampu memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat dan memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakatnya dari kegiatan yang sifatnya padat karya sampai padat modal, dari upah yang sifatnya balas jasa terhadap modal hingga upah tenaga kerja dari yang profesional sampai yang kasar, dari tenaga kerja lepas sampai pada yang sifatnya kontrak dan pekerja tetap (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).

Peranan kawasan industri di kawasan Jabodetabek dalam perekonomian nasional untuk beberapa tahun ke depan dinilai masih akan tetap tinggi. Sektor industri pengolahan dan sektor jasa, yang secara nasional meningkat pangsanya dari 23.8 % menjadi 26.8 % akan meningkatkan pula pertumbuhan sektor-sektor tersebut di Jabodetabek.

Namun keberadaan beberapa kawasan industri tersebut diatas tidak semuanya menyerap jumlah angkatan kerja karena kerterbatasan dan penambahan jumlah kesempatan kerja akibat keterbatasan peningkatan jumlah investasi. Akibatnya menimbulkan rawan pengangguran dan tenaga yang tidak terserap di sektor tersebut bekerja di sektor informal.

Dari data BPS (2012), disebutkan bahwa meskipun tenaga kerja yang terserap oleh sektor industri di Jabodetabek sebesar 88.95% namun tingkat penganggurannya tergolong masih tinggi juga yaitu sebesar 75.88%.

Selain lembaga ekonomi formal Kawasan Jabodetabek juga memberi ruang gerak bagi sektor ekonomi informal. Hubungan yang saling menguntungkan antar kedua sektor ekonomi tersebut menciptakan kehidupan di Kawasan Jabodetabek terus berjalan. Namun adakalanya hubungan tersebut memicu konflik dan tindakan yang tidak selalu adil bagi yang tergolong lemah. Golongan ekonomi kuat memiliki ruang gerak yang leluasa dan memungkinkan terjadinya akumulasi sumber daya tanpa tersentuh oleh kebijakan yang dapat mendistribusikannya secara adil dan merata. Sebaliknya golongan ekonomi lemah lebih sering menjadi korban penggusuran secara paksa tanpa adanya kebijakan memberi ruang yang memadai bagi mereka (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).

(17)

3

perumahan dan industri. Di Kabupaten Bekasi tercatat rata-rata lahan pertanian menyusut 608.79 ha/ tahun, dengan laju penurunan 0.83 % per tahun berubah menjadi perumahan, bisnis dan industri (Anjani 2010). Lahan pertanian di Depok setiap tahunnya berkurang 208.98 ha, dengan laju penurunan 6.70% per tahun (Mukhoriyah 2012). Di wilayah Tangerang, sekitar 467.76 ha lahan pertanian dan rawa setiap tahunnya beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan industri, dengan laju penurunan 4.54 % per tahun (Kantor Wilayah BPN Provinsi Banten 2009). Lahan pertanian di Kabupaten Bogor menyusut 845 ha per tahun dengan laju penurunan 0.85 % per tahun (Sariasih 2010) menjadi permukiman, bisnis dan industri.

Dengan meningkatnya pertumbuhan daerah-daerah industry, membuka peluang kerja di sektor industri dan sektor lain yang tumbuh sebagai ikutan. Akibatnya daerah tersebut dipadati oleh pendatang selain pekerja di sektor industri itu sendiri, yang memerlukan tempat tinggal.

Paradigma baru pembangunan menurut Rustiadi et al. (2011), harus diarahkan pada terjadinya (a) pemerataan (equity), (b) pertumbuhan (eficiency) dan keberlanjutan (suistainability) yang berimbang dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru pembangunan ini mengacu kepada dalil fundamental ekonomi kesejahteraan. Penelitian ini mencoba melihat faktor yang mempengaruhi PDRB sektor industri di wilayah Jabodetabek.

Perumusan Masalah

Kota Jakarta menarik bagi lokasi industri. Oleh karena itu di kota ini mudah terjadi gejala aglomerasi. Dengan aglomerasi akan terjadi penghematan aglomerasi, yaitu penghematan ekstern (external economies). Penghematan ini terjadi karena faktor-faktor luar dan dinikmati oleh semua industri yang ada di Kota Jakarta tersebut (Djojodipuro 1992).

Pada waktu Kota Jakarta tidak lagi dapat menampung industri baru, karena ketiadaan lahan yang dapat digunakan maka terjadilah deglomerasi, yaitu kegiatan –kegiatan industri dialihkan ke daerah pinggiran kota yaitu wilayah Bodetabek (Suparlan 1996). Banyak pertimbangan yang menyebabkan daerah di Bodetabek menarik bagi pengembangan lokasi industri. Industri modern saat ini memerlukan lahan yang luas selain untuk proses produksi tetapi juga untuk kegiatan lainnya seperti pergudangan dan parkir. Dengan demikian, maka lahan yang diperlukan semakin banyak. Sebaliknya, alternatif penggunaan tanah di Kota Jakarta yang makin banyak untuk permukiman, bisnis, perkantoran, rekreasi dan kegiatan perkotaan lainnya mendorong harga tanah makin tinggi. Gejala inilah yang mendorong lokasi industri ke pinggiran kota yang harganya relatif masih rendah (Djojodipuro 1992). Selain hal tersebut di atas, hal yang memicu deglomerasi adalah sarana dan prasarana di daerah lain semakin berkembang menjadi baik, namun upah buruhnya masih tergolong rendah.

Tumbuhnya kegiatan industri menimbulkan munculnya kawasan industri atau zona industri. Pertumbuhan sektor industri di suatu wilayah tidak terlepas dari dari peran daerah belakangnya (hinterland).

(18)

bergeser ke arah pinggiran kota (Firman 1996). Secara fisik proses restrukturisasi di tandai dengan perubahan penggunaan tanah (land use) baik di kota inti (core) maupun di pinggiran. Kawasan pusat kota mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat intensif dari kawasan tempat tinggal menjadi kawasan bisnis, perkantoran, perhotelan dan sebagainya. Di lain pihak, di kawasan pinggir kota terjadi alih fungsi (konversi) pengunaan lahan secara besar-besaran dari tanah pertanian subur ke kawasan industri dan permukiman berskala besar (Firman. 1996).

Dengan memperhatikan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana sebaran lahan industri pada periode waktu Tahun 1998 dan 2012? b. Mengapa sebaran industri menyebar tidak teratur?

c. Faktor-faktor apa saja yang signifikan berpengaruh terhadap PDRB sektor industri

d. Bagaimana arahan pengembangan industri di Jabodetabek

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perubahan sebaran lahan industri dan kaitannya dengan PDRB sektor industri.

2. Menganalisis faktor internal yang mempengaruhi PDRB sektor industri di Jabodetabek

3. Menganalisis pemusatan dan pertumbuhan sektor industri di Jabodetabek. 4. Menyusun arahan pengembangan industri di Jabodetabek

Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

- Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota

Dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai input bagi pengembangan wilayah sektor industri Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten. Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota untuk perumusan kebijakan.

- Bagi Keilmuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengembangan wilayah dan kota.

Kerangka Pemikiran

(19)

5

Dengan adanya industrialisasi di Jakarta, tingkat urbanisasi meningkat melebihi batas-batas administratif hingga ke kabupaten-kabupaten di sekitarnya di wilayah Jabodetabek (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2008).

Peningkatan penduduk di Jabodetabek pada saat itu mengakibatkan peningkatan fasilitas-fasiltas yang melayani penduduk tersebut seperti perumahan, perdagangan dan jasa, jaringan jalan dan lainnya yang berada di sekitar industri.

Selain itu, karena kejenuhan aktivitas perkotaan di kota Jakarta mendorong menyebarnya industri di pinggiran kota wilayah Jabodetabek, hal ini menimbulkan banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi industri, hal ini terjadi sebagai akibat dinamika pertumbuhan Kota Jakarta yang pesat. Dimana kebutuhan ruang bagi industri harus dialokasikan.

Munculnya Peraturan Pemerintah tentang kawasan industri dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang disusun akhir-akhir ini menunjukkan bahwa industri menyebar tidak teratur bahkan ada yang berlokasi di pusat kota. Dan juga terdapat intervensi pertumbuhan industri ke pinggiran kota.

Atas hal tersebut perlunya arahan pengembangan kawasan industri agar dapat bersinergi dengan rencana tata ruang.

Hasil analisis di atas kemudian dapat digunakan sebagai rekomendasi sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan untuk perencanaan dan pengembangan wilayah di Jabodetabek. Secara lebih jelas kerangka pemikiran diatas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Industri berkembang di Jabodetabek

- Perubahan penggunaan lahan industri

- Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB sektor Industri - Pertumbuhan sektor industri

- Aglomerasi Industri di kota Jakarta

- Sebaran industri sudah tidak sesuai dengan

Peraturan Menteri PU No.41/PRT/M/2007

tentang Pedoman Kawasan Industri. dimana pembangunan kawasan industri minimal berjarak 2 km dari permukiman

Sebaran Lokasi Industri perlu sinergi dengan Rencana Tata Ruang

Arahan Pengembangan Industri di Jabodetabek

Peraturan Pemerintah

No.24/2009 tentang

Kawasan Industri

Kota Jakarta sudah tidak

dapat lagi menampung

industri baru

Industri berkembang tahun 1970 an di Jakarta Pada saat itu Jakarta sebagai

pusat pertumbuhan nasional

- Peningkatan jumlah penduduk di Jakarta - Urbanisasi meningkat hingga ke wilayah

(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengembangan Wilayah

Prodhomme (1985) menyatakan definisi pengembangan wilayah adalah pengembangan wilayah merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah. Pengembangan wilayah merupakan keterpaduan secara harmonis antara sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan, Ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi social, ekonomi maupun fisik yang bertujuan untuk penciptaan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alamnya.

Konsep pengembangan wilayah bertujuan untuk:

a) Mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam hal tingkat pertumbuhannya.

Keseimbangan antar daerah memungkinkan berlangsungnya perdagangan antar daerah yang efisien. Perdagangan yang efisien mendorong semakin intensifnya perdangangan yang intensif dan merangsang timbulnya “spesifikasi dan spesialisasi” yang berarti merangsang daerah untuk berkembang

b) Memperkokoh kesatuan ekonomi nasional

Spesialisasi daerah membuat perdagangan antar daerah semakin intensif, yang berarti semakin tingginya tingkat ketergantungan ekonomis antar daerah. Tingkat ketergantungan ekonomi antar daerah merupakan suatu ukuran efektif bagi kesatuan ekonomi nasional.

c) Memelihara efisiensi pertumbuhan nasional

Sebagai upaya mewujudkan pengembangan wilayah. maka seperti yang dikemukakan oleh Djakapermana (2010), pengembangan wilayah bertujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliknya secara harmonis. serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut juga pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah.

Tujuan penataan ruang antara lain adalah tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera. mewujudkan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien dan efektif bagi manusia. dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah kerusakan lingkungan. Untuk mewujudkan hasil yang optimal dalam pengembangan wilayah diperlukan penataan ruang, yaitu proses yang dimulai dari penyusunan rencana tata ruang, dengan mengalokasikan rencana ruang sumberdaya alam dan buatan secara optimal, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (Djakapermana 2010).

(21)

7

atau dengan lokasi-lokasi pasar (outlet- kota/ pelabuhan). Interaksi yang aman, nyaman, murah dan lancer, tidak mengganggu lingkungan alam. Dalam kaitannya ini sumberdaya memerlukan sarana prasarana transportasi untuk memasarkan sumberdaya (Djakapermana 2010).

Pengembangan wilayah menurut Zen (1999), adalah membicarakan mengenai memberdayakan masyarakat setempat, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan setempat dengan means yang mereka miliki atau kuasai, yaitu teknologi. Jadi pengembangan wilayah itu tidak lain dari usaha menggabungkan secara harmonis sumberdaya alam, manusianya dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat.

Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), penggunaan tanah (lahan) adalah wujud kegiatan atau usaha memanfaatkan lahan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Penggunaan lahan (land use) diartikan setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian, dibedakan seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, dan sebagainya. (Arsyad 1989)

Penggunaan lahan dalam wilayah yang lebih luas, terdiri atas penggunaan wilayah pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan. Namun karena wilayah merupakan kesatuan, maka antara penggunaan lahan di wilayah pedesaan dan di kota terdapat hubungan yang saling berkaitan. Dalam hal itu. penggunaan lahan untuk jalan dan rel kereta api, serta penggunaan sungai untuk lalu lintas yang menghubungkan wilayah pedesaan dengan kota, merupakan hal yang penting. Wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan dihubungkan dengan macam-macam jaringan dan lokasi macam-macam prasarana. Wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan sebaiknya dalam keadaan selaras, namun yang terjadi di negara berkembang, kota keadaannya lebih makmur dibanding di pedesaan (Jayadinata 1986).

Menurut Nehru dalam Jayadinata (1986), perbedaan kemakmuran antara kota dan desa harus dihindari dengan membuat pengaturan sehingga jika dibiarkan maka kekayaan akan jatuh pada orang kaya. Antara wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan terdapat interaksi social, ekonomi, dan politik, dengan bantuan jaringan dan lokasi prasarana itu.

Migrasi ke kota merupakan masalah bagi kota. Salah satu faktor adalah memecahkan masalah migrasi dari desa ke kota dengan pengembangan desa secara bertahap. Karena wilayah pedesaan menjual hasil pertaniannya ke kota dan kota memberikan pelayanan serta menjual hasil industrinya ke wilayah pedesaan, maka penggunaan wilayah pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan merupakan kesatuan kegiatan yang saling mengisi (Jayadinata 1986).

(22)
(23)
(24)

Menurut Wijaya dalam Weni 2010, perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai perubahan suatu jenis penggunaan ke penggunaan lahan lainnya. Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yaitu kenampakan penggunaan lahan berubah pada kurun waktu tertentu. Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistemik dan non sistemik. Perubahan penggunaan lahan sistemik terjadi dengan ditandai oleh phenomena yang berulang, yaitu tipe penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Phemomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu. Perubahan non sistemik terjadi karena kenampakan perubahan luas, yang berkurang, bertambah atau tetap (Murcharke 1990).

Di daerah perkotaan perubahan penggunaan lahan cenderung berubah dari jenis penggunaan lahan pertanian ke non pertanian. dalam rangka memenuhi kebutuhan sektor jasa dan komersial. Menurut Cullingswoth (1997) dalam Supardi (2008), perubahan penggunaan yang cepat di perkotaan dipengaruhi oleh empat factor, yakni: (1) adanya konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya; (2) aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota; (3) jaringan jalan dan sarana transportasi dan; (4) orbitasi. yakni jarak yang menghubungkan suatu wilayah dengan pusat-pusat pelayanan yang lebih tinggi.

Di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan nilai land rent yang lebih tinggi. Sedangkan land rent diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktivitas pemanfaatan lahan per satuan luas lahan dan waktu tertentu (Rustiadi et al. 2011).

Teori Lokasi Industri

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap lokasi Industri

Persoalan lokasi industri merupakan bagian dari aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi untuk industri biasanya berlokasi di kota-kota. Karena kota memiliki daya tarik bagi kegiatan ekonomi. Dengan demikian dalam kondisi yang demikian akan muncul kota-kota besar dengan segala macam variasi kegiatan ekonominya. seperti industri, jasa, perdagangan dan lainnya (Gunawan 1981).

Setiap orang menuju ke kota terutama tertarik oleh alasan ekonomis untuk memenuhi kebutuhan sosio kultural. Demikian juga halnya dengan penempatan kegiatan industri. berusaha mencari tempat yang dapat memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya (Gunawan 1981). Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan biaya-biaya produksi serta distribusi yang dapat diperhitungkan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.

Berkenaan dengan studi mengenai lokasi industri. Weber (1909) dalam Gunawan (1981) melihat faktor-faktor ekonomi dan lokasi yang berpengaruh terhadap lokasi industri. yaitu:

1. Tempat bahan baku diketahui, hanya pada tempat-tempat tertentu saja;

2. Tempat konsumsi deketahui, tiap produksi mempunyai pasaran yang “tak terbatas”

(25)

11

Menurut Gunawan (1981) dalam suatu proses produksi. terdapat beberapa faktor yang akan merupakan bagian dari biaya produksi. Faktor-faktor tersebut adalah

1. Harga tanah dimana kegiatan tersebut berlangsung;

2. Harga bahan-bahan mentah yang akan dipergunakan dalam proses produksi; 3. Ongkos tenaga kerja yang dipakai;

4. Ongkos pengangkutan faktor-faktor produksi (material) maupun untuk distribusi produksi (ke konsumen)

5. Tingkat bunga dan keuntungan dan depresiasi serta pengeluaran-pengeluaran umum lainnya

Pendekatan Lokasi Industri

Weber (1909) dalam Gunawan (1981) mengatakan terdapat beberapa pendekatan mengenai lokasi industri, yang akan diuraikan dibawah ini. yaitu: 1. Ongkos transport

2. Tenaga kerja

Ongkos transport yang dicakup disini adalah ongkos pengangkutan hasil/produk dari tempat produksi ke tempat konsumsi. Ongkos transport selain tergantung kepada berat yang diangkut dan jarak yang ditempuh juga bergantung pada: 1) tipe sistem transport yang dipakai, 2) keadaan daerah dan keadaan jaringan jalan, 3) macam barang yang diangkut. Dalam pendekatan teori ini diasumsikan bahwa satuan ongkos transport adalah homogen. Penetuan lokasi yang mempunyai ongkos transport yang minimum dapat dihitung secara matematis apabila diketahui lokasi pemasaran, tempat material dan jumlah yang dipakai untuk produksi. Sehubungan dengan pemakaian bahan baku/ material dan pengaruhnya terhadap ongkos transport, maka jenis bahan baku/ material dapat dibedakan menurut distribusinya, yaitu: 1) ubiquites yaitu bahan baku yang terdapat di seluruh daerah dan 2) localized material yaitu material/ bahan baku yang hanya terdapat ditempat-tempat tertentu di daerah tersebut. Dari segi sifatnya selama proses produksi dapat dibedakan atas:1) pure material, yaitu yang beratnya selama proses produksi tetap, 2) weight loosing material yaitu yang beratnya selama proses produksi berkurang.

(26)

Keputusan Lokasi Industri

Dalam menentukan lokasi industri berdasarkan pertimbangan ongkos transport, jenis material yang perlu ditinjau adalah “localized material” karena adanya hanya pada tempat-tempat tertentu saja, maka perlu mengangkut ke tempat-tempat produksi (lokasi yang dicari) yang mana diperlukan sejumlah ongkos transport (Gunawan 1981).

Selain daripada kedua faktor (ongkos transport dan tenaga kerja) yang telah dijelaskan diatas sebagai faktor regional yang harus dipertimbangkan, juga ada faktor aglomerasi dan deglomerasi (Gunawan 1981).

Menurut Gunawan 1981, faktor aglomerasi adalah suatu keuntungan atau penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh karena kegiatan-kegiatan produksi dilakukan di satu tampat (ada konsentrasi kegiatan). Aglomerasi dapat berupa:

- perluasan skala kegiatan

- kumpulan kegiatan-kegiatan sejenis atau yang berkaitan keuntungan-keuntungan karena faktor aglomerasi ini disebabkan antara lain:

a. economies of scale: penghematan karena skala produksi yang membesar; b. pemakaian peralatan-peralatan teknis secara bersama memungkinkan

pemasaran yang lebih luas;

c. penghematan dalam “general overhead cost” dan organisasi buruh yang lebih baik

(27)
(28)

Metode Analisis

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Analisis spasial dengan SIG, (2) Analisis Korelasi, (3) Location Quotient (4) Shift Share Analysis. Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Kerangka pendekatan studi

Analisis SIG untuk melihat perubahan penggunaan lahan industri

Untuk menganalisa perubahan penggunaan lahan industri. diperlukan peta penggunaan lahan dengan kurun waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini dilakukan tahapan analisa terhadap peta penggunaan lahan Tahun 1998 dan 2012 untuk melihat arah kecenderungan perkembangan sektor industri tersebut. Tahapan tersebut adalah:

1. Pengolahan data untuk mendapatkan informasi digital yang berasal dari peta-peta tematik dilakukan melaui proses geoprocessing sehingga diperoleh basis data digital yang dapat dipergunakan untuk tahapan analisis berikutnya.

2. Pengolahan data untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dengan melakukan proses overlay (tumpang tindih) antara peta penggunaan lahan Tahun 1998 dan Tahun 2012.

Penggunaan Lahan Industri 1998

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Kaitannya dengan perubahan PDRB

Analisis Faktor Yang berpengaruh Terhadap PDRB sektor industri

Analisis Pertumbuhan industri

Ketersediaan Lahan - Perpres No.54/ 2008

Jabodetabek

- RTRW Kabupaten/ Kota

Sintesis Analisis

Arahan Pengembangan Industri Penggunaan

Lahan Industri 2012

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Industri

PODES (Jabodetabek

(29)

15

3. Analisis spasial perubahan penggunaan lahan industri dilakukan dengan analisis overlay dan juga dari data tabulasi.

4. Analisa arah kecenderungan perkembangan industri dilakukan dengan analisa deskriptif.

Hubugan antara perubahan penggunaan lahan industri dengan perubahan PDRB sektor industri

Menurut Sudjana (1989), menyatakan analisis korelasi adalah metode statistik yang digunakan untuk mengetahui derajat hubungan linear antara dua variabel atau lebih yang bersifat kuantitatif. Bahwa adanya perubahan sebuah variabel disebabkan atau akan diikuti oleh perubahan variabel lain. koefisien perubahannya dinyatakan dalam koefisien korelasi, dimana semakin besar koefisien korelasi maka akan semakin besar keterkaitan perubahan suatu variabel dengan variabel yang lain. Suatu variabel dikatakan saling berkorelasi jika perubahan suatu variabel diikuti dengan perubahan variabel yang lain.

Dalam regresi linear derajat hubungan dinyatakan dalam r dan biasa disebut koefisien korelasi. Nilai korelasi berkisar antara -1 dan 1. Apabila r = -1 artinya korelasi negatif sempurna. r = 0 artinya tidak ada korelasi dan r = 1 artinya korelasinya sangat kuat Sudjana (1989).

Σ (Yi - Y)2 - Σ (Yi - Ŷi)2

Adapun interpretasi dari besarnya nilai korelasi sampel antara variabel dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Tabel 1 Interpretasi Koefisien Korelasi

Sumber: Statsdata.dijabarkan oleh Yamin dan Kurniawan (2009)

Analisis Pemusatan dan Pertumbuhan Industri

Analisis pemusatan industri dan pertumbuhan industri dilakukan dengan metoda LQ dan Shift Share Analysis. Dari kedua metoda ini didapat wilayah yang

Nilai Korelasi Sampel (r) Interpretasi

0.00 – 0.09 Hubungan korelasi sangat rendah 0.10 – 0.29 Hubungan korelasi rendah 0.30 – 0.49 Hubungan korelasi cukup kuat 0.50 – 0.70 Hubungan korelasi kuat

> 0.70 Hubungan korelasi sangat kuat

(30)

mempunyai LQ >1, dan nilai SSAnya positif untuk sektor industri, yang berarti sektor industrinya mengalami pertumbuhan.

Location Quotient(LQ)

Metode ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan (basis) aktifitas terutama pada wilayah yang penggunaan lahannya berubah dari penggunaan lahan non industri ke penggunaan lahan industri. LQ dapat didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total wilayah (Panuju dan Rustiadi 2012) .

Persamaan indeks LQ adalah:

Penafsiran hasil analisis LQ, menurut ketentuan adalah sebagai berikut (Panuju dan Rustiadi 2012):

1. Jika nilai LQI. > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktivitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktivitas di sub wilayah ke-i.

2. Jika nilai LQI. =1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktivitas setara dengan pangsa total.

3. Jika nilai LQI. < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah.

Shift Share Analysis

Shift share analysis digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik tingkat perkembangan dan pertumbuhan aktivitas di suatu wilayah maupun antar wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Dari hasil analisis ini akan dapat diketahui bagaimana perkembangan suatu sektor di suatu wilayah apabila dibandingkan dengan perkembangan sektor sejenis maupun sektor lainnya di wilayah lain maupun di keseluruhan wilayah, apakah cenderung pesat ataukan lebih lambat (Panuju dan Rustiadi 2012).

Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkan kinerjanya dengan pertumbuhan wilayah. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), (2) sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan (3) sebab dari dinamika wilayah secara umum (Panuju dan Rustiadi 2012).

Sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan di atas. dari hasil analisis shift share diperoleh gambaran kinerja aktifitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu: (Panuju dan Rustiadi 2012)

(31)

17

1. Komponen laju pertumbuhan total (komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.

2. Komponen pergeseran proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relative, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah. Pergeseran proporsional menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah.

3. Komponen pergeseran diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut secara agregat. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.

Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut : (Panuju dan Rustiadi 2012)

Dimana: a = komponen regional share b = komponen proportional shift c = komponen differential shift. dan

X.. = Nilai total aktifitas wilayah secara agregat X.i = Nilai total aktifitas tertentu di unit wilayah ke-i Xij = Nilai di wilayah ke-i dan aktifitas ke-j

t1 = titik tahun akhir t0 = titik tahun awal

Rencana metode penelitian dapat dilihat pada Tabel 2

Arahan Pengembangan Industri

Setelah dilakukan analisis-analisis di atas. maka dapat ditentukan prioritas arahan pengembangan sektor industri. Prioritas diutamakan untuk kecamatan-kecamatan yang mempunyai nilai LQ > 1, nilai Shift Share Analysisnya positif, terdapat lahan yang tersedia bagi pengembangan industri dan arahan pemanfaatan ruang di RTR Jabodetabek konsisten dengan arahan RTRW kabupaten/ kota di Jabodetabek. Prioritas berikutnya untuk kecamatan-kecamatan yang mempunyai nilai LQ > 1, nilai Shift Share Analysisnya positif, terdapat lahan yang tersedia bagi pengembangan industri dan arahan pemanfaatan ruang di RTR Jabodetabek yang tidak konsisten dengan arahan RTRW kabupaten/ kota di Jabodetabek. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

(32)

Tabel 2 Rencana Metode Penelitian

Tujuan Sumber Data Teknik

Analisis

Hasil analisis tujuan 1,2,3, Podes, Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Jabodetabek dan Peta Rencana Pola

Tabel 3 Kriteria Arahan Prioritas Pengembangan Industri Prioritas LQ Shift

Tabel 4 Kriteria Arahan Pengembangan Wilayah Lokasi Industri

Prioritas Arahan Pengembangan Wilayah

1 Mempertahankan keberadaan lahan industri aktual dengan jenis industri padat karya

2 Mempertahankan keberadaan lahan industri aktual dengan jenis industri diarahkan padat karya

3 Relokasi industri, tidak melakukan penambahan lahan industri yang ada, mempertahankan jenis industri padat karya

(33)

19

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Lahan Aktual

Hampir di semua kabupaten/ kota terdapat lahan industri. Lahan industri terbesar di Kabupaten Bekasi sebanyak 5808 ha (di Kecamatan Cibitung, Cikarang, Tambun, Lemahabang), kemudian di Kabupaten Tangerang sebanyak 4808 ha, dan Kota Tangerang sebesar 3980 ha. Hal tersebut karena di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang (sebelum pemekaran), telah dialokasikan dalam rencana tata ruangnya, lahan untuk kawasan industri. Penggunaan lahan industri yang paling kecil terdapat di Kota Tangerang Selatan seluas 251 ha karena di kota tersebut yang merupakan pemekaran banyak terdapat aktifitas permukiman, perdagangan dan jasa.

Persawahan terdapat di semua kabupaten/ kota Jabodetabek. Persawahan terbanyak di Kabupaten Bekasi sebesar 60 027 ha, di Kabupaten Tangerang 55 261 ha, di Kabupaten Bogor seluas 42 659 ha. Yang terkecil terdapat di Kota Jakarta Pusat seluas 1 ha.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 7 Type Penggunaan Lahan di Jabodetabek (a) Sawah,(b) Industri, (c) Tanah Terbuka, (d) Permukiman

Lahan hutan hanya terdapat di 6 (enam) kabupaten/kota yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Kabupaten Tangerang. Lahan hutan terbanyak di Kabupaten Bogor seluas 61 808 ha, lahan hutan terkecil ada di Kota Depok (3 ha), Kabupaten Tangerang (3 ha), hal tersebut karena lahan hutan yang ada sudah di alih fungsikan menjadi kegiatan perkotaan.

(34)

0

di Jakarta banyak membutuhkan tempat tinggal sehingga mendorong tumbuhnya permukiman.

Lahan perkebunan hanya terdapat di 4 (empat) kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bogor (17 462 ha), Kota Bogor (33 ha), Kabupaten Tangerang (1903 ha) dan Kota Tangerang Selatan (569 ha).

Lahan perairan darat terbesar terdapat di Kabupaten Bekasi (12 570 ha) dan Kabupaten Tangerang (6047 ha). Hal tersebut karena ke dua kabupaten tersebut berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah Utara.

Lahan pertambangan hanya terdapat di 2 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bogor (878 ha) dan Kabupaten Tangerang (96 ha) Kabupaten Bogor memiliki potensi barang tambang dan galian, seperti batu kapur, andesit, tanah liat dan lainnya, oleh karena itu luas lahan pertambangannya paling besar. Kabupaten Tangerang mempunyai potensi tambang pasir.

Lahan tegalan ladang/ kebun campuran paling luas terdapat di Kabupaten Bogor (123 529 ha), dan yang terkecil di Kota Bekasi (1 ha), lahan ini sudah tidak terdapat di Jakarta Pusat karena lahannya dimanfaatkan untuk kegiatan perkotaan. Penggunaan lahan di Jabodetabek dapat dilihat pada Tabel 5, Gambar 7 dan Gambar 11.

Analisis Perubahan Sebaran Lahan Industri Tahun 1998-2012 dan Kaitannya dengan Perubahan PDRB Sektor Industri

Analisis Sebaran Lahan Industri

Pada Tahun 1998 lahan industri di Jakarta belum menyebar secara merata. terutama di Jakarta Pusat masih belum banyak terdapat lahan industri. Demikian pula di Jakarta Selatan luas lahan industri masih relatif kecil pula. Pada Tahun 1998 sebaran lahan industri di Kabupaten Bekasi terlihat cenderung menyebar. Lahan industri di Jakarta banyak terdapat di wilayah Jakarta Utara terutama terkonsentrasi di dekat pelabuhan mengikuti jaringan transportasi ke Barat ke arah Tangerang dan ke Timur ke arah Bekasi. Daya tarik industri berkembang cukup pesat di wilayah Timur. Sebaran lahan industri Tahun 1998 dapat dilihat pada Gambar 10. Selengkapnya mengenai sebaran lahan industri pada Tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 8 dan Gambar 11.

Sumber: Analisis Peta Penggunaan Lahan BPN (2012)

(35)

22

Tabel 5 Luas Lahan (ha) Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tiap Kabupaten/ Kota di Jabodetabek Tahun 2012

KABUPATEN/

KOTA Industri

Tegalan Ladang/ Kebun Campuran

Hutan Perkebunan Permukiman Persawahan Tanah

Terbuka

Perairan

Darat Pertambangan

Jakarta Selatan 376 1360 4 0 11771 9 521 35 0

Jakarta Timur 1630 1564 147 0 13018 204 890 59 0

Jakarta Pusat 689 0 0 0 3302 1 293 13 0

Jakarta Barat 1307 385 0 0 8432 253 1366 98 0

Jakarta Utara 2816 809 185 0 6697 316 1135 429 0

Kabupaten Bogor 2692 123529 61808 17462 45099 42659 5531 192 878

Kota Bogor 253 3089 0 33 6873 589 0 0 0

Kabupaten Bekasi 5808 15360 0 0 43614 60027 39 12570 0

Kota Bekasi 777 1 0 0 8610 212 0 0 0

Kota Depok 348 2189 3 0 15677 586 43 47 0

Kabupaten Tangerang 4808 16394 3 1903 12860 55261 82 6047 96

Kota Tangerang 3980 343 0 0 10392 3583 73 110 0

Kota Tangerang

Selatan 251 6441 0 569 9930 1535 71 51 0

Sumber: Analisis Peta Penggunaan Lahan. Badan Pertanahan Nasional (2012)

(36)
(37)
(38)
(39)

25

Luas Lahan Industri Tahun 1998 (ha) Luas Lahan Industri Tahun 2012 (ha)

L penggunaan lahan industri terbesar terdapat di Kabupaten Bekasi yaitu dari seluas 4252 ha pada Tahun 1998 menjadi 5.808 ha pada Tahun 2012. Hal ini merupakan indikasi berlakunya Perda Kabupaten Bekasi No 13 Tahun 1998 yang menetapkan Kabupaten Bekasi sebagai zona industri (Anjani 2010).

Kota Jakarta Pusat juga mengalami peningkatan luas penggunaan industri yang sangat tinggi. yaitu dari 18 ha pada Tahun 1998 menjadi 689 ha pada Tahun 2012. Penambahan tersebut terdapat di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Cempaka Putih, Kecamatan Gambir, Kecamatan Joharbaru, Kecamatan Kemayoran, Kecamatan Menteng, Kecamatan Sawah Besar, Kecamatan Senen, Kecamatan Tanah Abang. Hal ini merupakan implementasi dari Rencana Tata Ruang Kota Jakarta Tahun 2010, dimana disebutkan bahwa penyebaran pusat-pusat kegiatan ke seluruh bagian kota sesuai dengan perkembangan yang telah berlangsung.

Kota Jakarta Utara mengalami peningkatan luas penggunaan industri dari 1390 ha pada Tahun 1998 menjadi 2816 ha Tahun 2012. Penambahan tersebut terdapat di Kecamatan Cilincing, Kecamatan Pademangan, Kecamatan Penjaringan, Kecamatan Tanjung Priok. Hal ini merupakan pelaksanaan dari Rencana Tata Ruang Kota Jakarta Tahun 2010, dimana disebutkan bahwa mengembangkan industri pada daerah industri yang memiliki akses langsung ke jalan arteri di kawasan sekitar bandara Soekarno Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok.

Sumber: Analisis Peta Penggunaan Lahan

Gambar 12 Luas Penggunaan Lahan Industri Tahun 1998 dan 2012

(40)

0 2000 4000 6000

5794

4658 4595

2207

145 75 18

Luas Penambahan Lahan Industri (ha)

L

uas (

ha)

hanya 1.27% dari luas lahan Kota Bogor yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Kota Bogor Tahun 2010.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 13 Lahan industri di Jabodetabek (a) lahan industri di Pulogadung, (b) lahan industri di Cibitung, (c) lahan industri di Cikupa, (d) jalan yang rusak di sekitar kawasan industri

Penambahan penggunaan lahan dari non industri ke industri bertujuan untuk menyediakan lahan bagi industri. Pada Gambar 14 menunjukkan bahwa penambahan penggunaan lahan industri terbesar dari jenis penggunaan lahan permukiman (5794 ha) paling banyak untuk lahan industri. Kemudian persawahan (4658 ha) dan tanah terbuka (4595 ha). Penambahan lahan industri dari perkebunan paling kecil jumlahnya yaitu seluas 18 ha.

Sumber: Analisa Peta Penggunaan Lahan

(41)

27

Tabel 6 Perubahan Lahan Non Industri Dan Industri Tahun 1998- 2012 di Jabodetabek

Sumber: Analisis Peta Penggunaan Lahan

Sumber: Analisis Peta penggunaan Lahan

Gambar 15 Perubahan Penggunaan Lahan Non Industri ke Industri di Jabodetabek Pada Setiap Kabupaten/ Kota Tahun 1998-2012

Tabel 6 dan Gambar 15 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan non industri ke industri terbesar terdapat di Kabupaten Tangerang seluas 3829 ha dan di Kota Tangerang seluas 3326 ha. Hal ini terjadi karena wilayah Tangerang sebagai penyangga Kota Jakarta akibat dari Konsep Strategi Pembangunan Wilayah Jabotabek dari Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah sekitar Tahun 1980-an yang kemudian di tinjau ulang sekitar Tahun 1990-an dimana perencanaan kota pengembangannya ke arah Barat dan dan Timur tidak ke Selatan. Kebijakan Barat-Timur ini kelak ditandai dengan pembangunan jaringan jalan tol menjulur ke Barat (Jakarta-Merak). pembangunan bandara Soekarno- Hatta. dan ke arah Timur dengan jaringan jalan tol Jakarta-Cikampek. Untuk wilayah Selatan diarahkan sebagai daerah

0 Perubahan lahan non industri ke industri (ha)

Luas

(

(42)

resapan air (Suselo 2003). Kebijakan ini mengakibatkan tumbuhnya sektor industri di daerah pinggiran Kota Jakarta (Tangerang dan Bekasi). Selain itu juga dekat dengan Pelabuhan Merak dan Kota Jakarta sebagai ibukota negara

Perubahan penggunaan lahan industri di DKI Jakarta pada Tahun 1998 dan 2012 memperlihatkan:

- Untuk Kota Jakarta Utara. terjadi penambahan lahan industri di Kecamatan Cilincing, Kelapa Gading, Pademangan, Penjaringan dan Tanjung Priok.

- Kota Jakarta Barat, kecamatan-kecamatan yang terdapat penambahan lahan industri adalah Kecamatan Cengkareng, Grogol Petamburan, Kalideres, Kebun Jeruk, Kembangan dan Palmerah

- Kota Jakarta Selatan. kecamatan-kecamatan yang terdapat penambahan lahan industri adalah Kecamatan Cilandak, Jagakarsa, Kebayoran Lama, Pasar Minggu dan Pesanggrahan.

- Kota Jakarta Timur. kecamatan-kecamatan yang terdapat penambahan lahan industri adalah Kecamatan Cakung, Ciracas, Duren Sawit, Jatinegara, Kramat Jati, Makasar, Pasar Rebo dan Pulo Gadung.

- Kota Jakarta Pusat. kecamatan-kecamatan yang terdapat penambahan lahan industri adalah Kecamatan Cempaka Putih, Menteng, Sawah Besar dan Tanah Abang.

Perubahan penggunaan lahan industri di Wilayah Bogor pada Tahun 1998 dan 2012 memperlihatkan:

- Kecamatan-kecamatan yang terdapat penambahan luas lahan industri adalah Kecamatan Bogor Utara. Citeureup. Gunung Putri, Cileungsi, Parungpanjang, Ciawi, Cibinong, Cibungbulan, Cijeruk, Limo, Sawangan dan Sukmajaya.

- Kecamatan-kecamatan yang pada Tahun 1998 masih belum ada industri kemudian di Tahun 2012 muncul industri adalah Kecamatan Rumpin, Parung, Caringin, Gunungsindur, Cibungbulan, Cijeruk, Jonggol dan Limo.

- Kecamatan-kecamatan yang terdapat pengurangan luas lahan industri. adalah Kecamatan Ciampea, Cimanggis.

- Lahan industri yang berkurang di Tahun 2012. telah berubah penggunaanya menjadi permukiman.

Perubahan penggunaan lahan industri di Wilayah Tangerang pada Tahun 1998 dan 2012 memperlihatkan:

- Kecamatan-kecamatan yang terdapat penambahan luas lahan industri adalah Kecamatan Tigaraksa, Cikupa, Cisoka, Curug, Pasar Kemis, Balaraja, Sepatan, Jatiuwung, Tangerang, Cipondoh, Batuceper dan Serpong Utara.

- Kecamatan-kecamatan yang pada Tahun 1998 masih belum ada industri kemudian di Tahun 2012 muncul industri adalah Kecamatan Setu, Serpong, Kronjo, Teluknaga, Benda, Ciledug dan Rajeg.

- Kecamatan-kecamatan yang terdapat pengurangan luas lahan industri, adalah Legok.

(43)

29

Perubahan penggunaan lahan industri di Wilayah Bekasi pada Tahun 1998 dan 2012 memperlihatkan

- Kecamatan-kecamatan yang terdapat penambahan luas lahan industri adalah Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Barat, Bantar Gebang,Cibitung, Cikarang, Tambun, Lemahabang.

- Kecamatan-kecamatan yang pada Tahun 1998 masih belum ada industri kemudian di Tahun 2012 muncul industri adalah Kecamatan Tarumajaya dan Pondok Gede.

- Kecamatan-kecamatan yang terdapat pengurangan luas lahan industri. adalah Serang Baru dan Setu.

- Lahan industri yang berkurang di Tahun 2012, telah berubah penggunaanya menjadi permukiman, perdagangan dan sarana pendidikan.

Luas penggunaan lahan Tahun 1998 dan 2012 dapat dilihat pada Tabel Lampiran 1, perubahan lahan non industri menjadi lahan industri dapat dilihat pada Gambar 16, Gambar 17 sampai Gambar 20 menjelaskan mengenai perbandingan perubahan penggunaan lahan industri untuk masing-masing wilayah.

(a) (b) (c)

Gambar 16 Perubahan Lahan Non Industri menjadi Lahan Industri

Lahan tegalan yang

berubah menjadi lahan industri

Lahan sawah yang berubah menjadi lahan industri

(44)

Gambar 15 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di wilayah DKI Jakarta Tahun 1998 dan 2012

Gambar 17 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah DKI Jakarta Tahun 1998 dan 2012

Gambar 17 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Jakarta Tahun 1998 dan 2012

(45)

31

Gambar 18 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Bogor Tahun 1998 dan 2012

(46)

Gambar 17 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Bogor Tahun 1998 dan 2012

Gambar 19 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Tangerang Tahun 1998 dan 2012

(47)

33

Gambar 19 Perbandingan Sebaran Lahan Industri di Wilayah Tangerang Tahun 1998 dan 2012

Gambar 18 Perbandingan sebaran penggunaan lahan industri di Wilayah Tangerang Tahun 1998 dan 2012

(48)

0

Analisis Perubahan Sebaran Lahan Industri dan Kaitannya dengan Perubahan PDRB Sektor Industri

Sektor industri merupakan sektor penyumbang pertumbuhan ekonomi dan penyerap tenaga kerja (Putra 2012). Jika dilihat komposisi distribusi peranan sektor industri kabupaten/ kota di Jabodetabek, terlihat bahwa Kabupaten Bekasi memiliki kontribusi sektor industri paling besar yaitu sebesar 77.52 %, kemudian diikuti Kabupaten Bogor sebesar 60.97 %. Kabupaten/kota yang memiliki kontribusi sektor industri terkecil adalah Kota Depok sebesar 0.38%. Untuk lebih jelasnya kontribusi sektor industri atas dasar harga konstan 2000 Tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 21.

Sumber : BPS (2012)

Gambar 21 Kontribusi PDRB Industri Kabupaten/Kota di Jabodetabek Tahun 2012

Dari Gambar 8 dan Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin luas lahan industri berhubungan terhadap peningkatan PDRB sektor industri, hal ini dapat dilihat bahwa Kabupaten Bekasi luas lahan industrinya tertinggi (5 808.28 ha), kontribusi PDRB sektor industrinya juga paling tinggi (77.52%). Untuk Kabupaten Tangerang luas lahan industrinya terbesar setelah Kabupaten Bekasi, yaitu 4 808.39 ha, kontribusi PDRB sektor industrinya yaitu 58.97 %.

Arah kecenderungan Perubahan Penggunaan Lahan Industri

Pusat kota inti Jabodetabek adalah Kota Jakarta. Penentuan pusat kota inti dipakai sebagai acuan arah kecenderungan perkembangan lahan industri. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui arah kecenderungan perkembangan lahan industri yaitu menuju kearah daerah yang jauh dari pusat Kota Jakarta.

(49)

35

Jarak (km) dari Pusat Kota Jakarta

Lu

as (h

a)

Luas (ha)

pindah ke kota besar seperti Jakarta. Mereka berusaha migrasi ke kota untuk meningkatkan taraf hidup dengan mengharap upah yang lebih tinggi dari pada di pedesaan.

Sumber: Analisa Peta Sebaran Lahan Industri 2012

Gambar 22 Sebaran Jarak Industri di wilayah DKI Jakarta dari Pusat Kota Jakarta

Dari Gambar 22, memperlihatkan yang dekat dengan pusat Jakarta luas lahan industri cenderung lebih kecil. karena lahan yang tersedia digunakan untuk kegiatan perkotaan. Namun ada pula yang dekat dari pusat cenderung besar luasnya. hal ini karena lahan industri tesebut sudah ada sejak lama ketika harga lahan di Jakarta belum begitu tinggi. Misalnya kawasan industri Pulo Gadung. Lahan industri yang lokasinya jauh dari pusat Jakarta luasnya cenderung lebih besar. hal ini karena industri tersebut cenderung memilih lokasi lahan yang harganya tidak terlalu tinggi dibanding dekat dengan pusat Kota Jakarta, contohnya industri-industri di Kecamatan Pasar Rebo, Ciracas dan Makasar.

Sumber: Analisis Peta SebaranLahan Industri 2012

(a) (b)

Gambar 23 Sebaran Jarak Industri di wilayah Bekasi dari Pusat Kota (a) Dari Pusat Kota Jakarta (b) Dari Pusat Kota Bekasi

0

Jarak (km) dari Pusat Kota Jakarta

(50)

0

Untuk wilayah Bekasi sebaran lahan industri cenderung menjauh dari pusat Kota Bekasi. Jarak terdekat dari pusat Kota Jakarta sejauh 9 km, dan jarak terjauh dari pusat Kota Jakarta sejauh 37 km. Jarak dari pusat Kota Bekasi mendekati 7 km, dan jarak terjauhnya adalah 15 km. Hal ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 23.

Dari Gambar 23 di atas memperlihatkan bahwa:

Pada Gambar 23 (a), menunjukkan jarak lokasi industri yang jauh dari Kota Jakarta, bila industri-industri tersebut akan menuju pelabuhan/ bandara di Jakarta, maka diperlukan waktu tempuh yang panjang dan menjadi pertimbangan terutama bagi industri yang memperdagangkan barang yang cepat rusak. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya biaya yang tidak kecil. Waktu tempuh yang panjang dapat dikurangi dengan keberadaan jalan Tol Lingkar Luar Jakarta ruas Bekasi Barat, Bekasi Timur, Pondok Gede, Jatiasih, Cibitung, Cikarang dan lainnya.

Lahan industri yang jauh dari pusat Kota Jakarta pada Gambar 23 (a), luasnya cenderung lebih besar di jarak 30 km dan 37 km dari pusat Kota Jakarta.

Lahan industri yang cenderung dekat dengan pusat Kota Bekasi pada Gambar 23 (b) luasnya cenderung lebih kecil (contohnya di Bekasi Utara). Hal ini karena arahan RTRW Kota Bekasi untuk mengembangkan industri di kota bagian Selatan, selain di lokasi tersebut perkembangan industri dibatasi.

Lahan industri yang lokasinya jauh dari pusat Kota Bekasi pada Gambar 23 (b), luasnya cenderung lebih besar. Hal ini karena industri membutuhkan lahan yang luas untuk produksi, pergudangan dan parkir, selain arahan sektor industri dari RTRW Kabupaten Bekasi dan kemudahan aksesibilitas dengan dilalui oleh jalan tol (contoh Kecamatan Cibitung dan Cikarang)

Pada Gambar 23 (b) industri banyak berkembang di jarak < 21 km dari pusat kota Bekasi.

Sumber: Analisis Peta Sebaran Lahan Industri 2012

(a) (b)

(51)

37

Pada Gambar 24 memperlihatkan, Jarak terdekat dari pusat Kota Jakarta sejauh 21 km, dan jarak terjauh dari pusat Kota Jakarta sejauh 37 km untuk wilayah Bogor jarak terjauh dari pusat Kota Bogor adalah 21 km dan jarak terdekatnya sebesar 5 km.

 Pada Gambar 24 (a), lahan industri jaraknya cenderung jauh dari Kota Jakarta, hal ini ditunjang oleh keberadaan jalan Tol yang menghubungkan lokasi industri dengan pelabuhan atau bandara di Jakarta. Jalan tol tersebut adalah Jalan Tol Jagorawi, ruas Citereup, ruas Cimanggis, ruas Cisalak, ruas Cibubur, ruas Gunung Putri, ruas Sentul dan lainnya.

 Lahan industri yang cenderung dekat dengan pusat Kota Bogor luasnya cenderung lebih kecil (contohnya di Kecamatan Bogor Timur). Hal tersebut karena arahan RTRW Kota Bogor yang membatasi perkembangan industri yang ada saat ini.

 Lahan industri yang lokasinya jauh dari pusat Kota Bogor luasnya cenderung lebih besar. hal ini karena arahan RTRW Kabupaten Bogor tentang kawasan industri (contohnya di Kecamatan Cileungsi)

 Namun ada pula yang cenderung dekat dengan pusat Kota Bogor luasnya cenderung lebih besar karena kemudahan aksesibilitas (dekat jalan tol), contohnya di Kecamatan Citeureup dan Cibinong).

Gambar 25 memperlihatkan, untuk wilayah Tangerang jarak terdekat dari pusat Kota Jakarta adalah 13 km, dan jarak terjauhnya 55 km. Jarak terdekat dari pusat Kota Tangerang adalah 2 km dan jarak terjauh adalah 22 km.

 Pada Gambar 25 (a) menunjukkan bahwa jarak lokasi industri di wilayah Tangerang cenderung jauh dari pusat Kota Jakarta (13 sampai 55 km), hal ini mengindikasikan bahwa lokasi industri tersebut cenderung mendekati Bandara Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Merak

 Jarak terdekat lahan industri dengan pusat Kota Tangerang adalah 2 km, hal ini menunjukkan bahwa lahan industri tersebut dekat dengan lokasi bandara Soekarno Hatta pada Gambar 25 (b).

(52)

0

Sumber: Analisis Peta Sebaran Lahan Industri 2012

(a) (b)

Gambar 25 Sebaran Jarak Industri di wilayah Tangerang dari Pusat Kota (a) Dari Pusat Kota Jakarta (b) Dari Pusat Kota Tangerang.

Pengaruh Perubahan Lahan Industri Terhadap PDRB Sektor Industri Hasil analisis korelasi didapat nilai r =0.656 menunjukkan terdapat korelasi yang positif dimana perubahan penggunaan lahan non industri ke industri akan diikuti oleh perubahan PDRB industri.

Faktor Internal Yang Mempengaruhi PDRB Industri

Kegiatan industri aadalah kegiatan untuk merubah bentuk baik secara mekanis maupun kimiawi dari bahan organik atau anorganik menjadi produk baru yang lebih tinggi mutunya. Proses tersebut dapat dilakukan oleh mesin atau tangan. baik dibuat dalam pabrik atau rumah tangga (BPS 2003).

Menurut kegiatan utama yang dihasilkan kegiatan sektor industri pengolahan dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

1) Industri Makanan. Minuman dan Tembakau 2) Industri Tekstil. Pakaian Jadi dan Kulit

3) Industri Kayu. Bambu. Rotan dan Perabot Rumahtangga

4) Industri Kertas dan barang-barang dari kertas, Percetakan dan Penerbitan

5) Industri Kimia dan barang-barang dari Bahan Kimia, Minyak Bumi. Batu Bara, Karet dan Plastik

6) Industri Logam Dasar

7) Industri Barang-Barang Galian Bukan Logam

(53)

39

(a) (b)

Gambar 26 Peta Arah Kecenderungan Penyebaran Lahan Industri Jabodetabek (a) Dari Pusat Jabodetabek (Jakarta) (b) Dari masing-masing

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Gambar 6 Kerangka pendekatan studi
Tabel 2 Rencana Metode Penelitian
Gambar 7 Type Penggunaan Lahan di Jabodetabek (a) Sawah,(b) Industri,
+7

Referensi

Dokumen terkait

  Mantan  Kepala  BNN  ini  menambahkan,  PKB  merupakan  wahana  untuk  mempresentasikan  hasil karya  seni  unggulan  dan  keagungan  peradaban  Bali  yang 

Bagian Inventaris akan melakukan penghentian aset, data kemudian disimpan di database, setelah Bagian Inventaris menerima konfirmasi penyimpanan data, data kemudia dikirim

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan kandungan hara boron tanah yang diperoleh melalui perbaikan sifat kimia tanah memiliki hubungan yang erat dengan penurunan

22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan menyatakan tentang sanksi hukum bagi setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang tidak memiliki Surat

Saudara diminta untuk memberikan penilaian atas sampel tersebut berdasarkan kesukaan saudara dengan memberikan tanda silang (x) sesuai kotak yang tersedia... Hasil

Pada tahap pertama proses sporulasi ini dapat dilihat terjadinya replikasi kromosom bakteri dan sebagai kecil dari sitoplasma terpisah oleh

Untuk mengatasi masalah ini, peneliti mengajukan solusi dengan pembuatan sistem LIMS agar proses manajemen laboratorium dapat dilakukan secara elektronik yang

Dari hasil pengukuran pola radiasi pada antena dengan bahan seng memiliki nilai HPBW sebesar 44° pada bidang-H, dan 42° pada bidang-E dengan direktivitas sebesar 13,48 dB,