• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII): studi kasus di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII): studi kasus di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

(Study Kasus Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

PUTRI KARTIKA SARI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

(Studi Kasus Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

PUTRI KARTIKA SARI E44054362

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Provinsi

Kalimantan Tengah) di bawah bimbingan ANDRY INDRAWAN.

Hutan hujan tropika di Indonesia memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi. Kagiatan manusia dalam memanfaatkan hasil hutan kayu membuat potensinya terkuras drastis. Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dikembangkan oleh Kementrian Kehutanan Republik Indonesia sebagai salah satu cara untuk mengurangi laju penurunan potensi hasil hutan dan menjamin ketersediaan stok kayu pada daur selanjutnya. Penelitian ini dilaksanakan di konsesi PT Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah. Penelitian ini mengamati perkembangan vegetasi yang terjadi pada dua kondisi hutan yang berbeda (hutan primer dan LOA 1 tahun), baik pada jalur antara, jalur tanam dan tanah hutan. Analisa vegetasi dilakukan dengan teknik pengambilan contoh nested sampling pada kondisi hutan setahun setelah penebangan dan penjaluran (Et+1) di tiga tingkat kelerengan. Dilakukan analisa terhadap kondisi vegetasi jalur antara, jalur tanam dan perubahan sifat fisika-kimia tanah hutan pada Et+1 yang dibandingkan dengan kondisi hutan primer. Proses suksesi selama Et+1 telah meningkatkan jumlah jenis tumbuhan pada petak penelitian yang sempat menurun pada kondisi setelah penebangan dan penjaluran. Jumlah individu/ha pada Et+1 juga telah mengalami peningkatan, khususnya untuk tingkat semai dan pancang. Nilai keanekaragaman jenis pada Et+1 naik menjadi rata-rata 3,1 dan dikategorikan sedang. Kelas kelerengan ternyata kurang memberikan pengaruh terhadap perubahan jumlah individu/ha. Perubahan lebih disebabkan oleh kondisi tanah dan sebaran individu sesuai dengan habitat alami serta penyebarannya. Pada Et+1 sekitar 67,1% tanaman pengayaan ditanam dengan tingkat kematian sebesar 17,5% dan umur tanaman sekitar 3-6 bulan. Diameter tanaman pada Et+1 terbesar sebesar 1,5 cm dan terkecil 0,25 cm dengan rataan diameter tertinggi sebesar 0,84 dan rataan diameter terendah sebesar 0,42 cm. Tinggi tanaman pada Et+1 tertinggi sebesar 155 cm dan terpendek sebesar 20,1 cm dengan rataan tinggi tertinggi sebesar 93,1 dan terendah sebesar 52,9 cm. Perkembangan vegetasi yang paling lambat dan kondisi kesuburan tanah yang paling buruk terjadi pada lahan bekas jalan sarad. Lahan hutan yang dikelola dengan teknik silvikultur TPTII pada Et+1 telah meningkatkan jumlah jenis dan jumlah individu/ha dari kondisi setelah penebangan dan penjaluran. Tanaman pengayaan pada Et+1 belum tertanam secara keseluruhan.

(4)

Area (LOA) by Applying The Indonesian Intensive Selective Cutting and Planting Technique of Silviculture (Case study in IUPHHK of PT. Erna Djuliawati, Central

Kalimantan). Under supervision of ANDRY INDRAWAN.

The tropical rain forest of Indonesia has high economic value potential. Human interest in use of timber product drastically reduced that potential. The Indonesian Intensive Selective Cutting and Planting Technique of Silviculture or The Intensive of Silviculture was developed by the Ministry of Forestry-Indonesian Republic to reduce the potential decreasion and ensure the timber stocks that can be harvested for the next cutting cycle.This research conducted at PT Erna Djuliawati concession, Central Kalimantan. This research was observing the vegetation succession on two different forest conditions (primary forest and one year logged-over forest), on its planting line, non planting line and its soil. Vegetation analysis uses nested sampling techniques on three different slopes and analyzed the vegetation condition on planting line, non planting line and also its soil properties changes on one year after logging and stripping forest (LOA+1). One year succession process increases the number of tree species on study plots that previously has decreased after logging and stripping. Individual numbers per hectare (density) has increased on LOA+1, especially for seedlings and saplings. The Index of diversity (H’) on LOA+1 which previously decreases after logging and stripping reincrease into 3.1 and it can be categorized as medium level. The result shows that slope has less influence on individual number changes. That changes caused by soil conditions and individual distribution as their natural habitats. About 67.1% enrichment plants were planted on one year after cutting and stripping (LOA+1), 17.5% died after 3-6 months in planted, the high its about 1.5-0.25 m and the diameter is about 0.84-0.42 cm. Former Logging-Track has the slowest vegetation succession and the soil fertility is the worst. Enrichment planting hasn’t implemented entirely according to Intensive of Silviculture pattern.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perkembangan

Vegetasi Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih

Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Study Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna

Djuliawati, Kalimantan Tengah)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri

dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya

ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

(6)

Judul Skripsi : Perkembangan Vegetasi Pada Areal Bekas Tebangan Dengan

Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif

(TPTII) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati,

Kalimantan Tengah)

Nama : Putri Kartika Sari

NIM : E44054362

Menyetujui :

Dosen Pembimbing,

NIP. 1945 0108 197603 1 001 Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS

Mengetahui,

Ketua Departemen Silvikultur

NIP. 1964 1110 199002 1 001

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala

curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.

Karya skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di bidang Silvikultur dengan

judul “Perkembangan Vegetasi pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik

Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) di IUPHHK PT. Erna

Djuliawati Unit Logging II, Kalimantan Tengah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Andry

Indrawan, MS selaku pembimbing. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan

pula kepada Bapak Dr. Eka Kusdiandra, MP selaku Camp Manajer dari PT. Erna

Djuliawati Unit Logging II Lyman Timber, Kalimantan Tengah atas ijin, saran

dan masukannya juga kepada segenap direksi dan staf PT. Erna Djuliawati Unit

Logging II, Kalimantan tengah yang telah membantu selama pengumpulan data.

Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Departemen Silvikultur atas

dorongan serta bantuannya didalam menyelesaikan skripsi ini. Ungkapan terima

kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, adik, hubby, serta seluruh

sahabat dan kerabat terdekat atas doa, dukungan moril dan kasih sayangnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2011

(8)

Putri Kartika Sari dilahirkan di Mojokerto, Jawa Timur pada tanggal 23

Mei 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak Ir.

Mudjihardjo, MM dan ibu Rr. Sriati Moerwaningsih, SH, MM. Jenjang

pendidikan formal pertamanya ditempuh mulai dari TK Pertiwi Kabupaten

Mojokerto pada tahun 1990 dan dilanjutkan pada tahun 1993 di SDN Gedongan I

Kota Mojokerto. Kemudian pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke

SLTPN I Kota Mojokerto hingga tamat pada tahun 2002 serta langsung

melanjutkan pendidikannya di SMAN I Sooko Kabupaten Mojokerto dan lulus

pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di

Institut Pertanian Bogor pada program Mayor Silvikultur, Fakultas Kehutanan

melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi, penulis pernah aktif

dalam beberapa organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti: DPM-KM

IPB (2005-2006), MPCA-Lawalata IPB (2006-2007), BEM-E Fakultas Kehutanan

IPB (2008-2009), HimaSurya, International Forest Student Assosiation (IFSA

LC-IPB) dan Tree Grower Community (TGC). Selain itu penulis juga aktif sebagai

asisten dosen pada mata kuliah Dendrologi, Ekologi Hutan, dan Silvikultur pada

tahun 2007-2011. Pada tahun 2007 penulis mengikuti Praktek Pengenalan

Ekosistem Hutan (P2EH) pada jalur Kamojang-Sancang. Pada tahun 2008 penulis

mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat–

Sukabumi selama 2 bulan dan pada tahun 2009 penulis juga pernah mengikuti

Praktek Kerja Profesi di IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati Unit Logging II,

Kalimantan Tengah selama 3 bulan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,

(9)

Melalui lembaran yang lebih akrab ini, penulis ingin menyampaikan rasa

hormat serta terima kasih yang besar dan setulus hati kepada :

1. Bapak, Ibu, adekku Muhammad Duhri Hasta Rahardja, dan segenap keluarga

besar atas segenap doa, tetesan airmata, dukungan semangat, moral, material

serta kasih sayang yang tiada putus-putusnya selama hampir enam tahun

lamanya untuk rela melepas penulis menuntut ilmu di Bogor ini.

2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan selama kurang lebih dua tahun

terakhir ini dengan sangat intensif sehingga karya ini dapat segera

terselesaikan.

3. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr, Dr. Ir. Agus Hikmat, MS, dan Ir. Nana

Mulyana Efendi, MS selaku dosen penguji.

4. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku dosen pembimbing akademik yang

telah memberi banyak nasehat berharga serta dorongan semangat sehingga

penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Silvikultur, Fakultas

Kehutanan IPB dengan baik.

5. Keluarga Besar Direksi Lyman Timber pada umumnya dan PT. Erna

Djuliawati Unit Logging II Kalimantan Tengah pada khususnya atas

kesempatan berharga yang diberikan kepada penulis untuk dapat melakukan

penelitian ini.

6. Keluarga Besar Camp Bukit Beruang, Kalimantan Tengah, bapak Indra

Sumarta (Camp Manajer), bapak Eka Kusdiandra (Wakil Camp Manajer),

bapak Teddy (Kepala FEOA), pakde Tamsi (Supervisor Produksi), mas Budi

Harsana (Kepala DPH), mas Rully E (teman sebelah kamar), Tim Penelitian

(pappy ‘Oppu’ Rustam Effendi, bang Saroga dan keluarga, pappy ‘Dae’, bang

Nixon (Ka. Site A), mas Walji ‘Dono’, pakde ‘Perang’ War, pak Budihardjo

dan mas Budi Ade beserta segenap anggotanya) atas kerjasamanya yang

sangat berharga, serta segenap warga di Km.95, Km.97, Persemaian Site-A

dan Site-B serta camp produksi M-50 atas segenap canda-tawa, rasa

(10)

8. Keluarga Besar Laboratorium Ekologi Hutan, Ibu Yani, Dr. Istomo, Dr. Iwan

Hilwan, Dr. Yadi Setiadi, bi Era, dan mas Yopi atas segenap bantuan, sharing

ilmu pengalaman, kehangatan serta semua kebaikan hati selama ini.

9. Segenap bapak dan ibu guru dan dosen penulis semenjak TK hingga di

Perguruan Tinggi atas segenap bekal ilmu yang sangat berharga.

10.Maretha Widoarny Pratama Putri, dkk atas semua semangat yang tak kenal

lelah agar penulis segera menyelesaikan skripsi ini.

11.My Hubby Relley Candra Kurniawan atas segenap perhatian, kasih sayang

dan dukungan semangat yang tak kenal lelah.

12.Rickhi “ichie’ Bintari Widyawati, ST dan drh. Prista ‘ndud’ Dwi Restanti atas

persahabatan indah, segenap doa dan semangatnya yang tak kenal lelah.

13.Rekan-rekan satu bimbingan, kakak Franses Sumiharjo, mas Boy Andreas

Marpaung, mas Adie ‘Ketan’, bang Yandry , mbak Kiki, ‘mas Bembeng’

Sambang Parinda, ‘decil’ Deddy Wahyudi, Agha, Nunu ‘Parutan’ dan

‘Nyit-Nyit’ Esti atas semua kenangan indah dan kebaikan hati selama ini.

14.Rekan-rekan Praktek Kerja Profesi Mariani S. Payungalo, Rina ‘tante Cia’

Patricia dan Ferry Moji atas bantuannya selama penelitian.

15.Rekan-rekan Silvikultur angkatan 42, 43, 44, 45, 46, dan 47 atas semua

kenangan, semangat dan kebaikan hati selama ini.

16.Serta segenap rekan, kerabat, saudara, kenalan yang membantu, mendukung,

dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Mohon maaf

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Hujan Alam Tropika ... 3

B. Dinamika Masyarakat Tumbuhan ... 5

C. Stratifikasi ... 9

D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif ... 11

E. Hubungan antara Tanah dengan Tegakan ... 12

F. Dampak Penebangan terhadap Kondisi Tanah ... 13

G. Sifat Fisika dan Kimia Tanah ... 14

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas ... 16

B. Topografi dan Geologis Kawasan ... 17

C. Iklim Kawasan ... 18

D. Flora dan Fauna ... 18

IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

B. Tata Laksana Penelitian ... 20

C. Bahan dan Alat Penelitian ... 21

D. Metode Pengambilan Data Analisa Vegetasi dan Tanaman Pengayaan 21 E. Metode Pengambilan Contoh ... 23

F. Analisis Data Vegetasi ... 23

G. Pengukuran Sifat Fisika dan Kimia Tanah ... 26

(12)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jalur antara Petak Penelitian (Analisa Vegetasi) ... 28

B. Kondisi Jalur Tanam Petak Penelitian ... 42

C. Perkembangan Sifat Fisika dan Kimia Tanah di Lokasi Penelitian ... 45

D. Hubungan Antara Tanah dengan Perkembangan Tegakan Tinggal Log Over Area (LOA) dan Tanaman Pengayaan ... 51

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 55

VII. DAFTAR PUSTAKA ... 56

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kriteria Nilai Permeabilitas Tanah ... 14

2. Kisaran Nilai Sifat Kimia Tanah ... 15

3. Kelas Lereng PT. Erna Djuliawati ... 17

4. Parameter dan Metode Analisis Sifat Fisik Tanah ... 26

5. Parameter dan Metode Analisis Sifat Kimia Tanah ... 27

6. Jenis yang ditemukan di petak GG-39 ... 28

7. Perubahan Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan ... 31

8. Komposisi Pemudaan dilihat dari Kerapatan (N/ha) serta Frekuensi ... 32

9. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Semai ... 35

10. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pancang ... 36

11. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Tiang ... 37

12. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pohon ... 38

13. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis Plot Pengamatan ... 39

14. Indeks Kekayaan Margallef (R1) ... 40

15. Indeks Kemerataan Jenis (E) ... 41

16. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) ... 41

17. Persentasi Natalitas dan Mortalitas Tanaman Pengayaan pada Et+1 ... 42

18. Rata-Rata Tinggi Tanaman Jalur TPTII Et+1 ... 44

19. Perbandingan Sifat Fisik Tanah ... 46

20. Pengukuran pH Tanah ... 47

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Satuan Petak Ukur di dalam Petak GG-39 ... 19

2. Diagram Alir Penelitian ... 20

3. Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi ... 22

4. Struktur Tegakan Hutan Primer dengan Kelas Diameter ... 30

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Nama Jenis dan Kelompok Jenis pada Petak GG-39 ... 57

2. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada Petak GG- ... 62

3. Data Curah Hujan PT. Erna Djuliawati ... 64

4. Rekapitulasi Data Analisis Vegetasi ... 65

5. Peta RKT Tahun 2009 PT. EDL ... 80

6. Peta Kelas Lereng Areal Kerja PT. EDL ... 81

(16)

I . P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki hutan

hujan tropis dengan potensi ekonomi tinggi. Namun seiring dengan

pertumbuhan ekonomi akibat populasi manusia di Indonesia yang terus

meningkat (Intervensi manusia dalam pemanfaatan hasil hutan tropis pada

masa silam maupun sekarang) menyebabkan potensinya menurun. Hal ini

merupakan suatu kenyataan buruk yang tidak dapat dihindarkan. Hutan alam

tropika Indonesia sekarang terpotret dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Salah satu kegiatan perusakan hutan hujan tropika yang paling dominan

pengaruh merusaknya dalam suatu ekosistem hutan ini adalah kegiatan

penebangan hutan dalam skala besar. Dan untuk mengurangi dampak atas

kegiatan tersebut Kementrian Kehutanan Republik Indonesia mengembangkan

serta menerapkan berbagai sistem atau regim dan teknik silvikultur. Beberapa

sistem silvikultur yang pernah diperkenalkan dan telah diterapkan di Indonesia

antara lain Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis

dengan Permudaan Buatan (THPB), Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang

Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) dan

Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif

(TPTII) sendiri menurut SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan

No.77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 merupakan suatu teknik silvikultur yang

menerapkan prinsip-prinsip dasar silvikultur intensif seperti kegiatan

pemuliaan pohon melalui pemilihan jenis bibit, manipulasi lingkungan

melalui pembuatan jalur khusus dan kegiatan perlindungan serta pemeliharaan

tanaman jalur secara berkala dan intensif. TPTII muncul sebagai

penyempurnaan dari sistem TPTJ sebagai suatu sistem silvikultur yang ijin

penggunaannya telah dicabut oleh Pemerintah.

Penelitian ini dilakukan di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah yang

mana IUPHHK-HA tersebut merupakan salah satu yang ditunjuk oleh

pemerintah sebagai IUPHHK-HA contoh untuk mengujicobakan teknik

(17)

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui struktur dan komposisi tegakan hutan pada kondisi satu tahun

setelah kegiatan penebangan dan penjaluran (tegakan tinggal pada Et+1) yang

dikelola dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif

(Silvikultur Intensif) di tiga tingkat kelerengan yaitu datar (0-15%), sedang

(15-25%), dan curam (>25%) .

2. Mengetahui kondisi tanaman pengayaan di jalur tanam pada Et+1.

3. Mengetahui kondisi sifat fisik dan sifat kimia tanah pada areal satu tahun

setelah penebangan yang dilaksanakan oleh PT. Erna Djuliawati.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada PT. Erna

Djuliawati mengenai perkembangan kondisi tegakan hutan pada satu tahun

setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan menggunakan teknik

(18)

I I . TI NJ AUAN PUSTAKA

A. Hutan Hujan Alam Tropika

1. Batasan Hutan Hujan Alam Tropika

Menurut UU RI No.41 Tahun 1999 kawasan hutan merupakan suatu

kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam

hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Hutan menurut Soerianegara dan Indrawan (1989) adalah masyarakat

tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan

lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluar hutan. Hutan hujan

tropika (tropical rain forest) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Iklim selalu basah,

2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah,

3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dpl) dan

pada tinggi (s/d 4000 m dpl),

4. Dapat dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya:

a. Hutan hujan bawah 2 – 1000 m dpl,

b. Hutan hujan tengah 1000 – 3000 m dpl,

c. Hutan hujan atas 3000 – 4000 m dpl.

5. Hutan hujan bawah dengan jenis kayu penting lebih banyak didominasi

dari family Dipterocarpaceae (marga : Shorea, Hopea, Dipterocarpus,

Vatica, dan Dryobalanops). Sedangkan genus lainnya antara lain :

Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Coompassia, dan

Octomeles. Hutan hujan tengah dengan jenis kayu utama terdiri atas

family Lauraceae, Fagaceae, Cunoniaceae, Magnoliaceae,

Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lainnya. Hutan hujan atas dengan

jenis kayu utama berasal dari family Coniferae (Araucaria, Dacrydium,

Podocarpus), Ericaceae, Laptospermum, Clearia, Quercus, dan lainnya.

6. Di Indonesia terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa,

(19)

2. Komponen Penyusun Hutan Hujan Tropika

Menurut Ewusie (1980) berdasarkan komponen penyusunnya kondisi

hutan hujan tropika dibedakan atas komponen abiotik dan biotik.

1. Komponen abiotik terbagi atas :

a. Suhu. Iklim hutan hujan tropika ditandai oleh suhu yang tinggi dan

sangat rata. Rataan suhu tahunan berkisar antara 20° C - 28° C

dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada

musim kering. Setiap naik 100 meter di pegunungan, rataan suhu

itu berkurang 0,4° C – 0,7° C.

b. Curah hujan. Hutan hujan tropik menerima curah hujan berlimpah

sekitar 2000 – 3000 mm dalam setahunnya.

c. Kelembaban atmosfer. Kelembaban hutan hujan tropika rata-rata

sekitar 80%. Pada tumbuhan teduhan lamanya kelembaban

maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selama musim kering

menjadi 18 jam pada musim hujan.

d. Angin. Di wilayah tropika kecepatan angin biasanya lebih rendah

dan angin topan tidak begitu sering. Rataan kecepatan angin

tahunan di daerah hutan hujan pada umumnya kurang dari 5

km/jam dan jarang melampaui 12 km/jam.

e. Cahaya. Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah

kurang dari 10 jam dimanapun di wilayah tropika, tetapi jumlah

sinar matahari cerah sesungguhnya selalu kurang dari jumlah

tersebut diatas, karena derajat keberawanan yang tinggi.

f. Karbondioksida. Karbondioksida dianggap penting dari segi

ekologi karena bersama - sama dengan cahaya merupakan faktor

pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan tumbuhan.

2. Komponen biotik hutan hujan alam tropika terdiri kelompok produsen,

konsumen dan dekomposer atau pengurai. Kelompok pengurai dan

konsumen tidak dibahas dalam penelitian kali ini. Dari jenis produsen

hanya terdiri atas aneka jenis tetumbuhan yang tergabung dalam

kelompok herba, liana (woody liana dan non woody liana), tumbuhan

(20)

B. Dinamika Masyarakat Tumbuhan

1. Definisi Suksesi

Misra (1980) mendefinisikan suksesi sebagai suatu proses universal

dari perkembangan komunitas. Suksesi selalu memulai pertumbuhannya

pada area yang terbuka. Beberapa area tersebut kemungkinan primer atau

sekunder. Area primer adalah suatu tempat dimana sebelumnya tidak

terdapat kehidupan suatu jenis tanaman pun (seperti bebatuan, pasir, dan

air). Sedangkan area sekunder adalah suatu tempat dimana terdapat

kehidupan tanaman tetapi musnah karena satu atau lebih faktor.

Sedangkan menurut Odum (1992) suksesi adalah suatu proses perubahan

komunitas yang merupakan urutan pergantian komunitas satu dengan yang

lainnya pada satu area yang ada.

Soerianegara dan Indrawan (1989) menyebutkan bahwa masyarakat

hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang

dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui

beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi,

persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.

Proses ini disebut suksesi atau sere. Selama suksesi berlangsung hingga

tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan terjadi

pergantian-pergantian masyarakat tumbuh-tumbuhan hingga terbentuk

masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Pada masyarakat yang telah

stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena

pohon tua tumbang dan mati, timbullah anakan-anakan pohon atau

pohon-pohon yang selama ini hidup tertekan, setiap ada perubahan, akan ada

mekanisme atau proses yang mengembalikan pada keadaan

kesetimbangan.

2. Proses Suksesi

Waktu berlangsungnya suksesi tergantung pada siklus hidup sebagian

besar organisme dalam ekosistem. Suksesi terrestrial dimulai terbentuknya

endapan abu vulkanik baru sampai terbentuknya hutan dalam ukuran

(21)

Menurut Misra (1980), evolusi komunitas tanaman melibatkan beberapa

proses penting, diantaranya adalah :

a. Nudation, yaitu terbukanya vegetasi penutup tanah.

b. Migration including initial colonisation, yaitu cara dimana

tumbuh-tumbuhan sampai pada daerah yang terbuka, bisa dalam bentuk

germules, propagulae, atau migrules. Biji atau benih tumbuhan tersebut

tersebar ke daerah-daerah tersebut terbawa oleh angin, aliran air,

hewan-hewan tertentu, manusia, glasier, dan sebagainya.

c. Ecesis, yang merupakan proses perkecambahan, pertumbuhan,

berkembang biak dan menetapnya tumbuhan baru tersebut. Sebagai

hasil ecessis individu-individu dari spesies tumbuh baik di suatu

tempat. Tanaman pertama yang tumbuh pada area yang baru tersebut

dinamakan pioner colonisers.

d. Agregation, dimana pada awalnya tanaman-tanaman pionir berada

dalam jumlah yang sangat sedikit dan tumbuh secara berjauhan dengan

yang lainnya. Seiring berjalannya waktu, individu-individu tersebut

berkembang dan menghasilkan struktur reproduktif yang akan tersebar

disekelilingnya dan setelah berkecambah akan membentuk kelompok

(beragregasi). Ada dua tipe agregasi, yaitu simple agregation dan mixed

agregation.

e. Evolution of community relationship, yaitu suatu proses dimana daerah

kosong ditempati spesies yang berkoloni, spesies tersebut akan

berhubungan satu sama lainnya. Hubungan yang terjadi dapat

membentuk tiga tipe, yakni exploitation, mutualism, dan Co-existence.

f. Invation, yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah

beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang tumbuh dan menetap.

g. Reaction, yaitu terjadi perubahan habitat yang disebabkan oleh

tumbuhan itu sendiri. Kondisi ini sebagai dampak dari interaksi antara

vegetasi dan habitat. Reaction merupakan proses yang terus menerus

dan menyebabkan kondisi yang kurang cocok bagi tumbuhan yang telah

(22)

h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang

dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi

yang sudah dapat dikatakan relatif konstan.

i. Klimaks, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan

struktur vegetasi konstan, karena pembentukkan jenis dominan telah

mencapai batas. Jenis dominan dari komunitas klimaks hampir

mendekati harmonis dengan habitat dan lingkungannya.

Whitmore (2003) membagi siklus pertumbuhan hutan atas tiga

tingkatan, yaitu fase rumpang, fase perkembangan, dan fase pendewasaan,

dimana secara bersama-sama membentuk mosaik yang terus menerus

mengalami perubahan keadaan dan bentuk.

Di daerah Amerika Tengah, Budowski (1965) dalam Longman (1992)

menyatakan empat tahap yang terjadi pada suksesi hutan tropis, yaitu :

tingkat pionir, tingkat sekunder awal, tingkat sekunder akhir dan klimaks.

Jenis-jenis yang terdapat pada dua tingkat pertama memiliki penyebaran

yang luas dan kemunculannya dalam hutan tropis tertentu tetap pada

jumlah yang besar. Jenis-jenis yang berada pada tingkat sekunder akhir

mencapai ukuran tertentu dan di Afrika setidaknya sering terdapat pada

kondisi formasi hutan yang agak lebih kering daripada hutan yang

beregenerasi itu sendiri. Akhirnya pada tingkat klimaks, tercapainya

keseimbangan komunitas.

3. Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi

Menurut Richard (1966), fase pertama dari suatu suksesi di hutan hujan

tropis adalah didominasi oleh rerumputan, yang biasanya berumur pendek

dan tidak lebih dari satu tahun. Fase selanjutnya didominasi oleh semak,

tetapi dominansi biasanya terjadi hampir secara langsung dari bentuk

tanaman rerumputan ke bentuk pohon. Kemudian lambat laun berkembang

sebuah hutan sekunder yang didominasi oleh pohon-pohon berumur

pendek, cepat tumbuh dan tersebar melalui angin dan hewan. Lebih lanjut

lagi kondisi ini secara perlahan-lahan berubah dan berkembang menjadi

(23)

kapasitas untuk menginvasi areal hutan pada awal proses suksesi

berlangsung.

Sementara menurut Spurr dan Burton (1980) pohon toleran yang lain

karena kemungkinan siklus hidupnya yang pendek ataupun

ketidakmampuannya mencapai tingkat overstorey dan bertahan hidup pada

kondisi lingkungan yang ada, kemungkinan tidak pernah menjadi bagian

besar dari akhir suatu suksesi hutan.

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1989) suatu suksesi primer

diawali oleh permukaan tanah telanjang kemudian berkembang vegetasi

cryptogamae, rumput herba dan semak kecil, vegetasi semak belukar,

vegetasi perdu pohon dan akhirnya terbentuklah vegetasi klimaks hutan.

4. Perubahan Lingkungan Fisik dalam Proses Suksesi

Perkembangan komunitas di daratan ataupun di perairan merupakan

suatu proses yang mana pada fase awal hanya terdapat jenis tumbuhan

berumur pendek dalam jumlah yang sedikit. Seiring berjalannya waktu

tumbuhan-tumbuhan tersebut meningkat jumlahnya dan mengubah

komponen abiotik, terutama tanah dan iklim mikro. Perubahan lingkungan

ini kemungkinan sesuai untuk pertumbuhan dan pembentukan beberapa

jenis lainnya yang lebih tinggi yang menginvasi areal tersebut dan mencari

niche yang sesuai untuk perkembangannya kemudian menjadi bagian dari

komunitas yang ada (Misra, 1980).

Ewusie (1980) menyatakan bahwa pada waktu tutupan hutan

dihilangkan, segera terjadi perubahan intensitas cahaya, suhu, dan

kelembaban. Tatanan iklim mikro hutan asli hilang. Berdasarkan

kenyataan bahwa tanah hutan tersebut kemudian terkena hujan dan

matahari sehingga terjadi penurunan harkat tanah yang mengakibatkan

pengikisan dan kehilangan humus dengan cepat. Di daerah tropika yang

mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada

musim hujan tetapi proses ini sebagian terjadi juga pada musim kering.

Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang

(24)

sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan

sebagai keadaan yang mantap. Disamping perbedaan yang disebabkan oleh

air, ada juga yang disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian.

C. Stratifikasi

Menurut Ewusie (1980) didalam masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan,

terjadi persaingan antara individu-individu dari suatu jenis (species) atau

berbagai jenis. Karena mereka mempunyai kebutuhan yang sama, misalnya

dalam hal hara mineral tanah, air cahaya dan ruang. Hutan hujan tropika

dikenal dengan adanya perlapisan atau stratifikasi. Hutan Tropika

menampilkan tiga lapisan pohon yaitu lapisan paling atas (tingkat-A) terdiri

dari pepohonan setinggi 30 – 45 m dengan tajuk yang diskontinyu, lapisan

pepohonan kedua (tingkat-B) terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 18 –

27 m dengan tajuk yang kontinyu sehingga membentuk kanopi, lapisan

pepohonan ketiga (tingkat-C), terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 8 –

14 m cenderung membentuk lapisan yang rapat. Selain lapisan pepohonan

juga terdapat semak belukar yang ketinggiannya kurang dari 10 m dan yang

terakhir adalah lapisan terna yang terdiri dari tetumbuhan yang lebih kecil

yang merupakan kecambah dari pepohonan yang lebih besar dari bagian atas,

atau spesies terna.

Soerianegara dan Indrawan (1989) menyatakan bahwa didalam masyarakat

hutan, sebagai akibat persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan)

dari pada yang lain. Pohon-pohon tinggi dari stratum (lapisan) teratas

mengalahkan pohon-pohon yang lebih rendah, merupakan pohon yang

mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan. Stratifikasi tajuk dalam

hutan hujan misalnya sebagai berikut:

a. Stratum A merupakan lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi

totalnya 30 m keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi

dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis-jenis pohon dari

stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling

sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan

(25)

b. Stratum B terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20 – 30 m, tajuknya

kontinyu, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang

tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan

cahaya atau tahan naungan (toleran),

c. Stratum C terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4 – 20 m, tajuknya

kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil banyak cabang,

d. Stratum D merupakan lapisan perdu dan semak setinggi 1 sampai dengan 4

meter, dan

e. Stratum E merupakan lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground

cover) setinggi 0 – 1 m.

D. Sistem dan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif

(TPTII)

Sistem Silvikultur menurut Suhendang (2008) merupakan suatu rangkaian

perlakuan yang terencana terdiri atas pemeliharaan, pemanenan, dan

pembangunan kembali suatu tegakan. Sedangkan sistem silvikultur menurut

PP. 11/Menhut-II/2009 dalam Elias (2009) adalah sebagai sistem pemanenan

sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu

proses klimatis dan edafis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka

pengelolaan hutan lestari atau sistem teknik bercocok tanam dan memanen.

Menurut Troup (1966) dalam Departemen Kehutanan (1992) mengatakan

bahwa teknik silvikultur adalah proses penanaman, pemeliharaan,

penebangan, penggantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan produksi

kayu, atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sesuai dengan asas

kelestarian hasil yang mendasari pengelolaan hutan, maka pemilihan teknik

silvikultur memerlukan pertimbangan yang seksama dan mencakup keadaan

atau tipe hutan, sifat fisik tanah, struktur komposisi, topografi lahan,

pengetahuan profesional rimbawan, dan kemampuan pembiayaan.

Munculnya TPTII diilhami oleh program accelerated optimal growth yang

bisa diterapkan dalam sistem TPTJ atau tebang habis, sehingga muncullah

teknik silvikultur intensif. Sistem TPTJ dengan teknik silvikultur intensif oleh

(26)

Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif. Tujuan diberlakukannya Teknik

Silvikultur Intensif Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) adalah

karena sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) telah dicabut oleh pemerintah.

Disamping itu tujuan dari TPTII adalah : (1) Untuk mewadahi teknik

silvikultur intensif agar bisa segera berfungsi supaya standing stock hutan

Indonesia bisa kembali normal dan bahkan bisa meningkat dari rotasi ke

rotasi berikutnya, (2) Untuk menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada

TPTJ, misalkan penentuan spesies target, upaya untuk meningkatkan

produktifitas dan kualitas produk lewat tindakan pemuliaan pohon, akselerasi

pertumbuhan dan tindakan pengendalian hama terpadu. (Soekotjo, 2009)

Dalam pelaksanaan TPTII, menurut Soekotjo (2009) khususnya dalam

persiapan penanaman dan tebangan dilakukan persis sama dengan apa yang

dilakukan pada Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam

Indonesia. Limit diameter pada beberapa lokasi menyesuaikan TPTJ, yakni

diameter diatas 40 cm. Perbedaannya dengan TPTJ adalah pada TPTII jarak

antar jalur tanamnya adalah 20 m, dan jarak tanam dalam jalur tanamnya

adalah 2,5 cm. Dengan demikian N per ha riil adalah 200 batang dan pada

akhir rotasi jumlah pohonnya 160 batang, dengan cara menjarang tiang atau

pohon yang inferior. Apabila pohon dengan rerata diameternya 50 cm per

batang maka akan menghasilkan kayu sekitar 2,5 m3 sehingga bila N per ha-nya 160 batang, standing stock-nya dapat mencapai 400 m3

a. Kontrol pengelolaan lebih efisien, murah, dan mudah,

/ha. Dalam hal ini

keunggulan dari teknik TPTII ini diantaranya :

b. Sedari awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis

terpilih sehingga pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil

pemuliaan. Hal ini dapat diprediksi meningkatkan nilai produktivitas

sehingga kualitas produk dapat lebih baik,

c. Target produksi bisa flexibel tergantung pada inestasi pada tanaman (kayu

sebagai produk metabolisme sekunder),

d. Keanekaragaman hayati atau kondisi lingkungan menjadi lebih baik,

(27)

E. Hubungan antara Tanah dengan Tegakan

Tanah merupakan kumpulan bahan-bahan alami yang terdapat di

permukaan bumi dan merupakan tempat berpijaknya pohon-pohon. Tanah

terjadi karena pengaruh iklim dan kehidupan pada bahan induk tergantung

pula pada bentuk dan waktu. Keberadaan bahan alami bumi berupa tanah

mempunyai peranan penting dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup

tanaman, yaitu memberi dukungan mekanis dengan menjadi tempat

berjangkarnya akar, menyediakan udara (oksigen) untuk respirasi, air dan

hara, serta menjadi media saling tindak dengan jasad lain. (Poerwowidodo,

2004).

Kerusakan tanah dapat terjadi oleh beberapa hal, antara lain kehilangan

unsur hara dan bahan organic dari daerah perakaran, terkumpulnya garam di

daerah perakaran, terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinasi),

terkumpulnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman,

penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan erosi. Kerusakan tanah oleh

satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah

untuk mendukung pertumbuhan vegetasi (Arsyad, 2006).

Keberhasilan pertumbuhan tanaman hutan di lapangan dikendalikan oleh

faktor-faktor pertumbuhan, yang terdiri dari faktor genetis dan faktor

lingkungan. Pengendalian faktor genetis dimunculkan oleh gen-gen kromosom

yang mempengaruhi proses-proses fisiologis. Sedangkan pengendalian faktor

lingkungan dimunculkan oleh peran aneka keadaan di luar tubuh suatu

tanaman yang mempengaruhi proses-proses fisiologis (Poerwowidodo, 2004).

Oliver dan Larson (1996) menyatakan bahwa tempat tumbuh dapat

berubah seperti juga halnya dengan perkembangan hutan. Perkembangan

tegakan akan meningkatkan kelembapan yang memungkinkan akar untuk

melakukan penetrasi dalam menyerap mineral tanah dan akan meningkatkan

ruang pori untuk menyimpan kelembapan. Oksigen tanah dan nutrisi akan

meningkat sehingga akar dan mikroorganisme dapat mendistribusikanya dari

kedalaman dan membawanya naik ke atas. Total nitrogen akan meningkat

(28)

F. Dampak Penebangan terhadap Kondisi Tanah

Secara umum kegiatan degradasi hutan menyebabkan degradasi pula pada

tanah. Definisi degradasi ini bersifat subjektif (Lamb, 2005), memiliki

pengertian berbeda tergantung cara pandang suatu kelompok masyarakat.

Menurut kategori umum pertanian tanah di daerah hutan tropika basah

termasuk kedalam kategori miskin hara. Namun demikian ekosistem hutan

primer tidak menunjukkan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara

berada dalam kondisi keseimbangan dinamis dimana input dan output hara

seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling

system yang efisien. Perubahan dari kondisi yang stabil menjadi tidak stabil

sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada berubahnya simpanan hara

dan suplai hara bagi pertumbuhan pohon dan konsekuensi pada kelestarian

penggunaan lahan tersebut.

Kaitannya dengan kerusakan tanah, Lamb (2005) menyatakan bahwa

kerusakan tanah adalah suatu proses dimana telah terjadi penurunan kapasitas

tanah baik saat ini maupun masa yang akan datang dalam memberikan produk

atau jasa. Kategori pertama degradasi tanah berkaitan dengan pemindahan

material tanah sedangkan kategori kedua berhubungan dengan degradasi tanah

in situ yang berupa degradasi kimia dan atau fisika tanah. Salah satu bentuk

kerusakan tanah adalah hilang atau menurunnya bahan organik yang lebih

cepat dibandingkan penambahannya pada lapisan tanah atas.

Ketidakseimbangan antara masukan bahan organik dengan kehilangannya

yang terjadi melalui dekomposisi berdampak pada penurunan kadar bahan

organik dalam tanah. Penurunan kandungan bahan organik tanah membawa

dampak pada kelstarian jangka panjang oleh karena bahan organik memainkan

peranan penting terhadap pertumbuhan pohon melalui pengaruhnya terhadap

sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Faktor-faktor tersebut dalam gilirannya

akan berpengaruh terhadap struktur tanah, laju infiltrasi, kapasitas pegang

airm ketersediaan hara tanaman, dan laju mineralisasi. Pada tanah yang diolah,

lapisan tanah atas (0 – 30 cm) kehilangan sekitar 20 – 60% dari karbon yang

(29)

G. Sifat Fisika dan Kimia Tanah

Sifat Fisika tanah meliputi tekstur tanah, kedalaman tanah, permeabilitas,

bobot isi tanah dan infiltrasi, kapastitas pegang air, karakteristik air, kadar air

dan suhu tanah. Bobot isi tanah (bulk density) menunjukkan berat tanah kering

persatuan volume tanah (termasuk pori tanah) dan biasanya dinyatakan dalam

gram/cc. Bobot isi tanah merupakan petunjuk tidak langsung atas kepadatan

tanah. Permeabilitas adalah kecepatan laju air dalam medium massa tanah.

Sifat ini penting artinya dalam keperluan drainase dan tata air tanah. Bagi

tanah yang berstruktur halus biasanya mempunyai permeabilitas lebih lambat

dibandingkan tanah bertekstur kasar. Berdasarkan Hardjowigeno (2007)

kriteria permeabilitas tanah tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Nilai Permeabilitas Tanah

Deskripsi Permeabilitas (cm/jam)

Sangat Cepat > 25,0

Cepat 12,5 – 25,0

Agak Cepat 6,5 – 12,5

Sedang 2,0 – 6,0

Agak Lambat 0,5 – 2,0

Lambat 0,1 – 0,5

Sangat Lambat < 0,1

Sifat Kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah

pada umunya dan kesuburan tanah pada khususnya. Sifat ini diantaranya

adalah pH, KTK, dan unsur-unsur hara makro dan mikro. Unsur hara esensial

adalah unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman dan fungsi

keberadaannya tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Sehingga bila

jumlahnya tidak dalam kondisi cukup maka tanaman kurang dapat tumbuh

secara normal. Unsur-unsur hara esensial tersebut antara lain : unsur hara

makro (C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg) dan unsur hara mikro (Mn, Fe, B, Zn,

Cu, Mo,Cl). (Hardjowigeno, 2007)

Bahan organik tanah adalah bahan tanah yang mengandung C-organik

lebih tinggi daripada ketentuan yang berlaku pada tanah mineral. Jumlahnya

sekitar 3 – 5% dari keseluruhan bahan tanah. Komponen bahan organik yang

penting adalah kadar C dan N. Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah

(30)

kation. Nilai KTK yang tinggi pada tanah lebih baik didalam suplai hara

tanah, begitu pula sebaliknya. Tanah dengan KTK yang didominasi oleh

kation basa Ca, Mg, K, Na didefinisikan sebagai tanah dengan kejenuhan

basa tinggi, sedangkan bila didominasi oleh nilai Al dan H maka kejenuhan

basanya rendah dan dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah. Tabel 2

menyajikan kisaran nilai kimia tanah menurut Puslit Tanah (1993) dalam

[image:30.595.136.490.244.431.2]

Poerwowidodo (2004).

Tabel 2. Kisaran Nilai Sifat Kimia Tanah

Sifat Tanah Rendah Sedang Tinggi

BO (%) <3,46 3,46-5,19 >5,19

C (%) 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00

N (%) 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75

C/N 5-10 11-15 16-25

P2O5 HCl

(mg/100gr) 10-20 21-40 41-60

K2O HCl

(mg.100gr) 10-20 21-40 41-60

KTK 5-16 17-24 25-40

KB (%) 20-35 36-50 51-70

pH

Sangat

Masam Masam

Agak

Masam Netral

Agak

(31)

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PT. Erna Djuliawati merupakan salah satu perusahaan pemegang Ijin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang telah

beroperasi sejak 1989 dan mendapatkan SK IUPHHK pembaharuan berdasarkan

Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.15/Kpts-IV/1999 tanggal

18 Januari 1999 dengan luas areal konsesi sebesar 184.206 ha. Dengan luasan

tersebut untuk mempermudah proses pemanenan hasil hutan pada setiap tahunnya

PT. Erna Djuliawati membagi kawasan menjadi dua site yakni site A di bagian

timur dan site B dibagian barat. Sejak awal beroperasinya PT Erna Djuliawati

telah menebang sekitar 24.562 hektar hutan primer (data sampai dengan akhir

tahun 2003) dengan rata-rata tebangannya seluas 4.400 ha/tahun. Berbagai macam

sistem silvikultur telah diterapkan oleh PT Erna Djuliawati diantaranya adalah

teknik Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur

(TPTJ). Pada tahun 2005, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina

Produksi Kehutanan No.SK.77/VI-BPHA/2005 tanggal 03 Mei 2005 jo

No.S.321/VI-BPHA/2006 tanggal 21 April 2006, PT. Erna Djuliawati ditunjuk

sebagai model teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)

dengan luas 500 Ha per tahun.

A. Letak dan Luas

Secara administrasi kehutanan PT. Erna Djuliawati Unit logging II terletak

di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) wilayah Dinas Kehutanan

dan Perkebunan Kabupaten Seruyan dan Dinas Kehutanan kabupaten

Katingan. Sedangkan secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan

Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan dan Kecamatan Tumbang Hiran,

Kabupaten Katingan. Secara geografis aeral kerja PT. Erna Djuliawati terletak

pada 00°52’30’’ – 01°22’30’’ LS dan 111°30’00’’ – 112°07’30’’ BT. Berdasarkan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk kelompok

hutan S. Salau dan S. Seruyan. Perusahaan membagi kawasan ini menjadi dua

site yaitu site A di bagian Timur, dan site B di bagian Barat, yang mengikuti

(32)

Adapun batas-batas lokasi konsesi PT. Erna Djuliawati Unit Logging II (PT.

EDL) adalah sebelah utara berbatasan dengan areal kerja dari PT. Sari Bumi

Kusuma serta kawasan hutan lindung. Sebelah barat berbatasan dengan areal

kerja dari PT. Indochin Aria Bima Sari dan kawasan hutan lindung. Sebelah

timur berbatasan dengan areal kerja dari PT. Sarmiento Parakatja Timber, PT

Berkat Cahaya Timber, dan PT. Meranti Mustika. Sebelah selatan berbatasan

dengan areal kerja dari PT. Indochin Aria Bima Sari dan Sungai Manjul. (PT.

EDL, 2005).

B. Topografi dan Geologis Kawasan

Kawasan kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati Unit Logging II berada pada

ketinggian 111 – 1.082 m dpl dengan kondisi topografi wilayah berkisar dari

areal datar sampai dengan sangat curam. Pengelompokan kelas lereng pada

areal PT Erna Djuliawati Unit Logging II dapat dilihat pada Tabel 3 dan untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 3. Kelas Lereng PT. Erna Djuliawati

Kelas Lereng Kemiringan (%) Topogafi Luas Ha (%)

A 0 - 8 Datar 43.247 23,48

B 8 - 15 Landai 60.880 33,05

C 15 - 25 Agak Curam 49.009 26,61

D 25 - 40 Curam 28.998 15,74

E > 40 Sangat Curam 2.072 1,12

Jumlah 184.206 100,00 Sumber: Peta Garis Bentuk Areal Kerja PT. Erna Djuliawati Skala 1 : 50.000 (1997).

Berdasarkan Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin

skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung

tahun 1994, formasi geologi yang terdapat di areal kerja PT. Erna Djuliawati

adalah batuan magmatit benua dengan luas 173.246 Ha (94,05%) dan batuan

alas kerak benua dengan luas 10.960 Ha (5,95%). Berdasarkan Peta Tanah

Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor Tahun

1993, areal kerja PT. Erna Djuliawati memiliki jenis tanah (berdasarkan SK

Mentan No.837/Kpts/Um/11/1980) antara lain Latosol (44%) dan Podsolik

[image:32.595.132.501.413.506.2]
(33)

C. Iklim Kawasan

Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau Kalimantan skala 1 : 3.000.000 dari

Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja PT.

Erna Djuliawati menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian besar

wilayahnya termasuk tipe A dan sebagian tipe B. Sedangkan untuk kondisi

curah hujannya, diperoleh angka curah hujan rata-rata per tahun sebesar

3.303,7 mm dengan rataan jumlah hari hujan 162 hari atau dengan intensitas

hujan sekitar 19,9 mm. Suhu udara rata-rata adalah 26,4°C dengan kisaran

suhu rata-rata bulanan antara 26,1 – 29,7°C. Suhu udara yang tergolong

rendah umumnya terjadi pada bulan Januari sampai April, sedangkan suhu

udara tertinggi tercatat terjadi pada bulan Oktober. Kelembapan udara

rata-rata adalah sebesar 85%, dengan kisaran antara 83 – 87%. Kelembapan udara

terendah tercatat terjadi antara bulan Agustus sampai September dan tertinggi

pada bulan Maret. (PT. EDL, 2007)

D. Flora dan Fauna

Jenis pohon yang tergolong komersil yang dijumpai di lapangan antara

lain meranti merah (Shorea leprosula Miq.), meranti putih (Shorea lamellate

V.SI.), meranti kuning (Shorea acuminatissima Sym.), bangkirai (Shorea

leavifolia Endert.), rengas (Gluta renghas L.), kapur (Dryobalanops beccarii

Dyer.), geronggang (Cratoxylon sp.), dan sebagainya. Sedangkan untuk jenis

satwa yang ada di kawasan IUPHHK PT. Erna Djuliawati Unit Logging II

antara lain orang utan (Pongo pygmaeus), beruang madu (Helarcitos

malayanus), lutung (Presbiyis cristata), trenggiling (Manis javanica), babi

hutan (Sus barbatus), kijang (Mantiacus muntjak), biawak (Varanus tegek.),

(34)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dalam areal IUPHHK–HA PT Erna Djuliawati

Unit Logging II S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih

untuk penelitian ini berada pada site A, petak GG-39. Areal ini dikelola

dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)

waktu tebang Pebruari 2008. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada

Lampiran 5 dan Lampiran 6, sketsa lokasi satuan petak contoh dapat dilihat

[image:34.595.101.506.299.647.2]

pada Gambar 1.

Gambar 1. Satuan Petak Ukur di dalam Petak GG-39

Pengambilan data analisa vegetasi, data tanah dan data tanaman jalur

dilaksanakan pada bulan April – Mei 2009. Analisa sifat fisika dan kimia

tanah dilaksanakan di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Keterangan Petak:

Biru : Kelerengan Datar Kuning : Kelerengan Sedang

Merah : Kelerengan Curam : Jalan Mayor/Minor

U

300 m

(35)

B. Tata Laksana Penelitian

Penelitian meliputi beberapa tahap kegiatan, yaitu: 1) persiapan penelitian,

2) pelaksanaan penelitian di lapangan, 3) analisis data. Diagram alir kegiatan

[image:35.595.88.510.190.738.2]

penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Mulai

Satuan Hutan/Areal Pengamatan (Petak GG-39) Data Sekunder :

Data Anveg Hutan Primer, Peta Topografi, Peta Tanah, dan Peta Kerja Petak GG-39

Kesamaan ciri tanah dan Iklim serta Sistem Pengelolaan

Satuan Petak Contoh

Pengambilan Contoh Tanah

Pengambilan data Vegetasi

Analisis Struktur dan

Komposisi Vegetasi

Analisis Fisika dan Kimia Tanah

Analisis data hasil dan Pembahasan

(36)

C. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dan data

primer. Data primer meliputi data inventarisasi vegetasi pada hutan Et+1 atau

kondisi hutan satu tahun setelah kegiatan penebangan, data tanaman

pengayaan pada hutan Et+1 dan data tanah pada hutan Et+1. Sedangkan data

sekunder meliputi data analisis vegetasi pada hutan primer pada petak yang

sama, data curah hujan, peta kerja dan peta potensi pohon petak GG-39.

Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian adalah peta kerja petak

GG-39 (peta sebaran pohon dan peta topografi kawasan), phiband atau pita

diameter, haga hypsometer, kompas tandem, patok, tali rafia atau tambang,

buku pengenal vegetasi, golok, tally sheet, caliper, seng, ring tanah, alat tulis,

kertas label dan caliper.

D. Metode Pengambilan Data Analisa Vegetasi dan Tanaman Pengayaan

Pada pengambilan data untuk analisis vegetasi pada kondisi hutan satu

tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dilakukan

penginventarisasian hutan pada areal kajian seluas 9 hektar yang tersebar

sesuai kebutuhan penelitian di petak GG-39. Petak dibedakan berdasarkan

rataan tingkat kelerengan kawasan dengan pengulangan tiga kali pada setiap

rataan tingkat kelerengannya, yaitu untuk kelerengan datar (0-15%), sedang

(15-25%), dan curam (> 25%). Masing – masing satuan contoh pengamatan

berluasan satu hektar (100 x 100 m2). Dalam plot pengamatan dibuat petak contoh dan sub-petak seperti tampak pada Gambar 3. Untuk vegetasi tingkat

semai dan pancang ditentukan nama jenis dan dilakukan penghitungan jumlah

jenis pada tiap sub-petak contoh. Untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon

dilakukan pengklasifikasian jenis, pengukuran tinggi serta diameternya.

Sedangkan untuk tanaman pengayaan dilakukan pencatatan tentang jenis

tanaman pengayaan yang ditanam, dilakukan pengamatan pada lokasi

penanaman jalur atas penyebab kematian atau belum ditanamnya bibit serta

(37)

Kegiatan inventarisasi hutan pada petak penelitian dilakukan dengan

metode nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang

lebih kecil (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Metode pengambilan data

[image:37.595.119.508.180.526.2]

dilakukan untuk kegiatan analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi

Keterangan:

A = Sub petak intensif untuk tingkat semai berukuran 2 m x 2 m untuk permudaan vegetasi

pohon dengan tinggi kurang dari < 1.5 m,

B = Sub petak intensif untuk tingkat pancang berukuran 5 m x 5 m untuk permudaan

vegetasi pohon dengan tinggi > 1.5 m dan diameter < 10 cm yang meliputi nama jenis

dan jumlah jenisnya,

C = Sub petak intensif untuk tingkat tiang berukuran 10 m x 10 m, untuk permudaan

vegetasi pohon dengan diameter antara 10 cm sampai 19,9 cm yang mencakup nama

jenis, tinggi total, dan diameter setinggi dada,

D = Sub petak intensif untuk tingkat pohon berukuran 20 m x 20 m, untuk vegetasi dengan

diameter > 20cm yang mencakup nama jenis, tinggi total, tinggi bebas cabang, dan

diameter setinggi dada.

(38)

E. Metode Pengambilan Contoh Tanah

Tujuan pengambilan contoh tanah adalah untuk mendapatkan data sifat

fisika dan kimia tanah guna kebutuhan simulasi. Pengambilan contoh tanah

kajian untuk sifat fisika tanah dilakukan dengan menggunakan metode tanah

tidak terusik dan sifat kimia tanah dengan menggunakan metode tanah terusik.

Cara pengambilan contoh tanah dengan metode tidak terusik adalah

dengan menumpuk 2 ring tanah menjadi satu kemudian ditekan ke permukaan

tanah yang telah dibersihkan dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa

tanaman atau bahan organik segar atau lapisan serasah kasar). Setelah seluruh

bagian ring tanah penuh terisi tanah maka ring dicongkel dengan golok dan

tanah langsung dikemas dalam kantong plastik. Pengambilan dilakukan di plot

pengamatan pada kelerengan datar, sedang dan curam pada bawah tegakan,

jalan sarad serta pada jalur tanam. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0 –

20 cm dan kedalaman 20 – 40 cm. Sedangkan metode tanah terusik adalah

tanah secara langsung dicongkel dengan menggunakan alat pencongkel sesuai

dengan kedalaman yang diinginkan dalam hal ini sedalam 20 cm dari lapisan

tanah atas kemudian langsung dimasukkan kedalam plastik tertutup.

Adapun sifat fisika tanah yang diamati antara lain tekstur tanah, berat isi,

ruang pori dan kadar air contoh tanah. Sedangkan untuk sifat kimianya

dianalisa antara lain pH tanah dan nitrogen, serta unsur-unsur hara makro dan

mikro.

F. Analisis Data Vegetasi

Analisis Vegetasi dari jenis-jenis pohon dan permudaannya dapat

menentukan nilai-nilai sebagai berikut:

1. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi

suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan

penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan

Frekuensi Relatif (FR) Soerianegara dan Indrawan (1989). Struktur

horizontal dari hutan tropika dalam bentuk kerapatan, frekuensi,

(39)

individu per hektar, frekuensi menyatakan penyebaran dari jenis yang

diteliti, semakin tinggi nilai frekuensinya maka persebaran jenis tersebut

akan semakin merata.

Dominansi dinyatakan dalam jumlah luas bidang dasar dari jenis-jenis

yang diteliti per–hektar. Indeks Nilai Penting merupakan jumlah dari

Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif

(DR).

Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis Luas area sampel

KR = Kerapatan suatu Jenis

Kerapatan seluruh jenis × 100%

Dominansi = Jumlah LBDS suatu jenis Luas areal sampel

DR = Dominansi suatu jenis

Dominansi seluruh jenis × 100%

Frekuensi = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

FR = Frekuensi suatu jenis

Frekuensi seluruh jenis × 100%

INP = KR + FR (untuk semai dan pancang)

INP = KR + FR + DR (untuk tiang dan pohon)

2. Keanekaragaman Jenis

Menurut Magurran (1988) istilah keanekaragaman jenis dikemukakan

pertama kali oleh Good (1953), merupakan parameter yang sangat berguna

untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari

pengaruh gangguan biotik untuk mengetahui tingkatan suksesi atau

kestabilan. Magurran (1988) menyebut konsep ini sebutan spesies

abundance atau kelimpaan jenis. Dari sekian jenis Indeks heterogenitas

pada penelitian ini menggunakan Indeks Shannon-Wiener. Rumus dari

Shannon-Wiener Index of General Diversty :

=

=

s 1 i

ln

-H'

N

n

N

(40)

Keterangan :

H’ = Shannon-Wiener Index of General diversity

ni

N = Total Indeks Nilai Penting = Indeks nilai penting jenis i

Dalam Indeks ini menggunakan parameter nilai Indeks

Keanekaragaman Jenis (H’), jika < 1.5 menunjukkan kekayaan jenis yang

tergolong rendah, sedangkan jika nilai H’ antara 1.5 dan 3.5 tergolong

sedang dan H’ > 3.5 menunjukkan keanekaragaman yang tergolong tinggi.

3. Indeks Kekayaan Jenis (Species Richness Index)

Menurut Magurran (1988) konsep ini pertama kali dicetuskan oleh

McIntosh pada tahun 1967. Yang dimaksud dengan kekayaan jenis

(species richness) adalah jumlah jenis (spesies) dalam suatu komunitas.

Margalef membuat rumus yang dikenal dengan Indeks Diversitas Margalef

(R1) dengan metoda yang didasarkan pada rumus :

(N)

ln

1

-S

R

1

=

Keterangan :

R1

S = Jumlah Jenis

= Indeks Diversitas Margallef

N = Jumlah Total Individu

Menurut Magurran (1988), jika nilai R1 < 3.5 kekayaan jenis tergolong

rendah, jika nilainya 3.5 < R1 < 5.0 tergolong dalam kekayaan jenis sedang, dan jika nilai R1 > 5.0 kekayaan jenis tergolong tinggi.

4. Indeks Kemerataan Jenis (Evenness)

Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpaan individu antara

setiap species. Ukuran kemerataan ini pertama kali diketemukan oleh

Lloyd dan Ghelardi pada tahun 1964 (Magurran, 1988). Konsep ini dapat

(41)

dalam suatu komunitas. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu

yang sama maka komunitas tersebut memiliki nilai Evenness maksimum

dan sebaliknya bila nilai Evenness ini kecil. Nilai ini berkisar antara 0 – 1

dan lebih sering dinyatakan dengan rumus :

(S)

ln

H'

E

=

Keterangan :

E = Indeks Kemerataan Jenis

(dimana E < 0.3 rendah, 0.3 < E < 0.6 sedang, dan E > 0.6 tinggi)

H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis

S = Jumlah Jenis (nilai maksimum dari Indeks Diversitas)

G. Pengukuran Sifat Fisika dan Kimia Tanah

Analisis sifat fisika dan kimia tanah bertujuan untuk mengetahui kondisi

tanah setelah setahun dilaksanakan kegiatan penebangan dan penjaluran

dengan teknik silvikultur TPTII. Sifat fisika yang ditetapkan dan metode

analisis tanah yang digunakan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter dan Metode Analisis Sifat Fisik Tanah Parameter Metode Analisis

Tekstur Pipet

Bobot Isi Gravimetrik

Porositas Perhitungan Ruang Pori Tanah

Kadar Air Gravimetrik

Permeabilitas Lambe

Air Tersedia Gravimetrik

Sedangkan parameter sifat kimia dan metode analisis tanah yang

[image:41.595.131.494.616.740.2]

digunakan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Parameter dan Metode Analisis Kimia Tanah

Parameter Metode Analisis

pH pH meter

C-Organik Walkey and Black

N-Total Kjeldahl

NH4 Kjeldahl

+

NO3- Kjeldahl

P-bray Bray 1, Spektrofotometer

K, Ca, Mg NH4OAc N pH 7.0, AAS

(42)

H. Penghitungan Jumlah Tanaman Pengayaan pada Jalur Tanam

Pada kajian ini dilakukan perisalahan terhadap kondisi tanaman jalur

tanam sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Internsif (TPTII). Dari

lima jalur yang terdapat pada setiap satuan petak contoh dilakukan

pengecekan lapangan terhadap keberadaan jalur setahun setelah kegiatan

penebangan. Sebab-sebab kematian bibit dan penyebab bibit belum ditanam

(43)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)

merupakan teknik yang dikembangkan dari dua teknik silvikultur sebelumnya,

yakni teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan juga Tebang

Pilih Tanam Jalur (TPTJ). PT Erna Djuliawati sebagai salah satu perusahaan

pemegang surat IUPHHK-HA untuk tahun 2008-2009 menerapkan penggunaan

teknik silvikultur ini seluas 500 ha dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT) tahun

2009 perusahaan dan petak GG-39 merupakan salah satunya. Kegiatan

pemanenan hasil hutan kayu dilaksanakan pada bulan Pebruari 2008.

A. Jalur antara Petak Penelitian (Analisa Vegetasi)

1. Komposisi Jenis

Keanekaragaman jenis yang terdapat pada hutan alam produksi tropika

sangat besar dan kompleks. Keberadaannya saling berpengaruh dan

berinteraksi terhadap sifat genetik dan ekosistemnya. Menurut Lamb

(2005), dalam suatu tutupan vegetasi hutan primer bilamana terjadi

perubahan tutupan vegetasi maka jenis pioner akan muncul, dan

menjadikan jumlah jenis pada kawasan meningkat. Pada areal penelitian

jumlah jenis dan total jumlah jenis semai, pancang, tiang, pohon pada

hutan primer, hutan setelah penebangan, hutan setelah penjaluran dan

[image:43.595.146.518.575.732.2]

ET+1 dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Jenis yang ditemukan di petak GG-39 Hutan Primer dan Setelah Setahun pada Berbagai Kelerengan

Kondisi Hutan Kelerengan (%) Jumlah Jenis

Semai Pancang Tiang Pohon

Hutan Primer

Datar 25 38 36 47

Sedang 36 38 43 51

Curam 38 36 35 47

Total Jenis 43 47 50 61

Setelah Setahun

Datar 29 35 37 41

Sedang 33 34 42 46

Curam 32 33 36 47

(44)

Dari Tabel 6 dapat terlihat bahwa pada tingkat semai, pancang dan

tiang terdapat peningkatan jumlah jenis maupun total jumlah jenis pada

setahun setelah kegiatan penebangan (Et+1), sedangkan untuk tingkat

pohon jumlah jenis maupun total jumlah jenisnya masih berada dibawah

jumlah jenis kondisi primer. Meskipun demikian total jumlah jenis tingkat

permudaan tiang dan pohon lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah

jenis dari tingkat semai dan pancang. Sehingga dapat dikatakan bahwa

pada kondisi setahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran total

jumlah jenis tertinggi masih berada pada tingkatan pohon, dan total jumlah

jenis terendah adalah tingkat semai. Hal ini dapat terjadi diduga karena

pada tingkat pohon dan tiang tumbuhan sudah menunjukkan ciri khasnya

secara maksimal sedangkan pada tingkat permudaan semai dan tiang

jenis-jenis yang berbeda bisa terlihat serupa sehingga dimasukkan kedalam jenis-jenis

yang sama. Pada tingkatan semai, pancang, dan tiang terjadi peningkatan

total jumlah jenis. Hal ini dapat disebabkan karena munculnya jenis-jenis

baru akibat dari dampak pembukaan areal hutan pada proses suksesi yang

terjadi dan secara teori terbukti bahwa tingkat pertumbuhan untuk tingkat

permudaan semai dan pancang lebih tinggi daripada pada tingkat tiang

maupun pohon.

2. Struktur tegakan

Struktur tegakan dapat dilihat secara vertikal maupun horizontal.

Secara vertikal berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh.

Penguasaan tempat tumbuh biasanya dipengaruhi oleh besarnya energi

matahari, ketersediaan air dalam tanah dan unsur-unsur hara mineral yang

penting untuk pertumbuhan serta perkembangan individu pada komponen

masyarakat tumbuhan hutan tersebut. Struktur tegakan hutan dapat dilihat

salah satunya dari nilai kerapatan individu per hektar sehingga akan

menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan. Gambar 4 dan Gambar 5

merupakan gambar grafik struktur tegakan tingkat pohon pada kondisi

(45)

berdasarkan kelompok besaran diameternya pada berbagai kelas

[image:45.595.145.504.88.385.2]

kelerengan.

[image:45.595.151.503.390.669.2]

Gambar 4. Struktur Tegakan Hutan Primer dengan Kelas Diameter.

Gambar 5. Struktur Tegakan Hutan Et+1 dengan Kelas Diameter.

Pada kondisi hutan primer dapat dilihat bahwa jumlah pohon pada

petak ukur masih cukup banyak dan jumlah terbesar tampak pada pohon

dengan kelas diameter 20 – 30 cm dan jumlah terkecil pada pohon-pohon 66 60 25 11 5 50 40 27 8 54 108 38 6 8 16 -20 40 60 80 100 120

20-30 30-40 40-50 50-60 >60

Ju ml a h B a ta n g ( N /h a )

Kelas Diameter (cm)

Struktur Tegakan (N/ha) pada Hutan Primer

datar sedang curam 64 18 3 6 11 50 23 23 3 8 49 37 9 0 1 -10 20 30 40 50 60 70

20-30 30-40 40-50 50-60 >60

Ju ml a h B a ta n g ( N /h a )

Kelas Diameter (cm)

Struktur Tegakan (N/ha) pada LOA TPTII 1 Tahun

datar

sedang

(46)

dengan kelas diameter 50 – 60 cm. Pada berbagai kelerengan hutan

tampak variasi persebaran pohon dengan berbagai kelas diameter. Nilai

individu pohon per hektar tertinggi ditempati oleh petak dengan

kelerengan sedang yakni dengan 179 individu per hektar dan nilai terendah

pada petak datar dengan 167 individu per hektar.

Pada Gambar 5 kondisi setahun setelah penebangan jumlah pohon

pada kelas diameter 20 – 30 cm tidak banyak mengalami perubahan,

kecuali pada kelerengan sedang. Jumlah pohon yang berkurang

diakibatkan kegiatan penebangan dan penjaluran. Pohon dengan diameter

50 cm up tidak serta merta berkurang semua karena penebangan hanya

dilakukan pada pohon jenis komersil dan tidak dilindungi.

Famili Dipterocarpaceae merupakan satu dari sekian famili yang

merajai ka

Gambar

Tabel 1.  Kriteria Nilai Permeabilitas Tanah
Tabel 2.  Kisaran Nilai Sifat Kimia Tanah
Tabel 3. Kelas Lereng PT. Erna Djuliawati
Gambar 1.  Satuan Petak Ukur di dalam Petak GG-39
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini menunjukan tidak adanya perubahan kualitas tanah pada areal yang diterapkan sistem silvikultur TPTJ dengan kualitas tanah pada buffer zone yang

Areal hutan yang digunakan untuk penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) dari berbagai lebar

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan Meranti Merah ( Shorea leprosula Miq.) pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHK-HA

Sementara untuk kerusakan tegakan terbesar akibat kegiatan pemanenan dan penjaluran terjadi pada plot dengan kelerengan 25-45% dengan persentase kerusakan sebesar 36,68%

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk membandingkan perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan

Dari Tabel 12 dapat dilihat hasil uji lanjut kelerengan terhadap pertumbuhan diameter LOA TPTII satu dan dua tahun, diketahui bahwa pertumbuhan diameter pada kelerengan datar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemulihan komposisi vegetasi hutan produksi yang dikelola dengan sistem Silvikultur TPTJ dilihat dari struktur tegakan dan

Pengaruh pelaksanaan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) terhadap sifat fisik dan kimia tanah, antara lain terjadi peningkatan kerapatan limbak, penurunan sifat