PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL REMAJA PADA
KELUARGA MISKIN DI KOTA BEKASI
SITI NURHIDAYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ketahanan Keluarga, Pengasuhan, dan Intervensi Psikososial, serta Pengaruhnya terhadap Perkembangan Psikososial Remaja pada Keluarga Miskin Di Kota Bekasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan telah dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2013
serta Pengaruhnya terhadap Perkembangan Psikososial Remaja pada Keluarga Miskin di Kota Bekasi. Dibimbing oleh EUIS SUNARTI dan MELLY LATIFAH
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab stres bagi keluarga, dan khususnya anak. Kualitas lingkungan pengasuhan menjadi tidak maksimal ketika partisipasi orang tua dalam mendorong perkembangan anak sangat minim, oleh karena itu upaya peningkatan ketahanan keluarga menjadi faktor yang cukup penting. Keterbatasan keluarga miskin dalam menjalankan fungsinya membutuhkan dukungan eksternal berupa dukungan ekonomi dan dukungan sosial. Intervensi psikososial adalah salah satu bentuk dukungan sosial. Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh ketahanan keluarga, pengasuhan, dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja.
Disain penelitian ini adalahcontrol group pretest – posttest design.Responden adalah remaja pada keluarga miskin di Kota Bekasi yang diambil secara random sampling. Jumlah total contoh 96 yang terdiri dari 48 kelompok perlakuan dan 48 kelompok kontrol. Data yang dikumpulkan dari contoh meliputi karakteristik remaja (usia, pendidikan dan jenis kelamin), peer group, paparan mediadan perkembangan psikososial. Perkembangan psikososial diambil saat baseline (sebelum dilakukan intervensi psikososial) dan saat endline (setelah dilakukan intervensi psikososial). Data yang diambil dari ibu contoh meliputi ketahanan keluarga dan pengasuhan (dimensi kehangatan, dimensi emosi, dan dimensi arahan). Karakteristik remaja, karakteristik keluarga diolah dan dianalis dengan menggunakan analisis diskriptif. Uji beda menggunakan independent sampel test. Kemajuan antara kondisi baselinedan endline pada kelompok perlakuan menggunakan uji paired sampel t-test. Uji hubungan variabel dengan menggunakan Spearman correlation dan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial remaja dengan menggunakan uji regresi berganda. Analisis pengaruh intervensi (sebagai variabel independen) terhadap perubahan perkembangan psikososial pada saatendline menggunakan uji regresi linier. Tahapan penelitian meliputi: 1) persiapan; 2) pengumpulan data dan intervensi; 3) analisis data dan penulisan. Kegiatan intervensi dilaksanakan selama tujuh kali pertemuan (±17.5 jam) dalam kurun waktu 2 bulan. Program intervensi psikososial dirancang dan disusun dalam sebuah modul. Pada setiap pertemuan intervensi diawali denganpretestdan diakhiri denganposttest.
peer groupdalam kategori rendah. Paparan media yang didapatkan oleh remaja dalam penelitian ini lebih dari setengah (54.2%) kategori sedang.
Hasil uji korelasi usia remaja berhubungan dengan pencapaian perkembangan psikososial remaja (r=0.418, p<0.01). Pendidikan remaja memiliki hubungan yang nyata dengan pencapaian perkembangan psikososial remaja (r=0.656,p<0.01). Penelitian ini membuktikan bahwa ketahanan keluarga memiliki keterkaitan dengan perkembangan psikososial remaja disemua tahap (r=0.522, p<0.01). Selanjutnya dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa pengasuhan orang tua dimensi kehangatan, dimensi pelatih emosi dan dimensi arahan mempunyai hubungan dengan perkembangan psikososial remaja. Peran teman sebaya bila terjadi konformitas akan cenderung ke arah tekanan negatif. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara konformitas teman sebaya dengan perkembangan psikososial remaja (r=-0.270, p<0.01. Paparan media memiliki hubungan positif dengan semua tahap perkembangan psikososial (r=0.338, p<0.01).
Pada penelitian ini setelah dilakukan intervensi ditemukan bahwa terdapat perbedaan perkembangan psikososial antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan memiliki rerata lebih tinggi dari kelompok kontrol (p<0.05). Penelitian ini juga menemukan terdapat kemajuan pencapaian tahap perkembangan psikososial sebelum dan sesudah mendapatkan intervensi (p<0.05).
Hasil uji regresi berganda pada saatbaselinemenunjukkan bahwa usia remaja, pendidikan remaja, ketahanan fisik keluarga, konformitas teman sebaya, dan paparan media merupakan variabel yang mempengaruhi perkembangan psikososial remaja (R square= 0.628). Pendidikan remaja dan ketahanan fisik keluarga konsisten mempengaruhi setiap tahap perkembangan psikososial (trust – identity). Saat endline variabel yang berpengaruh terhadap perkembangan psikososial adalah usia remaja, pendidikan remaja, ketahanan fisik keluarga, konformitas teman sebaya, paparan media dan intervensi psikososial (R square = 0.740). Hasil uji regresi linier dengan intervensi sebagai variabel independen menunjukkan bahwa intervensi berpengaruh nyata pada semua tahap perkembangan psikososial (trust – identity). Kontribusi intervensi pada total perkembangan psikososial sebesar 36.4% dalam peningkatan pencapaian perkembangan psikososial remaja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi sebagai model dukungan sosial keluarga sangat berpengaruh terhadap peningkatan perkembangan psikososial remaja.
Penelitian ini menguatkan hasil penelitian tentang pengaruh usia remaja, paparan media dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan psikososial remaja serta mendukung konsep ekologi keluarga bahwa dukungan sosial langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan orang tua, integritas keluarga, interaksi orang tua-anak, serta perkembangan dan perilaku anak. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilakukan penelitian sejenis dengan menambah durasi waktu intervensi psikososial. Modul intervensi dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bagi pemerintah, yayasan dan LSM yang mendampingi remaja.
SITI NURHIDAYAH. Family Strengthening, Parenting and Psychosocial Intervention and Its Effect on Adolescent Psychosocial Development on Poor Families in Bekasi. Supervised by EUIS SUNARTI and MELLY LATIFAH.
Poverty is one cause of family stress, especially for children. Parents will give worse environmental quality of parenting when the participation of parents in encouraging the development of children is minimal, then efforts to improve family strengthening is quite important factor. Limitations of poor families in carrying out its functions require external support in the form of economic and social support. Psychosocial intervention is a form of social support. This research aimed to analyze the influence of family strengthening, parenting and psychosocial interventions for adolescent psychosocial development.
The design of this study is “the control group pretest - posttest design”. Respondents in this research were adolescent from poor families in Bekasi taken by random sampling. Total number of 96 adolescents consisting of 48 adolescents as experimental group and 48 adolescents as control group. Data consisted of adolescent characteristics (age, education and gender), peer conformity, media exposure and psychosocial development. Psychosocial development were taken at the beginning of the research/baseline (before psychosocial intervention applied) and at the end of the research/endline (after psychosocial interventions applied). The data that taken from the adolescent mother including family strengthening and parenting (warmth dimension, emotion dimension, and referrals dimension). Adolescent characteristics and family characteristics were processed and analyzed using descriptive analysis. Progress between baseline and endline conditions in the experimental group using paired sample t-test. Relationship test variables using Spearman correlation and to analyze the factors that influence adolescent psychosocial development using regression test. Analysis the effect of the intervention (the independent variable) in changes on adolescent psychosocial development at the end of research using linear regression analysis. The stages of research: 1) preparation; 2) data collection and intervention; 3) data analysis and writing. Interventions carried out during seven meetings (± 17.5 hours) within a period of 2 months. Psychosocial intervention program designed and structured in a module. At each intervention meeting begins with a pretest and ended with posttest.
In this study, more than half (54.2%) adolescents were in medium category on obtaining media exposure.
The results of correlation test showed that adolescents age was related to adolescent psychosocial development (r=0.418, p< 0.01). Adolescent education had a significant connection with the achievement of adolescent psychosocial development (r=0.65, p<0.01). This research proved that family strengthening was related to the psychosocial development of adolescents in all stages (r=0.522, p<0.01). Furthermore, in this research also proved that the parenting dimensions of warmth, emotion and referrals had relationships with adolescent psychosocial development. The role of peers in the event of conformity would tend towards the negative pressure. This research found that there was a negative correlation between peer conformity with adolescent psychosocial development (r=-0.270, p< 0.01). Exposure of media had a positive relationship with all stages of psychosocial development (r=0.338, p< 0.01).
After the psychosocial intervention applied in experimental group, this research showed that there were differences in psychosocial development between the control group and the experimental group. Experimental group had higher average than the control group (p<0.05). This research also found there was progress towards stages of psychosocial development before and after the intervention applied (p<0.05).
Regression test results at baseline (before the psychosocial intervention applied) showed that adolescent age, adolescent education, physical strengthening of family, peer conformity, and media exposure were influencing adolescent psychosocial development (R square=0.628). Adolescent education and family physical strengthening consistently affect every stages of psychosocial development (trust-identity). When endline (after the psychosocial intervention applied) variables that affect the psychosocial development were adolescent age, adolescent education, family physical strengthening, peer conformity, media exposure and psychosocial interventions (R square=0.740). Results of linear regression with psychosocial intervention as the independent variables showed that intervention significantly influenced at all stages of psychosocial development (trust-identity). Psychosocial intervention contribution were 36.4 percent, which increasing adolescent psychosocial development. The results showed that psychosocial interventions as a model of family social support significantly influenced the increasing of adolescent psychosocial development.
This study corroborate the results of research about the effects of adolescent age, media exposure and parenting style on adolescent psychosocial development and supports the concept of family ecology which explain that social support directly or indirectly affect the well-being of parents, the integrity of the family, parent-child interaction, as well as the development and behavior of children. Based on the results of this research, it could be done similar research by increasing the duration of psychosocial interventions. Intervention modules could be used as an alternative for the government, foundations and non-governmental organization (NGO) whose accompany adolescent in the research. Keywords : family strengthening , parenting , psychosocial interventions, adolescent
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL REMAJA PADA
KELUARGA MISKIN DI KOTA BEKASI
SITI NURHIDAYAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si. Ketua
Ir. Melly Latifah, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc,Agr
Tanggal Ujian :10 Juni 2013 Tanggal Lulus :
Nama : Siti Nurhidayah
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis yang berjudul “Ketahanan Keluarga, Pengasuhan, dan Intervensi Psikososial, serta Pengaruhnya terhadap Perkembangan Psikososial Remaja pada Keluarga Miskin di Kota Bekasi” yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains dalam bidang keahlian Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Melly Latifah, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah menjadi inspirasi, memberikan kesempatan, arahan, bimbingan, dan wawasan pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis selama penyusunan tesis ini.
2. Dr. Tin Herawati, SP., M.Si. dan Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc. atas kesediaan dan waktunya untuk menjadi penguji pada ujian tesis.
3. Rekan-rekan fasilitator (Abas Asrom, Agus Setiawan, Antonius, Ayu Azhar, Iik Marina, Lilis, Agus Candra dan Rahmat Yukardi) yang telah membantu penulis melaksanakan intervensi psikososial.
4. Jajaran pemerintahan kelurahan Margahayu, Kelurahan Harapan Jaya, Mas Adi, dan Bang Andi atas bantuanya mendampingi penulis dalam pengambilan data. 5. Seluruh keluarga, terutama suami Hudori, anak-anak tercinta Fida, Wardah,
Syauqi, keluarga besar Ibunda Endri Ris Hartati, dan Bapak Chotib Abbas yang telah mencurahkan, kasih sayang, do’a dan semangat yang diberikan kepada penulis selama menjalani studi pascasarjana.
6. Teman-teman dosen program studi Psikologi FISIP Unisma Bekasi atas segala perhatian, pengertian dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan studi. 7. Teman-teman IKA angkatan 2010 yang selalu saling mendukung dan mengisi
hari-hari indah penuh makna selama menjalani studi serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan semangat bagi penulis.
Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat.Terima Kasih
Bogor, Juni 2013
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
PENDAHULUAN
Latar belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga 6
PendekatanTeori Keluarga 6
Pendekatan Teori Ekologi Keluarga 7
Ketahanan Keluarga 8
Pengasuhan 10
Perkembangan Psikososial 12
Remaja 16
Intervensi Psikososial 18
KERANGKA PEMIKIRAN 20
METODE PENELITIAN
Disain Penelitian 22
Tempat dan Waktu Penelitian 22
Subyek Penelitian 22
Kegiatan Intervensi 23
Alur dan Prosedur Penelitian 25
Tenik Pengumpulan Data 25
Pengolahan dan Analisa Data 27
Definisi Operasional 31
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian 33
Karakteristik Remaja dan Keluarga 33
Ketahanan Keluarga 38
Pengasuhan 43
Konformitas Teman Sebaya 50
Paparan Media 51
Perkembangan Psikososial 52
Intervensi Psikososial 57
Hubungan antara Variabel Penelitian dengan Perkembangan Psikososial
63
Keterbatasan Penelitian 87
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 88
Saran 88
DAFTAR PUSTAKA 90
1. Control group pretest – posttest design 22
2. Data dan cara pengumpulan data 26
3. Nilaialpha cronbachinstrumen penelitian yang digunakan 27 4. Pengolahan data karakteritik remaja, keluarga, ketahanan keluarga,
pengasuhan dan perkembangan psikososial
28
5. Persamaan regresi linier berganda dengan Y1perkembangan psikososial
baseline
29
6. Persamaan regresi linier berganda dengan Y2perkembangan psikososial
endline
30
7. Persamaan regresi linier 30
8. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan, aktifitas dan kelompok 34 9. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan kelompok 35 10. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua 36
11. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga 37
12. Rata-rata, kisaran, standar deviasi dan kontribusi pendapatan ibu, ayah dan anggota keluarga lain
37
13. Sebaran contoh berdasarkan item ketahanan fisik keluarga 39 14. Sebaran contoh berdasarkan item ketahanan sosial keluarga 40 15. Sebaran contoh berdasarkan item ketahanan psikologis keluarga 42 16. Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi kehangatan
tipewarmth acceptance
43
17. Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi kehangatan tipe hostility/aggression, neglect/indefferencedanundifferentiated rejection
44
18. Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi emosi tipe pelatih emosi
45
19. Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi emosi tipe mengabaikan emosi, tidak menyetujui danlaizzez-faire
47
20. Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi arahan tipe authori tarian
47
21. Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi arahan tipe permissive
48
22. Sebaran contoh berdasarkan item pengasuhan dimensi arahan tipe authoritative
49
23. Sebaran contoh berdasarkan item konformitas teman sebaya 50 24. Sebaran contoh berdasarkan konformitas teman sebaya, jenis
kelamin dan kelompok
51
25. Sebaran contoh berdasarkan jenis dan rerata waktu paparan media 52 26. Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial
tahaptrust
53
27. Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahapautonomy
54
28. Sebaran contoh berdasarkan komponen perkembangan psikososial tahapinitiative
tahapidentity
31. Sskor pretest - posttestmateri pendahuluan dalam intervensi psikososial
58
32. Sebaran contoh dalam mengungkapkan harapannya terhadap orang tua
59
33. Sebaran contoh dalam pengungkapan pencapaian harapan 60 34. Sebaran skor pretest - posttestpertemuan keempat dalam intervensi
psikososial
60
35. Sebaran skor pretest - posttestpertemuan kelima dalam intervensi psikososial
61
36. Sebaran skor pretest - posttestpertemuan keenam dalam intervensi psikososial
62
37. Sebaran skorpretest - posttestpertemuan ketujuh dalam intervensi psikososial
62
38. Rataan kehadiran, rataan nilai danp-valuehasil uji beda hasil pretestdanposttestpeserta intervensi psikososial
63
39. Koefisien korelasi karakteristik remaja dan keluarga dengan ketahanan keluarga
64
40. Koefisien korelasi karakteristik remaja dan keluarga dengan pengasuhan
65
41. Koefisien korelasi karakteristik remaja dengan konformitas teman sebaya dan paparan media
66
42. Koefisien korelasi karakteristik remaja dan keluarga dengan tahapan perkembangan psikososial
67
43. Koefisien korelasi antar komponen ketahanan keluarga 68
44. Koefisien korelasi antar dimensi pengasuhan 68
45. Koefisien korelasi antar tahap perkembangan psikososial 69 46. Koefisien korelasi ketahanan keluarga dan pengasuhan 69 47. Koefisien korelasi ketahanan keluarga, pengasuhan, teman sebaya
dan perkembangan psikososial
70
48. Nilai valuehasil uji bedat testdan Ujipaired sample testtahap perkembangan psikososial sebelum dan sesudah intervensi
74
49. Hasil analisis regresi ganda variabel-variabel yang mempengaruhi model 1- 6
76
50. Hasil analisis regresi ganda variabel-variabel yang mempengaruhi model 7- 12
81
51. Hasil uji regresi linier dengan intervensi sebagai variabel independen (x)
82
1. Hubungan anak dengan lingkungannya (model ekologi dari Bronfenbrenner 1979)
7
2. Kerangka pemikiran ketahanan keluarga, pengasuhan, dan
intervensi psikososial, serta pengaruhnya terhadap perkembangan psikososial remaja pada keluarga miskin
21
3. Kerangka penarikan contoh 23
4. Bagan instruksional intervensi psikososial 24
5. Alur dan prosedur penelitian 25
6. Sebaran contoh berdasarkan usia, kelompok dan jenis kelamin 34
7. Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua 35
8. Sebaran contoh berdasarkan kategori pencapaian ketahanan keluarga
43
9. Sebaran contoh berdasarkan pencapaian dimensi pengasuhan orang tua
48
10. Sebaran contoh berdasarkan jenis paparan media 51
11. Pendapat contoh tentang pengaruh media 52
12. Sebaran contoh berdasarkan kategori tahap perkembangan psikososial pada kondisibaselinedanendline
1 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua 97 2 Sebaran contoh berdasarkan kategori setiap komponen ketahanan
keluarga danp-value
98
4 Sebaran contoh berdasarkan kategori praktek pengasuhanwarm dimensiondanp-value
99
5 Sebaran contoh berdasarkan kategori praktek pengasuhan dimensi emosi danp-value
100
6 Sebaran contoh berdasarkan kategori praktek pengasuhan dimensi arahan danp-value
101
7 Sebaran contoh berdasarkan kategori setiap dimensi pengasuhan keluarga danp-value
102
8 Matrik hasil uji korelasi antar variabel 103
9 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Bekasi Timur 104
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses transformasi masyarakat dunia abad 21 saat ini dipengaruhi oleh lima perkembangan penting yaitu kependudukan, tehnologi, ekonomi, lingkungan hidup dan politik. Saat ini laju informasi berjalan dengan sangat cepat. Segala sesuatu yang terjadi di seantero dunia dapat diakses dan diketahui dalam hitungan detik. Begitu juga masalah-masalah budaya, ilmu pengetahuan, teknologi berkembang pesat, dan persaingan hampir dalam seluruh segmen kehidupan terjadi dan terbuka lebar. Pada zaman atau era seperti ini dibutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh dan mempunyai kemandirian tinggi dalam rangka mengarungi kehidupannya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah keluarga yang mampu membimbing dan mendidik anak atau remaja yang mandiri dan bertanggungjawab atas masa depannya (Sidi & Setiadi 2008).
Remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan baik secara biologis, kognitif maupun psikososial (Papalia et al. 2004). Pencarian identitas diri menjadi perhatian utama dalam masa remaja. Berdasarkan tahap perkembangan psikososial Erik Erikson remaja mulai mengembangkan gambaran yang koheren mengenai diri termasuk peran sertanya dalam masyarakat. Tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman, dan peran yang mereka miliki, serta memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanak-kanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Santrock 2002).
Keluarga sebagai unit terkecil merupakan entitas pertama dan utama dimana anak tersebut tumbuh, dan dibesarkan, dibimbing dan diajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan harapan sosial (social expectacy) dimana keluarga tersebut tinggal. Hingga nantinya sang anak atau remaja siap menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan mampu mengemban amanat besar sebagai penerus estafet perjuangan bangsa.
Kemiskinan yang dialami keluarga mengakibatkan keluarga berada pada kondisi rentan terhadap masalah, baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dan masalah sosial lainnya, sehingga keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat tidak akan mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Kemiskinan menyebabkan keluarga kurang memperhatikan perkembangan anak. Keluarga yang miskin akan cenderung menerapkan pengasuhan yang negatif dan kurang efektif (Papalia et al. 2009). Masalah kemiskinan akan menurunkan kemampuan keluarga untuk melakukan investasi terhadap anak pada akhirnya akan memperburuk kesejahteraan keluarga dan anak di masa depan.
Hasil penelitian Sunarti (2008) semakin tinggi/baik ketahanan keluarga mempraktikkan pengasuhan (dimensi emosi, dimensi arahan, dan lingkungan pengasuhan) yang semakin baik.
Keterbatasan keluarga miskin dalam menjalankan fungsinya membutuhkan dukungan eksternal berupa dukungan ekonomi dan dukungan sosial. Intervensi psikososial adalah salah satu bentuk dukungan sosial. Menurut Black & Khirisnakumar 1998; Brooks-Gunn et al 1997; Leventhal & Brooks-Gunn 2000 yang diacu oleh Papaliaet al. 2009) bahwa kehadiran orang dewasa yang terdidik dan bekerja, yang dapat membina komunitas miskin memberikan dukungan sosial dan model yang dapat dijadikan panutan oleh remaja. Intervensi adalah salah satu dukungan formal yang dibutuhkan dalam pendekatan model ekologi keluarga.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka penelitian ini meneliti pengaruh ketahanan keluarga, pengasuhan dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja pada keluarga miskin
Rumusan Masalah
Kemiskinan merupakan salah satu indikator dalam melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tahun 2009 Kota Bekasi memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 75,81 diatas rata-rata IPM Jawa Barat yaitu 71,64 (BPS 2011). Namun sebagai kota yang berdampingan dengan kota metropolitan Kota Bekasi masih terdapat 15% penduduk (350.473 dari 2.336.489 jiwa) atau sekitar 87. 618 keluarga miskin (Bapeda Kota Bekasi 2010).
Secara alami anak memiliki nilai psikis dan materi sehingga orang tua menganggap anak merupakan nilai investasi di masa depan yang paling efisien. Perwujudan investasi pada anak dengan memberikan pengasuhan yang baik, perawatan, sekolah dan pemenuhan kebutuhan makan anak yang baik. Namun pada kenyataannya, dalam kondisi yang serba kekurangan orang tua tidak mampu menyekolahkan anak karena faktor kemiskinan dan masih rendahnya tingkat kesadaran dan motivasi orang tua untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan anak ataupun melakukan stimulasi bagi perkembangan psikososial mereka. Anak yang berasal dari keluarga miskin kemungkinan mengalami hambatan perkembangan lebih besar dibandingkan dengan anak yang hidup pada keluarga tidak miskin karena ketersediaan waktu dan finansial yang terbatas untuk memfasilitasi perkembangan anak (Hartoyo 1998).
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab stress bagi keluarga dan khususnya anak. Anak yang berasal dari keluarga miskin lebih mungkin mengalami kejadian yang mengancam dan tidak bisa dikontrol. Tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan tempat tinggal yang berbahaya, tugas-tugas tambahan yang memberatkan, dan juga ketidakpastian ekonomi merupakan stressor yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum miskin. Kondisi demikian mempengaruhi perilaku sosial remaja.
dimana mereka dapat memandang dunia secara menyeluruh. Remaja menggunakan media sebagai hiburan, mendapatkan informasi terutama topik yang enggan dibicarakan orang tua, sensasi, menanggulangi kesulitan, mengurangi kelelahan dan ketidakbahagiaan, model peran jenis kelamin serta untuk mendapatkan jatidiri budaya orang muda.
Puslitbang Depsos (2004) melakukan penelitian mengenai kenakalan remaja yang dikategorikan sebagai perilaku negatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dari responden yang digunakan seluruh responden pernah melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan biasa, kenakalan yang mengarah pada pelanggaran dan kejahatan serta kenakalan khusus seperti hubungan seks di luar nikah dan menyalahgunakan narkotika. Penelitian Puspitawati (2009) tentang perilaku sosial remaja di Kota Bogor menemukan kenakalan kriminal antara lain bergerombol saat pergi/pulang sekolah, mencoret-coret tembok milik umum/orang lain, berpesta pora sampai malam, berkelahi dan secara sengaja merusak benda milik orang lain.
Adanya berbagai perilaku negatif yang ditampilkan oleh remaja yang telah dipaparkan di atas berkaitan dengan defusi identitas remaja (Erikson 2010). Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Oleh karena itu, salah satu poin yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan remaja tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya. Hal ini yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.
Kualitas lingkungan pengasuhan menjadi tidak maksimal ketika partisipasi orang tua dalam mendorong perkembangan anak sangat minim.Terbatasnya waktu dalam interaksi keluarga dan persediaan material yang minim ditambah tekanan ekonomi saat ini yang membuat tidak sedikit orang tua lebih mementingkan bekerja daripada meluangkan waktunya untuk anak. Sehingga tidak mengherankan apabila di Kota Bekasi terdapat permasalahan sosial yang ditunjukkan dengan adanya 497 anak terlantar, 158 anak nakal, dan 215 pengguna narkoba (BPS Jawa Barat 2010).
Hendarto (2011) penerima pinjaman dari PNPM Mandiri berasal dari keluarga mampu dan kurangnya tenaga pembimbing dalam program tersebut.
Berbagai permasalahan yang dihadapi keluarga miskin membuat fungsi keluarga untuk memberikan stimulasi psikososial anak mengalami keterbatasan. Intervensi psikososial adalah salah satu bentuk dukungan sosial. Kehadiran orang dewasa yang terdidik dan bekerja, yang dapat membina komunitas miskin memberikan dukungan sosial dan model yang dapat dijadikan panutan oleh remaja. Oleh karena itu dipandang penting untuk mengkaji ketahanan keluarga, pengasuhan. intervensi psikososial dan pengaruhnya terhadap perkembangan psikososial remaja pada keluarga miskin.
Secara garis besar, ada beberapa permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu:
1. Adakah hubungan karakteristik remaja, karakteristik keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan , konformitas teman sebaya, dan paparan media dengan perkembangan psikososial remaja?
2. Adakah perbedaan perkembangan psikososial remaja sebelum dan sesudah intervensi psikososial?
3. Adakah pengaruh karakteristik remaja, karakteristik keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan, konformitas teman sebaya, paparan media dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pengaruh ketahanan keluarga, pengasuhan, dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja
Tujuan Khusus:
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Menganalisis hubungan karakteristik remaja, karakteristik keluarga ketahanan keluarga, pengasuhan, konformitas teman sebaya dan paparan media dengan perkembangan psikososial remaja
2. Menganalisis perbedaan perkembangan psikososial remaja sebelum dan sesudah intervensi psikososial
3. Menganalisis pengaruh karakteristik remaja, karakteristik keluarga, ketahanan keluarga, pengasuhan, konformitas teman sebaya, paparan media dan intervensi psikososial terhadap perkembangan psikososial remaja
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Megawangi (2007) menyatakan bahwa keluarga dimiliki sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan sosialisasi anak, serta mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam masyarakat.
Fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1996) menyebutkan ada delapan fungsi keluarga yang meliputi fungsi-fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik yang terdiri atas fungsi-fungsi; (a) keagamaan, (b) sosial, (c) budaya, (d) cinta kasih, (e) perlindungan, (f) reproduksi, (g) sosialisasi dan pendidikan, (h) ekonomi, dan (1) pembinaan lingkungan.
Teori Struktural Fungsional
Levy diacu dalam Megawangi (2005) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi diantaranya adalah 1) Diferensiasi, peran, yaitu alokasi peran atau tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga. 2) Distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota. Misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan antara suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.
Fungsi sosial (konsep peran sosial) menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya. Parsons dan Bales (1955) dan Rice dan Tucker (1986) membagi dua peran orang tua dalam keluarga, yaitu 1) Peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga, 2) Peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan (equilibrium tendency).
antara satu sama lain. Sebaliknya keluarga yang tidak fungsional adalah keluarga yang tidak berfungsi, senantiasa mempunyai masalah seperti tidak puas, kacau balau, tidak menunjukkan sikap kerjasama, individualistik dan selalu pora-poranda. Secara garis besar, keluarga yang tidak fungsional adalah keluarga yang tidak menghormati orang tua maupun yang muda dan tidak memiliki nilai-nilai moral yang baik karena selalu bersikap negatif sepanjang kehidupan.
Saxton (1990) menyatakan, bahwa keluarga berperan dalam menciptakan stabilitas, pemeliharaan, kesetiaan, dan dukungan bagi anggotanya. Namun apabila fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilakukan dengan optimal, maka akan timbul berbagai hal yang negatif baik bagi anggota keluarga itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tanpa ada peran dan fungsi keluarga, maka generasi muda tidak akan mempunyai karakter dan perilaku yang baik di kemudian hari.
Berdasarkan kajian yang telah diuraikan di atas Teori Struktural Fungsional menyangkut urusan aturan, peran, fungsi dan tanggung jawab para anggota keluarga menempatkan orang tua pada fungsi dan peran sebagai pelindung, pemimpin bagi anak-anaknya. Apabila keluarga mempunyai struktur yang kokoh dan menjalankan semua fungsinya dengan optimal, maka akan menghasilkan outcomeyang baik pada seluruh anggota, keluarganya baik secara fisik, sosial dan psikologis.
Ekologi Keluarga
Bronfenbrenner (1979) mengemukakan teori ekologi yang menyatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh sistem interaksi yang kompleks dengan berbagai tingkatan lingkungan sekitarnya. Anak merupakan pusat dari lingkaran, dikelilingi oleh berbagai lingkaran sistem interaksi yang terdiri dari sistem mikro, sistem meso, sistem ekso, dan sistem makro yang satu sama lain saling mempengaruhi.
Sistem meso adalah lingkaran yang ditunjukkan dengan interaksi antar komponen dalam sistem mikro anak. Perkembangan anak amat dipengaruhi oleh keserasian hubungan antar komponen dalam sistem mikronya. Sebagai contoh, hubungan antara rumah dan sekolah, guru dan orang tua. Prinsip utama dari sistem meso adalah semakin kuat dan saling mengisi interaksi antar komponen dalam sistem meso, semakin besar pengaruh dan hasilnya pada perkembangan anak.
Sistem ekso merupakan lingkaran yang menunjukkan sistem sosial yang lebih besar dan anak tidak langsung berperan di dalamnya tetapi interaksi komponen sistem ini seperti dalam bentuk keputusan pada tataran lembaga yang mempunyai hubungan dengan anak berpengaruh terhadap perkembangan anak. Keputusan-keputusan dari tempat kerja orang tua, komite sekolah, atau lembaga perencanaan adalah contoh dari sistem ekso yang dapat memengaruhi anak, baik positif maupun negatif meskipun anak tidak langsung terlibat dalam lembaga-lembaga tersebut. Contoh lain adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang terjadi di lingkungan tempat tinggal anak yang dapat berpengaruh pada kesulitan anak untuk tidur.
Sistem makro adalah lingkaran terluar dari lingkungan anak. Lingkaran ini terdiri dari nila-nilai budaya, hukum dan peraturan perundangan, adat kebiasaan, kebijakan sosial dan lain sebagainya. Seluruh komponen dari sistem ini juga berpengaruh terhadap perkembangan anak. Media massa seperti tayangan TV yang termasuk sistem makro mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap perkembangan anak. Sejalan dengan hal ini, Jack (2000) menyatakan bahwa perkembangan anak dan remaja serta perubahan kehidupan dalam masa dewasa merupakan hasil dari sekumpulan hal yang kompleks dari faktor interaksi yang terjadi pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat.
Perkembangan psikososial berhubungan dengan peran faktor sosial, budaya dan pengalaman individu (Feist & Feist 2006). Hal ini sejalan dengan teori ekologi yang menekankan bahwa seorang anak tidak dianggap terpisah dari lingkungannya melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan di mana dia berada.
Ketahanan Keluarga
penilaian, pemecahan masalah dan mengatasi keterampilan, dan pandangan keseluruhan hidup (McCubbin dan McCubbin 1988).
Ketahanan keluarga menurut Sunarti (2001) kemampuan keluarga untuk mengelola sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seiring dengan masalah yang dihadapi keluarga. Komponen ketahanan keluarga meliputi ketahanan fisik, ketahanan sosial dan ketahanan psikologi keluarga.
Ketahanan keluarga pada keluarga miskin merupakan salah satu kekuatan agar keluarga tersebut mampu menghadapi multi problem (Souse et al. 2006). Keluarga miskin memiliki kecenderungan untuk dihadapkan pada masalah dan tekanan yang sangat besar. Kemampuan keluarga miskin untuk bertahan dalam menghadapi masalah tergantung dari kekuatan keluarga tersebut. Keluarga yang miskin bukan tidak mungkin memiliki ketahanan keluarga yang kuat. Hal ini tergantung dari kesadaran dan kemauan keluarga miskin untuk bangkit dari keterpurukan. Ketahanan keluarga miskin dapat dibangkitkan melalui usaha-usaha para pengembang masyarakat dalam mengintervensi keluarga miskin.
Katahanan Fisik
Ketahanan fisik berkaitan dengan kemampuan ekonomi keluarga, yaitu kemampuan anggota keluarga dalam memperoleh sumberdaya ekonomi dari luar sistem, untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Keluarga akan tahan secara fisik jika terbebas dari masalah ekonomi dan terpenuhinya kebutuhan fisik keluarga. Indikator ketahanan fisik keluarga adalah pendapatan per kapita keluarga yang melebihi dari kebutuhan fisik minimum, dan atau lebih dari satu orang anggota keluarga bekerja dan memperoleh sumberdaya ekonomi melebihi kebutuhan fisik minimum (Sunarti, 2001)
Ketahanan Sosial
Ketahanan sosial merupakan kekuatan keluarga dalam penerapan nilai agama, pemeliharaan ikatan dan komitmen, komunikasi efektif, pembagian peran dan penerimaan peran, penetapan tujuan, serta dorongan untuk maju, yang akan menjadi kekuatan dalam menghadapi masalah keluarga (termasuk masalah perkawinan) dan memiliki hubungan sosial yang sehat. Keluarga akan memiliki ketahanan sosial yang tinggi jika memiliki sumberdaya non fisik yang baik, memiliki mekanisme penanggulangan masalah yang baik, untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Berorientasi pada nilai-nilai agama, efektif dalam berkomunikasi, senantiasa memelihara dan meningkatkan komitmen keluarga, memelihara hubungan sosial, serta memiliki penanggulangan krisis merupakan indikator ketahanan sosial keluarga.
Syarat untuk terwujudnya ketahanan sosial berkaitan dengan optimalisasi fungsi keluarga. Selain itu, kematangan pribadi yang merupakan hasil dari proses perkembangan dan pendidikan, melalui sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai merupakan syarat lain untuk terwujudnya ketahanan sosial (Sunarti 2001).
Ketahanan Psikologis
Kemampuan mengelola emosi dan konsep diri yang baik menjadi kunci dalam menghadapi masalah-masalah keluarga yang bersifat non fisik. Oleh sebab itu, indikator dari ketahanan psikologis adalah anggota memilki konsep diri dan emosi yang positif.
Masalah non fisik seperti konflik dengan suami dan keluarga, serta kehilangan (materi, atau orang terdekat), sebagai stressor, akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis jika individu tidak mampu mengendalikan emosi yang negatif tersebut. Sama halnya dengan ketahanan sosial, syarat utama untuk tercapainya ketahanan psikologis adalah kepribadian yang matang dan kecerdasan emosi dari suami istri (Sunarti 2001).
Pengasuhan
Interaksi yang berlangsung antara anak dengan orang tua dalam bentuk pemberian kasih sayang, pemberian pemenuhan kebutuhan anak, pengarahan dan perlindungan, adalah suatu bentuk pengasuhan. Beberapa ahli menyatakan bahwa pengasuhan seperti sebuah proses interaksi yang terus menerus, seperti yang dikatakan Berns (1997): “parenting involves a continuous of interaction that affects both the parents and the children”.
Parenting adalah tugas yang disandang oleh pasangan suami istri ketika mereka sudah mempunyai keturunan. Parenting tidak sama dengan parenthood. Parenthood menurut shanock yang dikutip oleh Andayani & Koentjoro (2004) adalah masa menjadi orang tua dengan kewajiban memenuhi kebutuhan anak yang selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangannya. Parenting dilain pihak adalah suatu tugas yang berkaitan dengan mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya secara fisik dan psikologis. Parenting ini menurut Shanock dalam Andayani & Koentjoro (2004) adalah suatu hubungan yang intens berdasarkan kebutuhan yang berubah secara pelan sejalan dengan perkembangan anak.
Orang tua berkewajiban memberikan pengasuhan yang baik kepada anaknya. Dalam memberikan pendidikan pada anak, orang tua harus berorientasi pada kasih sayang dan memberikan pengawasan serta dorongan. Pengawasan orang tua harus dikurangi pada masa remaja dini dan lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk melatih pengendalian diri. Mengurangi pengawasan bukan berarti, mengurangi perhatian pada anak karena pada masa remaja kehangatan orang tua, bimbingan dan saran sangat diperlukan (Gunarsa & Gunarsa 2004).
Pengasuhan anak dapat dilakukan dengan beberapa tipe pengasuhan antara lain tipe pengasuhan dari dimensi kehangatan (Warmth Dimension), dimensi emosi (Emotional Dimension), dan dimensi pengarahan (Direction Dimension) (Sunarti 2004).
Dimensi Kehangatan(Warmth Dimension)
Menurut Rohner (1986) diacu dalam Sunarti (2004), pola asuh dari dimensi kehangatan dapat diekspresikan menjadi dalam dua bentuk antara lain: Pertama bentuk penerimaan orang tua (parental acceptance) yaitu berkaitan dengan kehangatan, kasih sayang, kepedulian, perhatian, kenyamanan, pemeliharaan, dukungan dan perwujudan cinta sederhana lainnya yang dirasakan orang tua dan diekspresikan langsung terhadap anak mereka baik secara fisik maupun verbal. Ekspresi fisik berupa pelukan, ciuman, belaian, usapan dan tindakan-tindakan lain yang menunjukkan rasa kasih, sedangkan ekspresi verbal berupa penghargaan, pujian dan pengucapan kata-kata yang baik terhadap anak. Kedua penolakan orang tua (parental rejection) yang merupakan tipe pengasuhan orang tua yang memberikan penolakan terhadap keberadaan anak dengan cara dingin dan kurang kasih sayang (cold and unaffectionate), penyerangan (hostile and aggressive), penyia-nyiaan dan pengabaian (indifference and neglect), dan keyakinan individu mengenai orang tua yang tidak peduli, tidak menghargai, tidak sayang atau tidak cinta (undifferentiated rejected).
Dimensi Emosional(Emotional Dimension)
Gottman dan DeClaire (1997) menyatakan pengasuhan adalah interaksi antara orang tua dan anaknya. Tipe pengasuhan orang tua sangat berpengaruh terhadap emosi anak. Berkaitan dengan beberapa pengasuhan emosial orang tua, Gottman dan DeClaire (1997) membagi tipe pengasuhan emosi kedalam empat kelompok yaitu orang tua mengabaikan, orang tua tidak menyetujui, orang tua laissez-faire, dan orang tua pelatih emosi.
Keempat tipe pengasuhan dimensi emosi dijelaskan oleh Gottman dan DeClaire (1997) sebagai berikut: Orang tua dengan gaya pengabai emosi tidak memiliki kesadaran dan kemampuan mengatasi emosi anak, takut mengalami emosi yang lepas kendali, tidak tahu teknik untuk mengatasi emosi negatif anak, dan percaya bahwa emosi negatif sebagai cerminan buruknya keterampilan pengasuhan. Gaya pengasuhan tidak menyetujui emosi ditunjukkan dengan menyangkal atau meremehkan emosi negatif anak namun tidak menyetujui perbuatan anak. Orang tua dengan gaya laissez-faire sebenarnya menerima ungkapan dan ekspresi emosi anak, namun gagal dalam memberitahukan kepada anak bagaimana mengatasi perasaan yang mereka alami. Berbeda dengan tiga gaya sebelumnya orang tua pelatih emosi menyadari emosi diri dan anaknya, memiliki kemampuan atas kesadaran diri tersebut untuk belajar mensosialisasikan anak.
Dimensi Arahan(Direction Dimension)
Arahan dan bimbingan yang baik membantu anak untuk dapat mengontrol dirinya sendiri, memiliki tanggung jawab, dan membantu anak dalam membuat pilihan yang bijaksana (Sunarti 2004). Povop dan Povop (1997) menjelaskan peran orang tua sebagai pelindung dan penguasa dalam menegakkan peraturan, pemandu dan pembina dalam meningkatkan keterampilan, dan konselor dalam mengarahkan moral. Baumrind (Hetherington dan Parke 1989) lebih menyoroti segi pelimpahan kekuasaan antara orang tua dan anak pada pengasuhan.
mengendalikan yang semata-mata menunjukkan kekuasaan mereka, yang tanpa kehangatan (mengontrol anak dengan peraturan ketat), pengasuhai atau komunikasi dua arah. Penerapan pola asuh ini juga biasanya disertai dengan hukuman fisik. Permisif (permissive) adalah orang tua dalam posisi “lepas tangan”, anak diberi kebebasan penuh untuk bertingkah laku sesuai kehendaknya. Orang tua tidak memberikan hukuman malahan lebih menerima dan menyetujui apa yang menjadi keinginan dan kemauan anak sehingga anak dibiarkan mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik karena pengawasan dari orang tua sendiri longgar. Demokrasi (Authoritative) adalah orang tua tetap memberi peraturan hangat dengan menggunakan penjelasan dan penalaran pada anak. Proses interaksi itu terlihat adanya saling memberi dan menerima antara orang tua dan anak-anak, sehingga anak memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya pada orang tua.
Berdasarkan kajian tiga dimensi pengasuhan menunjukkan bahwa pengasuhan mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Collin, Macobby,Steinberg, Hetherington & Bornstein (2000) menyatakan bahwa pengasuhan memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan anak. Remaja dengan orang tua authoritative menunjukkan perkembangan psikososial yang lebih baik, kompetensi akademik, jauh dari perilaku kenakalan dan terhindar dari simptom somatik (Steinberg et al. dalam Huver et.al. 2010). Orang tua yang permisif yang memberikan sedikit arahan kepada remaja dan membiarkan remaja membuat keputusannya sendiri mendorong terjadinya identity diffusion pada diri remaja (Bernard 1981, Enrightet al. 1980 & Marcia 1980 dalam Santrock 2003). Hasil penelitian Sunarti (2008) semakin tinggi/baik ketahanan keluarga mempraktikkan pengasuhan (dimensi emosi, dimensi arahan, dan lingkungan pengasuhan) yang semakin baik.
Perkembangan Psikososial Remaja
Perkembangan kepribadian individu terdapat beberapa teori, salah satunya adalah teori dari paham psikoanalisis. Sigmund Freud sebagai tokoh utama dalam psikoanalisa bahwa struktur kepribadian terdiri dari id, ego dan superego. Ego adalah bagian eksekutif dari kepribadian yang berusaha menyeimbangkan tuntutan dari id (nafsu) dan superego (nilai-nilai). Berbeda dengan Freud, menurut Erik Erikson ego merupakan kekuatan positif yang menciptakan identitas diri, sebagai sebuah pengertian tentang “aku”. Ego sebagai pusat kepribadian membantu beradaptasi dengan beragam konflik dan krisis kehidupan serta menjaga dari kehilangan individualitas terhadap daya-daya sosial (Feist & Feist 2006).
Erikson membagi rentang kehidupan manusia ke dalam delapan tahap, dimulai pada masa bayi dan berakhir dalam penuaan dan kematian. Masing-masing tahap perkembangan ditandai dengan krisis yang unik atau konflik. Setiap tahap mengandung dilema, dimana orang tersebut ditantang oleh situasi baru dan keadaan. Kegagalan untuk menyelesaikan dilema menunjukkan bahwa orang tersebut mungkin menghadapi beberapa kesulitan di kemudian hari. Resolusi dilema dianggap sebagai gerakan menuju kematangan kontekstual emosional.
Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia” yaitu trust vs mistrust , otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu, inisiatif vs rasa bersalah, produktifitas vs inferioritas, identitas vs kekacauan identitas, keintiman vs keterisolasian, generativitas vs stagnasi dan integritas vs rasa putus asa (Erikson 2010). Feist & Feist (2006) memberikan petunjuk untuk mudah memahami kedelapan tahap perkembangan psikososial Erikson dengan mengerti tujuh prinsip. Pertama, pertumbuhan berjalan menurut prinsip epigenetik, yaitu satu bagian komponen sebelumnya dan memiliki waktunya sendiri untuk muncul namun, tidak pernah menghilangkan sepenuhnya komponen sebelumnya. Kedua, di setiap tahap kehidupan terdapat sebuah interaksi hal-hal yang berlawanan yaitu konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan elemen distonik (konflik). Ketiga, di setiap tahap konflik antara sintonik dan distonik menghasilkan kualitas ego yang disebut Erikson kekuatan dasar (basic strength). Keempat, kekuatan dasar yang terlalu kecil di setiap tahapan akan menghasilkan patologi inti (core pathologi) di tahapan tersebut. Kelima, meskipun Erikson menyebutkan kedelapan tahapan ini sebagai tahap-tahap psikososial, dia tidak pernah melepaskan keberadaan aspek biologis perkembangan manusia.Keenam, peristiwa di tahapan sebelumnya bukan satu-satunya penyebab perkembangan kepribadian berikutnya. Identitas ego dibentuk oleh multiplisitas konflik dan peristiwa-masa lalu, masa kini, dan antisipasi masa depan.Ketujuh, selama tahap perkembangan, khususnya dari masa remaja perkembangan kepribadian dicirikan dengan sebuah krisis identitas, yang disebut Erikson sebuah titik balik. Krisis identitas bukan peristiwa yang membawa bencana melainkan kesempatan untuk mengembangkan sikap penyesuaian diri yang mungkin bersifat adaptif maupun maladaptif (Feist & Feist 2006).
Lima tahap yang pertama dari delapan perkembangan psikososial remaja yaitu trust vs mistrust, otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu, inisiatif vs rasa bersalah, produktifitas vs inferioritas, identitas vs kekacauan identitas.
Trust vs Mistrust(Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada tahun pertama kehidupan. Rasa percaya tumbuh dari adanya perasaaan akan kenyamanan secara fisik dan rendahnya ketakutan serta kecemasan tentang masa depan. Rasa percaya pada masa bayi membentuk harapan sepanjang hidup bahwa dunia adalah tempat yang baik dan menyenangkan untuk hidup (Santrock 2003).
keyakinan bahwa individu dapat memenuhi kebutuhan dan mendapatkan yang mereka inginkan. Inner trust (rasa percaya dalam diri membentuk pondasi yang kukuh untuk masa-masa sulit yang akan datang. Bilamistrustlebih dominan, anak akan memandang dunia tidak ramah dan tidak terduga serta mengalami masalah menjalin hubungan. Bila tidak mengembangkan cukup harapan maka akan menunjukkan antithesis dari harapan yaitu penarikan diri.
Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Tahap perkembangan kedua yang terjadi pada akhir masa bayi dantodller (usia 1-3 tahun). Setelah mengembangkan rasa percaya kepada pengasuhnya, anak mulai menemukan bahwa tingkah lakunya adalah milik mereka sendiri. Anak mulai menampilkan kemandirian (otonomi). Anak menjadi sadar tentang kemauannya sendiri. Kalau anak dikekang atau dihukum terlalu keras anak akan mengembangkan perasaan malu dan ragu-ragu (Erikson dalam Santrock 2003).
Kekuatan dasar kehendak atau kemauan berkembang dari penyelesaian krisis otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Kehendak yang tidak adekuat akan terekspresikan sebagai kompulsi sebagai patologi inti masa kanak-kanak awal. Kehendak yang terlalu sedikit dan kompulsisivitas yang terlalu banyak akan terbawa ke dalam usia bermain sebagai lemahnya tujuan, dan ke dalam usia sekolah sebagai kurangnya rasa percaya diri (Feist & Feist 2006).
Inisiatif vs Rasa Bersalah
Tahap ketiga ini terjadi pada`masa sekolah. Ketika anak prasekolah memasuki dunia sosial yang lebih luas, mereka lebih menghadapi tantangan dibandingkan ketika masa bayi. Tingkah laku aktif dan terarah diperlukan untuk mengatasi tantangan ini. Anak diminta bertanggungjawab atas badannya, tingkah lakunya, dan permainannya. Mengembangkan rasa tanggungjawab akan meningkatkan inisiatif (Santrock 2003).
Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan mungkin timbul pada anak yang tidak bertanggungjawab dan anak yang dibentuk menjadi pencemas. Namun Erikson dalam Santrock (2003) percaya bahwa kebanyakan rasa bersalah dikompensasikan dengan perasaan berprestasi.
Anak yang belajar mengatur kedua dorongan yang bertentangan (inisiatif dan rasa bersalah) akan mengembangkan sebuah kebajikan yaitu tujuan, keberanian untuk membayangkan dan mengejar sebuah tujuan tanpa dikekang oleh perasaan bersalah atau ketakutan terhadap hukuman (Erikson dalam Papalia et al. 2009).
Produktifitas vs Inferioritas
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Pada masa ini pertumbuhan sosial besar-besaran. Produktifitas adalah sebuah kegigihan yang produktif, sebuah keinginan untuk tetap sibuk dengan sesuatu dan menyelesaikan sebuah pekerjaan. Menurut Erikson (Papaliaet al. 2009) faktor penentu utama harga diri adalah pandangan anak mengenai kemampuan mereka untuk pekerjaan yang produktif.
aturan-aturan kerjasama. Jika dapat belajar melakukan hal-hal dengan baik mereka akan mengembangkan perasaan produktif. Namun bila tidak akan berkembang perasaan inferioritas (Feist & Feist 2006).
Konflik produktifitas versus inferioritas anak usia sekolah mengembangkan kekuatan dasar kompetensi, yaitu kepercayaan diri menggunakan kemampuan fisik dan kognitif untuk menyelesaikan tugas. Kompetensi menjadi dasar bagi partisipasi kooperatif dalam kehidupan dewasa yang produktif (Erikson dalam Feist & Feist 2006). Selanjutnya menurut Erikson jika perjuangan antara produktifitas dan inferioritas terlalu mengarah kepada inferoritas atau produktifitas yang berlebihan, anak-anak akan cenderung mudah menyerah dan mundur ke tahap sebelumnya. Mereka terlalu asyik dengan fantasi genitalnya atau menghabiskan waktu dalam permainan yang tidak produktif. Regresi ini disebut kelembaman/inersia.
Orang tua sangat mempengaruhi keyakinan tentang kompetensi. Dalam suatu penelitian longitudinal terhadap 514 anak kelas menengah di AS, keyakinan orang tua mengenai keahlian anak mereka dalam matematika dan olahraga berhubungan erat dengan keyakinan anak. Ini terutama mengenai keyakinan ayah mengenai keahlian olahraga (Fredericks & Eccles 2002 dalam Papalia et al. 2009).
Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolescence (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencarian identitas ego mencapai sebuah klimaks selama masa remaja ketika remaja berjuang untuk menemukan siapa mereka. Dalam pencarian ini remaja menggunakan beragam gambar-gambar dirinya yang sudah diterima atau ditolak sebelumnya. Menurut Erikson (Feist & Feist 2006) identitas muncul dari dua sumber: Pertama, afirmasi atau penolakan remaja terhadap identifikasi kanak-kanak.Kedua, konteks historis dan sosial mereka yang mendukung konformitas bagi standar-standar tertentu. Anak muda sering kali menolak standar orang tua, lebih menyukai penilaian teman sekelompok atau geng sebayanya.
Kebingungan identitas adalah sindrom masalah yang mencakup gambar gambar diri yang terpecah belah, sebuah ketidakmampuan membangun keintiman perasaan kemendesakan waktu, kurangnya konsentrasi pada tugas-tugas yang diisyaratkan dan penolakan terhadap standar keluarga atau komunitas (Feist & Feist 2006). Jika sanggup mengembangkan proporsi identitas dan kebingungan identitas dengan tepat maka akan mucul kekuatan dasar yaitu kesetiaan (fidelity) atau keyakinan penuh pada prinsip ideologi tertentu, kemampuan untuk memutuskan, bagaimana bersikap, percaya dengan rekan-rekan remaja atau orang dewasa yang memberikan nasihat tentang tujuan dan aspirasi serta keyakinan pada pilihan mengenai pekerjaan yang cocok (Feist & Feist 2006).
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan maka setiap tahap perkembangan psikososial memiliki indikator pencapaian dan aspek yang mempengaruhi. Penelitian Cooper (1985) mengungkapkan bahwa pembentukan identitas didorong oleh hubungan keluarga yang individual, yaitu yang mendukung remaja untuk mengembangkan pandangannya sendiri, dan juga hubungan yang mengikat yang memberikan landasan yang aman bagi remaja untuk mengekplorasi dunia sosial. Hauser & Bowlds (1990) memberikan tekanan pada proses keluarga yang mendorong proses perkembangan identitas remaja. Gaya interaksi keluarga yang memberikan hak pada remaja untuk bertanya dan untuk menjadi seseorang yang berbeda, dalam suatu konteks dukungan dan mutualisme, mendorong pola perkembangan identitas yang sehat.
Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1980), sedangkan secara psikologis,adolescencemempunyai arti yang lebih luas, dimana dijelaskan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada di tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Sedangkan menurut Chaplin (2001) remaja adalah periode antara pubertas dan kedewasaan. Usia yang diperkirakan 12 sampai 21 tahun untuk anak gadis, yang lebih cepat menjadi matang daripada anak laki-laki, dan antara 13 hingga 22 tahun bagi anak laki-laki.
Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduksi. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai melepaskan diri secara emosional dari orang dewasa (Clarke&Friedman dalam Agustiani 2006).
Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
Dimana remaja pria bersifat maskulin dan remaja wanita bersifat feminin. Ketiga memperoleh kebebasan emosional dari orang tua / orang dewasalainnya. Remaja diharapkan tidak memiliki ketergantungan emosional seperti dalam masa kanak-kanak. Karena jika remaja masih memiliki perasaan bergantung, hal ini tentu saja akan menimbulkan kesukaran-kesukaran baginya dalam masa dewasa. Keempat memperoleh kesanggupan berdiri sendiri dalam hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi / keuangan. Remaja diharapkan dapat belajar untuk terlepas dari bantuan ekonomis orang tua dengan mendapatkan pekerjaan (jangka pendek) dan mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan kerja tetap (jangka panjang). Dan remaja diharapkan memiliki keterampilan dalam pengaturan pengeluaran uang. Kelima mendapatkan perangkat nilai-nilai hidup dan falsafah hidup. Remaja diharapkan memiliki standar-standar pikiran, sikap-perasaan, dan perilaku yang dapat menuntun dan mewarnai berbagai aspek kehidupannya dalam masa dewasa dan masa selanjutnya.
Remaja dan teman sebaya
Berkaitan dengan hubungan sosial, remaja harus menyesuaikan diri dengan orang di luar lingkungan keluarga, seperti meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya (peer group). Teman sebaya adalah anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock 2003). Horrocks dan Benimoff (Hurlock 1994) berpendapat bahwa kelompok teman sebaya adalah suatu kelompok yang terdiri dari remaja yang mempunyai usia, sifat, dan tingkah laku yang sama dan ciri-ciri utamanya adalah timbul persahabatan.
Kuatnya pengaruh kelompok sebaya terjadi karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok. Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang. Remaja yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih banyak tergantung pada aturan dan norma yang berlaku dalam kelompoknya, sehingga remaja cenderung mengatribusikan setiap aktivitasnya sebagai usaha kelompok, bukan usahanya sendiri (Monkset al.2004) . Dalam kondisi seperti ini, dapat dikatakan bahwa motivasi untuk menuruti ajakan dan aturan kelompok cukup tinggi pada remaja, karena menganggap aturan kelompok adalah yang paling benar serta ditandai dengan berbagai usaha yang dilakukan remaja agar diterima dan diakui keberadaannya dalam kelompok.
meningkat tajam pada usia 15 tahun, sehingga pada usia ini jika standar atau norma kelompok tidak sesuai dengan norma dan tuntutan sosial, maka peluang remaja yang mudah terpengaruh teman sebaya akan semakin kecil untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Remaja dan Media
Televisi dan media lain perkembangan selama 30 tahun terakhir memiliki pengaruh yang lebih besar pada remaja. Kemampuan persuasif televisi ternyata mengejutkan. Seiring dengan perkembangannya, banyak remaja sekarang menghabiskan lebih banyak waktu di depan televisi daripada dengan orang tua mereka maupun di dalam kelas. Radio, kaset, musik rock, dan video musik adalah media-media lain yang memiliki pengaruh penting di dalam hidup banyak remaja (Santrock 2003).
Fungsi dan kegunaan media bagi remaja menurut Arnett (1994) antara lain sebagai hiburan, mendapatkan informasi terutama topik yang enggan dibicarakan orang tua, sensasi, menanggulangi kesulitan dan mengurangi kelelahan dan ketidakbahagiaan, model peran jenis kelamin dan untuk mendapatkan jatidiri budaya orang muda. Apabila jumlah waktu yang dihabiskan untuk suatu kegiatan tersebut maka tidak ada keraguan bahwa media massa memainkan peranan penting di dalam kehidupan remaja (Fine, Mortimer & Roberts dalam Santrock 2003).
Kaitan remaja dengan media yang paling banyak dibicarakan adalah pengaruh televisi dengan tingkat kekerasan remaja. Seperti yang diungkapkan Comstock & Paik 1991, Condry 1989, Eron 1993, Gerbneret al. (Santrock 2003) menyimpulkan bahwa kekerasan TV dapat mempengaruhi perilaku agresif atau antisosial anak dan remaja.
Intervensi Psikososial
Komposisi sebuah lingkungan miskin di sekitar tempat tinggal dapat mempengaruhi perkembangan anak. Faktor yang paling kuat adalah pendapatan per kapita dan modal sosial bahwa kehadiran orang dewasa yang terdidik dan bekerja, yang dapat membina basis ekonomi komunitas tersebut serta memberikan dukungan sosial dan model yang dapat dijadikan panutan oleh anak (Black & Khirisnakumar 1998; Brooks-Gunn et al. 1997; Leventhal & Brooks-Gunn 2000 yang diacu oleh Papaliaet al.2009). Conrad dan Novick 1996 yang diacu Sunarti (2007) mengembangkan atau menggunakan model ekologi keluarga sebagai pendekatan dan praktik dukungan sosial (social support) bagi keluarga. Dukungan sosial langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan orang tua, integritas keluarga, interaksi orang tua-anak, serta perkembangan dan perilaku anak (Dunst dan Trivette 1988 dalam Sunarti 2007).
teknik yang bertujuan untuk mengurangi tekanan psikososial, dengan mengurangi kecemasan dan meningkatkan kematangan dan kegiatan sosial (Bessell & Amoss 2007). Jenis program intervensi psikososial sangat beragam sesuai dengan tujuan. Jenis-jenis intervensi psikososial antara lain, pengembangan kepribadian remaja, pelatihan keterampilan psikologik, mengurangi kekerasan dan agresi, meningkatkan perilaku interpersonal,post traumatic stress disorderdan lain-lain.
Menurut Goldstein 1981 (Ramdhani 1993) prinsipnya pelatihan keterampilan psikologik ini dapat dilaksanakan melalui 4 tahap, yaitu: (1) Modelling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara spesifik, detil, dan sering. (2) Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan topik interaksi yang diperankan model. (3) Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik ini harus diberikan segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu seberapa baik ia menjalankan langkah-langkah pelatihan. (4) Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari. Pelatihan pengembangan kepribadian dapat dilakukan dengan cara bermain peran, menirukan model yang diperankan video, menirukan model yang diperankan teman sebaya, dan setting in-vivo(Bulkeley dan Cramer, 1990).
KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritis struktural fungsional yang melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang seimbang dan harmonis dan berkelanjutan. Konsep struktur meliputi bagian-bagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir. Pendekatan struktural fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat.
Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, serta kemampuan keluarga dalam pengelolaan, masalah dan stress. Ketahanan keluarga meliputi tiga komponen yaitu ketahanan fisik, sosial dan psikologi. Ketahanan fisik keluarga berkaitan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Ketahanan fisik keluarga akan menentukan daya beli rumah tangga, hygiene dan sanitasi lingkungan rumah. Daya beli rumah tangga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pemenuhan kebutuhan keluarga. Sedangkan ketahanan sosial dan psikologi sangat mendukung proses kepribadian pasangan suami istri yang akhirnya akan berpengaruh pada proses pengasuhan anak.
Remaja yang memiliki orang tua yang demokratis mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan keluarga, akan lebih cepat mencapaiidentity achievement. Orang tua yang otokratis akan mengontrol tingkah laku remaja tanpa memberi suatu kesempatan untuk mengekspresikan pendapat, mendorong terjadinya identity foreclosure pada remaja. Orang tua permisif yang memberikan sedikit arahan kepada remaja dan membiarkan remaja membuat keputusannya sendiri mendorong terjadinyaidentity diffusionpada diri remaja.
Pembentukan identitas didorong oleh hubungan keluarga yang individual, yaitu yang mendukung remaja untuk mengembangkan pandangannya sendiri, dan juga hubungan yang mengikat, memberikan landasan yang aman bagi remaja untuk mengekplorasi dunia sosial. Gaya interaksi keluarga yang memberikan hak pada remaja untuk bertanya dan untuk menjadi seseorang yang berbeda, dalam suatu konteks dukungan dan mutualisme, mendorong pola perkembangan identitas yang sehat.
Lingkungan yang lebih luas adalah interaksi remaja dengan teman sebaya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktunya bersama teman sebaya, khususnya dengan teman dekat atau kelompok-kelompok kecil dibandingkan dengan orang tua, saudara, atau orang dewasa yang lain. Remaja usia belasan tahun ini menghadapi tekanan untuk mengikuti semua ketentuan-ketentuan dari kelompok dan akan menanggung resiko diasingkan apabila mereka gagal untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut. Konformitas terhadap kelompok teman sebaya dalam perilaku anti sosial meningkat tajam pada usia 15 tahun, sehingga pada usia ini jika standar atau norma kelompok tidak sesuai dengan norma dan tuntutan sosial, maka peluang remaja yang mudah terpengaruh teman sebaya akan semakin kecil untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik.
yang dihabiskan untuk bahwa media massa m
Keterbatasan membutuhkan dukun sosial. Intervensi psik orang dewasa yang memberikan dukung remaja. Intervensi ada pendekatan model ekol
Gambar 2. K da pe
untuk suatu kegiatan tersebut akan memainkan a mempengaruhi kehidupan remaja.
n keluarga miskin dalam menjalank ungan eksternal berupa dukungan ekonomi sikososial adalah salah satu bentuk dukungan s
g terdidik dan bekerja, dapat membina kom dukungan sosial dan model yang dapat dijadika
adalah salah satu dukungan formal yang dibut ekologi keluarga.
Kerangka pemikiran ketahanan keluarga, pe dan intervensi psikososial, serta pengaruhnya perkembangan psikososial remaja pada keluarg
n peranan penting
nkan fungsinya i dan dukungan sosial. Kehadiran komunitas miskin kan panutan oleh dibutuhkan dalam
METODE PENELITIAN
Disain Penelitian
Disain penelitian ini adalah Control Group Pretest – Posttest Design (Isaac,S & W.B. Michael 1990) disebut sebagai dengan modifikasi pemilihan kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan dengan quasi-eksperimental sesuai dengan kerangka contoh yang ditentukan.
Tabel 1 Control Group Pretest – Posttest Design
Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test
Perlakuan T1 X T2
Kontrol T1 - T2
Keterangan: T1=perkembangan psikososial awal pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol, T2=perkembangan psikososial setelah
perlakuan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, X= perlakuan intervensi perkembangan psikososial
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Bekasi dengan dua pusat berkumpulnya remaja pada keluarga miskin berdasarkan data penerima Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Bapeda Kota Bekasi tahun 2010 yaitu di kelurahan Margahayu Kecamatan Bekasi Timur dan di Kelurahan Harapan Jaya di Kecamatan Bekasi Utara. Lokasi penelitian aksi dipilih secara sengaja (purposive) dengan maksud untuk keterjaminan pemenuhan aktivitas dan agenda penelitian yang membutuhkan intensitas yang tinggi. Waktu Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret sampai bulan Oktober 2012. Uji coba instrumen dan modul intervensi psikososial dilaksanakan pada bulan Maret-April. Databaselinediambil pada akhir bulan Mei, pelaksanaan eksperimen dilakukan pada bulan Juni sampai Juli, selanjutnya pengambilan dataendlinedilakukan pada akhir bulan Agustus.
Subyek Penelitian
Populasi contoh dalam penelitian ini adalah remaja yang berasal dari keluarga miskin yang tinggal di Kota Bekasi. Remaja yang dipilih adalah remaja yang berusia antara 13 – 18 tahun. Pengambilan contoh dilakukan secara acak sederhana dari dua daerah yang telah ditetapkan. Jumlah contoh di daerah Kelurahan Harapan Jaya 54 orang dan di Kelurahan Margahayu 50 orang. Jumlah contoh seluruhnya berjumlah 104 orang remaja. Setiap subyek yang terpilih diberikan surat kesediaan untuk menjadi responden penelitian yang diketahui oleh tokoh wilayah setempat (ustaz, ketua RT atau ketua RW). Kerangka penarikan contoh dijelaskan pada Gambar 3.