FISIOLOGI TOLERANSI SORGUM (
Sorghum bicolor
(L.)
Moench) TERHADAP DEFISIENSI FOSFOR
DI TANAH MASAM
TRI LESTARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul „Fisiologi Toleransi Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) terhadap Defisiensi P di Tanah Masam‟ adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Tri Lestari
RINGKASAN
TRI LESTARI. Fisiologi Toleransi Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) terhadap Defisiensi P di Tanah Masam. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE, TRIKOESOEMANINGTYAS dan SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Sorgum merupakan tanaman yang toleran terhadap kekeringan, namun jumlah varietas yang toleran terhadap tanah masam dan defisiensi P masih sangat terbatas. Untuk mencapai tujuan pengembangan sorgum di lahan kering bertanah masam diperlukan upaya mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi pada kondisi agroekologi lahan kering bertanah masam. Strategi untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lahan marjinal adalah melalui program pemuliaan tanaman yang didukung oleh pemahaman tentang aspek fisiologi adaptasi tanaman. Aspek fisiologi meliputi pengelolaan hara P dalam meningkatkan toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman aluminium dapat menjadi solusi untuk masalah ini.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang mekanisme fisiologi toleransi sorgum terhadap defisiensi P ditanah masam. Evaluasi awal dilakukan melalui verifikasi toleransi terhadap genotipe-genotipe sorgum di tanah masam. Tujuan khususnya adalah (1) menjelaskan keragaan beberapa genotipe sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam; (2) mendapatkan genotipe sorgum toleran dan peka terhadap P tersedia rendah di tanah masam; (3) menjelaskan tentang efisiensi penyerapan dan penggunaan P pada kondisi P rendah di tanah masam; dan (4) menjelaskan peran P dalam meningkatkan toleransi tanaman sorgum cekaman aluminium di media kultur hara.
Percobaan verifikasi toleransi terhadap genotipe-genotipe sorgum di tanah masam dilaksanakan di kebun petani Desa Bagoang Jasinga, Kabupaten Bogor mulai bulan Maret 2012 sampai Juli 2012. Percobaan untuk mengamati keragaan genotipe sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam menggunakan tanah masam dari Jasinga dilaksanakan di Rumah Kaca University Farm IPB Cikabayan Bogor bulan Juli 2012 sampai Desember 2013. Percobaan untuk pengamatan peran P dalam meningkatkan toleransi tanaman sorgum cekaman aluminium di media kultur hara dilaksanakan di tiga lokasi, media kultur hara di Rumah Kaca University Farm IPB Cikabayan Bogor, laboratorium kultur jaringan 3 Departemen AGH Faperta IPB dan laboratorium Balai Besar Pasca Panen Cimanggu Bogor bulan Januari 2014 sampai Nopember 2014.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan grafik biplot genotipe x karakter untuk menunjukkan genotipe toleran adalah genotipe Numbu, Watar Hammu Putih (WHP) dan PI-10-90-A, sedangkan genotipe peka adalah PI-150-21-A, PI-5-193-C, PI-150-20-A dan UPCA-S1 di tanah masam dan P tersedia rendah. Hasil penelitian berdasarkan nilai indeks sensitivitas (SSI) jumlah karakter toleran panjang akar menunjukkan bahwa genotipe Numbu merupakan genotipe toleran dan genotipe WHP merupakan genotipe moderat sedangkan genotipe PI-10-90-A, PI-150-20-A, PI-150-21-A, UPCA-S1 dan PI-5-193-C merupakan genotipe peka terhadap cekaman Al di media kultur hara.
aluminium di tanah masam lebih tinggi dari genotipe UPCA-S1 (peka). Hasil kajian fisiologi menunjukkan bahwa penentu keefisienan P suatu genotipe sorgum dalam keadaan tercekam aluminium dan defisiensi P adalah efisiensi penggunaan P bukan efisiensi serapan P.
Pemberian P dapat meningkatkan toleransi sorgum terhadap cekaman aluminium, yang ditunjukkan oleh pengurangan pada penghambatan panjang akar oleh aluminium, dimana peran P lebih efektif pada genotipe toleran Numbu. Pemberian P menurunkan akumulasi aluminium pada jaringan akar. Hal ini ditunjukkan oleh intensitas pewarnaan hematoksilin yang lebih ringan, terutama pada Numbu. Cekaman aluminium meningkatkan sekresi asam oksalat pada kedua genotipe sorgum. Diduga P dapat menurunkan sekresi asam oksalat pada akar kedua genotipe tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa peran P dalam peningkatan toleransi sorgum terhadap aluminium mungkin berkaitan dengan penghambatan absorpsi aluminium ke dalam jaringan akar, walaupun mekanismenya belum diketahui.
Untuk itu diperlukan penelitian untuk memahami mekanisme efisiensi penyerapan dan penggunaan P yang didukung oleh pemahaman tentang aspek fisiologi dari sifat adaptasi terhadap tanah masam pada tanaman sorgum. Pemahaman tentang mekanisme adaptasi dan aspek fisiologi dapat membantu meningkatkan efektivitas seleksi genotipe-genotipe sorgum toleran tanah masam. Penelitian ini bermanfaat untuk program pemuliaan sebagai karakter seleksi dalam pengembangan tanaman sorgum di tanah masam.
SUMMARY
TRI LESTARI. Tolerance Physiology of Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) to Phosphorus Deficiency in Acid Soil. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE, TRIKOESOEMANINGTYAS dan SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Sorghum is a crop that is tolerant to drought, but the number of varieties that are tolerant to acid soils and deficiency P is still very limited. To achieve the goal of developing dryland sorghum in earthy are needed to develop sorghum varieties that adaptation to the landless upland agro-ecological conditions acid soil. Strategies to increase crop productivity on marginal lands is through plant breeding program that is supported by an understanding of the physiological aspects of plant adaptation. Physiological aspects include phosphorus nutrient management in improving the sorghum crop tolerance to aluminum stress can be a solution to this problem.
The general objective of this study was to obtain sorghum genotypes that can adaptation and production in acid soils and phosphorus deficiency. Initial evaluation is done through the verification tolerance of sorghum genotypes in acid soils. The specific objective is (1) Explain the performance of sorghum genotypes to phosphorus deficiency in acid soil; (2) Getting sorghum genotypes tolerant and sensitive to phosphorus deficiency in acid soil; (3) Explain the efficiency of absorption and utilization of P (EPP) on the conditions of low phosphorus in acid soil; (4) Explain the role of phosphorus in improving sorghum plant stress tolerance aluminum in nutrient culture media.
Experiments verification tolerance sorghum genotypes in acid soils held in the garden of the village farmers Bagoang Jasinga, Bogor from March 2012 until July 2012. Performance of genotypes sorghum to phosphorus deficiency in acid soils using acid soil of Jasinga in Greenhouse University Farm IPB Cikabayan Bogor in July 2012 until December 2013. The role of phosphorus in improving sorghum plant stress tolerance aluminum in nutrient culture media held in three locations, the nutrient culture medium at the University Farm Greenhouse Cikabayan IPB Bogor, Tissue Culture Laboratory 3 AGH Department of Agriculture Faculty of IPB and laboratories Balai Besar Pasca Panen Cimanggu Bogor in January 2014 to November 2014.
The results obtained in this study were genotype biplot graphs to show the characters x genotype tolerant genotype Numbu, Watar Hammu White (WHP) and 10-90-A, while the sensitive genotype is 150-21-A, 5 -193-C, PI-150-20-A and UPCA-S1 in acid soils and low P availability. The results based on the value of the sensitivity index (SSI) number of characters tolerant root length showed that genotype Numbu a tolerant genotype and genotype WHP is a moderate genotype genotypes PI-10-90-A, PI-150-20-A, PI-150-21 -A, UPCA-S1 and PI-5-193-C is sensitive to stress genotype Al in nutrient culture media.
phosphorus is not the efficiency of phosphorus use efficiency of phosphorus uptake.
Provision of phosphorus may increase the tolerance of sorghum to stress aluminum, which is demonstrated by the inhibition of root length reduction by aluminum, where the role of phosphorus is more effective at Numbu tolerant genotypes. Giving phosphorus decrease the accumulation of aluminum in root tissue. This is demonstrated by hematoxylin staining intensity lighter, especially at Numbu. Aluminum stress increases the secretion of oxalic acid in both sorghum genotypes. This phosphorus can reduce the secretion of oxalic acid on the roots of both genotypes. This fact shows that the role of P in improving sorghum tolerance to aluminum may be associated with inhibition of absorption of aluminum into the root tissue, although the mechanism is not yet known.
For that research is needed to understand the mechanisms of absorption efficiency and the use of phosphorus which is supported by an understanding of the physiological aspects of the nature of adaptation to acid soils in sorghum. An understanding of the mechanisms of adaptation and physiology aspects can help increase the effective of selection sorghum genotype tolerant of acid soil. The objective this study for breeding research program as character selection in sorghum plant development in acid soil.
Keywords: sorghum, genotype tolerant and sensitive, Al stress, role of P
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
FISIOLOGI TOLERANSI SORGUM (
Sorghum bicolor
(L.)
Moench) TERHADAP DEFISIENSI FOSFOR
DI TANAH MASAM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr Ir Suwarto, MSi 2. Dr Desta Wirnas, SP.,MSi Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak tahun 2012 selama 3 tahun memperoleh informasi tentang mekanisme eksternal dan internal adaptasi sorgum terhadap defisiensi P ditanah masam dengan judul Fisiologi Toleransi Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) terhadap Defisiensi P di Tanah Masam.
Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung di bawah bimbingan Bapak Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr selaku ketua komisi pembimbing Ibu Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc dan Ibu Dr Shinto Wahyuning Ardie, SP., MSi selaku anggota komisi pembimbing. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus atas ilmu yang bermanfaat, motivasi, nasihat, kesabaran dan waktu yang telah diluangkan dalam mengarahkan dan membimbing penulis mulai dari perencanaan, penyusunan dan penyelesaian disertasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Suwarto, MSi, Ibu Dr Desta Wirnas SP.,MSi, Bapak Prof (R) Dr Ir Soeranto Human, MSc sebagai penguji luar komisi, atas sumbangsih saran dan perbaikan untuk penyempurnaan disertasi ini.
Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi AGH IPB dan seluruh staf pengajar di Departemen AGH Faperta IPB. Ucapan terimakasih kepada Rektor Universitas Bangka Belitung, Bapak Prof Dr Suharsono dan Ibu Dr Utut Widyastuti yang telah memberikan rekomendasi tugas belajar. Ucapan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas bantuan beasiswa BPDN tahun 2011 serta dana Penelitian Hibah Doktor tahun 2014 kepada penulis.
Ungkapan terimakasih yang sangat mendalam kepada kedua orangtuaku dan saudaraku Tati Hadiati, Ari Masdan dan ucapan terimakasih yang mendalam terkhusus kepada suamiku tercinta Fathurrohman dan anakku tersayang Elfath, Aiz dan Teri atas doa yang ikhlas, dukungan kasih sayang, pengorbanan dan kesabaran yang tak terhingga selama penulis menempuh pendidikan.
Ucapan terima kasih kepada semua staf rumah kaca Cikabayan University Farm IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mbak Mawi, mbak Anggi, Eqi, pak Ucup di lab pemuliaan tanaman, Mas Joko dan pak Yudi di lab Mikroteknik, Ibu Dr Dini Dinarti dan teh Iif di lab Kultur jaringan 3 AGH, Mbak Ismi dan pak Agus di lab Pasca Panen, Mbak Nurdianah di JAI, Mbak Neng, Bu Mimin, pak Udin di Departemen AGH yang telah banyak membantu.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada teman seperjuangan AGH 2011+: Mira Ariyanti, Yeni Asbur, Ridwan, Basuni, Bachtiar, Devi Rusmin dan teman berdiskusi Yuli Sulistyowati, Arvita Sihaloho, Aziz Natawijaya, Kartika NT serta temen dikostan Idha Susanti, Hanum, Herlina, Tatik dan teman-teman pascasarjana IPB yang tidak disebutkan satu persatu untuk persahabatan dan kebersamaan dalam berbagi ilmu, berbagi suka maupun duka.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Bogor, Juli 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN v
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Kebaruan Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 6 Pemanfaatan Tanaman Sorgum 6
Morfologi dan Fisiologi Sorgum 6
Karakteristik Tanah Masam 7
Adaptasi Tanaman terhadap Ketersediaan P di Tanah Masam 8
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Defisiensi P 10
Peranan Asam Organik dalam Mengkelat Aluminium 11
3 KERAGAAN GENOTIPE SORGUM PADA BERBAGAI TINGKAT KETERSEDIAAN P DAN CEKAMAN ALUMINIUM 13 Abstrak 13
Abstract 13
Pendahuluan 14
Metode Penelitian 15
Hasil dan Pembahasan 18
Simpulan 29
4 PENYERAPAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN P DALAM KONDISI DEFISIENSI P YANG TERCEKAM ALUMINIUM 30 Abstrak 30
Abstract 30
Pendahuluan 31
Metode Penelitian 32
Hasil dan Pembahasan 34
Simpulan 41
5 PERANAN P DALAM MENINGKATKAN TOLERANSI TANAMAN SORGUM TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM 42 Abstrak 42
Abstract 42
Pendahuluan 43
Metode Penelitian 43
Hasil dan Pembahasan 45
6 PEMBAHASAN UMUM 52
7 SIMPULAN DAN SARAN 57
Simpulan 57
Saran 57
DAFTAR PUSTAKA 58
LAMPIRAN 63
DAFTAR TABEL
1. Keragaan genotipe sorgum terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah tajuk, bobot basah akar dan padatan total terlarut pada saat panen 19
2. Keragaan genotipe sorgum terhadap karakter panjang malai, bobot malai, bobot biji per tanaman, bobot 1000 biji dan indeks panen pada saat
panen 20
3. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh genotipe, perlakuan taraf P dan
interaksinya terhadap pertumbuhan sorgum 22
4. Tinggi tanaman, jumlah daun bobot basah akar dan bobot kering akar sorgum umur 9 MST pada kondisi defisiensi P di tanah masam. 23
5. Pengaruh genotipe dan perlakuan taraf P terhadap bobot basah tajuk dan
bobot kering tajuk di tanah masam 25
6. Seleksi genotipe toleran terhadap panjang akar berdasarkan nilai SSI. 27
7. Identifikasi genotipe toleran berdasarkan kandungan klorofil a 28
8. Identifikasi genotipe toleran berdasarkan kandungan klorofil b 28
9. Identifikasi genotipe toleran berdasarkan kandungan klorofil total 28
10. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh genotipe, perlakuan taraf P dan interaksinya terhadap bobot tanaman, kadar P dan EPP sorgum 34
11. Nilai rataan pengaruh perlakuan terhadap bobot kering, kadar P, Efisiensi penggunaan P (EPP) sorgum fase bibit umur 14 HST 35
12. Rataan laju serapan spesifik sorgum yang ditumbuhkan pada larutan
hara yang bercekaman Al selama 14 hari 35
13. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh kondisi cekaman, genotipe dan interaksinya terhadap pertumbuhan sorgum serta efisiensi penggunaan P
dalam rhizotron. 37
14. Pengaruh perlakuan kapur dan P terhadap tinggi tanaman, bobot kering total, total serapan P dan efisiensi penggunaan P sorgum toleran dan
peka tanah masam. 37
15. Pengaruh cekaman dan genotipe terhadap panjang akar sorgum 45
16. Akumulasi asam organik akibat cekaman Al dan P pada akar sorgum
Numbu dan UPCA-S1 49
17. Sekresi asam oksalat akibat cekaman Al dan P pada akar sorgum Numbu
dan UPCA-S1 49
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir penelitian 5
2 Pertanaman sorgum di lokasi penelitian pada umur 8 MST (A) dan pada umur 14 MST (B) di Desa Bagoang Jasinga, Bogor 18 3 Fenotipe malai tujuh genotipe sorgum pada saat panen (14 MST) 20 4 Grafik Biplot genotipe x karakter untuk menunjukkan karakter dan
genotipe toleran 21
5 Interaksi genotipe sorgum terhadap perlakuan kapur dan dosis P pada
peubah jumlah daun 38
6 Penampilan sorgum Numbu (kiri; toleran) dan UPCA (kanan; peka) pada kondisi tidak diberi kapur (atas) dan diberi kapur (bawah) 40 7 Respon genotipe sorgum 14 HSP terhadap cekaman Al Numbu-toleran 46 8 Potongan melintang akar sorgum Numbu dan UPCA-S1 setelah
mendapatkan cekaman Al 48 jam dengan pewarnaan hematoksilin pada
konsentrasi 0 mM dan 0.1 mM KH2PO4. 47
9 Ujung akar sorgum Numbu dan UPCA-S1 setelah mendapatkan cekaman Al 48 jam dengan pewarnaan reagant shiff‟s pada konsentrasi
dosis P: 0 mM dan 0.1 mM KH2PO4. 48
DAFTAR LAMPIRAN
1 Sifat kimia tanah pada lokasi penelitian di tanah masam milik petani Desa Bagoang Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor Barat 64 2 Hasil Sifat kimia tanah dari Desa Bagoang Jasingan Bogor pada
percobaan menggunakan polibag dan rhizotron di Cikabayan 65
3 Dosis P berdasarkan kurva erapan langmuir 66
4 Data Iklim di Jasinga Bogor tahun 2012 67
5 Analisa asam organik 68
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan pertanian pada lahan kering masam (ultisols) di Indonesia merupakan tantangan sekaligus peluang yang paling memungkinkan untuk meningkatkan ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan di Indonesia. Tahun 2011 kebutuhan beras Indonesia 130-140 kg kapita-1 tahun-1 tertinggi di Asia, sedangkan orang Asia lainnya hanya 65-70 kg kapita-1 tahun-1. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan diversifikasi pangan selain beras (BPS 2012).
Salah satu tanaman pangan non beras yang telah diidentifikasi sangat cocok untuk dikembangkan di Indonesia adalah sorgum. Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan tanaman pangan yang banyak dibudidayakan di seluruh dunia dan berpotensi sebagai penghasil 5 F (Food-Feed-Fuel-Fiber-Fertilizer). Sorgum sebagai pangan dunia menempati urutan ke 5 setelah gandum, beras, jagung dan barley (Supriyanto 2012). Sorgum merupakan tanaman yang mampu beradaptasi luas dan berpotensi besar dikembangkan di Indonesia. Tanaman sorgum dapat dipanen 2-3 kali. Sorgum manis merupakan tanaman multiguna. Batang, nira dan bijinya mengandung lignoselulosa dan sakarida terfermentasi yang tinggi yang dimanfaatkan sebagai bahan pakan hijauan ternak yang bermutu melalui bioproses dan menghasilkan gula (Sirappa 2003).
Potensi tanah masam di Indonesia ini cukup tinggi. Menurut data Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2000, luas areal tanah bereaksi masam seperti podsolik, ultisol, oxisol dan spodosol masing-masing sekitar 47.5; 18.4; 5.0; dan 56.4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia. Secara umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam dan non masam. Lahan kering masam mendominasi tanah di Indonesia, terutama pada wilayah yang beriklim basah yaitu seluas 102.817.133 ha (69.4%) dan tanah tidak masam seluas 45.256.511 ha (30.6%) (Mulyani 2006).
Kemasaman tanah merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Permasalahan serius pada budidaya tanaman di tanah masam tersebut adalah keracunan Al dan rendahnya P yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar, penyerapan hara, dan air (Kochian et al. 2004; Zheng 2010). Faktor pembatas lain dalam produksi tanaman pada tanah masam adalah kesuburan tanah yang rendah akibat defisiensi hara-hara penting seperti fosfor (P), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Pengikatan P oleh Al menjadi kompleks Al-P merupakan salah satu penyebab rendahnya ketersediaan P pada tanah masam dan menyebabkan defisiensi P pada tanah masam dan tanaman (Marschner 2012).
2
sekresi phosphatase dan (e) kemampuan dalam bersimbiosis dengan mikorhiza (Kochian et al. 2004).
Secara umum adaptasi tanaman pada kondisi defisiensi P dilakukan melalui mekanisme peningkatan penyerapan dan efisiensi penggunaan P dalam tanaman. Peningkatan penyerapan P dari tanah dilakukan tanaman dengan membuat sejumlah perubahan morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler dalam merespon pertumbuhan di bawah kondisi defisiensi P. Hara mineral dari sudut pandangnya, suatu genotipe dikatakan lebih efisien dari pada genotipe lain jika mampu memobilisasi dan menyerap P lebih banyak dan atau menggunakan P yang diserap lebih baik untuk menghasilkan bahan kering tanaman atau biomassa (Marschner 2012). Penelitian Agustina et al. (2010) menunjukkan genotipe sorgum toleran lebih mampu membentuk bahan kering dan hasil tinggi dibandingkan genotipe peka di tanah masam. Penelitian Sungkono et al. (2010) menunjukkan Numbu merupakan genotipe toleran tanah masam, sedangkan B69 peka tanah masam berdasarkan toleransinya terhadap P rendah di tanah masam.
Metode untuk menyaring genotipe-genotipe tanaman yang efisien dalam menyerap P adalah dengan cara menggunakan media larutan hara. Pengujian hara untuk P ini sudah banyak dilakukan, seperti Sudarman (2004) dan Prasetiyono et al. (2012) telah menguji galur-galur padi gogo pada larutan Yoshida dengan dosis P sebesar 0.02, 0.2, 2 ppm. Kombinasi perlakuan P dan Al bisa mencerminkan kondisi riil dilapangan dimana P selalu terikat unsur-unsur lain, salah satunya adalah Al.
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengidentifikasi keracunan Al di akar. Pewarnaan akar dengan hematoksilin sangat akurat membantu dalam mengidentifikasi tanaman yang toleran dan yang peka terhadap cekaman Al. Metode ini sangat efektif untuk mengidentifikasi tanaman kedelai toleran Al (Sopandie et al. 2003), padi toleran Al (Miftahudin et al. 2007) dan Jatropa curcas toleran Al (Tistama et al. 2012).
Toleransi terhadap cekaman Al berkorelasi positif dengan aktivitas sekresi asam organik pada beberapa spesies tanaman. Sekresi asam organik berupa asam sitrat, malat dan oksalat ke daerah rizosfer merupakan salah satu mekanisme toleransi tanaman terhadap Al (Kochian et al. 2005). Detoksifikasi Al pada rhizosfer melalui sekresi asam pengkelat Al telah banyak dilaporkan, di antaranya asam sitrat pada jagung (Pellet et al. 1995), sorgum (Kochian et al. 2005) serta padi (Famoso et al. 2010) dan asam malat dari akar gandum (Andrade et al.
2011) serta kedelai (Liang et al. 2013).
Genotipe tanaman yang adaptif umumnya mengembangkan strategi adaptasi yang unik untuk mendapatkan unsur hara tertentu dari dalam tanah sedangkan genotipe yang tidak adaptif umumnya mengandalkan pupuk sebagai sumber hara yang tersedia. Strategi adaptasi tersebut umumnya berupa translokasi karbon dari tajuk ke akar tanaman (Wang et al. 2008), dan pelepasan eksudat akar dalam bentuk senyawa organik.
3
Perumusan Masalah
Lahan-lahan bertanah masam mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah, yang menjadi kendala dalam produksi tanaman. Kendala utama produksi tanaman di tanah masam adalah tingginya konsentrasi Al terutama Al3+, yaitu bentuk Al yang dianggap paling beracun bagi tanaman. Selain dari cekaman Al, kendala produksi di lahan bertanah masam adalah defisiensi P akibat terikatnya P oleh Al yang menyebabkan P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Untuk mencapai tujuan pengembangan sorgum di lahan kering bertanah masam diperlukan upaya mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi pada kondisi agroekologi lahan kering bertanah masam. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sorgum lebih peka terhadap defisiensi P dibandingkan keracunan Al (Trikoesoemaningtyas et al. 2011). Untuk itu diperlukan penelitian untuk memahami mekanisme efisiensi penyerapan dan penggunaan P yang didukung oleh pemahaman tentang mekanisme adaptasi toleransi sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian mekanisme adaptasi fisiologi toleransi sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam melalui verifikasi beberapa genotipe sorgum di tanah masam dan media kultur hara diperlukan untuk memperkaya pengetahuan. Mekanisme fisiologi adaptasi tanaman sorgum terhadap defisiensi P di tahan masam yang saat ini masih sangat terbatas. Menjelaskan peran fosfor dalam meningkatkan toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman Al pada kultur hara. Selain itu pengelolaan hara P dapat menjadi solusi untuk mengatasi cekaman aluminium dan defisiensi hara di tanah masam.
Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang mekanisme fisiologi toleransi sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam. Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut :
1. Menjelaskan keragaan beberapa genotipe sorgum terhadap P tersedia rendah di tanah masam.
2. Mendapatkan genotipe sorgum toleran dan peka terhadap defisiensi P di tanah masam.
3. Menjelaskan tentang efisiensi penyerapan dan penggunaan P (EPP) pada kondisi P tersedia rendah di tanah masam.
4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya pengetahuan tentang mekanisme eksternal dan internal dari adaptasi tanaman sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam yang saat ini masih sangat terbatas. Selain itu juga mendapatkan informasi kajian fisiologi untuk dijadikan karakter seleksi pada program pemuliaan tanaman untuk perbaikan genotipe sorgum untuk toleransi terhadap cekaman Al dan defisiensi P di tanah masam.
Kebaruan Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian yang telah dilakukan melalui serangkaian percobaan, menghasilkan kebaruan sebagai berikut:
1. Telah diperoleh informasi tentang keragaan beberapa genotipe sorgum untuk fase vegetatif seperti tinggi tanaman, jumlah daun namun tidak ada keragaan untuk fase generatif seperti bobot biji per tanaman terhadap P tersedia rendah di tanah masam
2. Telah diperoleh genotipe toleran yaitu Numbu, watar hammu putih (WHP), PI-10-90-A dan genotipe peka yaitu PI-150-21-A, PI-5-193-C, PI-150-20-A, UPCA-S1 terhadap defisiensi P di tanah masam.
3. Telah diperoleh informasi tentang mekanisme adaptasi sorgum terhadap defisiensi P pada kondisi tercekam Al, yaitu efisiensi serapan P dan efisiensi penggunaan P untuk mengurangi toksisitas Al.
4. Telah diperoleh informasi tentang peran P dalam meningkatkan toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman aluminium.
Ruang Lingkup Penelitian
5
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Gambar 1 Bagan alir kegiatan penelitian selama 3 tahun (2012-2014). 1. Keragaan Beberapa Genotipe Sorgum di Tanah masam
2. Keragaaan Beberapa Genotipe Sorgum pada Berbagai Taraf P di Tanah Masam
4. Verifikasi Genotipe Sorgum Toleran
Cekaman Al dan Defisiensi P di Kultur Hara 3. Efisiensi Penggunaan Hara
P pada Kondisi Cekaman Al dan P rendah
5. Laju Serapan Spesifik dan Efisiensi Penggunaan P pada Sorgum terhadap Cekaman Al dan Defisiensi P di Kultur Hara
Mekanisme Internal
8. Akumulasi dan Sekresi Asam Organik pada Akar Sorgum yang tercekam Al dan defisiensi P
Mekanisme Eksternal
Mekanisme Fisiologi Toleransi Sorgum terhadap Defisiensi
Fosfor di Tanah Masam
6. Pengaruh Pemberian P
terhadap Panjang Akar Sorgum dalam Kondisi Tercekam Al
6
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pemanfaatan Tanaman Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk tanaman serealia penting di dunia yang ditunjukkan oleh luas areal tanam, produksi dan kegunaannya yang menduduki peringkat kelima setelah gandum, padi, jagung dan barley (House 1985; Supriyanto 2012). Banyaknya ragam makanan yang dapat dihasilkan oleh sorgum menjadikan tanaman ini sebagai serealia penting dan sangat potensial untuk program diversifikasi pangan, terutama di negara yang mengalami penurunan produksi bahan pangan utama seperti Indonesia. Konsumsi beras orang Indonesia rata-rata 130-140 kg kapita-1 tahun-1. Apabila konsumsi beras ini dapat diturunkan menjadi 100 kg kapita-1 tahun-1 melalui program diversifikasi pangan, maka akan menurunkan permintaan beras nasional setara dengan 4.3 juta ton tahun-1 (BPS 2012).
Pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan sampai saat ini masih rendah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kandungan taninnya tinggi sekitar 0.4% - 3.6% sehingga hasil olahannya kurang enak (Sirappa 2003). Tanin (proanthocyanidin) merupakan senyawa fenol yang diperkirakan sebagai senyawa anti nutrisi, namun disisi lain diketahui pula peranan tanin sebagai anti oksidan (Dicko et al. 2006). Tanin pada tanaman sorgum berfungsi melindungi biji dari jamur, serangga dan burung sebelum masa panen sehingga dapat menguntungkan secara ekonomis. Kandungan tanin yang rendah merupakan salah satu indikator kualitas sorgum sebagai bahan pangan.
Sorgum dapat diproses menjadi tepung yang dapat diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Sorgum mengandung nilai gizi jauh lebih unggul daripada beras. Kandungan protein sorgum 1.6 kali lipat protein beras. Biji sorgum dapat digunakan untuk bahan campuran ransum pakan unggas, sedangkan batang dan daun banyak digunakan untuk ternak ruminansia (Biba 2011).
Morfologi dan Fisiologi Sorgum
7 Sorgum tergolong tanaman C4, yaitu tanaman yang dalam proses metabolisme karbon (C) menghasilkan asam berkarbon empat (malat dan aspartat) sebagai produk awal penambatan CO2. Produk asam malat dan aspartat yang dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel selundang pembuluh, lalu mengalami dekarboksilasi melepaskan CO2 yang selanjutnya ditambat Rubisco dan diubah menjadi 3-PGA (asam fosfo gliserat). Sel seludang pembuluh tanaman C4 lebih tebal dibandingkan tanaman C3, sehingga lebih banyak mengandung kloroplas, mitokondria dan organel lain yang berperan sangat penting dalam proses fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2010). Daun-daun spesies C4 mempunyai laju pertukaran CO2 yang lebih tinggi, rasio antara luas potongan melintang floem dengan luas daun yang lebih besar dan memiliki laju translokasi lebih besar dibandingkan tanaman C3. Ekspor hasil asimilasi yang lebih baik oleh tanaman C4 disebabkan oleh anatomi khususnya, yaitu sel-sel seludang ikatan pembuluhnya yang mempunyai kloroplas (anatomi kranzs) atau hasil dari luas potongan melintang floem yang lebih besar.
Karakteristik tanaman C4 yaitu pada penyinaran tinggi dan suhu panas tanaman ini mampu berfotosintesis lebih cepat sehingga menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C3 (Salisbury dan Ross 1995). Selain sebagai tanaman C4, tingginya produktivitas tanaman sorgum juga didukung oleh fakta bahwa permukaan daunnya dilapisi oleh lilin dapat mengurangi laju transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif. Kedua faktor ini menjadikan sorgum sangat efisien dan efektif dalam pemanfaatan air (House 1985). Secara fisiologis sistem perakaran ekstensif, fibrous dan dalam sehingga membuat tanaman ini toleran kekeringan (Biba 2011).
Karakteristik Tanah Masam
Di wilayah beriklim humid, pengasaman tanah merupakan proses alamiah dan sering kali menyebabkan persoalan bagi pertumbuhan tanaman. Jika tanah menjadi masam, sampai pH dibawah 4.5 misalnya akan menimbulkan kesulitan bagi produksi tanaman pangan. Pada kondisi masam, aluminium (Al) menjadi lebih larut dan toksik bagi tanaman, pasokan kebanyakan hara tanaman terbatas, dan beberapa hara mikro menjadi lebih larut dan toksik (Munawar 2011)
Tanah mineral masam dalam pengertian sempit yang didasarkan pada taksonomi kelas reaksi tanah yaitu masam (acid) tanah mineral yang memiliki pH lebih kecil dari 5.0 (0.01 M CaCl2; 2:1) pada seluruh lapisan kontrol (control section) atau sekitar pH 5.5 (H2O; 1:1). Bila pH (H2O; 1:1) <3.5, berarti terdapat sulfat masam di dalam tanah mineral yang dikeringkan. Tanah mineral masam tidak hanya berhadapan dengan kendala pH yang rendah, tetapi dihadapkan pada kelarutan Al yang tinggi. Tanah di Indonesia pada umumnya bereaksi masam dengan pH berkisar 4 – 5.5 (Hardjowigeno 2010).
8
oksida dan hidroksida Al dan Fe, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) lapisan atas tanah umumnya rendah hingga sedang (Subagyo et al. 2000).
Menurut Marschner (2012), permasalahan yang ditemukan pada tanah mineral masam untuk pengembangan budidaya tanaman terjadinya karena peningkatan dari; (1) konsentrasi Al menyebabkan keracunan Al; (2) konsentrasi H+ menyebabkan keracunan H+; (3) konsentrasi Mn menyebabkan keracunan Mn; (4) terjadinya penurunan konsentrasi hara makro (kation), defisiensi Mg++, Ca++, K+, P dan Mo sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar dan penyerapan air.
Faktor pembatas pertumbuhan tanaman pertanian di tanah masam adalah keracunan aluminium yang tinggi. Tingkat keracunan aluminium dipengaruhi oleh perubahan pH media. Pada kondisi pH rendah, trivalent aluminium (Al3+) merupakan bentuk yang paling dominan dan beracun bagi banyak tanaman. Ciri utama keracunan aluminium adalah terjadinya penghambaan pertumbuhan akar, yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas tanaman (Zheng 2010).
Gejala keracunan Al yang sangat nyata adalah penghambatan perpanjangan akar primer dan sekunder sehingga akar menjadi kerdil yang menyebabkan penghambatan penyerapan hara dan air (Marschner 2012). Pengelolaan kesuburan di tanah masam diarahkan untuk menurunkan kemasaman tanah, menambah hara dan menekan tingkat kejenuhan Al. Teknologi untuk meningkatkan kesuburan tanah masam yang dapat diterapkan antara lain pemupukkan berimbang, pengelolaan hara P, pengapuran serta pemberian bahan organik.
Adaptasi Tanaman terhadap Ketersediaan P di Tanah Masam
Sistem pertanian yang berkesinambungan tergantung pada ketersediaan jumlah unsur hara, termasuk diantaranya adalah unsur hara P. Meskipun P dibutuhkan dalam jumlah sedikit dibanding unsur hara makro lainnya, tetapi P merupakan unsur hara penting pada awal pertumbuhan tanaman. Hara P merangsang perkembangan akar dan pembentukan buah. Hubungan antara hara P yang diambil oleh tanaman dan yang dierap tanah merupakan faktor penting dalam membuat rekomendasi pemupukan (Anggria et al. 2009).
Keracunan aluminium mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Gangguan yang ditimbulkan oleh keracunan Al umumnya dibagi ke dalam dua kelompok yaitu gangguan jangka pendek dan gangguan jangka panjang. Gangguan jangka pendek mulai kelihatan hanya beberapa jam saja setelah tanaman mendapat cekaman Al seperti penghambatan pemanjangan akar, kerusakan tudung akar, pembentukan kalose, adanya deposit lignin dinding sel dan penurunan pembelahan sel. Aluminium dalam jangka panjang menyebabkan penurunan biomasa akar dan pucuk, abnormalitas morfologi akar, penurunan penyerapan dan translokasi hara, gangguan penyerapan dan transpor air dan supresi fotosintesis (Miyasaka et al. 2006).
9 masuk ke dalam simplas dan bagian metabolik yang peka melalui immobilisasi dinding sel, permeabilitas selektif membran plasma, perubahan pH di rizosfir dan apoplas akar, sekresi ligan pengkelat (sekresi asam organik) dan efluks Al (Andrade et al. 2011).
Ada beberapa mekanisme yang menjelaskan bahaya keracunan Al berhubungan langsung dengan P yaitu; mengganggu struktur membran karena pengikatan Al pada membran plasma yang mengandung fosfolipid, penghambatan pembelahan sel karena Al berikatan dengan DNA, mengganggu cadangan dan transfer energi karena Al berikatan dengan ATP dan ester dan menurunkan penyerapan kation divalen dan anion serta mengganggu metabolisme unsur hara tertentu (Marschner 2012). Jadi interaksi Al dan P pada tempat-tempat peka tersebut sangat mengganggu serapan dan penggunaan P dan akhirnya akan menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman.
Keberadaan Al3+ di dalam larutan tanah merubah permukaan senyawa inorganik dan juga merubah substansi organik ditanah. Trivalent aluminium (Al3+) adalah logam reaktif yang dapat membentuk kompleks dengan berbagai ligan organik maupun inorganik. Mekanisme eksklusi aluminium melibatkan kanal yang ada pada membran plasma. Dalam mekanisme eksklusi ini tiga kemungkinan terdiri dari : (1) Aluminium langsung mengaktifkan protein kanal; (2) Aluminium masuk kedalam sitosol dan mengaktifkan protein kanal; (3) Aluminium mengaktifkan tranduksi signal mengirimkan pesan untuk mengaktifkan protein kanal (Delhaize et al. 2012).
Unsur P merupakan salah satu dari 3 unsur hara makro paling penting lainnya dengan ikatan pirofosfat membentuk senyawa kaya energi (ATP). Konversi orthofosfat menjadi bentuk organik terjadi dengan cepat dalam tanaman, dimana 80% dari P yang diserap diubah menjadi bentuk organik dalam waktu 10 menit, namun setelah itu dilepaskan kembali menjadi P anorganik masuk kedalam xylem (Marschner 2012).
Peranan P dalam tanaman adalah : (1) pembelahan sel (2) pembentukan albumin (3) pembentukan bunga, buah dan biji (4) mempercepat pematangan (5) memperkuat batang tidak mudah roboh (6) perkembangan akar (7) memperbaiki kualitas tanaman (8) tahan terhadap penyakit (9) membentuk nucleoprotein
(sebagai penyusun RNA dan DNA) (10) metabolisme karbohidrat dan (11) menyimpan dan memindahkan energi (Hardjowigeno 2010). Apabila kekurangan P pada tanaman maka akan mempengaruhi semua aspek metabolisme dan pertumbuhan tanaman. Kekurangan P akan menyebabkan tanaman tumbuh lambat dan tanaman sering terlihat kerdil. P dalam tanaman bersifat sangat mobil, ketika tanaman menua atau masak, sebagian besar unsur P dipindah ke biji dan/atau buah, atau ketika tanaman mengalami kekahatan, P akan ditranslokasikan dari jaringan tanaman tua ke bagian tanaman yang masih muda dan aktif (Munawar 2011).
10
dikatakan lebih efisien dari genotipe lain jika dapat memobilisasi dan menyerap P lebih banyak dan atau dapat menggunakan P yang diserap lebih efisien untuk menghasilkan bahan kering tanaman atau biomassa. Dalam pengertian agronomi, efisiensi hara biasanya dinyatakan melalui perbedaan hasil dari genotipe-genotipe yang ditumbuhkan pada tanah atau medium yang tidak cukup hara. Jadi tanaman yang efisien didefinisikan sebagai tanaman yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik, menghasilkan bahan kering tanaman lebih banyak dan mengembangkan gejala kekurangan hara lebih sedikit daripada tanaman lain jika ditanam pada tingkat hara yang rendah (Marschner 2012). Jadi perbedaan-perbedaan genotipe dalam efisiensi hara terkait pada perbedaan-perbedaan-perbedaan-perbedaan dalam efisiensi penyerapan oleh akar (efisiensi eksternal) atau dalam penggunaannya oleh tanaman (efisiensi internal) atau kedua-duanya yang meliputi serapan, angkutan dan penggunaannya oleh tanaman.
Efisiensi Serapan P (ESP) atau Phosphorus Uptake Efficiency (PAE) dinyatakan sebagai total hara yang diserap per unit bobot kering akar (mg P g-1 bk akar). Perbedaan-perbedaan dalam total serapan dan laju serapan P di antara genotipe dapat menunjukkan mekanisme peningkatan efisiensi pada keadaan ketersedian P rendah. Sebagaimana diketahui bahwa P bergerak secara difusi dengan koefisien difusi rendah, maka perkembangan sistem perakaran sangat menentukan dalam perolehan P. Dengan demikian pengukuran ESP ini dapat digunakan sebagai kriteria untuk membedakan tingkat efisiensi tanaman pada kondisi P rendah. Namun dalam kondisi tanah masam dengan tingkat fiksasi Al terhadap P tinggi, sehingga penyerapan P dalam proses desorpsi, kelatisasi dan pemasaman oleh asam-asam organik (Marschner 2012).
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Defisiensi P
Ketersedian P bagi tanaman dikendalikan oleh reaksi tanah yang dipengaruhi oleh pH tanah. Ketersedian P paling tinggi berkisar pH 5.5 - 6.8. Jika pH tanah turun di bawah 5.8, P akan bereaksi dengan Fe dan Al membentuk senyawa-senyawa fosfat Fe dan Al yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman. P bereaksi dengan Ca membentuk fosfat yang relatif tidak larut, sehingga ketersediannya rendah bagi tanaman pada pH tinggi (Munawar 2011).
Menurut Peng dan Ismail (2004), mekanisme adaptasi tanaman terhadap defisiensi P dikelompokkan menjadi dua : (1) mekanisme internal meliputi efisiensi penggunaan P (Nutrient Use efficiency) oleh jaringan, dicapai tanaman dengan memanfaatkan P dengan efisien; (2) mekanisme eksternal meliputi yang mempunyai efisiensi serapan P yang lebih tinggi. Kedua bentuk mekanisme ini seringkali tidak terdapat pada genotipe yang sama disebabkan oleh perbedaan genotipe dalam menghadapi cekaman defisiensi hara.
11 Kompartementasi P intraselular dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan P. Penelitian Swasti (2004) pada tanaman padi menunjukkan bahwa proporsi fraksi P anorganik pada perlakuan P rendah lebih kecil dari perlakuan P tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya transfer P (anorganik) dari vakuola yang digunakan tanaman untuk sintesis bahan organik.
Menurut Kochian et al. (2004), ketersedian P tanah yang rendah akibat mudahnya P terfiksasi oleh bahan organik menyebabkan mekanisme eksternal menjadi lebih penting karena tanaman mengembangkan berbagai mekanisme untuk membuat P menjadi tersedia dan untuk meningkatkan kemampuan menyerap P.
Peranan Asam Organik dalam Mengkelat Aluminium
Sintesis berbagai jenis asam organik dari perakaran tanaman sebagai tanggap terhadap cekaman Al merupakan ciri dari spesies tanaman yang mampu beradaptasi pada tanah mineral masam. Peranan asam organik dalam mengkelat Al pada tanaman tingkat tinggi, sudah banyak dilaporkan oleh para peneliti, antara lain tanaman kedelai yang toleran (Yelow Biloxi) mengsekresi asam oksalat dan asam sitrat lebih tinggi dibanding kedelai peka (Sopandie 2014; Magalhaes et al. 2004) menunjukkan bahwa asam sitrat merupakan asam organik yang disekresikan tanaman sorgum dalam menghadapi cekaman Al dan Yan et al. (2012) bahwa sekresi sitrat dapat menjadi salah satu mekanisme eksklusi dalam menghindari Al pada tanaman centipedegrass.
Gen yang berbeda dengan Al3+ pada pelepasan asam sitrat dari akar telah diidentifikasi oleh pemetaan toleransi lokus di sorgum (AltSB) dan barley (Alp). Gen tersebut mendasari lokus di sorgum (Sorghum bicolor) multidrug dan ekstrusi senyawa toksik (SbMATE) pada barley (Hordeum vulgare) aluminium diaktifkan transporter sitrat 1 (Hv AACT1) milik keluarga MATE. MATE adalah keluarga besar protein pada eukariota dan prokariota dimana mereka berfungsi sebagai secondary active transporter yang menggunakan gradien ion elektrokimia (natrium atau proton) untuk mengekspor berbagai macam substrat, termasuk metabolisme sekunder (Delhaize et al. 2012).
Hasil penelitian Yanga et al. (2011) menunjukkan bahwa P dapat mengurangi toksisitas Al melalui imobilisasi peningkatan Al di akar dan P pada bibit jeruk besar (Citrus grandis) dan 'Xuegan' (C. sinensis) berpengaruh melalui peningkatan sekresi asam organik (OA). Semakin tinggi toleransi Al pada C. sinensis dapat mempengaruhi sekresi asam organik (OA).
12
Toleransi terhadap cekaman Al berkorelasi positif dengan aktivitas sekresi asam organik pada beberapa spesies tanaman. Sekresi asam organik berupa asam sitrat, malat dan oksalat ke daerah rizosfer merupakan salah satu mekanisme toleransi tanaman terhadap Al (Kochian et al. 2005; Garzon et al. 2011). Asam sitrat dihasilkan dari siklus tricarboxilic acid (TCA) yang dikenal dengan siklus kreb atau siklus asam sitrat. Siklus ini merupakan pusat jalur metabolik untuk semua proses aerobik dalam kehidupan organisme (Taiz dan Zeiger 2010).
13
3 KERAGAAN GENOTIPE SORGUM PADA BERBAGAI
TINGKAT KETERSEDIAAN P DAN CEKAMAN AL
Abstrak
Sorgum merupakan tanaman yang toleran terhadap kekeringan, namun jumlah varietas yang toleran terhadap ketersediaan P yang rendah di tanah masam masih sangat terbatas. Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh genotipe toleran dan peka di tanah masam. Percobaan dilaksanakan di tanah masam dengan pH 4.4 (sangat masam) dan P-Bray 1 5.8 ppm (sangat rendah) Desa Bagoang Jasinga Bogor bulan Maret 2012 dan rumah kaca IPB Bogor bulan Maret 2013. Percobaan pertama menggunakan rancangan acak kelompok dengan faktor tunggal tujuh genotipe sorgum, yang terdiri : PI-5-193-C, PI-10-90-A, PI-150-20-A, PI-150-21-PI-150-20-A, WHP, Numbu dan UPCA-S1. Percobaan kedua dan ketiga menggunakan rancangan acak lengkap factorial. Tujuh genotipe sorgum diperlakukan dalam kondisi berbagai tingkat ketersediaan P di tanah masam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe Numbu, Watar Hammu Putih (WHP) dan PI-10-90-A termasuk ke dalam genotipe toleran, sedangkan genotipe PI-150-21-A, PI-5-193-C, PI-150-20-A dan UPCA-S1 termasuk genotipe peka terhadap P rendah di tanah masam. Seluruh genotipe memberikan respon keragaan pertumbuhan yang berbeda terhadap tingkat kesediaan P di tanah masam.
Kata kunci: genotipe toleran, genotipe peka, defisiensi P, tanah masam
Abstract
Sorghum is a drought tolerant crops, but the numbers of variety that are tolerant to acid soil and deficiency P is still very limited. This study was aimed to obtain sorghum genotypes that are tolerant low phosphorus to acid soil. The experiments were conducted in acid soil pH 4.4 (acid) and P-Bray 1 5.8 ppm (low) Bagoang village Jasinga Bogor to March 2012 and the greenhouse at Cikabayan IPB Bogor to March 2013. The first experiment was conducted in a randomized completely block design was used as experimental design. Seven sorghum genotypes were evaluated namely PI-5-193-C, PI-10-90-A, PI-150-20-A, PI-150-21-A, WHP, Numbu and UPCA-S1. The second and third experiment was conducted in factorial design, seven genotypes of sorghum were treated in conditions of deficiency of phosphorus to acid soil. The results of the experiment land to nutrient culture showed that WHP, Numbu and PI-10-90-A were classified as acid soil tolerant genotypes and genotypes 21-A, PI-5-193-C, PI-150-20-A and UPCA-S1 were classified as acid soil sensitive genotypes. Performance of genotypes sorghum were response to different growth under several levels of phosphorous availibility in acid soil.
14
Pendahuluan
Sorgum merupakan komoditas serealia yang serbaguna dan memiliki peluang untuk dikembangkan di Indonesia. Budi daya sorgum mudah dengan biaya produksi relatif murah, dapat ditanam monokultur maupun tumpangsari, produktivitasnya tinggi dan dapat diratun. Sorgum memiliki daya adaptasi luas, mulai dari dataran rendah, sedang, sampai dataran tinggi di daerah dengan iklim tropis kering (semi arid) sampai beriklim basah. Sorgum mempunyai kesesuaian tinggi untuk dikembangkan di lahan kering (Hoeman dan Sihono 2010). Permukaan daun sorgum mengandung lapisan lilin dan sistem perakaran ekstensif, fibrous, dan dalam sehingga membuat tanaman ini toleran kekeringan. Sorgum sesuai diolah sebagai bahan pangan karena gizinya sangat baik, kadar protein dan kalsium sorgum lebih baik daripada beras dan jagung (Biba 2011). Tanaman sorgum dapat dimanfaatkan menjadi bahan pangan, pakan ternak, bahan baku industri dan sumber energi alternatif (Irawan dan Sutrisna 2011).
Luas total lahan kering bertanah masam di Indonesia mencapai 102.8 juta hektar, dan dari lahan tersebut yang sesuai untuk usaha pertanian baik tanaman pangan maupun perkebunan adalah sekitar 56 juta hektar (Mulyani et al. 2011). Keracunan Al merupakan faktor pembatas utama karena dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan akar sehingga tanaman mengalami hambatan dalam penyerapan air dan hara (Kochian et al. 2005; Famoso et al. 2010).
Defisiensi P dapat terjadi akibat rendahnya kadar P dalam tanah atau tingginya daya jerap tanah terhadap unsur P. Ada dua penyebab rendahnya ketersediaan P dalam tanah yaitu interaksi P anorganik dengan kation (Fe, Al dan Ca) dan immobilisasi menjadi komplek organik oleh jasad renik. Pengaruh Al terhadap penyerapan hara terjadi karena pengaruh langsung interaksi Al dengan P (P) sehingga P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kekahatan P sangat menghambat proses pembelahan sel dan fotosintesis (Marschner 2012) sehingga menjadi kendala dalam produksi tanaman di tanah masam (Kochian et al. 2004; Zheng 2010).
Pengembangan varietas sorgum yang toleran terhadap tanah kahat P diharapkan dapat mengurangi pemupukan P. Untuk memperoleh genotipe-genotipe toleran pada kondisi kahat P dan cekaman aluminium dapat melakukan evaluasi penampilan genotipe-genotipe padi dengan menggunakan larutan hara dan pada kondisi lapang (Prasetiono et al. 2012). Kondisi di lapangan dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan seperti cekaman Al, kekurangan unsur hara dan kekeringan. Metode kultur hara dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut karena mempunyai kondisi lingkungan yang lebih terkendali dan seragam.
Berdasarkan toleransinya di tanah masam menunjukkan bahwa genotipe Numbu juga dapat tumbuh baik di Lampung Tengahhasil seleksi Sungkono et al.
(2009). Penelitian Agustina (2011) pada kultur hara menunjukkan bahwa Numbu termasuk efisien dalam penggunaan P, sedangkan B69 efisien dalam penyerapan P. Mekanisme fisiologi toleransi sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam masih belum banyak diketahui.
15
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu: 1) keragaan beberapa genotipe sorgum di tanah masam, 2) keragaan beberapa genotipe sorgum pada berbagai taraf P di tanah masam, dan 3) verifikasi genotipe sorgum toleran cekaman aluminium dan defisiensi P di kultur hara.
a. Keragaan Beberapa Genotipe Sorgum di Tanah Masam
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan pertumbuhan beberapa genotipe sorgum di tanah masam. Penelitian dilaksanakan di tanah masam Desa Bagoang Jasinga, Bogor pada bulan Maret 2012 sampai Juli 2012. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu tujuh genotipe sorgum. Genotipe sorgum yang digunakan terdiri atas empat genotipe introduksi dari ICRISAT (PI-5-193-C, PI-10-90-A, PI-150-20-A, PI-150-21-A), satu genotipe lokal Watar Hammu Putih (WHP) dari Nusa Tenggara Timur dan dua varietas Nasional (Numbu dan UPCA-S1). Penanaman dilakukan dengan cara tanam benih langsung pada lubang tanam yang telah ditugal. Jumlah benih yang dimasukkan ke lubang tanam sebanyak 2 (dua) butir, dengan jarak tanam 70 cm x 10 cm. Pupuk dasar diberikan pada saat tanam dengan dosis 150 kg Urea ha-1, 100 kg SP36 ha-1 dan 100 kg KCl ha-1. Tanah masam di Desa Bagoang Jasinga, Bogor dengan kisaran pH 4.4 (sangat masam), KTK 14.34 me 100g-1, Al-dd 2.79 me 100g-1 dan P2O5 Bray I: 5.8 ppm (sangat rendah) (Lampiran 1). Pengamatan dilakukan terhadap peubah dilakukan di akhir penelitian meliputi:
1. Tinggi tanaman (cm), diukur pada batang utama mulai dari permukaan tanah sampai ujung malai pada saat menjelang panen.
2. Jumlah daun (helai), dihitung jumlah daun per tanaman.
3. Bobot basah tajuk (g), ditimbang bobot tajuk segar per tanaman. 4. Bobot basah akar (g), ditimbang bobot akar segar per tanaman.
5. Padatan total terlarut (%Brix), yaitu bagian batang tanaman dengan menggunakan spektrofotometer.
6. Panjang malai (cm), diukur mulai dari buku hingga ujung malai pada saat panen.
7. Bobot malai (g), yaitu bobot malai setelah dikeringkan.
8. Bobot biji per tanaman (g), yaitu bobot seluruh biji bernas yang telah
16
dilakukan analisis komponen utama pada semua peubah amatan. Karakter-karakter determinan pada analisis komponen utama digunakan sebagai variabel untuk mengklasifikasikan toleransi genotipe pada tanah masam. Klasifikasi toleransi dianalisis menggunakan analisis biplot, genotipe dan karakter determinan sebagai komponen ujinya dengan program minitab.
b. Keragaan Beberapa Genotipe Sorgum pada Berbagai Taraf P di Tanah Masam
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan taraf P berdasarkan dosis rekomendasi pemupukan P dan analisa erapan P pada sorgum di tanah masam. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan University Farm IPB mulai bulan Juli 2012 sampai Desember 2012. Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah genotipe sorgum. Genotipe sorgum terdiri dari : empat genotipe koleksi ICRISAT (PI-5-193-C, PI-10-90-A, PI-150-20-A, PI-150-21-A), satu genotipe lokal Watar Hammu Putih (WHP) dari Nusa Tenggara Timur dan dua varietas Nasional (Numbu dan UPCA-S1). Faktor kedua adalah taraf P berdasarkan rekomendasi dan analisa erapan P. Taraf P dalam media terdiri atas tujuh dosis SP36 yaitu tanpa P, ¼ rekomendasi, ½ rekomendasi, rekomendasi, ¼ erapan P, ½ erapan P, erapan P. Dosis rekomendasi pemupukan Deptan lahan optimum di Indonesia adalah 100 kg SP36 ha-1. Dosis P berdasarkan kurva erapan langmuir adalah 6,790 kg ha-1 (Lampiran 3). Sorgum ditanam dalam polibag yang berisi 10 kg tanah.
Pengamatan dilakukan terhadap peubah dilakukan di akhir pengamatan sebelum tanaman berbunga meliputi:
1. Tinggi tanaman (cm), diukur pada batang utama mulai dari permukaan tanah sampai ujung malai.
2. Jumlah daun (helai), dihitung jumlah daun per tanaman.
3. Bobot basah tajuk (g), ditimbang bobot tajuk segar per tanaman. 4. Bobot basah akar (g), ditimbang bobot akar segar per tanaman.
5. Bobot kering tajuk (g), ditimbang bobot tajuk yang telah dikeringkan dengan oven pada suhu 60°C (±72 jam).
6. Bobot kering akar (g), ditimbang bobot akar yang telah dikeringkan dengan oven pada suhu 60°C (±72 jam).
Analisis data hasil pengamatan di uji menggunakan sidik ragam (ANOVA) pada taraf nyata 5 %. Faktor genotipe diasumsikan sebagai faktor acak, sedangkan faktor kedua taraf P tersedia merupakan faktor tetap sehingga model analisis ragam yang digunakan menggunakan model campuran, dengan program SAS 9.1.
17
c. Verifikasi Genotipe Sorgum Toleran Cekaman Aluminium di Kultur Hara.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sorgum genotipe toleran dan peka cekaman aluminium di kultur hara. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan University Farm IPB, Bogor mulai bulan Januari 2014 sampai Maret 2014. Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah genotipe sorgum. Genotipe sorgum terdiri dari : empat genotipe introduksi koleksi ICRISAT (PI-5-193-C, PI-10-90-A, PI-150-20-A, PI-150-21-A), satu genotipe lokal Watar Hammu Putih (WHP) dari Nusa Tenggara Timur dan dua varietas Nasional (Numbu dan UPCA-S1). Faktor kedua adalah kondisi cekaman Al yaitu: tanpa Al (0 µM AlCl3) dan dengan Al (74 µM AlCl3).
Penanaman dilakukan dengan cara menanam benih secara langsung pada arang sekam. Kecambah normal berumur satu minggu dengan panjang akar yang seragam dipindahkan ke media percobaan. Batang kecambah dibalut dengan gabus busa lunak kemudian dimasukkan ke lubang stryofoam yang telah disiapkan dan diapungkan dalam larutan hara Ohki (1987). Komposisi larutan yang digunakan mengacu pada Ohki (1987) dengan komposisi sebagai berikut 0.24 mM NH4NO3; 0.03 mM (NH4)2SO4; 0.088 mM K2SO4; 0.38 mM KNO3; 1.27 mM Ca(NO3)2.4H2O; 0.27 mM Mg(NO3)2 .4H2O; 0.14 mM NaCl; 6.6 µM H3BO3; 5.1 µM MnSO4.4H2O; 0.61 µM ZnSO4.7H2O; 0.16 µM CuSO4.5H2O; 0.1 µM Na2MoO4.2H2O; 45 µM FeSO4.7H2O-EDTA. P diberikan dalam bentuk KH2PO4. Cekaman aluminium diberikan dalam bentuk AlCl3.
Pengamatan dilakukan pada tanaman diberi perlakuan Al dan P selama 7 HSP (hari setelah penanaman) kemudian dipanen untuk uji pertumbuhan akar dan tajuk difoto menggunakan kamera (secara visual). Selanjutnya daun tanaman sorgum dipanen untuk uji fisiologi terdiri dari: analisa klorofil a, analisa klorofil b dan analisa klorofil total. Analisa kandungan klorofil dihitung berdasarkan perhitungan Sims dan Gamo (2002) yang telah dikonversi dari µmol/g ke mg/g : Klorofil a = (0.01373*A663)-( 0.000897*A537)- ( 0.003046*A647)*FP/berat
sampel*893.5/1000.(mg/g)
Klorofil b = (0.02405*A647)-( 0.004305*A537)- ( 0.005507*A663)*FP/berat sampel*907.5/1000.(mg/g)
Analisis data percobaan meliputi indeks sensitivitas terhadap panjang akar yang tercekam aluminium. Pengelompokan galur toleran dan peka terhadap cekaman aluminium didasarkan kepada nilai indeks sensitivitas (SSI) cekaman aluminium yang dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan Fischer dan Maurer (1978), dengan persamaan : S = (1-Yp/Y)/(1-Xp/X).
S = Indeks sensitivitas cekaman
18
Hasil dan Pembahasan
a. Keragaan Beberapa Genotipe Sorgum di Tanah Masam
Beberapa genotipe sorgum yang ditanam di Desa Bagoang Jasinga, Kabupaten Bogor menunjukkan keragaan pertumbuhan yang beragam. Keragaaan terutama tampak pada parameter tinggi tanaman dan jumlah daun (Gambar 2).
Gambar 2 Pertanaman sorgum di lokasi penelitian pada umur 60 HST (A) dan pada saat panen 110 HST (B) di Desa Bagoang Jasinga, Bogor
Genotipe sorgum di tanah masam berbeda nyata pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah tajuk, bobot basah akar dan padatan total terlarut (PTT). Hasil uji lanjut DMRT pada taraf α 5% disajikan pada Tabel 1. Genotipe PI-5-193-C menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah daun yang tidak berbeda nyata dengan genotipe WHP, namun berbeda nyata dengan genotipe lainnya. Genotipe WHP memiliki bobot basah tajuk dan bobot basah akar yang tidak berbeda nyata dengan genotipe 5-193-C, Numbu, 10-90-A dan PI-150-21-A, sedangkan berbeda nyata pada genotipe UPCA-S1 dan PI-150-20-A. Keragaan genotipe-genotipe sorgum menunjukkan keragaan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun yang berbeda saat ditanam di lokasi percobaan yang memiliki tanah masam dan P-tersedia sangat rendah (lampiran 1).
19 Tabel 1 Keragaan genotipe sorgum untuk tinggi tanaman, jumlah daun, bobot
basah tajuk, bobot basah akar dan padatan total terlarut pada saat panen Genotipe perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α=5%; Padatan total terlarut pada genotipe 5-193 C tidak dapat diukur.
Perlakuan genotipe sorgum berpengaruh tidak berbeda nyata terhadap bobot malai, bobot biji per tanaman dan bobot 1000 biji di tanah masam. Genotipe sorgum berpengaruh nyata terhadap peubah panjang malai dan indeks panen di tanah masam. Hasil uji lanjut DMRT pada taraf α 5% disajikan pada Tabel 2. Genotipe WHP menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap panjang malai genotipe PI-150-21-A, namun berbeda nyata dengan genotipe lainnya. Genotipe PI-10-90-A berbeda nyata terhadap indeks panen genotipe PI-5-193-C namun tidak berbeda nyata pada genotipe lainnya.
Fenotipe malai tujuh genotipe sorgum pada saat panen (110 HST) yang diamati secara visual menunjukkan karakter bentuk dan warna malai yang berbeda-beda pada setiap genotipe (Gambar 3). Perbedaan karakter yang terjadi pada tanaman disebabkan oleh pengaruh gen masing-masing genotipe yang terekspresi dan didukung oleh faktor lingkungan sebagai stimulan munculnya karakter. Menurut Allard (2005), gen-gen dari tanaman tidak akan terekspresi berkembangnya karakter kecuali bila ditempatkan pada lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya.
Sorgum dengan tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot basah tajuk yang tinggi berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber pakan. Genotipe sorgum yang dikembangkan untuk pangan diharapkan memiliki karakter tinggi tanaman yang tidak terlalu tinggi agar lebih mudah dipanen. Komponen hasil dan hasil serta kualitas biji merupakan karakter yang lebih utama dalam pengembangan galur-galur sorgum toleran tanah masam sebagai sumber pangan.
20
Tabel 2 Keragaan genotipe sorgum untuk panjang malai, bobot malai, bobot biji per tanaman, bobot 1000 biji dan indeks panen pada saat panen.
Genotipe Panjang malai (cm)
Bobot malai (g)
Bobot biji per tan (g)
Bobot 1000 biji
Indeks panen(%)
UPCA-S1 21.7b 92.1 58.3 26.7 67.2ab
PI-5-193-C 24.0b 110.5 45.3 56.9 52.4b
WHP 28.7a 99.5 68.5 31.7 78.2ab
NUMBU 20.2b 94.6 57.1 32.6 66.4ab
PI-10-90-A 23.7b 81.7 64.7 25.6 86.7a
PI-150-20-A 23.7b 92.5 55.4 25.4 66.4ab
PI-150-21-A 32.3a 84.4 48.9 26.8 58.6ab
a
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α=5%
Toleransi tanaman terhadap kondisi cekaman dilihat dari perbandingan keragaan tanaman pada kondisi optimum dan kondisi tercekam. Percobaan ini hanya ditanam pada kondisi tercekam di tanah masam tanpa dibandingkan dengan kondisi tanpa cekaman. Hal ini juga dilaporkan oleh Sungkono (2010) dan Agustina (2011), yang hanya melakukan seleksi pada satu lingkungan tercekam di tanah masam. Tanaman yang mampu mempertahankan pertumbuhan dan hasil dalam keadaan tercekam dapat dilakukan identifikasi melalui seleksi multivariet. Seleksi multivariet dengan menggunakan analisa komponen utama (PCA) dapat menentukan karakter yang mendukung toleransi tanaman dengan cara pengelompokkan.
21 keragaan digunakan dalam menyusun grafik biplot. Semakin tinggi nilai indeks berarti bahwa semakin toleran genotipe tersebut. Hasil analisis biplot menunjukkan bahwa genotipe Numbu, WHP, dan PI-150-20-A merupakan genotipe yang memiliki toleransi yang lebih baik untuk semua karakter amatan dibanding genotipe yang lain (Gambar 4).
Gambar 4 Grafik biplot genotipe x karakter untuk menunjukkan karakter dan genotipe toleran. Keterangan: ▄ = genotipe (A=PI-150-21-A;
B=PI-5-193-C; C=PI-10-90-A; D=WHP; E=PI-150-20-A; N=Numbu; U=UPCA-S1). ▲= karakter (TT=tinggi tanaman; JD=jumlah daun; BBT=berat basah tajuk; BBA=berat basah akar, PM=panjang malai; BM=berat malai; BKM=bobot biji per tanaman; BBJ=berat 1000 biji; IP=indeks panen; PTT=padatan total terlarut)
Pengelompokan genotipe toleran dan genotipe peka dalam sorgum telah dilakukan hanya dengan menggunakan satu karakter (Sungkono et al. 2009; Agustina et al. 2010). Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan setiap genotipe pada masing-masing karakter memiliki nilai toleransi yang berbeda. Analisis biplot adalah analisis yang membangun semua karakter dengan semua genotipe. Natawijaya (2012) berhasil mengklasifikasikan genotipe toleran dan peka pada tanaman gandum menggunakan semua karakter. Menurut Natawijaya (2012) pengelompokan toleransi genotipe tanaman menggunakan analisis biplot menunjukkan hasil yang lebih komprehensif.
22
b. Keragaan Beberapa Genotipe Sorgum pada Berbagai Taraf P di Tanah Masam
Terdapat perbedaan respon pertumbuhan genotipe sorgum terhadap pemberian taraf P di tanah masam. Hasil analisis ragam (Tabel 3) menunjukkan faktor genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati. Faktor taraf P juga berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati, tetapi interaksinya berpengaruh sangat nyata hanya pada bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk. Semua genotipe menunjukkan respon yang sama terhadap pemberian taraf P pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah akar dan bobot kering akar sorgum di tanah masam dapat dilihat pada Tabel 4, namun untuk peubah bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk respon genotipe tidak sama terhadap pemberian taraf P di tanah masam (Tabel 5).
Tabel 3 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh genotipe, perlakuan taraf P dan interaksinya terhadap pertumbuhan sorgum
Peubah Genotipe Pemberian taraf P Interaksi
KT KT KT
Tinggi tanaman 84063.2** 5649.8** 1048.2tn Jumlah daun 126.9** 11.4** 2.6tn Bobot basah akar 2085.9** 462.0** 138.1tn Bobot basah tajuk 42996.5** 10603.4** 2339.6** Bobot kering akar 84.1** 25.8** 6.1tn dan berbeda nyata pada genotipe lainnya. Bobot basah akar dan bobot kering akar pada genotipe WHP tidak berbeda nyata dengan genotipe Numbu dan berbeda nyata pada genotipe lainnya.
23 Genotipe Numbu dan WHP menunjukkan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah akar dan bobot kering akar lebih tinggi dari genotipe lainnya, sedangkan genotipe PI-150-21-A dan PI-150-20-A rata-rata pertumbuhannya tertekan sehingga ada tanamannya yang mati (Tabel 4). Kim et al. (2010a) juga menyatakan bahwa perbedaan genotipe sorgum mempengaruhi pembentukan batang yang terkait dengan perbedaan membentuk asimilat dan adanya perbedaan genotipe mengontrol pembentukan batang dan pertumbuhan panjang luas daun. Selanjutnya Kim et al. (2010b), menunjukkan bahwa terdapat interaksi genotipe dengan pengelolaan lingkungan yang terkait dengan adaptasi kekeringan.
Tabel 4 Nilai rataan tinggi tanaman, jumlah daun bobot basah akar dan bobot kering akar sorgum umur 9 MST di tanah masam
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %; tn = tidak nyata; KK = koefisien keragaman 1)= hasil transformasi √x + 1.