• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Antihiperglikemia Ekstrak Kulit Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King) pada Tikus yang Diinduksi Aloksan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Antihiperglikemia Ekstrak Kulit Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King) pada Tikus yang Diinduksi Aloksan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PADA TIKUS YANG DIINDUKSI ALOKSAN

JAP MAI CING

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

(

Swietenia macrophylla

King) pada Tikus yang Diinduksi Aloksan. Dibimbing

oleh MEGA SAFITHRI dan SYAMSUL FALAH.

Kulit kayu mahoni (

Swietenia macrophylla

King) mengandung senyawa aktif

yang memiliki aktivitas antihiperglikemia. Penelitian ini bertujuan untuk

mengkaji pengaruh ekstrak kulit kayu mahoni terhadap konsentrasi glukosa darah

dan gambaran histopatologi pankreas tikus yang diinduksi aloksan. Pada

penelitian ini tikus

Sprague-Dawley

dibagi dalam 5 kelompok masing-masing 5

ekor, yaitu A (NaCl 0,9%+akuades), B (aloksan + akuades), C (aloksan +

Glibenclamide

0,25 mg/kg BB), D (aloksan + ekstrak air kulit kayu mahoni 250

mg/kg BB), dan E (aloksan + ekstrak metanol kulit kayu mahoni 250 mg/kg BB).

Konsentrasi glukosa darah ditentukan dengan menggunakan glukometer

Accu-Chek

®

Active.

Analisis histopatologi pankreas dilakukan dengan pewarnaan

(3)

macrophylla

King) Bark Extract on Rats Induced Alloxan. Under direction of

MEGA SAFITHRI and SYAMSUL FALAH.

Mahogany bark (

Swietenia macrophylla

King) contain active compound

which have antihyperglycemic activity. This research was aimed at investigating

the effect of mahogany bark on blood glucose concentration and histopathology in

rat’s pancreas which induced alloxan. On this research

Sprague-Dawley

rats were

divided into 5 groups, each group were 5 rats, A (NaCl 0.9% + aquades), B

(aloxan + aquades), C (aloxan +

Glibenclamide

0.25 mg/kg BW), D (aloxan +

water extract of mahogany bark 250 mg/kg BW), and E (aloxan + metanol extract

of mahogany bark 250 mg/kg BW). Blood glucose concentration defined by using

(4)

PADA TIKUS YANG DIINDUKSI ALOKSAN

JAP MAI CING

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Nama

: Jap Mai Cing

NIM

: G84051676

Disetujui

Komisi pembimbing

Mega Safithri, S. Si., M.Si.

Dr. Syamsul Falah,S. Hut., M. Si.

Ketua

Anggota

Diketahui

Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc.

Ketua Departemen Biokimia

(6)

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang

dilaksanakan sejak bulan Mei 2009 hingga Desember 2009 ini bertemakan potensi

antihiperglikemik kulit kayu mahoni, dengan judul Potensi Antihiperglikemia

Ekstrak Kulit Kayu Mahoni (

Swietenia macrophylla

King) pada Tikus yang

Diinduksi Aloksan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian,

Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut

Pertanian Bogor, serta Laboratorium Patologi Balai Besar Penelitian Veteriner

Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Mega Safithri, S. Si., M. Si dan Dr.

Syamsul Falah, S. Hut., M. Si selaku pembimbing, serta drh. Sulistiyani M. Sc.,

Ph. D yang telah banyak memberi saran. Selain itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada drh. Yulvian, seluruh staf di Laboratorium Penelitian Departemen

Biokimia, Olga, Fitria, Bakuh, Avissa, Ratna Mustika, dan Andri atas bantuannya

selama penelitian ini dilaksanakan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan

kepada kedua orang tua, Cece, Koko, Anto serta seluruh keluarga atas segala doa

dan dukungannya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan karya

ilmiah ini. Namun demikian, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat

bermanfaat.

Bogor, Agustus 2010

(7)

1988 dari ayah Jap Eng Hoat dan ibu Kwee Giok Lie. Penulis merupakan anak

bungsu dari tiga bersaudara.

Tahun 1993-1994 penulis menempuh pendidikan pertama kali di TK

Mariana Padang. Tahun 1994-2000 penulis menempuh pendidikan dasar di SD

Santa Theresia Padang. Selanjutnya, tahun 2000-2003 penulis melanjutkan

pendidikan di SLTP Maria Padang. Tahun 2003-2005 penulis menempuh

pendidikan di SMU Don Bosco Padang, kemudian pada tahun 2005 melanjutkan

studi di Institut Pertanian Bogor. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB. Tahun 2006 penulis memilih Departemen Biokimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……… ix

DAFTAR GAMBAR………... ix

DAFTAR LAMPIRAN……… ix

PENDAHULUAN………... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Melitus………. 1

Pengobatan Diabetes Melitus……….

3

Mahoni (

Swietenia macrophylla

King)……….. 4

Hewan Percobaan………... 5

Pankreas……….. 6

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat……… 6

Metode Penelitian

………... 7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Bobot Badan Tikus dan Konsumsi Pakan... 8

Potensi Antihiperglikemia Ekstrak Kulit Kayu Mahoni……….... 10

Perubahan Hist

opatologi Pankreas………. 12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan………. 14

Saran………... 14

DAFTAR PUSTAKA………... 14

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Bobot badan tikus selama masa adaptasi

……….. 9

2 Konsumsi pakan tikus selama masa adaptasi

……….... 9

3 Bobot badan tikus selama masa perlakuan

………...……... 10

4 Konsumsi pakan tikus selama masa perlakuan

……….…. 10

5 Konsentrasi glukosa darah tikus selama perlakuan………... 11

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Swietenia macrophylla

King

………..… 4

2 Struktur kimia aloksa

n………... 6

3 Anatomi pankreas………... 6

4 Hasil histopatologi pankreas ………. 13

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Alur kerja penelitian………..………. 18

2 Diagra

m alir masa adaptasi dan perlakuan………. 18

3 Perhitungan pemakaian aloksan, dosis glibenklamid, dan dosis ekstrak

kulit kayu mahoni……….... 19

4

Diagram alir histopatologi………... 19

5

Bobot badan tikus selama masa adaptasi dan perlakuan………. 20

6

Uji statistika terhadap bobot badan tikus………. 21

7

Konsumsi pakan selama masa adaptasi dan perlakuan……… 25

8 Uji statistika terhadap konsumsi p

akan tikus………... 26

9

Konsentrasi glukosa darah tikus selama masa perlakuan………. 30

10 Rata-rata penurunan konsentrasi glukosa darah tikus selama masa

perlakuan……….. 30

11 Uji statistika terhad

ap konsentrasi glukosa darah tikus………...… 31

(10)

PENDAHULUAN

Diabetes termasuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan hingga saat ini. Menurut WHO, diabetes adalah ancaman yang meningkat bagi kesehatan masyarakat, dari 30 juta penduduk dunia pada tahun 1985 menjadi 171 juta pada tahun 2000. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderitanya akan melonjak menjadi 366 juta orang. Indonesia menempati peringkat ke-4 jumlah penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Jumlahnya 8,4 juta pada tahun 2000 dan diperkirakan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild et al. 2004).

Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya konsentrasi glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2005). Selain itu, stres oksidatif juga terlibat dalam diabetes melitus yang terjadi secara alami dan induksi bahan kimia. Pada diabetes melitus terjadi peningkatan produksi radikal bebas sehingga sistem pertahanan antioksidan terganggu. Akhirnya stres oksidatif menyebabkan kerusakan oksidatif seluler,

termasuk pada sel β pankreas (Winarto 2009).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi diabetes, seperti pengaturan pola makan dan olah raga teratur, penggunaan obat antidiabetes oral misalnya golongan sulfonil urea dan biguanida, serta suntikan insulin. Saat ini insulin dan obat-obat yang beredar di pasaran, selain memiliki harga yang relatif mahal juga memiliki efek samping, misalnya gangguan saluran cerna dan susunan saraf pusat. Oleh karena itu, masyarakat selalu berupaya untuk mencari alternatif pengobatan lain misalnya pengobatan dengan bahan alam, selain mudah didapat, harga relatif murah, juga efek samping yang lebih kecil, dibandingkan dengan obat sintetik (Sunarsih

et al. 2007).

Pengobatan dengan menggunakan bahan alam (pengobatan tradisional) telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, jauh sebelum obat-obatan modern dikenal oleh masyarakat. Saat ini, dengan berkembangnya

prinsip back to nature, manusia cenderung memilih bahan alam yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sebagai obat bagi kesehatannya. Di antara 250.000 spesies tumbuhan obat di seluruh dunia diperkirakan banyak yang mengandung senyawa antidiabetes melitus yang belum diketemukan (Suharmiati 2003).

Salah satu tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai antidiabetes melitus adalah mahoni (Swietenia macrophylla King). Telah banyak penelitian yang mengungkap bahwa mahoni mempunyai khasiat sebagai antidiabetes, namun yang biasa digunakan adalah bijinya (Widowati 1997). Penelitian dengan menggunakan kulit kayu mahoni belum pernah dilakukan. Penelitian pendahuluan oleh Falah et al. 2008 telah membuktikan adanya aktivitas antioksidan kulit kayu mahoni. Adanya aktivitas antioksidan ini dapat digunakan untuk mengatasi diabetes yang salah satu penyebabnya adalah reaksi oksidatif. Selain itu, menurut Ningsih (2010), ekstrak kulit kayu mahoni mengandung senyawa tanin, terpenoid, saponin, alkaloid, dan flavonoid. Di antara senyawa-senyawa tersebut, alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa aktif bahan alam yang telah diteliti memiliki aktivitas antidiabetes (Salim 2006).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ekstrak kulit kayu mahoni terhadap konsentrasi glukosa darah dan gambaran histopatologi pankreas tikus yang diinduksi aloksan. Hipotesis penelitian ini adalah ekstrak kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) mampu menurunkan konsentrasi glukosa darah tikus putih hiperglikemia yang diinduksi aloksan. Ekstrak tersebut bekerja dengan cara memperbaiki kelenjar pankreas.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi pada masyarakat tentang khasiat ekstrak kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) sebagai antidiabetes melitus. Selain itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah pada kulit kayu mahoni yang sebelumnya hanya menjadi limbah.

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Melitus

(11)

poliuri (banyak kencing). Di India sekitar 400 tahun sebelum Masehi telah dikenal suatu penyakit yang bersifat banyak kencing dan kencing terasa manis oleh karena itu disebut

honey urine. Nama diabetes pertama kali diperkenalkan oleh Arateus, seorang dokter bangsa Roman yang hidup pada tahun 150 sesudah Masehi (Adam 2005). Kata diabetes

berasal dari bahasa Yunani yang artinya pipa air yang melengkung (siphon). Selanjutnya, ditambahkan kata mellitus yang berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang berarti madu. Kata ini ditambahkan karena ketika diabetes terjadi, urin penderitanya berasa manis (Scobie 2007).

Secara ilmiah, Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Scobie 2007). Insulin adalah hormon protein berantai ganda dan dibentuk dari proinsulin di sel beta pulau kecil pankreatik Langerhans, berfungsi untuk mengubah glukosa menjadi glikogen (Silalahi 2006). Dalam keadaan normal bila kadar glukosa darah naik maka insulin akan dikeluarkan dari kelenjar pankreas dan masuk ke dalam aliran darah. Dalam aliran darah, insulin akan menuju reseptor yaitu 50% ke hati, 10-20% ke ginjal, dan 30-40% bekerja pada sel darah, otot, dan jaringan lemak. Peran insulin dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sangat penting. Kurang insulin dalam tubuh dapat berujung pada kondisi asidosis (turunnya pH darah) yang dapat menyebabkan kematian. Kurangnya produksi insulin dalam tubuh juga merupakan penyebab diabetes yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah (Granner 2000).

American Diabetes Association (ADA) menetapkan konsentrasi glukosa darah normal saat puasa kurang dari 100 mg/dL. Glukosa plasma terganggu jika konsentrasi glukosa saat puasa antara 100-125 mg/dL, sedangkan toleransi glukosa terganggu jika konsentrasi glukosa darah setelah pembebanan glukosa 75 g, antara 140-199 mg/dL. Seseorang dikatakan menderita diabetes jika konsentrasi glukosa darah saat puasa lebih dari 126 mg/dL atau bila konsentrasi glukosa darah setelah pembebanan glukosa 75 g lebih dari 200 mg/dL (Masharani 2008).

Diabetes melitus dibagi menjadi 2 kategori utama berdasarkan sekresi insulin endogen untuk mencegah munculnya ketoasidosis, yaitu (1) Diabetes melitus tergantung insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe I, dan (2) Diabetes

melitus tidak tergantung insulin (NIDDM =

non-insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe II (Nugroho 2006). Diabetes tipe 1 adalah kondisi yang ditandai oleh tingginya konsentrasi glukosa darah yang disebabkan oleh ketiadaan total hormon insulin. Diabetes tipe 1 terjadi ketika sistem imun tubuh

menyerang sel β yang menghasilkan insulin pada pankreas dan menghancurkannya. Sel β

kemudian hanya sedikit atau tidak menghasilkan insulin sehinggga glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk digunakan sebagai energi. Kondisi ini hanya bisa diobati dengan pemberian insulin (Depkes RI 2005).

Kerusakan sel β secara agresif menyebabkan penyakit tampak dalam beberapa bulan pada anak yang masih muda, meskipun ada juga proses yang akan berlanjut dalam beberapa tahun, bahkan ada beberapa kasus yang berlanjut lebih dari 10 tahun. Gejala-gejala yang sering muncul pada penderita diabetes tipe 1 adalah sering kencing, sering merasa haus, terjadi penurunan berat badan, sering merasa lapar, dan merasa lemah (Rubin 2004). Gejala mungkin terjadi secara tiba-tiba. Tanpa pemberian insulin, diabetes tipe 1 akan dengan cepat berakibat fatal. Penderita diabetes tipe 1 tergantung pada injeksi insulin untuk mencegah hiperglikemia dan ketoasidosis. Jika penyuntikan insulin tidak cukup, seseorang dapat memasuki koma akibat ketoasidosis, ketidakseimbangan, elektrolit, dan dehidrasi. Sebaliknya, jika pemberian insulin berlebih dapat menyebabkan koma karena hipoglikemia (WHO 2006).

(12)

Ada tiga kondisi abnormal yang mungkin dimiliki penderita diabetes tipe 2. Pertama, mutlak kekurangan insulin yang berarti sekresi hormon insulin berkurang karena kerusakan sel-sel β pankreas. Kedua, relatif kekurangan insulin ketika sekresi insulin tidak mencukupi dengan adanya kebutuhan metabolisme yang meningkat (misalnya pada kasus obesitas). Ketiga, resiten terhadap insulin dan hiperinsulinemia karena penggunaan insulin perifer yang kurang sempurna. Gejala yang sering muncul pada penderita diabetes tipe 2 adalah cepat lelah; sering kencing; sering lapar dan haus; penglihatan menjadi buram; lambatnya penyembuhan penyakit kulit, gusi dan infeksi saluran kencing; terasa gatal pada bagian kelamin; mati rasa pada kaki atau tungkai; dan penyakit jantung (Rubin 2004). Obesitas atau kelebihan simpanan lemak sering mengiringi atau mendahului terjadinya penyakit diabetes tipe 2 (Carolyn 2001).

Diabetes cenderung menurun dalam keluarga. Menurut Joslin Diabetes Center Boston (2007) yang berafiliasi dengan Harvard Medical School, mereka yang paling beresiko terkena diabetes adalah orang-orang yang berusia 45 tahun atau lebih, kelebihan berat, kegiatan fisik yang kurang aktif, sebelumnya terindikasi memiliki IFG (impaired fasting glucose) atau IGT (impaired glucose tolerance), memiliki riwayat keluarga yang terkena diabetes, bagian dari kelompok etnik tertentu (termasuk Asia, Africa, Hispanik and America Asli, Aborigin Australia, India, dan keturunan Timur Tengah), pernah memiliki diabetes pada waktu hamil atau pernah melahirkan anak dengan berat lebih dari 9 pon (4 kg), memiliki tekanan darah yang meningkat, memiliki kadar kolesterol HDL sebanyak 35 mg/dL (1,94 mmol/L) atau lebih rendah, kadar triglyserin sebesar 250 mg/dL (13,9 mmol/L) atau lebih besar, memiliki polycystic ovary syndrome, memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah.

Pengobatan Diabetes Melitus

Pengobatan diabetes melitus terbagi dalam empat bentuk utama, yaitu diet, olah raga, terapi insulin, dan pemberian obat hipoglikemia oral. Diet untuk memperoleh berat badan ideal dan menghindari peningkatan kadar glukosa darah. Olah raga meningkatkan sensitivitas insulin sehingga dapat meningkatkan kerja insulin mengontrol konsentrasi glukosa darah (Marthur 2003).

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes melitus tipe 1. Pada diabetes melitus tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita diabetes melitus tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin di samping terapi hipoglikemia oral (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2005).

Obat hipoglikemia oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes melitus tipe II. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat hipoglikemia oral dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu 1) obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemia oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin), 2) sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemia golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif, 3) inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α -glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia), disebut juga

starch blocker (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2005).

Glibenclamide merupakan salah satu contoh obat hipoglikemia oral yang merupakan turunan sulfonilurea, termasuk dalam golongan glibenklamida. Obat ini dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Glibenclamide

(13)

manfaatnya. Mekanisme kerjanya mungkin tidak diketahui secara pasti, namun dapat diperkirakan bahwa efeknya dalam menurunkan konsentrasi gula darah mungkin sama seperti obat-obat hipoglikemia oral. Penggunaan tanaman sebagai bahan obat tradisional memerlukan penelitian ilmiah untuk mengetahui kebenaran khasiatnya. Dengan didapatnya data yang meyakinkan secara ilmiah, maka penggunaan tanaman tersebut sebagai obat dapat dijamin kebenarannya. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Andayani pada tahun 2003 menunjukkan bahwa ekstrak kasar buncis mampu menurunkan konsentrasi glukosa darah sampai 30% pada kelinci diabetes yang diinduksi dengan aloksan. Ekstrak etanol herba sambiloto dengan dosis 2g/kg BB dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus (Yulinah et al. 2001). Menurut Widowati et al. (1997), biji mahoni memiliki khasiat sebagai anti diabetes. Biji mahoni diseduh dan diminum dengan dosis ½ sendok teh sebanyak 3 kali sehari.

Mahoni

Tanaman mahoni (Swietenia macrophylla

King) termasuk ke dalam famili Meliaceae. Mahoni (Gambar 1) biasanya ditanam di tepi jalan sebagai pohon pelindung. Selain ditanam, mahoni juga dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan tempat-tempat lain di sekitar pantai. Tanaman asal Hindia Barat ini dapat tumbuh subur pada pasir payau yang dekat dengan pantai. Mahoni merupakan tanaman tahunan yang berakar tunggang, berbatang bulat, bercabang banyak, dan kayunya bergetah (IPTEK 2005).

Pohon mahoni selalu hijau dengan tinggi antara 30-35 m. Kulitnya berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi coklat tua, menggelembung dan mengelupas setelah tua. Daun bertandan dan menyirip yang panjangnya berkisar 35-50 cm, tersusun bergantian, halus berpasangan, 4-6 pasang tiap daun, panjangnya berkisar 9-18 cm. Daunnya yang muda berwarna merah, namun setelah tua warnanya hijau. Mahoni berbunga majemuk yang tersusun dalam karangan dan keluar dari ketiak daun. Bunga kecil berwarna putih, panjangnya 10-20 cm. Mahoni baru berbunga setelah berumur 7 tahun. Kayu mahoni ini termasuk bahan mebel bernilai tinggi karena dekoratif dan mudah dikerjakan. Tanaman ini ditanam secara luas di daerah tropis dalam program reboisasi dan penghijauan. Dalam sistem agroforestri,

pohon mahoni digunakan sebagai tanaman naungan dan kayu bakar (Forest Seed Centre

2001).

Buah mahoni kering merekah, umumnya berbentuk kapsul bercuping 5, keras, panjangnya 12-15 cm bahkan sampai 22 cm, berwarna abu-abu coklat. Bagian luar buah mengeras, ketebalan 5-7 mm, sedangkan bagian dalam lebih tipis. Di bagian tengah, buah mengeras seperti kayu, berbentuk kolom dengan 5 sudut yang memanjang menuju ujung. Biji menempel pada kolumela melalui sayapnya, meninggalkan bekas yang nyata setelah benih terlepas. Umumnya pada setiap buah terdapat 35-45 biji. Bijinya coklat, lonjong padat, bagian atas memanjang melengkapi menjadi sayap, panjangnya mencapai 7.5-15 cm dengan extensive air spaces. Biji disebarkan oleh angin. Jumlah biji 1800-2500 per kg. Di Indonesia, pohon mahoni berbunga pada bulan September-Oktober dan berbuah pada bulan Juni-Agustus (Forest Seed Centre 2001).

Kayu mahoni memiliki banyak kegunaan, seperti mebel, alat musik, pembuatan kapal, pembuatan pola, dan ukiran. Daun mahoni digunakan sebgai pewarna (Mahale et al.

2006). Bijinya digunakan sebagai obat aborsi oleh suku Bolivia Amazon (Bourdy et al.

2000), sebagai obat hipertensi, diabetes, dan malaria di Indonesia. Kulit kayunya biasanya hanya menjadi limbah dari industri mebel. Namun, ekstrak kulit kayu mahoni dapat digunakan sebagai penyembuh luka dan zat pewarna merah. Ekstrak kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) mengandung tiga komponen yang berpotensi sebagai antioksidan. Komponen tersebut adalah

[image:13.595.374.460.629.723.2]

swietemacrophyllanin, epikatekin, dan katekin (Falah et al. 2008). Menurut Ningsih (2010) ekstrak kulit kayu mahoni tersebut mengandung senyawa tanin, terpenoid, saponin, alkaloid, dan flavonoid. Di antara senyawa-senyawa tersebut, alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa aktif bahan alam yang telah diteliti memiliki aktivitas anti diabetes (Salim 2006).

(14)

Hewan Percobaan

Hewan coba memiliki peranan penting dalam penelitian, terutama yang berkaitan dengan evaluasi nilai gizi yang berhubungan dengan manusia. Hasil penelitian tersebut diekstrapolasikan pada manusia dan diterima sebagai azas untuk menerangkan fenomena pada manusia. Banyak bukti menunjukkan bahwa penggunaan hewan coba dapat menggambarkan dengan baik berbagai keadaan pada manusia, baik dari aspek fisiologi maupun morfologi. Hewan coba juga merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi beberapa keadaan yang tidak mungkin dilakukan pada manusia (Andayani 2003).

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian diabetes melitus adalah hewan laboratorium yang memiliki respon alami ataupun respon buatan serta memiliki karakteristik yang mirip (sebagian atau keseluruhan) dengan diabetes melitus yang terjadi pada manusia. Faktor yang mempengaruhi pemilihan hewan model, diantaranya harga, kemudahan memperoleh, perawatan serta kemiripan dengan manusia (anatomi, fisiologi, dan kedekatan genetik). Hewan yang paling sering digunakan dalam penelitian diabetes adalah tikus dan kelinci. Tikus banyak digunakan karena sifat-sifatnya telah diketahui dengan baik, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat, serta peka terhadap pengaruh perlakuan dalam komponen dietnya (Rohmawati 2008). Terdapat lima macam basic stock tikus putih (Albino Normal rat, Rattus norvegicus) yang biasa digunakan dalam penelitian yaitu

Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar. Sunarsih (2007) menggunakan tikus wistar jantan untuk melihat pengaruh pemberian infusa umbi gadung terhadap penurunan konsentrasi glukosa darah. Kusumawati (2004) melaporkan bahwa konsentrasi glukosa darah normal tikus adalah 50-135 mg/ dL. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Sprague Dawley jantan, berumur 3-4 bulan dengan bobot badan berkisar antara 300-450 gram, dan sehat sebagai hewan coba. Tikus

Sprague Dawley betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberi respon yang berbeda dan mempengaruhi hasil penelitian. Tikus Sprague Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada

badannya. Beberapa karakteristik Sprague Dawley adalah (1) nocturnal, aktif pada malam hari dan tidur pada siang hari, (2) tidak mempunyai kantung empedu, (3) tidak dapat memuntahkan kembali isi perutnya, dan (4) tidak pernah berhenti tumbuh, namun kecepatan pertumbuhannya akan menurun setelah berumur 100 hari (Malole & Pramono 1989).

Percobaan mengenai diabetes melitus dengan menggunakan hewan percobaan didasarkan pada patogenesis penyakit tersebut pada manusia. Namun, kondisi patologis hewan percobaan tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi patologis secara ril pada manusia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain perbedaan kondisi fisiologi, perbedaan patologis dari beberapa model diabetes melitus, ragam penyakit diabetes melitus, serta komplikasi yang menyertai dari penyakit tersebut. Menurut Cheta (1998), berdasarkan cara pembuatannya, hewan percobaan diabetes melitus dibedakan menjadi dua yaitu: (1) terinduksi (induced), misalnya melalui pankreaktomi, senyawa kimia (diabetogenik) dan virus; (2) spontan (spontaneous), misalnya menggunakan tikus BB (bio breeding) atau mencit NOD (non-obese diabetic). Spontaneous animal models

mempunyai karakteristik yang relatif sama dengan kondisi diabetes melitus pada manusia meliputi gejala-gejala penyakit, imunologi, genetik maupun karakteristik klinik lainnya. Menurut Rane (2000), salah satu bahan kimia diabetogenik adalah aloksan. Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6-dioksiurasil) merupakan senyawa hidrofilik dan tidak stabil (Gambar 2). Waktu paruh pada suhu 37°C dan pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama pada suhu yang lebih rendah. Bahan kimia tersebut diberikan dengan dosis yang dapat menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel

(15)

Gambar 2 Struktur kimia aloksan (Nugroho 2006).

Selain aloksan, bahan kimia diabetogenik yang lain adalah streptozotosin (STZ, 2-deoksi-2-(3-metil-3-(nitrosoureido)-D-gluko piranosa)) yang disintesis oleh Streptomycetes achromogenes. Sifat diabetogenik STZ diduga terjadi karena kerusakan DNA dalam sel-sel β pankreas. Elsner et al. (2000) melaporkan bahwa penyebab kematian sel-sel β pankreas hasil induksi STZ adalah proses alkilasi DNA. Kerusakan DNA pada sel-sel β pankreas juga disebabkan oleh aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dihasilkan oleh nitrogen oksida (NO) yang bersumber dari STZ. Di dalam mitokondria, NO akan meningkatkan aktivitas santin oksidase dan menurunkan konsumsi oksigen yang berdampak pada gangguan produksi ATP sehingga mengakibatkan kerusakan DNA.

Pankreas

Pankreas adalah kelenjar majemuk bertandan, strukturnya mirip kelenjar ludah. Panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari duodenum sampai limpa. Pankreas terdiri atas kelenjar eksokrin dan endokrin (Gambar 3). Kelenjar eksokrin menghasilkan sejumlah enzim pencernaan, antara lain amilase, lipase, dan tripsin. Kelenjar endokrin (pulau Langerhans) merupakan kumpulan sel ovoid yang tersebar di seluruh pankreas. Di dalam pulau tersebut terdapat beberapa jenis sel berdasarkan sifat pewarnaan dan morfologinya. Ada lebih kurang 4 jenis sel

yaitu sel α, β, δ, dan sel f (Scobie 2007). Sel α mensekresikan glukagon yang dapat menaikkan konsentrasi glukosa dan asam lemak bebas dalam darah. Sel α memicu glikogenolisis, lipolisis, dan glukoneogenesis dalam hati. Sebaliknya, sel β mensekresikan hormon insulin yang dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah dan memicu sintesis glikogen, lemak, dan protein dalam banyak sel. Sel β jumlahnya terbanyak di dalam kelenjar pankreas hampir 60-75%. Sel

β merupakan sumber insulin. Insulin bekerja

[image:15.595.324.506.83.188.2]

pada keadaan atau konsentrasi glukosa yang tinggi dan sifatnya menurunkan konsentrasi glukosa yang tinggi menjadi normal. Kelainan fungsi sel β dapat menyebabkan penyakit

Gambar 3 Anatomi pankreas (Herman 2010).

diabetes melitus. Sel δ melepaskan somatostatin yang menghambat sekresi insulin dan glukagon, sedangkan sel f fungsinya tidak diketahui, sel ini mungkin adalah sel cadangan atau sel yang sedang istirahat (Scobie 2007). Pulau Langerhans dilalui oleh kapiler-kapiler darah. Pada pewarnaan HE, akan terlihat pulau Langerhans lebih pucat dibandingkan dengan sel-sel kelenjar acinar di sekelilingnya sehingga pulau Langerhans mudah dibedakan. Penderita DM akan mengalami perubahan morfologi pada pulau Langerhans, baik dalam jumlah maupun ukurannya. Jumlah dan ukuran pulau

Langerhans berkaitan dengan jumlah sel β

penghasil insulin pada jaringan pankreas. Semakin besar jumlah dan ukuran pulau Langerhans, diindikasikan semakin besar pula

jumlah sel β karena 60-75% pengisi pulau

Langerhans adalah sel β (Guz et al.2001, Scobie 2007).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam masa adaptasi dan perlakuan hewan percobaan adalah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang berusia 3-4 bulan dengan bobot 300-450 g, pakan standar, akuades, sekam kayu, NaCl 0,9%, aloksan tetrahidrat,

Glibenclamide, dan ekstrak kulit kayu mahoni (Mardisadora 2010). Bahan yang digunakan pada pengukuran kadar glukosa darah adalah betadine, kapas, minyak kelapa, dan strip glukometer. Bahan yang digunakan pada analisis histopatologi adalah eter, BNF 10%, alkohol (70%, 80%, 90%, 95%, dan absolut), xilol, parafin, pewarna Haematoxylin Eosin,

litium karbonat, albumin, serta gliserin. Alat yang digunakan dalam masa adaptasi dan perlakuan adalah kandang berukuran 50x30x15 cm, wadah pakan dan air, sabun,

(16)

digunakan pada pengukuran konsentrasi glukosa darah adalah gunting danglukometer

Accu-Chek® Active. Alat yang digunakan pada analisis histopatologi adalah alat bedah (pinset, gunting, skapel), pot, kaset tissue, tissue processor, mikroskop cahaya, kaca objek, kaca penutup, tissue-tec, cetakan, serta

rotary microtom.

Metode Penelitian

Hewan Coba dan Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih galur Sprague-Dawley dengan jenis kelamin jantan, sehat, dan mempunyai aktivitas normal. Tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama 2 minggu dengan pemberian pakan standar dan minum akuades secara ad libitum hingga berusia 3-4 bulan dan bobot badannya menjadi 300-450 g. Tikus ditempatkan dalam kandang secara individual dengan kondisi cahaya dan ventilasi yang cukup pada suhu ruang (sekitar 25-29o C). Tikus dibagi menjadi 5 kelompok dengan 5 ekor tikus dalam setiap kelompok. Kelompok A (kontrol) adalah kelompok tikus yang diinduksi dengan NaCl 0,9 % (b/v) dan dicekok akuades sebanyak 1 mL. Kelompok B adalah kelompok tikus yang diinduksi dengan aloksan dan dicekok akuades sebanyak 1 mL. Kelompok C diinduksi dengan aloksan dan diberi obat anti diabetes Glibenclamide

dengan dosis 0,25 mg/kg BB. Kelompok D diinduksi dengan aloksan dan diberi ekstrak air kulit kayu mahoni dengan dosis 250 mg/kg BB (1000x dosis Glibenclamide). Kelompok E diinduksi dengan aloksan dan diberi ekstrak methanol kulit kayu mahoni dengan dosis 250 mg/kg BB (1000x dosis Glibenclamide). Maksimum jumlah larutan yang dicekokan adalah 1 mL.

Aloksan diinduksikan pada hari ke-0, namun sebelumnya tikus harus dipuasakan sekitar 16 jam agar lebih rentan terhadap serangan aloksan (Szkudelski 2001). Sebelum aloksan disuntikkan, dilakukan pengukuran konsentrasi glukosa darah terlebih dahulu. Selanjutnya, untuk melihat peningkatan konsentrasi glukosa darah, maka pada hari ke-3 dilakukan pengukuran glukosa darah lagi. Setelah itu, tikus dicekok sesuai dengan perlakuan masing-masing kelompok. Pencekokan berlangsung sampai hari ke-14 (selama 12 hari). Dosis aloksan yang diinduksikan sebesar 200 mg/kg BB (konsentrasi 5% b/v dalam pelarut akuades steril) (Andayani 2003) dan dilakukan secara intraperitonial (Permata 2006). Selama masa

perlakuan dilakukan pengamatan terhadap konsumsi pakan dan bobot badan pada hari ke-0, 3, 5, 8, dan 15.

Pengukuran Konsentrasi Glukosa Darah Pengukuran konsentrasi glukosa darah dilakukan pada masa perlakuan di hari ke-0, 3, 5, 8, dan 15. Sebelum pengambilan darah, tikus dipuasakan selama 16 jam. Darah diambil melalui bagian ekor, namun 1 jam sebelumnya tikus dijemur agar pori-porinya membesar sehingga saat pengambilan darah tidak terjadi lisis. Ekor tikus dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol 70%, kemudian ujung ekor dipotong sedikit (maksimal 5 mm dari bagian ujungnya) menggunakan gunting steril hingga berdarah. Ekor tikus diurut sambil dipijat hingga darah menetes. Tetesan darah yang diperoleh diteteskan di atas strip glukometer dan diukur dengan menggunakan glukometer Accu-Chek® Active. Pengukuran glukosa darah dengan menggunakan glukometer Accu-Chek® Active

sesuai dengan metode Roche Diagnostics (2005). Konsentrasi glukosa darah terukur pada alat setelah 5 detik dan dinyatakan dalam satuan mg/ dL. Sebelumnya, alat disesuaikan dengan kode yang tertera pada kemasan strip. Metode ini berdasarkan reaksi antara glukosa dan NAD+ menjadi glukonolakton oleh enzim glukosa dehidrogenase (β-D -glukosa:NAD-oksidoreduktase).

Histopatologi Pankreas

Histopatologi (modifikasi Andrew Kent 1985) yang dilakukan meliputi proses nekropsi, pengambilan sampel, fiksasi, dehidrasi, penjernihan (clearing), pencetakkan (embedding), pemotongan, pewarnaan (staining), penutupan sediaan, dan pengamatan dengan mikroskop cahaya. Nekropsi, Pengambilan Sampel, dan Fiksasi Pankreas Tikus. Sebelum dilakukan pembedahan, tikus dietanasi dengan menggunakan dietil eter. Setelah mati, hewan coba dibedah dengan melakukan sayatan di sepanjang toraks sampai pubis. Pankreas diambil, lalu dimasukkan ke dalam pot berlabel yang berisi BNF 10% untuk proses fiksasi selama 3x24 jam. Setelah matang, sampel diiris setebal ± 3mm2, lalu dimasukkan ke dalam kaset tissue berlabel dan siap untuk didehidrasi.

Dehidrasi dan Penjernihan Sampel. Kaset tissue yang berisi sampel dimasukkan ke dalam keranjang dan ditempatkan pada alat

(17)

konsentrasi bertingkat dengan urutan alkohol 70%, alkohol 80% (2 kali pada larutan yang berbeda), alkohol 90%, alkohol 96%, dan alkohol absolut ( 2 kali pada larutan yang berbeda), masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya, dilakukan penjernihan dengan menggunakan xilol (3 kali pada larutan yang berbeda) masing-masing selama 40 menit. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan menggunakan parafin 60oC sebanyak 4 kali selama 30 menit. Pada tahap pencucian keranjang yang berisi sampel direndam dalam xilol, alkohol 96%, dan akuades. Kaset tissue

yang berisi sampel dikeluarkan dari alat dan sampel siap untuk ditanam dalam parafin (embedding).

Embedding. Proses embedding dilakukan dengan menggunakan alat tissue-tek.

Embedding dimulai dengan memasukkan parafin cair sebanyak seperempat dari volume cetakan ke dalam cetakan. Selanjutnya, potongan pankreas dimasukkan sampai menyentuh dasar cetakan. Cetakan dipenuhi dengan parafin cair dan diberi label. Parafin dibiarkan membeku selama beberapa menit, setelah itu dilepaskan dari cetakan.

Pemotongan dengan Rotary Microtom. Setelah parafin membeku, dilakukan pemotongan pankreas setebal 4-5 µ dengan menggunakan rotary microtom. Hasil cetakan diletakkan di atas permukaan air yang dipanaskan sampai suhu 40oC. Setelah itu potongan diletakkan pada preparat dan dikeringkan dalam inkubator minimal selama 2 jam pada suhu 56oC.

Pewarnaan Jaringan Pankreas. Sediaan yang telah diperoleh diwarnai dengan menggunakan pewarnaan Haematoxylin Eosin

(HE) dengan urutan xilol (2 kali pada larutan yang berbeda) dan alkohol absolut masing-masing selama 2 menit, selanjutnya dengan alkohol 95%, alkohol 80%, lalu dicuci dengan air kran masing-masing selama 1 menit. Tahap selanjutnya adalah pewarnaan dengan menggunakan mayer’s haematoxylin, lalu dicuci dengan air kran masing-masing selama 30 detik, litium karbonat selama 15-30 detik, dicuci dengan air kran selama 2 menit, dan eosin selama 2-3 menit. Pewarnaan kemudian dilanjutkan dengan mencuci sediaan dengan air kran selama 30-60 menit, dicelupkan ke alkohol 95% dan alkohol absolut masing-masing sebanyak 10 kali, alkohol absolut selama 2 menit, xilol selama 1 menit dan xilol selama 2 menit. Setelah proses pewarnaan selesai, kaca preparat dikeringkan dan ditetesi dengan zat perekat albumin : gliserin (1:1) dan selanjutnya ditutup dengan kaca objek.

Preparat tersebut diberi label dan siap untuk diamati di bawah mikroskop cahaya.

Analisis Data

Data pengamatan glukosa darah dianalisis menggunakan program SAS 9.1 dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada tingkat

kepercayaan 95% dan taraf α 0,05, lalu

dilanjutkan dengan uji Duncan. Pengamatan perubahan histopatologi dilakukan secara deskriptif terhadap jaringan pankreas tikus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Bobot Badan Tikus dan Konsumsi Pakan

(18)
[image:18.595.119.514.98.206.2]

Tabel 1 Bobot badan tikus selama masa adaptasi

Kelompok

Rata-rata bobot badan (g)

H-15 H-8 H-5 H-3 H0

A 374.8±39.21a 391.2±43.95a 370.4±37.83a 394±39.01a 380.6±38.83a

B 355.6±23.17a 374±20.45a 353.6±16.15a 383.6±21.51a 367.6±21.61a

C 374.8±25.79a 390.8±29.18a 368±24.82a 394.8±26.25a 367.2±17.24a

D 364.4±31.70a 378±29.46a 357.6±23.77a 388±31.59a 372.4±27.55a

E 371.2±19.06ab 390.4±22.33a 364.4±21.42abc 388.8±23.35a 379.6±19.97a

Keterangan: indeks huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Tabel 2 Konsumsi pakan tikus selama masa adaptasi

Kelompok

Rata-rata konsumsi pakan (g)

H-15 H-8 H-5 H-3 H0

A 26.39±2.64ad 24.02±2.78d 23.48±2.11d 22.64±2.56d 29.32±1.61d

B 26.69±2.35a 25.30±3.14a 27.46±3.65a 24.63±2.43a 20.54±6.64a

C 26.43±2.17b 26.49±2.73b 23.58±6.74ab 24.34±2.64ab 20.40±4.11a

D 26.26±2.47a 24.36±0.78a 24.14±3.7a 22.47±3.88a 21.27±5.54a

E 24.03±3.34ac 26.83±2.51a 25.57±0.72ad 24.49±1.56ad 21.89±3.35abc

Keterangan: indeks huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Pada masa perlakuan yang dilakukan selama 15 hari, bobot badan dan konsumsi pakan tikus ditimbang (Tabel 3 dan Tabel 4). Di awal perlakuan atau sebelum induksi aloksan (H0) menunjukkan bobot badan yang normal yaitu rata-rata 373,48±6,39 g. Rata-rata bobot badan masing-masing kelompok perlakuan pada hari ke-0 tidak berbeda nyata (p<0,05). Konsumsi pakan tikus pada hari ke-0 juga menunjukkan nilai yang normal yaitu rata-rata 22.68±3,76 g. Namun demikian, konsumsi pakan tikus-tikus pada kelompok A berbeda nyata (p<0,05) dengan kelompok B, C, D, dan E. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pakan yang berbeda nyata belum tentu dapat menaikkan bobot badan secara signifikan.

Tiga hari setelah induksi atau sesaat sebelum pencekokan (H3), tikus-tikus pada kelompok A dan C meningkat rata-rata bobot badannya, sedangkan kelompok B, D, dan E menurun rata-rata bobot badannya. Penurunan bobot badan terbesar terjadi pada kelompok D. Penurunan bobot badan pada kelompok D ini sesuai dengan penurunan konsumsi pakannya yang besar juga. Penurunan bobot badan yang terjadi pada kelompok B, D, dan E karena induksi aloksan pada H0 yang dapat menghambat sekresi insulin sehingga absorpsi glukosa ke dalam jaringan terhambat. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya glukoneogenesis dan glikogenolisis pada hati

untuk mendapatkan energi. Glukoneogenesis dapat berasal dari asam amino hasil degradasi protein di otot. Hal ini yang menyebabkan berkurangnya massa otot yang ditunjukkan dengan penurunan bobot badan (Syahputra 2003). Terganggunya sekresi insulin karena aloksan juga menyebabkan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah. Penurunan konsumsi pakan merupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan konsentrasi glukosa dalam darah. Namun demikian, perubahan bobot badan dan konsumsi pakan pada semua kelompok tikus tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan keadaan awal (H0).

(19)
[image:19.595.108.522.103.218.2]

Tabel 3 Bobot badan tikus selama masa perlakuan

Kelompok Rata-rata bobot badan (g)

H0 H3 H5 H8 H15

A 380.6±38.83a 385.6±38.89a 386.4±39.91a 386±40.37a 389.6±41.99a

B 367.6±21.61a 357.6±28.72a 355.8±32.81a 356.8±31.32a 352.8±43.65a

C 367.2±17.24a 370±16.73a 362.4±10.24a 362±7.87a 360.8±9.55a

D 372.4±27.55a 356±34.21a 348±42.68a 336.4±39.88a 325.6±52.05a

E 379.6±19.97a 369.2±19.52abd 351.2±20.57bc 338.8±16.53c 342±15.23cd

Keterangan: indeks huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Tabel 4 Konsumsi pakan tikus selama masa perlakuan

Kelompok Rata-rata konsumsi pakan (g)

H0 H3 H5 H8 H15

A 29.32±1.61d 28.80±2.82d 28.45±2.29d 25.68±3.77ad 27.89±2.64d

B 20.54±6.64a 19.64±10.87a 20.09±8.34a 20.02±7.65a 20.93±7.15a

C 20.40±4.11a 20.08±5.79a 20.48±1.47a 18.50±4.55a 20.83±2.54ab

D 21.27±5.54a 16.58±7.49a 18.76±6.62a 19.03±6.53a 20.05±6.25a

E 21.89±3.35abc 17.66±6.27b 18.75±4.91bc 18.83±4.69bc 20.42±4.49bcd

Keterangan: indeks huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

sawal. Hal ini diduga terjadi karena tikus-tikus tersebut telah menderita diabetes yang terlihat dari bobot badannya yang menurun meskipun konsumsi pakannya tetap (Syahputra 2003). Walaupun tikus-tikus telah dicekok dengan ekstrak metanol kulit kayu mahoni selama dua hari, namun efek induksi aloksannya masih terjadi.

Delapan hari setelah induksi atau 5 hari setelah pencekokan (H8), semua kelompok yang diinduksi aloksan menurun bobot badannya dari kondisi awal. Penurunan bobot badan terbesar terjadi pada kelompok E. Hasil ini sesuai dengan uji statistika yang menyatakan bahwa penurunan bobot badan pada kelompok E berbeda nyata (p<0,05) dari keadaan awal (H0). Penurunan bobot badan pada hari ke-8 didukung oleh penurunan konsumsi pakannya. Namun demikian, penurunan konsumsi pakan tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan keadaan awal (H0). Di akhir perlakuan (15 hari setelah induksi atau 12 hari setelah pencekokan), semua kelompok mengalami penurunan bobot badan, kecuali kelompok A. Penurunan bobot badan ini tidak berbeda nyata (p<0,05), kecuali pada kelompok E sebesar 9,91%. Penurunan bobot badan pada kelompok E terjadi karena tikus mengalami penurunan konsumsi pakan. Penurunan konsumsi pakan

juga terjadi pada kelompok A, D, dan E. Penurunan bobot badan seperti ini sama halnya dengan hasil penelitian potensi antihiperglikemia rebusan sirih merah (Salim 2006).

Potensi Antihiperglikemia Ekstrak Kulit Kayu Mahoni

Pengukuran konsentrasi glukosa darah dilakukan sesaat sebelum tikus diinduksi (hari ke-0) serta setelah diinduksi (hari ke-0, 3, 5, 8,15). Sebelum diambil darahnya tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 16-18 jam. Pengambilan darah dilakukan melalui ujung ekor tikus. Darah dari ekor tikus diteteskan di atas strip glukometer dan langsung diukur. Konsentrasi glukosa darah dalam mg/dL terbaca pada monitor glukometer.

Pengaruh Induksi Aloksan terhadap Konsentrasi Glukosa Darah

[image:19.595.112.512.263.379.2]
(20)
[image:20.595.115.510.99.206.2]

Tabel 5 Konsentrasi glukosa darah tikus selama perlakuan

Kelompok Konsentrasi glukosa darah (mg/dL0

H-15 H-8 H-5 H-3 H0

A 71±3.67ab 91.6±10.06cd 88.8±4.6cd 96.4±10.09c 84.6±3.78d

B 66.4±10.6b 166.6±135.11b 132.8±70.38b 147.6±79.36b 103.6±42.42b

C 75.4±6.91ab 177.6±111.96a 117.8±58.23a 147.4±96.62a 91.6±14.54a

D 81.2±8.04a 173.2±86.72a 177.6±104.27a 168.8±79.25a 94±25.31a

E 81.8±7.29a 118.6±28.63ab 135±54.99b 105.2±9.73ab 88±9.82a

Keterangan: indeks huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

kelompok di hari ke-0 juga tidak berbeda nyata (p<0,05), kecuali kelompok B.

Pada hari ke-3 tikus yang telah diinduksi aloksan mengalami peningkatan konsentrasi glukosa darah yang berkisar antara 99-408 mg/dL, sedangkan tikus yang diinduksi dengan NaCl 0.9% konsentrasi glukosa darahnya tetap normal yaitu berkisar antara 75-101 mg/dL. Konsentrasi glukosa darah tikus pada kelompok A (induksi NaCl) meningkat karena pengaruh stres akibat penyuntikan NaCl. Selanjutnya, induksi aloksan 200 mg/kg BB (kelompok B, C, D, dan E) meningkatkan konsentrasi glukosa darah tikus hingga dua kali dari kondisi awal (H0). Peningkatan konsentrasi glukosa darah terbesar terjadi pada kelompok B, yaitu sebesar 150,9%. Kelompok C meningkat konsentrasi glukosa darahnya sebesar 135,54%, kelompok D 113,3%, dan kelompok E 44,99%. Namun demikian, peningkatan konsentrasi glukosa darah akibat induksi aloksan tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan keadaan awal (H0). Hal ini terjadi karena tingginya keragaman data.

Pengaruh Pencekokan terhadap Konsentrasi Glukosa Darah

Di hari ke-5 (lima hari setelah induksi, dua hari setelah pencekokan obat) tikus pada kelompok C (Glibenclamide) menurun konsentrasi glukosa darahnya sebesar 33,67%. Sebaliknya, kelompok D (ekstrak air kulit kayu mahoni) dan E (ekstrak metanol kulit kayu mahoni) masih meningkat konsentrasi glukosa darahnya sebesar 2,54% dan 13,83%. Peningkatan konsentrasi glukosa darah pada kelompok D dan E mungkin terjadi karena perbedaan kondisi fisik dan fisiologi hewan coba. Tikus-tikus dalam kelompok D dan E lebih sensitif terhadap induksi aloksan sehingga setelah 2 hari pencekokan konsentrasi glukosa darahnya masih meningkat. Namun demikian, perubahan konsentrasi glukosa darah pada kelompok

yang diinduksi aloksan tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan kondisi pada H3 (tiga hari setelah induksi, sesaat sebelum pencekokan). Pada H8 (delapan hari setelah induksi atau lima hari setelah pencekokan) konsentrasi glukosa darah tikus pada kelompok A kembali meningkat, tetapi masih berada dalam kisaran normal. Kelompok B menurun konsentrasi glukosa darahnya sebesar 11,4%, kelompok C sebesar 17%, kelompok D sebesar 2,54%, dan kelompok E sebesar 11,3%. Namun demikian, perubahan konsentrasi glukosa darah ini tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan kondisi pada H3 (tiga hari setelah induksi, sesaat sebelum pencekokan). Hal ini terjadi karena tingginya keragaman data.

(21)

sebelum pencekokan) karena tingginya keragaman data.

Kelompok yang mengalami penurunan konsentrasi glukosa darah terbesar setelah 12 pencekokan adalah kelompok C (Glibenclamide), selanjutnya kelompok D dan kelompok E. Di akhir perlakuan (H15) konsentrasi glukosa darah tikus kembali pada keadaan normal, yaitu berkisar antara 84,6-103,6 mg/dL. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa di hari ke-15 tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan dengan kondisi pada H3 (tiga hari setelah induksi, sesaat sebelum pencekokan) karena tingginya keragaman data.

Perubahan Histopatologi Pankreas

Untuk mengetahui peranan ekstrak kulit kayu mahoni dalam memperbaiki kerusakan pancreas, masing-masing 2 tikus dari tiap kelompok dibedah dan diambil organ pankreasnya. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) untuk mengamati morfologi jaringan secara umum. Pada pewarnaan HE terlihat pulau Langerhans lebih pucat dibandingkan dengan sel-sel kelenjar acinar disekelilingnya sehingga pulau Langerhans mudah dibedakan.

Sebelum difiksasi, organ pankreas dari tiap kelompok tikus diamati terlebih dahulu. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara makroskopik terlihat adanya perbedaan ukuran organ pankreas. Tikus pada kelompok B memiliki ukuran organ pankreas paling kecil dibandingkan dengan tikus pada kelompok A (kontrol), selanjutnya diikuti oleh kelompok D, E, dan C.

Berdasarkan pengamatan secara mikroskopik, pulau Langerhans tampak sebagai kumpulan sel-sel berbentuk bola yang berwarna pucat. Pengaruh pemberian ekstrak kulit kayu mahoni selama 12 hari terhadap kelenjar pankreas tikus Sprague-Dawley dapat dilihat melalui pengamatan terhadap kelenjar endokrin (pulau Langerhans). Saat dilakukan pengamatan jumlah pulau Langerhans per luas bidang pandang, pada tikus normal (kelompok A) sangat mudah ditemukan pulau Langerhans dan ukurannya besar, sedangkan untuk tikus yang diinduksi aloksan (kelompok B, C, D, dan E) sangat sulit ditemukan pulau Langerhans dan bila ada ukurannya kecil (Gambar 4). Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Andayani (2003). Tikus yang diinduksi aloksan mengalami penurunan jumlah pulau Langerhans.

Pemberian Glibenclamide pada kelompok C memperlihatkan adanya efek perbaikan ukuran dan penambahan jumlah sel pada pulau Langerhans. Pemberian ekstrak kulit kayu mahoni, baik ekstrak air ( kelompok D) maupun ekstrak metanol (kelompok E) juga memperlihatkan adanya perbaikan ukuran dan penambahan jumlah pulau Langerhans, walaupun tidak setinggi khasiat

Glibenclamide. Berdasarkan hasil histopatologi, dapat dilihat ekstrak metanol kulit kayu mahoni lebih baik dalam memperbaiki ukuran dan menambah jumlah sel pada pulau Langerhans bila dibandingkan dengan ekstrak air kulit kayu mahoni (Gambar 4).

Pada kontrol (A) tidak ada kelainan spesifik, pulau Langerhans mudah ditemukan dan keadaannya normal. Sel-sel yang terlihat, baik bentuk dan ukurannya lebih kurang sama. Kerusakan pada organ pankreas ditemukan pada empat kelompok yang lainnya. Kerusakan yang terjadi pada kelenjar endokrin berupa nekrosis, vakuolisasi, regresi, dan berkurangnya jumlah inti sel. Nekrosis paling banyak terjadi pada kelompok B, diikuti oleh kelompok D (ekstrak air), E (ekstrak metanol), dan C (Glibenclamide).

Kerusakan lain yang ditimbulkan adalah vakuolisasi. Adanya vakuolisasi akan mengakibatkan terjadinya degenerasi pada kelenjar eksokrin pankreas. Vakuolisasi hanya terjadi pada kelompok B. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat pembanding (Glibenclamide) maupun ekstrak kulit kayu mahoni dapat menghilangkan vakuolisasi. Jika dibandingkan dengan rebusan daun sirih merah, efek perbaikan ekstrak kulit kayu mahoni lebih baik karena vakuolisasi masih terjadi pada kelenjar pankreas tikus walaupun telah diberikan rebusan daun sirih merah (Permata 2006). Selain itu, kerusakan yang terjadi adalah regresi, yaitu pulau Langerhans mengecil dengan jumlah yang lebih sedikit dibanding kontrol (A) (Gambar 4). Adanya regresi berdampak pada berkurangnya jumlah sel (deplesi) dalam Pulau Langerhans. Regresi ini terjadi pada kelompok C (Glibenclamide) dan D (ekstrak air kulit kayu mahoni).

(22)

(a) (b)

Keterangan: 1. pulau Langerhans Keterangan: 1. vakuolisasi 2. haemorrhagi

(c) (d)

Keterangan: 1. pulau Langerhans Keterangan: 1. pulau Langerhans 2. akumulasi protein 3. acinus pankreas

(e)

[image:22.595.100.474.81.647.2]

Keterangan: 1. nekrosis acinar 2. pulau Langerhans

Gambar 4 Hasil histopatologi pankreas. (a) induksi NaCl dan cekok akuades, (b) induksi aloksan dan cekok akuades, (c) induksi aloksan dan cekok Glibenclamide, (d) induksi aloksan dan cekok ekstrak air kulit kayu mahoni, (e) induksi aloksan dan cekok ekstrak metanol kulit kayu mahoni. HE 200x.

Selanjutnya, pada kelompok E (ekstrak metanol kulit kayu mahoni) nekrosis semakin berkurang. Hasil ini berbeda dengan potensi rebusan daun sirih merah. Kelompok tikus yang diberi rebusan daun sirih merah lebih sedikit mengalami kerusakan daripada

kelompok tikus yang diberi obat pembanding (daonil) (Permata 2006).

Kerusakan yang terjadi pada tikus diabetes disebabkan karena aloksan memiliki afinitas yang tinggi terhadap gugus SH- sehingga glutation, sistein, kelompok sufhidril yang berikatan dengan protein (termasuk

1 2

1

2 1

3

1

(23)

enzim yang memiliki gugus SH-) berpeluang terkena efeknya. Salah satu enzim yang mengandung gugus SH- adalah glukokinase yang berperan penting dalam sekresi insulin oleh induksi glukosa. Pemberian aloksan menyebabkan glukokinase menjadi non-aktif sehingga sekresi insulin terganggu (Szkudelski 2001).

Adanya perbaikan yang ditimbulkan oleh

Glibenclamide maupun ekstrak kulit kayu mahoni menyebabkan sekresi insulin mulai kembali seperti keadaan normal. Selain itu, dengan pemberian Glibenclamide yang merupakan obat hipoglikemia oral golongan sulfonilurea akan merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa karena ternyata pada saat glukosa gagal merangsang sekresi insulin (kondisi hiperglikemia), senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi insulin (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2005).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekstrak air dan ekstrak metanol kulit kayu mahoni dengan dosis 250 mg/kg BB memiliki potensi antihiperglikemia, meskipun demikian potensinya masih lebih rendah daripada Glibenclamide 0.25 mg/kg BB. Ekstrak air kulit kayu mahoni mampu menurunkan konsentrasi glukosa darah dari 173,2 mg/dL menjadi 94 mg/dL (45,73%), ekstrak metanol kulit kayu mahoni menurunkan konsentrasi glukosa darah dari 118,6 mg/dL menjadi 88 mg/dL (25,80%), sedangkan Glibenclamide menurunkan konsentrasi glukosa darah dari 177,6 mg/dL menjadi 91,6 mg/dL (48,42%). Secara histopatologi, pemberian ekstrak kulit kayu mahoni dapat memperbaiki kelenjar pankreas yang rusak, walaupun efek perbaikannya tidak sebaik Glibenclamide. Ekstrak metanol kulit kayu mahoni memberikan efek perbaikan pulau Langerhans yang lebih baik daripada ekstrak air kulit kayu mahoni.

Saran

Pengamatan lebih lanjut terhadap pengaruh perubahan perbaikan jaringan pankreas pada masing-masing perlakuan dengan parameter hari yang berbeda perlu dilakukan, demikian pula dengan penelitian lanjutan tentang mekanisme kerja senyawa

bioaktif yang dikandung ekstrak kulit kayu mahoni terhadap perbaikan sel-sel pankreas. Selain itu, diperlukan juga penelitian lanjutan untuk mengetahui efek samping pemberian ekstrak kulit kayu mahoni terhadap hati dan pankreas secara histologi. Selanjutnya, dosis ditingkatkan dan waktu pengamatan ditambah untuk melihat aktivitas antihiperglikemia terbaik ekstrak kulit kayu mahoni. Untuk meminimalkan keragaman data dan memperoleh hasil penelitian yang lebih akurat, sebaiknya jumlah tikus ditambah serta menggunakan tikus yang membawa gen diabetes, contohnya tikus BB (bio breeding).

DAFTAR PUSTAKA

Adam JMF. 2005. Komplikasi kronik diabetik masalah utama penderita diabetes dan upaya pencegahan. Suplemen 26:3. Andayani Y. 2003. Mekanisme aktivitas

antihiperglikemik ekstrak buncis (Phaseolus vulgaris Linn) pada tikus diabetes dan identifikasi komponen aktif [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bourdy G, De Walt SJ, De Michel LRC, Roca A, Deharo E. 2000. Medicinal plants uses of the Tacana, an Amazonian Bolivian ethnic group. J. Ethnopharmacol 70:87-109.

Carolyn. 2001. Diabetes and nutrition: the mitochondrial part 1,2. J Nutr.

131:344S-353S.

Cheta D. 1998. Animal models of type I (insulin-dependent) diabetes mellitus.

Journal of Pediatric Endocrinology & Metabolism 11:11-19.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Jumlah penderita diabetes Indonesia ranking ke-4 di dunia

[terhubung berkala].

http://www.depkes.go.id/index.php?opti on=news&task=viewarticle&sid=1183& itemid=2 [19 Januari 2010].

Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Depkes RI.

(24)

beta-cell toxicity of streptozotocin.

Diabetologia 43:1528-1533.

Falah S et al. 2008. Chemical constituents from Swietenia macrophylla bark and their antioxidant activity. Pakistan journal of Biological Sciences 11:2007-2012.

Forest Seed Centre. 2001. Swietenia macrophylla King. Informasi Singkat Benih 5:16-17.

Granner DK. 2000. Hormones of the pancreas and gastrointestinal tract. Di dalam

Harper’s Biochemistry. New York: Mc Graw-Hill.

Guz Y, Nasir I, Teitelman G. 2001. Regeneration of pancreatic cell from intra islet precursor cells in an experimental model of diabetes.

Endocrin 142:4956-4968.

Herman A. 2009. Pankreas sebagai pengatur kadar gula darah [terhubung berkala].http://images.google.co.id/imgre s?imgurl=http://bigworld027.files.wordp ress.com/2009/02/pankreas.jpg&imgrefu rl=http://bigworld027.wordpress.com/20 09/02/18/pankreas-sebagai-pengatur-kadar-gula-darah.html [19 Januari 2010]. [IPTEK] Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 2005. Tanaman obat Indonesia [terhubung berkala]. http://www. iptek.net.id/ind/cakra_obat/tanamanobat. php?id=6 [3 Maret 2009].

Joslin Diabetes Center Boston. 2007. Tentang diabetes [terhubung berkala] http://www.bodyclinicindonesia.com/libr ary/tentang_diabetes.htm [11 November 2009].

Kent A. 1985. Laboratory Manual Hystopathology. Bogor: Balai Penelitian Veteriner.

Kusumawati D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Uji. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia Jilid 3. Edisi ke-1. Thenawidjaja Maggy, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.

Mahale G, Medha H, Goudar I. 2006. Dyeing silk with mahogany leave extract. ATA J

17:72-75.

Malole MBM, Pramono SCU. 1989.

Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.

Mardisadora O. 2010. Identifikasi dan uji aktivitas antioksidan flavonoid kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla

King) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Marthur R, Shiel WC. 2003. Diabetes mellitus. [terhubung berkala] http://www.medicinenet.com/diabetes mellitus/article.htm [11 November 2009].

Masharani U. 2008. Diabetes Demystified.

New York: Mc Graw-Hill.

Ningsih F. 2010. Kandungan flavonoid kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla

King) dan toksisitas akutnya terhadap mencit [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Nugroho AE. 2006. Hewan percobaan diabetes mellitus: patologi dan mekanisme aksi diabetogenik.

Biodiversitas 7:378-382.

Permata DA. 2006. Potensi rebusan daun sirih merah (Piper crocatum) terhadap perbaikan pankreas tikus putih hiperglikemia [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Prasetia EY. 2003. Pengaruh pemberian triamsinolon asetonid intravitreal terhadap gambaran histopatologik retina tikus (Ratus norwegicus) yang diinjeksi aloksan [tesis]. Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.

Rane SG, Reddy EP. 2000. Cell cycle control of pancreatic beta cell proliferation.

Frontier in Bioscience. 5:1-19.

Rees DA, Alcolado JC. 2005. Animal models of diabetes mellitus. Diabetic Medicine

22:359-370.

Roche Diagnostics. 2005. Kelola diabetes dan tes gula darah [terhubung berkala]. http://accu-chek.roche.co.id/accuchek /index.php?do=admin [8April 2010]. Rohmawati E. 2008. Pengaruh fraksi

(25)

purpureus (L.) Sweet) terhadap kadar glukosa darah, profil lipid, dan peroksidasi lipid tikus diabetes [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rubin AL. 2004. Diabetes for Dummies. 2nd edition. Indiana: Wiley Publishing. Salim A. 2006. Potensi rebusan sirih merah

(Piper crocatum) sebagai senyawa antihiperglikemia pada tikus putih galur

Sprague-Dawley [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Scobie IN. 2007. Atlas of Diabetes Mellitus. 3rd edition. London: Informa.

Silalahi J. 2006. Makanan Fungsional.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Suharmiati. 2003. Pengujian bioaktivitas anti diabetes mellitus tumbuhan obat. Cermin Dunia Kedokteran 140:8-13.

Sunarsih ES, Djatmika, Utomo RS. 2007. Pengaruh pemberian infusa umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus putih jantan diabetes yang diindukasi aloksan. Majalah Farmasi Indonesia

18:29-33.

Syahputra M. 2003. Diabetik Ketoacidosis.

Medan: Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.

Szkudelski T. 2001. The mechanism of

aloksan and streptozotocin action in β

cells of the rat pancreas. J Physiol. Res.

50:536-546.

[WHO] World Health Organization. 2006. Diabetes [terhubung berkala]. http://www.who.int/mediacentre/factshee ts/fs312/en/ [19 Januari 2010].

Widowati L et al. 1997. Tanaman obat untuk diabetes melitus. Cermin Dunia Kedokteran 116:53-60.

Wild S et al. 2004. Global prevalence of diabetes. Diabetes Care 27:1047–1053. Winarto et al. 2009. The effect of Pandanus

conoideus Lam. oil on pancreatic β-cells and glibenclamide hypoglycemic effect of diabetic Wistar rats. Berkala Ilmu Kedokteran 41:11-19.

Yulinah E et al. 2001. Aktivitas antidiabetika ekstrak etanol herba sambiloto

(26)
(27)

Lampiran 1 Alur kerja penelitian

Lampiran 2 Diagram alir masa adaptasi dan perlakuan

H-15 H-8 H-5 H-3 H-1 H0 H3 H5 H8 H14 H15

Tikus putih galur

Sprague-Dawley

Kelompok A (induksi NaCl

dan cekok akuades)

Kelompok B (induksi aloksan dan cekok akuades)

Kelompok C (induksi aloksan

& cekok Glibenclamide)

Kelompok D (induksi aloksan

dan cekok ekstrak air kulit

kayu mahoni)

Kelompok E (induksi aloksan dan cekok ekstrak

metanol kulit kayu mahoni)

Glukosa darah

Panen pankreas

Histopatologi pankreas

Masa adaptasi

Induksi aloksan

Pencekokan akuades dan ekstrak

Ukur [glukosa darah]

Ukur [glukosa darah] dan panen pankreas

(28)

Lampiran 3 Perhitungan pemakaian aloksan, dosis glibenclamide, dan dosis

ekstrak kulit kayu mahoni

Perhitungan pemakaian aloksan dalam penelitian

- Dosis aloksan = 200 mg/kg BB

- Jumlah tikus yang diinduksi aloksan = 4 x 5 ekor = 20 ekor - BB tikus rata-rata = 375 g = 0.375 kg

- Pemakaian aloksan = 200 mg/kg x 0.375 kg x 20 = 1500 mg = 1.5 g

Perhitungan dosis obat pembanding (glibenclamide) yang dicekokan ke tikus

- Konsumsi glibenklamid per hari adalah 3 tablet, sehingga dosis glibenklamid per hari dengan asumsi bobot badan orang dewasa 60 kg yaitu 3 tablet/60 kg BB - 3 tablet dilarutkan dalam 15 mL akuades, di mana 15 mL setara dengan 15 mg,

sehingga dosis glibenklamid per hari = 15 mg/60 kg BB = 0.25 mg/kg BB

Perhitungan dosis ekstrak kulit kayu mahoni yang dicekokan ke tikus

- Dosis ekstrak kulit kayu mahoni yang digunakan adalah 1000x dosis glibenklamid

- Dosis ekstrak kulit kayu mahoni = 1000 x 0.25 mg/kg BB = 250 mg/kg BB

Lampiran 4 Diagram alir histopatologi

Pengambilan sampel (jaringan pankreas)

Fiksasi BNF 10%

Dehidrasi

Embedding (cetakan jaringan dalam parafin)

Pemotongan rotary microtom

Pewarnaan HE

(29)

Lampiran 5 Bobot badan tikus selama masa adaptasi dan perlakuan

Kelompok

Bobot badan (g)

H-15

H-8

H-5

H-3

Ho

H3

H5

H8

H15

A

314

322

312

332

320

326

324

322

322

398

408

388

410

396

402

398

396

400

376

398

376

400

386

390

394

390

404

368

386

362

390

375

378

382

388

386

418

442

414

438

426

432

434

434

436

B

324

342

328

350

334

332

338

340

346

384

388

368

404

392

386

386

386

388

356

382

360

390

374

370

358

372

370

344

366

348

376

362

322

310

310

280

370

392

364

398

376

378

387

376

380

C

344

354

340

362

344

344

350

350

360

362

378

360

384

362

366

358

362

368

376

394

368

400

388

380

364

370

372

378

394

364

394

380

372

362

360

<

Gambar

Gambar 1 Swietenia macrophylla King         (IPTEK 2005).
Gambar 3 Anatomi pankreas (Herman 2010).
Tabel 1 Bobot badan tikus selama masa adaptasi
Tabel 3 Bobot badan tikus selama masa perlakuan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari pelaksanaan proyek akhir ini adalah velg mobil Opel Blazer sudah terdapat tutup velg berbahan komposit fiberglass. Velg sudah dalam kondisi yang lebih

Perangkat lunak dikernbangkan untuk selanjutnya digunakan oleh para user dan pengembang perangkat lunak menggunakan proses Pengujian Alphl dan pengujian Beta untuk

Adapun tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan mengenai pertimbangan hakim dalam menentukan putusan perceraian serta untuk mendeskripsikan mengenai

Yang dimaksud hadiah dalam Pasal 12 a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pendidikan formal di sekolah hendaknya dapat menjawab tantangan di masyarakat sehari-hari.Ilmu pengetahuan yang dipelajari di dalam kelas, agar terkait langsung

Sistem Operasi (SO) Suatu kumpulan program yang mengkoordinasikan semua aktivitas peralatan hardware komputer dan memperbolehkan pengguna untuk menjalankan aplikasi

Es krim dengan emulsifier ester sukrosa dengan berbagai konsentrasi yang berbeda, masing – masing ketiganya berbeda nyata satu dengan yang lain, begitu pula

Rumah sakit diharapkan dapat melihat bagaimana pengaruh kepuasan konsumen tentang kualitas pelayanan jasa medis yang diberikan BPK RSU Kabupaten Magelang terhadap terciptanya word