• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Akar Wangi di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Akar Wangi di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA AKAR

WANGI DI KECAMATAN SAMARANG KABUPATEN GARUT

ADILA AHMAD

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Akar Wangi di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Januari 2015

(4)
(5)

ADILA AHMAD. Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Akar Wangi di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut. Dibimbing oleh UJANG SEHABUDIN.

Akar wangi merupakan salah satu komoditi dalam subsektor perkebunan yang sangat potensial untuk dikembangkan yang memiliki pangsa pasar tingkat dunia dengan harga cukup tinggi. Kecamatan Samarang merupakan salah satu sentra produksi akar wangi yang berada di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Usahatani akar wangi di Kecamatan Samarang memiliki potensi untuk memperoleh keuntungan yang besar, karena daerahnya memiliki lahan dan cuaca yang cocok untuk budidaya akar wangi. Pada tahun 2013, usahatani akar wangi di Kabupaten Garut mengalami penurunan produksi yang mengakibatkan pendapatan pelaku usaha akar wangi menurun. Tujuan penelitian adalah menganalisis keragaan usaha akar wangi serta menganalisis pendapatan dan kelayakan usaha akar wangi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa petani dan penyuling belum melaksanakan budidaya dan teknik penyulingan sesuai Good Agriculture Proccessing (GAP) dan Good Manifacturing Proccessing (GMP). Usaha akar wangi terdiri dari petani, penyuling, penyuling, petani-penyuling-pengumpul, dan petani-penyuling-pengumpul-pengekspor. Pendapatan pelaku usaha tertinggi didapat oleh pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul-pengekspor dan pendapatan terendah didapat oleh pelaku usaha petani saja. Usaha akar wangi layak untuk dijalankan. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, penurunan harga akar wangi, penurunan harga minyak akar wangi, peningkatan harga bahan bakar dan peningkatan biaya ekspor dapat menurunkan pendapatan dan ketidaklayakan usaha akar wangi. Penggunaan bibit unggul, peningkatan produksi dan peningkatan kapasitas bahan baku dapat meningkatkan pendapatan pelaku usaha akar wangi.

(6)

at Samarang District of Garut. Supervised by UJANG SEHABUDIN.

Vetiver is one of plantation sub-sector with a huge potensial to be developed which have share of the world market at a price level is quite high. The subdistrict Samarang is one of vetiver production centers located in Garut district of West Java Province. Vetiver farming in the District of Samarang has the potencial to earn huge profits, because the area has the land and the weather is suitable for the cultivation of vetiver. But in 2013, the vetiver farming in Garut decline in production which resulted in the revenue of vetiver business decreases. The purposes of the research are to analyze the performance of vetiver and to analyze income and feasibility of businesses vetiver The result of the study showed that the farmers and refiners have not implemented appreciate cultivation and distillation techniques Good Agriculture Proccessing (GAP) and Good Maifacturing Practices (GMP). Business actors vetiver consists of farmer, distiller, farmer-distiller, farmer-distiller-gatherer and farmer-distiller-gatherer-exporter. The result of the study showed that the highest income bussines acquired by farmer-distiller-gatherer-exporter and the lowest income earned by farmers alone business. Business of vetiver is feasible. Based on the result of the sensitivity analysis, a decrease of vetiver prices, a decrease of vetiver oil prices, an increase fuel prices and an increase of export costs can decrease revenue and unfeasible business of vetiver. Use of quality seeds, an increase production and an increase capacity of raw materials can increase revenue businesses vetiver.

(7)

ADILA AHMAD

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

(8)
(9)
(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Akar Wangi di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan kontribusi serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:

1. Ayahanda Muhammad Kadarsyah dan Ibunda Mayati tercinta dan Kakak Halimatusakdiah, Adik-adik Syarifah, Julia Cahya dan Muhammad Ainul Yaqin atas kasih sayang, semangat, dan doa yang selalu dilimpahkan kepada penulis.

2. Ir. Ujang Sehabudin, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, saran, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Novindra, SP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji

utama atas segala perhatian dan arahan yang diberikan selama penulis menuntut ilmu di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. 4. Fitria Dewi Raswatie, S.P, M.Si selaku penguji skripsi perwakilan

departemen atas saran dan masukan dalam penyusunan skripsi.

5. Bapak H. Ede, Bapak Ahmad, Bapak Hasan, Ibu Nita serta seluruh responden di Kecamatan Samarang yang membantu dalam pengumpulan data.

6. Sahabat terdekat penulis Irfan Miraza, Ummi, Fira, Kartika, Hani, Amelia, Novade, Melly, Maulani, Amalia, Nanda, Iqbal, Rita, Frisca, Ega, Zikri, Haris, Icha, Syauqati, Juwita dan Tiara atas segala doa, semangat dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Teman-teman sebimbingan (Rima, Sri, Rendi R, Rendi F, Jaza, Firman, Andri), Abida Hadi (ESL 46) dan seluruh rekan-rekan ESL 47 (khususnya Shara, Lina, Ira, Andre, Rifal) atas kerjasama, bantuan, semangat, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

8. Seluruh Dosen dan Tenaga Pendidikan Departemen ESL yang telah membantu selama penulis menyelesaikan studi di ESL.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu proses persiapan hingga penyusunan skripsi ini. Semoga kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Budidaya Akar Wangi ... 7

2.2 Pengolahan Hasil Pertanian ... 10

2.3 Konsep Pendapatan Usahatani ... 13

2.4 Analisis Finansial ... 14

2.5 Penelitian Terdahulu ... 15

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 19

IV. METODE PENELITIAN ... 22

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 22

4.3 Metode Pengambilan Contoh ... 22

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 23

4.4.1 Konsep Analisis Deskriptif ... 24

4.4.2 Analisis Pendapatan Usahatani ... 24

4.4.3 Analisis Finansial menggunakan Cash Flow ... 25

V. GAMBARAN UMUM ... 29

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 29

5.2 Gambaran Umum Usahatani Akar Wangi ... 29

5.3 Penyulingan Akar Wangi ... 31

5.4 Karakteristik Petani Responden ... 32

5.4.1 Pendidikan Formal ... 33

5.4.2 Usia Petani ... 33

(14)

6.1 Analisis Keragaan Usaha Akar Wangi di Kecamatan Samarang ... 35

6.1.1 Keragaan Usahatani Akar Wangi ... 35

6.1.1.1 Pengolahan Lahan... 35

6.1.1.2 Penanaman ... 36

6.1.1.3 Pemeliharaan ... 37

6.1.1.4 Pemanenan ... 38

6.1.2 Keragaan Usaha Penyulingan Minyak Akar Wangi ... 41

6.1.2.1 Penanganan Bahan Baku Akar Wangi ... 42

6.1.2.2 Pengisian Bahan ke dalam Ketel ... 43

6.1.2.3 Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi ... 43

6.1.2.4 Pemisahan Minyak ... 44

6.1.2.5 Penampungan Minyak ... 44

6.1.2.6 Pengemasan Minyak ... 44

6.2 Analisis Pendapatan Usaha Akar Wangi di Kecamatan Samarang ... 45

6.2.1 Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani Akar Wangi . 46 6.2.2 Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Penyuling Akar Wangi...50

6.2.3 Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani-Penyuling Akar Wangi ... 52

6.2.4 Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani-Penyuling-Pengumpul Akar Wangi ... 56

6.2.5 Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani-Penyuling-Pengumpul-Pengekspor Akar Wangi ... 59

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 67

7.1 Simpulan ... 67

7.2 Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN ... 73

(15)

1 Luas dan produksi tanaman perkebunan akar wangi Provinsi Jawa Barat tahun

2013 ... 2

2 Dosis dan waktu pemupukan lahan akar wangi per hektar ... 9

3 Metode prosedur analisis data ... 24

4Perhitungan analisis pendapatan usaha akar wangi ... 25

5 Distribusi jumlah petani dan jumlah responden petani akar wangi di Kecamatan Samarang ... 30

6 Luas areal perkebunan rakyat jenis tanaman akar wangi di Kecamatan Samarang tahun 2014 ... 31

7 Karakteristik petani responden menurut tingkat pendidikan formal ... 33

8 Karakteristik petani responden menurut usia ... 33

9 Karakteristik petani responden menurut pengalaman usahatani ... 34

10 Karakteristik petani responden menurut luas lahan ... 34

11 Rata-rata biaya penggunaan pupuk usahatani akar wangi di Kecamatan Samarang per hektar per tahun ... 38

12 Penggunaan tenaga kerja pada usahatani akar wangi di Kecamatan Samarang ... 39

13 Perbedaan teknik budidaya Good Agricultural Practices dengan tempat penelitian ... 40

14 Perbedaan teknik penyulingan Good Manifacturing Practices dengan tempat penelitian ... 45

15 Struktur biaya usahatani akar wangi di Kecamatan Samarang per hektar per tahun ... 48

16 Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan R/C ratio usahatani akar wangi per hektar per tahun di Kecamatan Samarang ... 49

17 Nilai investasi pada usaha penyulingan akar wangi ... 50

18 Biaya operasional usaha penyulingan akar wangi pada pelaku usaha penyulingan akar wangi ... 51

(16)

21 Biaya operasional usaha penyulingan akar wangi pada pelaku usaha

petani-penyuling akar wangi... 54

22 Hasil analisis kelayakan usaha penyulingan pada pelaku usaha petani-penyuling akar wangi... 55

23 Struktur biaya usahatani akar wangi pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul di Kecamatan Samarang ... 56

24 Biaya operasional usaha penyulingan akar wangi pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul akar wangi ... 58

25 Hasil analisis kelayakan usaha penyulingan pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul akar wangi ... 59

26 Struktur biaya usahatani akar wangi pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul-pengekspor di Kecamatan Samarang ... 60

27 Nilai investasi pada usaha penyulingan pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul-pengekspor akar wangi ... 61

28 Biaya operasional usaha penyulingan akar wangi pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul-pengekspor akar wangi ... 62

29 Hasil analisis kelayakan usaha penyulingan pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul-pengekspor akar wangi ... 63

30 Perbandingan struktur biaya, penerimaan, pendapatan dan kriteria investasi dari pelaku usaha akar wangi... 64

31 Perhitungan hasil analisis sensitivitas pelaku usaha akar wangi di Kecamatan Samarang ... 65

DAFTAR GAMBAR 1 Perkembangan luas (a) dan produksi (b) perkebunan akar wangi Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 ... 3

2 Tanaman akar wangi (a) dan hasil panen akar wangi (b) ... 7

3 Penyulingan dengan air dan uap ... 11

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Karakteristik petani responden petani akar wangi di Kecamatan Samarang ... 73

2 Analisis finansial struktur penerimaan dan pengeluaran usaha penyulingan akar wangi pada pelaku usaha penyuling akar wangi ... 74

3 Analisis finansial struktur penerimaan dan pengeluaran usaha penyulingan akar wangi pada pelaku usaha petani-penyuling akar wangi ... 76

4 Analisis finansial struktur penerimaan dan pengeluaran usaha penyulingan akar wangi pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul akar wangi ... 78

5 Analisis finansial struktur penerimaan dan pengeluaran usaha penyulingan akar wangi pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul-pengekspor akar wangi ... 80

6 Skenario A analisis sensitivitas pada pelaku usaha petani akar wangi ... 82

7 Skenario B analisis sensitivitas pada pelaku usaha petani akar wangi ... 83

8 Skenario C analisis sensitivitas pada pelaku usaha penyuling akar wangi ... 84

9 Skenario C analisis sensitivitas pada pelaku usaha petani-penyuling akar wangi ... 86

10 Skenario C analisis sensitivitas pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul akar wangi ... 88

11 Skenario D analisis sensitivitas pada pelaku usaha penyuling akar wangi ... 90

12 Skenario D analisis sensitivitas pada pelaku usaha petani-penyuling akar wangi ... 92

13 Skenario D analisis sensitivitas pada pelaku usaha petani-penyuling-pengumpul akar wangi ... 94

14 Skenario E analisis sensitivitas pada pelaku usaha penyuling akar wangi ... 96

15 Skenario E analisis sensitivitas pada pelaku usaha petani-penyuling akar wangi ... 98

16 Skenario E analisis sensitivitas pada pelaku usaha petani-penyuling- pengumpul akar wangi ... 100

(18)

19 Skenario F analisis sensitivitas pada pelaku usaha petani-penyuling-

pengumpul akar wangi ... 106 20 Skenario G analisis sensitivitas pada pelaku usaha

(19)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang beriklim tropis dan memiliki keunggulan dalam kepemilikan lahan yang subur dan kaya akan berbagai jenis sumberdaya alamnya. Kelimpahan ini memberikan potensi yang sangat besar bagi Indonesia untuk mengembangkan sektor pertanian. Sektor pertanian ini terbagi ke dalam berbagai subsektor yang terdiri dari perkebunan, tanaman pangan, kehutanan, perikanan, dan peternakan.

Perkebunan merupakan salah satu subsektor dalam pertanian yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti peningkatan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Kemampuan penyerapan tenaga kerja dalam subsektor ini memberikan kontribusi terhadap penurunan kemiskinan yang biasanya dihadapi oleh negara berkembang. Selain itu, perkebunan juga memiliki peranan penting terhadap kelestarian lingkungan hidup dan juga sumber energi, seperti halnya kelapa dapat dimanfaatkan minyaknya sebagai bahan bakar nabati pengganti minyak tanah rumah tangga.

Salah satu komoditi dalam subsektor perkebunan yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah akar wangi. Nilai ekonomi tanaman akar wangi terletak pada akarnya yaitu sebagai bahan baku penghasil minyak atsiri. Minyak akar wangi secara luas digunakan untuk pembuatan parfum, bahan kosmetika, pewangi sabun, obat-obatan, pembasmi dan pencegah serangga. Indonesia sendiri mampu mengekspor dengan memenuhi sekitar 26% dari kebutuhan minyak akar wangi dunia dengan beberapa negara pembeli minyak akar wangi tersebut adalah Singapura, India, Jepang, Hongkong, Inggris, Belanda, Jerman, Italia, dan Swiss (Yuliani dan Satuhu, 2012).

(20)

Tabel 1 Luas dan produksi tanaman perkebunan akar wangi Provinsi Jawa Barat

Keterangan: TM : Tanaman menghasilkan TBM : Tanaman belum menghasilkan

TR/TTM: Tanaman rusak/tanaman tidak menghasilkan Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat (2013)

(21)

menyebabkan sebagian besar masyarakat mengalami kesulitas ekonomi, justru petani dan produsen minyak atsiri mendapatkan keuntungan (Kardinan, 2005).

Namun saat ini, terdapat permasalahan dalam produksi tanaman akar wangi di Provinsi Jawa Barat, lebih tepatnya di Kabupaten Garut sebagai satu-satunya Kabupaten di Jawa Barat yang memproduksi akar wangi. Terjadi penurunan produksi komoditas akar wangi di daerah tersebut seperti yang digambarkan pada Gambar 1 berikut ini.

(a) (b) Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat (2013)

Gambar 1 Perkembangan luas (a) dan produksi (b) perkebunan akar wangi Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2013

Berdasarkan Gambar 1, pada tahun 2009 produksi akar wangi mencapai sebesar 75 ton per tahun. Namun pada tahun 2010 mengalami penurunan produksi sebesar 1 ton, sehingga produksi akar wangi pada tahun ini mencapai 74 ton per tahun. Penurunan produksi akar wangi terjadi lagi dari tahun 2012 ke tahun 2013 sebesar 2 ton sehingga produksi akar wangi mencapai 73 ton per tahun. Hal ini berkebalikan dengan luas lahan garapan dari tanaman akar wangi mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga 2012, sehingga produksi komoditi ini harus terus dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan petani, peningkatan devisa negara, dan memperluas kesempatan kerja untuk rakyat yang masih belum memiliki pekerjaan.

Sentra produksi tanaman akar wangi terbesar di Kabupaten Garut adalah Kecamatan Samarang, sehingga lokasi ini dapat dijadikan lokasi untuk mewakili seluruh keadaan lokasi perkebunan akar wangi di Kabupaten Garut. Selain itu, Luas (Ha) 2318 2325 2327 2330 2378

(22)

Kecamatan Samarang juga merupakan sentra penyulingan minyak akar wangi. Dengan alasan inilah, daerah ini menjadi lokasi penelitian.

1.2 Perumusan Masalah

Usahatani akar wangi di Kecamatan Samarang memiliki potensi untuk memperoleh keuntungan yang besar, karena daerah di sana memiliki lahan dan cuaca yang cocok untuk budidaya akar wangi, sehingga pengembangan usahatani tersebut dapat memberikan prospek yang menjanjikan. Pengembangan usahatani ini tidak hanya memberikan hasil pada peningkatan produksi akar wangi saja namun juga meningkatkan pendapatan bagi petaninya jika usahatani tersebut dikelola dengan baik. Pendapatan petani yang meningkat dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi petani untuk meningkatkan skala usahanya sehingga perkembangan usahatani akar wangi dapat terus berkembang.

Usahatani akar wangi di Kabupaten Garut mengalami penurunan dalam produksi seperti terlihat pada Gambar 1. Sejak tahun 2012, permintaan perusahaan parfum dan kosmetik di Eropa yang selama ini menjadi konsumen tetap minyak akar wangi menurun (Prasetya, 2012). Hal tersebut berdampak pada stok minyak akar wangi yang menumpuk dan mengakibatkan harga minyak akar wangi menurun, akibatnya penerimaan penyuling menurun. Rendahnya penerimaan penyuling berdampak pada rendahnya harga jual akar wangi yang diterima petani. Selain itu, mutu akar wangi yang rendah juga merupakan penyebab lain penurunan harga yang diterima petani. Mutu rendah diakibatkan tingginya curah hujan di Kecamatan Samarang karena lahan menjadi lembab, sedangkan akar wangi dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang kering. Pada saat normal, harga minyak akar wangi mencapai Rp 1 300 000 per kg, namun sejak Juni 2012 harganya turun menjadi Rp 800 000 per kg. Harga normal akar wangi yang diterima petani biasanya mencapai Rp 5 000 per kg, namun sekarang sudah menurun menjadi Rp 2 000 per kg bahkan mencapai Rp 1 000 per kg.

(23)

rendah. Sejak saat itu, beberapa petani dan penyuling memilih untuk berhenti dan beralih kepada komoditi holtikultura. Akibatnya produksi akar wangi menurun dan memberi dampak terhadap penyuling akar wangi dimana akar wangi merupakan bahan baku yang sangat dibutuhkan penyuling dalam menghasilkan minyak akar wangi. Penurunan produksi akar wangi berdampak pula pada penurunan minyak akar wangi yang dihasilkan dan pendapatan yang diterima oleh penyuling.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dibutuhkan penelitian mengenai analisis pendapatan usaha akar wangi di Kabupaten Garut, khususnya Kecamatan Samarang. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pendapatan masing-masing pelaku usaha akar wangi dan membandingkan pelaku usaha yang lebih menguntungkan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana keragaan usahatani akar wangi di Kecamatan Samarang?

2. Bagaimana tingkat pendapatan, kelayakan dan analisis sensitivitas usaha akar wangi di Kecamatan Samarang?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui keragaan usahatani akar wangi di Kecamatan Samarang.

2. Mengestimasi tingkat pendapatan, kelayakan serta analisis sensitivitas usaha akar wangi di Kecamatan Samarang.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan, baik bagi peneliti maupun pihak-pihak terkait. Kegunaan penelitian ini antara lain:

1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan dari kegiatan perkuliahan.

(24)

3. Bagi pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten Garut, penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan dalam pengambilan kebijakan pengembangan usahatani akar wangi di Kecamatan Samarang khususnya, serta Kabupaten Garut pada umumnya.

4. Bagi perguruan tinggi, penelitian ini diharapkan bisa menjadi pembanding dansumber informasi bagi kegiatan penelitian selanjutnya mengenai pertanian akar wangi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini mencakup tentang analisis pendapatan pelaku usaha akar wangi di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut.

2. Pelaku usaha akar wangi terdiri dari petani, penyuling, petani-penyuling, petani-penyuling-pengumpul, dan petani-penyuling-pengumpu-pengekspor. 3. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Samarang dengan mengambil

(25)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budidaya Akar Wangi

Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides) ditemukan tumbuh secara liar, setengah liar dan sengaja ditanam di berbagai Negara beriklim tropis dan subtropis. Tanaman akar wangi termasuk keluarga Graminae , berumpun lebat, akar tinggal bercabang banyak dan berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua. Rumpun tanaman akar wangi terdiri atas beberapa anak rumpun yang nantinya akan dijadikan bibit (Santoso, 1993). Nilai ekonomis tanaman akar wangi terdapat pada akarnya seperti pada Gambar 2 berikut.

(a) (b)

Gambar 2 Tanaman akar wangi (a) dan hasil panen akar wangi (b)

Setelah akar dikeringkan dan disuling akan menghasilkan minyak akar wangi. Minyak akar wangi merupakan salah satu bahan pewangi yang potensial. Biasanya dipakai secara meluas pada pembuatan parfum, bahan kosmetika dan sebagai bahan pewangi sabun. Pemakaian minyak akar wangi harus memperhatikan dosis karena baunya yang keras karena jika dosisnya berlebihan akan memberikan kesan bau yang tidak enak (woody).

(26)

menghindari atau mengendalikan kerusakan pematang-pematang sawah (Santoso, 1993).

Tanaman akar wangi dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan yang cukup luas, yakni 200-6 000 mm setiap tahun. Tanaman yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap kekeringan ini dapat tumbuh dari dataran rendah sampai dataran tinggi di atas 1 000 m di atas permukaan laut (dpl). Namun, kandungan minyaknya akan baik jika ditanam di atas ketinggian 700 m dpl. Suhu yang dikehendaki 17-27oC.Tanaman ini tidak baik ditanam di tempat yang teduh, karena memerlukan cahaya matahari penuh (Kardinan, 2005).

Pembudidayaan usahatani akar wangi memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan agar usaha tersebut dapat berjalan dengan baik dan hasil komoditas yang diperoleh memiliki kuantitas dan kualitas yang baik pula. Pedoman usahatani akar wangi antara lain (Santoso, 1993):

1. Pembibitan

Meskipun tanaman akar wangi memiliki bunga, tetapi pada umumnya cara perbanyakan dilakukan secara vegetatif, yakni menggunakan bonggol-bonggol akarnya. Bonggol tersebut didapatkan dari tanaman dalam rumpun yang tidak berbunga, lalu dipecah-pecah sehingga setiap pecahan bonggol memiliki mata tunas. Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun. 2. Penanaman

(27)

3. Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman akar wangi meliputi penyulaman, penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pemangkasan dan pengendalian hama. Sekitar 2-3 minggu setelah tanam, penyulaman dilakukan dengan cara menggantikan tanaman yang tidak tumbuh dengan bibit yang baru. Hal ini berguna untuk mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya dan nantinya digunakan untuk memprediksi produk yang dihasilkan. Penyiangan dilakukan dengan cara membersihkan gulma yang tumbuh disekeliling tanaman yang bertujuan agar kemampuan kerja akar dalam menyerap unsur hara dapat berjalan secara optimal. Pembubunan dilakukan dengan tujuan mengatur aerasi dan drainase dengan baik untuk mencegah tanaman akar wangi tergenang air. Pemumpukan merupakan usaha memelihara, menambah dan mempertinggi kesuburan tanah. Dosis dan waktu pemupukan untuk lahan seluas satu hektar dijelaskan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Dosis dan waktu pemupukan lahan akar wangi per hektar

Jenis pupuk Tahun I Tahun II Bulan ke-3 Bulan ke-9 Bulan ke-15 Pupuk kandang 5 ton 5 ton 5 ton

Urea 100 kg 50 kg 50 kg

TSP 50 kg 25 kg 25 kg

KCl 50 kg 25 kg 25 kg

Sumber: Santoso (1993)

Pemangkasan daun dilakukan tiga bulan atau enam bulan sekali dengan tujuan untuk memperoleh akar yang rimbun dan panjang, khususnya di dataran tinggi sedangkan tanaman akar wangi di dataran rendah tidak perlu dilakukan pemangkasan karena justru dapat menurunkan hasil. Gejala serangan hama di daerah sentra produksi akar wangi selama ini belum menunjukkan kerugian ekonomis yang berarti. Kadang-kadang ditemukan ancaman hama sejenis ulat yang menyerang akarnya, sehingga akar tersebut terputus-putus dan rapuh serta membusuk. Sebagai langkah preventif dapat disemprotkan insektisisda atau konsultasikan kepada petugas penyuluh. 4. Pemanenan

(28)

dan penggunaan tanah. Panen yang terlalu dini, justru dapat merusak kondisi tanaman dan kandungan minyaknya masih sedikit. Panen yang terlambat dapat menyebabkan penurunan kadar senyawa-senyawa potensial, dapat mengakibatkan akar layu, sehingga bagian minyaknya hilang. Berdasarkan pengalaman, saat panen terbaik ialah apabila tanaman akar wangi berumur antara 1.5-2 tahun, karena ketika itu kandungan minyak pada akar dalam keadaan optimal.

2.2 Pengolahan Hasil Pertanian

Pengolahan hasil pertanian merupakan komponen kedua dalam kegiatan agribisnis setelah komponen produksi pertanian. Banyak pula dijumpai petani yang tidak melaksanakan pengolahan lahan hasil yang disebabkan oleh berbagai sebab, padahal disadar bahwa kegiatan pengolahan ini dianggap penting, karena dapat meningkatkan nilai tambah (Soekartawi 1993). Menurut Santoso (1993), penyulingan adalah salah satu cara pengolahan hasil panen untuk mendapatkan minyak atsiri dengan cara mendidihkan bahan baku yang dimasukkan ke dalam ketel hingga terdapat uap yang diperlukan. Atau, dengan cara mengalirkan uap jenuh (saturated or superheated) dari ketel pendidih air ke dalam ketel penyulingan. Penyulingan ini bertujuan untuk memisahkan zat-zat bertitik didih tinggi dari zat-zat yang tidak dapat menguap. Dengan kata lain, penyulingan adalah proses pemisahaan komponen-komponen campuran dari dua atau lebih cairan berdasarkan perbedaan tekanan uap dari setiap komponen tersebut. Dalam industri minyak atsiri dikenal tiga metode penyulingan, yaitu sebagai berikut (Yuliani dan Satuhu 2012):

1. Penyulingan dengan air (water distillation)

(29)

penyulingan menjadi lebih lama serta rendemen dan kualitas minyak yang dihasilka menjadi rendah.

2. Penyulingan dengan uap (steam distillation)

Metode ini cocok untuk menyuling minyak atsiri yang diambil dari bagian tanaman yang keras seperti kulit batang, kayu dan biji-bijian yang keras seperti tanaman akar wangi. Pada metode ini, ketel suling dan tangki air sebagai sumber uap panas diletakkan secara terpisah. Uap yang dihasilkan mempunyai tekanan lebih tinggi dari tekanan udara luar. Hal yang perlu diperhatikan untuk metode ini adalah tekanan pada boiler dan ketel penyuling yang harus terus terkontrol.

3. Penyulingan dengan uap dan air (water and steam distillation)

Metode ini disebut dengan sistem kukus atau sistem uap tak langsung. Menurut Santoso (1993), penyulingan minyak atsiri dengan cara ini sedikit lebih maju dan produksi minyaknya relatif lebih baik. Cara ini paling sering dilakukan para petani atsiri, dan jika pengerjaannya dilakukan dengan baik produk minyaknya pun dapat masuk dalam kategori ekspor. Keuntungan dari metode ini adalah adanya penetrasi uap yang terjadi secara merata ke dalam jaringan bahan, suhu dapat dipertahankan sampai 100oC, harga alat lebih murah, dan rendemen minyak yang dihasilkan lebih besar. Berikut gambar peyulingan dengan metode penyulingan air dan uap.

Sumber: Santoso (1993)

Gambar 3 Penyulingan dengan metode air dan uap

(30)

menghindari terjadinya kegagalan dalam mengolah bahan baku. Menurut Yuliani dan Satuhu (2012), alat penyulingan terbaik adalah yang terbuat dari kaca tahan panas (pyrex) dengan titik didih sangat tinggi mencapai suhu 1 000oC. Dengan demikian, pada saat proses penyulingan alat tersebut tidak akan larut atau terkikis oleh minyak atsiri yang dihasilkan. Akan tetapi, harga dari kaca tahan panas tersebut sangat tinggi sehingga investasi untuk alat ini cukup besar. Oleh sebab itu, sampai saat ini belum ada penyuling di Indonesia yang menggunakan alat suling terbuat dari kaca. Alat penyuling lain yaitu terbuat dari bahan besi antikarat (stainless steel) dengan ketebalan yang cukup untuk penyulingan. Dengan bahan antikarat, tidak akan terjadi reaksi dengan uap minyak atsiri selama proses penyulingan. Penggunaan bahan besi seperti drum bekas untuk penyulingan juga banyak dipakai oleh para penyuling, tetapi minyak yang dihasilkan berwarna coklat kekuningan akibat besi terlarut ke dalam minyak. Hal itu akan mengakibatkan kualitas minyak yang dihasilkan akan menurun.

(31)

2.3 Konsep Pendapatan Usahatani

Pendapatan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup seorang petani, semakin besar pendapatan yang diperoleh petani maka semakin besar kemampuan petani untuk membiayai segala pengeluaran dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam usahanya. Selain itu pula pendapatan juga berpengaruh terhadap laba rugi suatu usahatani yang tersaji dalam laporan laba rugi. Tanpa pendapatan tidak ada laba dan tanpa laba maka tidak akan ada usaha yang berjalan. Hal seperti ini tentu saja tidak mungkin terlepas dari pengaruh pendapatan dari hasil operasi suatu usaha.

Menurut Rahim dan Hastuti (2007), pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya, atau dengan kata lain pendapatan xx meliputi pendapatan kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Sedangkan biaya usahatani merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani,nelayan, dan peternak) dalam mengelola usahanya dalam mendapatkan hasil yang maksimal. Biaya usahatani dapat diklasifikan menjadi dua yaitu:

1. Biaya Tetap

Biaya tetap atau fixed cost umumnya diartikan sebagai biaya yang relative tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun output yang diperoleh banyak atau sedikit, misalnya pajak (tax). Selain itu, biaya tetap dapat pula dikatakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi komoditas pertanian, misalnya penyusutan alat dan gaji karyawan.

2. Biaya Tidak Tetap

Biaya tidak tetap atau biaya variabel/variable cost merupakan biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi komoditas pertanian yang diperoleh. Misalnya biaya untuk saprodi atau sarana produksi komoditas pertanian. Adapun rumus yang digunakan dalam Rahim dan Hastuti (2007):

TC= FC + VC………...………....(1)

(32)

Penerimaan usahatani merupakan perkalian antara jumlah produksi yang diperoleh dengan harga jualnya. Pernyataan ini dapat dituliskan dalam Rahim dan Astuti (2007) sebagai berikut:

TR=Yx Py………..………..………...….(2)

Keterangan : TR= total penerimaan

Y = Jumlah produksi yang dihasilkan Py= Harga Y

Pendapatan yang diperoleh oleh petani dapat diketahui dengan menghitung selisih antara total penerimaan yang diperoleh dan total biaya yang dikeluarkan oleh petani. Adapun rumus dalam Rahim dan Astuti (2007) yang digunakan:

Pd= TR – TC……….(3)

Keterangan: Pd= Pendapatan usahatani TR= Total penerimaan TC= Total biaya

2.4 Analisis Finansial

Analisis finansial adalah suatu analisis yang dilihat dari orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam manfaat dan biaya usaha tersebut, yaitu individu atau pengusaha (Gray et al, 1997). Analisis finansial dilakukan dengan cara penyusunan cash flow dengan terlebih dulu mengelompokkan komponen yang termasuk ke dalam biaya dan manfaat. Unsur-unsur yang terdapat dalam cash flow yaitu inflow (arus penerimaan) dan outflow (arus pengeluaran). Komponen yang termasuk dalam inflow yaitu nilai produksi total, pinjaman, grants (bantuan), nilai sewa dan nilai sisa. Komponen outflow terdiri dari biaya investasi berupa tanah, bangunan dan mesin, biaya operasional dan pemeliharaan yang berupa biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, pajak, reinvetasi dan debt service (pokok+bunga). Analisa proyek baik dari segi biaya maupun manfaat perlu dilakukan karena pelaksanaan proyek melibatkan sumberdaya yang jumlahnya terbatas, sehingga perlu keputusan pengelolaan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan di masa mendatang (Gittinger, 1986).

(33)

adalah bagian dari manfaat yang dibayar kepada instansi pemerintah, penerimaan subsidi berarti pengurangan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik usaha, biaya investasi dibiayai dengan modal sendiri, serta bunga atas pinjaman dalam maupun luar negeri merupakan biaya proyek. Pilihan tingkat suku bunga sangat penting, karena tingkat suku bunga yang rendah akan menurunkan nilai saat ini dari keuntungan masa depan, dan sebaliknya jika suku bunga tinggi, maka nilai saat ini menjadi lebih rendah dan berkurang (Mitchell et al, 2010).

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yamg berkaitan dengan akar wangi, analisis penyulingan dan analisis pendapatan adalah:

Penelitian mengenai Pola Pendapatan Petani Akar Wangi di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat dilakukan oleh Dini Rochdiani (2008). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pola dan kontribusi pendapatan petani akar wangi serta kendala dalam usahatani akar wangi di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus terhadap 35 petani akar wangi. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa 87% pendapatan akar wangi berasal dari usahatani polikultur dan non pertanian, serta 13% berasal dari usahatani monokultur akar wangi. Pendapat total petani akar wangi Rp 13 970 000 per tahun. Kontribusi pendapatan petani yang berasal dari usaha pertanian sebesar 40%, lebih rendah dibandingkan dengan usaha non pertanian sebesar 60%. Kendala yang diihadapi oleh petani akar wangi antara lain keterbatasan modal, rendahnya produktivitas, keterbatasan dalam pemasaran, lemahnya kemampuan petani untuk bergerak di bidang off-farm dan masih lemahnya kemampuan asosiasi petani baik dalam hal permodalan maupun sumberdaya manusianya.

(34)

geraniol, total sitronellal dan memberi pengaruh yang sangat nyata (P 6.05) terhadap bobot jenis dan indeks bias. Lama penyulingan yang terlalu lama akan menurunkan mutu rendemen yang dikehendaki.

Penelitian mengenai Kajian Kemampuan Daya Beli Petani Akar Wangi di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut dilakukan oleh Eddy Renaldy (2007). Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung pendapatan petani akar wangi yang berasal dari usaha tani maupun dari luar usaha tani, mengetahui kemampuan daya beli petani akar wangi di wilayah kajian, mengetahui kendala dan upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan pendapatan dan kemampuan daya beli petani. Metode penelitian menggunakan analisis pendapatan dan metode survey deskriptif untuk kajian kemampuan daya beli petani akar wangi. Hasil penelitian

menunjukkan pendapatan rata-rata petani akar wangi adalah Rp 18 646 000/tahun/luas tanah, atau telah memberikan kontribusi 62% terhadap

total pendapatan petani akar wangi, pendapatan petani yang bersumber dari usaha tani lainnya adalah Rp 3 020 000/tahun, memberikan kontribusi sebesar 10%, dan tambahan pendapatan yang diperoleh dari usaha non pertanian adalah sebear Rp 8 425 000/tahun atau sebesar 28% dari total pendapatan petani. Paritas daya beli (Purchasing Power Parity-PPP) diperoleh sebesar 53.3 yang menunjukkan kemampuan daya beli dari masyarakat atau petani akar wangi di Kecamatan Samarang Kabupaten Garut. Permasalahan keterbatasan modal, rendahnya produktivitas, keterbatasan dalam pemasaran, kemampuan petani untuk bergerak di bidang off-farm masih lemah, dan masih lemahnya kemampuan asosiasi petani baik dalam hal permodalan maupun sumber daya manusianya mengakibatkan pendapatan yang diterima petani cenderung rendah. Upaya yang telah dilakukan adalah dengan memfasilitasi petani akar wangi untuk melakukan kemitraan dengan para pengusaha minyak atsiri, serta memberikan bantuan usaha ekonomi produktif melalui penyaluran dana penguatan modal usaha kelompok (PMUK) kepada kelompok tani akar wangi.

(35)
(36)

adalah Rp 2 626.10/kg akar wangi. rata-rata nilai tambah minyak akar wangi mutu rendah saat musim kemarau adalah Rp 2 602.11/kg akar wangi.

Penelitian mengenai Analisis Penyulingan Minyak Nilam (Patchouli Oil) CV. Nilam Kencana Jaya di Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes dilakukan oleh Pujianto (2012). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk megetahui besarnya biaya, penerimaan, keuntungan, profitabilitas, tingkat efisiensi dan tingkat resiko usaha penyulingan minyak nilam CV. Nilam Kencana Jaya di Kecamatan Bantakawung, Kabupaten Brebes. Metode penelitian menggunakan metode analytical descriptive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya total yang dikeluarkan untuk satu tahun yaitu tahun 2011 sebesar Rp 2 359 672 735.5, penerimaan sebesar Rp 3 159 822 000, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp 800 149 264.5. Dalam penelitian ini juga diperoleh nilai profitabilitas sebesar 33.90 %, nilai efisiensi sebesar 1.34, nilai koefisien variasi 1.03651 dan batas bawah keuntungan sebesar Rp -71 548 098.89.

(37)

III KERANGKA PEMIKIRAN

Akar wangi merupakan komoditi subsektor perkebunan yang memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap penerimaan devisa negara, karena akar wangi memiliki pangsa pasar dunia dengan harga yang cukup tinggi sebagai komoditas ekspor Indonesia. Kabupaten Garut sebagai sentra produksi tanaman akar wangi, mampu memasok 90% dari kebutuhan akan minyak akar wangi dalam negeri maupun ekspor. Kecamatan Samarang menjadi lokasi penelitian, karena merupakan daerah sentra produksi akar wangi di Kabupaten Garut.

Usahatani akar wangi yang memiliki potensi yang baik untuk terus dikembangkan, ternyata mengalami penurunan produksi pada tahun 2013 di Kabupaten Garut. Permasalahan yang terjadi diduga diakibatkan oleh menurunnya permintaan minyak akar wangi, menurunnya mutu akar wangi karena pengaruh cuaca, dan harga tanaman akar wangi di tingkat pembeli sangatlah rendah, sehingga petani dan penyuling mengalami penurunan dalam memperoleh pendapatan kadangkala mengalami kerugian. Hal tersebut yang menyebabkan banyak petani berhenti menanam akar wangi dan memilih menanam tanaman lain yang lebih menguntungkan, seperti tomat dan kol. Demikian masalah tersebut terjadi, maka diperlukan adanya suatu penelitian di Kabupaten Garut, dengan sampel lokasi penelitian di Kecamatan Samarang.

(38)
(39)

Rekomendasi

Keterangan: Hubungan tidak langsung Hubungan langsung

Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional Pelaku usaha akar wangi yang lebih

menguntungkan di Kecamatan Samarang

π = TR -TC R/C ratio

- Analisis biaya dan manfaat/ Cash flow

- Analisis sensitivitas

Petani Penyuling Petani- penyuling- pengumpul-pengekspor

Petani- penyuling-pengumpul

Petani-penyuling

Penurunan produksi akar wangi di Kabupaten Garut

Identifikasi keragaan usahatani akar wangi:

Analisis Deskriptif

Estimasi tingkat pendapatan pelaku usaha akar wangi Menurunnya permintaan

minyak akar wangi dan mutu akar wangi

Harga akar wangi yang diterima petani sangat rendah di tingkat

pembeli Usaha akar wangi di Kecamatan

(40)

IV METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja berdasarkan pencarian data melalui Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, yang menunjukkan bahwa Kabupaten Garut merupakan sentra produksi akar wangi terbesar di Jawa Barat maupun di Indonesia. Pemilihan lokasi Kecamatan Samarang berdasarkan data dari Kabupaten Garut yang menunjukkan bahwa Kecamatan ini sebagai daerah produksi terbesar dan luas areal lahan terluas tanaman akar wangi di Kabupaten Garut. Kegiatan Pengambilan data kurang lebih dilakukan selama dua bulan, yaitu Mei-Juni 2014.

4.2 Jenis dan Sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara dan pengamatan langsung pada petani dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi keadaan umum mengenai petani dan pertanian akar wangi secara umum, data jumlah petani, data penggunaan sarana produksi, data penerimaan usaha serta data lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari literatur, baik buku, jurnal, situs internet, maupun dari instansi-instansi terkait, seperti BPS Kecamatan Samarang, Dinas Perkebunan, dan beberapa instansi lain yang terkait dengan penelitian ini.

4.3 Metode Pengambilan Contoh

(41)

dari 50 petani akar wangi, 1 orang penyuling, 1 orang petani-penyuling, 1 orang petani-penyuling-pengumpul, dan 1 orang petani-penyuling-pengumpul-pengekspor. Petani merupakan pelaku yang hanya melakukan kegiatan budidaya akar wangi dari pengolahan lahan hingga pemanenan. Hasil panen yang diperoleh keseluruhannya dijual kepada penyuling. Penyuling merupakan pelaku usaha yang hanya melakukan kegiatan pengolahan hasil panen akar wangi menjadi minyak akar wangi. Petani-penyuling merupakan pelaku usaha yang melakukan budidaya akar wangi sekaligus melakukan pengolahan sendiri terhadap hasil panen. Hasil panen yang diperoleh tidak dapat memenuhi kebutuhan kegiatan penyulingan selama satu tahun, sehingga pelaku juga membeli bahan baku dari luar untuk memenuhi kekurangan bahan baku. Petani-penyuling-pengumpul merupakan pelaku yang hampir sama dengan pelaku petani-penyuling. Perbedaannya terletak pada kegiatan pengumpul yang dilakukan oleh pelaku ini. Kegiatan pengumpul merupakan kegiatan membeli minyak akar wangi dari penyuling lain dan dikumpulkan, lalu dijual kembali kepada pengekspor atau industri. Petani-penyuling-pengumpul-pengekspor merupakan pelaku yang hampir sama dengan pelaku sebelumnya. Pelaku ini melakukan budidaya akar wangi dari pengolahan lahan hingga pemanenan, kemudian melakukan pengolahan sendiri terhadap hasil panen menjadi minyak akar wangi dan melakukan kegiatan mengumpul minyak akar wangi yang akan dijual kembali untuk memenuhi banyaknya permintaan. Perbedaannya terletak pada kegiatan ekspor yang dilakukan sendiri oleh pelaku ini ke beberapa Negara di Asia dan Eropa.

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

(42)

Tabel 3 Metode Prosedur Analisis Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data 1

Analisis deskriptif merupakan analisis dengan mengutamakan pengamatan (observasi) terhadap gejala peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang yaitu dengan menganalisa teknis usahatani dan proses untuk mendapatkan minyak akar wangi di daerah penelitian (Soemanto 1994).

4.4.2 Analisis Pendapatan Usahatani

Untuk tujuan penelitian 2, yaitu mengestimasi tingkat pendapatan dan kelayakan usaha masing-masing dari pelaku usaha akar wangi. Pendapatan petani merupakan selisih antara penerimaan dan penjualan produk yang dihasilkan dengan biaya produksi yang dikeluarkan (Soeharjo dan Patong, 1986). Penerimaan adalah perkalian antara jumlah output dengan harga jual output. Penerimaan dalam penelitian ini merupakan sejumlah uang yang diterima petani dari penjualan output akar wangi atau minyak akar wangi. Total biaya produksi usahatani terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap atau biaya variabel. Biaya tetap meliputi biaya penyusutan dan pajak sedangkan biaya tidak tetap meliputi biaya sarana produksi, transportasi dan biaya lainnya yang dikeluarkan selama proses produksi dan penyulingan akar wangi.

(43)

Tabel 4 Perhitungan analisis pendapatan usaha akar wangi

No Uraian Cara Perhitungan Keterangan

A Penerimaan Harga produk x hasil produk Produk: -akar wangi

(usahatani) -minyak akar wangi (penyulingan) B Biaya tunai Biaya tetap tunai + biaya variabel

tunai

C Biaya non tunai Biaya tetap non tunai + biaya variabel non tunai

D Total biaya B + C

E Pendapatan atas biaya tunai

A – B F Pendapatan atas biaya total A – D G R/C rasio atas biaya tunai A/B H R/C rasio atas biaya total A/D

Sumber: Soekartawi et al. (1986)

Setelah mengetahui tingkat pendapatan petani, selanjutnya dilakukan analisis efisisensi usahatani menggunakan analisis R/C ratio yang merupakan perbandingan antara penerimaan dan biaya usahatani. Adapun rumus yang digunakan:

R/C =

………...…(4)

Keterangan: TR = total penerimaan TC = total biaya

4.4.3 Analisis Kelayakan Finansial

Dalam penelitian ini, untuk mengetahui besarnya pendapatan penyuling akar wangi dihitung menggunakan cash flow dengan umur usaha sesuai dengan umur ekonomis peralatan penyulingan yaitu 10 tahun. Kegiatan penyulingan akar wangi dapat dikatakan layak apabila nilai yang didapat sesuai dengan syarat nilai dari kriteria-kriteria kelayakan, yaitu NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period.

1. Net Present Value (NPV)

(44)

=∑

Bt= Penerimaan penyuling akar wangi pada tahun ke-t (Rp)

Ct = Biaya yang dikeluarkan penyuling akar wangi pada tahun ke-t (Rp) i = Suku bunga sebesar 11.75% (kredit mikro BRI)

t = Tahun kegiatan n = Umur usaha

Kriteria kelayakan menurut NPV yaitu:

NPV>0, usaha penyulingan akar wangi layak untuk dijalankan. NPV<0, usaha penyulingan akar wangi tidak layak untuk dijalankan. 2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Menurut Gray et al. (1997), Net B/C merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang positif dengan jumlah present value yang negatif. Secara sistematis, rumus Net B/C dapat dituliskan sebagai berikut:

⁄ =

Bt = Penerimaan penyuling akar wangi pada tahun ke-t (Rp)

Ct = Biaya yang dikeluarkan penyuling akar wangi pada tahun ke-t (Rp) i = Suku bunga sebesar 11.75% (kredit mikro BRI)

t = Tahun kegiatan n = Umur usaha

Kriteria kelayakan menurut Net B/C yaitu:

Net B/C>1, usaha penyulingan akar wangi layak untuk dijalankan. Net B/C<1, usaha penyulingan akar wangi tidak layak untuk dijalankan. 3. Internal Rate of Return (IRR)

(45)

sekarang neto dari arus manfaat neto tambahan atau arus uang tambahan sama dengan nol (NPV=0). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

RR= 2 1

1 2 2 1 ……….(7)

Keterangan:

IRR = Internal rate of return (%)

i1 = Discount rate yang menghasilkan NPV positif (%) i2 = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif (%) NPV1 = NPV positif (Rp)

NPV2 = NPV negatif (Rp)

Kriteria kelayakan menurut IRR yaitu:

IRR>11.75%, usaha penyulingan akar wangi layak untuk dijalankan. IRR<11.75%, usaha penyulingan akar wangi tidak layak untuk dijalankan. 4. Payback Period

Menurut Gittinger (2008), Payback Period merupakan jangka waktu kembalinya keseluruhan jumlah investasi modal yang ditanamkan, dihitung mulai dari permulaan proyek sampai dengan arus nilai neto produksi tambahan sehingga mencapai jumlah keseluruhan investasi modal yang ditanamkan. Kriteria Payback Period berguna untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi. 5. Analisis Sensitivitas

Menurut Gittinger (1986) pada proyek di sektor pertanian dapat berubah-ubah sebagai akibat dari empat permasalahan utama, yaitu perubahan harga jual produk, keterlambatan pelaksaan proyek, kenaikan biaya input dan kesalahan dalam memperkirakan hasil produksi.

Skenario untuk melihat sensitivitas dari perubahan harga input-output dapat dilakukan dengan empat skenario yaitu:

1. Skenario A yaitu pada petani akar wangi terjadi penurunan harga jual hasil panen akar wangi sebesar 5% dan biaya lain dianggap tetap. 2. Skenario B yaitu petani akar wangi menggunakan bibit unggul, hasil

(46)

3. Skenario C yaitu pada pelaku penyuling, penyuling, petani-penyuling-pengumpul terjadi peningkatan harga input yaitu bahan bakar sebesar 5% dan biaya lain dianggap tetap.

4. Skenario D yaitu pada pelaku penyuling, penyuling, petani-penyuling-pengumpul terjadi penurunan harga jual minyak akar wangi sebesar 5% dan biaya lain dianggap tetap.

5. Skenario E merupakan gabungan dari skenario 2 dan skenario 3 yaitu pada pelaku penyuling, petani-penyuling, petani-penyuling-pengumpul terjadi peningkatan harga input yaitu bahan bakar sebesar 5%, penurunan harga jual minyak akar wangi sebesar 5% dan biaya lain dianggap tetap.

6. Skenario F yaitu pada pelaku penyuling, penyuling, petani-penyuling-pengumpul terjadi peningkatan kapasitas penggunaan bahan baku per tahun sebesar 10% dan biaya lain dianggap tetap. 7. Skenario pada pelaku G yaitu pada pelaku

petani-penyuling-pengumpul-pengekspor terjadi peningkatan biaya ekspor sebesar 5% dan biaya lain dianggap tetap.

Adapun asumsi yang digunakan dalam analisis finansial adalah sebagai berikut :

1. Umur usaha berdasarkan umur teknis investasi mesin penyulingan minyak akar wangi yaitu 10 tahun, dimulai tahun 2013 dan seterusnya.

2. Analisis cash flow dimulai dari T0 yang merupakan tahun dimana pelaku usaha melakukan persiapan seperti mendirikan bangunan dan membeli peralatan penyulingan.

3. Proses penyulingan dilakukan selama 8 bulan dalam setahun, dengan banyaknya penyulingan 30 kali dalam satu bulan.

(47)

V

GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten terbesar yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Garut yaitu kecamatan Samarang. Kecamatan Samarang memiliki luas wilayah 3 568.7 hektar dengan jenis penggunaan antara lain perkampungan sebesar 251 hektar, persawahan sebesar 1 574 hektar, lahan basah/kolam sebesar 42 hektar, kebun/ladang sebesar 1 392 hektar, saran pemerintahan sebesar 3.42 hektar, hutan sebesar 233 hektar, serta penggunaan lainnya sebesar 0.47 hektar.

Secara administratif Kecamatan Samarang memiliki batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah utara : Kecamatan Tarogong Kaler - Sebelah timur : Kecamatan Tarogong Kidul

- Sebelah selatan : Kecamatan Pasirwangi dan Bayongbong - Sebelah Barat : Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung

(48)

5.2 Gambaran Umum Usahatani Akar Wangi

Akar wangi merupakan salah satu komoditas unggulan penghasil minyak atsiri selain cengkeh, nilam, pala, jahe dan serai wangi di Indonesia. Komoditas akar wangi berkembang dengan baik di daerah Garut, Jawa Barat dan Wonosobo, Jawa Timur. Salah satu daerah sentra akar wangi di Kabupaten Garut yaitu di kecamatan Samarang. Kecamatan Samarang memiliki ketinggian antara 500-1270 meter dari permukaan air laut. Berdasarkan data ketinggian tersebut, wilayah kecamatan Samarang termasuk dalam kriteria wilayah yang dapat ditanam tanaman akar wangi yang berkisar anatara 700-1600 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perkebunan Kecamatan Samarang, terdapat 4 desa yang berpotensi pengembangan akar wangi yaitu desa Sukakarya, Tanjungkarya, Parakan dan desa Cisarua. Pada penelitian ini, responden petani yang diambil sebanyak 50 petani yang tersebar di empat desa tersebut seperti yang dipaparkan pada tabel berikut.

Tabel 5 Distribusi jumlah petani dan jumlah responden petani akar wangi di Kecamatan Samarang

Desa Jumlah Petani (N)

Jumlah Responden (n)

Cisarua 125 20

Parakan 85 7

Sukakarya 150 16

Tanjungkarya 125 7

Jumlah 485 50

Sumber: UPTD Perkebunan Kecamatan Samarang (2014)

(49)

Tabel 6 Luas areal perkebuanan rakyat jenis tanaman akar wangi di Kecamatan Sumber: UPTD Perkebunan Kecamatan Samarang (2014)

Waktu terbaik untuk penanaman akar wangi dilakukan pada awal musim hujan, namun dapat juga dilakukan setiap saat, sepanjang tahun. Waktu pemanenan akar wangi dapat dilakukan setelah tanaman berumur 8 (delapan) bulan pada musim kemarau. Namun sebagian besar petani akar wangi di Kecamatan Samarang memanen akar wangi setelah berumur 12 (dua belas) bulan. Seluruh hasil panen dari petani di kecamatan Samarang dibeli oleh penyuling dengan kisaran harga Rp 800 - Rp 2 000 per kg. Kualitas dan kuantitas akar wangi yang dihasilkan petani menentukan harga akar wangi yang dijual kepada penyuling. Kualitas akar wangi dipengaruhi oleh keadaan cuaca, tanah dan juga cara budidaya yang baik dan benar. Semakin tinggi kualitas akar wangi, harga akar wangi juga semakin tinggi. Selain itu, harga akar wangi juga dipengaruhi oleh musim panen, ketika panen raya harga akar wangi cenderung menurun.

5.3 Penyulingan Akar Wangi

(50)

(a) (b)

Gambar 5 Ketel penyulingan (a) dan bak pendingin dan cooler (b)

Harga beli oleh pengumpul atau eksportir minyak akar wangi berkisar Rp 700 000 - Rp 1 000 000 per kg. Harga jual untuk dalam negeri berkisar Rp 700 000 – Rp 1 200 000 sedangkan harga jual untuk ekspor berkisar US$ 120 - US$ 180 per kg berdasarkan kualitas minyak yang dihasilkan. Di Negara luar, harga penjualan minyak akar wangi jauh lebih tinggi dibandingkan di Indonesia yaitu berkisar US$ 250 - US$ 350 per kg. Hal tersebut dikarenakan kualitas minyak yang dihasilkan jauh lebih tinggi karena sudah diolah dengan mesin yang canggih. Di Indonesia, mesin tersebut sudah ada namun penggunaannya belum maksimal oleh karena itu perlu tenaga ahli dalam penggunaan mesin penyulingan tersebut.

Minyak akar wangi juga termasuk salah satu minyak atsiri yang diimpor. Hal tersebut dikarenakan pasokan minyak akar wangi yang terbatas, sehingga walaupun menjadi produsen minyak akar wangi untuk pasar dunia, impor tetap dibutuhkan. Negara produsen minyak akar wangi terdapat di negara berkembang dan negara maju. Negara berkembang lebih terfokus untuk memproduksi akar wangi dan bahan baku menjadi setengah jadi, kemudian diekspor ke negara lain. Negara maju mengimpor minyak akar wangi dalam bentuk setengah jadi dari negara berkembang, lalu diolah menjadi barang jadi.

5.4 Karakteristik Petani Responden

(51)

Karakteristik umum responden tergambar melalui tingkat pendidikan formal, usia, pengalaman usahatani dan luas lahan.

5.4.1 Pendidikan Formal

Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini diklasifikan mulai dari tidak sekolah/tidak lulus Sekolah Dasar (SD) sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebaran pendidikan formal responden dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 7 Karakteristik petani responden menurut tingkat pendidikan formal di Kecamatan Samarang

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak tamat SD

Tingkat pendidikan formal responden petani akar wangi di Kecamatan Samarang tergolong rendah, karena sebagian besar petani hanya berpendidikan SD. Tingginya persentase tingkat pendidikan SD mengindikasikan bahwa dari segi perekonomian, Kecamatan Samarang termasuk ke dalam kurang mampu. 5.4.2 Usia Petani

Tingkat usia responden yang diwawancara bervariasi, dengan usia paling muda yaitu 26 tahun dan yang paling tua yaitu 76 tahun. Berdasarkan Tabel 8, Persentase usia petani tertinggi berada pada kelompok usia 51-60 tahun dan persentase usia petani terendah berada pada kelompok usia 21-30 dan 71-80. Sebaran usia responden dapat dilihat pada Tabel 8.

(52)

5.4.3 Pengalaman Usahatani

Lamanya pengalaman petani mempengaruhi keberhasilan petani dalam usahatani akar wangi. Sebaran lama pengalaman usahatani responden dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 9 Karakteristik petani responden menurut pengalaman usahatani di Kecamatan Samarang

Lama Bertani (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) ≤1 paling banyak sudah bertani di bawah 10 tahun dan petani yang bertani diatas 30 tahun jumlahnya paling sedikit.

5.4.4 Luas Lahan

Petani akar wangi sebagian besar melakukan kegiatan usahataninya pada luas lahan di bawah satu hektar. Hal tersebut dikarenakan harga akar wangi yang menurun drastis sehingga petani mengalihkan penggunaan lahan untuk usahatani sayur-sayuran. Sebaran luas lahan usahatani akar wangi dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 10 Karakteristik petani responden menurut luas lahan di Kecamatan Samarang

Luas lahan (Ha) Jumlah (Orang) Persentase (%) ≤ .5

(53)

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Keragaan Usaha Akar Wangi di Kecamatan Samarang Tujuan pertama dari penelitian ini adalah mendeskripsikan keragaan usaha akar wangi yang diterapkan di Kecamatan Samarang, tepatnya di 4 Desa yaitu Desa Sukakarya, Tanjungkarya, Parakan dan Cisarua. Keragaan usahatani ini terdiri dari keragaan usahatani akar wangi dan keragaan penyulingan minyak akar wangi.

6.1.1 Keragaan Usahatani Akar Wangi

Teknik budidaya akar wangi di Kecamatan Samarang sedikit berbeda dengan teknik budidaya secara umum. Petani di Kecamatan Samarang tidak melakukan pengendalian terhadap hama karena pada usahatani akar wangi hama tidak menjadi masalah. Sehingga rangkaian kegiatan usahatani akar wangi dimulai dari pengolahan lahan, penanaman, penyulaman, pemeliharaan dan pemanenan. Input atau faktor produksi yang digunakan dalam usahatani akar wangi terdiri dari lahan, bibit, pupuk dan tenaga kerja. Pada penelitian ini, rata-rata penggunaan input atau faktor produksi dihitung dalam satu hektar per satu musim tanam atau satu tahun terakhir yaitu tahun 2013.

6.1.1.1 Pengolahan Lahan

(54)

menanam akar wangi dengan ukura yang berbeda setiap petaninya, berkisar antara panjang 30-50 cm, lebar 30-50 cm dan kedalaman lubang 5-10 cm.

Sebagian besar petani akar wangi di kecamatan Samarang memiliki lahan masing-masing. Harga sewa lahan di kecamatan Samarang adalah Rp 2 800 000 per hektar per tahun. Lahan yang dimiliki petani biasanya merupakan lahan warisan keluarga secara turun-temurun yang sejak dulu digunakan untuk menanam akar wangi. Namun, luas lahan yang dimanfaatkan untuk ditanami akar wangi sudah berkurang jumlahnya dikarenakan harga akar wangi yang anjlok sehingga tidak menguntungkan petani.

6.1.1.2 Penanaman

Pada kegiatan penanaman bibit akar wangi yang digunakan adalah bibit akar wangi atau bonggol yang siap tanam. Cara penanamannya yaitu dengan memasukkan bibit atau bonggol siap tanam ke dalam lubang tanam yang telah dibuat sebelumnya. Jarak tanam akar wangi di kecamatan Samarang bervariasi, tergantung petani masing-masing, yaitu berkisar antara 50-60 cm. Penanaman akar wangi dapat dilakukan secara monokultur atau tumpang sari. Secara monokultur biasanya dilakukan oleh petani yang memiliki lahan akar wangi yang luas, sedangkan pola tumpang sari biasanya dilakukan oleh petani yang memiliki lahan yang sempit. Sebagian besar petani akar wangi di Kecamatan Samarang melakukan tumpang sari di lahan yang ditanami akar wangi dengan tanaman utama tomat dan kol. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar petani akar wangi di Kecamatan Samarang memiliki lahan yang sempit dan selain itu harga akar wangi yang relatif rendah mengakibatkan petani melakukan pola tumpang sari dengan tanaman sayuran yang dapat menghasilkan pemasukan lebih tinggi. Jarak tanam dan pola tanam yang digunakan dapat mempengaruhi produktifitas yang didapat oleh masing-masing petani. Jarak tanam yang lebar akan memberikan dampak positif terhadap kesehatan tanaman utama dan tanaman tumpang sari lain karena dapat mengurangi tingkat kompetisi masing-masing tanaman dalam memperoleh makanan, air, dan sinar matahari atau cahaya yang cukup karena tanaman akan tidak saling menaungi (Fazlurrahman, 2012).

(55)

diperoleh di tempat penjualan bibit di sekitar lokasi penelitian. Harga beli bibit akar wangi yaitu Rp 200 000 per kemasan (100 kg) atau Rp 2 000 per kg. Rata-rata penggunaan bibit akar wangi adalah 2 089.167 kg/hektar dengan biaya sebesar Rp 4 178 333.33. Sebagian besar petani di Kecamatan Samarang melakukan penanaman pada awal musim hujan (Oktober-November) karena pada awal pertumbuhan, tanaman akar wangi membutuhkan air yang cukup.

6.1.1.3 Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman perlu dilakukan sejak tanaman ditanam hingga tanaman selesai di panen. Adapun kegiatan pemeliharaan tanaman akar wangi antara lain yaitu penyiangan I, pemupukan dan penyiangan II.

1. Penyiangan I

Setelah tanaman akar wangi berumur 3 bulan, tahap yang perlu dilakukan adalah penyiangan I. Kegiatan penyiangan merupakan hal yang sangat penting dilakukan untuk mencegah terhambatnya pertumbuhan akar wangi yang diakibatkan oleh gulma yang tumbuh disekitar tanaman. Penyiangan dilakukan oleh petani dengan cara membersihkan gulma-gulma dengan tangan dan menggunakan golok ataupun sabit.

2. Pemupukan

(56)

Tabel 11 Rata-rata biaya penggunaan pupuk usahatani akar wangi di Kecamatan

Rata-rata penggunaan pupuk terbesar adalah pupuk ZA,TSP dan urea yaitu masing-masing sebesar 214.72 kg/ha, 206.02 kg/ha dan 119.02 kg/ha, dengan harga pupuk Rp 2 000 per kg. Sedangkan penggunaan terhadap pupuk NPK dan phonska sangat sedikit jumlahnya yaitu masing-masing sebesar 64.95 kg/ha dan 14.27 kg/ha. Hal tersebut dikarenakan harga pupuk keduanya lebih mahal yaitu sebesar Rp 2 500 per kg.

3. Penyiangan II

Kegiatan penyiangan II merupakan kegiatan membersihkan kembali lahan akar wangi dari gulma-gulma dan tumbuhan lain yang mengganggu, serta sekaligus melakukan pemangkasan tanaman akar wangi. Pemangkasan ini khususnya dilakukan pada tanaman akar wangi yang ditanam secara tumpang sari agar tidak mengganggu proses pertumbuhan tanaman disekitarnya. Pemangkasan daun akar wangi setelah berumur lebih dari 6 bulan dapat memacu pertumbuhan akar menjadi lebih rimbun dan panjang. Menurut hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Industri Bogor, pemangkasan daun yang dilakukan 3 bulan atau 6 bulan sekali, khususnya di dataran tinggi dapat meningkatkan hasil sekitar 10% (Santoso, 1993). 6.1.1.4 Pemanenan

(57)

ialah pada saat tanaman berumur 1 tahun, dimana ketika itu kandungan minyak pada akar dalam keadaan optimal. Pemanenan akar wangi dilakukan dengan cara mencangkul tanah disekitar tanaman lalu mencabut seluruh akar. Daun akar wangi dapat dibuang atau dimanfaatkan menjadi kompos, sedangkan bonggolnya dapat dijadikan bibit untuk penanaman selanjutnya. Setelah dipanen, akar dikeringkan hingga kadar air turun. Pada kegiatan pemanenan, terdapat istilah borongan. Borongan adalah penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pemanenan akar wangi dengan biaya Rp 50 000 untuk setiap kuintal hasil panen yang diperoleh.

Seluruh kegiatan budidaya akar wangi mulai dari pengolahan lahan hingga pemanenan membutuhkan tenaga kerja. Secara umum, tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Untuk aktifitas usahatani seperti pengolahan lahan, penanaman, penyaingan I, pemupukan dan penyiangan II dihitung berdasarkan jumlah hari orang kerja (HOK) yaitu sebesar 8 jam per harinya. Pemberian upah TKLK bagi laki-laki sebesar Rp 48 000 dan bagi wanita sebesar Rp 32 000. Sedangkan aktifitas pemanenan dan pengangkutan dilakukan dengan sistem borongan, dengan upah sebesar Rp 50 000 per kuintal akar wangi. Penggunaan tenaga kerja pada akar wangi dapat dilihat pada Tabel 12 berikut. Tabel 12 Penggunaan tenaga kerja pada usahatani akar wangi di Kecaamatan

Samarang

Kegiatan TKDK TKLK

Rata-rata (HOK/ha) Rata-rata (HOK/ha) 1. Pengolahan lahan 5.11 38.53

2. Penanaman 4.84 18.86

3. Penyiangan I 5.30 15.56

4. Pemupukan 5.32 15.38

5. Penyiangan II 5.30 15.38

6. Pemanenan - -

Total 25.87 103.70

Sumber: Data primer diolah (2014)

Gambar

Tabel 1 Luas dan produksi tanaman perkebunan akar wangi Provinsi Jawa Barat tahun 2013
Gambar 1 berikut ini.
Gambar 2 Tanaman akar wangi (a) dan hasil panen akar wangi (b)
Tabel 2 Dosis dan waktu pemupukan lahan akar wangi per hektar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keragaan usahatani padi dengan pemanfaatan limbah ternak sapi potong di Desa Sukajadi merupakan pemanfaatan limbah tanpa proses pengomposan terlebih dahulu. Petani di Desa

Tujuan penelitian adalah (1) mendapatkan pola usahatani konservasi akar wangi yang mampu menekan erosi tanah dan serangan hama (2) mengetahui bentuk fungsi produksi dan

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai kriteria utama pemilihan petani, evaluasi kinerja petani, dan efisiensi kinerja penyuling minyak akar wangi

Tingkat produktivitas akar kering yang dicapai dari ketiga pola tanam tersebut menunjukkan data bahwa pola tanam konservasi mempunyai tingkat produktivitas yang lebih tinggi yaitu

Beberapa faktor yang merupakan peluang dan mendukung prospek pengembangan usahtani jeruk siam di Kecamatan Samarang adalah (1) pengembangan usahatani dalam format

Untuk menjawab identifikasi masalah yang kedua mengenai perkembangan agroindustri akar wangi di Kecamatan Samarang maka akan dianalisis secara deskriptif menggunakan

Pada tahap ini dirancang sebuah sistem yaitu sistem industri penyulingan minyak sereh wangi dengan terlebih dahulu mengidentifikasi teknologi yang akan

Penelitian ini difokuskan pada bisnis minyak akar wangi dengan mengkaji tentang sistem manajemen rantai pasokan, anggota rantai pasokan yang terdiri dari petani akar wangi,