ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI ALIRAN EKSPOR KOMODITAS KAKAO
OLAHAN INDONESIA
AHMAD FADHLI FIRSYA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Olahan Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
AHMAD FADHLI FIRSYA. Analisis Dayasaing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Olahan Indonesia. Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia pada lima negara tujuan ekspor Indonesia. Metode yang digunakan untuk analisis daya saing kakao olahan Indonesia, yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA). Hasil dari analisis RCA secara umum menunjukkan bahwa mentega, lemak, dan minyak kakao Indonesia memiliki dayasaing yang relatif lebih baik dibandingkan dengan pasta dan bubuk kakao pada masing-masing negara tujuan ekspor. Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia digunakan analisis ekonometrika dengan pendekatan Gravity Model. Variabel yang signifikan memengaruhi aliran ekspor kakao pasta kakao Indonesia adalah GDP pengimpor, GDP Indonesia, populasi pengimpor, populasi Indonesia, harga ekspor pasta kakao Indonesia, nilai tukar rill rupiah, jarak ekonomi, dan bea keluar biji kakao. Sedangkan pada komoditas mentega, lemak, dan minyak kakao seluruh variabel tersebut berpengaruh signifikan. Sementara itu, pada komoditas bubuk kakao terdapat dua variabel yang tidak signifikan memengaruhi aliran ekspor bubuk kakao Indonesia yaitu GDP pengimpor dan jarak ekonomi.
Kata Kunci: Kakao, Ekspor, RCA, Model Gravitasi, Data Panel.
ABSTRACT
AHMAD FADHLI FIRSYA. Analysis of Competitiveness and the Factors Affecting Indonesian Cocoa Exports. Supervised by YETI LIS PUNAMADEWI.
This study aims to analyze the competitiveness and factors that affect the flow of Indonesian cocoa exports in five export destinations of Indonesia.. The method used for the analysis of the competitiveness of Indonesian cocoa is the Revealed Comparative Advantage (RCA). The results of the RCA analysis generally indicate that Indonesian cocoa butter, fat, and oil has a better relatively competitiveness compared with the cocoa paste and cocoa powder on each export destination. To analyze the factors that affect the flow of Indonesian cocoa exports used econometric analysis with the Gravity Model approach. Significant variables that affecting the flow of Indonesian cocoa paste export are importer GDP, the GDP of Indonesia, importer population, the population of Indonesia, the export price of Indonesian cocoa paste, the real exchange rate of the IDR, economic distance, and the duties of cocoa beans. While for the commodity cocoa butter, fat, oil throughout these variables have a significant effect. Meanwhile, in commodity cocoa powder there are two variables that do not significantly affect the flow of Indonesian cocoa powder exports are importer GDP and economic distance.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI ALIRAN EKSPOR KOMODITAS KAKAO
OLAHAN INDONESIA
AHMAD FADHLI FIRSYA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi dan Rasul termulia Muhammad SAW beserta keluarganya dan sahabatnya yang setia hingga akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Olahan Indonesia”, ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Firdaus dan Ibu Syamsiah serta adik-adik tercinta dari penulis, Muhammad Haekal Firsya dan Nada Ulfa Firsya atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt. M.Si selaku dosen penguji utama dan Dr. Muhammad Findi A, SE, M.E selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas saran dan kritik yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr yang juga telah memberikan arahan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
5. Keluarga KAREMATA FEM IPB, Ryan, Dudi, Dewa, Ari, Ardhi, Mia, Tazkia, Nurul, Nia, Trisa, Triana, Linda, Garin, Baskara, Indra, dan yang lainnya baik dari angkatan perintis sampai angkatan 11.
6. Teman satu bimbingan, Adnan, Andra, Ina, dan Tere yang telah membantu dalam memberi masukan dan doa.
7. Teman kontrakan DR D-15, Aji, Arif, Agung, Bayu, Busrol, Pardi, dan Samsu.
8. Fridayanti Dwi Mumpuni atas waktu, saran, kesabaran, motivasi, dan doanya. 9. Teman-teman Ilmu Ekonomi 45 atas dukungan dan motivasinya.
10.Semua Pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 7
Ruang Lingkup Penelitian 7
TINJAUAN PUSTAKA 7
Konsep Dayasaing 7
Konsep Perdagangan Internasional 9
Konsep Aliran Perdagangan Ekspor 11
Model Gravitasi (Gravity Model) 15
Studi Penelitian Terdahulu 16
Kerangka Pemikiran 21
Hipotesis Penelitian 23
METODE PENELITIAN 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Analisis 24
Definisi Operasional 32
PRODUKSI DAN EKSPOR KAKAO OLAHAN INDONESIA SERTA
PERKEMBANGAN EKONOMI NEGARA TUJUAN UTAMA 33
Produksi dan Ekspor Kakao Olahan Indonesia 33
Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia dan Perekonomian Negara Importir 34
HASIL DAN PEMBAHASAN 37
Analisis Dayasaing Kakao Olahan Indonesia di Negara Tujuan Utama 45 Estimasi Model Aliran Perdagangan Ekspor Kakao Olahan Indonesia 50
SIMPULAN DAN SARAN 60
Simpulan 60
DAFTAR PUSTAKA 63
LAMPIRAN 65
DAFTAR TABEL
1 Perkembangan ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2008 - 2011 2 2 Produksi negara penghasil kakao terbesar di dunia (ton) 2 3 Ekspor kakao olahan Indonesia ke negara tujuan utama tahun
2006-2012 4
4 Impor total kakao olahan oleh negara tujuan ekspor Indonesia
2008-2012 4
5 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya 32 6 Luas areal perkebunan dan produksi kakao tahun 2006-2013 33 7 Perkembangan luas areal perkebunan kakao Indonesia berdasarkan
status pengusahaannya tahun 2009-2013 34
8 Perkembangan produktivitas kakao berdasarkan status pengusahaannya
tahun 2006-2012 34
9 Produksi kakao di daerah sentra produksi di Indonesia 35 10 Perkembangan ekspor kakao olahan Indonesia berdasarkan kode HS 4
digit pada negara tujuan utama ekspor tahun 2012 37 11 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Amerika tahun 2009-2012 38 12 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Australia tahun 2009-2012 38 13 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Belanda tahun 2009-2012 39 14 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Cina tahun 2009-2012 39 15 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Jerman tahun 2009-2012 39 16 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Amerika 45 17 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Australia 46 18 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Belanda 48 19 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Cina 48 20 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Jerman 49 21 Hasil estimasi model aliran ekspor pasta kakao Indonesia ke negara
tujuan utama 51
22 Hasil estimasi model aliran ekspor mentega, lemak dan minyak kakao
Indonesia ke negara tujuan utama 54
23 Hasil estimasi model aliran ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara
tujuan utama 57
DAFTAR GAMBAR
1 Pendapatan domestik bruto atas harga konstan 2000 menurut lapangan
usaha tahun 2004-2013 1
2 Volume ekspor produk kakao berdasarkan kode HS 4 digit tahun
2000-2012 3
3 Volume aliran ekspor kakao olahan dunia dan Indonesia tahun
2000-2012 5
4 Pangsa pasar kakao olahan Indonesia di negara tujuan utama tahun
2008-2012 6
6 Dampak depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
pada net ekspor 14
7 Analisis keseimbangan parsial atas biaya transportasi 16
8 Kerangka Pemikiran 22
9 Pohon Industri Kakao 36
10 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan GDP riil perkapita
negara pengimpor tahun 2005-2012 40
11 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan Populasi negara
pengimpor tahun 2005-2012 41
12 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan harga ekspor kakao olahan Indosia di negara importir tahun 2005-2012 42 13 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan nilai tukar riil
Indonesia tahun 2005-2012 43
14 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan jarak ekonomi
importir tahun 2005-2012 44
15 Harga pasta kakao negara eksportir di Belanda (USD/kg) 47 16 Harga Ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao negara eksportir di
Belanda 47
17 Harga bubuk kakao negara eksportir di Jerman (USD/kg) 49
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Amerika berdasarkan kode HS 4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 65 2 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Australia
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 66 3 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Belanda
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 67 4 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Cina
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 68 5 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Jerman
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 69 6 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
kode HS 1803 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN) 70 7 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
kode HS 1804 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN) 71 8 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
kode HS 1805 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN) 72 9 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1803 (Pasta Kakao) 73 10 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1804 (Mentega, Lemak, dan
Minyak Kakao) 73
11 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1805 (Bubuk Kakao) 73 12 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
pasta kakao (HS 1803) Indonesia ke negara tujuan utama 74 13 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
mentega, lemak, dan minyak kakao (HS 1804) Indonesia ke negara
14 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor bubuk kakao (HS 1805) Indonesia ke negara tujuan utama 76 15 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor pasta kakao (HS 1803) Indonesia ke negara tujuan utama 77 16 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor mentega, lemak, dan minya kakao (HS 1804) Indonesia ke
negara tujuan utama 77
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara agraris dikarenakan besarnya peranan dan kontribusi sektor pertanian bagi perekonomian Indonesia. Pertanian dalam konteks ini diartikan luas yang terdiri dari pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Dengan cakupan yang luas tersebut sektor pertanian memiliki andil yang besar dalam kontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada kurun waktu Tahun 2004-2013 sektor pertanian merupakan sektor ketiga terbesar setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 1).
Keterangan: * Angka Sementara
** Angka Sangat Sementara Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah)
Gambar 1 Pendapatan domestik bruto atas harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2004-2013
Berkembangnya sektor pertanian Indonesia tidak lepas dari beberapa komoditas unggulan pertanian tersebut, salah satunya adalah kakao. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan sub sektor perkebunan dari 15 komoditas unggulan nasional yang dicanangkan untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia. Berdasarkan nilai ekspornya kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki kontribusi terbesar ketiga setelah minyak sawit dan karet. Pada kurun waktu 2008-2011 nilai ekspor kakao menunjukan pertumbuhan yang positif. Nilai ekspor kakao terbesar terjadi pada tahun 2010 yakni mencapai 1.643,7 juta US$ (Tabel 1).
0.00
4. Listrik, Gas & Air Bersih
Tabel 1 Perkembangan ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2008 2011 No Komoditas Perkebunan
Nilai Ekspor Komoditas Primer Perkebunan (juta US$)
2008 2009 2010 2011*
1 Karet 6023.3 3241.5 7326.6 11135.8
2 Minyak Sawit 12375.0 10368.0 13469.0 17261.0 −εinyak sawit (CPO) 6561.0 671.0 9085.0 10961.0 −εinyak sawit lainnya 5814.0 3658.0 4384.0 63.0
3 Kelapa 900.5 494.5 702.6 1060.7
4 Kopi 991.5 824.0 814.3 963.4
5 Teh 159.0 171.6 178.5 152.1
6 Lada 185.7 140.3 245.9 195.9
7 Tembakau 133.2 172.6 195.6 137.5
8 Kakao 1268.9 1413.5 1643.7 1172.0
9 Jambu Mete 77.8 82.7 71.6 67.7
10 Cengkeh 7.3 5.6 12.6 15.1
11 Kapas 0.7 0.7 1.0 1.0
12 Tebu (molasses) 72.4 61.8 69.2 60.1
Tebu (gula hablur) 0.8 0.6 - -
Total 22196.1 16977.4 24730.06 32222.3
Keterangan: * Angka Sementara
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013
Selain karena nilai ekspornya yang tinggi kakao menjadi komoditas unggulan karena Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao terbesar di dunia. Berdasarkan data FAOSTAT pada tahun 2007-2012 Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ke dua setelah Pantai Gading (tabel 2). Pada kurun waktu tersebut produksi kakao Indonesia menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya. Adapun produksi kakao olahan Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2012 dengan volume yang mencapai sekitar 900.000 ton. Dengan jumlah produksi kakao nasional di atas 700.000 ton, kakao tersebut tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri namun juga untuk diekspor.
Tabel 2 Produksi negara penghasil kakao terbesar di dunia (ton)
Selama ini Indonesia telah mengekspor kakao ke berbagai Negara. Komoditi ekspor kakao terbesar disumbang oleh cocoa beans, whole or broken, raw or roasted atau yang dapat didefinisikan sebagai biji kakao yang volumenya mencapai sekitar 70% dibandingkan komoditi kakao (olahan) lainnya. Selama kurun waktu 2000-2012 nilai ekspor cocoa beans berfluktuasi meskipun masih mengungguli produk turunan ekspor kakao lainnya. Volume ekspor biji kakao terbesar terjadi pada tahun 2006 yang mancapai sekitar 500.000 ton (Gambar 2).
Volume ekspor biji kakao yang besar tersebut belum mampu diikuti produk turunan kakao (olahan) baik produk akhir maupun setengah jadi yaitu cocoa butter, cocoa paste, cocoa powder, chocolate dan lainnya. Pada (Gambar 2) terlihat secara grafis ekspor produk turunan kakao menunjukan kecenderungan pertumbuhan yang statis. Kondisi demikan mengindikasikan bahwa belum optimalnya ekspor produk turunan kakao olahan Indonesia.
Sumber : UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 2 Volume ekspor produk kakao berdasarkan kode HS 4 digit tahun 2000-2012
Dalam upaya meningkatkan industri pengolahan kakao di dalam negeri, pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan pajak ekspor yang kemudian disebut dengan Bea Keluar (BK) pada komoditi biji kakao. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan BK dan Tarif BK. Kebijakan pengenaan bea keluar terhadap ekspor biji kakao bertujuan untuk menjamin pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kakao di dalam negeri. Oleh karena itu pengenaan bea keluar atas biji kakao dimaksudkan untuk merangsang tumbuhnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang pada gilirannya akan meningkatkan ekspor kakao olahan Indonesia.
Adapun negara tujuan utama ekspor kakao olahan Indonesia adalah Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman. Pada kurun waktu tahun 2006-2012 ekspor produk kakao olahan Indonesia yang diserap oleh kelima negara tersebut rata-rata mencapai 42.8% dari seluruh total ekspor produk kakao olahan Indonesia. Adapun persentase ekspor tertinggi kakao olahan Indonesia yang diserap oleh kelima negara tersebut terjadi pada tahun 2012, yakni mencapai 51,5 persen dari seluruh total ekspor produk kakao olahan Indonesia ke berbagai negara (tabel 3).
Tabel 3 Ekspor kakao olahan Indonesia ke negara tujuan utama tahun 2006-2012
Tahun Volume Ekspor (1000 ton)
Ekspor Indonesia ke negara tujuan
utama Amerika Australia Belanda Cina Jerman (%)
2006 19.9 8.8 8.8 3.3 1.3 40.6
2007 25.1 9.5 6.8 3.2 2.4 41.4
2008 24.1 8.7 7.7 5.7 3.5 41.5
2009 16.4 5.8 4.6 4.1 3.2 38.7
2010 24.2 6.8 2.2 5.9 3.5 41.9
2011 37.1 6.3 3.2 6.3 14 44
2012 45.8 8.1 3.4 7.9 24.7 51.5
Rata-rata 27.5 7.7 5.3 5.2 7.5 42.8
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Jika dikalkulasikan, pada tahun 2008-2012 persentase rata-rata lima negara tujuan utama ekspor kakao olahan Indonesia tersebut mampu menyerap mencapai 36.8% dari seluruh total impor dunia (tabel 4). Selain itu, tren impor lima negara tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya. Kondisi demikian mengindikasikan bahwa kebutuhan kakao olahan pada negara-negara tersebut semakin meningkat, sehingga secara tidak langsung akan memberi peluang bagi Indonesia sebagai negara pengekspor kakao olahan untuk meningkatkan volume ekspornya pada lima negara tersebut.
Tabel 4 Impor total kakao olahan oleh negara tujuan ekspor Indonesia 2008-2012
Negara Volume Impor (1000 ton)
Pangsa terhadap total
impor dunia Amerika Australia Belanda China Jerman (%)
2008 282.6 43.3 148.7 34.6 184.6 34.4
2009 267.7 41.2 142.1 34.5 198.8 35.5
2010 305.5 43.1 175.4 44.7 237.6 37.2
2011 278.3 48.7 240.4 53.3 251.9 38
2012 253.6 45.4 209 58.4 283 38.9
Sebagai salah satu negara produsen kakao terbesar dunia, Indonesia dapat dikatakan masih tergolong baru dalam Industri pengolahan kakao. Hal demikian tercermin dari rendahnya ekspor kakao olahan dibandingkan ekspor dalam bentuk biji. Adanya kebijakan bea keluar atas ekspor biji kakao diharapkan dapat berpengaruh pada berkembangnnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang pada akhirnya mampu meningkatkan ekspor kakao nya dalam bentuk olahan.
Perumusan Masalah
Kakao merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting bagi perekonomian Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan pada latar belakang di bagian sebelumnya, kakao merupakan penyumbang devisa terbesar ketiga setelah sawit dan karet dari ekspor yang dilakukan oleh Indonesia. Meskipun demikian, komoditas ekspor kakao selama ini masih didominasi dalam bentuk biji dan belum mampu diimbangi oleh produk turunan lainnya. Sehingga pemerintah berkewajiban mendorong terjadinya hilirisasi atau peningkatan nilai tambah komoditas kakao melalui produk turunan kakao tersebut.
Pada gambar 3 menunjukkan volume aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan dunia dari tahun 2000 hingga 2012. Pada gambar tersebut terlihat bahwa tren ekspor kakao olahan Indonesia menunjukkan kecenderungan yang statis setiap tahunnya. Adapun peningkatan ekspor kakao olahan Indonesia mulai terlihat pada kurun waktu 2010-2012. Hal berbeda terjadi pada volume ekspor kakao olahan dunia yang menunjukkan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya pada periode tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat peluang bagi Indonesia sebagai salah satu eksportir kakao olahan dunia untuk meningkatkan volume ekspornya.
Sumber: UN COMTRADE, 2014 (diolah)
Gambar 3 Volume aliran ekspor kakao olahan dunia dan Indonesia tahun 2000-2012
0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000
T
o
n
Dunia
Dalam perkembangannya, pangsa pasar kakao olahan Indonesia pada masing-masing negara tujuan utama menunjukkan tren yang berbeda setiap tahunnya (Gambar 4). Pangsa pasar kakao olahan Indonesia di Amerika menunjukkan tren meningkat pada tahun 2008-2012. Sedangkan pangsa pasar ekspor kakao olahan Indonesia di negara Belanda terus mengalami penurunan drastis dari tahun 2008-2012. Selain itu, pangsa pasar kakao olahan Indonesia di Jerman juga mengalami penurunan pada tahun 2008-2010. Adapun pangsa pasar kakao olahan Indonesia di negara Australia dan Cina mengalami fluktuasi setiap tahunnya.
Sumber : UN COMTRADE, 2014 (diolah)
Gambar 4 Pangsa pasar kakao olahan Indonesia di negara tujuan utama tahun 2008-2012
Potensi aliran ekspor kakao olahan dunia di masa mendatang sepatutnya dapat menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan perdagangan ekspor kakao olahannya. Namun kecenderungan peningkatan aliran kakao dunia tersebut justru tidak diikuti oleh peningkatan peningkatan aliran ekspor kakao olahan Indonesia secara konsisten khususnya di lima pasar utama ekspor kakao olahan Indonesia yaitu Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman. Kecenderungan fluktuasi kelima negara tersebut menimbulkan ketidakpastian tentang aliran ekspor Indonesia di masa mendatang. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pengembangan dayasaing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan perluasan pasar produk kakao olahan Indonesia.
Dayasaing kakao olahan Indonesia di pasar Internasional yang menjadi andalan ekspor Indonesia tentunya akan memengaruhi perkembangan ekspor dan nilai ekspor. Sehingga pada penelitian ini akan dianalisis posisi dayasaing kakao olahan Indonesia. Selain itu penelitian ini juga melakukan analisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ekspor kakao olahan Indonesia ke negera-negara tujuan utama yaitu Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan fenomena permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya:
1. Mengkaji perkembangan luas lahan, produksi dan ekspor kakao olahan Indonesia serta perekonomian negara tujuan utama ekspor.
2. Menganalisis posisi dayasaing hasil kakao olahan Indonesia di negara tujuan ekspor.
3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi volume aliran ekspor kakao olahan (kode HS 4 digit) Indonesia ke Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang perdagangan komoditas kakao Indonesia.
2. Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi unutk penelitian sselanjutnya yang berkaitan dengan perdagangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis mengenai dayasaing serta faktor-faktor yang memengaruhi ekpor komoditas kakao olahan Indonesia. Periode waktu yang dianalisis dalam penelitian ini dari tahun 2005-2012. Komoditi hasil olahan kakao yang diteliti berdasarkan Harmony System (HS) 4 digit dengan kode Harmony system sebagai berikut :
1. Pasta kakao tidak dihilangkan lemaknya atau dihilangkan lemaknya (HS 1803).
2. Mentega, lemak, dan minyak kakao (HS 1804).
3. Bubuk kakao tidak mengandung tambahan pemanis atau lainnya (HS 1805)
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dayasaing
Dayasaing menurut Porter (1995) didefinisikan sebagai kemampuan suatu perusahaan dalam suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan. Dayasaing ditentukan oleh keunggulan bersaing suatu perusahaan dan sangat tergantung pada tingkat sumberdaya relatif yang dimilikinya. Penelitian Porter tentang keunggulan bersaing negara-negara mencakup tersedianya peranan sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada keadaan negara yang memengaruhi dayasaing perusahaan-perusahaan internasional pada industri yang berbeda.
produk yang dihasilkan negara relatif terhadap kemampuan negara lain (Porter, 1990).
Pada dasarnya tingkat dayasaing suatu negara dalam perdagangan internasional ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (competitive advantage). Lebih lanjut, faktor keunggulan komparatif dapat dianggap sebagai faktor yang bersifat alamiah dan faktor keunggulan kompetitif dianggap sebagai faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan (Tambunan, 2001).
Teori Keunggulan Komparatif
Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo merupakan penyempurnaan dari teori keunggulan absolut Adam Smith. Teori keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antarnegara masih berbeda jika dibandingkan dengan tidak ada perdagangan.
Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasarkan teori tenagakerja (labour theory of value) yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya. Menurut teori keunggulan komparatif suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efisien.
Perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang keunggulan komparatifnya ia kuasai. Dengan kata lain, perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai.
Menurut Simatupang (1991), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing (keunggulan) potensial. Artinya, dayasaing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Dengan kata lain, komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Suatu Negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain.
Teori keunggulan Kompetitif
ekonomi lainnya. Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter (1990) dengan empat faktor utama yang menentukan dayasaing yaitu kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta kondisi strategis, struktur perusahaan dan persaingan.
Selain keempat faktor tersebut, ada dua faktor yang memengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu peran pemerintah dan peran kesempatan. Secara bersama-sama faktor-faktor tersebut membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan dayasaing yang disebut Porter’s Diamond Theory (Tarigan, 2005).
Konsep Perdagangan Internasional
Perdagangan Internasional merupakan perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu Negara dengan penduduk Negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antar individu dengan pemerintah suatu Negara atau pemerintah suatu Negara dengan pemerintah Negara lain. Perdagangan internasional tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu Negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu Negara.
Perdagangan Internasional sebenarnya sudah ada sejak dahulu, namun dalam ruang lingkup dan jumlah yang terbatas, dimana pemenuhan kebutuhan setempat (dalam negeri) yang tidak dapat diproduksi, dipenuhi secara barter (pertukaran barang dengan barang lainnya yang dibutuhkan oleh kedua belah pihak, dimana masing-masing negara tidak dapat memproduksi barang-barang tersebut untuk kebutuhannya sendiri). Hal ini terjadi karena setiap negara dengan negara mitra dagangnya mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya perbedaan kandungan sumberdaya alam, iklim, penduduk, sumberdaya manusia, spesifikasi tenagakerja, konfigurasi geografis, teknologi, tingkat harga, struktur ekonomi, sosial dan politik, dan sebagainya. Dari perbedaan tersebut, maka atas dasar kebutuhan yang saling menguntungkan, terjadilah proses pertukaran, yang dalam skala luas dikenal sebagai perdagangan internasional.
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman (2003) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:
1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale).
Menurut Sukirno (2004) keuntungan dari melakukan perdagangan internasional adalah :
1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi dalam negeri. Beberapa barang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri karena faktor alam maupun pengetahuan dan teknologi.
setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang yang dapat diproduksi di dalam negeri.
3. Memperluas pasar-pasar industri dalam negeri. Dengan perluasan pasar, kapasitas produksi dapat terus ditingkatkan dengan pasar yang luas sehingga efisiensi dari skala ekonomi dapat tercapai.
4. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara mempelajari teknik produksi dan manajemen yang lebih baik dari negara lain dan mengimpor alat-alat dengan teknologi yang lebih canggih dari negara lain untuk meningkatkan efisiensi.
Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditas (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 5). Struktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produk domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke Negara lain. Di lain pihak, di negara B kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama. Gambar 2.1 memperlihatkan sebelum terjadinya perdagangan internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional sama dengan PB maka di Negara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED yang akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditas (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B akan mengimpor komoditas (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*.
Sumber: Salvatore (1997)
Gambar 5 Kurva Perdagangan Internasional SA
Negara A Perdagangan Negara B
Keterangan:
PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional.
OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor)
tanpa perdagangan internasional.
A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional.
X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A.
PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional.
OQB : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor)
tanpa perdagangan internasional.
B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional.
M : Jumlah komoditas yang diimpor oleh negara B.
P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdagangan internasional.
OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).
Konsep Aliran Perdagangan Ekspor
Aliran perdagangan ekspor dari suatu negara ke negara tujuannya dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor penawaran maupun permintaan. Adanya aliran perdagangan berupa ekspor ke negara-negara tujuan ekspor dapat dikarenakan penawaran ekspor dari eksportir maupun permintaan ekspor dari negara importir. Penawaran ekspor dan permintaan ekspor dapat diturunkan dari pengertian penawaran atau permintaan komoditas pada suatu pasar.
Arti dari penawaran dijelaskan dalam Lipsey, Courant, dan Ragan (1999) yaitu jumlah komoditas yang dijual oleh penjual atau supplier dalam suatu waktu dan pada suatu pasar. Jika dalam penawaran ekspor, maka arti tersebut akan menjadi jumlah komoditas yang dapat dijual oleh suatu negara. Semakin banyak jumlah yang diproduksi, maka penawaran ekspor suatu negara juga meningkat. Jumlah komoditas yang diproduksi tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau kapasitas supplier (dalam hal ini adalah negara) dalam memproduksi komoditas atau output.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kemampuan suatu negara dalam memproduksi output merupakan faktor penting yang memengaruhi jumlah penawaran ekspor. Output yang dihasilkan suatu negara dapat disebut dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Seperti yang dijelaskan oleh Dornbusch, Fischer, dan Startz dalam bukunya Makroekonomi (2008) bahwa GDP adalah nilai akhir dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada suatu waktu. GDP ini merupakan nilai ouput total yang telah diproduksi (output akhir). Selanjutnya dijelaskan bahwa di sisi produksi, output ini akan dibayarkan sebagai pembayaran atas faktor-faktor yang digunakan selama proses produksi, seperti tenaga kerja dan modal.
tersebut. Peningkatan produktivitas ini maka barang yang diproduksi akan meningkat sehingga output nasional akan meningkat kembali, kemudian penawaran ekspor juga meningkat.
Selain GDP, Lipsey dan Steiner (1975) menyatakan terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi penawaran dari suatu komoditas diantaranya adalah:
1. Tujuan dari perusahaan. Tujuan dari perusahaan akan menentukan berapa banyak suatu komoditas yang akan ditawarkan. Sebagai contoh sebuah perusahaan obat–obatan yang lebih memilih untuk memproduksi obat-obatan dibandingkan memproduksi racun tikus karena obat dinilai lebih dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga obat merupakan komoditas yang akan lebih banyak diproduksi dan ditawarkan oleh perusahaan tersebut. 2. Teknologi yang digunakan untuk produksi. Tingkat teknologi memiliki
peranan yang sangat penting di dalam menentukan banyaknya jumlah barang yang dapat ditawarkan. Semakin modern teknologi yang digunakan, maka akan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam berproduksi. Menurut Sukirno (1985), Dalam hubungannya dengan penawaran suatu barang, kemajuan teknologi menimbulkan dua akibat, yaitu produksi dapat ditambah dengan lebih cepat dan ongkos produksi semakin murah, dan dengan demikian keuntungan menjadi lebih besar. 3. Harga barang itu sendiri. Dalam penawaran, harga suatu barang akan
berpengaruh secara positif. Dalam hal ini jika harga suatu barang lebih tinggi, maka perusahaan atau produsen akan meningkatkan penawarannya karena barang tersebut dinilai akan memberikan keuntungan yang lebih tinggi ketika biaya faktor produksi tidak berubah.
4. Harga barang lain (subtitusi atau komplementer) Sebagai contoh, beberapa petani jagung seharusnya dapat memilih untuk beralih beternak babi atau menanam kedelai ketika harga jagung turun, namun nyatanya petani tersebut memilih untuk menanam gandum.
5. Biaya faktor produksi. Perubahan pada biaya faktor produksi akan memengaruhi penawaran akibat adanya perubahan dari keuntungan yang akan diperoleh.
Menurut Sukirno (1985), hukum penawaran pada dasarnya menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka akan semakin banyak jumlah barang tersebut yang akan ditawarkan oleh para penjual, sebaliknya semakin rendah harga sesuatu barang, maka semakin sedikit jumlah barang yang ditawarkan oleh para penjual.
Untuk permintaan ekspor juga sama halnya dengan penawaran ekspor, bahwa pengertian dari permintaan ekspor dapat diambil dari pengertian permintaan. Pengertian dari permintaan (Lipsey, Courant, dan Ragan, 1999) adalah jumlah suatu komoditas yang akan dibeli oleh rumah tangga sedangkan permintaan ekspor dapat berarti jumlah suatu komoditas ekspor yang diminta oleh suatu negara tertentu.
Lipsey dan Steiner (1975) menyatakan bahwa jumlah permintaan suatu komoditas ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu:
2. Rata-rata pendapatan rumah tangga, dimana jika ada kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menyebabkan jumlah komoditas yang diminta lebih banyak pada setiap harga tertentu. Jika dalam konteks perdagangan internasional, maka pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan suatu negara.
3. Populasi, dimana jika ada kenaikan jumlah populasi maka permintaan akan suatu komoditas juga meningkat pada tingkat harga tertentu.
4. Harga dari komoditi itu sendiri. Apabila harga dari suatu komoditi mengalami kenaikan maka permintaan akan komoditi tersebut akan berkurang. Begitu pula sebaliknya, jika harga dari suatu komoditi mengalami penurunan makan permintaan akan menigkat.
5. Harga dari komoditas lainnya. Adanya komoditas lain yang mempunyai kaitan erat dengan suatu barang dapat dikatakan sebagai barang subtitusi atau barang komplementer. Adanya perbedaan harga pada komoditas lain tersebut akan memengaruhi harga pada suatu komoditi.
Sukirno (1985) mengungkapkan bahwa hukum permintaan pada hakekatnya merupakan suatu hipotesa yang menyatakan semakin rendah harga dari suatu barang, maka semakin banyak permintaan atas barang tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi harga suatu barang, maka akan semakin sedikit permintaan atas barang tersebut.
Gross Domestik Produk juga dapat diartikan sebagai pendapatan yang diterima oleh suatu negara. Pendapatan ini dapat diukur dari nilai total barang dan jasa yang diproduksi suatu negara. Kemudian dijelaskan pula dalam Dornbusch, Fischer, dan Startz (2008) bahwa dari sisi konsumsi, output atau GDP ini akan digunakan dalam kegiatan konsumsi dan investasi oleh pemerintah dan para sektor swasta seperti eksportir. Oleh karena itu, GDP merupakan faktor yang juga penting dalam hal permintaan ekspor, jika GDP meningkat maka pendapatan juga meningkat, sehingga konsumsi suatu negara juga meningkat.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa populasi memiliki hubungan yang positif dengan permintaan. Namun, dalam penelitian Kien dan Hashimoto (2005) populasi dapat berdampak positif maupun negatif terhadap perdagangan. Hal tersebut tergantung dari faktor mana yang lebih dominan antara efek penyerapan atau skala ekonomi suatu populasi. Populasi yang besar menandakan besarnya pasar domestik yang besar dan sumber penyerapan atas barang dan jasa yang ditawarkan. Jika penyerapan dari pasar domestik lebih besar, maka akan mengurangi perdagangan internasional. Dalam kasus tersebut hubungan populasi terhadap perdagangan adalah negatif. Di lain sisi, pasar domestik memberi peluang untuk mencapai skala ekonomi. Besarnya populasi secara tidak langsung akan menciptakan pasar tenaga kerja yang besar. Ketika ada peningkatan tenaga kerja sebagai faktor produksi maka biaya tenaga kerja dapat ditekan sehingga produktivitas meningkat. Ketika peningkatan produktivitas lebih besar dari peningkatan konsumsi pasar domestik, makan akan menciptakan peluang untuk meningkatkan perdagangan internasional.
e2 e1
NX(e2)
NX(e1) NX
Kurs terdiri dari dua jenis yaitu, kurs nominal (nominal exchange rate) dan kurs riil (real exchange rate). Kurs nominal adalah harga relatif dari matauang dua negara. Sebagai contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen jepang adalah 120 yen per dolar maka orang Amerika Serikat dapat menukar 1 dolar untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya, orang Jepang yang ingin memiliki dolar akan membayar 120 yen untuk setiap dolar yang dibeli. Ketika orang-orang mengacu pada “kurs” diantara kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs nominal (Mankiw,2007).
Kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana suatu negara dapat memperdagangkan barang-barangnya di negara lain dengan kata lain nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga luar negeri. Nilai tukar riil ini dapat pula disebut dengan Terms of Trade (TOT). Rumus dari nilai tukar dinyatakan dalam persamaan berikut:
Nilai Tukar Riil = Nilai Tukar Nominal x Harga Barang Dalam Negeri Harga Barang Luar Negeri
Jika nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terdepresiasi, maka harga barang Indonesia di luar negeri akan menjadi relatif lebih murah daripada harga barang yang diperdagangkan di pasar dunia. Hal tersebut menyebabkan konsumen dunia akan meningkatkan permintaannya terhadap komoditas ekspor Indonesia. Permintaan yang meningkat ini akan meningkatkan harga dari komoditas tersebut. Maka dari itu dari sisi produsen, dalam jangka panjang, jika ada kenaikan harga akan memberikan sinyal untuk terus berproduksi hingga keuntungannya maksimal. Hal ini tentunya akan meningkatkan penawaran ekspor. Sebaliknya, Apabila mata uang domestik terapresiasi maka harga impor bagi penduduk domestik relatif menjadi lebih murah sedangkan bagi para eksportir hal ini akan berdampak pada kenaikan harga produk mereka sebab harganya menjadi relatif lebih mahal.
Pada Gambar 6 memperlihatkan pengaruh dari nilai tukar riil (e) terhadap net ekspor (NX). Terjadinya depresiasi atau penurunan harga barang domestik di mata dunia ditunjukkan pada penuruan e dari e1 menjadi e2. Penurunan harga barang domestik ini mengakibatkan ekspor meningkat sehingga net ekspor (NX) juga meningkat dari NX(e1) menjadi NX(e2).
Sumber: Mankiw, 2007.
Gambar 6 Dampak depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada net ekspor
Model Gravitasi (Gravity Model)
Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional oleh Tinberger (1962) yang menganalisis arus perdagangan di negara-negara Eropa. Menurut Feenstra et al (1998), gravity model dapat menjelaskan aliran perdagangan internasional dengan baik. Selanjutnya menurut Alonso (1987) dalam Yuniarti (2007), ditemukan hubungan yang kuat dengan menggunakan fungsi gravity dengan mengganti massa dengan populasi dan kekuatan gravitasi dengan beberapa ukuran interaksi antara dua lokasi.
Model gravitasi didasarkan pada hukum gravitasi Newton, yang menyatakan bahwa gaya gravitasi antara dua benda secara langsung dipengaruhi secara proporsional oleh massa dari kedua benda dan sebaliknya secara proporsional dipengaruhi oleh jarak kuadrat antara keduanya. Dalam konteks perdagangan, model ini menyatakan bahwa intensitas perdagangan antara negara-negara akan berhubungan secara positif dengan pendapatan nasional masing-masing negara, dan berhubungan terbalik dengan jarak diantara keduanya.
Gravity model menyajikan suatu analisis yang lebih empiris dari pola perdagangan dibandingkan model yang lebih teoritis. Model ini pada bentuk dasarnya menjelaskan perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar Negara dalam ukuran ekonominya seperti PDB dan nilai tukar. Alasan yang melatar belakangi penggunaan gravity model adalah bahwa negara yang lebih besar dan kaya banyak melakukan perdagangan luar negeri dibandingkan dengan negara yang lebih kecil dan miskin di mana ada pengaruh dari jarak, namun bukan sebagai hambatan. Sesuai dengan perumusan Newton terhadap model gravitasi fisika yaitu “interaksi antara dua objek adalah sebanding dengan massanya dan berbanding terbalik dengan jarak masing-masing”.
Fij = G
dimana :
Fij = Volume aliran perdagangan
Mi,j = Ukuran ekonomi untuk kedua negara Dij = Jarak antara kedua negara
G = Konstanta
Jarak adalah faktor geografi yang menjadi variabel utama dalam gravity model untuk aliran perdagangan. Dalam kaitannya dengan perdagangan, jarak memberikan pengaruh dalam masalah biaya angkut (transportasi) produk dari titik produksi ke titik konsumsi. Biaya angkut tersebut juga memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung bagi perdagangan internasional. Variabel jarak tersebut dapat dimodifikasi menjadi economics distance atau jarak ekonomi. Jarak ekonomi dalam model gravitasi berpengaruh negatif terhadap aliran perdagangan. Semakin jauh jarak, maka aliran perdagangan akan semakin rendah karena menunjukkan biaya transportasi yang tinggi. Variabel ini menghitung jarak geografis antara dua negara, juga memasukkan GDP negara mitra dagang atau yang disebut weighted-average economics distance (Li et al., 2008). Adapun rumus yang digunakan dalam menghitung jarak ekonomi yaitu:
Mi x Mj
Ekspor
Impor
3 5 7 9 11 13
D Px($)
Z Z
Jarak Ekonomi = Jarak Geografis antarnegara X (∑ GDPj)
GDPj
Salvatore (1997) menjelaskan pengaruh biaya transportasi terhadap perdagangan internasional seperti dalam Gambar 7. Sebelum dilakukan perdagangan internasional, negara 1 akan memproduksi komoditas X sebanyak 50 unit dengan harga $5, sementara negara 2 akan memproduksi komoditas X sebanyak 50 unit dengan harga $11. Setelah dilakukan perdagangan internasional (tanpa biaya transportasi), harga komoditas X di negara 1 akan meningkat sehingga negara 1 berproduksi lebih banyak kemudian kelebihan produksinya diekspor ke negara 2. Bertambahnya kuantitas komoditas X menyebabkan harga komoditas X di negara 2 menurun hingga harga yang berlaku di kedua negara adalah sama yaitu sebesar $8 dengan kuantitas X yang diperdagangkan sebanyak 50 unit. Biaya transportasi akan menyebabkan harga komoditas di negara importir yaitu negara 2 meningkat sehingga harga komoidtas X di negara 2 sebesar $9 sementara di negara 1 sebesar $7. Negara 1 akan meningkatkan produksi domestik atas komoditas X hingga 70 unit, dimana untuk konsumsi domestik sebanyak 30 unit dan 40 unit sisanyadiekspor ke negara 2. Sedangkan di negara 2 disaat harga $9 produksi komoditas X sebanyak 30 unit, sehingga untuk memenuhi kebutuhan domestiknya negara 2 mengimpor 40 unit komoditas X dari negara 1.
D
100 70 50 30 30 50 70 100 Sumber : Salvatore (1996)
Gambar 7 Analisis keseimbangan parsial atas biaya transportasi
Studi Penelitian Terdahulu
Penelitian Aspek Ekonomi dan Perdagangan Komoditas Kakao
Sitanggang (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam Skema CEPT-AFTA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao di
Negara 1
Negara 2
Sx
negara tujuan, dan ekspor olahan negara tujuan berpengaruh signifikan terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand pada taraf lima persen. Sedangkan variabel dummy CEPT-AFTA menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah implementasi CEPT-AFTA, permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalah berbeda nyata. Adjusted R2 pada penelitian ini sebesar 96,45 persen yang berarti bahwa perubahan pada permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand sebesar 96,45 persen dapat dijelaskan oleh variabel independen yang digunakan dalam model.
Rahmanu (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Dayasaing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia”. Penelitian ini menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisa dayasaing olahan kakao Indonesia, metode Porter’s Diamond untuk menganalisa faktor-faktor yang menghambat perkembangan industri pengolahan kakao nasional, dan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menganalisa faktor-faktor yang memengaruhi posisi dayasaing hasil olahan kakao Indonesia. Hasil penelitian dengan menggunakan metode RCA menunjukkan bahwa kakao olahan Indonesia tidak memilliki keunggulan komparatif pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 dengan nilai RCA di bawah satu dan memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai RCA diatas satu. Sedangkan hasil metode OLS menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi dayasaing hasil olahan kakao Indonesia adalah harga kakao olahan, volume ekspor kakao olahan, dan krisis ekonomi, sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh terhadap dayasaing hasil olahan kakao Indonesia adalah produktivitas industry pengolahan kakao. Pada variabel produktivitas industri pengolahan kakao tidak berpengaruh terhadap dayasaing hasil olahan kakao, karena dayasaing hasil olahan kakao lebih dipengaruhi oleh mutu dan kualitas produk, sedangkan peningkatan produktivitas tidak menjamin peningkatan mutu hasil olahan kakao.
Osei danYeboah (2007) dalam jurnal “Increased Cocoa Bean Exports
under Trade Liberalization: A Gravity Model Approach” menganalisis potensi
ekspor kakao 16 negara eksportir utama Amerika Serikat dengan menggunakan Gravity Model. Model diestimasi dengan regresi data panel panel Fixed Effect Model (FEM). Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa perbedaan relative faktor pendorong berbeda pengaruhnya bagi perdagangan. Perbedaan pendapatan di antara negara importer dan eksportir, perbedaan factor endowment, yang diukur melalui perbedaan GDP per kapita, dan perbandingan perekonomian antar negara yang diukur dengan membandingkan GDP AS terhadap GDP negara eksportir berpengaruh signifikan dan sesuai dengan hipotesis. Sedangkan nilai tukar dan perbandingan lahan terhadap tenaga kerja tidak signifikan. Nilai tukar tidak signifikan karena negara eksportir merupakan negara berkembang yang umumnya menerapkan control terhapa nilai tukar.
Penelitian tentang Gravity Model dan Panel Data
faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor CCO Indonesia (dengan pendekatan Model Gravitasi). Model diestimasi dengan regresi data panel panel Fixed Effect (Cross). Kesimpulan dari penelitian ini adalah varibel GDP per kapita Indonesia tidak berpengaruh nyata pada model. Variabel yang signifikan terhadap variabel volume ekspor produk tersebut yaitu, populasi negara tujuan ekspor, GDP per kapita riil negara tujuan ekspor, nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan dan jarak ekonomi. Nilai R squared sebesar 0,990527 dapat diinterpretasikan 99,0527 persen keragaman volume ekspor produk CCO Indonesia dapat dijelaskan oleh lima variabel bebas yang ada di dalam model. Selain itu, hasil fixed effect (cross) memberikan gambaran Cina merupakan pasar paling potensial kerena memiliki rata-rata perubahan volume ekspor produk CCO tertinggi diantara negara tujuan ekspor lainnya.
Eita dan Jordan (2007) dalam jurnal “South Africa Exports of Metal and Articles of Base Metal: A Gravity Approach”, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor baja dan barang berbasis baja Afrika Selatan ke 33 negara tujuan ekspor. Faktor-faktor yang dianalisis untuk mengetahui determinan pengaruh ekspor baja dan barang berbasis baja Afrika Selatan adalh GDP Afrika Selatan dan negara tujuan, Populasi Afrika Selatan dan negara tujuan, jarak antara Afrika Selatan dan negara tujuan sebagai proksi biaya transpostasi serta dummy variabel South African Development Community (SADC) yaitu bernilai satu untuk negara yang menjadi anggota dan bernilai nol untuk lainnya dan dummy variabel Afrika dimana bernilai satu untuk negara anggota Afrika dan bernilai nol untuk lainnya.
Penelitian ini menggunakan uji stasioneritas sebelum mengestimasi model faktor-faktor yang menentukan aliran ekspor baja dan barang berbasis baja Afrika Selatan. Jika seluruh model telah stasioner, maka metode estimasi tradisional seperti OLS dapat dilakukan untuk mengestimasi hubungan antara variabel. Penelitian ini melakukan uji pemilihan model terbaik dengan melakukan Hausman Test pada data panel yang menghasilkan Fixed Effect Model (FEM) sebagai model terbaik sementara hasil estimasi Random Effect Model (REM) tidak konsisten. Estimasi menghasilkan GDP Afrika, GDP negara tujuan, Populasi Afrika selatan memiliki hubungan positif dan signifikan, sedangkan populasi negara tujuan berpengaruh negatif namun tidak signifikan. Sedangkan jarak dan dummy variable diestimasi pada regresi tahap dua. Jarak berpengaruh negatif dan dummy variable SADC dan Afrika berpengaruh positif terhadap aliran ekspor. Ketiga varibel menghasilkan tanda yang sesuai dengan teori.
Yuniarti (2007) meneliti tentang determinan perdagangan bilateral Indonesia dengan pendekatan Gravity Model yang menyimpulkan bahwa PDB dari Negara eksportir (Yi) dan importir (Yj) mempunyai hubungan positif, variabel jarak berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral, variabel kesamaan ukuran perekonomian berpengaruh positif, variabel populasi mitra dagang mempunyai koefisien positif, dan keanggotaan dalam area perdagangan bebas tidak berpengaruh.
kapita Indonesia. Sedangkan hasil penelitian menggunakan metode Export Product Dynamic (EPD) menunujukkan bahwa selama periode 2002-2008 kinerja ekspor nenas Indonesia terletak pada posisi Retreat, disebabkan pertumbuhan pangsa ekspor nenas dari Indonesia ke dunia yang mengalami penurunan, begitu juga dengan pangsa pasar ekspor Indonesia.
Penelitian tentang Penawaran Ekspor
Nurahmat (2011) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia ke India. Penelitian ini menggunakan model regresi doublelog dan metode untuk menduga parameternya adalah metode Ordinary Least Square (OLS). variabel independen seperti volume produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO Indonesia ke India, kurs riil Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan tarif ekspor CPO Indonesia dapat menjelaskan volume ekspor CPO Indonesia ke India sebesar 89,3% dan sisanya sebesar 10,7% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model penelitian ini.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa, besarnya ekspor CPO Indonesia ke India dikarenakan telah terjadi pengalihan pasar CPO Indonesia dari Eropa ke Asia. Hal ini disebabkan pasar Eropa menginginkan CPO yang sudah diolah misal biofuel, sedangkan Indonesia belum mampu untuk memenuhi keinginan Eropa tersebut. Seluruh variabel variabel independen yang dimasukan dalam model penelitian ini dapat memengaruhi ekspor CPO Indonesia ke India secara statistik dengan taraf nyata lima persen. Adapun dalam penelitian ini, dihasilkan variabel harga ekspor CPO Indonesia ke India memiliki hubungan negatif dengan volume ekspor CPO Indonesia ke India. Hal ini disebabkan relatif rendahnya kualitas CPO Indonesia. Sehingga menyebabkan posisi CPO Indonesia di dunia menjadi lemah dibandingkan negara pesaingnya, seperti Malaysia.
Junaidi (2005), manganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor teh Indonesia. Dalam penelitian ini digunakan data sekunder time series dari tahu 1979 sampai dengan tahun 2002. Metode analisis yang digunakan adalah metode Error Correction Model (ECM). Dalam penelitian ini digunakan pendekatan ECM karena pendekatan ini dapat memberikan makna yang lebih luas dari estimasi model ekonomi sebagai pengaruh perubahan variabel independen terhadap dependen dalam hubungan jangka pendek dan jangka panjang.
Dari dugaan yang dihasilkan ECM, variabel bebas jangka pendek variabel bebas jangka panjang yang berpengaruh secara nyata pada taraf nyata 15 persen terhadap pertumbuhan volume ekspor teh Indonesia adalah pertumbuhan penawaran ekspor tahun sebelumnya, pertumbuhan produksi, pertumbuhan nilai tukar, dan dummy. Volume ekspor teh dalam jangka pendek dan jangka panjang tidak responsif terhadap seluruh variabel bebas. Hal demikian ditunjukkan dengan nilai elastisitas yang lebih kecil dari satu.
faktor yang menjadi variabel pada penelitian ini adalah harga ekspor serat sabut kelapa (US$/Kg), nilai tukar riil rupiah (Rp/US$), produk domestik bruto (Rp), produksi sabut kelapa (Kg), jumlah ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (Kg) dan luas areal pertanaman kelapa (ha).
Berdasarkan hasil identifikasi variabel dapat disimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah harga ekspor serat sabut kelapa, nilai tukar riil rupiah, produk domestik bruto dan produksi sabut kelapa, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah lag dan luas areal perkebunan kelapa. Respon semua variabel bebas terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis.
Penelitian tentang Permintaan Ekspor
Kharunnisa (2009) meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia di Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil estimasi metode OLS tersebut, variabel yang berpengaruh positif terhadap permintaan ekspor yaitu GDP riil AS, dummy kuota dan dummy krisis global. Sedangkan variabel yang berpengaruh negatif terhadap permintaan ekspor adalah harga dan nilai tukar riil. Variabel dummy kuota dan dummy krisis global tidak sesuai dengan teori karena mempunyai pengaruh yang positif sehingga walaupun Indonesia sudah tidak menikmati fasilitas kuota atau kepastian pasar dan terjadinya krisis pada negara pengimpor, permintaan ekspornya justru lebih besar sedangkan pengaruh variabel GDP riil AS, harga ekspor, dan nilai tukar riil terhadap permintaan ekspor sesuai dengan teori ekonomi.
Tilova (2012) meneliti faktor-faktor yang memengaruhi permintaan batubara Indonesia di empat negara tujuan utama ekspor terbesar. Penelitian ini menggunakan metode panel data dengan data sekunder, berupa deret waktu (time series) dari tahun 2001 hingga tahun 2009. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa estimasi yang berpengaruh nyata pada taraf 10 persen (0,1) terhadap permintaan ekspor batubara Indonesia adalah harga ekspor batubara negara tujuan ekspor, GDP per kapita negara tujuan ekspor, jumlah penduduk negara tujuan ekspor. Variabel harga ekspor batubara memiliki tanda keofisien yang tidak sesuai dengan hipotesis. Ketidaksesuaian ini diduga karena adanya kontrak berjangka pada penjualan dan pembelian antara batubara Indonesia dengan negara tujuan ekspor sehingga harga yang meningkat tidak menjadi masalah bagi importir. Variabel jumlah penduduk negara tujuan ekspor juga memiliki tanda koefisien yang tidak sesuai dengan hipotesis. Jumlah penduduk berpengaruh negatif terhadap permintaan ekspor batubara Indonesia. Hal tersebut diduga karena batubara merupakan salah satu komoditi yang tidak langsung dikonsumsi masyarakat, tetapi dikonsumsi oleh industri.
terhadap permintaan ekspor pulp dan kertas Indonesia. Variabel yang berpengaruh paling besar dari permintaan ekspor pulp adalah varibel produksi. Hal ini dapat dilihat dari elastisitas produksi pulp yang lebih dari satu. Apabila industri pulp Indonesia mampu mempertahankan ketersediaan bahan baku yang terus berkesinambungan guna menigkatkan produksi kertas dapat dipastikan bahwa ekspor pulp Indonesia terus meningkat. Variabel yang memiliki koefisien negatif terhadap perkembangan permintaan ekspor pulp adalah harga ekspor pulp pada tahun itu dan harga ekspor tahun puls pada tahun sebelumnya. Hal ini berarti peningkatan harga pulp akan menyebabkan konsumen pulp Indonesia memilih untuk membeli pulp pada negara penghasil pulp yang yang menjual produknya dengan harga yang lebih murah. Pada permintaan kertas, variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah produksi kertas, nilai tukar, variabel harga ekspor kertas, sedangkan variabel dummy larangan ekspor kayu bulat dan variabel harga ekspor kertas pada tahun sebelumnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan kertas. Variabel yang memiliki elastisitas yang terbesar pada persamaan permintaan kertas adalahb produksi kertas yaitu nilainya lebih dari satu.
Kerangka Pemikiran
Indonesia dikenal sebagai Negara agraris karena besarnya peran sektor pertanian terhadap perekonomiannya. Salah satu subsektor pertanian yang menjadi penyumbang besar bagi pendapatan Negara adalah sektor perkebunan. Seperti yang diketahui bahwa hasil komoditas perkebunan Indonesia memiliki orientasi pasar ekspor, sehingga subsektor tersebut menjadi sektor andalan penyumbang devisa Negara.
Salah satu komoditas unggulan di sektor perkebunan adalah kakao. Selama ini ekspor kakao Indonesia cenderung menunjukkan tren yang positif. Adapun kakao yang diekspor masih didominasi dalam bentuk biji. Oleh karena itu, saat ini pemerintah tengah berupaya untuk meningkatkan ekspor dalam bentuk lainya, baik produk olahan setengah jadi maupun produk akhir dengan mengeluarkan pajak ekspor atas komoditas biji kakao atau yang dikenal dengan bea keluar. Meskipun demikian, upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor kakao olahan dipasar internasional bukan tanpa hambatan. Hal tersebut ditandai oleh berfluktuasinya aliran ekspor kakao olahan Indonesia tiap tahunnya di negera tujuan utama ekspor. Sedangkan pada saat yang sama aliran perdagangan ekspor kakao olahan dunia terus mengalami peningkatan.
internasional tersebut. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada perekonomian Indonesia.
Untuk itu, dalam penelitian ini akan dianalisis dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia ke beberapa negara tujuan ekspor utama. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi posisi dayasaing komoditas kakao Indonesia adalah metode Revealed Comparative Advabtage (RCA). Sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia dilakukan secara statistik dengan pendekatan Gravity Model yang diolah dengan Eviews 6. Di dalam Gravity Model, variabel yang akan dianalisis adalah jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor (pengimpor), GDP negara Indonesia, GDP negara tujuan ekspor (pengimpor), populasi Indonesia, populasi negara tujuan ekspor (pengimpor), harga ekspor kakao olahan Indonesia, nilai tukar riil rupiah, jarak ekonomi, dan dummy kebijakan bea keluar. Pengolahan data Di dalam) dapat
Gambar 8 Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan salah satu produsen biji kakao terbesar di
dunia
Strategi dan Rekomendasi Kebijakan Guna Pengembangan Komoditas Kakao Indonesia
Gravity Model:
1. GDP negara pemgimpor 2. GDP Indonesia
Aliran ekspor kakao olahan Indonesia ke negara tujuan utama berfluktuasi
Pemberlakuan bea keluar atas biji
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan tanda koefisien variabel-variabel yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao Indonesia adalah:
1. GDP negara pengimpor diduga memiliki pengaruh positif terhadap aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia.
2. GDP negara Indonesia diduga memilik pengaruh positif terhadap aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia.
3. Populasi negara pengimpor diduga dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia.
4. Populasi negara Indonesia diduga dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia
5. Nilai tukar riil Indonesia diduga memiliki pengaruh negatif terhadap aliran ekspor komoditas kakao Indonesia.
6. Harga kakao olahan Indonesia diduga memiliki pengaruh negatif terhadap aliran ekspor kakao ke olahan negara tujuan.
7. Jarak ekonomi diduga memiliki pengaruh negatif terhadap aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia.
8. Bea Keluar pada biji kakao memiliki pengaruh positif terhadap aliran ekspor kakao olahan Indonesia.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data panel yang terdiri dari data cross section dan time series. Data tersebut berupa data dari negara-negara tujuan utama ekspor kakao olahan Indonesia selama kurun waktu 2005-2012. Negara-negara tujuan utama ekspor produk kakao olahan Indonesia yaitu, Amerika Australia, Belanda, Cina, dan Jerman. Komoditas yang menjadi objek pada penelitian ini adalah kakao dengan kode Harmonized System 1803, 1804, dan 1805.
Adapun data-data yang diperlukan dalam pemodelan yaitu volume ekspor produk kakao olahan Indonesia ke negara tujuan utama ekspor (pengimpor), jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara pengimpor, GDP per kapita Indonesia, GDP per kapita negara pengimpor, nilai tukar riil rupiah, populasi negara pengimpor, populasi negara Indonesia, harga ekspor kakao olahan Indonesia, serta jarak ekonomi Indonesia dengan negara mitra dagangnya.