ANALISIS KEBUTUHAN TENAGA KERJA PERIKANAN
TINGKAT MENENGAH UNTUK MEMENUHI INDUSTRI
PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA
LILLY APRILYA PREGIWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ANALISIS KEBUTUHAN TENAGA KERJA PERIKANAN
TINGKAT MENENGAH UNTUK MEMENUHI INDUSTRI
PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA
LILLY APRILYA PREGIWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Perikanan Tingkat Menengah Untuk Memenuhi Industri Perikanan Tangkap di Indonesia” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2007
Lilly Aprilya Pregiwati
ABSTRAK
LILLY APRILYA PREGIWATI. Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Perikanan Tingkat Menengah Untuk Memenuhi Industri Perikanan Tangkap di Indonesia. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO dan IIN SOLIHIN.
Sumber daya manusia (SDM) memegang peran penting dalam mendukung suatu kebijakan yang akan diterbitkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Dalam bidang perikanan, khususnya industri perikanan tangkap, kompetensi SDM untuk awak kapal ditunjukkan dengan kepemilikan sertifikat kompetensi yang terdiri atas sertifikat untuk bagian dek dan sertifikat untuk bagian mesin. Sertifikasi tersebut merupakan sertifikat standar awak kapal penangkap ikan sebagai implementasi mandat internasional dari IMO, FAO dan ILO. Karena dominasi kapal perikanan adalah 50 GT hingga 100 GT maka SDM dimaksud adalah SDM tingkat menengah yang akan berperan di kapal ukuran tersebut.
Masalah yang berkembang saat ini adalah tingkat keseimbangan antara permintaan dan suplai SDM tingkat menengah berkaitan dengan berkembangnya secara pesat sekolah menengah yang meluluskan SDM tingkat menengah tersebut. Hipotesis dalam studi ini adalah tidak terdapat keseimbangan antara permintaan dan suplai terhadap SDM tingkat menengah.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi kondisi saat ini dari SDM tingkat menengah dan kapal penangkap ikan; 2) memproyeksikan kebutuhan kebutuhan SDM tingkat menengah; dan 3) merekomendasikan formulasi pengembangan SDM. Identifikasi kondisi saat ini dilaksanakan melalui survei. Proyeksi SDM dilakukan pertimbangan jumlah kapal, potensi, dan kajian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya. Rekomendasi pengembangan SDM disusun berdasarkan pada tahapan manajemen strategik.
Hasil penelitian mencakup jumlah kapal penangkap ikan dan lulusan SDM tingkat menengah termasuk yang bersertifikat kompetensi. Proyeksi permintaan kurang lebih diketahui tidak seimbang dengan suplai. Kajian berdasarkan tahun 2000 hingga tahun 2004 menunjukkan bahwa kenaikan suplai SDM 350%, kenaikan SDM bersertifikat 330%, dan kenaikan kapal penangkap ikan 120%. Proyeksi SDM tahun 2010 sebesar 39.270 hinggga 57.018 dan hanya didukung suplai sebesar 4.480. Hal utama yang direkomendasikan adalah penyesuaian infrastruktur dan fasilitas lembaga pendidikan sesuai dengan standar.
ABSTRACT
LILLY APRILYA PREGIWATI. Analysis On The Middle Operational Level Fisheries Manpower to Fulfill Demand on Fishing Industry in Indonesia. Supervised by SUGENG HARI WISUDO and IIN SOLIHIN
The condition of fisheries manpower makes important role on supporting policies for the Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Especially in fishing sector, the manpower competency is proved by issuing deck and engine certification of competency. The certificate is one of the fishing vessel personnel standard certificate which implemented the international mandate of IMO, FAO and ILO. The recent problem is how far demand of the manpower meets the supply, due to rapid development of vocational high school chiefly on producing middle level of fisheries manpower. The hypothesis is that demand and supply of middle fisheries manpower be inline and appropriate. The study is conducted to indicate middle fisheries manpower and fishing vessel at existing condition, to predict the need of manpower and to recommend strategic formulation for the manpower development. Existing condition of manpower and fishing vessel is conducted on the frame of survey. Projection of the manpower need was done by regression approach, and the recommendation for the manpower development is based on management strategic stages Result of study covered time series of supply of manpower and fishing vessel quantity. Demand projection for manpower seemed unbalance of the supply and recommendation has been proposed. The study pointed out during 2000 to 2004 that manpower supply, certified manpower and quantity of fishing vessel tended to increase as 350%, 330%, and 120%. Projection of manpower for 2010 as 39,270 to 57,018 supported by only the supply of 4,480. Main recommendation from the study is appropriate infrastructure and facilities as standardize to be provided.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
ANALISIS KEBUTUHAN TENAGA KERJA PERIKANAN
TINGKAT MENENGAH UNTUK MEMENUHI INDUSTRI
PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA
LILLY APRILYA PREGIWATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Perikanan Tingkat Menengah Untuk Memenuhi Industri Perikanan Tangkap di Indonesia
Nama Mahasiswa : Lilly Aprilya Pregiwati
NRP : C551030224
Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si Iin Solihin, S.Pi, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui,
Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ketua,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Perikanan Tingkat Menengah Untuk Memenuhi Industri Perikanan Tangkap di Indonesia”. Selama penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh kerenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
1. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Iin. Solihin, S.Pi, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan arahan.
2. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku tim penguji luar komisi atas koreksi serta masukan-masukan yang konstruktif untuk perbaikan tesis penulis
3. Dr. Suharyanto yang telah banyak membantu memberikan masukan dan pemikiran.
4. Dr Soen’an Hadi Poernomo, selaku Sekretaris Badan Pengembangan SDMKP yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan
5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan terutama kepada Irham Budiman atas kerjasama dan dukungan selama ini
6. Suamiku serta anak-anakku tercinta, Bima Adisetya Putra dan Vira Anggraini Ishmaningsih atas kasih sayang dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini
7. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan sumbangsih pemikiran dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna. Masih banyak kekurangan dan mungkin kesalahan baik secara substansi atau dalam hal penulisannya. Oleh karenanya, kritik dan saran sangatlah diharapkan dari semua pihak demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 April 1968 sebagai putri kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak R. Suhartono dan Ibu RA. Retno Sajekti. Pendidikan penulis dari SD hingga SMA ditempuh di DKI Jakarta.
Setelah tamat dari SMU, penulis diterima di Diploma III Ahli Usaha Perikanan (AUP) pada Program Studi Akuakultur, dan selesai pada tahun 1989. Pada tahun yang sama penulis mulai bekerja pada perusahaan tambak udang hingga tahun 1992. Pada tahun tersebut penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Diploma IV Sekolah Tinggi Perikanan, pada Program Studi Akuakultur dan selesai pada tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis mulai bekerja sebagai instruktur/ Dosen Sekolah Tinggi Perikanan sampai dengan tahun 2001.
Pada tahun 1998, sambil bekerja penulis melanjutkan pendidikan S1 di IPB, Program Studi Budidaya Perairan dan selesai pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan program Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Perencanaan Pembangunan Kelautan Perikanan, SPs-IPB. Mulai tahun 2001 hingga sekarang penulis bekerja pada bagian Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan di Departemen Kelautan dan Perikanan
Penulis dinyatakan lulus dalam sidang ujian tesis yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana IPB pada tanggal 10 Maret 2007 dengan judul tesis “Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Perikanan Tingkat Menengah Untuk Memenuhi Industri Perikanan Tangkap di Indonesia”
DAFTAR ISI
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah... 3
1.3 Kerangka Pemikiran ... 3
2.3 Institusi Pendidikan Menengah Perikanan... 12
2.4 Perencanaan SDM... 14
2.5 Motivasi Bekerja di Laut... 14
3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 16
3.2 Peralatan Pendukung... 16
3.3 Metode Pengumpulan Data... 16
3.4 Analisis Data... 19
3.4.1 Proyeksi kebutuhan SDM perikanan tingkat menengah untuk industri perikanan... 20
3.4.2 Optimasi SDM perikanan tingkat menengah... 22
3.4.3 PerumusanProgram strategis pengembangan sumberdaya manusia perikanan tingkat menengah ... 23 4 PROFIL PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 4.1 Pendidikan Menengah Kejuruan Kelautan dan Perikanan... 27
4.2 Jumlah dan Penyebaran Sekolah Pendidikan Menengah Kejuruan Kelautan dan Perikanan... 28 4.3 Standar Pengembangan Program Studi NPL dan TPL... 31
4.3.1 Sarana dan prasarana... 32
4.3.2 Kurikulum dan tenaga pengajar... 33
4.4 Proses Sertifikasi... 34
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lulusan Pendidikan Menengah Perikanan Saat ini ... 37
5.1.1 Jumlah lulusan... 37
5.1.3 Kebijakan pengembangan pendidikan menengah
perikanan... 41
5.2 Daya Serap Lulusan pada Industri Perikanan Tangkap... 43
5.2.1 Kondisi industri perikanan tangkap... 43
5.2.2 Peluang pengembangan tenaga kerja pada industri penangkapan ikan... 47
5.2.2.1 Tenaga kerja pada kapal penangkap ikan Indonesia... 51
5.2.2.2 Tenaga kerja pada kapal penangkap ikan di luar Negeri... 52
5.3 Proyeksi SDM Perikanan Tingkat Menengah... 53
5.3.1 Lulusan pendidikan menengah perikanan... 53
5.3.2 Kebutuhan tenaga kerja perikanan tangakp... 54
5.3.3 Kesenjangan kebutuhan dan jumlah lulusan... 56
5.4 Strategi Pengembangan SDM Perikanan Tingkat Menengah... 57
5.4.1 Identifikasi faktor-faktor strategis... 57
5.4.2 Strategi pengembangan tenaga teknis perikanan tingkat menengah... 61
5.4.2.1 Strategi pengembangan infrastruktur... 61
5.4.2.2 Strategi peningkatan kualitas lembaga pendidikan Menengah perikanan... 62
5.4.2.3 Strategi kebijakan sertifikasi... 64
5.4.2.4 Strategi pengembangan kerjasama... 65
5.4.2.5 Strategi peraturan tenaga kerja... 67
5.4.2.6 Strategi perijinan kapal penangkap ikan... 67
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 68
6.2 Saran... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 70
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Peluang kerja pemegang sertifikat ANKAPIN TK II dan
ATKAPIN Tk II... 9
2 Jumlah kapal penangkap ikan menurut panjang, tahun 1996-2000... 11
3 Komposisi armada kapal penangkap iIkan di Indonesia... 12
4 Pembobotan tiap unsur SWOT... 24
5 Matriks hasil analisis SWOT... 25
6 Rangking alternatif strategi... 26
7 Sebaran jumlah lembaga pendidikan menengah perikanan (SMK/SUPM) yang mengembangkan program studi Nautika Perikanan Laut (NPL) dan program studi Teknika Perikanan Laut (TPL) per propinsi tahun 2005... 29 8 Lembaga pendidikan dan pelatihan perikanan tangkap di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan profesi bersertifikat nasional dan internasional... 36
9 Jumlah total lulusan pendidikan menengah perikanan program studi NPL dan NPL pada 106 pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan (SMK dan SUPM) pada tahun 2001 sampai dengan 2004... 37
10 Jumlah lulusan pendidikan menengah perikanan yang berijasah ANKAPIN Tk II dan ATKAPIN Tk II pada Tahun 2000-2005... 40
11 Jumlah armada kapal penangkap ikan 30 GT ke atas pada tahun 1999 – 2004... 44
12 Produksi perikanan laut (ton) menurut jenis alat tangkap yang dipergunakan pada armada skala besar periode tahun 1999-2004… 46 13 Perkiraan jumlah kebutuhan tenaga kerja berpendidikan menengah perikanan pada armada kapal penangkap ikan Tahun 1999-2004.... 46
14 Peluang pengembangan usaha penangkapan dan kebutuhan tenaga kerja (awak kapal)... 48
15 Kebutuhan TKI menurut kualifikasi keahlian/keterampilan... 49
17 Standar rata-rata kebutuhan ABK menurut gross tonage dan jenis kapal/ alat tangkap... 50 18 Posisi jabatan pada kapal penangkap ikan bagi tenaga kerja
lulusan pendidikan menengah perikanan... 51 19 Proyeksi jumlah lulusan pendidikan menengah kejuruan kelautan
dan perikanan sampai dengan tahun 2009... 54
20 Proyeksi kebutuhan SDM dengan berbagai pendekatan... 55 21 Matriks analisis faktor strategi internal (IFAS) pengembangan
tenaga teknis perikanan tingkat menengah... 57
22 Matriks Analisis faktor strategi eksternal (EFAS) pengembangan
tenaga teknis perikanan tingkat menengah... 58 23 Ringkasan analisis faktor strategis kunci... 58 24 Matrik hubungan antar faktor-faktor strategis... 60 25 Matriks SWOT pengembangan tenaga teknis perikanan menengah 60
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Kerangka Pemikiran... 4 2 Alur Penelitian... 18 3 Lokasi penyebaran SMK bidang kelautan dan perikanan serta
SUPM program studi NPL di seluruh Indonesia... 30 4 Lokasi penyebaran SMK bidang kelautan dan perikanan serta
SUPM program studi TPL di seluruh Indonesia... 31 5 Profil total lulusan pendidikan menengah kejuruan tahun 2001-2004
berdasarkan program studi NPL dan TPL... 38 6 Grafik peningkatan jumlah lulusan pendidikan menengah kejuruan
perikanan program studi NPL dan TPL tahun 2000 – 2004... 38 7 Fluktuasi jumlah armada kapal penangkap ikan berdasarkan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Jumlah Lulusan Pendidikan Menengah Perikanan Tahun
1999-2004 Program Studi NPL dan TPL... 73
2 Jumlah Lulusan Pendidikan Menengah Perikanan Tahun 1999-2004 Program Studi NPL dan TPL (lanjutan)... 74
3 Jumlah Peserta Ujian ANKAPIN TK II dan ATKAPIN TK II Tahun 2000 - 2005 ... 75 4 Jumlah Peserta Lulus Ujian ANKAPIN TK II dan ATKAPIN TK II Tahun 2000 - 2005 ... ... 76 5 Sarana Pendidikan Menengah Perikanan... 77
6 Sarana Pendidikan Menengah Perikanan (lanjutan)... 78
7 Proyeksi SDM berdasarkan berbagai pendekatan... 79
8 Kapal-Kapal Penangkap Ikan pada Beberapa Perusahaan... 80
9 Kapal-Kapal Penangkap Ikan pada Beberapa Perusahaan (lanjutan)... 81
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor perikanan khususnya industri perikanan tangkap di Indonesia saat ini masih memiliki peluang untuk dikembangkan, mengingat potensi perikanan tangkap yang masih berpeluang. Potensi lestari sumber daya ikan (SDI) laut Indonesia sekitar 6,4 juta ton per tahun atau 7 persen dari total potensi lestari SDI laut dunia. Saat ini tingkat pemanfaatannya baru mencapai 4,4 juta ton. Oleh karenanya, masih ada peluang untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap di daerah yang SDI-nya masih belum dimanfaatkan optimal yakni di perairan pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, NTB, dan NTT, sampai ke ZEEI di Samudra Hindia, Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan ZEEI di Samudra Pasifik (Dahuri, 2005). Dampak dari kondisi tersebut adalah masih diperlukannya kebutuhan sumber daya manusia perikanan untuk memenuhi kebutuhan industri penangkapan ikan tersebut pada berbagai usaha perikanan tangkap Badan Usaha Milik Negara, perusahaan swasta nasional perikanan baik PMDN dan PMA serta perusahaan perikanan dari luar negeri.
Berkaitan dengan penyediaan tenaga kerja perikanan khususnya untuk tingkat menengah yaitu tenaga perikanan yang memiliki ijasah perikanan setingkat sekolah menengah, saat ini Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDM-KP) sebagai pihak yang mempunyai tugas utama memformulasikan dan menganalisis kebijakan program pengembangan sumber daya manusia perikanan di Indonesia membina 8 (delapan) Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) yang tersebar diberbagai wilayah di Indonesia. SUPM merupakan sekolah menengah kejuruan di bidang perikanan dengan lama pendidikan 3 (tiga) tahun, setiap tahunnya SUPM meluluskan kurang lebih 600 orang tenaga perikanan tingkat menengah yang siap bekerja di kapal. Mengacu dari jumlah yang dihasilkan ini hanya dapat mengawaki 150 unit kapal penangkap ikan ukuran 88 GT- 353 GT yang berlayar di perairan Indonesia sebagaimana ketentuan Keputusan Menteri No. KM 46/1996 tentang kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan.
161 Sekolah Usaha Perikanan Menengah milik Daerah dan Swasta, serta Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri dan swasta yang terletak di berbagai lokasi di Indonesia yang mengembangkan bidang kelautan dan perikanan yaitu program keahlian Nautika Perikanan Laut (NPL) dan Teknika Perikanan Laut (TPL). Pembinaan SUPM dan SMK tersebut berada di bawah kewenangan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Setiap tahunnya diperkirakan sekolah-sekolah tersebut di tahun mendatang akan menghasilkan kurang lebih 3000 lulusan.
Selain itu SMK dan SUPM sudah ada yang mengembangkan program keahlian NPL dan TPL, dengan maksud memperluas kesempatan belajar dengan kondisi yang minimal (sarana, prasarana dan dukungan dana). Untuk itu Depdiknas merencanakan dan segera akan merealisasikan pengembangan SMK Perbantuan/SMK Kecil yang juga membuka program keahlian yang sama. Pengertian SMK Kecil adalah SMK pembantu/cabang, yang dianjurkan untuk dibuka di daerah-daerah pesisir. Pada tahun 2004 ini Depdiknas menyediakan dana pengembangan SMK Kecil, di 280 Pemerintah Kabupaten/Kota, yang 20 SMK Kecil diantaranya adalah yang membuka program keahlian NPL dan TPL. Seiring dengan berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan, yang dilanjutkan dengan disahkannya UU 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menonjolkan konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan dan mengarah pada pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah (sistem desentralisasi) maka pengelolaan pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota. Keadaan tersebut menyebabkan ijin mudah diberikan untuk pendirian sekolah. Cerahnya prospek kerja di bidang perikanan menimbulkan
euforia bagi daerah sehingga menyebabkan pengajuan pendirian sekolah perikanan tingkat menengah sangat intensif. Jika tidak dilakukan pengendalian jumlah sekolah yang didasarkan atas kebutuhan optimal akan berdampak pada tidak terserapnya tenaga kerja yang dihasilkan oleh pasar kerja.
3
industri penangkapan ikan sampai 5 tahun mendatang. Melalui hasil kajian tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran kebutuhan tenaga kerja berpendidikan menengah kejuruan perikanan disesuaikan dengan perkembangan industri perikanan tangkap di Indonesia.
1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Salah satu pertimbangan dilaksanakannya penelitian ini adalah bahwa dengan banyaknya pendidikan menengah kejuruan yang diselenggarakan pada saat ini dikuatirkan akan menyebabkan lulusan sekolah kejuruan perikanan baik SUPM maupun SMK perikanan tangkap mempunyai berbagai kendala dan persaingan dalam mencari kerja. Besarnya peluang kerja bagi seorang siswa untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang diperebutkan dipengaruhi oleh jumlah lulusan di suatu wilayah yang bisa berbeda antar daerah yang disebabkan oleh banyak atau sedikitnya jumlah sekolah yang ada di daerah tersebut serta peluang industri perikanan tangkap khususnya yang berada pada lingkungan daerahnya yang akan menyerapnya.
Mempertimbangkan hal tersebut maka perlu dilakukan suatu penelitian yang mendalam mengenai kebutuhan jumlah sekolah menengah kejuruan perikanan bagi industri perikanan dan pengembangannya, yang tentunya juga sangat dipengaruhi aturan serta kebijakan pemerintah daerah. Penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui jumlah lulusan yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah apakah sudah mencukupi untuk memenuhi kompetensi dan kebutuhan industri penangkapan ikan yang berkembang di Indonesia, termasuk penyebaran sekolah serta proyeksi kebutuhan tenaga kerja bagi pengembangan industri penangkapan ikan sampai dengan 5 tahun mendatang.
1.3. Kerangka Pemikiran
Kondisi Tenaga Kerja Perikanan Tingkat Menengah saat ini
Proyeksi Kebut uhanTenaga Kerja
Perikanan Tingkat Menengah
Supply Demand
Analisis
Industri Penangkapan Ikan
Peraturan/ Ketetapan Pusat dan Daerah
Sertifikasi/ Kompetensi Kepelautan Perikanan
Rekomendasi Strategi Pengembangan SDM Perikanan
Tingkat Menengah
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Masalah
tingkat menengah. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan seperti Gambar 1 :
5
dalam UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah maupun aspek legal lain yang dikeluarkan daerah diidentifikasi berkaitan dengan kebijakan nasional. Kompetensi lulusan diidentifikasi berdasarkan kemampuan (lulusan) dan permintaan (pengguna lulusan). Perkembangan investasi yang dicerminkan dengan industri penangkapan diidentifikasi perkembangannya berkaitan dengan kebutuhan SDM. Keterkaitan aspek tritunggal antara diklat, SDM, dan investasi diidentifikasi ketergantungannya.
Terkait dengan perkembangan armada kapal ikan saat ini, terjadinya penangkapan yang berlebihan (overfishing)) pada beberapa daerah penangkapan tentunya sangat berpengaruh terhadap fishing capacity di suatu wilayah. Penambahan unit penangkapan secara signifikan merupakan fenomena
input yang berlebih pada kondisi daerah penangkapan yang sudah mulai berkurang. Sehingga penambahan unit penangkapan yang signifikan tidak akan memberikan output yang memadai. Keadaan tersebut tentunya akan mempengaruhi hasil tangkap per upaya (CPUE) yang diduga telah cenderung menurun dengan meningkatnya upaya/jumlah unit penangkapan, dan akhirnya pemanfaatan palka ikan terpasangnya juga turun.
Secara nyata bertambahnya unit penangkapan memerlukan penambahan SDM namun dengan beban individu SDM di kapal yang diduga semakin berkurang dalam arti produktivitas.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
• Menghitung jumlah tenaga kerja menengah perikanan tangkap saat ini yang bekerja di kapal dan jumlah kapal penangkap ikan.
• Memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja perikanan tingkat menengah untuk industri penangkapan ikan sampai dengan 5 tahun mendatang
• Merumuskan program strategis pengembangan sumberdaya manusia perikanan tingkat menengah
1.5 Hasil dan Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini adalah diperolehnya identifikasi, proyeksi dan
beroperasi di perairan Indonesia maupun yang beroperasi di perairan di luar wilayah Indonesia. Hasil tersebut diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengembangan lembaga pendidikan penghasil tenaga – tenaga teknis tersebut Manfaat dari hasil penelitian ini dapat menjadi acuan pertimbangan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka pengelolaan sekolah perikanan menengah yang optimal, selaras dengan pengembangan dan rencana investasi industri penangkapan ikan. Implementasi dari kegiatan ini adalah adanya pengaturan tentang pengembangan sekolah menengah kejuruan perikanan yang ada di suatu daerah dengan mempertimbangkan daya serap tenaga kerja yang ada.
1.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
Tidak terdapat keseimbangan antara permintaan dan suplai terhadap SDM perikanan tingkat menengah
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SDM Perikanan Tangkap
Tenaga kerja adalah sumber daya manusia (SDM) yang memiliki potensi, kemampuan, berpribadi, dan berperan dalam pembangunan sehingga berhasil guna bagi diri dan masyarakat. Terkait dengan hal ini, aspek yang terkandung dalam SDM adalah aspek potensial, aspek profesional, aspek fungsional, aspek operasional, aspek personal, dan aspek produktivitas. Perhatian khusus banyak diberikan kepada pengembangan SDM karena adanya kesadaran bahwa indikator kemajuan negara banyak dipengaruhi oleh kualitas SDM. Tujuan pengembangan SDM di tingkat nasional bertujuan untuk mengintegrasikan SDM kedalam pembangunan sehingga terjadi pengunaan SDM yang rasional dan efektif (Barthos, 2002). Efektif dalam arti pemilihan profesi dengan benar. Kesadaran ini juga terkait dengan peran institusi yang tidak hanya sebagai organiser namun berperan sebagai think tank pengembangan SDM. Salah satu strategi ini adalah melalui pengembangan pendidikan yang mampu menghadapi tuntutan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan selanjutnya ditunjang dengan proses politik serta sekaligus akan mendukung knowledge-based economy. Di sisi lain efek desentralisasi dalam otonomi daerah diharapkan dapat memproses pengembangan ini lebih tajam sesuai dengan sumber daya, peluang, dan kebutuhan masing-masing daerah.
Pengembangan SDM tidak sekedar formalitas sertifikasi namun lebih pada penilaian kebutuhan yang diinginkan. Kebutuhan dan penetapan tujuan sebagai fase penilaian dilaksanakan sebelum implementasi program dan evaluasi. Tujuan ini terkait erat dengan kinerja dan standar yang dituntut, serta lingkungan kerja. Konsep pengembangan ini tentunya mengarah sebagaimana dikehendaki secara internasional yakni peningkatan skill, knowledge, dan ability
Potensi sumberdaya ikan dan sumber daya manusian akan memberi arti jika diikuti dengan teknologi pasar, dan profesionalisme sumber daya manusia sehingga menciptakan hubungan ekonomi. Hal terkait yang penting dengan profesionalisme adalah program pendidikan dan pelatihan semasa menempuh sertifikasi. Sertifikasi pelaut kapal penangkap ikan terdiri dari dua, yaitu Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan (ANKAPIN, sebelumnya disebut MPL/ Mualim Perikanan Laut) dan Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan (ATKAPIN, sebelumnya disebut AMKPL/ Ahli Mesin Kapal Perikanan Laut). ANKAPIN dan ATKAPIN tingkat I diujikan pada lulusan institusi pendidikan setingkat Sekolah Tinggi atau Akademi, dan untuk tingkat II diujikan pada lulusan Sekolah Usaha Perikanan Menengah atau setingkat.
Data panitia Ujian Pelaut Kapal Penangkap Ikan (PUPKPI) menunjukkan bahwa, rata-rata lulusan ANKAPIN dan ATKAPIN tingkat I per tahun adalah 90 orang dari 2 institusi, sedangkan untuk tingkat II sebanyak 540 orang dari 13 institusi. Ujian keahlian ini didasarkan pada SK Dirjen Perla DL 22/1/9-2000 tentang Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan dan Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan. AN/ATKAPIN tingkat I dapat menjabat Nakhoda/Kepala Kamar Mesin Penangkap Ikan dengan ukuran >88 GT untuk daerah pelayaran seluruh lautan, sementara untuk tingkat II dengan jabatan yang sama pada kapal penangkap ikan di daerah pelayaran seluruh Indonesia. Ketentuan ini sebagaimana tertuang dalam Sertifikat Kelaikan dan Pengawakan Kapal Penangkap Ikan dalam Keputusan Menteri Perhubungan KM 46/1996. Sertifikat keahlian pelaut kapal penangkap ikan merupakan salah satu indikator bagi industri perikanan tangkap dalam memilih awak kapal yang sesuai dengan kebutuhan (Dephub, 1996). Pengawakan kapal perikanan telah dirumuskan dalam sinkronisasi UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No 21 tahun 1992 tentang Pelayaran (DKP, 2006) sebagai berikut: keselamatan pelayaran khususnya di dalam kegiatan operasi penangkapan ikan merupakan hal terpenting untuk menjamin keberhasilan penangkapan ikan. Untuk itu diperlukan awak kapal yang cakap dalam jumlah yang cukup untuk melaksanakan tugas di atas kapal.
9
lingkungan laut dengan persetujuan standar internasional melalui pelatihan, sertifikasi dan tugas jaga bagi pelaut kapal penangkap ikan pada kapal penangkap ikan dengan panjang 24 meter atau lebih. Awak kapal adalah orang yang bekerja di kapal atau dipekerjakan di kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam Buku Sijil (IMO, 1995)
Studi DKP (2003) menunjukkan bahwa dari sampel 42 kapal penangkap ikan yang tersebar di Pekalongan, Bitung, Belawan, Fak Fak, Kendari dan Sorong diketahui bahwa 18 orang bersertifikat yakni 10 orang ANKAPIN TK II dan 8 orang ATKAPIN II. Ini mengindikasikan bahwa diasumsikan setiap kapal terdapat 3 orang tenaga perikanan menengah yang bersertifikat. Jika dalam satu kapal terdapat 15 awak kapal, berarti baru 20 % yang bersertifikat kepelautan dan perikanan.
Tabel 1 Peluang kerja pemegang sertifikat ANKAPIN-II dan ATKAPIN-II
Jenis
Mualim I sekurang-kurangnya 24 bulan di kapal penangkap ikan yang panjangnya tidak kurang dari 12 m, dan dari 24 bulan dimaksud diperbolehkan berlayar sebagai perwira di kapal niaga selama 12 bulan
Mualim II pada kapal semua ukuran di daerah pelayaran Indonesia tidak termasuk ZEEI setelah berpengalaman berlayar 12 bulan dan dari 12 bulan dimaksud diperbolehkan berlayar sebagai perwira di kapal niaga selama 6 bulan
- Berpengalaman berlayar sebagai Masinis II sekurang-kurangnya 24 bulan pada kapal penangkap ikan yang menggunakan mesin penggerak utama tidak kurang darii 100 kW
MASINIS III 300 Kw - Berpengalaman berlayar 12 bulan sebagai Masinis II pada kapal penangkap ikan yang menggunakan mesin penggerak utama tidak kurang dari 100 kW
Menilik jumlah kapal penangkap ikan tahun 2000 dengan ukuran > 50 GT sebanyak 2196 unit dan dengan rata-rata kenaikan tahunan sebesar 21% dalam kurun waktu 1996-2000 (DKP, 2002), maka jumlah lulusan bersertifikat yang direncanakan dihasilkan pada tahun 2006 sampai dengan 3000 orang akan memiliki peluang yang tidak terlalu besar untuk mengawaki kapal penangkap ikan. Peluang yang memungkinkan bagi tenaga kerja menengah yang memiliki sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan II (ANKAPIN-II) untuk bekerja pada kapal penangkapan ikan sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
2.2 Kapal Penangkap Ikan
Kegiatan perikanan tangkap telah dimulai sejak dahulu kala ketika manusia memanfaatkan laut maupun perairan umum sebagai sumber bahan pangan melalui kegiatan penangkapan ikan yang bersifat subsisten atau komersil. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, maka kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan semakin berkembang pesat menjadi suatu kegiatan ekonomi penting yang melibatkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat maupun devisa bagi suatu Negara (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005)
11
hanya kurang dari 5% merupakan usaha industri penangkapan ikan menggunakan armada penangkapan berukuran 30-200 GT (Ditjen Perikanan Tangkap,2005).
Menurut Ditjen Perikanan Tangkap (2005) penyebaran armada penangkapan untuk industri penangkapan ikan dengan armada berukuran di atas 30 GT hampir dijumpai di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP), kecuali WPP 2 (Laut Cina Selatan) dan WPP 4 (Selat Makassar dan Laut Flores) dan WPP 1 (Selat Malaka) dengan jumlah armada terbatas. Baik di WPP2 maupun WPP 4 hanya dijumpai kapal ikan berukuran 30-50 GT, sedangkan WPP 1 selain armada berukuran 30-50 GT juga dijumpai armada berukuran 50-100 GT. Wilayah dengan penyebaran armada berukuran besar (di atas 100 GT) dengan jumlah yang banyak adalah di WPP 3 (Laut Jawa), WPP 6 (Laut Seram dan Teluk Tomini) dan WPP 7 (Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik).
Sampai saat ini di Indonesia jumlah kapal penangkap ikan katagori kapal motor didominasi kapal Penangkap Ikan ukuran < 30 GT karena kapal penangkap ikan ukuran 30-50 GT hanya 0,3 % atau 1543 unit dan yang berukuran > 50 GT sebesar 0,5% atau 2196 unit (DKP, 2002). Secara umum terjadi kenaikan jumlah tahunan, persentase rataan kenaikan terbesar pada kapal penangkapan ikan ukuran > 200 GT yakni sebesar 48,5 % dalam kurun waktu 1996-2000. Sebaran utama kapal ukuran > 50 GT adalah perairan daerah Maluku-Irian Jaya, Utara Jawa dan Bali-Nusa Tenggara.
Kapal penangkapan ikan yang berpeluang beroperasi di laut lepas adalah kapal berukuran panjang > 24 m atau berjumlah sekitar 1500 unit atau 1,7 % dari total unit kapal penangkapan ikan pada tahun 2000, namun jika mengacu daerah penangkapan ikan, hal ini berkaitan dengan jenis alat tangkap yakni jenis rawai tuna yang umum beroperasi di laut lepas. Jumlah rawai tuna pada tahun 2000 sebesar 2870 unit (DKP, 2000).
Tabel 2 Jumlah kapal penangkap ikan menurut panjang, tahun 1996-2000 Ukuran
Panjang (m)
1996 1997 1998 1999 2000
< 12 64.713 72.841 79.921 83.410 90.956
12 - <24 4.047 4.425 6.038 5.578 5.195
> 24 1.131 897 1.128 1.382 1.518
Berdasarkan statistik tahun 2002 pada beberapa lokasi yang merupakan basis kapal penangkapan ikan menunjukkan bahwa jumlah kapal perikanan > 50 GT di Sulawesi Utara sebanyak 112 unit, di Benoa jumlah kapal perikanan dengan bobot yang sama berjumlah 463 unit, Jakarta 214 unit dan 157 unit kapal perikanan yang berukuran > 30 GT di Belawan.
Sedangkan Pola penyebaran secara lebih jelas komposisi armada penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Indonesia seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi armada kapal penangkap iIkan di Indonesia
No. Bobot Kapal %
1 Kapal Motor < 5 GT 68
2 Kapal Motor 5 – 10 GT 20
3 Kapal Motor 10 – 20 GT 6
4 Kapal Motor 20 – 30 GT 3
5 Kapal Motor 20 – 50 GT 2
6 Kapal Motor 50 – 100 GT 1 7 Kapal Motor 100 – 200 GT 1 8 Kapal Motor > 200 GT 0
2.3 Institusi Pendidikan Menengah Perikanan
13
Diklat kejuruan di Indonesia selama ini ditangani oleh banyak pihak. Dibidang perikanan, pada jalur formal tingkat pendidikan menengah terdapat Sekolah Menengah Kejuruan yang dibina oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu ada sekolah kedinasan Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) yang dibina Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai Departemen teknis sektor terkait (Dikmenjur, 2002). Sekolah pendidikan perikanan setingkat menengah umum telah dimulai dengan didirikan sekolah pendidikan pertanian (SPP) jurusan perikanan pada tahun 1970 di Tegal, yang pembinaannya pada saat itu dibawah Departemen Pertanian. Sekolah tersebut terus berkembang di beberapa wilayah daerah lainnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada para pemuda pada suatu wilayah tertentu untuk melanjutkan sekolah pada pendidikan kejuruan perikanan. Dalam perjalanannya sekolah pendidikan perikanan tersebut mengalami beberapa kali perubahan nama. Pembinaan sekolah-sekolah tersebut masih terus dilakukan oleh Departemen Pertanian, sampai dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2000. Pada tahun tersebut pembinaan 8 Sekolah Usaha Perikanan Menengah Perikanan yang terletak di Ladong, Pariaman, Kota Agung, Tegal, Pontianak, Bone, Ambon dan Sorong dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP, 2005).
menyediakan block grant Saat ini terdapat 161 pendidikan perikanan menengah yang terdiri Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri, Daerah/Swasta dan Sekolah Menengah Kejuruan di seluruh Indonesia. (Dikdasmen, 2002)
2.4 Perencanaan SDM
Terdapat beberapa pengertian tentang perencanaan SDM, diantaranya menyatakan perencanaan merupakan suatu cara untuk mencoba menetapkan keperluan tenaga kerja untuk suatu periode tertentu baik secara kualitas maupun kuantitas dengan cara tertentu (Umar, 2003). Ditambahkan melalui perencanan dimaksudkan agar perusahaan dapat terhindar dari kelangkaan sumber daya manusia pada saat dibutuhkan maupun kelebihan SDM pada saat kurang dibutuhkan. Perencanaan merupakan unsur penting dalam mengembangkan stratejik dan keunggulan bersaing suatu organisasi (Purnama, 2000). Nawawi (2001) menyebutkan karena perencanaan SDM menyangkut prediksi kebutuhan SDM di masa datang maka tujuan khususnya terkait pula dengan waktu yang terdiri dari tujuan perencanaan jangka pendek dan tujuan perencanaan jangka sedang/panjang.
Perencanaan SDM mengacu beberapa pendekatan seperti pendekatan perencanaan dari atas ke bawah yang artinya kebutuhan direncanakan secara keseluruhan dari kebutuhan. Perencanaan dari bawah ke atas yang mendasarkan pada kebutuhan gugus kecil dan selanjutnya diproyeksikan pada kebutuhan total, dan peramalan yang diarahkan untuk mendayagunakan SDM yang ada dengan berbagai konsekuensi hak dan kewajiban. Untuk menentukan suatu proses perencanaan terdapat beberapa model yang dapat dipergunakan diantaranya dengan model peramalan (Umar, 2003).
2.5 Motivasi Bekerja di Laut
15
kuat karena dalam kurun waktu yang lama harus berada di laut. Kegiatan penangkapan ikan pada kapal-kapal penangkapan ikan yang masuk dalam skala industri membutuhkan waktu operasional penangkapan ikan minimal 1 bulan berada di laut. Untuk itu diperlukan motivasi yang sangat kuat bagi seseorang untuk bekerja di laut, sehingga masa kerja karyawan menjadi panjang, kinerjanya menjadi semakin baik dalam menunjang kesuksesan bagi perusahaan. Tenaga kerja menengah berkontribusi sebesar lebih dari 25% (ANKAPIN TK II) dan lebih dari 22% untuk ATKAPIN II dari total tenaga kerja pada kapal yang berukuran antara 24 m hingga 72 m. Untuk kapal dengan ukuran kurang dari 24 m porsi tersebut lebih besar. Hal ini berarti dalam satu kapal dengan 12 awak kapal, tiga orang lebih adalah tenaga menengah.
Menurut Maslows jika kebutuhan seseorang sudah terpenuhi maka akan termotivasi untuk bekerja. Ditambahkan terdapat lima hirarki kebutuhan manusia yaitu kebutuhan fisiologi, kebutuhan keamanan/perlindungan, kebutuhan akan kebersamaan/sosial, kebutuhan penghormatan dan penghargaan serta kebutuhan aktualisasi diri. Jadi, hal pertama yang harus dipenuhi dulu adalah kebutuhan fisik. Apabila kebutuhan fisik telah terpenuhi, maka kebutuhan yang berikutnya adalah kebutuhan keamanan. Demikian seterusnya sampai pada kebutuhan tertinggi yaitu kebutuhan aktulisasi diri. Berdasarkan kebutuhan tersebut yang sangat didambakan oleh setiap individu, maka seorang pimpinan SDM sangat perlu mempelajari secara seksama tentang tingkat-tingkat kebutuhan bagi bawahannya (Umar, 2003).
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan bulan April sampai dengan Oktober 2005
mencakup di 25 propinsi di seluruh Indonesia. Propinsi tersebut adalah DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, NAD, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, Bangka
Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua. Pemilihan lokasi
didasarkan pertimbangan bahwa daerah-daerah tersebut merupakan sentra
industri perikanan tangkap, banyak terdapat kapal penangkap ikan yang
memperkerjakan tenaga kerja perikanan dan merupakan wilayah yang memiliki
sekolah menengah perikanan.
3.2 Peralatan Pendukung
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yang utama adalah dokumen
dan lembar kuesioner. Dokumen berupa terbitan terkait dengan data dan
informasi tentang unit penangkapan ikan, jumlah sekolah kejuruan pendidikan
menengah perikanan, jumlah lulusan, jumlah lulusan bersertifikat kepelautan
perikanan. Kuesioner terkait dengan data dan informasi industri perikanan
tangkap, awak kapal perikanan, dan institusi terkait. Sedangkan alat yang
digunakan diantaranya adalah kamera dan peralatan tulis menulis.
3.3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan dengan format survei menggunakan
kuesioner langsung atau wawancara tatap muka dengan responden. Unit analisa
adalah individu. Tahapan pelaksanaan survei ini adalah perumusan masalah,
penentuan sampel dan pembuatan kuesioner, kegiatan di lokasi penelitian,
pengolahan dan analisis data. Informasi terkait diperoleh melalui studi dokumen
dari publikasi kebijakan, publikasi statistika perikanan tangkap baik nasional
17
sekolah menengah pendidikan perikanan, awak kapal dan penentu kebijakan
pada tingkat pemerintah daerah, serta nara sumber yang berpengalaman dalam
bidang pendidikan dan pelatihan kelautan dan perikanan. Dalam kegiatan ini
faktor yang berinteraksi dan memungkinkan mempengaruhi informasi yang
diperoleh adalah pewawancara, responden, topik, dan situasi wawancara.
Responden harus mencerminkan populasi karena kesimpulan yang
diangkat dari sampel merupakan kesimpulan populasi. Populasi disini adalah
unit observasi yang karakteristiknya akan diduga. Penentuan sampel agar
efisien dalam pelaksanaan dan hasilnya efektif didasarkan pada informasi awal
tentang keadaan populasi berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan
sebagaimana disebut diatas mengacu pada purposive sampling yang termasuk
dalam sampling non peluang. Penentuan ini terkait dengan tujuan studi dan
keputusan peneliti (judgmental sampling). Disisi lain penarik sampel adalah
individu kompeten tentang obyek penelitian sebagaimana penarikan sampel
otoritas (Steel dan Torrie, 1993).
Jumlah sekolah yang menjadi responden sebanyak 91 Kepala Sekolah
SUPM/ SMK, dengan tersebar di 25 propinsi di seluruh lokasi penelitian. Jumlah
perusahaan sebanyak 25 perusahaan yang tersebar pada sentra-sentra
penangkapan ikan di Indonesia, seperti Jakarta, Belawan, Pekalongan, Bitung,
Maluku, Sorong Disamping itu responden dari awak kapal kapal pada industri
perikanan tangkap sebanyak 250 orang yang bekerja pada perusahan perikanan
responden. Dalam konsultasi publik beberapa nara sumber ditemui yakni dari
industri perikanan, unsur pimpinan sekolah perikanan menengah, institusi
pelaksana ujiankeahlian pelaut kapal penangkap ikan dan institusi terkait di
lingkup Badan Pengembangan SDM-KP. Selanjutnya kegiatan brain storming
dilaksanakan berkaitan dengan penentuan terbobote dan bobot TOWS yang
dilaksanakan di institusi Badan SDM-KP dengan melibatkan personil dalam
semua bidang terkait di institusi tersebut. Kegiatan ini dilakukan sebanyak dua
kali, kali pertama adalah sebagai pengantar dengan mendiskusikan uraian
TOWS yang telah disiapkan dan pertemuan kedua melakukan penilaian terhadap
uraian TOWS yang telah disepakati.
Data dan informasi dimaksud berupa jumlah sekolah dan status, jumlah
lulusan dan jumlah lulusan bersertifikat kompetensi, jumlah kapal penangkap
dan sertifikasi. Jenis pertanyaan kuesioner adalah pertanyaan tertutup yakni
dengan jawaban tertentu dan responden tidak berkesempatan memberi jawaban
lain. Pertanyaan dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian. Isi pertanyaan
mencakup jenis dan kedalaman informasi. Data pendukung diperoleh melalui
instansi/lembaga terkait seperti Badan Pusat Statistik, Departemen Perindustrian,
Depnakertrans, Ditjen Perikanan Tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan, Pusat
Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan dan Direktorat Jenderal
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran (PK2P). Data tersebut
antara lain perkembangan jumlah lulusan sekolah menengah perikanan,
keberadaan sekolah perikanan tingkat menengah, jumlah industri perikanan dan
perkembangannya serta kemungkinan pendirian industri baru.
Analisis data dilaksanakan antara lain untuk menyederhanakan data dan
informasi dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data dan
informasi diatas digunakan untuk mengidentifikasi jumlah tenaga kerja menengah
perikanan, dan memproyeksikan kebutuhan tenaga tersebut dalam 5 tahun
kedepan. Pendekatan untuk proyeksi SDM digunakan pendekatan berdasarkan
jumlah kapal, pendekatan estimasi potensi, dan pendekatan berdasarkan kajian
aspek SDM yang telah dilakukan sebelumnya oleh Pusat Pengembangan SDM
Kelautan dan Perikanan (Pusbang SDMKP). Data dan informasi konsultasi
publik dianalisis guna memperoleh rumusan strategis berdasarkan analisis
TOWS (Rangkuti, 1999). Alur penelitian yang dilakukan sebagaimana dapat
dilihat pada Gambar 2.
• publikasi kebijakan
• publikasi statistik perikanan tangkap nasional dan prov.
•Sekretariat PUKP KAPIN
•Perumusan masalah
•Penentuan sampel
•Penyusunan kuesioner (Jumlah sekolah, status, jumlah kapal, prod. hsl, kualif.awak kpl, sertifikasi)
•Keg.di lokasi penelitian
•Pengolahan dan analisis data
Wawancara
• Pemilik Perusahaan
• Awak Kapal
• Pimpinan Sekolah
• Pemerintah Daerah
• Nara Sumber Diknas dan DKP
STUDI DOKUMEN SURVEI KONSULTASI PUBLIK
19
Data dan informasi ini selanjutnya dipakai untuk merumuskan strategik
manajemen guna memperoleh rekomendasi kebijakan melalui tahapan input,
matching dan decision (Umar, 2005). Strategi adalah suatu proses penentuan
rencana yang berfokus pada tujuan jangka panjang, disertai penyusunan suatu
cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai. Strategi
ditentukan melalui tiga tahapan, tahap 1 disebut input stage, tahap 2 disebut
matching stage dan tahap 3 disebut decision stage. Tahap 1 menyimpulkan
informasi dasar untuk merumuskan strategi melalui external factor evaluation dan
internal factor evaluation. Tahap 2 merupakan pembangkitan strategi alternatif
melalui penggabungan external factors dan internal factors. Tahapan ini dapat
dilaksanakan dengan TOWS Matrix. Tahap 3 menggunakan informasi input
tahap 1 dan strategi alternatif tahap 2 untuk membuat quantitative strategic
planning matrix.
Visualisasi data disajikan dengan tabel dan diagram. Hubungan variabel
mengacu pada beberapa pendekatan dan kecenderungan hubungan, dan
korelasi logis seperti linier, polinom dan dugaan persamaan yang dihitung
menggunakan perangkat SPSS. Pendekatan kecenderungan hubungan
memakai acuan nilai cakupan determinasi yang lebih baik.
3.4 Analisis Data
Rataan digunakan untuk memberi gambaran kecenderungan pemusatan
yang umumnya memunyai kecenderungan di tengah-tengah dalam suatu
kelompok data. Rataan dalam penelitian ini adalah rataan hitung (mean).
Standar deviasi atau simpangan baku digunakan untuk mengukur rata-rata jarak
atau selisih masing-masing nilai individu dari suatu data terhadap rata-ratanya.
Secara umum, data (Xi)digambarkan dengan rataan (X’)dan standar deviasi (s’)
dengan formulasi sebagai berikut
Rataan (X’) diformulasikan sebagai berikut
X’ =
Σ
Xi /n idengan standar deviasi (s’)
3.4.1 Proyeksi Kebutuhan SDM Perikanan Tingkat Menengah untuk Industri Perikanan
Proyeksi kebutuhan tenaga kerja untuk jangka panjang sangat dibutuhkan
dalam menentukan strategi penyiapan tenaga kerja yang siap pakai. Industri
perikanan yang diidentifikasi sebagai pengguna tenaga perikanan tingkat
menengah berbasis pada usaha penangkapan, maupun permesinan.
Pemanfaatan SDM memerlukan pertimbangan keputusan penting yang
cakupannya tidak sempit. Pertimbangan tersebut adalah permintaan dan
pasokan tenaga kerja perikanan. Untuk membantu penyelesaian permasalahan
tersebut digunakan pendekatan yang memperlihatkan adanya ketersediaan
tenaga kerja yang ada jumlah tenaga kerja yang telah dipekerjakan pada saat
ini. Untuk mengetahui perkiraan proyeksi kebutuhan tenaga kerja untuk lima
tahun ke depan berdasarkan pada jumlah tenaga yang telah dipekerjakan pada
saat sekarang dan lima tahun sebelumnya, dan dengan telah memperhitungkan
proyeksi pemanfaatan sumber daya perairan yang masih tersedia pada masa
selanjutnya maka pendekatan yang dilakukan untuk melihat hubungan antar
parameter tersebut dengan menggunakan regresi. Bentuk hubungan tersebut
akan memperlihatkan hubungan yang linier maupun non linier.
Metode yang digunakan untuk memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja
adalah analisis trend dengan pendekatan regresi. Menurut Haluan et al. (2004)
langkah-langkah proyeksi adalah sebagai berikut:
• Menentukan kebutuhan tahunan tenaga kerja.
Sedapat mungkin tersedia data time series yang mendukung. Kebutuhan
tenaga kerja merupakan variabel tidak bebas (Y), sedangkan pertambahan
tahun digunakan sebagai variabel bebas (X).
Predikasi kenaikan jumlah kapal penangkap dan SDM secara umum dengan
mengacu kenaikan tahunan berdasarkan rata-rata geometrik
Rata-rata geometrik : (n1 x n2 x ... nn )1/n
• Memilih model trend yang tepat
Data yang diperoleh seringkali memiliki respon yang berbeda-beda. Oleh
karena itu diperlukan pemilihan model yang paling sesuai dengan kondisi data
21
kubik dan eksponensial. Pemilihan model yang paling sesuai digunakan
didasarkan atas logika umum atau gambaran scatter plot.
Proyeksi Kebutuhan
Proyeksi kebutuhan dilakukan dengan memasukkan nilai tahun (X) ke dalam
persamaan dugaan kebutuhan tenaga kerja (Y). Berikut persamaan model
dugaan kebutuhan SDM tingkat menengah:
Model dugaan linear
y
)
: Dugaan kebutuhan SDM tingkat menengah0
b : Intercept (perpotongan)
3 2
1 b b
b = = : Rata-rata peningkatan atau penurunan kebutuhan SDM tingkat
menengah setiap tahunnya.
Hubungan antar variabel dapat positif atau negatif. Hubungan disebut
positif jika kenaikan/penurunan variabel x diikuti oleh kenaikan/penurunan
variabel y. Atau disebut negatif jika kenaikan/penurunan variabel x diikuti oleh
penurunan/kenaikan variabel y. Kuatnya hubungan dinyatakan dengan kefisien
korelasi (r), dan besarnya kontribusi dinyatakan oleh koefisien determinasi (D).
Hubungan antara kebutuhan SDM dan penambahan jumlah kapal
diasumsikan akan mengalami kejenuhan sehingga diduga mengikuti kaidah
polinomial (kuadratik). Hal ini terjadi karena jumlah kapal pada suatu waktu akan
tetap atau bahkan berkurang mengacu pada paradigma perikanan yang lestari
pendekatan, pendekatan pertama adalah jumlah kapal. Pendekatan kedua
dengan estimasi potensi dikaitkan dengan hasil tangkapan, dan pendekatan
ketiga berdasarkan kajian sebelumnya dengan proporsi.
Pendekatan jumlah kapal perikanan mengacu data 1993-2004 dengan
indeks tahun 1993. Indeks digunakan untuk membandingkan kegiatan yang
sama dalam waktu yang berbeda, bertujuan untuk mengukur secara kuantitatif
terjadinya suatu perubahan. Rataan dan standar deviasi digunakan untuk
memberikan nilai batas bawah yang selanjutnya dipakai sebagai penambahan
jumlah kapal tahunan. Jumlah tenaga kerja perikanan menengah diasumsikan
20% dari total awak kapal (hasil rataan dari berbagai jenis dan ukuran kapal
pada Bab 4)
Pendekatan estimasi potensi dan dikaitkan estimasi hasil tangkapan
didasarkan pada estimasi potensi. Estimasi hasil tangkapan dengan asumsi
ukuran palka sebesar 60% dari tonase kapal sementara oleh Fyson (1985)
disebut sekitar 40% dan volume hasil tangkap diasumsikan 70% kapasitas palka
dengan mempertimbangkan efisiensi palka yakni terkait dengan proses
pendinginan dan volume berbagai hasil tangkap yang tidak homogen.
Sehingga diperoleh rataan porsi hasil tangkap dari total produksi total atau
diperoleh kesetaraan jumlah kapal berdasarkan jumlah hasil tangkap. Baruni
(2006) menyatakan bahwa rata-rata produksi kapal udang adalah 60% dari
volume hasil tangkap sebesar 70 % kapasitas pallka. Selanjutnya jumlah tenaga
yang diperlukan diasumsikan tetap sebesar 20% total awak kapal sebagaimana
pendekatan jumlah kapal.
Pendekatan kajian sebelumnya berdasarkan kajian kebutuhan SDM
perikanan tangkap total yang telah dilaksanakan tahun 2005. Berkaitan dengan
ini, hasil kajian tersebut dijadikan dasar untuk menghitung proyeksi SDM
menengah. Porsi SDM perikanan tangkap industri terhadap total SDM perikanan
tangkap dihitung berdasarkan asumsi kapal perikanan diawaki oleh 15 orang.
Sehingga diperoleh rataan porsi SDM perikanan industri, dilain pihak menurut
data 2003 porsi SDM perikanan industri sebesar 2.3%.
3.4.2 Optimasi SDM Perikanan Tingkat Menengah
Kondisi ideal tercapai jika seluruh kebutuhan tenaga kerja industri dapat
23
Tentu saja hal ini tercapai jika kualitas lulusan sudah memenuhi kualifikasi yang
dibutuhkan oleh industri.
Adanya kecenderungan pembukaan sekolah perikanan tingkat menengah
secara besar-besaran di daerah dapat mengakibatkan kelebihan tenaga kerja.
Apalagi jika program yang ditawarkan tidak memiliki basis pasar tenaga kerja
yang jelas. Adapun pasar tenaga kerja yang dimaksud adalah keberadaan
industri perikanan yang secara riil dapat menyerap tenaga kerja yang dihasilkan.
3.4.3 Perumusan Program Strategis Pengembangan Sumber Daya Manusia Perikanan Tingkat Menengah
Analisis TOWS ditujukan untuk mengetahui posisi strategis dalam
kuadran TOWS (Rangkuti, 1999). Analisis internal yakni Strength (S) dan
Weakness (W) serta analisis Opportunity (O) dan Threat (T) disajikan
berdasarkan bobot dan peringkat untuk mendapatkan terbobot. Penentuan
elemen S, W, O dan T beserta bobot dan peringkat telah dibahas dalam Bab 4
dan dipertimbangkan dari hasil diskusi pihak terkait sebagaimana tersebut dalam
metode pengumpulan data. Terbobot ini selanjutnya dipakai untuk
menggambarkan posisi dalam kuadran TOWS. Kuadran TOWS
menggambarkan selisih nilai terbobot antara S dan W serta nilai terbobot O dan
T dalam koordinat (x, y), (x, -y), (-x, -y) atau (-x, y) yang sekaligus merupakan
kuadran strategi. Hasil ini selanjutnya sebagai dasar rekomendasi program
strategis yang akan dimatrikkan. Program strategis didasarkan pada beberapa
kriteria kunci seperti regulasi, fasilitas, SDM, jaringan kerja, dan monitoring dan
evaluasi yang mengait pada program dan pelaksana yang bertanggungjawab
terhadap kegiatan tersebut. S mencakup sumber daya, infrastruktur, dan SDM ,
W mencakup dana, dukungan kebijakan, fasilitas, kapal skala industri, O
mencakup pengembangan industri, pengganti awak kapal asing, dan T
mencakup pasar bebas, pemberlakuan kebijakan internasional. Kriteria kunci
tersebut diperoleh berdasarkan nilai bobot tertinggi pada IFAS maupu EFAS.
TOWS sebagai salah satu alat untuk mengidentifikasi faktor perumusan
strategi secara sistematis. Analisis TOWS membandingkan antara faktor internal
(S dan W) dan faktor eksternal (O dan T). Analisis TOWS didasarkan pada
maksimalisasi Strength dan Opportunity bersamaan dengan minimalisasi
Internal faktor Analysis Summary (IFAS), untuk faktor eksternal ke dalam
External faktor Analysis Summary (EFAS). Penilaian masing-masing faktor
didalam IFAS maupun EFAS berdasarkan bobot dan peringkat yang ditentukan.
Bobot ditentukan berdasarkan kepentingan misalnya diberi bobot 1.0 sebagai
sangat penting dan 0.0 untuk tidak penting. Peringkat diberi skala 1 hingga 4
sesuai dengan pengaruh dan prioritas sebagai isu. Perkalian bobot dengan
peringkat adalah terbobot. Hasil penilaian terbobot ini selanjutnya digunakan
dalam membuat kuadran TOWS yang mencerminkan jenis strategi yang
direkomendasikan. Penentuan bobot dan peringkat berdasarkan hasil diskusi
dan brainstorming beberapa kelompok nara sumber terkait. Disamping itu,
strategi yang dipilih dapat dilihat berdasarkan matriks TOWS yang mencakup
strategi SO, strategi WO, strategi ST, dan strategi WT. Strategi SO didasarkan
pada penggunan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Strategi WO
memanfatkan peluang dengan meminimalkan kelemahan. Strategi ST
menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Strategi WT menghindari
ancaman dengan meminimalkan kelemahan.
Penentuan strategi yang terbaik dilakukan melalui mekanisme
pembobotan terhadap tiap unsur TOWS berdasarkan tingkat kepentingan.
Berikut disajikan matriks pembobotan dari tiap unsur TOWS :
Tabel 4 Pembobotan tiap unsur TOWS
Kekuatan Bobot Peluang Bobot Kelemahan Bobot Ancaman Bobot
25
Setelah masing-masing unsur TOWS diberi bobot/nilai, unsur-unsur
tersebut dihubungkan untuk memperoleh beberapa alternatif strategi (SO, ST,
WO, WT). Pemilihan alternatif strategi yang diproritaskan untuk dilakukan
didasarkan pada rangking dari masing-masing strategi alternatif. Strategi
dengan rangking tertinggi merupakan alternatif strategi yang menjadi prioritas.
Alternatif strategi pada matriks hasil analisis TOWS (Tabel 5) dihasilkan
dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada
(SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan
datang (ST), reduksi kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang
tersedia (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi
ancaman yang akan datang (WT).
Tabel 5 Matriks hasil analisis TOWS
Peluang Ancaman
Strategi yang dihasilkan terdiri atas beberapa alternatif strategi. Untuk
menentukan prioritas strategi, maka harus dilakukan penjumlahan bobot yang
berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur TOWS yang terdapat dalam suatu
alternatif strategi. Jumlah bobot tadi kemudian akan menentukan rangking
Tabel 6 Rangking alternatif strategi
No Unsur TOWS Keterkaitan Jumlah
Bobot Rangking
Strategi SO
1. SO1 S1, S2, ..Sn , O1, O2, On
SO2 S1,S2, ..Sn, O1, O2, ..On
... ...
SOn S1, S2, S4, Sn, O1, O2,
...On Strategi ST
ST1 S1, S2,.. Sn, T1, T2,..Tn
ST2 S1, S2,.. Sn, T1, T2,..Tn
...
STn S1, S2,.. Sn, T1, T2,..Tn
Strategi WO
WO1 W1, W2, ..Wn, O1, O2,
..Wn
WO2 W1, W2, ..Wn, O1, O2, ..On
... ...
WOn W1, W2, ..Wn, O1, O2, ..On
Strategi WT
WT1 W1, W2, Wn, T1, T2,
...Tn
WT2 W1, W2, ....Wn, T1, T2,
...Tn ...
.
... ..
...
N WTn W1, W2, ....Wn, T1 , T2,....
4 PROFIL PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN KELAUTAN
DAN PERIKANAN
4.1 Pendidikan Menengah Kejuruan Kelautan dan Perikanan
Pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan merupakan program pendidikan yang secara khusus memberikan pengenalan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) bidang kelautan dan perikanan kepada para siswa yang dididiknya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990, pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu.
Penyelenggaraan pendidikan kejuruan kelautan dan perikanan merupakan upaya mengoptimalkan pemberdayaan potensi perikanan laut yang selama ini hanya diserahkan oleh para nelayan yang sebagian besar kurang berpendidikan yakni hanya tamatan SD atau kurang, sehingga masih ketinggalan dalam penguasaan iptek bidang kelautan. Upaya tersebut diatas dimaksudkan untuk mendorong proses pembudayaan dan penguasaan iptek serta penyiapan tenaga kerja agar dapat berperan dalam memanfaatkan sumber potensi kelautan Indonesia. Karena potensi kelautan tersebut merupakan salah satu kekuatan yang harus dimanfaatkan, meskipun dengan berbagai isu mengikuti dan menjadi pertimbangan manajemen seperti illegal, unreported and unregulated fishing (IUU fishing), dan di sisi lain peluang ini harus sinerji dengan kebijakan optimasi sumber daya.
Terdapat beberapa program studi yang dikembangkan pada sekolah pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan, khusus bagi lulusan pendidikan tersebut yang dipersiapkan sebagai tenaga kerja kepelautan adalah program studi Nautika Perikanan Laut (NPL) dan Teknika Perikanan Laut (TPL). Tenaga kerja yang dimaksud adalah lulusan yang siap menjadi tenaga kerja yang berorientasi kerja pada kapal penangkap ikan sesuai untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan oleh armada-armada penangkapan ikan yang berskala industri.
Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Kelautan dan Perikanan, namun melibatkan peran serta pemerintah daerah maupun lembaga masyarakat (yayasan/swasta).
Kebutuhan terhadap SDM kelautan dan perikanan di era otonomi daerah semakin tinggi mengingat banyaknya daerah yang merasa memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan tetapi belum didukung oleh tersedianya SDM yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal.
Sehubungan dengan hal tersebut maka aspirasi masyarakat untuk mendirikan sekolah baru maupun dalam rangka pembinaan terhadap sekolah yang sudah ada memerlukan kebijakan dalam bentuk ketentuan yang berperan sebagai pengendali sedemikian rupa agar penyelenggaraan sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Strategi terhadap ketentuan pengembangan pendidikan menengah perikanan hendaknya merupakan hasil sinergitas dari lembaga yang bertanggung jawab atas pengembangan sektor teknis dan sektor pendidikan.
4.2 Jumlah dan Penyebaran Sekolah Pendidikan Menengah Kejuruan Kelautan dan Perikanan
29
Pengembangan SMK bidang kelautan dan perikanan yang dimulai pada tahun 2000 sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Depdiknas merupakan bidang atau program keahlian pengalihan yang masih relevan dan prospektif terserap di pasar kerja karena kelompok program bisnis dan manajemen diproyeksikan merupakan program yang akan mengalami kejenuhan di pasar kerja. Namun demikian, keberadaan lembaga diklat dimaksud merupakan kekuatan yang perlu dioptimalkan dalam pencapaian tenaga perikanan yang kompeten dan berpeluang untuk menggantikan tenaga kerja asing (TKA) di industri perikanan tangkap ataupun berpeluang untuk mengisi permintaan tenaga kerja perikanan menengah di luar negeri. Hal ini memungkinkan karena beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah mengakui terhadap kompetensi yang dihasilkan oleh diklat perikanan menengah tersebut. Penyebaran pendidikan menengah kejuruan bidang kelautan dan perikanan pada setiap propinsi di Indonesia pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran jumlah lembaga lendidikan menengah perikanan (SMK/SUPM) yang mengembangkan program studi Nautika Perikanan Laut (NPL) dan program studi Teknika Perikanan Laut (TPL) per propinsi tahun 2005
No. Propinsi SMK SUPM
NPL TPL NPL TPL
1. Sumatera 19 9 3 3
2. Jawa dan Bali 50 14 1 1
3. Kalimantan 5 1 1 1
4. Sulawesi 21 4 1 -
5. Maluku 9 3 1 1
6. NTB 4 1 - 1
7. NTT 7 1 1 1
8. Papua 4 1 1 1
Sumber : Direktorat Pendidikan dan Menengah Kejuruan Depdiknas,2005
Keterangan :
NPL : Nautika Perikanan Laut TPL : Teknika Perikanan Laut
memadai dibandingkan di daerah lain di Indonesia. Hal ini dapat terjadi diantaranya karena hal-hal berikut :
(1) sebagian besar SMK yang berada di Jawa merupakan SMK pengalihan bidang studi (transformasi pada bidang kejuruan yang lain), sehingga memungkinkan penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan prasarana yang tersedia dapat berjalan walaupun sarana pendidikan yang lebih mendukung bagi pelaksanaan praktek kelautan dan perikanan masih jauh dari lengkap.
(2) Banyaknya jumlah armada penangkapan ikan yang beroperasi di wilayah utara Jawa
(3) Pulau Jawa merupakan daerah yang lebih berkembang dibandingkan dengan daerah-daerah yang berada di pulau-pulau lain di Indonesia, sehingga pengembangan pendidikan lebih cepat terjadi di pulau Jawa
Gambaran penyebaran SMK bidang kelautan dan perikanan dan SUPM program studi Nautika Perikanan Laut (NPL) dan Teknika Perikanan Laut (TPL) di seluruh Indonesia sebagaimana terlihat pada Gambar 3 dan 4
.
31
Gambar 4 Lokasi penyebaran SMK bidang kelautan dan perikanan serta SUPM program studi TPL di seluruh Indonesia
4.3 Standar Pengembangan Program Studi NPL dan NPL
Menyongsong era globalisasi khususnya persiapan dalam menghadapi era perdagangan bebas maka tenaga pelaut khususnya pelaut kapal penangkap ikan harus mampu berkompetisi dengan pelaut dari negara lain. Khususnya bagi pelaut di dalam negeri diharapkan agar mampu menggantikan posisi yang sekarang masih diisi pelaut asing. Sehubungan dengan hal tersebut kebijakan pengembangan pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat memenuhi keinginan pasar tenaga kerja sangatlah memerlukan acuan yang telah diakui secara regional maupun internasional.
International Maritime Organization (IMO) pada tahun 1995 telah mengeluarkan suatu konvensi yang telah disepakati oleh anggotanya, walaupun belum diratifikasi, merupakan ketentuan yang diakui telah memenuhi semua unsur yang menggambarkan kemampuan seorang personil / awak kapal yang berkualitas. Konvensi 1995 ini juga merupakan konvensi untuk mengatur standar pelatihan, ujian dan sertifikasi pelaut pada kapal penangkap ikan.
Standard of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel
Personnel (STCW-F 1995) secara prinsip mengatur pelatihan, ujian dan sertifikasi serta jaga laut bagi awak kapal penangkap ikan. Penggolongan kapal penangkap ikan dalam konvensi ini menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Kapal penangkap ikan yang berukuran panjang kurang dari 12 m;
2. Kapal penangkap ikan yang berukuran panjang dari 12 m sampai dengan kurang dari 24 m; dan
3. Kapal penangkap ikan yang berukuran panjang dari 24 m atau lebih
Untuk pelatihan awak kapal dari masing-masing kelompok tersebut di atur dengan standar minimum pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh awak kapal untuk nakhoda (skipper), perwira (officer), KKM (chief enginer), masinis II (second enginer), ABK senior (skilled fisher), awak kapal penangkap ikan (fishing vessel personnel). Sedangkan untuk sertifikasi di atur persyaratan umur, kesehatan dan penerbit sertifikat. Demikian juga untuk jaga laut, hal ini diatur kewajiban-kewajiban perwira jaga maupun awak kapal dalam melaksanakan jaga laut.
Disamping belajar dari pengalaman di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang telah mengadopsi STCW 1995 yang mengatur tentang pelaut kapal niaga maka Departemen Kelautan dan Perikanan mengeluarkan ketetapan bahwa pengembangan pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan kepelautan perikanan mengacu pada STCW-F 1995. Kebijakan ini selanjutnya juga diikuti oleh pendidikan menengah perikanan yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan. Hal kongkret implementasi ini adalah acuan mata uji untuk ahli nautika dan ahli teknika kapal penangkap ikan telah disesuaikan dengan mata uji pada konvensi tersebut serta didukung oleh Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 09/2005 tentang Pendidikan dan Pelatihan, Ujian serta Sertifikasi Pelaut Kapal Penangkap Ikan. Hal ini merupakan salah satu kekuatan sertifikasi karena mengacu pada ketentuan internasional yang telah berlaku. Dampak dari sertifikasi tersebut dan sekaligus sebagai ancaman adalah pelanggaran terhadap pengawakan dan persaingan tenaga kerja. Sehingga perlu pemahaman pemangku kepentingan dalam regulasi dan implementasi pengawakan kapal penangkap ikan.
4.3.1 Sarana dan prasarana