• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengeluaran Dan Konsumsi Bumbu Dalam Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengeluaran Dan Konsumsi Bumbu Dalam Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELUARAN DAN KONSUMSI BUMBU DALAM RUMAH

TANGGA MISKIN DI KECAMATAN CIAWI,

KABUPATEN BOGOR

FINABILLA CITRA AHMADYATI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengeluaran dan Konsumsi Bumbu dalam Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

(3)

ABSTRAK

FINABILLA CITRA AHMADYATI. Pengeluaran dan Konsumsi Bumbu dalam Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengeluaran dan konsumsi bumbu pada rumah tangga miskin di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian yang berjudul “Validasi Metode HDDS (Household Dietary Diversity Score) untuk Identifikasi Rumah

Tangga Rawan Pangan di Indonesia” (Baliwati dan Briawan 2013). Desain penelitian ini adalah cross sectional study, pada 105 rumah tangga miskin. Penelitian dilakukan di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Data konsumsi bumbu diperoleh dengan cara penimbangan dan catatan belanja bumbu. Pengeluaran bumbu rumah tangga terbesar adalah untuk membeli cabai yaitu sebesar Rp 7 409/rumah tangga/ minggu. Rumah tangga contoh paling banyak mengonsumsi gula, rata-rata sebesar 3.60 g/kapita/hari. Karakteristik rumah tangga tidak berhubungan dengan total pengeluaran bumbu rumah tangga (p>0.05). Total pengeluaran bumbu berhubungan dengan konsumsi cabai, bawang putih, dan bawang merah. Pengeluaran kecap dengan konsumsi kecap memiliki korelasi negatif (p = 0.047, r = -0.194), sedangkan korelasi yang positif antara pengeluaran garam (p = 0.001, r = 0.067), bumbu penyedap (p = 0.009, r = 0.253), dan bawang putih (p = 0.000, r = 0.520) dengan konsumsi bumbu, artinya semakin besar pengeluaran maka konsumsinya juga semakin besar.

Kata kunci : bumbu, konsumsi bumbu, pengeluaran bumbu, rumah tangga

ABSTRACT

FINABILLA CITRA AHMADYATI. The Expenditure and Consumption of Spices in Poor Households, Ciawi, Bogor District. Supervised by DODIK BRIAWAN.

The aim of this study is analyzing the spices expenditure and consumption of poor households in Ciawi, Bogor District. Source of the data was secondary

(4)

salt (p = 0.001, r = 0.067), flavorings (p = 0.009, r = 0.253), and garlic (p = 0.000, r = 0.520) which mean the bigger expense tend to bigger consumption.

(5)

PENGELUARAN DAN KONSUMSI BUMBU DALAM RUMAH

TANGGA MISKIN DI KECAMATAN CIAWI,

KABUPATEN BOGOR

FINABILLA CITRA AHMADYATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

Dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Pengeluaran dan Konsumsi Bumbu dalam Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor

Nama : Finabilla Citra Ahmadyati NIM : I14134018

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan karya ilmiah yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 sampai Oktober 2015 ini, dengan judul

“Pengeluaran dan Konsumsi Bumbu dalam Rumah Tangga Miskin di Kecamatan

Ciawi, Kabupaten Bogor” dengan baik. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian besar mengenai Validasi Metode HDDS (Household Dietary Diversity Score) untuk Identifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Indonesia diketuai oleh Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan dorongan sehingga penyusunan karya ilmiah ini terselesaikan, serta kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan koreksi dan masukannya demi perbaikan karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan untuk keluarga, Ahmad Mulyono,SH (Ayah), Kusmiyati (Ibu), kedua adik saya Muh. Ferizqo dan Sheila Ramadani atas doa, motivasi, dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.

Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Helmiyati, Galih Rakasiwi, Sofya Maya, Gigih Arif, Nurul Hudachair atas motivasi dan bantuan sarana yang telah diberikan. Kepada teman-teman seperjuangan Wahyu Laila dan Vina Dwinata atas kebersamaan selama 2 tahun ini, serta teman-teman Alih Jenis GM angkatan 7 atas dukungan dan bantuannya.

Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya.

Bogor, Januari 2016

(9)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 9

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan 3

Manfaat 3

KERANGKA PEMIKIRAN 4

METODE 6

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 6

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 6

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 6

Pengolahan dan Analisis Data 7

Definisi Operasional 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Karakteristik Rumah Tangga 10

Pengeluaran Bumbu 12

Konsumsi Bumbu 16

Pengeluaran Bumbu menurut Karakteristik Rumah Tangga 20

Hubungan Pengeluaran Bumbu dengan Konsumsi Bumbu 26

SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 31

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jenis variabel dan cara pengolahan data 8

2 Karakteristik rumah tangga 11

3 Rata-rata pengeluaran bumbu 14

4 Sebaran pengeluaran bumbu rumah tangga sebulan 16

5 Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga 17

6 Sebaran konsumsi bumbu perkapita sehari 18

7 Konsumsi gula rumah tangga (g/kapita/hari) 19

8 Konsumsi natrium rumah tangga (mg/kapita/hari) 19

9 Rata-rata total konsumsi natrium rumah tangga 20

10 Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut besar

rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan) 20

11 Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut

pendidikan kepala rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan) 21 12 Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut

pekerjaan kepala rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan) 23 13 Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut

pendapatan kepala rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan) 25 14 Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga sebulan menurut total

pengeluaran bumbu (g/rumah tangga/bulan) 26

15 Hubungan pengeluaran bumbu dengan konsumsi bumbu 29

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran tentang konsumsi bumbu rumah tangga 5

(11)
(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan hak asasi manusia yang pemenuhannya telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar agar terwujud sumber daya manusia berkualitas. Pangan dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Pangan menurut Permenkes nomor 41 tahun 2014 yaitu segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman.

Ketahanan pangan mempunyai peran penting dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumberdaya manusia dan stabilitas sosial politik sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan. Pemerintah berperan penting dalam penentu kebijakan terhadap masalah pangan, terlebih rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk pangan masih di atas 60%. Pengurangan bantuan terhadap petani di negara berkembang menyebabkan tingkat kemiskinan tidak membaik dan mengancam ketahanan pangan (Ilham et al. 2006).

Harga pangan merupakan salah satu aspek dalam ekonomi pangan yang selalu dimonitor oleh pemerintah secara berkala karena bila terjadi kenaikan harga yang tajam berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks seluruh kelompok pengeluaran. Laju inflasi bulanan Jawa Barat pada bulan Januari, Februari, dan Maret tahun 2013 secara berturut-turut adalah sebesar 1.05%, 0.79%, 0.79%. Meskipun demikian, inflasi pada bulan Maret 2013 secara bulanan lebih tinggi daripada inflasi pada bulan Maret selama 5 tahun terakhir. Tingginya tekanan inflasi bulanan selama triwulan I – 2013 lebih disebabkan karena tekanan pada kelompok bahan makanan. Beberapa bumbu menjadi penyumbang inflasi pada triwulan I – 2013 di Jawa Barat yaitu cabai merah, bawang putih dan bawang merah. Bumbu tersebut bahkan beberapa menjadi penyumbang inflasi tertinggi. Cabai menempati urutan kedua penyumbang inflasi pada bulan Januari tahun 2013 dengan sumbangan 0.14%. Bawang putih menjadi penyumbang inflasi tertinggi pada bulan Februari 2013 dengan sumbangan sebesar 0.13%. Bawang merah menjadi penyumbang inflasi terbesar pada bulan Maret 2013, yaitu sebesar 0.65% (BI 2013).

Rata-rata pengeluaran untuk bumbu penduduk Indonesia pada bulan Maret tahun 2013 yaitu sebesar Rp6 783/kapita/bulan atau 0.96% dari total pengeluaran sebulan. Penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan memiliki rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok bumbu-bumbuan lebih kecil daripada penduduk yang tinggal di perkotaan. Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk perdesaan dan perkotaan yaitu sebesar Rp6 454 dan Rp7 114 (BPS 2013).

(14)

2

perhatian khusus pemerintah yang dituangkan dalam Pedoman Gizi Seimbang mengenai pembatasan makanan manis, asin, dan berlemak (Kemenkes 2014). Pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak untuk pangan olahan dan siap saji juga telah diatur dalam Permenkes nomor 30 tahun 2013, dengan menimbang masyarakat perlu untuk dilindungi dari risiko penyakit terutama hipertensi, stroke, diabetes dan serangan jantung (Kemenkes 2013). Bumbu merupakan salah satu kelompok pangan yang digunakan dalam perhitungan skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang menggambarkan tingkat konsumsi pangan maupun mutu keanekaragaman konsumsi pangan (BKP 2014).

Beberapa bumbu masih menjadi perhatian dan sering dikaitkan dengan masalah gizi yang ditimbulkan akibat konsumsi yang berlebihan, seperti gula dan garam. Menurut WHO (2003) dalam Hardinsyah (2011), dalam studi epidemiologi terbukti terdapat hubungan yang positif antara konsumsi lemak, gula, dan garam dengan kejadian penyakit jantung koroner, serta konsumsi lemak jenuh dan garam dengan hipertensi. Selain itu, kecap dan bumbu penyedap juga berkaitan dengan masalah gizi dan penyakit degeneratif karena merupakan produk yang masih mengandung garam natrium. Bumbu-bumbu yang banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia yaitu gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai, bawang putih dan bawang merah (BPS 2013).

Terdapatnya permasalahan di atas membuat perlunya penelitian mengenai pengeluaran dan konsumsi bumbu pada rumah tangga. Mengingat bumbu mempunyai banyak peranan dalam menunjang kebutuhan konsumsi sehari-hari di rumah tangga. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya, tercatat perkembangan jenis makanan dengan citarasa yang beragam pula. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya penambahan bumbu sehingga tercipta citarasa dan kekhasan suatu makanan. Penelitian mengenai bumbu belum banyak dilakukan, oleh karena itu penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut mengenai pengeluaran dan konsumsi bumbu di rumah tangga terutama pada rumah tangga miskin.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan pokok-pokok permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran karakteristik rumah tangga miskin di kecamatan Ciawi ? 2. Bagaimana gambaran pengeluaran bumbu pada rumah tangga miskin di

kecamatan Ciawi ?

3. Bagaimana gambaran konsumsi bumbu pada rumah tangga miskin di kecamatan Ciawi ?

4. Apakah terdapat hubungan karakteristik rumah tangga miskin dengan pengeluaran bumbu rumah tangga ?

(15)

3

Tujuan

Tujuan Umum

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengeluaran dan konsumsi bumbu pada rumah tangga miskin.

Tujuan Khusus :

1. Mengidentifikasi karakteristik rumah tangga miskin (besar rumah tangga, usia ibu dan kepala rumah tangga, pendidikan ibu dan kepala rumah tangga, pekerjaan ibu dan kepala rumah tangga, pendapatan kepala rumah tangga). 2. Menganalisis pengeluaran bumbu rumah tangga.

3. Menganalisis konsumsi bumbu rumah tangga.

4. Menganalisis hubungan karakteristik rumah tangga dengan pengeluaran bumbu rumah tangga.

5. Menganalisis hubungan pengeluaran bumbu dengan konsumsi bumbu rumah tangga.

Manfaat

(16)

4

KERANGKA PEMIKIRAN

Penyediaan pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan secara berkelanjutan. Pemerintah daerah sebagai perencana pangan, menurut UU Pangan nomor 18 tahun 2012 diharuskan memperhatikan beberapa aspek salah satunya kebutuhan konsumsi pangan dan tingkat pendapatan petani. Bumbu merupakan pangan yang selalu digunakan oleh rumah tangga untuk pengolahan makanan. Penggunaan bumbu tersebut dipengaruhi oleh belanja rumah tangga. Keputusan untuk membeli pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu yaitu karakteristik rumah tangga dan juga faktor lain. Karakteristik rumah tangga meliputi, besar rumah tangga, usia, pendidikan, pekerjaan, serta pendapatan rumah tangga, sedangkan faktor lain yang mempengaruhi pengeluaran bumbu meliputi, rasa, tempat pembelian, sumber informasi, promosi, dan harga.

Besar atau kecilnya jumlah anggota rumah tangga akan menentukan seberapa banyaknya kebutuhan pangan yang harus dipenuhi oleh rumah tangga. Pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin banyak pengetahuan yang diperoleh. Namun, hal tersebut tidak menjamin bahwa orang dengan pendidikan yang rendah mempunyai pengetahuan yang rendah pula, karena pengetahuan tidak hanya didapat melalui pendidikan formal saja namun juga melalui pendidikan nonformal. Pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap pendapatan yang didapatkan orang tersebut. Pendapatan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi makan sehari-hari. Rendahnya pendapatan keluarga akan berdampak pada berkurangnya kesempatan untuk mendapatkan pangan dengan kualitas baik. Tingginya pendapatan suatu rumah tangga berarti semakin besar tingkat aksesibilitas dalam mendapatkan pangan yang baik. Pendapatan yang rendah akan mengakibatkan buruknya kondisi pangan rumah tangga.

(17)

5

Keterangan :

= variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran tentang penggunaan bumbu rumah tangga Karakteristik rumah tangga

Besar rumah tangga

Pendidikan kepala rumah

tangga

Pekerjaan kepala rumah

tangga

Pendapatan kepala rumah

tangga

Pengeluaran Bumbu Faktor lain :

 Rasa

 Tempat pembelian  Sumber informasi  Promosi

 Harga Konsumsi

bumbu rumah tangga

Kontribusi Zat Gizi terhadap pembatasan gula dan garam

(18)

6

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Desain studi penelitian ini adalah studi cross sectional. Penelitian ini

menggunakan data sekunder dari penelitian yang berjudul “Validasi Metode

HDDS (Household Dietary Diversity Score) untuk Identifikasi Rumah Tangga

Rawan Pangan di Indonesia” (Baliwati dan Briawan 2013). Penelitian ini

dilakukan pada Mei – Oktober 2013 di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan, analisis, dan interpretasi data akan dilakukan pada bulan Agustus – Oktober 2015 di Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat.

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Penelitian ini menggunakan contoh yang digunakan dalam penelitian

“Validasi Metode HDDS (Household Dietary Diversity Score) untuk Identifikasi

Rumah Tangga Rawan Pangan di Indonesia” (Baliwati dan Briawan 2013).

Jumlah rumah tangga yang diambil sebanyak 105 rumah tangga dari wilayah Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kriteria inklusi contoh adalah termasuk ke dalam kelompok rumah tangga miskin. Berikut tahapan pemilihan kecamatan, desa, dan rumah tangga yang menjadi unit penelitian: 1. Kecamatan Ciawi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dipilih dengan

pertimbangan bahwa wilayah tersebut mewakili wilayah agroekologi pertanian. 2. Dari Kecamatan tersebut dipilih satu desa sebagai lokasi penelitian berdasarkan

rekomendasi dari kecamatan terkait.

3. Dari desa terpilih kemudian dipilih satu RW yang dianggap mewakili karakteristik kecamatan terkait. Penentuan RW dilakukan berdasarkan rekomendasi dan arahan dari kantor desa.

4. Rumah tangga contoh ditentukan secara purposive berdasarkan data rumah tangga yang memenuhi kriteria inklusi yang diperoleh dari Ketua RT dan RW dengan pertimbangan bahwa Ketua RT/RW lebih mengerti kondisi sesungguhnya.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(19)

7

pendidikan kepala dan ibu rumah tangga, pekerjaan kepala dan ibu rumah tangga, dan pendapatan kepala rumah tangga. Data karakteristik rumah tangga dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner.

Data pengeluaran bumbu (gula, garam, kecap, bumbu masak, cabai, bawang putih, dan bawang merah) didapatkan dari wawancara langsung dengan kuesioner. Data diperoleh dengan menanyakan kebiasaan belanja bumbu pada rumah tangga, kemudian mengisi form kuesioner dengan besaran Rupiah. Petugas hanya mengisi pada salah satu kolom kuesioner baik pada kolom harian, mingguan, maupun bulanan.

Data konsumsi bumbu (gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai, bawang putih, dan bawang merah) diperoleh dengan metode penimbangan makanan dan catatan belanja bumbu. Pengukuran dilakukan selama seminggu (7 hari) dengan cara penimbangan dan catatan belanja bumbu. Pengumpulan data dilakukan 3 kali dari 7 hari pengamatan yaitu pada hari pertama, keempat dan ketujuh. Petugas pengumpul data dibekali informasi berdasarkan survei pasar harga bumbu dan beratnya. Bumbu ditimbang menggunakan timbangan makanan dengan hasil pengukuran dalam bentuk gram (g). Konsumsi makanan jajanan rumah tangga diperoleh dengan food recall 1x24 jam.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program komputer yaitu program Microsoft Excel 2010 dan SPSS 16.0 for Windows. Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan inferensia. Statistik deskriptif disajikan dengan distribusi frekuensi, persentil dan nilai rata-rata. Data disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara statistik deskriptif meliputi pengeluaran bumbu, konsumsi bumbu, dan karakteristik rumah tangga (besar rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, pekerjaan kepala rumah tangga dan pendapatan kepala rumah tangga).

Data pengeluaran bumbu ditulis dalam bentuk rupiah. Data pengeluaran bumbu ditanyakan kepada responden tergantung dari pembelian bumbu, ditulis dalam bentuk rupiah/hari, rupiah/minggu, atau rupiah/bulan. Data tersebut digunakan untuk melihat pola pengeluaran pada masing-masing bumbu di rumah tangga. Data tersebut kemudian dikonversi ke dalam rupiah/rumah tangga dan rupiah/kapita sesuai dengan pola pengeluaran terbanyak, baik dalam bentuk bulan, minggu, ataupun hari. Data pengeluaran bumbu (Rp/kapita/bulan) juga disajikan dalam bentuk sebaran persentil yaitu P25, P50, dan P75.

Data konsumsi bumbu masing-masing rumah tangga dihitung dalam satuan gram per rumah tangga contoh. Data ini dikonversi ke dalam bentuk gram/rumah tangga, gram/kapita sesuai dengan pola pengeluaran terbanyak baik dalam bentuk bulan, minggu, ataupun hari. Rata-rata konsumsi bumbu per kapita rumah tangga contoh dihitung dari hasil pembagian antara berat bumbu yang digunakan rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga contoh. Data konsumsi gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai, bawang merah, dan bawang putih (g/kapita/hari) disajikan menurut sebaran persentil yaitu P25, P50, dan P75.

(20)

8

natrium pada makanan. Hasil kandungan natrium yang diperoleh dari makanan jajanan tersebut kemudian dijumlahkan dengan natrium yang dikonsumsi rumah tangga di rumah yang berasal dari konsumsi garam, kecap, dan bumbu penyedap. Konsumsi gula diperoleh dengan menjumlahkan gula yang dikonsumsi di dalam rumah dengan gula yang dikonsumsi dari makanan jajanan.

Tabel 1 Jenis variabel dan cara pengolahan data

No Variabel Kategori Keterangan

1 Besar rumah 4. Dewasa lanjut (> 50 tahun)

Hurlock (1980)

3 Tingkat pendidikan 1. Tidak sekolah 2. SD

(21)

9

pengeluaran bumbu dengan karakteristik rumah tangga dianalisis dengan uji korelasi Spearman dengan taraf nyata p < 0.05 (derajat kepercayaan 95%).

Data total pengeluaran bumbu dan konsumsi bumbu disajikan dengan tabel tabulasi silang. Pengeluaran bumbu dibagi menjadi 4 kategori menurut sebaran kuartil yaitu: (1)<Q1, (2)Q1 – Q2 (3)Q2 – Q3, (4)> Q3. Konsumsi bumbu disajikan dalam bentuk rataan. Hubungan antara pengeluaran masing-masing bumbu, total pengeluaran bumbu dengan konsumsi masing-masing bumbu dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman dengan taraf nyata p < 0.05 (derajat kepercayaan 95%). Pengeluaran bumbu dalam bentuk Rp/rumah tangga/bulan, sedangkan konsumsi bumbu dalam bentuk g/rumah tangga/bulan.

Definisi Operasional

Besar rumah tangga adalah total jumlah anggota rumah tangga.

Bumbu adalah bahan pangan tambahan yang digunakan dalam memasak di rumah tangga tersebut berupa gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai, bawang putih, dan bawang merah.

Contoh adalah rumah tangga miskin yang dipilih di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Karakteristik rumah tangga adalah data kondisi demografi dan sosial ekonomi keluarga yang meliputi besar rumah tangga, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan kepala rumah tangga.

Konsumsi bumbu adalah jumlah bumbu yang dikonsumsi rumah tangga untuk mengolah makanan dan minuman di rumah dalam satuan gram.

Makanan jajanan adalah makanan yang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga, yang dibeli atau didapatkan dari luar rumah.

Pekerjaan ibu dan kepala rumah tangga adalah aktivitas yang dilakukan oleh ayah dan ibu baik terikat maupun tidak terikat oleh waktu untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Pendapatan kepala rumah tangga adalah pendapatan yang diterima per bulan yang diperoleh kepala rumah tangga dalam satuan rupiah dengan kategori (1)< Rp300 000, (2)Rp300 000 – Rp800 000, (3)Rp801 000 – Rp1 300 000, (4)Rp1 301 000 – Rp1 800 000, (5) > Rp1 800 000

Pengeluaran bumbu jumlah nominal bumbu yang dibeli harian/mingguan/bulanan dalam satuan rupiah.

Pola belanja bumbu adalah kebiasaan rumah tangga dalam membeli bumbu di rumah dalam bentuk harian, mingguan, ataupun bulanan

Rumah tangga adalah tempat dimana sekelompok orang yang tinggal di bawah satu atap dan makan disatu dapur yang sama.

Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang ditempuh, kemudian dikategorikan menurut jenjang pendidikan.

(22)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Rumah Tangga

Rumah tangga merupakan suatu kesatuan ekonomi, pusat untuk berproduksi, untuk mendatangkan penghasilan dan untuk konsumsi anggotanya serta untuk memberikan kasih sayang, semakin diakui fungsinya. Dalam kaitan dengan kesejahteraan, bahwa unit sosial rumah tangga merupakan kesatuan sosial budaya. Rumah tangga merupakan saluran sosialisasi nilai-nilai kesejahteraan yang direfleksikan melalui upacara pertukaran (komunikasi) cerita pengalaman hidup (Suharma 2005).

Pada tahun 2010 penduduk di Kabupaten/Kota Jawa Barat yang terbanyak di Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 4.8 juta jiwa dan diikuti oleh Kabupaten Bandung 3.2 juta jiwa. Jumlah rumah tangga di Bogor yaitu 1 037 408 rumah tangga. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 4 852 520 jiwa. Adapun penduduk miskin tertinggi berada di Kabupaten Bogor yaitu 446 040 jiwa atau 9.19% (BPS 2011).

Kondisi kemiskinan di perdesaan disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, diantaranya adalah kesempatan kerja. Seseorang menjadi miskin karena menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau jika tidak bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan atau tahun. Apabila orang yang bersangkutan memperoleh pekerjaan dengan upah atau gaji yang memadai, maka orang tersebut akan terbebas dari kemiskinan (Suharma 2005).

Besar rumah tangga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama (Wardah 2014). Ukuran rumah tangga dikategorikan menjadi tiga yaitu keluarga kecil yang beranggotakan < 4 orang, keluarga sedang yang beranggotakan 5 - 7 orang dan keluarga besar ≥ 7 orang (BKKBN 1998). Lebih dari separuh (55.23%) rumah tangga merupakan rumah tangga sedang dengan jumlah antara 5 - 7 orang. Besarnya jumlah anggota rumah tangga berpengaruh terhadap kebutuhan pangan rumah tangga. Semakin banyak jumlahnya, maka kebutuhan juga akan semakin banyak (Amaliyah dan Handayani 2011). Sebaran besar rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 2.

(23)

11

Tabel 2 Karakteristik rumah tangga

No Karakteristik Kepala rumah tangga Ibu rumah tangga

n % n %

1 Besar rumah tangga

Kecil (≤ 4 orang) 32 30.47

Sedang (5 - 7 orang) 58 55.23

Besar (≥ 8 orang) 15 14.30

2 Usia (tahun)

Remaja (< 20 tahun) 0 0.00 1 0.95

Dewasa muda (21 - 30 tahun) 27 25.71 57 54.29

Dewasa madya (31 - 50 tahun) 74 70.48 47 44.76

Dewasa lanjut (> 50 tahun) 4 3.81 0 0.00

3 Tingkat pendidikan

Tidak sekolah 0 0.00 2 1.91

SD 69 65.71 79 75.24

SLTP 24 22.86 18 17.14

SLTA 12 11.43 5 4.76

PT 0 0.00 1 0.95

4 Pekerjaan

Tidak bekerja 2 1.91 7 6.67

Petani 8 7.62 0 0.00

Buruh tani 71 67.62 2 1.91

Buruh nontani 11 10.47 1 0.95

Pedagang 2 1.91 0 0.00

Pengamen 0 0.00 0 0.00

PNS/ABRI/Polisi 1 0.95 0 0.00

Jasa 5 4.76 3 2.85

Ibu rumah tangga 0 0.00 92 87.62

Lainnya 5 4.76 0 0.00

5 Pendapatan

< Rp300 000 4 3.81

Rp300 000 - Rp800 000 64 60.96

Rp801 000 - Rp1 300 000 30 28.57

Rp1 301 000 - Rp1 800 000 3 2.85

> Rp1 800 000 4 3.81

n = jumlah rumah tangga contoh

(24)

12

menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) (Budiman 2006). Sebagian besar kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga masih mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Baik kepala rumah tangga (65.71%) maupun ibu rumah tangga (75.24%) masih memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD). Tingkat pendidikan yang relatif rendah pada rumah tangga rawan pangan terkait erat dengan kemiskinan yang mereka hadapi. Dalam kondisi kemiskinan dengan terbatasnya pendapatan, mereka masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer seperti pangan, sehingga pendidikan bukan prioritas mereka (Ariningsih dan Rachman 2008).

Sebagian besar (67.62%) pekerjaan kepala rumah tangga adalah sebagai buruh tani, dan sebagian besar (87.62%) ibu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Suhardjo 1989). Jumlah buruh tani yang masih banyak menunjukkan bahwa kepemilikan lahan sawah di Desa Citapen tidak tersebar merata, dengan kata lain kepemilikan lahan hanya dimiliki sebagian kecil penduduk (Novitasari 2014).

Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan dalam ekonomi rumah tangga. Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar kepala rumah tangga berpenghasilan antara Rp300 000 - Rp800 000. Rumah tangga dapat dikatakan termasuk dalam rumah tangga miskin dikarenakan berpenghasilan rendah kurang dari garis kemiskinan Kabupaten Bogor yaitu Rp 271 970/kapita/bulan (BPS 2015). Dalam upaya pemantapan ketahanan pangan, tingkat pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor kunci bagi rumah tangga untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan (Rachman et al. 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih et al. (2010), tingkat ketahanan pangan rumah tangga di pedesaan lebih rendah daripada rumah tangga di perkotaan. Rumah tangga di pedesaan sebagian besar rentan dan rawan pangan dibandingkan rumah tangga di perkotaan yang sebagian besar kurang pangan dan tahan pangan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendapatan yang diterima oleh rumah tangga kurang pangan lebih tinggi daripada rumah tangga rentan pangan. Wilayah penelitian disini merupakan wilayah perdesaan yang berarti mempunyai pendapatan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pendapatan penduduk yang tinggal di perkotaan.

Pengeluaran Bumbu

(25)

13

untuk barang tersebut juga akan berubah. Salah satu pengeluaran rumah tangga adalah pengeluaran untuk makanan (Trisnowati dan Budiwinarto 2013).

Dalam ilmu ekonomi semua pengeluaran selain yang digunakan untuk tabungan dinamakan konsumsi. Konsumsi merupakan hal yang mutlak diperlukan setiap orang untuk bertahan hidup. Pengeluaran masyarakat miskin lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam bentuk pangan, pada saat yang sama sangat sedikit pengeluaran konsumsi untuk jenis non pangan (Anwar 2010).

Gambar 2 Distribusi belanja bumbu rumah tangga

(26)

14

Tabel 3 Rata-rata pengeluaran bumbu

Jenis bumbu

Tabel 3 menunjukkan rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga contoh. Pengeluaran terbesar adalah untuk membeli cabai yaitu sebesar Rp7 409/rumah tangga/minggu. Pengeluaran yang besarnya tidak jauh berbeda dengan cabai yaitu pengeluaran bawang merah yaitu sebesar Rp7 378/rumah tangga/minggu. Pengeluaran terkecil rumah tangga digunakan untuk membeli garam yaitu dengan pengeluaran sebesar Rp784/rumah tangga/minggu. Pada rata-rata pengeluaran perkapita, cabai masih berada pada pengeluaran terbesar yaitu Rp1 447/kapita/minggu. Pengeluaran per kapita terkecil digunakan untuk membeli garam yaitu sebesar Rp149/kapita/minggu.

Pengeluaran bumbu rumah tangga lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran bumbu penduduk desa di Indonesia. Menurut data Susenas tahun 2013, rata-rata pengeluaran bumbu penduduk desa untuk gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai, bawang putih, dan bawang merah berjumlah Rp5 269/kapita/minggu (BPS 2013). Terdapat selisih sebesar Rp959 antara pengeluaran bumbu rumah tangga contoh dengan pengeluaran penduduk Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan adanya perbedaan harga pada tiap daerah dan perbedaan budaya dengan keberagaman jenis masakan tiap daerah membuat preferensi makanan pun berbeda di tiap daerah, sehingga terjadi selisih harga antara pengeluaran bumbu rumah tangga contoh dengan penduduk Indonesia.

Cabai menempati urutan pertama dalam rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga. Rata-rata pengeluaran terendah rumah tangga adalah untuk membeli garam. Pengeluaran tersebut sedikit berbeda dengan data rata-rata pengeluaran penduduk desa di Indonesia yang terdapat pada Susenas tahun 2013. Data yang diperoleh dari Susenas 2013, menunjukkan gula yang menjadi pengeluaran terbesar penduduk baik di desa maupun kota yaitu sebesar Rp1 770/kapita/minggu dan Rp1 533/kapita/minggu. Sementara garam paling sedikit dalam pengeluaran perkapita seminggu, baik di desa dan kota yaitu sebesar Rp161 dan Rp119.

(27)

15

rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, lama berumah tangga, dan jumlah subsidi beras miskin (Yuliana et al. 2013).

Pengeluaran tertinggi adalah untuk membelanjakan cabai dengan rata-rata pengeluaran dalam sebulan Rp29 635/rumah tangga. Pengeluaran maksimum untuk cabai adalah senilai Rp60 000/bulan. Cabai (Capsium sp) merupakan komoditas sayuran yang memiliki peranan penting bagi pertanian di Indonesia. Ada beberapa jenis cabai yang dibudidayakan di Jawa. Cabai dapat dibedakan menurut bentuk buahnya, yaitu bentuk buah besar, keriting dan bentuk buah kecil. Masyarakat Indonesia kebanyakan menggemari masakan yang berbumbu pedas. Rumah tangga di Indonesia, dominan mengonsumsi tiga cabai yaitu cabai merah, cabai rawit, dan cabai hijau. Cabai merah biasa digunakan dalam bentuk segar maupun olahan. Cabai dalam bentuk segar dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sambal, maupun sebagai garnish atau penghias makanan. Cabai merah banyak diminati pasar karena rasa pedasnya yang khas (Muharlis 2007).

Pengeluaran terendah rumah tangga adalah untuk membelanjakan garam. Nilai uang yang dikeluarkan untuk membeli garam Rp784/rumah tangga/minggu atau dalam sebulan rata-rata Rp3 137/rumah tangga/bulan. Hal ini dikarenakan sebagai bumbu garam hanya ditambahkan sedikit ke dalam masakan. Selain itu, harga garam terbilang relatif murah persatuan beratnya. Harga garam menurut data BKP pada bulan Desember 2013 rata-rata senilai Rp4 613/kg dengan nilai maksimum Rp10 000/kg dan minimum Rp1 650/kg. Rata-rata harga garam per bulan periode Desember 2011 hingga Desember 2013, bulan September 2013 mencapai harga tertinggi dengan rata-rata harga Rp4 648/kg. Harga tertinggi garam halus ada di Jayapura dengan harga Rp10 000/kg. Harga terendah ada di Banten dengan harga Rp1 650/kg (Rusliana 2013). Penambahan garam pada bumbu akan berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme tertentu, karena garam dapat mempengaruhi besarnya aktivitas air dalam bahan pangan. Kadar garam bumbu pada umumnya cukup rendah yaitu antara 1.00 - 2.60%. diduga penambahan garam dalam bumbu tidak dimaksudkan untuk mengawetkan bumbu dan mencegah kerusakan akibat mikroba, tetapi hanya sebagai penambahan rasa pada bumbu (Rahayu 2000). Penelitian Anwar (2010), jenis konsumsi makanan yang relatif kecil adalah pada kelompok konsumsi garam. Sebagai barang inferior rata-rata keluarga miskin di Aceh Utara mengkonsumsi garam Rp3 986.11 per keluarga per bulan.

(28)

16

Tabel 4 Sebaran pengeluaran bumbu per kapita sebulan

Jenis bumbu Persentil Kategori bumbu (Rp/kapita/bulan)

Gula P25 2 800

Bumbu merupakan kompleks yang membangun rasa yang diaplikasikan ke dalam makanan, berguna untuk merangsang nafsu makan, menambah rasa, dan tekstur makanan serta menciptakan daya tarik secara visual pada makanan (Raghavan 2006). Nilai nutrisi yang terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal tidak berpengaruh apabila bahan tersebut digunakan sebagai penyedap makanan atau minuman. Umumnya penggunaan rempah dan herbal pada makanan sebagai penyedap proporsinya kecil, sehingga sumbangan nutrisi secara keseluruhan sangat kecil. Nilai nutrisi rempah dan herbal akan memberikan sumbangan yang nyata apabila bahan tersebut dipersiapkan untuk produk selain makanan, seperti jamu-jamuan dan produk ekstrak lainnya yang langsung dikonsumsi (Carlsen et al. 2011).

Konsumsi pangan rumah tangga merupakan makanan dan minuman yang tersedia untuk dikonsumsi oleh rumah tangga, kelompok keluarga atau institusi. Definisinya adalah total jumlah pangan tersedia di rumah tangga, umumnya tidak termasuk yang dimakan di luar rumah kecuali yang dibawa dari rumah. Pengukuran konsumsi rumah tangga tidak memperhatikan individu secara spesifik. Perhitungan konsumsi per kapita dihitung dengan mengabaikan umur dan jenis kelamin di rumah tangga (Gibson 2005).

(29)

17

makanan maupun minuman di dalam rumah tangga. Gula merupakan bumbu yang paling banyak digunakan oleh rumah tangga selama seminggu, baik di pedesaan maupun kota. Jumlah gula yang dikonsumsi penduduk pedesaan dan perkotaan per kapita selama seminggu berturut-turut adalah 1.384 ons dan 1.166 ons (BPS 2013). Sementara itu, rumah tangga contoh paling sedikit menggunakan bumbu penyedap yaitu sebesar 31.44 g/rumah tangga/minggu.

Tabel 5 Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga

Jenis bumbu

Rumah tangga contoh paling banyak mengonsumsi gula dalam kesehariannya yaitu sebesar 18.51 g/rumah tangga/hari atau dalam seminggu rumah tangga rata-rata mengonsumsi gula sebesar 129.54 g. Gula selain untuk bumbu masakan biasanya juga digunakan dalam pembuatan minuman seperti teh atau kopi. Hal tersebut yang membuat konsumsi gula menjadi besar. Sementara itu, rumah tangga paling sedikit mengonsumsi bumbu penyedap yaitu 4.49 g/rumah tangga/hari atau 31.44 g/rumah tangga/minggu. Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga contoh dapat dilihat pada Tabel 5.

Dalam laporan Badan Ketahanan Pangan kenaikan harga tertinggi pangan pokok terdapat pada komoditas cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan bawang putih. Sementara harga komoditas yang mengalami penurunan adalah gula (BKP 2013). Kenaikan harga tersebut kemungkinan yang menyebabkan besar kecilnya konsumsi. Namun, tidak menutup kemungkinan preferensi dari rumah tangga dalam membuat makanan di rumah yang mempengaruhi besar kecilnya konsumsi bumbu.

Sama halnya dengan konsumsi rumah tangga, konsumsi gula adalah yang tertinggi digunakan per kapita. Rata-rata konsumsi gula perkapita adalah sebesar 3.60 g/kapita/hari atau 25.23 g/kapita/minggu. Sementara konsumsi terkecil adalah pada kelompok bumbu penyedap yaitu 0.88 g/kapita/hari atau 6.21 g/kapita/minggu.

Konsumsi gula dalam rumah tangga menempati urutan tertinggi dengan rata-rata konsumsi 3.60 g/kap/hari. WHO (2015), merekomendasikan mengurangi asupan gula sederhana selama hidup. Baik orang dewasa maupun anak-anak, direkomendasikan asupan gula sederhana kurang dari 10% dari total asupan energi. Dalam keadaan tertentu asupan gula sederhana perlu dikurangi di bawah 5% dari total asupan energi. Konsumsi tersebut setara dengan 50 g gula per orang perhari.

(30)

18

Sabri et al. (2006), menyebutkan vetsin biasanya berbentuk kristal halus dan berwarna putih dibuat melalui proses fermentasi dari bahan dasar pati (gandum) dan gula molasses (tetes tebu) yang diberi nama sebagai garam natrium dari asam glutamat atau lebih dikenal dengan nama monosodium glutamat.

Menurut Nofiawaty (2012), bahwa mayoritas pengguna produk vetsin adalah wanita (74.20%), berusia 36 - 40 tahun (25.80%), pendidikan terakhir Perguruan Tinggi (59.20%), profesi utama adalah ibu rumah tangga (31.70%), status menikah (76.70%), merk bumbu penyedap yang digunakan Masako (45.80%), produk lain yang digunakan Sasa (65.00%), alasan utama menggunakan karena seringnya mengkonsumsi (41.70%) dan kualitasnya baik (44.20%).

Tabel 6 Sebaran konsumsi bumbu per kapita sehari

Jenis bumbu Persentil Satuan Jumlah Batas

Maksimal

Kecap P25 mg/kap/hari 700.00

P50 1 610.00

P75 2 620.00

Bumbu penyedap P25 mg/kap/hari 370.00

P50 710.00

Tabel 6 menunjukkan sebaran konsumsi bumbu rumah tangga contoh. Terlihat bahwa konsumsi bumbu rumah tangga memiliki variasi. Pola konsumsi `pangan penduduk Indonesia mengalami perubahan tiap tahunnya. Perubahan pola konsumsi pangan penduduk dapat terjadi salah satunya karena peran dari kelompok bumbu-bumbuan. Masakan khas di setiap daerah di Indonesia membutuhkan berbagai jenis bumbuan, sehingga konsumsi bumbu-bumbuan penduduk menjadi tinggi. Dapat dikatakan penduduk Indonesia tidak lepas dari ketergantungan terhadap bumbu-bumbuan (Primarta 2014).

(31)

19

dan/atau lemak untuk diperdagangkan wajib memuat informasi kandungan gula, garam, dan lemak, serta pesan kesehatan pada label pangan. Pesan kesehatan yang

dimaksud yaitu “Konsumsi gula lebih dari 50 g, natrium lebih dari 2 000 mg, atau lemak total lebih dari 67 g per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes,

dan serangan jantung.”

Tabel 7 Konsumsi gula rumah tangga (g/kapita/hari)

Gula (dalam rumah) Makanan jajanan Total konsumsi gula

Rata-rata±SD 3.60±4.53 0.57±1.77 4.18±4.96

Min 0.00 0.00 0.00 disumbangkan oleh konsumsi gula dalam rumah dibandingkan gula dari makanan jajanan. Konsumsi gula rumah tangga contoh lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi gula penduduk Indonesia di desa pada tahun 2009 yaitu sebesar 22.8 g/kapita/hari (Hardinsyah 2011). Menurut Hidayati (2015), salah satu faktor yang memicu ibu rumah tangga untuk mengonsumsi gula pasir adalah sebagai pemanis minuman, diantaranya sebagai pemanis teh dan kopi. Keadaan ekonomi yang rendah pada rumah tangga membuat rumah tangga lebih mementingkan kebutuhan makanan pokok dibandingkan dengan mengonsumsi gula sebagai pelengkap minuman.

Tabel 8 Konsumsi natrium rumah tangga (mg/kapita/hari)

(32)

20

penyumbang natrium terbesar. Konsumsi natrium rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 9 Rata-rata total konsumsi natrium rumah tangga

Konsumsi natrium Jumlah %

< 2000 mg/kapita/hari 85 81

≥ 2000 mg/kapita/hari 20 19

Pemerintah menganjurkan konsumsi natrium tidak lebih dari 2000 mg/kapita/hari untuk mencegah timbulnya penyakit tidak menular. Ini menunjukkan bahwa ada sebagian rumah tangga contoh (19%), masih melebihi anjuran (Tabel 9). Menurut Hardinsyah (2011), konsumsi garam yang tak tampak cenderung meningkat melalui makanan olahan yang dibumbuhi garam, pengawet dan perasa, serta minuman bernatrium. Kelebihan asupan natrium berkaitan dengan tingginya tekanan darah, yang mana kenaikan tersebut berisiko terhadap penyakit kardiovaskular.

Pengeluaran Bumbu menurut Karakteristik Rumah Tangga

Pengeluaran bumbu menurut besar rumah tangga

Menurut Suhardjo (1989), jumlah anggota keluarga memiliki andil dalam permasalahan gizi. Jika jumlah anggota rumah tangga hanya sedikit, kebutuhan pangannya akan lebih mudah untuk dipenuhi. Sebaliknya, jika jumlah anggota keluarga banyak, maka keluarga akan berusaha membagi jumlah makanan yang terbatas, sehingga kebutuhan untuk masing-masing anggota menjadi tidak sesuai. Rata-rata total pengeluaran bumbu rumah tangga tidak mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah anggota rumah tangga (Tabel 10).

Tabel 10 Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga per bulan menurut besar rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan)

Jenis bumbu Besar rumah tangga p

Kecil Sedang Besar

Gula 25 731 ± 27 854 21 881 ± 23 551 22 994 ± 26 102 0.792 Garam 2 589 ± 2 135 3 409 ± 3 492 3 250 ± 1 122 0.016 Kecap 9 606 ± 11 559 10 990 ± 11 233 12 460 ± 9 628 0.470 Bumbu penyedap 8 913 ± 7 853 8 791 ± 7 334 12 717 ± 6 465 0.033 Cabai 28 317 ± 14 308 31 043 ± 11 823 27 000 ± 7 973 0.525 Bawang putih 21 282 ± 12 794 22 652 ± 12 176 16 733 ± 10 840 0.445 Bawang merah 29 316 ± 14 316 30 216 ± 12 397 27 200 ± 13 476 0.565 Total pengeluaran

bumbu 125 754 ± 56 201 128 982 ± 44 522 122 355 ± 49 211 0.801

(33)

21

pengeluaran yang fluktuatif semakin bertambahnya anggota rumah tangga, yaitu gula, garam, cabai, bawang putih, dan bawang merah. Rumah tangga dengan besar rumah tangga kecil dan besar, pengeluaran terbesar adalah untuk membeli bawang merah dengan rata-rata Rp29 316/bulan dan Rp27 200/bulan. Sementara rumah tangga dengan besar rumah tangga sedang, pengeluaran terbesar adalah untuk membeli cabai dengan rata-rata Rp31 043/bulan.

Hasil uji Spearman menunjukkan ada hubungan antara besar rumah tangga dengan pengeluaran garam (p = 0.016, r = 0.235) dan bumbu penyedap (p = 0.033, r = 0.209), serta tidak ada hubungan antara besar rumah tangga dengan total pengeluaran bumbu (p > 0.05). Semakin besar rumah tangga, maka pengeluaran garam dan bumbu penyedap juga semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga memiliki preferensi yang hampir sama terhadap masakan yang bercitarasa asin dan gurih/umami. Besarnya jumlah anggota rumah tangga akan berpengaruh terhadap pengeluaran dan kebutuhan pangan rumah tangga. Semakin banyak anggota rumah tangga, maka pengeluaran dan kebutuhan pangannya juga semakin banyak (Widyareni 2011). Sementara itu, besar rumah tangga tidak berhubungan dengan pengeluaran gula, kecap, cabai, bawang merah, dan bawang putih. Hal ini sejalan dengan Hidayati (2015), jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap konsumsi gula pasir rumah tangga di Kota Palembang. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi gula pasir adalah total pendapatan keluarga, harga gula pasir, konsumsi teh, dan konsumsi kopi rumah tangga.

Pengeluaran bumbu menurut pendidikan kepala rumah tangga

Salah satu faktor pemicu kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kualitas pola berpikir dari rumah tangga miskin dalam mendapatkan pekerjaan, dan menjalankan usaha (Bahrun 2014). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kepala rumah tangga memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Pendidikan yang rendah ini membuat kepala rumah tangga menjadi kurang memiliki keahlian khusus sehingga pekerjaan yang didapat tidak mendukung untuk memperoleh pendapatan yang besar. Kurangnya pendapatan menjadikan daya beli rumah tangga menjadi rendah.

Tabel 11 Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut pendidikan kepala rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan)

Jenis bumbu Pendidikan kepala rumah tangga p

(34)

22

Tabel 11 menunjukkan rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Peningkatan pengeluaran bumbu terjadi seiring dengan peningkatan pendidikan kepala rumah tangga, yaitu pada pengeluaran gula, bumbu penyedap dan cabai. Rata-rata pengeluaran terbesar untuk bumbu yang dibelanjakan rumah tangga berbeda tiap golongan pendidikan. Pada kepala rumah tangga yang mempunyai pendidikan SD, paling besar pengeluaran untuk bawang merah yaitu Rp29 400/rumah tangga/bulan. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga berpendidikan SLTP dan SLTA terbesar pengeluaran digunakan untuk cabai. Pengeluaran untuk cabai pada kepala rumah tangga dengan pendidikan SLTP dan SLTA berturut-turut adalah Rp34 806/rumah tangga/bulan dan Rp32 250/rumah tangga/bulan. Sementara itu, pengeluaran terkecil rumah tangga adalah untuk membeli garam, baik pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan SD, SLTP, maupun SLTA.

Uji Spearman menunjukkan adanya hubungan antara pendidikan kepala rumah tangga dengan pengeluaran cabai (p=0.022, r=0.224). Semakin tinggi pendidikan maka pengeluaran akan cabai juga akan meningkat. Cabai merupakan komoditas yang memiliki harga lebih tinggi dari bumbu lainnya. Tingginya harga cabai mudah dijangkau oleh orang dengan pendapatan yang tinggi. Orang dengan pendapatan yang tinggi didapatkan dengan memiliki pekerjaan yang baik dan biasanya orang tersebut mempunyai pendidikan yang tinggi.Variabel lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna yaitu pendidikan kepala rumah tangga dengan pengeluaran gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai, bawang putih, dan bawang merah. Selain itu, pendidikan kepala rumah tangga juga tidak berhubungan dengan total pengeluaran bumbu (p>0.05). Gula, garam, kecap, dan bumbu penyedap merupakan bumbu yang jika dikonsumsi berlebihan akan berisiko terkena gangguan kesehatan seperti diabetes dan hipertensi. Orang dengan pendidikan tinggi akan mengurangi konsumsi bumbu tersebut untuk menjaga kesehatan, oleh karena itu, pengeluaran bumbu-bumbu tersebut tidak meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan kepala rumah tangga. Sementara itu, pendidikan kepala rumah tangga tidak berhubungan dengan pengeluaran bawang putih dan bawang merah dapat dikarenakan bumbu tersebut merupakan bumbu yang penting dalam masakan, sehingga rumah tangga akan berusaha untuk memenuhinya.

Pendidikan merupakan salah satu ukuran yang digunakan dalam status sosial ekonomi. Pendidikan merupakan hal utama untuk peningkatan sumber daya manusia. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi khususnya konsumsi makanan yang lebih baik (Puli et al. 2014).

Pengeluaran bumbu menurut pekerjaan kepala rumah tangga

(35)

23

Tabel 12 Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut pekerjaan kepala rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan)

Jenis bumbu Pekerjaan kepala rumah tangga

0 1 2 3 4 6 7 9

(36)

24

Tabel 12 menunjukkan rata-rata pengeluaran bumbu menurut pekerjaan kepala rumah tangga. Pengeluaran gula rata-rata terbesar terdapat pada rumah tangga dengan golongan pekerjaan kepala rumah tangga sebagai PNS/ABRI/Polisi, serta yang terendah pada rumah tangga dengan golongan pekerjaan kepala rumah tangga yang tidak bekerja. Pengeluaran garam rata-rata terbesar terdapat pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan lainnya, serta yang terendah pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan PNS/ABRI/Polisi. Pengeluaran kecap rata-rata terbesar terdapat pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan lainnya, serta yang terendah pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga tidak bekerja. Pengeluaran bumbu penyedap rata-rata terbesar terdapat pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan PNS/ABRI/Polisi, serta yang terendah pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan petani. Pengeluaran cabai rata-rata terbesar terdapat pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan PNS/ABRI/Polisi, serta yang terendah pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golonganburuh nontani. Pengeluaran bawang putih rata-rata terbesar terdapat pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan lainnya, serta yang terendah pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan PNS/ABRI/Polisi. Pengeluaran bawang merah rata-rata terbesar terdapat pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan pedagang, serta yang terendah pada rumah tangga dengan pekerjaan kepala rumah tangga golongan buruh non tani.

Faktor yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat adalah pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat di lingkungannya. Apabila seseorang tinggal di lingkungan masyarakat yang mempunyai konsumsi yang tinggi maka orang tersebut cenderung mengikuti pola konsumsi masyarakat dengan pola konsumsi yang tinggi pula (Sangadji 2009). Sebagian besar (67.62%) masyarakat Desa Citapen bekerja sebagai buruh tani. Hal tersebut akan membentuk pola konsumsi tersendiri di lingkungan rumah mereka. Orang dengan pekerjaan selain buruh tani akan mengikuti pola konsumsi yang ada di lingkungannya.

Pengeluaran bumbu menurut pendapatan kepala rumah tangga

Dalam upaya pemantapan ketahanan pangan, tingkat pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor kunci bagi rumah tangga untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Jika dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan, tingkat pendapatan merupakan salah satu dimensi dan ukuran yang sering digunakan untuk menetapkan batas garis kemiskinan. Oleh karena itu, tingkat pendapatan rumah tangga merupakan faktor yang penting dalam pemantapan ketahanan pangan dan juga upaya penanggulangan kemiskinan (Rachman et al. 2006).

(37)

25

Tabel 13 Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut pendapatan kepala rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan)

Jenis Bumbu

Pendapatan kepala rumah tangga (1000 Rp/bulan)

< 300 300 - 800 801 - 1300 1301 – 1800 > 1800

Rumah tangga dengan pendapatan kepala rumah tangga Rp300 000 sampai Rp800 000 pengeluaran terbesar adalah untuk membeli cabai. Kepala rumah tangga yang memiliki pendapatan < Rp300 000, Rp801 000 sampai Rp1 300 000 dan berpenghasilan > Rp1 800 000 pengeluaran terbesar adalah untuk membeli bawang merah. Sementara keluarga dengan pendapatan kepala rumah tangga Rp1 301 000 sampai Rp1 800 000 pengeluaran terbesar adalah untuk membeli cabai, bawang putih, dan bawang merah, masing-masing sebesar Rp30 000.

Total pengeluaran bumbu rumah tangga tidak memiliki kecenderungan peningkatan dengan bertambahnya pendapatan kepala rumah tangga. Penurunan tingkat penghasilan diduga karena adanya kenaikan tingkat inflasi di Jawa Tengah yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Keluarga dengan pendapatan yang rendah umumnya akan memanfaatkan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangannya sebagai kebutuhan dasar. Pada rumah tangga berpendapatan rendah konsumsi beras masih menonjol dalam pengeluaran rumah tangga. (BI 2013).

Uji Spearman menunjukkan hubungan antara pendapatan kepala rumah tangga dengan pengeluaran kecap (p = 0.041, r = 0.200), dan pengeluaran bawang putih (p = 0.016, r = 0.235). Pendapatan kepala rumah tangga juga tidak berhubungan dengan total pengeluaran bumbu (p > 0.05). Menurut Iqbal et al. (2014), pada umumnya semakin besar tingkat pendapatan rumah tangga seseorang akan berpengaruh terhadap jumlah pengeluaran rumah tangganya. Pendapatan rumah tangga petani sendiri merupakan total pendapatan dari anggota keluarga baik dari kegiatan pertanian maupun di luar pertanian. Pendapatan kepala rumah tangga tidak berhubungan dengan pengeluaran gula, garam, bumbu penyedap, cabai, dan bawang merah. Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Anwar (2010), bahwa pendapatan berpengaruh signifikan terhadap konsumsi makanan

(38)

26

tangga. Selain itu, bumbu-bumbu tersebut merupakan bumbu yang penting dalam masakan, rumah tangga akan tetap membeli bumbu tersebut meskipun harga bumbu tersebut naik.

Hubungan Pengeluaran Bumbu dengan Konsumsi Bumbu

Besarnya pengeluaran bumbu pada rumah tangga akan memberikan persediaan bumbu yang kemudian dapat digunakan oleh rumah tangga untuk mengolah makanan ataupun minuman. Rumah tangga yang memiliki pengeluaran pangan yang tinggi, cenderung memiliki total asupan energi yang cukup pada anak, dibanding dengan rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk makanan yang rendah (Tuankotta 2012). Berikut hubungan antara pengeluaran dan konsumsi bumbu rumah tangga :

Hubungan total pengeluaran bumbu dengan konsumsi bumbu

Pola pangan rumah tangga petani masih lebih sederhana dibandingkan dengan rumah tangga secara umum, hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya pengeluaran untuk makanan/minuman jadi. Konsep mengutamakan makan makanan yang dimasak dirumah masih kuat, selain karena pola hidup sederhana juga sebagai akibat pola pekerjaan petani yang tidak terlalu komplek, sehingga memungkinkan untuk makan siang di rumah. Para ibu masih punya waktu untuk memasak di rumah untuk kebutuhan keluarganya dikarenakan pola pekerjaan wanita tani juga tidak komplek seperti pola pekerja wanita terutama di perkotaan. Di sisi lain, makanan/minuman jadi harganya lebih mahal daripada makanan yang dimasak sendiri, sehingga biasanya memilih untuk memasak sendiri daripada membeli (Purwantini dan Ariani 2008). Kebiasaan memasak di rumah akan mendorong rumah tangga untuk membeli bumbu-bumbuan guna memenuhi kebutuhan bumbu untuk memasak. Hal tersebut juga akan mempengaruhi besar kecilnya konsumsi bumbu.

Tabel 14 Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga sebulan menurut total pengeluaran bumbu (g/rumah tangga/bulan)

Kategori

Total pengeluaran bumbu

(Rp/Rumah tangga/bulan) p

< 95 800 95 800 – 119 000 119 000 – 149 000 > 149 000

Gula 439.07 ± 516.38 506.50 ± 657.75 492.68 ± 488.52 636.46 ± 683.47 0.115 Garam 400.46 ± 335.53 383.50 ± 296.04 431.86 ± 392.78 539.69 ± 749.01 0.604 Kecap 279.23 ± 188.58 259.67 ± 187.54 250.89 ± 250.22 532.61 ± 1212.89 0.882 Bumbu penyedap 123.84 ± 90.37 119.83 ± 86.19 124.41 ± 70.88 134.77 ± 90.28 0.620 Cabai 371.23 ± 281.70 419.33 ± 226.53 553.24 ± 320.51 487.69 ± 239.58 0.019 Bawang putih 200.61 ± 230.28 280.83 ± 235.54 400.41 ± 308.69 419.69 ± 308.79 0.000 Bawang merah 348.31 ± 289.35 403.67 ± 287.24 396.14 ± 264.72 421.84 ± 217.77 0.049

(39)

27

pengeluaran bumbu dengan konsumsi gula rumah tangga (p = 0.115). Hal tersebut dapat dikarenakan konsumsi gula pasir rumah tangga cenderung tetap tergantung dari preferensi dan kebiasaan konsumsi, sementara gula dibeli dengan ukuran bungkus yang dapat dihabiskan dalam waktu lebih dari sehari. Hal ini juga ditunjukkan dengan pola belanja gula sebagian besar rumah tangga secara mingguan. Menurut Satriana et al. (2014), gula pasir merupakan bahan pangan pokok, sehingga berapapun harganya masyarakat akan berusaha untuk memenuhinya. Konsumsi pada tahun sebelumnya juga mempengaruhi naik turunnya konsumsi gula pasir pada rumah tangga.

Konsumsi garam rumah tangga menurut total pengeluaran terlihat fluktuatif, namun cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya total pengeluaran. Uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan antara total pengeluaran bumbu dengan konsumsi garam (p = 0.604). Konsumsi garam tergantung dari preferensi rumah tangga. Garam biasanya digunakan pada masakan dalam jumlah yang kecil, sementara pembelian harus dalam satuan bungkus dengan kuantitas yang besar. Oleh karena itu, setiap pembelian garam dapat digunakan untuk waktu beberapa hari. Garam merupakan bahan yang ideal untuk iodisasi dikarenakan semua orang memerlukan garam, disamping itu harga garam terjangkau pada hampir setiap orang. Garam merupakan bumbu yang penting dalam masakan walaupun jumlah yang masuk ke dalam tubuh sangat kecil. Rumah tangga biasa menggunakan garam dalam bentuk garam halus yang memiliki kualitas lebih baik dibanding bentuk garam lainnya. Garam merupakan barang esensial yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, penggunaannya tidak berubah walaupun pendapatan meningkat (Darmawan dan Darmawan 2012).

Konsumsi kecap rumah tangga menurut total pengeluaran bumbu terlihat fluktuatif. Konsumsi kecap tidak menunjukkan peningkatan seiring dengan peningkatan total pengeluaran. Hal ini dapat dikarenakan preferensi rumah tangga dalam penggunaan kecap yang berbeda. Uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan antara total pengeluaran bumbu dengan konsumsi kecap (p = 0.882). Jumlah kecap manis yang digunakan dalam setiap rumah tangga sangat bergantung pada tingkat kesukaan konsumen terhadap kecap manis dan kebutuhan konsumsi kecap manis sebagai bumbu masakan maupun sebagai pelengkap menu makan nasi di rumah tangga masing-masing. Sebagian besar rumah tangga menggunakan kecap manis sebagai bumbu masakan seperti tempe oseng, semur tahu atau tempe dan nasi goreng (Dewi et al. 2013).

(40)

28

Konsumsi cabai rumah tangga menurut total pengeluaran menunjukkan nilai yang fluktuatif, namun memiliki kecenderungan peningkatan seiring dengan besarnya total pengeluaran. Uji Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara total pengeluaran bumbu dengan konsumsi cabai rumah tangga (p = 0.019, r = 0.228). Semakin tinggi pengeluaran bumbu, maka konsumsi cabai juga semakin tinggi. Harga cabai yang tinggi mempunyai kontribusi yang besar terhadap pengeluaran bumbu. Kegemaran akan cabai juga menyebabkan konsumsi cabai menjadi tinggi. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan pola pengeluaran cabai sebagian besar rumah tangga adalah harian. Menurut Arfani (2013), cabai merupakan kebutuhan dapur yang sangat digemari banyak orang. Konsumen tetap membeli cabai meskipun harganya meningkat karena kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan. Peningkatan harga pada tahun 2009 – 2010 tidak mempengaruhi penurunan jumlah konsumsi.

Konsumsi bawang putih rumah tangga menurut total pengeluaran bumbu memiliki kecenderungan peningkatan. Uji Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara total pengeluaran bumbu dengan konsumsi bawang putih (p = 0.000, r = 0.355). Semakin besar pengeluaran bumbu, maka semakin besar pula konsumsi bawang putih. Pola pengeluaran bawang putih rumah tangga contoh sebagian besar adalah harian. Hal tersebut menandakan bahwa sebagian besar rumah tangga contoh menggunakan bawang putih setiap hari. Harga yang cenderung meningkat tetapi permintaan akan bawang putih di Indonesia juga terus meningkat. Hal tersebut disebabkan konsumsi akan bawang putih tetap atau cenderung meningkat tetapi produksinya mengalami penurunan sehingga menjadi mahal (Jumini 2008).

Konsumsi bawang merah rumah tangga menurut total pengeluaran bumbu terlihat fluktuatif, namun memiliki kecenderungan peningkatan. Hasil uji Spearman menunjukkan adanya hubungan antara total pengeluaran bumbu dengan konsumsi bawang merah (p = 0.049, r = 0.193). Semakin besar pengeluaran bumbu, semakin besar pula konsumsi bawang merah rumah tangga. Besarnya pengeluaran untuk konsumsi bawang merah bagi penduduk Indonesia tahun 2008

– 2012 secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 16.25%, dan meningkat cukup tajam pada tahun 2013 menjadi sebesar Rp70 028,-/kapita. Secara kuantitas, konsumsi bawang merah meningkat dari tahun ke tahun (Respati et al. 2014). Bawang merah merupakan bumbu yang penting untuk pengolahan makanan pada rumah tangga. Rumah tangga akan tetap menggunakan bawang merah meskipun harganya yang tinggi. Bawang merah merupakan komoditas yang paling sering dikonsumsi. Sebanyak 93.1% responden menggunakan komoditas tersebut hampir setiap hari (Adiyoga 2011).

(41)

29

Hubungan pengeluaran dengan konsumsi pada masing-masing bumbu

Hampir semua variabel pengeluaran berkorelasi dengan konsumsi bumbu. Terdapat hubungan antara pengeluaran garam, kecap, bumbu penyedap, bawang putih dengan konsumsi garam, kecap, bumbu penyedap, dan bawang putih. Nilai signifikansi dapat dilihat pada tabel 15. Variabel yang menunjukkan adanya hubungan dan korelasi yang positif adalah pengeluaran garam (p = 0.001, r = 0.067), bumbu penyedap (p = 0.009, r = 0.253), dan bawang putih (p = 0.000, r = 0.520), artinya semakin besar pengeluaran maka konsumsinya juga semakin besar. Rumah tangga cenderung menambahkan bumbu-bumbu tersebut yang memiliki rasa yang tajam jika ditambahkan pada masakan agar menambah selera makan. Tabel 15 menunjukkan hubungan antara pengeluaran bumbu dengan konsumsi bumbu.

Variabel yang memiliki korelasi negatif adalah pengeluaran kecap dengan konsumsi kecap (p = 0.047, r = -0.194). Semakin besar pengeluaran kecap, maka konsumsinya semakin sedikit. Kecap yang beredar di pasaran dijual dengan kemasan plastik (sachet, refill) dan botol (plastik, beling). Harga kecap manis sachet lebih murah dibanding harga kecap refill maupun botol, dikarenakan isi dari kecap sachet yang memang lebih sedikit. Kecap sachet biasanya digunakan untuk sekali pakai, dikarenakan kemasannya yang tidak mendukung untuk penyimpanan yang lama. Hal tersebut membuat konsumsi kecap menjadi lebih banyak. Hasil penelitian Dewi et al. (2013), menyebutkan bahwa responden lebih menyukai level plastik dibandingkan dengan level botol. Hal tersebut mengindikasikan bahwa responden lebih menyukai kemasan plastik dengan bentuk sachet ataupun isi ulang karena harganya yang lebih murah, sehingga menghemat pengeluaran.

Tabel 15 Hubungan pengeluaran bumbu dengan konsumsi bumbu

Jenis Bumbu p r

Gula 0.494 0.067

Garam 0.001 0.314

Kecap 0.047 -0.194

Bumbu penyedap 0.009 0.253

Cabai 0.100 0.161

Bawang putih 0.000 0.520

Bawang merah 0.118 0.153

Variabel yang tidak berkorelasi yaitu pengeluaran gula, cabai, dan bawang merah dengan konsumsi gula, cabai, dan bawang merah. Hal ini bisa disebabkan konsumsi gula, cabai, dan bawang merah yang lebih kecil dari pengeluarannya ataupun sebaliknya. Rumah tangga kemungkinan membeli gula dalam jumlah yang banyak, namun dikonsumsi dalam jumlah yang kecil. Hal tersebut tersebut dimaksudkan untuk membuat ketersediaan pangan gula tetap tersedia di dalam rumah.

(42)

30

bahan minuman yang sering dikonsumsi bersamaan dengan teh dan kopi, selain itu juga digunakan dalam pengolahan berbagai jenis masakan (Mauludyani 2008).

Menurut Dewi (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi gula pasir tingkat rumah tangga adalah jumlah penduduk dan harga teh. Sedangkan jika dilihat dari konsumsi gula pasir per kapita di Indonesia cenderung mengalami penurunan, namun konsumsi gula pasir di Indonesia dari tahun ke tahun, baik tingkat rumah tangga maupun industri makanan minuman cenderung mengalami kenaikan.

Cabai dan bawang merah termasuk bumbu yang mudah busuk jika penyimpanannnya tidak tepat. Oleh karena itu, rumah tangga tidak membuat persediaan bumbu tersebut di rumah dalam jangka waktu lama. Hal lain, dapat disebabkan karena perbedaan harga pembelian tiap rumah tangga. Rumah tangga yang membeli secara eceran kepada pedagang kecil tidak mempunyai standar baku beratnya. Pedagang sayur satu dengan lainnya bisa saja berbeda memberikan jumlah bumbunya.

Hasil penelitian Elida dan Fridayati (2011), menunjukkan dalam teknik pengolahan makanan keluarga, 12.5% ibu selalu memakai bumbu, 80% kadang-kadang, dan 7.5% tidak pernah. Ibu bekerja dengan pendidikan rendah, miskin dan bekerja di sektor informal paling besar risikonya untuk tidak mampu menerapkan keragaman makanan untuk makanan anaknya (Kekalih 2013).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rumah tangga sebagian besar memiliki anggota sebanyak 5 - 7 orang, usia kepala rumah tangga 31 - 50 tahun dan ibu rumah tangga 21 - 30 tahun, baik kepala rumah tangga maupun ibu rumah tangga sebagian besar memiliki pendidikan SD. Pekerjaan kepala rumah tangga sebagian besar sebagai buruh tani, sementara ibu rumah tangga sebagai ibu rumah tangga. Pendapatan kepala rumah tangga sebagian besar berkisar antara Rp300 000 sampai Rp 800 000, sedangkan ibu rumah tangga sebagian besar tidak berpenghasilan.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran tentang penggunaan bumbu rumah tangga
Tabel 1  Jenis variabel dan cara pengolahan data
Tabel 2  Karakteristik rumah tangga
Gambar 2  Distribusi belanja bumbu rumah tangga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tegasnya, Syaykh Abd Aziz bin Abd Salam telah memberi suatu sumbangan yang besar terhadap metodologi pentafsiran kepada pengajian tafsir di Malaysia.. Sumbangan

PPKA Bodogol atau yang dikenal dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol adalah sebuah lembaga konservasi alam di daerah Lido Sukabumi dan masih merupakan bagian dari

Gempa bumi utama yaitu gempa bumi yang terjadi pada goncangan awal akibat deformasi yang di akibatkan oleh adanya interaksi antar lempeng..

Kebijakan tersebut sangat terlihat jelas dengan tanda-tanda arah organisasi perkumpulan tersebut menuju politik pada saat itu dan tidak menutup kemungkinan pengurus besar organisasi

Dalam menggambarkan kesetaraan karakteristik pada kelompok kontrol dan perlakuan pada awal penelitian, ditunjukkan dengan hasil uji statistik, yaitu tidak ada perbedaan

Sebagian besar anak yang menderita TB paru adalah anak yang memiliki status gizi yang tidak normal dan terdapat pengaruh yang signifikan antara status gizi

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh yang bermanfaat dari kombinasi yang sesuai dari tingginya tekanan anggaran dan partisipasi anggaran dalam situasi kesukaran tugas

Budapest, Centre for Economic and Regional Studies, Hungari- an Academy of Sciences–National Employment Non- profit Public Company, 2014, 217–246p. Edelényi Márk–Neumann László: