• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Pecut Kuda (Stachytharpheta jamaicensis L.Vahl) Pada Mencit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Pecut Kuda (Stachytharpheta jamaicensis L.Vahl) Pada Mencit"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

PECUT KUDA (

Stachytharpheta jamaicensis L.Vahl

)

PADA MENCIT

SKRIPSI

OLEH:

HELMI EVELINDA NAIBAHO

NIM 121524147

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

PECUT KUDA (

Stachytharpheta jamaicensis L.Vahl

)

PADA MENCIT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

HELMI EVELINDA NAIBAHO

NIM 121524147

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi yang berjudul Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Pecut Kuda

(Stachytharpheta jamaicensis L.Vahl) Pada Mencit. Skripsi ini diajukan untuk

melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan

Fakultas Farmasi dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan

I Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama

perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

Ibu Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., dan Ibu Marianne, M.Si, Apt., yang

telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberikan petunjuk dan

saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Prof. Dr.

Karsono., Apt., selaku penasehat akademis yang memberikan bimbingan kepada

penulis selama ini. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan. Ibu

Marianne, S.Si., M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium Farmakologi yang telah

memberikan fasilitas, petunjuk dan membantu selama penelitian. Ucapan terima

kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., selaku

(5)

Anjelisa Z. Hsb, M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan

evaluasi dan masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini .

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan

yang tulus kepada Ayahanda Marolo P. Naibaho dan Ibunda Sabenna Sinaga,

serta kepada kakanda tercinta Meristan Naibaho dan Dahlia Naibaho, abangda

tercinta Alfonsin Naibaho, Jesse Naibaho dan Josden Naibaho, yang senantiasa

memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang tak ternilai dengan

apapun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Farmasi

Ekstensi 2012 atas doa dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum

sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga Allah membalas segala budi

baik dan penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan

khususnya di bidang farmasi.

Medan, Juli 2015 Penulis,

(6)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL PECUT KUDA (Stachytharpheta jamaicensis L.Vahl ) PADA MENCIT

ABSTRAK

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 hari atau 90 hari.

Secara tradisional pecut kuda digunakan untuk pengobatan infeksi dan batu saluran kencing, sakit tenggorokan karena radang (faring), batuk, rematik dan haid tidak teratur. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek toksik dan mengetahui batas keamanan dosis ekstrak etanol pecut kuda.

Penelitian ini dilakukan secara in vivo menggunakan mencit jantan dan betina berjumlah 32 ekor, yang dibagi dalam 4 kelompok dosis. Dosis yang digunakan pada uji toksisitas subkronik ekstrak etanol pecut kuda ini adalah 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb, 800 mg/kg bb dan satu kelompok kontrol (CMCNa 0,5%), dan diberikan per oral setiap hari selama 28 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi gejala toksik, berat badan, konsumsi makanan, kematian, pengukuran kadar ureum, kreatinin, SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase), SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), makropatologi dan histopatologi organ hati, kemudian dianalisis statistik dengan ANOVA menggunakan Statistical Program Service Solution (SPSS).

Berdasarkan hasil pengamatan, tidak ditemukan gejala toksik pada kelompok dosis 200 mg/kg bb namun pada dosis 400 dan 800 mg/kg bb ditemukan gejala toksik. Berdasarkan uji statistik, tidak terdapat perbedaan signifikan pada berat badan dan konsumsi makanan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Tidak terdapat kematian pada dosis 200 mg/kg bb, namun terdapat kematian pada dosis 400 dan 800 mg/kg bb sebanyak 12,5 % dan 25 %. Hasil rata-rata kadar SGPT pada dosis 200 mg/kg bb tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan kontrol, namun pada dosis 400 dan 800 mg/kg bb terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) yaitu 78,71 IU/L dan 80,83 IU/L. Hasil rata-rata kadar SGOT pada dosis 200 mg/kg bb tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan kontrol, pada dosis 400 mg/kg bb terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) yaitu 250,43 IU/L, sedangkan pada dosis 800 mg/kg bb terdapat perbedaan signifikan yaitu 312,83 I/L. Hasil rata-rata kadar ureum pada kelompok kontrol dan perlakuan, tidak terdapat perbedaan signifikan. Hasil rata -rata kadar kreatini pada kelompok kontrol dan perlakuan, tidak terdapat perbedaan signifikan. Hasil makropatologi dan histopatologi organ hati pada kelompok kontrol, EEPK dosis 200 mg/kg bb tidak dijumpai perubahan organ, sedang dosis 400 mg/kg bb dan dosis 800 mg/kg bb dijumpai perubahan organ.

Berdasarkan data kadar Serum Glutamic Pyruvic Transaminase dan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase serta data gambaran histopatologi dan makroskopik hati mencit, pemberian ekstrak etanol pecut kuda dosis 200 mg/kg bb tidak menyebabkan efek toksik pada hati, sedangkan dosis 400 dan 800 mg/kg menunjukkan efek toksik pada hati.

(7)

SUBCHRONIC TOXICITY TEST ETHANOL EXTRACT HORSE WHIP (Stachytharpheta jamaicensis L.Vahl) IN MICE

ABSTRACT

Subkronik toxicity test is a test for the detection of toxic effects appear after administration of the test preparation with repeated doses were administered orally to test animals for 28 or 90 days.

Traditionally horse whip is used for the treatment of urinary tract infections and stones, because of strep sore throat (pharynx), cough, rheumatism and menstrual irregularity. The purpose of this study was to determine the toxic effects and determine the safety limit dose of ethanol extract horse whip.

This study was conducted in vivousing male and female mice are 32 tails, which were divided into 4 groups of dose. Doses used in toxicity tests subkronik ethanol extract of horse whip is 200 mg/kg bw, 400 mg/kg bw, 800 mg/kg bw and the control group (CMCNa 0.5%), and given orally every day for 28 days. Observations were made every day include toxic symptoms, body weight, food consumption, death, Serum Glutamic Pyruvic Transaminase and Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase serta levels of measurement, makropatologi and liver histopathology, then statistically analyzed by ANOVA using the Statistical Program Service Solution (SPSS).

Based on observations, found no toxic symptoms in the group a dose of 200 mg/kg bw but at doses of 400 and 800 mg/kg bw found toxic symptoms. Based on statistical test, there were no significant differences in body weight and food consumption between control and treatment groups. There were no deaths at doses of 200 mg/kg bw, but there is death at doses of 400 and 800 mg/kg bw as much as 12.5% and 25%. Average yield SGPT levels at a dose of 200 mg/kg bw did not show significant differences with the controls, but at doses of 400 and 800 mg/kg bw there are significant differences (p < 0.05) is 78.71 IU/L and 80 , 83 IU/L. Average yield SGOT at a dose of 200 mg/kg bw did not show significant differences with the controls, at a dose of 400 mg/kg bw there are significant differences (p < 0.05), ie 250.43 IU/L, whereas at doses of 800 mg/kg bw there are significant differences, namely 312.83 I/L. The average yield of the urea in the control and treatment groups, there were no significant differences. Average yield kreatini levels in the control group and the treatment, there were no significant differences. Results makropatologi and histopathology of liver in the control group, EEPK dose of 200 mg/kg bw not found changes in organs, moderate doses of 400 mg/kg bw and 800 mg/kg bw common organ changes.

Based Serum Glutamic Pyruvic Transaminase and Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase serta levels of data as well as data and macroscopic liver histopathology of mice, administration of ethanol extract of horse whip dose of 200 mg/kg bw did not cause toxic effects on the liver, whereas a dose of 400 and 800 mg/kg caused toxic effects on the liver.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 6

2.1.2 Nama Lokal ... 7

2.1.3 Nama Asing ... 7

(9)

2.1.5 Khasiat Tumbuhan ... 7

2.2 Metode Ekstraksi ... 7

2.3 Toksisitas ... 9

2.3.1 Uji Toksisitas Akut ... 10

2.3.2 Uji Toksisitas Subkronik ... 11

2.3.3 Uji Toksisitas Kronik ... 11

2.4 Hati ... 12

2.4.1 Anatomi Hati ... 12

2.4.2 Fisiologi Hati ... 14

2.4.3 Histologi Hati ... 14

2.4.4 Jenis kErusakan Hati ... 15

2.5 SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) ... 16

2.6 SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Alat dan Bahan ... 18

3.1.1 Alat ... 18

3.1.2 Bahan ... 18

3.2 Hewan Penelitian ... 18

3.3 Pembuatan Suspensi CMCNa 0,5 % ... 19

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Pecut Kuda ... 19

3.5 Pengamatan Toksisitas Subkronik ... 20

3.5.1 Berat Badan ... 21

3.5.2 Kematian Hewan ... 21

(10)

3.5.4 Makroskopik Organ Hati ... 22

3.5.5 Histopatologi Organ Hati ... 22

3.6 Analisis Data ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1 Identifikasi Bahan Tumbuhan ... 24

4.2 Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Pecut Kuda (EEPK) .. 24

4.2.1 Hasil Pengamatan Gejala Toksik ... 24

4.2.2 Hasil Pengamatan Kematian ... 26

4.2.3 Hasil Pengamatan Konsumsi Makanan ... 26

4.2.4 Hasil Pengamatan Berat Badan Mencit ... 27

4.2.5 Hasil Pemeriksaan Kadar SGPT dan SGOT ... 28

4.2.6 Hasil Pengamatan Makroskopik Hati ... 32

4.2.7 Hasil Pengamatan Histopatologi Organ Hati ... 33

4.2.8 Hasil Pemeriksan Kadar Ureum dan Kreatinin ... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1 Kesimpulan ... 38

5.2 Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil pengamatan gejala toksik terhadap perilaku fisik hewan ... 25

4.2 Hasil pengamatan kematian ... 26

4.3 Rata-rata konsumsi makanan hewan uji setelah diberi ekstrak etanol pecut kuda ... 27

4.4 Hasil rata-rata berat badan mencit setelah diberikan ekstrak etanol pecut kuda ... 28

4.5 Hasil pengukuran rata-rata kadar SGPT mencit setelah pemberian ekstrak etanol pecut kuda ... 28

4.6 Hasil pengukuran rata-rata kadar SGOT mencit setelah diberikan ekstrak etanol pecut kuda ... 30

4.7 Hasil pengamatan makroskopik organ hati ... 32

4.8 Hasil pengukuran rata-rata kadar Ureum mencit ... 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5

4.1 Grafik kadar SGPT mencit uji toksisitas subkronik ekstrak etanol

pecut kuda ... 29

4.2 Grafik kadar SGOT mencit uji toksisitas subkronik ekstrak etanol

pecut kuda ... 31

4.3 Makroskopik organ hati mencit setelah diberi CMC-Na 0,5 % dan

ekstrak etanol pecut kuda ... 33

4.4 Gambaran histopatologi hati mencit kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan dosis 200,400 dan 800 mg/kg bb ... 34

4.5 Grafik kadar Ureum mencit uji toksisitas subkronik ekstrak etanol

pecut kuda ... 36

4.6 Grafik kadar Kreatinin mencit uji toksisitas subkronik ekstrak

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil identifikasi tumbuhan ... 43

2. Komite etik penelitian hewan ... 44

3. Gambar tumbuhan pecut kuda ... 45

4. Bagan alurpenelitian uji toksisitas subkronik ... 46

5. Perhitungan volume pemberian ekstrak etanol pecut kuda dosis 200, 400 dan 800 mg/kg bb ... 47

6. Hasil uji pendahuluan ... 48

7. Hasil pengukuran kadar SGPT dan SGOT ... 50

8. Hasil rata-rata kadar SGPT dan SGOT ... 52

9. Gambar hewan percobaan ... 53

10. Hasil analisis spss berat badan ... 54

11. Hasil analisis spss berat makanan ... 58

12. Hasil analisis spss kadar SGPT ... 60

13. Hasil analisis spss kadar SGOT ... 63

14. Hasil analisis spss kadar Kreatinin ... 66

(14)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL PECUT KUDA (Stachytharpheta jamaicensis L.Vahl ) PADA MENCIT

ABSTRAK

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 hari atau 90 hari.

Secara tradisional pecut kuda digunakan untuk pengobatan infeksi dan batu saluran kencing, sakit tenggorokan karena radang (faring), batuk, rematik dan haid tidak teratur. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek toksik dan mengetahui batas keamanan dosis ekstrak etanol pecut kuda.

Penelitian ini dilakukan secara in vivo menggunakan mencit jantan dan betina berjumlah 32 ekor, yang dibagi dalam 4 kelompok dosis. Dosis yang digunakan pada uji toksisitas subkronik ekstrak etanol pecut kuda ini adalah 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb, 800 mg/kg bb dan satu kelompok kontrol (CMCNa 0,5%), dan diberikan per oral setiap hari selama 28 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi gejala toksik, berat badan, konsumsi makanan, kematian, pengukuran kadar ureum, kreatinin, SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase), SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), makropatologi dan histopatologi organ hati, kemudian dianalisis statistik dengan ANOVA menggunakan Statistical Program Service Solution (SPSS).

Berdasarkan hasil pengamatan, tidak ditemukan gejala toksik pada kelompok dosis 200 mg/kg bb namun pada dosis 400 dan 800 mg/kg bb ditemukan gejala toksik. Berdasarkan uji statistik, tidak terdapat perbedaan signifikan pada berat badan dan konsumsi makanan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Tidak terdapat kematian pada dosis 200 mg/kg bb, namun terdapat kematian pada dosis 400 dan 800 mg/kg bb sebanyak 12,5 % dan 25 %. Hasil rata-rata kadar SGPT pada dosis 200 mg/kg bb tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan kontrol, namun pada dosis 400 dan 800 mg/kg bb terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) yaitu 78,71 IU/L dan 80,83 IU/L. Hasil rata-rata kadar SGOT pada dosis 200 mg/kg bb tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan kontrol, pada dosis 400 mg/kg bb terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) yaitu 250,43 IU/L, sedangkan pada dosis 800 mg/kg bb terdapat perbedaan signifikan yaitu 312,83 I/L. Hasil rata-rata kadar ureum pada kelompok kontrol dan perlakuan, tidak terdapat perbedaan signifikan. Hasil rata -rata kadar kreatini pada kelompok kontrol dan perlakuan, tidak terdapat perbedaan signifikan. Hasil makropatologi dan histopatologi organ hati pada kelompok kontrol, EEPK dosis 200 mg/kg bb tidak dijumpai perubahan organ, sedang dosis 400 mg/kg bb dan dosis 800 mg/kg bb dijumpai perubahan organ.

Berdasarkan data kadar Serum Glutamic Pyruvic Transaminase dan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase serta data gambaran histopatologi dan makroskopik hati mencit, pemberian ekstrak etanol pecut kuda dosis 200 mg/kg bb tidak menyebabkan efek toksik pada hati, sedangkan dosis 400 dan 800 mg/kg menunjukkan efek toksik pada hati.

(15)

SUBCHRONIC TOXICITY TEST ETHANOL EXTRACT HORSE WHIP (Stachytharpheta jamaicensis L.Vahl) IN MICE

ABSTRACT

Subkronik toxicity test is a test for the detection of toxic effects appear after administration of the test preparation with repeated doses were administered orally to test animals for 28 or 90 days.

Traditionally horse whip is used for the treatment of urinary tract infections and stones, because of strep sore throat (pharynx), cough, rheumatism and menstrual irregularity. The purpose of this study was to determine the toxic effects and determine the safety limit dose of ethanol extract horse whip.

This study was conducted in vivousing male and female mice are 32 tails, which were divided into 4 groups of dose. Doses used in toxicity tests subkronik ethanol extract of horse whip is 200 mg/kg bw, 400 mg/kg bw, 800 mg/kg bw and the control group (CMCNa 0.5%), and given orally every day for 28 days. Observations were made every day include toxic symptoms, body weight, food consumption, death, Serum Glutamic Pyruvic Transaminase and Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase serta levels of measurement, makropatologi and liver histopathology, then statistically analyzed by ANOVA using the Statistical Program Service Solution (SPSS).

Based on observations, found no toxic symptoms in the group a dose of 200 mg/kg bw but at doses of 400 and 800 mg/kg bw found toxic symptoms. Based on statistical test, there were no significant differences in body weight and food consumption between control and treatment groups. There were no deaths at doses of 200 mg/kg bw, but there is death at doses of 400 and 800 mg/kg bw as much as 12.5% and 25%. Average yield SGPT levels at a dose of 200 mg/kg bw did not show significant differences with the controls, but at doses of 400 and 800 mg/kg bw there are significant differences (p < 0.05) is 78.71 IU/L and 80 , 83 IU/L. Average yield SGOT at a dose of 200 mg/kg bw did not show significant differences with the controls, at a dose of 400 mg/kg bw there are significant differences (p < 0.05), ie 250.43 IU/L, whereas at doses of 800 mg/kg bw there are significant differences, namely 312.83 I/L. The average yield of the urea in the control and treatment groups, there were no significant differences. Average yield kreatini levels in the control group and the treatment, there were no significant differences. Results makropatologi and histopathology of liver in the control group, EEPK dose of 200 mg/kg bw not found changes in organs, moderate doses of 400 mg/kg bw and 800 mg/kg bw common organ changes.

Based Serum Glutamic Pyruvic Transaminase and Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase serta levels of data as well as data and macroscopic liver histopathology of mice, administration of ethanol extract of horse whip dose of 200 mg/kg bw did not cause toxic effects on the liver, whereas a dose of 400 and 800 mg/kg caused toxic effects on the liver.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang mempunyai aneka ragam jenis

tanaman. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah mengenal, meramu, dan

menggunakan tanaman yang berkhasiat sebagai salah satu upaya dalam

penanggulangan masalah kesehatannya. Berbagai upaya dalam meningkatkan

kesehatan masyarakat dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.

Pengobatan menggunakan obat tradisional merupakan salah satu alternatif untuk

memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dibidang kesehatan (Manggung, 2008).

Masyarakat selama ini beranggapan bahwa obat tradisional tidak bisa

menyebabkan keracunan tetapi karena mengandung zat kimia dan digunakan

dalam waktu yang panjang maka efek toksik bisa saja terjadi. Oleh karena itu

perlu terlebih dahulu dilakukan uji keamanan sebagai dasar untuk menjadikan

tanaman sebagai obat fitofarmaka (Arifin, dkk., 2006).

Obat tradisional agar dapat diterima oleh masyarakat maupun pelayanan

kesehatan, harus didukung secara ilmiah tentang khasiat dan keamanan

penggunaannya pada manusia. Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi

fitofarmaka adalah sebagai berikut: seleksi, uji preklinik (uji toksisitas dan

farmakodinamika), pembuatan sediaan terstandar dan uji klinik (Dewoto, 2007).

Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan obat alami adalah

pecut kuda. Tanaman ini mengandung senyawa glikosida, alkaloid dan flavonoid.

(17)

kencing, sakit tenggorokan karena radang (faring), batuk, rematik dan haid tidak

teratur. Bunga dan tangkainya untuk pengobatan radang hati sedangkan akarnya

untuk pengobatan keputihan (Dalimartha, 2002). Penelitian sebelumnya telah

melaporkan bahwa senyawa dari tumbuhan pecut kuda memiliki aktivitas biologis

antara lain antifungi (Winarsih, 2005), antibakteri (Ningrum, 2003), antikanker

(Calista, 2013).

Tanaman ini belum populer digunakan sebagai tanaman obat bagi

masyarakat di Indonesia, bahkan pecut kuda lebih dikenal sebagai tumbuhan liar

yang sering dijumpai di ladang ladang yang tidak terawat. Dalam rangka mencari

sumber senyawa hayati baru sekaligus mencoba mengangkat tumbuhan yang

belum memiliki nilai ekonomi maka pecut kuda dipilih sebagai bahan penelitian

(Indrayani, 2006). Sampai saat ini penggunaan tanaman pecut kuda sebagai

tanaman berkhasiat obat masih berdasarkan pengalaman empiris. Dosis

penggunaan secara ilmiah belum dilakukan pengkajian secara pasti.

Pengembangan pecut kuda sebagai bahan sediaan obat alami harus didukung oleh

penelitian. Salah satu penelitian yang dilakukan adalah pengujian toksisitas.

Peneliti sebelumnya telah melakukan uji toksisitas akut dengan nilai LD50 sebesar

1000 mg/kg BB mencit, termasuk dalam kategori toksik ringan (Citra, 2014).

Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan

kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam

lingkungan. Secara umum toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, sub kronik

dan kronik (Priyanto, 2009). Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian

(18)

dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari

(OECD, 2008).

Hati merupakan organ dalam tubuh yang terlibat dalam metabolisme zat

makanan serta sebagian besar obat dan toksikan (Lu, 1995). Hati sering menjadi

organ sasaran karena zat makanan, sebagian besar obat-obatan serta toksikan yang

memasuki tubuh, setelah diserap toksikan dibawa oleh vena porta ke hati. Oleh

sebab itu, hati menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan lebih

dahulu sebelum organ lain (Santoso dan Nurlaini, 2006). Pemeriksaan enzim

seringkali menjadi satu-satunya petunjuk adanya kerusakan pada sel hati.

Gangguan hati ditandai dengan peningkatan aktivitas serum transaminase berupa

SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase) (Widmann, 1995).

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan pengujian

toksisitas subkronik ekstrak etanol pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L.)

Vahl) pada mencit, mengingat pemanfaatannya yang beragam dan belum

ditemukan informasi mengenai batas keamanannya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat

dirumuskan permasalahan dalam penelitian adalah: apakah ekstrak etanol pecut

kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl) berpengaruh terhadap gejala toksik

(19)

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan di atas, maka hipotesis penelitian ini diduga

ekstrak etanol pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl) berpengaruh

terhadap gejala toksik mencit selama pemberian 28 hari.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui pengaruh ekstrak

etanol pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl) terhadap gejala toksik

mencit selama pemberian 28 hari.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi tentang

potensi toksisitas subkronik pada ekstrak etanol pecut kuda (Stachytarpheta

jamaicensis (L.) Vahl) sebagai salah satu tanaman yang akan digunakan secara

(20)

1.6 Kerangka Pikir penelitian

Adapun kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Variabel bebas Variabel Terikat Parameter

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Pecut kuda tumbuh liar di tepi jalan, tanah lapang dan tempat- tempat

terlantar lainnya. Tanaman yang berasal dari Amerika ini dapat ditemukan di

daerah cerah, sedang, terlindung dari sinar matahari dan pada ketinggian 1- 1500

m dpl. Pecut kuda merupakan terna tahunan, tumbuh tegak, tinggi ± 50 cm,

tumbuh liar disisi jalan daerah pinggir kota, tanah kosong yang tidak terawat.

Daun letak berhadapan, bentuk bulat telur, tepi bergerigi, tidak berambut. Bunga

duduk tanpa tangkai pada bulir - bulir yang berbentuk pecut, panjang 4 - 20 cm.

bunga mekar tidak berbarengan, kecil - kecil warna ungu, putih (Dalimartha,

2000).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Kedudukan kategori taksa untuk jenis pecut kuda di dalam sistematika

tumbuhan adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Lamiales

Famili : Verbenaceae

Genus : Stachytarpheta

(22)

2.1.2 Nama lokal

Jawa : jarong (Sunda), biron, karomenal, sekar laru, ngadirenggo (jawa)

(Dalimartha, 2000).

2.1.3 Nama asing

Yu long Bian (Cina), Snakeweed (Inggris) (Dalimartha, 2000).

2.1.4 Kandungan kimia

Pecut kuda mengandung glikosida, flavonoid dan alkaloid (Dalimartha,

2000).

2.1.5 Khasiat tumbuhan

Herba pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl) digunakan

sebagai obat infeksi dan batu saluran kencing, rematik, sakit tenggorokan,

pembersih darah, haid tidak teratur, keputihan, hepatitis A. Bunga dan tangkainya

untuk pengobatan radang hati sedangkan akarnya untuk pengobatan keputihan

(Dalimartha, 2000).

2.2 Metode Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Depkes, 2000). Ekstrak

adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati

atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung

(BPOM, 2012).

Ekstraksi (dalam istilah farmasi) yaitu proses pemisahan bagian senyawa

aktif yang berkhasiat sebagai obat dari jaringan tanaman atau hewan dengan

(23)

ekstrak (Depkes, 1979). Zat aktif yang terdapat dalam simplisia dapat

digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain

(Ditjen POM, 2000). Tujuan utama ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau

memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan

(Syamsuni, 2006).

Metode ekstraksi yang umum digunakan antara lain yaitu:

a. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan

remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu

baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam

bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan

penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam (Ditjen POM, 2000).

c. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada

temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi

menuju pendingin dan kembali ke labu (Ditjen POM, 2000).

d. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang

(24)

terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel

(Ditjen POM, 2000).

e. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada

temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada

temperatur 40-50°C (Ditjen POM, 2000).

f. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90°C selama 15 menit (Ditjen POM, 2000).

g. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90°C selama 30 menit (Ditjen POM, 2000).

2.3 Toksisitas

Toksisitas adalah potensi bahan kimia untuk meracuni tubuh orang yang

terpapar. Toksisitas adalah kemampuan suatu zat asing dalam menimbulkan

kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan

(Priyanto, 2009).

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu senyawa

pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon dari sediaan uji.

Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat

bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia sehingga dapat

ditentukan dosis penggunaan dan keamanannya (OECD, 2001). Melakukan uji

toksisitas untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi

(25)

Penelitian toksisitas konvensional pada hewan coba sering

mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai dosis

untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi menjadi tiga

kategori (Lu, 1995):

a. Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang sedang

diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam.

b. Uji toksisitas jangka pendek (dikenal dengan subkronik) dilakukan dengan

memberikan bahan kimia berulang-ulang, biasanya setiap hari, selama jangka

waktu kurang lebih tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk

anjing.

c. Uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan kimia

berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya

sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan

untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet.

2.3.1 Uji toksisitas akut

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik

yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam

dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam sebanyak satu kali pemberian

(Lu, 1995). Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan

LD50 (potensi ketoksikan) akut dari suatu senyawa (Priyanto, 2009). Semakin

kecil harga LD50 maka semakin besar potensi ketoksikannya (OECD, 2001).

Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat

(26)

kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan

kematian (OECD, 2001).

2.3.2 Uji Toksisitas Subkronik

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek

toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang

diberikan secara oral pada hewan uji (OECD, 2008).

Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi

adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi

kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang

dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik

dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut

(OECD, 2008). Serta bertujuan untuk menentukan organ sasaran (organ yang

rentan) (Priyanto, 2009).

Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa

tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu

dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama pemberian sediaan uji, hewan

harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Selama waktu dan

pada akhir periode pemberian sediaan uji, hewan yang mati dan masih hidup

diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap

organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia

klinis dan histopatologi (OECD, 2008).

2.3.3 Uji Toksisitas Kronik

Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji

(27)

2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas

subkronik, hanya sediaan uji yang diberikan lebih lama tidak kurang dari 12

bulan. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala toksik,

monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi,

biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (OECD,

2008).

2.4 Hati

Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik adalah

hati. Bahan kimia kebanyakan mengalami metabolisme dalam hati dan oleh

karenanya banyak bahan kimia yang berpotensi merusak sel-sel hati. Bahan kimia

yang dapat mempengaruhi hati disebut hepatotoksik (Wisaksono, 2002).

2.4.1 Anatomi Hati

Hati merupakan organ tubuh terbesar kedua di dalam tubuh, dengan berat

rata-rata sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut sebelah kanan di

bawah diafragma (Junqueira and Carneiro, 2007). Hati terbagi dalam dua belahan

utama kanan dan kiri yang dipisahkan oleh fisura longitudinal (Irianto, 2004).

Warnanya dalam keadaan segar merah kecoklatan, warna tersebut terutama

disebabkan oleh adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997).

Hati tersusun oleh beberapa tipe sel, yaitu:

a. Hepatosit

Sel-sel ini merupakan 70% dari di hati dan 90% dari berat hati total.

Hepatosit tersusun dalam unit-unit fungsional yang disebut asinus atau

lobulus. Setiap lobulus memiliki sebuah vena sentral (vena terminalis) dan

(28)

b. Sel duktus biliaris

Sel-sel duktus biliaris membentuk duktus dalam traktus portal lobulus hepar.

Duktus dari lobulus-lobulus yang berdekatan menyatu berjalan menuju hilus

hepar, dengan ukuran dan garis tengahnya secara bertahap membesar.

c. Sel Vaskular

Hati memiliki pendarahan ganda. Organ ini menerima darah melalui arteri

hepatika dan vena porta. Arteri hepatika dan vena porta masuk ke hepar di

porta hepatis lalu bercabang menjadi pembuluh yang lebih halus berjalan

sejajar sampai mencapai vena sentralis.

d. Sinusoid

Sinusoid hepar adalah saluran darah yang melebar dan berliku-liku, sinusoid

hepar dipisahkan dari hepatosit di bawahnya oleh spatium perisinusoideum

(disse) subendoteial. Akibatnya, zat makanan yang mengalir di dalam

sinusoid memiliki akses langsung melalui dinding endoteial yang tidak utuh

dengan hepatosit. Struktur dan jalur sinusoid yang berliku di hepar

memungkinkan pertukaran zat yang efisien antara hepatosit dan darah. Selain

endotel, sinusoid hepar juga mengandung makrofag, yang disebut sel

kuppffer (macrophagocytus stellatus), terletak di sepanjang sinusoid.

e. Kandung empedu

Kandung empedu adalah organ kecil berongga yang melekat pada permukaan

bawah hepar. Empedu diproduksi oleh hepatosit dan kemudian mengalir

melalui kanalikuli dan disimpan di dalam kandung empedu (Eroschenko,

(29)

2.4.2 Fisiologi Hati

Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar

obat dan toksikan (Lu, 1994).

Fungsi hati adalah sebagai berikut (Setiadi, 2007):

1. Mengubah zat makanan yang diabsorpsi dan yang di simpan di suatu tempat

dalam tubuh, dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya dalam jaringan.

2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresi dalam empedu dan

urin.

3. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.

4. Sekresi empedu, garam empedu di buat di hati, dibentuk dalam sistem

retikuloendotelium, dialirkan ke empedu.

5. Pembentukan ureum, hati menerima asam amino diubah menjadi ureum,

dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urin.

6. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.

Semua darah yang didistribusikan ke saluran pencernaan kembali ke

jantung melalu sistem portal hati untuk menjalani beberapa proses. Dengan

demikian semua zat yang ada dalam darah akan melewati hati dan beberapa zat

dapat menyebabkan kerusakan (Priyanto, 2009).

2.4.3 Histologi Hati

Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hati. Di bagian tengah

setiap lobulus hati terdapat sebuah vena sentralis yang dikelilingi secara radial

oleh sel-sel hati (hepatosit) (Junqueira dan Corneiro, 2007).

Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan sebagian besar organ hati.

(30)

– sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel

Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem

retikuloendotelial tubuh (Lu, 1994).

Darah dipasok melalui vena porta dan arteri hati dan disalurkan melalui

vena sentral dan kemudian vena hati ke vena kava (Lu, 1994). Sebanyak 80% dari

aliran darahnya berasal dari vena porta yang mengangkut darah rendah oksigen.

Sisanya (20%) berasal dari arteri hepatika yang memasok darah kaya oksigen.

Darah meninggalkan hati melalui vena hepatika yang mengalir menuju vena kava

inferior (Underwood, 1994).

2.4.4 Jenis kerusakan hati

Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai

organel dalam sel hati, mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati, seperti

berikut (Lu, 1994):

1. Perlemakan Hati (Steatosis)

Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%.

2. Nekrosis Hati

Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Inti sel yang mati dapat terlihat lebih

kecil dan menjadi lebih padat (kariopiknosis), hancur bersegmen-segmen

(karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis). Nekrosis dapat

bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif.

3. Kolestatis

Jenis kerusakan hati ini bisanya bersifat akut dan jarang ditemukan

(31)

4. Sirosis

Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar

hati.

5. Hepatitis yang Mirip Hepatitis Virus

Berbagai macam obat mengakibatkan suatu sindroma klinis yang tidak dapat

dibedakan dari hepatitis virus. Pada umumnya, obat itu mempunyai ciri-ciri

berikut:

a. Kerusakan hati semacam itu tidak dapat diperlihatkan pada hewan.

b. Tampaknya beberapa efek pada manusia tidak berkaitan dengan dosis.

c. Masa laten sangat beragam.

d. Toksisitas hanya muncul pada beberapa individu yang rentan.

e. Gambaran histologi lebih beragam.

f. Biasanya pasien memperlihatkan tanda-tanda hipersensivitas lain dan

kadang-kadang bereaksi terhadap suatu dosis tantangan.

g. Demam, ruam dan eosinofilia sering ditemukan.

6. Karsinogenesis

Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma

ganas yang paling umum pada hati. Jenis karsinoma lainnya antara lain

angiosarkoma, karsinoma kelenjar, karsinoma trabekular dan karsinoma sel

hati yang tidak berdiferensiasi.

2.5 SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)

Tes fungsi hati yang umum untuk mengetahui adanya gangguan dalam

organ hati adalah SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau ALT

(32)

SGPT merupakan enzim transminase yang dibuat dalam sel hati

(hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim

lain. SGPT sering dijumpai dalam hati, sedangkan SGOT terdapat lebih banyak di

jantung, otot rangka, otak dan ginjal dibandingkan di hati (Sagita, dkk., 2012).

SGPT memberikan hasil yang lebih spesifik dari pada SGOT (Sherlock, 1981;

Bauer, 1982; Murray, et al., 1995). Kadarnya dalam serum meningkat terutama

pada kerusakan dalam hati dibandingkan dengan SGOT (Hadi, 1995).

Kerusakan pada sel hati yang sedang berlangsung dapat diketahui dengan

mengukur parameter fungsi hati berupa zat dalam peredaran darah yang dibentuk

oleh sel hati yang rusak atau mengalami nekrosis. Pemeriksaan enzim seringkali

menjadi satu-satunya petunjuk adanya penyakit hati yang dini atau setempat

(Widman, 1995).

Hepatosit apabila mengalami cedera enzim yang secara normal tersebut

berada di dalam sel yaitu sitoplasma akan masuk ke dalam aliran darah (Sacher

dan Richard, 2004). SGPT darah mencit normal adalah 1777 IU/L (Research

Animal Resources, 2009).

2.6 SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)

SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau Aspartate

aminotransferase (AST) merupakan sebuah enzim yang biasanya terletak di

dalam sel-sel hati. SGOT dilepaskan ke dalam darah ketika hati atau jantung

rusak. Tingkat SGOT dalam darah signifikan dengan tingginya kerusakan hati

atau dengan kerusakan jantung (misalnya serangan jantung). Beberapa obat juga

dapat meningkatkan kadar SGOT. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai

(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan

penelitian yaitu pengujian efek toksisitas subkronik secara oral terhadap mencit

jantan dan betina, pengamatan meliputi gejala toksik, berat badan, konsumsi

makanan, kematian, pengukuran kadar ureum, kreatinin, SGPT dan SGOT,

kemudian dilakukan pemeriksaan secara makroskopik dan mikroskopik organ hati

mencit.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat – alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat – alat gelas,

neraca listrik, aluminium foil, oral sonde, seperangkat alat bedah, neraca hewan,

spuit, mikroskop.

3.1.2 Bahan – bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah ekstrak etanol pecut kuda, akuades,

formalin 10%, natrium CMC, etanol 96 %, hematoksilin, eosin.

3.2 Hewan Penelitian

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit jantan

dan betina sebanyak 32 ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok. Sebelum

pengujian, mencit diaklimatisasi terlebih dahulu selama 7-14 hari. Hewan

(34)

penelitian telah diperoleh surat rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan

dari Komite Etik Penelitian Hewan FMIPA USU (Lampiran 2, halaman 23).

3.3 Pembuatan Suspensi CMCNa 0,5 % b/v

Sebanyak 0,5 g CMC Na dimasukkan ke dalam lumpang yang berisi air

panas sebanyak 10 ml, dibiarkan selama 15 menit sehingga menggembang digerus

hingga diperoleh massa yang transparan, lalu diencerkan dengan akuades.

Kemudian dimasukan ke dalam wadah, cukupkan dengan akuades hingga 100 ml.

3.4 Pengelompokan Hewan Uji dan Pemberian Sediaan Uji

Hewan uji yang digunakan yaitu mencit (Mus musculus) yang sehat

sebanyak 32 ekor yang dibagi ke dalam 4 kelompok perlakuan, tiap kelompok

terdiri dari 8 ekor mencit, yaitu 4 ekor mencit jantan dan 4 ekor mencit betina.

elompok 1 sebagai kontrol, kelompok 2,3 dan 4 sebagai kelompok perlakuan.

Pembagian kelompok hewan uji sebagai berikut :

kelompok 1 : Kontrol, diberi larutan suspensi CMC-Na 0,5 % b/v

kelompok 2 : Perlakuan, diberikan EEPK dengan dosis 200 mg/kg bb

kelompok 3 : Perlakuan, diberikan EEPK dengan dosis 400 mg/kg bb

kelompok 4 : Perlakuan, diberikan EEPK dengan dosis 800 mg/kg bb

Sediaan uji diberikan secara oral menggunakan oral sonde setiap hari

(35)

3.5 Pengamatan Toksisitas Subkronik

Sediaan uji diberikan secara oral setiap hari selama 28 hari. Setelah

diberikan sediaan uji, 1 jam kemudian dilakukan pengamatan selama 2 jam.

Pengamatan yang terjadi berupa gejala-gejala toksik dan gejala klinis seperti

perilaku fisik (tremor, salivasi, diare, lemas, gerak-gerik hewan seperti berjalan

mundur dan menggunakan perut) (Rasyid, 2012).

Adapun cara pengamatannya, yaitu:

1. Salivasi

Pengeluaran salivasi mencit yang telah diberi ekstrak etanol pecut kuda

dibandingkan dengan kontrol, menggunakan kertas saring.

2. Diare

Pengeluaran tinja mencit yang telah diberi ekstrak etanol pecut kuda

dibandingkan dengan kontrol, menggunakan kertas saring.

3. Tremor

Hewan yang telah diberi ekstrak etanol pecut kuda, diamati tremor atau

tubuh hewan bergetar.

4. Lemas

Hewan yang telah diberi ekstrak etanol pecut kuda diamati aktivitasnya

secara umum.

5. Gerak-gerik hewan

Hewan yang telah diberi ekstrak etanol pecut kuda diamati gerak

(36)

3.5.1 Berat Badan

Mencit ditimbang setiap hari selama 28 hari untuk menentukan volume

sediaan uji yang akan diberikan. Sedangkan jumlah makanan yang dikonsumsi

ditimbang setiap seminggu sekali. Perubahan berat badan dianalisis seminggu

sekali. Pada akhir penelitian, hewan yang masih hidup diotopsi (BPOM RI.,

2011).

3.5.2 Kematian Hewan

Kematian mencit diamati dari hari pertama sampai hari ke 28 dan mencit

yang mati selama waktu pemberian sediaan uji segera diotopsi (BPOM RI., 2011).

3.5.3 Pengukuran kadar SGPT dan SGOT

Pada akhir periode pemberian sediaan uji semua mencit yang masih hidup

diotopsi. Hewan didislokasi lehernya kemudian darah diambil melalui jantung

(intra cardiac) secara perlahan-lahan menggunakan alat suntik steril sebanyak 1-3

ml. Sebanyak 1 ml darah dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifuge dan

didiamkan pada suhu kamar selama 10 menit, kemudian dipindahkan ke dalam

tangas es dan segera disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm

hingga dihasilkan serum yang bening. Serum dipisahkan, kemudian diperiksa

kadar SGPT dan SGOT dengan menggunakan alat sprektrofotometer.

Penetapan kadar SGPT dan SGOT dengan cara sejumlah 100 µl serum uji

direaksikan dengan 1000 µl pereaksi uji untuk pemeriksaan SGPT dan SGOT

dalam tabung reaksi 5 ml, dihomogenkan dengan bantuan vortex. Absorbansi

diukur dengan spektrofotometer pada suhu 37°C tepat setelah menit ke 1, 2, dan 3

(37)

(preaksi+akuades). Kadar SGPT dan SGOT dapat ditentukan dengan menghitung

rata-rata selisih absorbansi sampel permenit dikalikan faktor 1745.

3.5.4 Makroskopik Organ Hati

Mencit yang mati segera diotopsi dan dilakukan pengamatan terhadap

organ hati. Pengamatan meliputi warna, permukaan dan konsistensi organ hati

secara visual.

3.5.5 Histopatologi Organ Hati

Organ yang diperiksa secara histopatologi adalah hati. Organ yang sudah

dipisahkan segera dimasukkan dalam larutan dapar formalin 10% dan dibuat

preparat histopatologi dengan pewarnaan hematoksilin & eosin kemudian

diperiksa di bawah mikroskop.

Prosedur pembuatan preparat histopatologi:

a. Organ yang akan diperiksa direndam didalam larutan dapar formalin 10%

pada suhu kamar.

b. Organ dipotong, pemotongan dilakukan pada lobus terbesar hati.

c. Untuk menghilangkan sisa formalin dilakukan pencucian dengan air

mengalir.

d. Dilakukan proses dehidrasi dengan etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut.

Kemudian dilanjutkan dengan penjernihan menggunakan xilen sebanyak tiga

kali selama 1 jam.

e. Proses penanaman. Caranya: sampel direndam dengan parafin cair pada suhu

60 – 70o C selama 2 jam.

f. Dilakukan pencetakan dan dibiarkan membeku, kemudian blok parafin

(38)

µm. Setelah memperoleh potongan yang bagus, potongan tersebut

ditempelkan pada kaca obyek. Sayatan organ yang telah menempel pada kaca

obyek segera diletakkan pada permukaan pemanas dengan suhu 56 - 58° C

selama kurang lebih 10 detik, sehingga organ meregang dan menempel pada

kaca obyek sambil diatur jangan sampai organ berkerut atau melipat.

Selanjutnya preparat disimpan dalam suhu kamar untuk dilakukan

pewarnaan.

g. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan hematoksilin-eosin. Pertama

sediaan direndam dengan larutan xilen untuk proses deparafinasi

masing-masing selama 12 menit. Kemudian dilakukan proses dehidrasi dengan

merendam preparat dalam etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut selama 5

menit, dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya direndam dengan larutan

hematoksilin selama 5 menit, dicuci dengan air mengalir, dilakukan

pewarnaan dengan eosin. Kemudian, dicelupkan ke dalam etanol 70%, 80%,

90%, dan etanol absolut masing-masing selama 10 menit. Terakhir

dimasukkan kedalam xilen selama 12 menit. Preparat diamati dibawah

mikroskop.

3.6 Analisis Data

Data jumlah hewan uji yang mati dianalisa secara statistik menggunakan

SPSS dengan metode One Way Analysis of Variance (ANOVA) dilanjutkan

dengan uji post hoc Tukey untuk mengetahui perbedaan signifikan berat badan,

(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Bahan Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Bogor menyebutkan

bahwa tumbuhan yang digunakan adalah tumbuhan pecut kuda (Stachytarpheta

jamaicensis (L.) Vahl) (Lampiran 1, halaman 23). Ekstrak etanol pecut kuda

diperoleh dari penguji sebelumnya yang telah melakukan uji toksisitas akut (Citra,

2014).

4.2 Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Pecut Kuda (EEPK)

Pengamatan terhadap uji toksisitas subkronik EEPK dilakukan setiap hari

selama 28 hari meliputi perilaku fisik, jumlah kematian hewan, jumlah makanan,

berat badan, kadar ureum, kreatinin, SGPT, SGOT, makropatologi dan gambaran

histopatologi organ hati.

4.2.1 Hasil pengamatan gejala toksik

Hasil pengamatan terhadap perilaku fisik hewan uji dapat dilihat pada

(40)

Tabel 4.1 Hasil pengamatan gejala toksik terhadap perilaku fisik hewan Kelompok

Hewan

Gejala Toksik Hari ke-

1-4 5-14 15-21 22-28

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pada pemberian ekstrak etanol

pecut kuda pada dosis 200, 400 dan dosis 800 mg/kg BB tidak menunjukkan

gejala toksik pada pengamatan tremor, diare, salivasi, lemas, jalan mundur dan

jalan dengan perut. Namun pada dosis 400 dan 800 mg/kg BB ditemukan gejala

toksik pada perilaku fisik hewan berupa penurunan aktivitas gerak hewan ditandai

dengan lemas. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan antara dosis dan efek

toksik, dimana makin besar dosis yang diberikan makin besar efek toksik yang

(41)

dengan dosis yang diberikan yaitu efek samping, efek merugikan dan efek toksik

(Priyanto, 2009).

4.2.2 Hasil pengamatan kematian

Hasil pengamatan kematian hewan selama waktu pemberian sediaan uji

dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil pengamatan kematian

Kel. Jumlah

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pemberian EEPK pada

kelompok dosis 200 mg/kg bb tidak terdapat mencit yang mati, dosis 400 mg/kg

bb terdapat 1 ekor mencit yang mati pada hari ke 26 dengan persen kematian

12,5% dan pada dosis 800 mg/kg bb terdapat 2 ekor mencit yang mati pada hari

ke 8 dan 22 dengan persen kematian 25%. Hal tersebut dikarenakan besarnya

dosis EEPK yang menyebabkan kematian pada mencit. Efek toksik bertambah

dengan naiknya dosis (Koeman, 1987).

4.2.3 Hasil pengamatan konsumsi makanan

Hasil pengamatan konsumsi makanan yang diberikan pada hewan uji

(42)

Tabel 4.3 Rata-rata konsumsi makanan hewan uji setelah diberi ekstrak etanol pecut kuda

Kelompok Rata-rata konsumsi makanan (g) ± SD pada minggu ke-

1 2 3 4

K1 25,39 ± 0,60 24,77 ± 0,60 25,13 ± 0,87 25,05 ± 0,65 K2 24,84 ± 1,09 24,44 ± 0,94 24,71 ± 0,82 24,92 ± 0,68 K3 25,15 ± 0,92 24,91 ± 0,78 24,99 ± 0,95 25,16 ± 0,37 K4 25,10 ± 0,86 24,91 ± 1,05 25,02 ± 0,48 25,16 ± 0,91

Keterangan: K1 = normal; K2 = dosis 200 mg/kg BB; K3 = dosis 400 mg/kg BB; K4 = dosis 800 mg/kg BB

Berdasarkan hasil statistik jumlah konsumsi makanan pada Tabel 4.3

terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok normal

dan kelompok perlakuan dimana p > 0,05. Hal ini berarti bahwa pemberian

ekstrak etanol pecut kuda tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

konsumsi makanan mencit.

4.2.4 Hasil pengamatan berat badan mencit

Untuk mengetahui efek toksik dari suatu zat, ada beberapa parameter yang

merupakan indikator, yaitu perilaku fisik, berat badan, konsumsi makanan dan

minuman (Gupta et al, 2012). Hasil pengamatan berat badan mencit setelah

(43)

Tabel 4.4 Hasil rata-rata berat badan mencit setelah diberikan ekstrak etanol pecut kuda

Kelompok Rata-rata berat badan (g) ± SD pada hari ke-

1 7 14 21 28

Berdasarkan hasil statistik berat badan mencit setelah diberikan ekstrak

etanol pecut kuda yang ditunjukkan pada Tabel 4.4 tidak terdapat perbedaan yang

signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dimana p > 0,05. Hal

ini berarti tidak ada pengaruh ekstrak etanol pecut kuda dengan berat badan

mencit.

4.2.5 Hasil pemeriksaan kadar SGPT dan SGOT

Kelainan hati dapat diketahui dengan pemeriksaan kadar enzim, salah

satunya adalah dengan mengukur kadar enzim transminase yaitu Serum Glutamat

Piruvat Transminase (SGPT). Hasil analisa kimia darah mencit untuk pengujian

kandungan SGPT dilakukan pada akhir perlakuan yaitu hari ke-29,dapat dilihat

pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil pengukuran rata-rata kadar SGPT mencit setelah diberikan ekstrak etanol pecut kuda

Kelompok Rata-rata kadar SGPT (IU/L) ± SD

Normal 38,00 ± 5,55

Dosis 200 mg/kg BB 46,00 ± 7,21

Dosis 400 mg/kg BB 78,71 ± 4,88*

(44)

Gambar 4.1 Grafik kadar SGPT mencit uji toksisitas subkronik ekstrak etanol pecut kuda

*= berbeda signifikan dengan kontrol

Berdasarkan hasil pengukuran kadar SGPT mencit pada Tabel 4.5 terdapat

perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan dosis 400 mg/kg bb

dan dosis 800 mg/kg bb. Pada kelompok kontrol rata-rata kadar SGPT (38,00

IU/L), dosis 200 mg/kg bb (46,00 IU/L), terlihat hasil rata-rata kadar SGPT masih

dalam batas normal. Pada dosis 400 mg/kg bb rata-rata kadar SGPT (78,71 IU/L)

dan dosis 800 mg/kg bb (80,83 IU/L), rata-rata kadar SGPT kelompok tersebut di

atas batas normal. Kadar SGPT darah mencit normal adalah 17-77 IU/L (Research

Animal Resources, 2009).

Tes fungsi hati yang umum untuk mengetahui adanya gangguan organ hati

adalah besarnya kandungan SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)

(Wibowo, dkk., 2005). SGPT merupakan enzim transminase yang dibuat dalam

sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan

enzim lain. SGPT sering dijumpai dalam hati, sedangkan SGOT terdapat lebih

kontrol 200 mg/kg BB 400 mg/kg BB 800 mg/kg BB

(45)

banyak di jantung, otot rangka, otak dan ginjal dibandingkan di hati (Sagita, dkk.,

2012). SGPT memberikan hasil yang lebih spesifik dari pada SGOT (Sherlock,

1981; Bauer, 1982; Murray, et al., 1995). Kadarnya dalam serum meningkat

terutama pada kerusakan dalam hati dibandingkan dengan SGOT (Hadi, 1995).

Apabila terjadi kerusakan pada membran sel hepatosit, permeabilitas sel

hepar akan meningkat kemudian enzim yang secara normal berada di dalam sel

yaitu sitoplasma, akan keluar ke sirkulasi darah (Sacher dan Richard, 2004).

Hasil analisa kimia darah mencit untuk pengujian kandungan SGOT

dilakukan pada akhir perlakuan, hari ke-29 untuk kelompok uji disajikan pada

Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil pengukuran rata-rata kadar SGOT mencit setelah diberikan ekstrak etanol pecut kuda

Kelompok Rata-rata kadar SGOT (IU/L) ± SD

Normal 84,75 ± 14,22

Dosis 200 mg/kg BB 116,12 ± 68,02

Dosis 400 mg/kg BB 250,43 ± 36,63*

Dosis 800 mg/kg BB 312,83 ± 67,24*

(46)

Gambar 4.2 Grafik kadar SGOT mencit uji toksisitas subkronik ekstrak etanol pecut kuda

*= berbeda signifikan dengan kontrol

Berdasarkan hasil pengukuran kadar SGOT mencit pada Tabel 4.6 terdapat

perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan dosis 400 mg/kg bb

dan dosis 800 mg/kg bb. Pada kelompok kontrol rata-rata kadar SGOT (84,75

IU/L), dosis 200 mg/kg bb (116,12 IU/L) dan dosis 400 mg/kg bb (250,43 IU/L),

terlihat hasil rata-rata kadar SGOT masih dalam batas normal. Pada kelompok

perlakuan rata-rata kadar SGOT dosis 800 mg/kg bb (312,83), rata-rata kadar

SGOT kelompok tersebut berada di atas batas normal. Kadar SGOT normal

54-298 IU/L (Research Animal Resources, 2009).

SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau Aspartate

aminotransferase (AST) merupakan sebuah enzim yang biasanya terletak di

dalam sel-sel hati. SGOT dilepaskan ke dalam darah ketika hati atau jantung

rusak. Tingkat SGOT dalam darah signifikan dengan tingginya kerusakan hati

atau dengan kerusakan jantung (misalnya serangan jantung). Beberapa obat juga 0

Kontrol 200 mg/kg bb 400 mg/kg bb Dosis 800 mg/kg

(47)

dapat meningkatkan kadar SGOT. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai

pada otot jantung, ginjal dan otot rangka (Krysanti, 2014).

Kerusakan pada sel hati yang sedang berlangsung dapat diketahui dengan

mengukur parameter fungsi hati berupa zat dalam peredaran darah yang dibentuk

oleh sel hati yang rusak atau mengalami nekrosis. Pemeriksaan enzim seringkali

menjadi satu-satunya petunjuk adanya penyakit hati yang dini atau setempat

(Widman, 1995).

4.2.6 Hasil pengamatan makroskopik hati

Sebelum dilakukan pemeriksaan histopatologi, organ hati terlebih dahulu

diamati makroskopiknya. Hasil pengamatan makroskopik organ hati setelah

diberikan ekstrak etanol pecut kuda ditunjukkan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil pengamatan makroskopik organ hati

Kelompok Pengamatan

Warna konsistensi Permukaan

Normal Merah kecoklatan Kenyal Licin

Dosis 200 mg/kg BB Merah kecoklatan Kenyal Licin Dosis 400 mg/kg BB Merah kehitaman Kenyal Licin Dosis 800 mg/kg BB Pucat Tidak kenyal Licin

Pada Tabel 4.7 terlihat pada kelompok kontrol dan dosis 200 mg/kg bb

organ hati masih dalam keadaan normal yang berwarna merah kecoklatan,

permukaannya licin dan konsistensinya kenyal. Kriteria normal pada organ hati

bila tidak ditemukan perubahan warna, perubahan struktur permukaan dan

perubahan konsistensi (Anggraini, 2008). Pada dosis 400 mg/kg bb dan 800

mg/kg bb sudah terjadi perubahan warna pada organ hati yaitu merah kehitaman

(400 mg/kg bb) dan warna pucat, tidak kenyal (800 mg/kg bb).

Perubahan warna menjadi salah satu parameter terjadinya efek toksik yang

(48)

dengan organ sasaran dan efek terhadap organ tersebut (Lu, 1995). Hasil

pengamatan makroskopik organ hati dapat dilihat pada Gambar 4.3.

a. Kontrol b. Dosis 200 mg/kg bb

c. Dosis 400 mg/kg bb d. Dosis 800 mg/kg bb

Gambar 4.3 Makroskopik organ hati mencit yang diberi CMC-Na 0,5% dan ekstrak etanol pecut kuda

4.2.7 Hasil pengamatan histopatologi organ hati

Organ hati pada mencit yang mati segera diambil pada akhir periode

pemberian sediaan uji, semua mencit yang masih hidup diotopsi. Organ hati

diambil kemudian dibuat menjadi preparat histopatologi selanjutnya dilihat

kerusakan jaringan di bawah mikroskop.

Hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan

toksikan (Ariens, dkk., 1986). Zat makanan, sebagian besar obat-obatan serta

(49)

dibawa oleh vena porta ke hati. Oleh sebab itu, hati menjadi organ yang sangat

potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum organ lain (Santoso dan

Nurlaili, 2006). Terjadinya kerusakan pada hati dapat menjadi petunjuk apakah

suatu zat yang diberikan bersifat toksik atau tidak (Elya, dkk., 2010). Hasil

kerusakan dapat dilihat pada Gambar 4.4.

a. Kontrol b. Dosis 200 mg/kg bb

c. Dosis 400 mg/kg bb d. Dosis 800 mg/kg bb

Gambar 4.4 Hasil gambaran histopatologi hati mencit kelompok kontrol dan kelompok pelakuan dosis 200, 400 dan 800 mg/kg bb (perbesaran 10x10), (1) = sinusoid, (2) = vena sentral, (3) = hepatosit, (4) = pelebaran vena sentral, (5) = sel nekrosis

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol dosis 200 mg/kg bb tidak

mengalami kerusakan hati, sedangkan pada dosis 400 mg/kg BB terjadi pelebaran 1

2

3

4

(50)

pada vena sentral disebabkan karena rusaknya sel endotel yang peka terhadap zat

toksik, hal ini merupakan awal dari kerusakan hati yang dapat mengakibatkan sel

hati mengalami degenerasi hingga nekrosis (Rusmiati, 2004).

Pada gambar di atas dapat dilihat pada dosis 800 mg/kg BB terjadi

kerusakan pada hati berupa nekrosis. Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Inti

sel yang mati terlihat lebih kecil dan lebih padat (Kasno, 2003). Nekrosis

merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis

karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa (Lu,

1994).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga

terjadi kematian sel (Lu, 1995). Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat

atau berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan

tidak dapat melanjutkan metabolisme (Juhryyah, 2008). Inti sel yang mati dapat

terlihat lebih kecil dan menjadi lebih padat (kariopiknosis), hancur

bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood,

1994). Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset

pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan

(Jubb, dkk., 1993).

4.2.8 Hasil Pemeriksaan Kadar Ureum dan Kreatinin

Untuk mengetahui fungsi ginjal, biasanya dinilai dari kadar kreatinin dan

ureum. Hasil analisa kimia darah mencit untuk pengujian kadar ureum dilakukan

(51)

Tabel 4.8 Hasil pemeriksaan kadar ureum mencit setelah diberikan ekstrak etanol pecut kuda

Kelompok Rata-rata kadar Ureum (mg/dl) ± SD

Normal 41,88 ± 1,80

Dosis 200 mg/kg BB 45,88 ± 3,56

Dosis 400 mg/kg BB 45,57 ± 2,76

Dosis 800 mg/kg BB 50,33 ± 4,45

Gambar 4.5 Grafik kadar Ureum mencit uji toksisitas subkronik ekstrak etanol pecut kuda

Berdasarkan hasil pengukuran kadar ureum mencit pada Tabel 4.8 tidak

terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok. Pada dasarnya ureum

merupakan hasil metabolisme protein yang dibuat oleh hati. Hati berfungsi

menetralkan racun dengan mengeluarkan suatu senyawa asam amino ornitin yang

akan bergabung dengan senyawa lain untuk membentuk ureum. Setelah ureum

terbentuk, ureum berdifusi dari sel hati masuk ke dalam cairan tubuh dan

disekresikan oleh ginjal (Guyton, 1997). 0

Kontrol 200 mg/kg bb 400 mg/kg bb 800 mg/kg bb

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
Tabel 4.1 Hasil pengamatan gejala toksik terhadap perilaku fisik hewan
Tabel 4.2 Hasil pengamatan kematian
Tabel 4.3 Rata-rata konsumsi makanan hewan uji setelah diberi ekstrak etanol
+7

Referensi

Dokumen terkait

Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efektoksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yangdiberikan secara oral dalam dosis

Tujuan uji toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, memperoleh informasi kemungkinan

Uji Toksisitas Subkronis Kombinasi Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) Dan Rimpang Jahe Gajah (Zingiber officina le rosc.) Pada Tikus Wistar..

Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama

efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis yang.. Tujuan toksisitas subkronik

Uji toksisitas subkronik adalah suatu pengujian untuk mengetahui efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis yang diberikan secara oral

Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan

Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada