PEMAHAMAN MASYARAKAT BANTARAN SUNGAI BABURA DI LINGKUNGAN I KELURAHAN PADANG BULAN MEDAN
TENTANG MANAJEMEN BENCANA BANJIR
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Disusun Oleh :
IKHWANUL M. TANDOMATO 060902023
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAK
Pemahaman Masyarakat Bantaran Sungai Babura Di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan Tentang Manajemen Bencana Banjir
Seperti halnya di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan, salah satu permasalahan non-teknis yang cukup besar dari banjir adalah ketahanan masyarakat yang masih rendah dalam menghadapinya. Hal ini berpangkal pada kurangnya pemahaman masyarakat tentang bencana banjir itu sendiri. Masyarakat masih menilai bahwa banjir adalah permasalahan pemerintah dan pemerintah secara penuh bertanggung jawab untuk mengatasinya. Padahal dalam menanggulangi banjir atau bencana apapun, peran aktif masyarakat justru sangat dibutuhkan dan mereka pada dasarnya merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari penanggulangan tersebut. Maka untuk memulainya, perlu digali lebih dalam bagaimana pemahaman masyarakat tentang manajemen bencana banjir. Hal ini nantinya menjadi modal tersendiri sebagai upaya penglibatan masyarakat dalam menanggulangi banjir di lingkungan mereka. Itu pulalah yang juga coba digali dari masyarakat Lingkungnga I yang tinggal di bantaran Sungai Babura melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tersebut tentang manajemen bencana banjir. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Unit analisis dalam penelitian adalah masyarakat Lingkungan I yang tinggal di bantaran Sungai Babura. Sedangkan informan berjumlah empat orang yang direkomendasikan oleh Kepala Lingkungan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi lapangan, dan studi pustaka dari arsip pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Lingkungan I yang tinggal di bantaran Sungai Babura sama sekali tidak memahami manajemen bencana banjir. Namun beberapa tindakan teknis yang mereka lakukan adalah tindakan pencegahan dan antisipasi yang merupakan bagian dari tahap pra bencana, yaitu kesiagaan dan mitigasi. Hanya saja mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan adalah bagian dari tahapan manajemen bencana.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan sekalian alam. Dia memberikan hidup dan sehat, menabur rezeki, mengendalikan waktu, serta melimpahkan nikmat lahir dan bathin. Berkat segala rahmat dan anugrah-Nya dan setelah melalui lika-liku proses yang ada, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih ya Allah.
Tidak lupa pula shalawat dan salam bagi nabi besar Muhammad SAW. Pejuang besar dunia, tauladan manusia, sederhana yang kaya. Semoga segala kebaikannya terus mengiringi manusia dari masa ke masa.
Limpahan do’a juga penulis panjatkan untuk para pahlawan yang kini berada disisi Sang Kuasa. Semoga apa yang telah mereka perjuangkan dapat terus terjaga dan terpertahankan, dan apa yang belum mereka capai untuk bangsa ini dapat pula diperjuangkan.
Setiap apa yang dilakukan manusia tidak akan luput dari kesalahan. Karena hanya yang Kuasa-lah yang Maha Sempurna. Begitu juga dengan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari masih terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Oleh karenanya penulis sangat berterima kasih bila nantinya pembaca dapat memberikan kritik dan saran dalam upaya penyempurnaannya.
Secara khusus penulis mempersembahkan skripsi ini untuk kedua orang tua tercinta Ayahanda Boiman dan Ibunda Yan Hafizah yang telah lama menunggu. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga atas segala pengorbanan, do’a serta dukungan yang ayahanda dan ibunda berikan, sehingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis berjanji akan memberikan yang terbaik kedepannya.
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos, M.SP selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Husni Thamrin S.Sos, M.SP selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan waktu, nasehat serta dukungannya kepada penulis.
4. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si dan Bapak Lagut Sutandra, S.Sos, M. SP yang telah memberikan kemudahan dalam proses perbaikan nilai mata kuliah.
5. Bapak Frans Siahaan, SSTP, M.SP selaku Lurah Kelurahan Padang Bulan beserta staf yang telah memberikan izin penelitian serta data-data yang dibutuhkan.
6. Adik-adik penulis yang tercinta, Indi Zakiah Nur, M. Ihsan, Putri Nurbaiti, dan Aufal Azzaky yang selalu memberikan dukungan semangat serta do’anya, sehingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
7. Uak penulis, Riza Evifa serta kakak dan abang sepupu, Dewi Fadhiawati dan M. Richard Boy atas nasehat yang tidak pernah putus.
8. Sahabat dan saudara penulis, Jiwa Wibowo atas dukungan, do’a dan persahabatan kita. 9. Nathania Asri yang telah memberikan dukungan, do’a, serta waktunya untuk berbagi
cerita dalam penyelesaian skripsi ini.
10.KaeSeL yang telah memberikan warna dalam perjalanan kampus penulis. Semoga kau baik-baik saja disana.
12.Kawan-kawan stambuk 2006 di HMI Komisariat FISIP USU, Indra, Regar, Amar, Ial, Rian A, Rian P, Reza, Dyah, Ais, Adel, Ulfa, dan Desi yang terus menerus mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi. Sambut aku kawan.
13.HMI Komisariat FISIP USU yang tidak hanya telah menjadi tempat belajar namun juga memberikan tangis, tawa, suka,duka, dan ikatan kekeluargaan kepada penulis.
14.Kawan-kawan satu angkatan Jemari Rimba-16 di KOMPAS-USU, Yudha, Tanjung, Kibo, Fariza, Depo, Ardi, Gibran, Ripa, Tika, Osin, Imel, Yura, Putri, Sherni, dan Devi atas dukungan dan kebersamaan kita selama ini. Nanti kita semua harus bertemu. 15.Korps Mahasiswa Pencinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup Universitas Sumatera
Utara (KOMPAS-USU) yang selama ini telah menempa diri dan menjadi rumah tersendiri bagi penulis. Aku akan seumur hidup-KU.
16.Sahabat-sahabat penulis stambuk 2005 di UMSU, terkhusus kepada Fian, Mimi, Rafi, Ocky, Adit, dan Kikul. Kalian menjadi motivasi skripsi ini selesai.
17.Kawan-kawan MAPALA-SU atas dukungan serta kegiatan-kegiatan yang tidak seberapa yang pernah kita lakukan bersama.
Tetap menyadari kekuranganya, namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca nantinya.
Medan, 7 Februari 2013 Penulis
DAFTAR ISI
1.2.Perumusan Masalah. ………4
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian. ………5
1.3.1. Tujuan Penelitian. ………..………...…5
1.3.2. Manfaat Penelitian. ……….……….5
1.4.Sistematika Penulisan. ………5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. ………6
2.1. Defenisi Pemahaman ……….7
2.2. Masyarakat. ………...8
2.2.1. Pengertian Masyarakat. ……….8
2.2.2. Masyarakat Perkotaan. ……….9
2.3. Pemukiman. ………10
2.3.1. Strategi Pengembangan Pemukiman. ………10
2.3.2. Pengembangan Pengelolaan Pemukiman. ……….……11
2.4. Kependudukan. ………..12
2.5. Sungai.……….13
2.5.1. Pengertian. ……….13
2.5.2. Fungsi-Fungsi Sungai ………14
2.5.3. Daerah Aliran Sungai. ………..……15
2.6. Bencana. ………16
2.6.1. Pengertian Bencana. ………16
2.6.2. Jenis-Jenis Bencana ……….17
2.6.3. Manajemen Bencana. ………18
2.7.2. Faktor-Faktor Penyebab Banjir. ……….23
2.7.3. Penanggulangan Banjir. ………..24
2.8. Kerangka Pemikiran. ………..26
2.9. Defenisi Konsep dan Operasional. ………..28
2.9.1. Defenisi Konsep ………28
2.9.2. Defenisi Operasional. ……….28
BAB III. METODE PENELITIAN. 3.1. Jenis Penelitian ……….……30
3.2. Lokasi Penelitian. ……….30
3.3. Unit Analsis dan Informan ………....31
3.4. Teknik Pengumpulan Data ………31
3.5. Teknik Analisis Data ……….32
BAB IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ………...33
4.1. Gambaran Umum ………33
4.2. Letak Geografis ………..33
4.3. Demografi ………...34
4.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin …………..35
4.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ……….35
4.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku/Etnis ………36
4.3.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia …………37
4.3.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ………38
4.3.6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ……….39
4.4. Sarana dan Prasarana ………..40
4.4.1. Sarana Pendidikan ………41
5.2.1. Informan Kunci Pertama (Amiruddin) ...47
5.2.2. Informan Kunci Kedua (Kadirman) ...55
5.2.3. Informan Kunci Ketiga (Suparmin) ...61
5.2.4. Informan Kunci Keempat (Wido Darmawanto) ...71
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ……….83
6.1. Kesimpulan ...83
6.2. Saran ...85
DAFTAR TABEL DAN BAGAN
Tabel 1. Komposisi Penggunaan Lahan ……… .. 34
Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 35
Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ……… 35
Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku/Etnis ………. 36
Tabel 5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia ……….. 37
Tabel 6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ………. 38
Tabel 7. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ……… . 39
Tabel 8. Sarana Pendidikan ……….. 41
Tabel 9. Sarana Kesehatan ………. 42
Tabel 10. Sarana Rumah Ibadah ……….. 43
Tabel 11. Sarana Olah Raga ……… 43
ABSTRAK
Pemahaman Masyarakat Bantaran Sungai Babura Di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan Tentang Manajemen Bencana Banjir
Seperti halnya di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan, salah satu permasalahan non-teknis yang cukup besar dari banjir adalah ketahanan masyarakat yang masih rendah dalam menghadapinya. Hal ini berpangkal pada kurangnya pemahaman masyarakat tentang bencana banjir itu sendiri. Masyarakat masih menilai bahwa banjir adalah permasalahan pemerintah dan pemerintah secara penuh bertanggung jawab untuk mengatasinya. Padahal dalam menanggulangi banjir atau bencana apapun, peran aktif masyarakat justru sangat dibutuhkan dan mereka pada dasarnya merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari penanggulangan tersebut. Maka untuk memulainya, perlu digali lebih dalam bagaimana pemahaman masyarakat tentang manajemen bencana banjir. Hal ini nantinya menjadi modal tersendiri sebagai upaya penglibatan masyarakat dalam menanggulangi banjir di lingkungan mereka. Itu pulalah yang juga coba digali dari masyarakat Lingkungnga I yang tinggal di bantaran Sungai Babura melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tersebut tentang manajemen bencana banjir. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Unit analisis dalam penelitian adalah masyarakat Lingkungan I yang tinggal di bantaran Sungai Babura. Sedangkan informan berjumlah empat orang yang direkomendasikan oleh Kepala Lingkungan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi lapangan, dan studi pustaka dari arsip pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Lingkungan I yang tinggal di bantaran Sungai Babura sama sekali tidak memahami manajemen bencana banjir. Namun beberapa tindakan teknis yang mereka lakukan adalah tindakan pencegahan dan antisipasi yang merupakan bagian dari tahap pra bencana, yaitu kesiagaan dan mitigasi. Hanya saja mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan adalah bagian dari tahapan manajemen bencana.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah.
Indonesia memang tidak ada habis-habisnya diterpa banjir. Hampir tidak ada wilayah di Indonesia yang tidak pernah mengalaminya. Mulai dari banjir Aceh Tenggara, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang untuk wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, banjir Ibu Kota Jakarta untuk wilayah pulau Jawa, sampai kepada banjir Wasior dan Kota Sarmi Papua. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2010, dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1979 – 2009 tercatat sebanyak 2.509 kejadian banjir melanda Indonesia. Dari angka ini berarti rata-rata kejadian pertahun adalah sebanyak 83,6 kejadian, atau 6,9 kejadian perbulan, atau 1,7 kejadian setiap minggunya. Sungguh merupakan fakta yang memprihatinkan. Bayangkan saja dalam setiap minggunya selama 30 tahun setidaknya satu kali terjadi banjir di Indonesia. Waktu 30 tahun bukanlah merupakan waktu yang singkat. Bahkan lebih lama dari penjajahan Jepang di Indonesia.
Lalu akan seperti apa nantinya cerita banjir di negeri ini untuk 30 tahun kedepan. Akan lebih baik atau malah lebih parah dari 30 tahun sebelumnya. Siapapun tidak menginginkan dalam setiap minggunya harus berhadapan dengan banjir. Apalagi kekuatan banjir yang terjadi mampu merenggut korban jiwa. Pemerintah (1979-2009) mungkin sudah mengupayakan segala cara untuk menangani banjir yang terjadi. Tetapi sampai saat ini penanganan banjir di negara ini masih saja tergolong lamban, dan sistem yang dipakai di daerah-daerah secara nasional juga belum seragam. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum satu pemahaman memandang bencana banjir.
dikeluarkan pada tanggal 29 Desember 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Dan lembaga yang ditunjuk dalam peraturan ini adalah Badan Kordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS-PB). Kemudian berselang dua tahun, yaitu pada tahun 2007, di keluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tepatnya tanggal 26 April 2007, dari Undang-Undang ini BAKORNAS-PB berubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Segenap perangkat hukum ini menjadi sebuah sandaran harapan demi tercapainya bangunan sistem penanganan banjir yang baik dan mendidik. Tapi perlu menjadi catatan adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat haruslah dipahami oleh seluruh elemen negara, termasuk masyarakat sipil agar peraturan perundang-undangan yang ada tidak hanya menjadi simbol hukum semata.
Selanjutnya bagaimana membangun dan melibatkan peran serta masyarakat, terutama yang berpotensi menjadi korban banjir, sehingga nantinya akan membantu dalam proses penanggulangan banjir yang terjadi. Dalam upaya membangun dan melibatkan peran serta masyarakat tersebut, maka pemerintah seyogyanya terlebih dahulu mengenal masyarakatnya. Seperti apa pandangan masyarakat terhadap banjir. Apakah mereka mengetahui dan memahami proses penanggulangan banjir, atau ternyata masyarakat Indonesia tergolong masyarakat yang pasrah terhadap banjir. Jika seperti ini, maka lengkaplah penderitaan negara. Masyarakat pasrah, pemerintahpun tidak berdaya. Jadi perlulah dibangun kesinambungan antara pemerinatah dan masyarakat dalam penanganan banjir, baik di daerah maupun pusat. Kesinambungan ini pastinya akan menjadi sebuah kekuatan kolektif negara dalam penanganan banjir secara nasional, sehingga dapat menekan kerugian materil ataupun non-materil dan bahkan angka korban jiwa.
pencaharian. Aspek kesehatan, banjir menyebabkan datangnya banyak penyakit. Aspek pendidikan, banjir menyebabkan terganggunya aktivitas sekolah. Aspek lingkungan, banjir menyebabkan rusaknya tata guna lahan. Aspek psikologis, banjir menimbulkan trauma bagi para korbannya. Dan aspek kemanusiaan, dimana banjir mampu menimbulkan korban jiwa.
Seperti telah disampaikan di atas, hampir seluruh daerah atau wilayah di Indonesia pernah dilanda banjir. Salah satu dari daerah tersebut adalah Kota Medan. Kota Medan merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Kota yang berpenduduk 2.121.053 jiwa dengan kepadatan penduduk 8.001 jiwa/km2 dan luas 26.510 Ha ini dilalui oleh empat sungai besar, yaitu Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, dan Sei Denai (BPS Kota Medan, 2009). Melihat kepadatan penduduk di Kota Medan, sangat memungkinkan terjadinya penggunaan dan penyerobotan lahan-lahan kosong untuk membangun tempat tinggal atau pemukiman liar atau tidak berizin. Lahan-lahan kosong tersebut pada hakikatnya adalah zona bebas bangunan, atau dengan kata lain zona yang diatasnya dilarang mendirikan bangunan. Di antara zona tersebut adalah bantaran sungai dan bantaran rel kereta api. Dalam kaitannya dengan banjir adalah bantaran sungai. Salah satu bantaran sungai yang telah berubah fungsi, yaitu dari zona Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi pemukiman adalah sungai Babura. Dikarenakan perubahan fungsi lahan tersebut, yang mana mengakibatkan rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS), Sungai Babura menjadi langganan banjir pada saat curah hujan tinggi.
dipisahkan dari kehidupan mereka, karena memang daerah tempat tinggal mereka merupakan daerah rawan banjir dari luapan Sungai Babura. Mereka mengetahui hujan lebat akan memungkinkan terjadinya banjir. Tapi tidak ada hal-hal yang dipersiapkan masyarakat berkenaan dengan hal itu. Ketika terjadi banjir, penanganan yang dilakukan masyarakat tersebut bisa dibilang tidak beraturan dan terkesan dadakan. Misalnya tidak ada koordinasi sesama masyarakat. Semua dilakukan secara alamiah saja.
Setiap manusia secara alamiah pasti akan berusaha mempertahankan diri dari ancaman bahaya apapun. Begitu juga dengan masyarakat bantaran Sungai Babura Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan terhadap banjir. Mereka secara alamiah dan naluri bertahan hidup pasti akan berusaha menyelamatkan diri, keluarga dan harta benda ketika banjir datang menghampiri. Namun tindakan masyarakat yang bersifat alamiah ini tentu tidak bisa menjamin dapat mengurangi dampak banjir, karena bersifat spontan. Tindakan yang berdasarkan pemahaman yang baik akan lebih berpengaruh terhadap pengurangan dampak banjir, karena ada proses pendidikan yang terkandung di dalamnya. Sistem penanggulangan banjir tidak akan berarti apa-apa jika pemahaman dan kesadaran masyarakat akan banjir tidak terbangun. Oleh karenanya sebagai langkah awal untuk membangun pola pikir yang baik tentang penanganan banjir di masyarakat tersebut, maka perlu untuk diketahui dan didalami terlebih dahulu pemahaman masyarakat akan banjir.
1.2. Perumusan Masalah.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian. 1.3.1. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana pemahaman yang dimiliki atau terbangun di masyarakat bantaran Sungai Babura di lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan tentang manajemen bencana banjir secara umum ataupun penanggulangan banjir secara khusus.
1.3.2. Manfaat Penelitian.
Manfaat-manfaat dari penelitian yang dilakukan: a. Secara teoritis.
1) Menambah wawasan peneliti mengenai pemahaman masyarakat bantaran sungai tentang manajemen bencana banjir.
2) Dapat menjadi referensi ilmiah dalam rangka pengembangan konsep dan model manajemen bencana banjir untuk wilayah kota Medan.
b. Secara akademis, dapat memperkaya khasanah penelitian di bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya mengenai bencana.
c. Secara praktis, dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi masyarakat bantaran sungai selaku pemukim, pemerintah selaku pembuat kebijakan dan pelaksana program, serta para pelaku studi.
1.4. Sistematika Penulisan.
BAB I : PENDAHULUAN.
Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab ini menjelaskan secara teoritis tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN.
Bab ini berisikan jenis penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN.
Bab ini menjabarkan secara umum tentang lokasi penelitian dan data-data pendukung yang berhubungan dengan lokasi penelitian tersebut.
BAB V : ANALISIS DATA.
Bab ini berisikan uraian data-data dan proses analisis data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan.
BAB VI : PENUTUP.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi Pemahaman.
Pemahaman adalah bagian dari tingkatan pengetahuan. Pengetahuan sendiri merupakan proses hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Terdapat enam tingkatan pengetahuan, yaitu: a. Tahu.
Yaitu mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari suatu bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima untuk mengukur tentang apa yang dipelajari dengan menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami.
Yaitu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan objek tersebut secara benar.
c. Aplikasi.
Yaitu kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan materi yang telah dipelajari dan dipahami sebelumnya.
Yaitu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tertentu, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih terkait satu sama lain.
e. Sintesis.
Yaitu menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi.
Berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian tersebut berdasarkan suatu kriteria yang ditentikan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).
2.2. Masyarakat.
2.2.1. Pengertian Masyarakat.
Koentjaraningrat (2003) merumuskan pengertian masyarakat berdasarkan empat ciri berikut :
a. Interaksi.
b. Adat-istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan. c. Bersifat terus-menerus.
d. Rasa identitas.
Sihotang (1992) menjelaskan masyarakat dalam dua defenisi, yaitu defenisi analitik dan defenisi fungsional. Dalam definisi analitik, masyarakat adalah sejumlah orang yang berdiri sendiri atau swasembada yang mempunyai cirri-ciri adanya organisasi sendiri, wilayah tempat tinggal, kebudayaan sendiri, dan keturunan yang akan meneruskan masyarakatnya. Sedangkan dalam defenisi fungsional, masyarakat adalah sejumlah manusia yang mempunyai sistem tidakan bersama, yang mampu terus ada lebih lama dari masa hidup seorang individu, dan para anggotanya bertambah sebagian melalui keturunan pada anggota.
Ciri-ciri masyarakat (Sihotang, 1992: 13):
a. Mampu berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan sendiri,
b. Mampu mempertahankan keberadaanya melalui pergantian atau pertambahan anggota dengan adanya keturunannya.
c. Mampu mempertahankan keberadaannya bergenerasi-generasi. d. Ada wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal.
e. Mempunyai kebudayaan sendiri yang menjadi sumber nilai dan norma, pola tindakan, dan alat memenuhi keperluan hidup.
f. Mempunyai sistem dan struktur.
Berdasarkan ciri-ciri di atas, definisi masyarakat adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal di wilayah tertentu yang tersusun oleh sistem dan mempunyai struktur, mempunyai kebudayaan sendiri, dan dapat mempersiapkan penerusan adanya anggota untuk bergenerasi (Sihotang, 1992: 13).
2.2.2. Masyarakat Perkotaan.
kebudayaanya, sebagai akibat dari hubungan antar sesamanya dan juga sebagai akibat dari tingkah laku mereka. Berkembangnya kebudayaan nasional cenderung terjadi di kota. Masyarakat kota sendiri cenderung untuk lebih banyak terlihat dalam berbagai kegiatan sosial yang tergolong dalam lingkungan nasional.
Masyarakat perkotaan bersifat heterogen. Heterogenitas yang mewarnai kehidupan di perkotaan berlaku juga untuk keanekaragaman lapangan mata pencaharian, karena adanya keanekaragaman sektor-sektor ekonomi. Perkembangan industri erat hubungannya dengan laju perkembangan kota, karena perkembangan industri merupakan salah satu terjadinya dinamika kota. Pada waktunya, kota-kota akan mengalami kesulitan untuk menyediakan pekerjaan, dan syarat-syarat minimal kehidupan yang pantas untuk jumlah yang besar secara terus menerus semakin meningkatkan laju pertumbuhan jumlah penduduk kota sedangkan mereka adalah orang baru yang memasuki ekonomi kota (Sihotang, 1992: 171).
2.3. Pemukiman.
Industrialisasi yang akan terjadi di Indonesia akan mendorong pertumbuhan penduduk kota lebih cepat dari sebelumnya. Jumlah penduduk perkotaan pada tahun 1990 mencapai 28,8% dari 180 juta jiwa. Dan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 49,5% dari 257 juta jiwa. Dengan demikian pemukiman perkotaan yang lebih memerlukan kemampuan teknologi akan menjadi tantangan pembangunan dan pengelolaan pemukiman di masa mendatang (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002: 257).
2.3.1. Strategi Pengembangan Pemukiman.
tersedia sebagai prasyarat pembangunan yang terorganisasikan, konsep pengembangan pemukiman yang dipilih perlu diprioritaskan pada tiga hal berikut:
a. Pengembangan pemukiman yang menunjang aktivitas ekonomi dalam suatu sistem yang terpadu dengan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam.
b. Pengembangan pemukiman untuk kebutuhan masyarakat atas prakarsa dan diorganisasikan oleh masyarakat harus didorong dan difasilitasi.
c. Pengelolaan pemukiman perlu lebih ditujukan untuk mewadahi dan mendorong integrasi sosial melalui penyediaan fasilitas umum yang memadai, memenuhi kebutuhan dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002: 258).
2.3.2. Pengembangan Pengelolaan Pemukiman.
Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), gejala urbanisasi di Indonesia tergambar pada tiga hal berikut:
a. Menyatunya kota besar dengan daerah atau kota-kota kecil di sekitarnya.
b. Perubahan fisik daerah agraris/pedesaan menjadi fisik perkotaan yang diikuti peningkatan jumlah penduduk.
c. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak seiring dengan perkembangan kota.
Kunci keberhasilan pengelolaan pemukiman berkelanjutan terletak pada dua hal berikut:
a. Kemampuan untuk menyerasikan, memadukan, dan memanfaatkan potensi dan kepentingan sektor swasta dengan kepentingan ruang masyarakat berpendapatan rendah, dengan kepentingan ekologis.
b. Kemampuan untuk menyetarakan pemukiman dari berbagai kondisi dan percepatan petumbuhan.
2.4. Kependudukan.
Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), gambaran keadaan kependudukan di Indonesia di masa mendatang adalah sebagai berikut:
a. Persentase penduduk perkotaan semakin besar, hal ini disebabkan oleh adanya urbanisasi dan perubahan wilayah dari desa ke kota.
b. Laju pertumbuhan penduduk menanjak seiring perkembangan global..
c. Permintaan barang non-pangan akan meningkat dengan pesat. Hal ini akan berimplikasi pada pengurasan sumber daya alam untuk kepentingan non-pangan tersebut.
Pembangunan berkelanjutan baik di desa maupun di kota sangat terkait dengan aspek lingkungan. Strategi yang dibutuhkan dalam kaitan ini adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan keterkaitan kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam perumusan/penjabaran konsep ke dalam suatu perencanaan strategis, diperlukan dua hal, yaitu:
2) Data dan informasi yang akurat tentang ketrkaitan antara variabel kependudukan dan lingkungan.
b. Perumusan integrasi kebijakan kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional, regional, dan lokal.
Persebaran dan kepadatan penduduk yang tidak merata akan menimbulkan berbagai permasalahan yang berbeda antara wilayah satu dengan wilayah yang lain. Oleh karenanya kebijakan kependudukan dalam pola mobilitas dan persebarannya harus diselaraskan dengan rencana umum tata ruang nasional yang disesuaikan dengan daya dukung wilayah.
Dari uraian di atas, perlu empat hal yang menjadi cerminan dalam membuat kebijakan kependudukan, yaitu:
1) Kebijakan dirumuskan secara integral.
2) Kebijakan didukung data dan informasi yang akurat.
3) Kebijakan didukung oleh kelembagaan yang dapat mengintegrasikan berbagai aspek keterkaitan dalam pembangunan berkelanjutan.
4) Kebijakan dapat dilaksanakan secara operasional.
c. Pelaksanaan program integrasi kebijakan kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan pada masyarakat (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).
2.5. Sungai.
2.5.1. Pengertian Sungai.
Kern (1994) dalam Maryono (2005) menjelaskan, sungai terbentuk sesuai dengan kondisi geografi, ekologi, dan hidrologi daerah setempat. Kondisi geografi banyak menentukan letak dan bentuk alur sungai memanjang ataupun melintang. Kondisi ekologi menentukan tampang melintang dan keragaman hayati serta faktor resistensi sungai. Sedangkan kondisi hidrologi menentukan besar kecil dan frekuensi aliran air sungai. Namun ketiga faktor tersebut saling terkait dan berpengaruh secara integral membentuk morfologi, ekologi, dan hidraulika sungai.
a. Zona Memanjang.
Zona memanjang sungai pada umumnya diawali dengan sungai kecil dari mata air di daerah pegunungan, kemudian sungai menengah di daerah peralihan antara pegunungan dan dataran rendah, dan selanjutnya sungai besar pada datarn rendah sampai di daerah pantai.
b. Zona Melintang.
Zonasi sungai secara melintang dapat dibedakan menjadi tiga zona, yaitu zona akuatik (badan sungai), zona amphibi (daerah tebing sungai sampai pertengahan bantaran), dan zona teras sungai (pertengahan bantaran yang sering tergenang air pada saat banjir sampai batas luar bantaran yang hanya kadang-kadang terkena banjir) (Maryono, 2005: 5-6).
2.5.2. Fungsi-fungsi Sungai.
Maryono (2005) menjelaskan bahwa ada tiga fungsi sugai, yaitu: a. Sebagai saluran eko-drainase (Drainase ramah lingkungan).
Bentuk-bentuk ini pada hakikatnya berfungsi untuk menahan air agar tidak cepat mengalir ke hilir serta menahan sedimen.
b. Sebagai saluran irigasi.
Yaitu sistem pengairan persawahan atau pertanian. c. Fungsi ekologi (ekosistem sungai).
Komponen ekologi sungai adalah vegetasi daerah badan, tebing, dan bantaran sungai. Menurut Diester (1996) dalam Maryono (2005) faktor yang sangat menentukan dalam ekosistem sungai adalah struktur dinamik dari debit yang mengalir di sungai.
2.5.3. Daerah Aliran Sungai (DAS).
Menurut Suripin (2002), DAS adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang menerima hujan, menampung, menyimpan, dan mengalirkan ke sungai, dan seterusnya ke danau atau ke laut. DAS juga merupakan ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antar faktor-faktor biotik, non-biotik, dan manusia.
Terganggunya tata air di DAS dapat menimbulkan banjir pada saat musim penghujan, kekeringan di musim kemarau, pendangkalan waduk sebagai akibat adanya erosi di daerah hulu, terjadinya lahan-lahan kritis/rusak yang lebih lanjut akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanah dan produksi usaha tani maupun kesejahteraan sosial (Asdak, 1995).
Menurut Maryono (2005) perubahan fisik yang terjadi pada DAS akan berpengaruh langsung pada kemampuan retensi terhadap banjir. Retensi DAS dimaksudkan untuk menahan air bagian hulu. Perubahan tata guna lahan akan menyebabkan berkurangnya retensi DAS ini secara drastis. Seluruh air hujan akan dilepaskan ke arah hilir. Sebaliknya, semakin besar retensi suatu DAS, maka akan semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan (diretensi) di DAS dan secara perlahan-lahan di alirkan ke sungai sehingga tidak menimbulkan banjir.
2.6. Bencana.
2.6.1. Pengertian Bencana.
Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam maupun faktor non-alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Menurut United Nation Development Program (UNDP) dalam Ramli (2010), bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana.
2.6.2. Jenis-Jenis Bencana.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 mengklasifakasikan bencana ke dalam tiga jenis, yaitu:
a. Bencana Alam.
Merupakan bencana yang besumber dari fenomena alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, pemanasan global, topan dan tsunami.
b. Bencana Non-Alam.
Merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam antara lain; gagal teknologi, epidemik, dan wabah penyakit.
c. Bencana Sosial.
Merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia seperti; konflik sosial, dan aksi teror.
1) Bencana Alam. a) Gempa. b) Tsunami.
c) Letusan gunung berapi. d) Banjir.
g) Angin topan. h) Tanah longsor. 2) Bencana Non-alam.
a) Wabah penyakit
b) Gagal teknologi, contoh: kerusakan jaringan internet dalam skala besar. 3) Bencana Sosial.
a) Konflik SARA.
b) Aksi teror, contoh: pembunuhan misterius, dan penculikan.
2.6.3. Manajemen Bencana.
a. Pengertian Manajemen Bencana.
Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban jiwa dan kerugian yang ditimbulkannya (Ramli, 2010: 10).
Manajemen bencana pada dasarnya merupakan konsep penanggulangan bencana. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
b. Tujuan.
Menurut Ramli (2010) ada empat tujuan manajemen bencana, yaitu:
1) Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak diinginkan.
3) Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi terhadap bencana sehingga terlibat dalam proses penanggulangan bencana. 4) Melindungi anggota masyarakat dari ancaman, bahaya atau dampak
bencana.
c. Konsep Manajemen Bencana.
Manajemen bencana dapat dibagi atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkat lokasi, tingkat unit atau daerah, dan tingkat nasional atau korporat. Untuk tingkat lokasi disebut manajemen insiden (incident management), pada tingkat daerah atau unit disebut manajemen darurat (emergency management), dan pada tingkat nasional disebut manajemen krisis (crisis management).
1) Manajemen insiden (incident management).
Yaitu penanggulangan bencana di lokasi atau langsung di tempat kejadian. Penanggulangan bencana pada tingkat ini bersifat teknis.
2) Manajemen darurat (emergency management).
Yaitu penanggulangan bencana di daerah yang mengkordinir lokasi kejadian. Tingkatan ini meliputi strategi dan taktis.
3) Manajemen krisis (crisis management).
Manajemen krisis berada pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat nasional. Tingkatan ini lebih bersifat strategis dan penentuan kebijakan. d. Tahapan Manajemen Bencana.
1) Pra bencana. a) Kesiagaan.
Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiagaan merupakan tahapan yang paling strategis, karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam manghadapi datangnya suatu bencana.
b) Peringatan dini.
Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat akan bencana yang akan terjadi. Peringatan yang diberikan didasarkan pada berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki, diolah, atau diterima dari pihak berwenang mengenai kemungkingan akan terjadinya suatu bencana.
c) Mitigasi.
Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan suatu bencana (Ramli, 2010).
Pendekatan-pendekatan dalam mitigasi bencana. a. Pendekatan teknis.
1) Membuat rancangan bangunan yang kokoh.
2) Membuat material yang tahan terhadap bencana. Contoh: material tahan api.
3) Membuat rancangan teknis pengaman. Contoh: tanggul. b. Pendekatan manusia.
hidup manusia harus dapat diperbaiki dengan kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadpainya.
c. Pendekatan administratif.
1) Penyusunan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek resiko bencana.
2) Sistem prizinan dengan memasukkan aspek analisa resiko bencana. 3) Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan industri bersiko
tinggi.
4) Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi pelaksananya baik pemerintah maupun industri bersiko tinggi.
d. Pendekatan kultural.
Pendekatan ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat mengenai bencana dan bahaya yang ditimbulkannya. Penyadaran disesuaikan dengan kearifan lokal dan tradisi masyarakat yang telah membudaya sejak lama (Ibid).
2) Saat terjadi bencana (tanggap darurat).
Tangggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi proses pencarian, penyelamatan, dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuha n dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, serta pemulihan sarana dan prasarana.
Dalam UU No. 24 Tahun 2007 disebutkan proses penyelengaraan bencana pada saat tanggap darurat sebagai berikut:
b) Penentuan status keadaan darurat bencana. c) Penyelamatan dan evakuasi.
d) Pemenuhan kebutuhan dasar.
e) Perlindungan terhadap kelompok rentan.
f) Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital. 3) Pasca bencana.
a) Rehabilitasi.
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
b) Rekontruksi.
Rekontruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana serta kelembagaan di wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perkonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat (Ramli, 2010).
2.7. Banjir.
2.7.1. Pengertian Banjir.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011, banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai.
2.7.2. Faktor-faktor Penyebab Banjir.
Berikut beberapa faktor penyebab banjir menurut Ramli (2010): a. Curah hujan tinggi.
b. Permukaan tanah lebih rendah dari permukaan air laut.
c. Terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keluar sempit atau terbatas.
d. Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran (bantaran) sepanjang sungai. e. Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan dipinggir
sungai.
f. Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai.
Kodoatie (2002) menjelaskan faktor-faktor penyebab banjir karena tindakan manusia sebagai berikut:
a. Perubahan kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS). b. Kawasan kumuh.
c. Sampah. d. Drainase lahan.
e. Kerusakan bangunan pengendali banjir.
2.7.3. Penanggulangan Banjir.
Maryono (2005) menjelaskan langkah-langkah pokok dalam menyusun pedoman atau kerangka acuan untuk pembuatan masterplan atau program penanganan banjir. Langkah-langkah tersebut yaitu:
a. Pemetaan dan analisis perubahan tata guna lahan di DAS. Hasil dari langkah ini adalah berupa peta tata guna lahan di DAS perubahannya, serta kaitannya dengan kejadian-kejadian banjir.
b. Pemetaan dan analisis wilayah sungai, sempadan sungai, dan alur sungai, baik sungai besar di hilir maupun sungai kecil di bagian hulu. Dari pemetaan di sepanjang sungai ini selanjutnya dapat di analisis dengan cermat karakter sungai bersangkutan serta kaitannya dengan potensi banjir, baik banjir biasa maupun banjir banding.
c. Pemetaan komponen ekologi retensi alamiah sempadan sungai dan kondisi fisik hidraulik di sepanjang sempadan sungai. Hasil dari pemetaan ini dapat digunakan untuk menganalisis kemungkinan peningkatan retensi sepanjang alur sungai.
d. Pemetaan dan analisis saluran drainase yang masuk ke sungai. Dari hasil pemetaan ini dapat ditetapkan alur-alur drainase yang perlu diperbaiki.
e. Pemetaan dan pendataan kondisi daerah pedesaan dan daerah semi urban bagian hulu dan tengah. Langkah ini labih baik dilaksanakan besama masyarakat, sehingga tujuan penanganan banjir dapat tercapai, dan masyarakat mendapatkan pembelajaran dai itu.
juga dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan kebijakan mengenai penanggulangan banajir.
g. Pemetaan budaya masyarakat dan kaitannya dengan penanggulangan banjir.
Selain langkah-langkah di atas, terdapat langkah-langkah penanggulangan banjir lainnya yang terkait langsung dengan sungai, yaitu:
1) Reboisasi dan konservasi hutan di sepanjang DAS dari hulu ke hilir.
2) Penataan tata guna lahan yang meminimalisir limpasan langsung dan mempertinggi retensi dan konservasi air di DAS.
3) Tidak melakukan pelurusan sungai.
4) Mempertahankan bentuk sungai yang berliku-liku, karena akan mengurangi erosi, dan meningkatkan konservasi.
5) Memanfaatkan daerah genangan air di sepanjang sempadan sungai dari hulu ke hilir.
6) Mengubah sistem drainase konvensional yang mengalirkan air buangan secepat-cepatnya ke hilir menjadi sistem yang alamiah (lambat), sehingga waktu konservasi air cukup memadai dan tidak menimbulkan banjir di hilir.
7) Melakukan relokasi pemukiman yang berada di DAS atau bantaran sungai.
8) Melakukan pendekatan sosio-hidraulik, yaitu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat secara terus menerus untuk terlibat dalam penanggulangan banjir.
Beberapa tindakan penanggulangan banjir menurut Ramli (2010):
a. Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai dengan fungsi lahan.
b. Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang sering menimbulkan banjir.
d. Mengadakan program pengerukan sampah di sungai.
e. Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.
2.8. Kerangka Pemikiran.
Banjir yang terus melanda Indonesia menuntut pemerintah harus berpikir lebih cerdas dalam menyiasati penanggulangannya, baik itu dalam tataran ide (kebijakan), maupun dalam pelaksanaan teknisnya. Harus diakui pemerintah tidak akan mampu bekerja sendiri tanpa diikuti keterlibatan atau peran aktif masyarakatnya. Semakin aktif dan sering keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan banjir, maka akan sangat berpengaruh positif bagi kelancaran prosesnya. Hal ini bahkan memberikan nilai dan pelajaran tersendiri, dimana masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (tetap berdasarkan Standart Operasional Procedure).
Namun penglibatan masyarakat dalam penanggulangan banjir oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah bukanlah perkara yang mudah dan tidak boleh ceroboh, apalagi menyangkut keselamatan jiwa. Pemerintah harus benar-benar yakin masyarakat yang akan dilibatkan telah memahami manajemen banjir atau Standart Operasional Procedure (SOP) penanggulangannya. Karena melibatkan masyarakat yang tidak paham dalam penanggulangan banjir malah akan memungkinkan timbulnya masalah baru. Maka perlu diketahui terlebih dahulu pemahaman manajemen banjir di lingkungan masyarakat.
Gambar 1 Bagan Alur Pemikiran.
MASYARAKAT
BANTARAN SUNGAI BABURA
PEMAHAMAN MANAJEMEN BANJIR
BANJIR SUNGAI BABURA
TAHAP TANGGAP DARURAT
TAHAP PEMULIHAN TAHAP KESIAGAAN
2.9. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional. 2.9.1. Defenisi Konsep.
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian, seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang di teliti. Proses ini disebut dengan defenisi konsep. Perumusan defenisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Dengan kata lain peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh peneliti (Siagian, 2011: 138).
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi konsep-konsep sebagai berikut:
a. Pemahaman masyarakat adalah daya pikir atau kemampuan kognitif atau wawasan yang dimiliki masyarakat akan suatu hal tertentu, serta mampu menjelaskan suatu hal tersebut.
b. Bantaran sungai, yaitu sisi kanan dan kiri sungai yang berjarak maksimal 20 m dari bibir sungai, dimana berdirinya bangunan rumah/tempat tinggal.
c. Masyarakat bantaran sungai adalah masyarakat yang terdiri dari beberapa Kepala Keluarga (KK) yang bertempat tinggal di bantaran sungai.
d. Sungai Babura adalah salah satu sungai yang melintasi atau membelah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara.
e. Manajemen bencana banjir, yaitu suatu sistem penanganan banjir mulai dari kesiagaan, tanggap darurat sampai pemulihan.
2.9.2. Defenisi Operasional.
a. Pemahaman masyarakat akan manajemen bencana banjir, meliputi: 1) Penyuluhan bencana yang mungkin pernah diterima masyarakat.
2) Pelatihan manajemen bencana yang mungkin pernah didapat masyarakat. 3) Kelompok diskusi bencana yang mungkin pernah ada di masyarakat. b. Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir.
1) Program penanggulangan banjir yang pernah dibuat di lingkungan.
2) Keterlibatan dalam program penanggulangan banjir, baik oleh pemerintah, swasta, ataupun swadaya masyarakat sendiri.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan suatu gejala, atau peristiwa yang terjadi dan memusatkan perhatian pada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung, serta tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesa, ataupun membuat prediksi (Asmani, 2011: 40).
Melalui penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan keadaan secara menyeluruh bagaiaman pemahaman masyarakat bantaran Sungai Babura di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan tentang manajemen bencana banjir.
3.2. Lokasi Penelitian.
3.3.1. Unit Analisis dan Informan.
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 2002). Dan yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah masyarakat Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan yang bermukim di areal bantaran Sungai Babura Kota Medan, yaitu berjumlah 40 KK.
Dalam penelitian kualitatif, pemilihan subjek secara acak (random) akan dihindari. Mereka yang terpilih merupakan orang-orang kunci (key person) dari sumber data atas fenomena yang dilteliti. Hal ini karena adanya asumsi bahwa subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya dan tema penelitian yang diteliti. (M. Idrus, 2009). Dan dalam penelitian ini, dengan dibantu rekomendasi dari Kepala Lingkungan, peneliti menentukan empat orang dari masyarakat Lingkungan I menjadi informan.
3.4. Teknik Pengumpulan Data.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi dalam 2 jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Berikut teknik pengumpulan data dari masing-masing data tersebut :
a. Data primer. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan atau lokasi penelitian. Teknik yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1) Observasi, yaitu pengamatan langsung ke lapangan bagaimana
tindakan-tindakan masyarakat dalam menyikapi banjir, serta bagaimana perlakuan mereka terhadap Sungai Babura yang membanjiri lingkungan mereka.
b. Data sekunder. Pengumpulan data ini dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data atau informasi yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti melalui buku-buku, majalah-majalah, arsip-arsip lembaga negara, internet, atau dokumen-dokumen lainnya.
3.5. Teknik Analisis Data.
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum.
Kelurahan Padang Bulan merupakan salah satu bagian dari Kecamatan Medan Baru Kota Madya Medan dengan luas wilayah 1,68 Km² atau 168 Ha, dan merupakan kelurahan dengan wilayah terluas dari 6 kelurahan yang terdapat di Kecamatan Medan Baru. Persentase terhadap luas kecamatan adalah sebesar 31,05 %. Kelurahan ini sendiri terdiri dari 12 lingkungan, dan 4 dari 12 lingkungan tersebut dilalui oleh Sungai Babura, termasuk lingkungan I yang menjadi lokasi penelitian.
4.2. Letak Geografis.
Secara geografis Kelurahan Padang Bulan terletak antara 3o 33’ 17,60” – 3o 34’ 03,45” LU dan 98o 39’ 06,95” – 98o 39’ 55,95” BT. Kelurahan ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kelurahan Merdeka/Kecamatan Medan Baru. Sebelah Selatan : Kelurahan Titi Rantai/Kecamatan Medan Baru. Sebelah Timur : Kelurahan Polonia/Kecamatan Medan Polonia.
Sebelah Barat : Kelurahan Pd. Bulan Selayang/Kecamatan Medan Selayang.
Sebelah Utara : Lingkungan I Kelurahan Darat.
Sebelah Selatan : Lingkungan III Kelurahn Padang Bulan. Sebelah Timur : Kelurahan Polonia/Kecamatan Medan Polonia. Sebelah Barat : Lingkungan II Kelurahn Padang Bulan.
Untuk penggunaan lahan, wilayah Kelurahan Padang Bulan lebih banyak terpakai untuk perkantoran, yaitu sebesar 60, 6 Ha atau 36, 07 %. Sedangkan penggunaan lahan yang paling kecil adalah untu perkuburan, yaitu hanya 0,4 Ha atau 0,24 %.
Tabel 4.1
Komposisi Penggunaan Lahan di Kelurahan Padang Bulan
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase
1 Pemukiman 79 47.02
2 Kuburan 0,4 0,24
3 Pekarangan 28 16,67
4 Perkantoran 60,6 36,07
Total 168 100
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan 2011
4.3. Demografi.
komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin, agama, usia, pendidikan, dan mata pencaharian.
4.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.
Komposisi penduduk Kelurahan Padang Bulan berdasarkan jenis kelamin, jenis kelamin perempuan berada pada persentase tertinggi, yaitu 57,65 %. Sedangkan persentase jenis kelamin laki-laki adalah 42,35 %. Sajian angkanya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.2
Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase
1 Laki-laki 5012 42,35
2 Perempuan 6824 57,65
Total 11836 100
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan 2011
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Kelurahan Padang Bulan yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada penduduk berjenis kelamin laki-laki, yaitu berjumlah 6825 orang. Sedangkan penduduk berjenis kelamin laki-laki berjumlah 5012 orang.
4.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama.
Tabel 4.3
Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
No. Agama Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
1 Islam 2700 3800 6500 54.92
2 Protestan 1200 1870 3070 25.94
3 Katolik 1068 1096 2164 18.28
4 Hindu 18 24 42 0.35
5 Buddha 26 34 60 0.51
Total 5012 6824 11836 100
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan 2011
Tabel di atas menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk Kelurahan Padang Bulan beragam Islam, yaitu berjumlah 6500 orang dengan persentase 54,92 %. Sedangkan pemeluk agama dengan jumlah terkecil adalah agama Hindu, yaitu hanya 42 orang dengan persentase 0.35 %.
4.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku/Etnis.
Suku-suku penduduk Kelurahan Padang Bulan bisa dikatakan cukup beragam. Selain suku-suku lokal seperti Melayu, Batak, dan Nias, terdapat juga suku-suku lain dari luar Sumatera Utara, diantaranya Suku Aceh, Minang dan Jawa.
Tabel 4.4
Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku/Etnis
No. Suku/Etnis Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
2 Jawa 1949 2700 4649 39.28
3 Nias 27 50 77 0.65
4 Melayu 50 150 200 1.69
5 Minang 35 75 110 0.93
6 Sunda 25 79 104 0.88
7 Aceh 100 225 325 2.74
8 Asing 26 45 71 0.60
Total 5012 6824 11836 100
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan 2011
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa terdapat 7 suku asli Indonesia, namun terdapat juga penduduk dengan darah keturunan asing. Dari 7 suku asli Indonesia, Suku Batak merupakan suku dengan jumlah penduduk yang paling besar, yaitu 6300 orang dengan persentase sebesar 53,23 %. Selanjutnya Suku Jawa dengan jumlah 4649 orang dan persentase sebesar 39,28 %. Kemudian Suku Aceh yang berjumlah 325 orang dengan persentase 2,74 %. Diikuti Suku Melayu sebanyak 200 orang dengan persentase 1,69 % dan Suku Sunda dengan jumlah 104 orang dengan persentase 0.88%. Terakhir Suku Nias yang hanya berjumlah 77 orang dengan persentase 0,65%, dan merupakan yang terkecil jumlah penduduknya di Kelurahan Padang Bulan, walaupun sebenarnya jumlah penduduk keturunan asing masih berada di bawahnya.
4.3.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia.
Tabel 4.5
Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia
No. Rentang Usia L P Jumlah Persentase
1 0-15 tahun 466 1062 1528 13.46
2 16-30 tahun 1004 1163 2167 19.10
3 31-45 tahun 1055 1317 2372 20.90
4 46-60 tahun 1124 1935 3059 26.95
5 61-75 tahun 683 1420 2103 18.53
6 > 75 tahun 45 75 120 1.06
Total 4377 6972 11349 100
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan 2011
Data dari tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kelurahan Padang Bulan berada pada kisaran usia 46 sampai dengan 60 tahun, yaitu sebanyak 3059 orang. Sedangkan usia di atas 75 tahun yang tergolong lansia (lanjut usia), merupakan kelompok usia dengan jumlah terkecil, yaitu 120 orang.
4.3.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan.
Berdasarkan pendidikan, komposisi penduduk Kelurahan Padang Bulan cukup mengisi seluruh tingkatan atau jenjang pendidikan. Berikut rinciannya.
Tabel 4.6
Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan
No. Pendidikan L P Jumlah Pesentase
2 Sedang Sekolah (7-18 thn) 368 864 1232 10.41
3 Tamat SMP 326 550 876 7.40
4 Tamat SMA 1000 1700 2700 22.81
5 Tamat D1 330 400 730 6.17
6 Tamat D2 450 350 800 6.76
7 Tamat D3 500 700 1200 10.14
8 Tamat S1 650 900 1550 13.10
9 Tamat S2 600 510 1110 9.38
10 Tamat S3 670 580 1250 10.56
11 Tamat SLB-A 5 5 0.04
12 Tamat SLB-B 7 7 0.06
Total 5012 6824 11836 100
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan 2011
Dari data di atas dapat kita lihat bahwa mayoritas penduduk Kelurahan Padang Bulan setidaknya telah menyelesaikan pendidikan tingkat S1 (Pendidikan Sarjana), yaitu sebanyak 3910 orang. Angka ini terdiri dari S1 (Pendidikan Sarjana) sebanyak 1550 orang (13,10 %), S2 (Pendidikan Magister) sebanyak 1110 orang (9,38 %), dan S3 (Pendidikan Doktor) sebanyak 1250 orang (10,56 %). Sedangkan jumlah terkecil adalah peduduk yang menyelesaikan studi di SLB (Sekolah Luar Biasa), yaitu sebanyak 12 orang yang terdiri dari 5 orang tamatan SLB-A (0,04 %) dan 7 orang tamatan SLB-B (0,06 %).
4.3.6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian.
pertanian di dekat kota atau bahkan di tengah kota. Dan atau juga lahan pertanian yang berkembang menjadi industri perkotaan, namun masih menyisakan sektor pertanian yang sebelumnya sudah ada. Untuk Kelurahan Padang Bulan sendiri, secara umum mata pencaharian penduduknya merupakan mata pencaharian sektor perkotaan, yaitu antara lain yang berhubungan dengan industri, niaga/bisnis, administrasi publik. Hal ini memang dipengaruhi oleh faktor geografis kelurahan yang memang berada di perkotaan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.7
Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian L P Jumlah Persentase
1 Pegawai Negeri Sipil 650 850 1500 16.71
2 Pengrajin 5 35 40 0.45
3 Pedagang Kaki Lima 60 82 142 1.58
4 Montir 5 - 5 0.06
5 Dokter 2 2 4 0.04
6 Bidan - 45 45 0.50
7 Perawat - 60 60 0.67
8 Pembantu Rumah Tangga - 30 30 0.33
9 Polisi 25 - 25 0.28
10 Pensiunan 106 72 178 1.98
11 Pengusaha UKM 1330 2100 3430 38.21
12 Tabib 1 - 1 0.01
13 Dosen 920 531 1451 16.16
15 Arsitek 30 12 42 0.47
16 Karyawan Swasta 760 860 1620 18.05
17 Pegawai BUMN 125 275 400 4.45
Total 4023 4954 8977 100
Sumber : Daftar Isian Potensi Kelurahan 2011
Data di atas menunjukkan bahwa 3430 orang atau 38,21 % penduduk Kelurahan Padang Bulan bermatapencaharian UKM (Usaha Kecil Menengah), dan merupakan mata pencaharian yang mayoritas. Selain pelaku UKM, terdapat juga mata pencaharian dengan jumlah pelaku yang lumayan mencolok, diantaranya Karyawan Swasta sebanyak 1620 orang atau 18,05 %, PNS sebanyak 1500 orang atau 16,71 % dan profesi Dosen sebanyak 1451 orang atau 16,16 %. Sedangkan jumlah terkecil adalah profesi Tabib, yaitu hanya 1 orang atau 0,01 % dari 8977 orang penduduk yang sudah dan/atau masih bekerja.
4.4. Sarana dan Prasarana. 4.4.1. Sarana Pendidikan.
Sarana pendidikan yang ada di Kelurahan Padang Bulan bisa dikatakan lebih dari cukup, karena memenuhi semua tingkatan atau jenjang pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi, dan bahkan terdapat satu Bimbingan Belajar (bimbel) dan satu Sekolah Kecantikan Non-Formal.
Tabel 4.8
Sarana Pendidikan di Kelurahan Padang Bulan
No. Sarana Pendidikan Negeri Swasta Total
2 Sekolah Dasar 4 1 5
3 SLTP 1 3 4
4 SLTA - 2 2
5 Perguruan Tinggi 2 3 5
6 Pendidikan Non-Formal (sekolah kecantikan)
- 1 1
7 Bimbingan Belajar - 1 1
Total 7 14 21
Sumber : Data dari Kepala Lingkungan I 2012
4.4.2. Sarana Kesehatan.
Sarana kesehatan di Kelurahan Padang Bulan juga cukup memadai. Terdapat tujuh item fasilitas kesehatan yang dapat melayani masyarakat, mulai dari Rumah Sakit Gigi USU sampai apotek. Untuk Rumah Sakit Gigi USU, walaupun dibawah wewenang universitas, tetapi terbuka untuk kalangan masyarakat umum. Berikut tabulasi lengkapnya.
Tabel 4.9
Sarana Kesehatan di Kelurahan Padang Bulan
No. Sarana Kesehatan Jumlah
1 Rumah Sakit Gigi 1
2 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) 1 3 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) 4 4 Pos Pelayanan Lanjut Usia (Posyansia) 4
5 Poliklinik/Klinik 5
7 Apotek 6
Total 28
Sumber : Data dari Kepala Lingkungan I 2012
4.4.3. Sarana Rumah Ibadah.
Sarana rumah ibadah di Kelurahan Padang Bulan memang tidak memenuhi seluruh agama yang ada wilayaha tersebut. Hanya terdapat masjid, mushola dan gererja untuk umat Islam dan Kristen. Sedangkan kuil dan vihara untuk umat Budha dan Hindu tidak ada. Secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.10
Sarana Ibadah di Kelurahan Padang Bulan
No. Sarana Peribadatan Jumlah
1 Masjid 2
2 Musholla 3
3 Gereja 5
4 Kuil -
5 Vihara -
Total 10
Sumber : Data Badan Pusat Statistik 2010
4.4.4. Sarana Olah Raga.
Sarana olahraga Kelurahan Padang Bulan juga bisa dikatakan cukup memadai. Fasilitas yang ada memenuhi lima jenis olahraga. Berikut rinciannya.
Tabel 4.11
Sarana Olah Raga di Kelurahan Padang Bulan
No. Sarana Olah Raga Jumlah
1 Bola Kaki 1
2 Bola Volley 4
3 Bulu Tangkis 5
4 Tennis Meja 2
5 Futsal 1
Total 13
Sumber : Data Badan Pusat Statistik 2010
4.4.5. Sarana Usaha/Niaga.
BAB V ANALISIS DATA
5.1. Data Identitas Informan.
Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang dan merupakan informan kunci. Penentuan informan dibantu dengan informasi yang diberikan oleh kepala lingkungan. Dari empat orang tersebut dua orang merupakan penduduk asli lingkungan I, yaitu Pak Parmin dan Bang Ujang. Sedangkan dua lainnya adalah pendatang, yaitu Pak Amiruddin dan Pak Dirman. Namun mereka berdua sudah tinggal lebih dari 20 tahun. Waktu yang cukup lama untuk pendatang. Pak Amiruddin sudah tinggal selama 36 tahun. Dan Pak Dirman selama 23 tahun. Tidak ada unsur kesengajaan apakah informan adalah penduduk asli atau pandatang. Hal tersebut diketahui setelah wawancara dilakukan. Data lengkap informan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Nama : Amiruddin.
Usia : 63 tahun.
Suku : Pakistan.
Agama : Islam.
Jumlah anak : 4 orang.
Pendidikan terakhir : S1 Keperawatan. Pekerjaan : Pensiunan PNS. Lama Tinggal : 36 tahun.
2. Nama : Kadirman.
Suku : Batak Mandailing.
Agama : Islam.
Jumlah anak : 6 orang. Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Pedagang. Lama Tinggal : 23 tahun
3. Nama : Suparmin.
Usia : 49 tahun.
Suku : Jawa.
Agama : Islam.
Jumlah anak : 3 orang. Pendidikan terakhir : S1 Ekonomi.
Pekerjaan : Pengurus Yayasan dan Travel Guide.
4. Nama : Wido Darmawanto.
Usia : 41 tahun.
Suku : Jawa.
Agama : Islam.
Jumlah anak : 2 orang.
5.2. Hasil Wawancara.
5.2.1. Informan Kunci Pertama (Amiruddin).
Wawancara dengan Pak Amiruddin dilakukan di rumahnya di Jl. Dipanegara Kelurahan Padang Bulan pada hari Minggu malam tanggal 16 Desember 2012 dari pukul 19:45 sampai dengan pukul 21:53 wib.
Pak Amiruddin adalah seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari Dinas Kesehatan Kota Medan. Beliau tergolong pria lanjut usia dengan usia 63 tahun, namun masih produktif. Beliau pensiun sejak tahun 2006. Saat ini aktivitasnya di masa pensiun adalah membuka praktek mantri kecil-kecilan di depan rumahnya. Latar belakang pendidikannya adalah Sarjana Ilmu Keperawatan. Pak Amiruddin memiliki seorang istri dan 4 orang anak serta 7 orang cucu. Beliau tinggal dirumah gedong permanen dua tingkat milik sendiri bersama istrinya. Namun 1 orang anak dan 1 orang cucunya masih ikut tinggal bersamanya. Tinggal di lingkungan I sejak tahun 1976, artinya sudah 36 tahun dia dan keluarga tinggal di lingkungan tersebut. Jarak rumah Pak Amiruddin dengan sungai Babura cukup dekat, yaitu sekitar 20 meter. Ketika ditanya apakah keadaan tersebut dapat menimbulkan resiko dan seperti apa resikonya, beliau menjawab sebagai berikut :
Memang benar, kontur tanah Lingkungan I bisa dibilang terbagi dua. Yang pertama yang sejajar dengan bibir sungai, dan ini sebenarnya merupakan bagian dari bantaran sungai yang seharusnya tidak boleh didirikan bangunan apapun, kecuali untuk kepentingan tata ruang. Yang kedua kontur tanah agak naik. Tapi tetap saja beresiko terkena banjir, kecuali yang dekat dengan jalan raya yang konturnya jauh lebih tinggi. Pak Amiruddin menyadari dan memahami rumahnya berada di kontur bawah dan rentan dengan resiko atau ancaman banjir. Karenanya beliau membangun rumahnya dua tingkat, sehingga ketika terjadi banjir, dia bisa mengevakuasi keluarga dan barang-barangnya ke lantai atas. Tapi kebanyakan masyarakat lingkungan I yang lain tidak seberuntung Pak Amiruddin yang mampu membangun rumah dua tingkat. Mereka tidak memiliki uang lebih, bahkan karena memang mengontrak.
Tidak hanya menyadari banjir menjadi resiko dari keberadaan rumahnnya yang dekat dengan sungai, Pak Amiruddin juga mengetahui dampak dari banjir tersebut, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalau saya melihat ada tiga dampak utama dari banjir. Yang pertama, merusak dan bahkan menghancurkan fisik bangunan rumah. Yang kedua, melumpuhkan aktifitas ekonomi, karena pas banjir kita ga bisa kerja apa-apa, habis banjir surutpun kita masih harus membersihkan rumah dan membereskan barang-barang. Yang ketiga, kesehatan, karena pasti banyak penyakit yang datang kalau banjir. Macamlah, setidaknya penyakit kulit.”
berinteraksi keluarga, serta membangun keberlangsungan hidup, dinilai Pak Amiruddin menjadi hal utama dampak dari banjir. Ketika rumah dihantam banjir, maka setidaknya penghuni telah kehilangan empat hal dari rumah mereka. Mulai dari kehilangan tempat tinggal, sehingga tidak bisa beristirahat dengan nyaman. Tidak bisa berlindung, baik itu dari cuaca seperti panas dan hujan, ancaman tindak kejahatan seperti pencurian dan pembunuhan, atau mungkin ancaman serangan binatang berbisa seperti ular. Kemudian terganggunya proses interaksi dalam keluarga. Karena sangat kecil kemungkinan interaksi keluarga dapat terbangun maksimal dalam keadaan rumah sedang tidak bisa ditempati. Terakhir adalah terganggunya proses keberlangsungan hidup mereka. Ketika pekerjaan menjadi tertinggalkan untuk beberapa hari karena mengungsi dan mungkin memberes-bereskan rumah, maka ketika itu pula penghasilan harian menjadi hilang. Ketika makan, minum, tidur, serta MCK (mandi, cuci dan kakus) menjadi sangat sulit dan berada pada ketidakjelasan, besertanya pula beragam jenis penyakit menguntit dan mulai menjangkiti.
Sejauh ini berdasarkan ingatannya, rumah Pak Amiruddin telah dua kali dilanda banjir besar. Sedangkan banjir kecil tidak terhingga jumlah kejadiannya. Sebagaimana diungkapkannya sebagai berikut :
“Seingat saya, kita terkena banjir paling besar tu dua kali, tahun 2011 sama 2001. Waktu itu lantai satu terendam habis, kita ngungsi ke lantai dua semua. Tapi kalau banjir kecilnya nggak terhitung berapa kali.”
Setiap kali terjadi banjir, Pak Amiruddin selalu dalam keadaan sadar atau tidak sedang tidur. Hal ini dikarenakan memang beliau melihat tanda-tanda banjir akan datang. Oleh karenanya beliau bisa mengevakuasi keluarga dan barang-barangnya terlebih dahulu sebelum banjir benar-benar datang. Seperti penuturannya :
“Kalau mau banjir tu biasanya banyak sampah-sampah yang hanyut dibawa sungai, terus arusnya agak kencang, ditambah lagi debit air yang pelan-pelan naik dari debit normal. Kan kita tau tu debit normal sungai tu batasnya semana. Jadi kalau debitnya terus naik, bisa dipastikan banjir. Selain itu kalau hujan turun terus-menerus sampe dua hari lebih, biasanya pasti banjir. Apalagi kalau ada informasi di gunung juga hujan lebat. Tau bakal banjir, kita pindahkanlah barang-barang ke lantai atas. Kalau kita lihat banjir bakal besar, ngungsi ke tempat keluargalah. Tapi kalau nggak, kita bertahan dirumah aja, karena satu hari biasanya surut.”
Pak Amiruddin benar-benar mengerti bagaimana banjir dari luapan sungai Babura akan datang. Dan dengan beberapa tanda banjir tersebut akan datang, beliau juga tahu harus segera bertindak seperti apa agar dapat meminimalisir dampak dari banjir tersebut, baik itu kerusakan pada barang-barang yang dimilikinya ataupun terserang macam penyakit.