KOTA BATAM DAN OTORITA PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM)
TESIS
Oleh NOVLINDA 087011147/M.Kn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH (ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN ANTARA PEMERINTAH
KOTA BATAM DAN OTORITA PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
NOVLINDA 087011147/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
(ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN
BIDANG PERTANAHAN ANTARA
PEMERINTAH KOTA BATAM DAN OTORITA PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM)
Nama Mahasiswa : Novlinda Nomor Pokok : 087011147 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Pro. Muhammad Abduh, SH) Ketua
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Notaris Syafnil Gani, SH, MHum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Telah diuji pada
Tanggal : 20 Nopember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
ABSTRAK
Masalah Pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan sering kali menimbulkan sengketa yang berkepanjangan dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai daerah di nusantara masing-masing memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar kemakmuran dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah, pada umumnya orang Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan penghidupan, tanah juga dapat dijadikan suatu investasi yang menguntungkan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Penetapan status pulau Batam sebagai daerah industri melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973. Tentang pembentukan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, yang tidak saja perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga di bidang pertanahan. Hal ini dapat di lihat dengan terbentuknya Keputusan MenteriDalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 yang mengatur tentang pengelolaan dan penggunaan tanah di daerah industri pulau Batam, yang di berikan hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam. Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, mengakibatkan kewenanagan di bidang pertanahan menjadi dilema dalam pelaksanaannya antara pemerintah daerah Batam dengan Otorita Batam.
Jenis penelitian Tesis ini adalah penelitian Yuridis Normatif yang bersifat Deskriptif analisis. Maksudnya adalah suatu analisa data yang berdasarkan teori hukum yang bersifat umum, diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada. Untuk kemudian di tarik kesimpulan yang menjadi inti dari solusi permasalah tersebut.
Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tidak dapat langsung secara serta merta diberlakukan di pulau Batam, khususnya kewenangan pemerintah daerah dibidang pertanahan. Hal ini disebabkan antara lain karena UU nomor 32 tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tersebut tidak mengatur secara jelas dan terperinci mengenai bentuk dan jenis kewenangan bidang pertanahan tersebut. Untuk pelaksanaan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu dibentuk suatu peraturan khusus yang memperinci secara jelas dan tegas tentang batas kewenangan di bidang pertanahan tersebut. Disamping itu pemerintah Republik Indonesia perlu menerbitkan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah tentang Hubungan kerja antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam untuk meningkatkan keselarasan, keseimbangan dan keserasian kewenangan di bidang pertanahan tersebut, dan perlu pula ditetapkan jangka waktu transisi melalui suatu peraturan yang tegas dan jelas untuk mengantisipasi munculnya masalah-masalah yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kata Kunci : UU No. 32 Tahun 2004
ASBTRACT
Land issue is a very complicated problem which frequently results in a long dispute in the life dynamics of Indonesian community members. Each area in Indonesia has its own land problem characteristics. This condition is a clear consequence of the basicof prosperity and the view of life of the people of Indonesia on land. In general, to the people of Indonesia, land is a facility of where to live in and can also be a beneficial investment that land has a very important function.
The decision of the status of Batam Island as an industrial area through the Presidential Decree Number 41/1973 on the establishment of the authority of Batam industrial area development not only changed the policy patterns in the sector of industry but also in the sector of land use. It can be seen through the issuance of the Decree of Minister of Domestic Affairs Number 43/1977 regulating the management and the use of land in the industrial area of Batam Island which gave the batam Authority the right to manage the land. The issuance of Law No. 22/1999 which was then amended by Law No. 32/2004 on Local Administration resulted in the dilemma between the local government of Batam and the Batam Authority on who holds and implements the land authority.
This is a normative juridical study with descriptive analysis which is meant to analyze the raw data based on a general legal theory applied to describe a set of the other raw data. Basically, the approach used showed that this study describes and the analyzes the existing research problems form which a conclusion was drawn to be the core of the problem solution.
The Law no. 32 /2004 on Local Government issued could not be directly implemented in Batam Island, especially the clause on the authority of local government in the sector of land use because tha Law No. 32/2004 on Local Government does not regulate the form and the kind of authority applied in the sector of land use in clear details. To effectively implement Law No. 32/200, a strict, clear establishe. In addition, the Government of theRepublic of Indonesia needs to issue a Law/Government Regulation on the Work Relationship between the City Government of Batam and the Batam Authority to improve the harmony, balance and compatible authority in the sector of land, and the period of transition should also be set based on a strict and clear regulation to anticipate the incident of the problems that may cause a legal uncertainty.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH, Bapak Prof. Dr. Muhammad
Yamin, SH, MS, CN, dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati mengucapkan ucapan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSC (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada suamiku Drs. H. Hamdan Basri, MSi dan anak-anakku tersayang Reza Mulyawan dan Rinda Kharisa, yang selama ini telah memberikan semangat dan doa serta kesempatan untuk menimba ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.
Medan, Nopember 2010 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
A. I. IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Novlinda
Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru/12 Nopember 1961
Status : Menikah
Alamat : Komp. Tiban Bukit Asri Blok B No. 1 Batam
Agama : Islam
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Usman Harahap
Nama Ibu : Chamisyah
Nama Suami : Drs. H. Hamdan Basri, MSi
Nama Anak : 1. Reza Mulyawan, Amd. I’m
2. Rinda Charisa
III. PENDIDIKAN
SD : SD Negeri No. 4 Pekanbaru Tahun 1973
SMP : SMP Negeri No. 4 Pekanbaru Tahun 1976
SMA : SMA Negeri No. 4 Pekanbaru Tahun 1979
S1 : Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam
Tahun 2006
S2 : Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun
DAFTAR ISI
BAB II PENYERAHAN KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN PADA PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH ... 30
A. Pengertian dan Sejarah Otonomi Daerah ... 30
B. Jenis-jenis Penyerahan Kemenangan Bidang Pertanahan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ... 39
Pertanahan Kepada Pemerintah Daerah ... 49
BAB III STATUS KEWENANGAN OTORITA BATAM DALAM BIDANG PERTANAHAN ... 68
A. Status Kewenangan Otorita Batam dalam Bidang B. Pertanahan Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau Batam ... 68
C. Kewenangan Bidang Pertanahan di Pulau Batam ... 82
BAB IV KEABSAHAN PERATURAN BIDANG PERTANAHAN YANG TELAH DITERBITKAN OLEH OTORITA BATAM DENGAN BERLAKUNYA UU NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH ... 100
A. Akibat Hukum Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ... 100
B. Status Hukum Terhadap Peraturan Bidang Pertanahan Apabila Terjadi Peralihan Kewenangan... 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 108
A. Kesimpulan... 108
B. Saran ... 109
ABSTRAK
Masalah Pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan sering kali menimbulkan sengketa yang berkepanjangan dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai daerah di nusantara masing-masing memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar kemakmuran dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah, pada umumnya orang Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan penghidupan, tanah juga dapat dijadikan suatu investasi yang menguntungkan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Penetapan status pulau Batam sebagai daerah industri melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973. Tentang pembentukan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, yang tidak saja perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga di bidang pertanahan. Hal ini dapat di lihat dengan terbentuknya Keputusan MenteriDalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 yang mengatur tentang pengelolaan dan penggunaan tanah di daerah industri pulau Batam, yang di berikan hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam. Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, mengakibatkan kewenanagan di bidang pertanahan menjadi dilema dalam pelaksanaannya antara pemerintah daerah Batam dengan Otorita Batam.
Jenis penelitian Tesis ini adalah penelitian Yuridis Normatif yang bersifat Deskriptif analisis. Maksudnya adalah suatu analisa data yang berdasarkan teori hukum yang bersifat umum, diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada. Untuk kemudian di tarik kesimpulan yang menjadi inti dari solusi permasalah tersebut.
Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tidak dapat langsung secara serta merta diberlakukan di pulau Batam, khususnya kewenangan pemerintah daerah dibidang pertanahan. Hal ini disebabkan antara lain karena UU nomor 32 tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tersebut tidak mengatur secara jelas dan terperinci mengenai bentuk dan jenis kewenangan bidang pertanahan tersebut. Untuk pelaksanaan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu dibentuk suatu peraturan khusus yang memperinci secara jelas dan tegas tentang batas kewenangan di bidang pertanahan tersebut. Disamping itu pemerintah Republik Indonesia perlu menerbitkan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah tentang Hubungan kerja antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam untuk meningkatkan keselarasan, keseimbangan dan keserasian kewenangan di bidang pertanahan tersebut, dan perlu pula ditetapkan jangka waktu transisi melalui suatu peraturan yang tegas dan jelas untuk mengantisipasi munculnya masalah-masalah yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kata Kunci : UU No. 32 Tahun 2004
ASBTRACT
Land issue is a very complicated problem which frequently results in a long dispute in the life dynamics of Indonesian community members. Each area in Indonesia has its own land problem characteristics. This condition is a clear consequence of the basicof prosperity and the view of life of the people of Indonesia on land. In general, to the people of Indonesia, land is a facility of where to live in and can also be a beneficial investment that land has a very important function.
The decision of the status of Batam Island as an industrial area through the Presidential Decree Number 41/1973 on the establishment of the authority of Batam industrial area development not only changed the policy patterns in the sector of industry but also in the sector of land use. It can be seen through the issuance of the Decree of Minister of Domestic Affairs Number 43/1977 regulating the management and the use of land in the industrial area of Batam Island which gave the batam Authority the right to manage the land. The issuance of Law No. 22/1999 which was then amended by Law No. 32/2004 on Local Administration resulted in the dilemma between the local government of Batam and the Batam Authority on who holds and implements the land authority.
This is a normative juridical study with descriptive analysis which is meant to analyze the raw data based on a general legal theory applied to describe a set of the other raw data. Basically, the approach used showed that this study describes and the analyzes the existing research problems form which a conclusion was drawn to be the core of the problem solution.
The Law no. 32 /2004 on Local Government issued could not be directly implemented in Batam Island, especially the clause on the authority of local government in the sector of land use because tha Law No. 32/2004 on Local Government does not regulate the form and the kind of authority applied in the sector of land use in clear details. To effectively implement Law No. 32/200, a strict, clear establishe. In addition, the Government of theRepublic of Indonesia needs to issue a Law/Government Regulation on the Work Relationship between the City Government of Batam and the Batam Authority to improve the harmony, balance and compatible authority in the sector of land, and the period of transition should also be set based on a strict and clear regulation to anticipate the incident of the problems that may cause a legal uncertainty.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH, Bapak Prof. Dr. Muhammad
Yamin, SH, MS, CN, dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati mengucapkan ucapan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSC (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada suamiku Drs. H. Hamdan Basri, MSi dan anak-anakku tersayang Reza Mulyawan dan Rinda Kharisa, yang selama ini telah memberikan semangat dan doa serta kesempatan untuk menimba ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.
Medan, Nopember 2010 Penulis,
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan seringkali
menimbulkan sengketa berkepanjangan dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Peraturan-peraturan yang mengatur masalah pertanahan disamping Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 begitu banyak tersebar, sehingga
membingungkan dan terkesan kompleks tidak hanya bagi masyarakat luar, namun
juga bagi para akademisi, pejabat dan banyak instansi yang terkait dengan masalah
pertanahan tersebut. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik
permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar pemahaman dan
pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia memandang
tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan penghidupan sehingga
tanah mempunyai fungsi yang sangat penting.
Menurut Boedi Harsono, walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari
apa yang tercantum dalam konsiderans, pasal-pasal dan penjelasan, dapatlah
disimpulkan bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam Undang-Undang
arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.1
Dengan pemakaian sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka
dalam pengertian UUPA, hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat
bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum
yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam
tertentu yang meliputi hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah
dalam arti permukaan bumi, hukum air yang mengatur hak-hak penguasaan atas air,
hukum pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian,
hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air, hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa (bukan Space Law) yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa yaitu memberi wewenang untuk mempergunakan
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 48 UUPA.2
Menurut Imam Sudiyat, sebagai salah satu unsur essensiil pembentuk negara,
tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung
negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya mendominasi. Di negara
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 6
yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial,
pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu
conditio sine qua non.3
Sebenarnya, jauh sebelum pendapat Imam Sudiyat muncul, UUPA dalam
pertimbangannya juga menegaskan bahwa hukum agraria nasional harus memberi
kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sesuai dengan
kepentingan rakyat Indonesia dan perkembangan zaman serta merupakan perwujudan
asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan
Keadilan Sosial.4
Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang mengatakan bahwa semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial.5
Namun, kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA. Berbagai konflik
seputar tanah kerap terjadi. Amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan
rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan
komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat
banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.
Batam sebagai bagian wilayah Indonesia, tidak terlepas dari fenomena
semacam ini. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan yang mau
3
Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 1. Conditio sine qua non merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti syarat mutlak atau syarat yang absolut. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 82.
4
Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Pertimbangan.
tidak mau harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan
baru.
Di tengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara
kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, maka jalan pintas untuk
mendirikan tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi
pemukiman menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh
lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liar6 pun
bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya.
Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim
di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena ini, pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di
Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan
pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemilikan hak
pakai atas tanah negara.7
Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri lewat Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat
perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga kebijakan di bidang
pertanahan. Dengan perubahan status tersebut kebijakan pertanahan menjadi
6
Rumah liar merupakan rumah yang didirikan di atas tanah yang bukan diperuntukkan
untuk pemukiman. Markus Gunawan, “Rumah Liar, Problematika Multidimensial,” Syari Pos, Batam, 12 Juli 2002 : 4.
7
kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk selanjutnya
disebut Otoritas Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.8
Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan
otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 9 yang memberikan kekuasaan yang amat besar
kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.10
Pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini
merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.11
Dengan berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan
kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah
Kota Batam.
Terhadap hal ini, Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41
Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan
kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara
Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa
8
Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, 2004, hal. 8 9
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi tersebut tidak banyak merevisi tentang masalah pertanahan. Hanya satu Pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut. Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437.
10Ibid,
Pasal 1. 11
sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan
Pemerintah Kota Batam.
Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-undang
ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan
pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam.
Status hukum hak pengelolaan atas seluruh areal yang terletak di Pulau Batam
termasuk dalam gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Ngenang,
Pulau Kasem, dan Pulau Moi-moi, yang diperoleh Otorita Batam berdasarkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Februari 197712
menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di Pulau Rempang
dan Galang.
Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap
peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam apabila terjadi
peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.
Mengingat pentingnya pemahaman yang komprehensif dalam menyikapi
problematika pertanahan tersebut yang amat bertautan dengan masalah yuridis, maka
penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menjadikan problematika pertanahan yang
terjadi di pulau seluas 610 hektar ini sebagai topik penyusunan tesis. Untuk
12
melakukan penelitian secara lebih mendalam terhadap kewenangan pemerintah
daerah Kota Batam dalam bidang pertanahan.
Adapun judul penyusunan tesis ini adalah Kewenangan Pemerintah Daerah di
Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara
Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penyerahan kewenangan bidang pertanahan pada Pemerintah Daerah
berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah?
2. Bagaimana status kewenangan otorita Batam dalam bidang pertanahan berkaitan
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah ?
3. Bagaimana keabsahan peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh
otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota
Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 32 tahun
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana penyerahan kewenangan bidang pertanahan pada
Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
2. Mengetahui bagaimana status kewenangan otorita Batam dalam bidang
pertanahan berkaitan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
3. Mengetahui bagaimana keabsahan peraturan bidang pertanahan yang telah
diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada
Pemerintah Kota Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, seperti dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya terutama
dibidang pertanahan yang menyangkut status hukum kewenangan bidang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga bila
terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat memberi sumbang saran kepada pemerintah, praktisi
dan masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kewenangan
bidang pertanahan yang dimiliki oleh otorita Batam sehubungan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan apabila terjadi peralihan kewenangan dari otorita Batam kepada
Pemerintah Kota Batam.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik
diperpustakaan Karya Ilmiah Magister Hukum maupun di Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, penelitian
tentang “Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis
Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah, Kota Batam dan
Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)”, memang telah pernah
dilakukan, namun memiliki perbedaan dalam hal substansi permasalahan yang
dibahas, oleh karena itu penelitian ini adalah asli adanya. Secara akademik penelitian
ini dapat saya dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.13 Fungsi teori dalam
penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta
menjelaskan gejala yang diamati.14
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan oleh karena itu
kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha
untuk memahami masalah kewenangan antara pemerintah daerah Kota Batam dan
otorita pengembangan daerah industri pulau Batam di bidang pertanahan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, secara yuridis,
artinya memahami objek penelitian sebagai hukum, yakni sebagai kaidah hukum atau
sebagai isi kaidah hukum sebagaimana yang ditentukan dalam perundang-undangan
yang berkaitan dengan masalah hukum pertanahan, kewenangan antara Pemerintah
Daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam,
batas-batas kewenangannya antara pemerintah Kota Batam dengan otorita pengembangan
13
DJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203.
14
daerah industri pulau Batam di bidang pertanahan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.15
Kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori tesis dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum perdata,
khususnya dibidang hukum pertanahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan
eksternal bagi penelitian ini.16 Teori yang dipakai adalah teori keseimbangan
kewenangan Pemerintah Daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah
industri pulau Batam, batas-batas kewenangan yang berkaitan dengan bidang
pertanahan di Kota Batam yang dikaji berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah.17 Keseimbangan untuk memperoleh kepastian
hukum terhadap pemberian kewenangan hukum dan hak-hak atas tanah terhadap
masyarakat yang diberikan oleh pemerintah Kota Batam dan otorita pengembangan
dan arah industri kota Batam dengan mengacu kepada batas-batas kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
untuk memperoleh kepastian hukum pemberian hak-hak atas tanah oleh kedua
instansi berwenang di pulau Batam tersebut.18
Teori keseimbangan ini dipelopori oleh Aristoteles dimana Ia menyatakan
bahwa hukum harus diluruskan penegakannya sehingga memberi keseimbangan yang
15
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, hal. 17.
16
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 17
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1994, hal. 102. 18Ibid,
adil terhadap orang-orang yang mencari keadilan. Dalam teori keseimbangan semua
orang mempunyai kedudukan yang sama dan diperlakukan sama pula (seimbang)
dihadapan hukum.19
Sistem hukum pertanahan dibangun berdasarkan asas-asas hukum Mariam
Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum
yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.20 Pandangan ini menunjukkan arti
sistem hukum dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran
mendasar tentang kebenaran (waarheid truth) untuk menopang norma hukum dan
menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum pertanahan.
Konsiderans UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria Nasional berdasarkan
atas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan tidak menjabarkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama. Menyimak konsiderans dari UUPA tersebut, maka pembangunan Hukum
Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat
dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis “selama hukum
adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh serta menunjukkan adanya hubungan
fungsional antara hukum adat dan Hukum Tanah Nasional itu.”21
AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat kepada hukum
adat di dalam UUPA, tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti yang dikenal
sebelum berlakunya UUPA. Reorientasi pelaksanaan hukum di Indonesia akan lebih
19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1985, hal. 87. 20
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1990, hal. 15. 21
berhasil jika kita mampu memahami jiwa hukum adat yang akan dikembangkan
di dalam perundang-undangan modern. Pemberian tempat bagi hukum adat didalam
UUPA, apalagi penempatan itu dalam posisi dasar, merupakan kristalisasi dari
asas-asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat yang sebenarnya.
Hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah
dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional22. Sehingga
dalam hubungan dengan prinsip-prinsip satuan bangsa dan negara kesatuan Republik
Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan suku dan masyarakat
hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara :23
a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa dan
seterusnya (Pasal 5) dan tidak merupakan penghambat pembangunan.
b. Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya
sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa
serta dapat menghambat pembangunan negara.
Hukum adat yang tidak bertentangan tersebut dalam poin a di atas, tetap
berlaku dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali
hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal II,
VI dan VIII Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam poin b tidak
diberlakukan lagi (tidak diadatkan).24
22
AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 47.
23
Alvi Syahrin, Op. cit, hal. 40. 24
“Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan norma-norma hukum
adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan UUPA, bahkan Pasal 5 UUPA memberikan syarat yang lebih rinci,
yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta
peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan-peraturan perundang-undangan
lainnya”.25
Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA adalah hukum aslinya golongan
rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan
kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.26
Konsepsi hukum adat dalam hukum tanah nasional di rumuskan sebagai
konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara
individual, dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur
kebersamaan. Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum tanah nasional
ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat komunalistik menunjukkan semua
tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang
telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religius dari konsepsi ini ditujukan
oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
25
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 1
26Ibid,
terkandung di dalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa
Indonesia.
Suasana religius dalam Hukum Tanah Nasional juga terlihat dalam
konsiderans UUPA yang menyebutkan “…perlu adanya hukum agraria nasional yang
tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”……..”harus
mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Pasal 5 UUPA
yang menyebutkan : “dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama”. Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum Tanah Nasional, antara
lain asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan,
pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanah secara berencana, serta asas
pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.27
Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai
landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum (ratio legis) selanjutnya. Namun
demikian, penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu
memperhatikan faktor-faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan
menyimpang dari asas tersebut guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat
memenuhi rasa keadilan dan kebenaran.
Tujuan diundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, agar daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dalam
rangka pengembangan wilayahnya masing-masing untuk kemajuan daerahnya, agar
27
sesuai dengan aspirasi masyarakat di daerah tersebut demi mencapai kesejahteraan
bersama di semua sektor pembangunan.
Kewenangan mengurus rumah tangga sendiri tersebut juga mencakup
kewenangan mengatur masalah pertanahan diwilayahnya demi mengembangkan
otonominya sesuai gerak tuntutan kesejahteraan rakyat, atau minimal daerah tidak
kesulitan mengajak investor menanamkan modal di daerahnya demi peningkatan
usaha yang berkaitan dengan tanah didaerahnya.28 Keadaan ini dapat dipahami,
karena daerah berkeinginan untuk memajukan daerahnya serta mensejahterakan
masyarakatnya dengan landasan pengembangan ekonomi sebagai basisnya dengan
tetap bertumpu kepada kebijakan ekonomi baru mencakup kebijaksanaan, strategi dan
pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai
wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, sebagai
pilar utama pembangunan ekonomi nasional, tanpa mengabaikan peranan
perusahaan-perusahaan besar. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam
lainnya dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan
pengusahaan dan pemilihan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi
usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai basis usaha
pertanian diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat.29
28
Muhammad Yamin, Politik Agraria dalam Mengatur Perkembangan Otonomi Daerah,
Artikel, dimuat Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 2, November 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 8.
Perlindungan hukum terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi
serta petani masih perlu lebih ditingkatkan pelaksanaannya, mengingat dalam
prakteknya masih sering terabaikan dan cukup memprihatinkan. Kendati sarana
hukum yang tersedia dari segi kuantitas dalam hal perlindungan hukum tersebut
sudah memadai, namun penegakan dan pengawasan peraturan itu masih lemah.30
1. Kewenangan hak menguasai dari negara, diatur secara terperinci dalam
Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu berupa kegiatan :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak menguasai dari negara tidak akan hapus, selama Negara Republik Indonesia
masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada31.
30
Muhammad Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal. 118.
31
3. Hak-hak penguasaan individual, terdiri atas :
a. Hak-hak atas tanah32, meliputi :
Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai yang diberikan oleh Negara33.
Sekunder : Hak Guna Bangunan dan hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik
tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak
Sewa dan lain-lain34.
b. Hak Wakaf35, hak individual yang berasal dari hak milik yang sudah
diwakafkan dan mempunyai kedudukan khusus dalam Hukum Tanah
Nasional.
c. Hak jaminan atas tanah, yang disebut dengan hak tanggungan.36
Dalam lingkup hak bangsa, para warga negara mempunyai hak bersama untuk
menguasai tanah dan menggunakannya, serta dimungkinkannya para warga untuk
menguasai dan menggunakannya secara individual dengan hak-hak yang bersifat
pribadi, artinya bahwa tanah tersebut tidak harus dikuasai dan digunakan secara
bersama-sama dengan orang lain.
Sifat pribadi hak-hak individual menunjuk kepada kewenangan pemegang hak
untuk menggunakan tanahnya bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan
pribadi dan keluarganya.37
Hak-hak individual yang bersifat pribadi tersebut, dalam konsepsinya
mengandung unsur kebersamaan, karena semua hak pribadi secara langsung atau
tidak langsung bersumber pada hak bersama. Hak-hak primer (Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai) langsung bersumber dari hak bangsa,
melalui pemberian oleh negara sebagai petugas bangsa. Hak-hak yang lain seperti hak
sewa, hak bagi hasil dan lain-lainnya merupakan hak-hak sekunder yang bersumber
pada Hak Bangsa secara tidak langsung, melalui pemegang hak primer.38
Adanya unsur kebersamaan dalam hak individual39 ini sesuai dengan alam
pikiran asli orang Indonesia yang menegaskan bahwa manusia Indonesia adalah
manusia pribadi yang sekaligus mahkluk sosial, yang mengusahakan terwujudnya
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.
Perintah untuk mengadakan perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah
(Pasal 14 UUPA), meletakkan kewajiban kepada mereka yang mempunyai tanah
untuk menggunakan tanah yang dihaki-nya (Pasal 10 UUPA), kewajiban untuk
memelihara, menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA),
larangan pemilikan dan penguaaan tanah yang berlebihan (Pasal 7 dan 17 UUPA),
serta kebijakan dan ketentuan yang digariskan dalam Pasal 11, 12 dan 13 UUPA,
merupakan penjabaran sifat fungsi sosial yang menunjukkan adanya unsur
kebersamaan.
37
Pasal 9 UUPA berikut penjelasannya. 38
Boedi Harsono, Tinjauan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang dan Masa Akan Datang, Makalah, Seminar Nasional Pertanahan dalam rangka HUT UUPA ke-XXXII, Yogyakarta, 1992, hal. 15.
39
Dengan demikian, filosofis pemberian hak atas tanah kepada seseorang
ataupun badan hukum didasarkan pada diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan
pribadi atau usahanya yang nyata, serta adanya kewajiban untuk menggunakannya.
Ini berarti, tanah bukan merupakan komoditi perdagangan, walaupun dimungkinkan
untuk dijual kepada pihak lain jika ada keperluan. Tanah tidak bisa dijadikan obyek
investasi semata-mata, lebih-lebih dijadikan obyek spekulasi.40
Selanjutnya, asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan
perlindungan hukum yang diberikan oleh Hukum Tanah Nasional terhadap para
pemegang hak atas tanah41, adalah :
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun,
harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional;
2. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal), tidak
dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU 51 Prp 1960);
3. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh
Hukum Tanah Nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak
manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa
sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya;
4. Hukum menyediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan
yang ada :
40
Boedi Harsono, Op.cit, hal. 16. 41
- Gangguan oleh sesama anggota masyarakat; gugatan perdata melalui
Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya
(UU 51 Prp 1960);
- Gangguan oleh penguasa; gugatan melalui Pengadilan Umum atau Pengadilan
Tata Usaha Negara;
5. Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga
untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang menjadi hak
seseorang, harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik
mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun
mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan untuk menerimanya;
6. Tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh pihak manapun
kepada pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan
atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan
lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan
Negeri (seperti diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata)
7. Dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk
menyelenggarakan kepentingan umum, dan tidak mungkin menggunakan tanah
yang lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh
kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak
memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara
8. Dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas kesepakatan bersama maupun
melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau
ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, melainkan juga
kerugian-kerugian lain yang dideritanya sebagai akibat penyerahan tanah yang
bersangkutan;
9. Bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya
diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah
sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran,
baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.
Batam sebagai bagian wilayah Indonesia, tidak terlepas dari fenomena konflik
masalah pertanahan. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan
yang mau tidak mau harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan
persoalan baru.
Ditengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara
kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, maka jalan pintas untuk
mendirikan tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi
pemukiman menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh
lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liarpun
bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya.42
42
Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim
di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena itu pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di
Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan
pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemulihan hak
pakai atas tanah negara.
Penetapan status pulau Batam sebagai zona industri menurut Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja
membuat perubahan dalam pola kebijakan dibidang industri tetapi juga kebijakan
di bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan
menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk
selanjutnya disebut otorita Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.43
Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan
otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 200444 yang memberikan kekuasaan yang amat besar
kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.45
43
Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, 2004, hal. 8. 44
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Revisi tersebut tidak banyak, merevisi masalah pertanahan hanya satu pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut.
45
Pemberian otonomi dibidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini
merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.46
Dengan berbekal Undang-Undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan
kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah
Kota Batam. Terhadap hal ini, otorita Batam mengacu kepada Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1973 tentang daerah Industri Pulau Batam yang memberikan
kewenangan kepada otorita Batam, termasuk kewenangan bidang pertanahan,
sementara Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan
bahwa sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan
Pemerintah Kota Batam.
Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-Undang
ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan
pertanahan, sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam. Status hukum hak
pengelolaan atas seluruh aral yang terletak di pulau Batam, termasuk dalam gugusan
pulau Janda berhias pulau Tanjung Sauh, pulau Ngenang, pulau Kasem dan pulau
Moi-Moi yang diperoleh otorita Batam berdasarkan Keputusan Menteri Dalam
46
Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Februari 1977 menjadi dipertanyakan,
termasuk kewenangan bidang pertanahan di pulau Rempang dan Galang.
Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap
peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi
peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.
2. Konsepsi
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi
operasional.47 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.
Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.
Oleh karena itu dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi
operasional sebagai berikut : yang dimaksud dengan kewenangan adalah hak dan
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan/perbuatan hukum dibidang pertanahan
dalam hal pemberian hak-hak atas tanah kepada masyarakat di Kota Batam.48
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
47
Sumardi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3. 48
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945.49
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan Perangkat
Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.50 Otonomi Daerah adalah
hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.51
Daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.52
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Untuk menjawab dan membahas permasalahan dalam penelitian ini maka sifat
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analisis, yang
mengusahakan/memaparkan bagaimana pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah
di bidang pertanahan dalam hal ini adalah batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh
49
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 50
Pasal 1 ayat (3), Ibid.
51
Pasal 1 ayat (5), Ibid
52
Pemerintah Kota Batam dengan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam
dalam hal pemberian hak-hak atas tanah di Kota Batam, dalam hal memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat di Kota Batam atas kewenangan pemberian
hak-hak atas tanah tersebut.
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
penulisan dengan pendekatan juridis normatif (penelitian hukum normatif) yaitu
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang berawal dari premis
umum, untuk kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan
untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran
pokok (teoritis).
2. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual, dan penelitian pendahulu yang
berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa norma atau kaidah
dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kewenangan pemerintah daerah (otonomi) dibidang pertanahan dan juga UU yang
terkait masalah pertanahan tersebut. Studi dokumen dalam bentuk buku teks, jurnal,
makalah dan berbagai artikel yang terbit disejumlah media massa, kamus umum dan
Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian
lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan,
yang dapat berupa wawancara langsung dengan para pihak terkait seperti pejabat
Pemerintah Kota Batam dan otorita Batam yang berwenang dalam bidang pertanahan,
yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan narasumber.
3. Analisis Data
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakikatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis konstruksi.
Sebelum analisa dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi
terhadap semua data yang dikumpulkan (primer, sekunder maupun tertier) untuk
mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan
disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh
jawaban yang baik pula.53
Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang artinya penelitian
ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus untuk melakukan analisis terhadap
53
permasalahan yang ada dengan cara yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan
jawaban yang jelas dan benar.54
Ada 3 (tiga) alasan penggunaan penelitian hukum normatif dengan
pendekatan kualitatif, antara lain :
1. Analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori,
konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap
dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.
2. Data yang dianalisa beraneka ragam memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikualifisir.
3. Sifat dasar data yang dianalisa dalam penelitian ini adalah bersifat menyeluruh
dan merupakan satu kesatuan yang integral (hilistic) dimana hal itu menunjukkan
adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam
(indepth information).55
Hasil penelitian ini bersifat evaluasif analisis yang kemudian dikonstruksikan
dalam suatu kesimpulan yang ringkas dan tepat sesuai tujuan dari penelitian ini.
54
Ibid, hal. 107. 55
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,
BAB II
PENYERAHAN KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN PADA PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
A. Pengertian dan Sejarah Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti sendiri
dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu, secara harfiah otonomi berarti
peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi
pemerintah sendiri.56
Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian dari
pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses menyejahterakan rakyat”,
sedangkan menurut Thoha, otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan
rumah tangga dari pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah di bawahnya dan
sebaliknya pemerintah di bawahnya yang menerima sebagian urusan tersebut telah
mampu melaksanakannya.57
Selain itu, pengertian otonomi daerah menurut Fernandes adalah pemberian
hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk meningkatkan daya guna dan
56
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 81.