ANALISIS PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN
AIR DANAU TOBA BERDASARKAN MODEL ANSWERS
UNTUK FUNGSI DAERAH ALIRAN SUNGAI
YANG BERKELANJUTAN
( Study Kasus Sub DAS Aek Silang Hulu)
Disusun Oleh
HOTMAULI SIANTURI
068106002
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Analysis of Land Utilization in Lake Toba Catchment Area based on ANSWERS Model For Sustainable Watershed Function
(Case Study in Upper Aek Silang Sub Watershed)
ABSTRACT
Lake Toba Catchment Area (LTCA) is the upstream of Asahan Toba Watershed that consist of 7 administration area which are namely Kabupaten Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, Simalungun and Tapanuli Utara. LTCA has several importan functions for farming and pasturing, water sources, fishering, tour destiny, water power generating of PT. INALUM etc. On the other hand LTCA has suffering severe degradation that indicated by drought in dry season, water flood during rainy season especially along riverside, decreasing interception, depletion of water table and increasing of erosion/ sedimentation and finally decreasing of land productivity.
In line with the LTCA degradation, it is needed to study biophisical characteristic, land utilization, land coverage, river system, etc in order to understand what happen in the area that caused those problems. Survey was done in Aek Silang Sub Watershed- Lake Toba catchment area, North Sumatera Province. The objective of the research is to analyze the combination of land utilization that result optimum hydrologic functions of the watershed with minimum erosion and sediment.
Simulation was done by using model ANSWERS with the highest rainfall data input during the survey conducted which altered several scenarios. ANSWERS has proven able to predict erosion and surface run off in Aek Silang sub watershed. Direct run off predicted by ANSWERS are not significantly different compared to direct measurement with correlation value of R2 : 0,94 and 0,98.
Based on simulation of several land utilization, the best combination of land needed a propher institution in order to enact the principle of sustainable function of watershed in LTCA. This institution should be raised to the higher level in accordance with decentralization sissue that enable the surrounding area of LTCA to obey and harmonized their development programmes, such as by President Decree as the LTCA has been declared as a National Strategic Area.
Analisis Penggunaan Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Sungai (DAS) Asahan Toba yang terdiri dari 7 wilayah administrasi pemerintahan yaitu Kabupaten Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, Simalungun dan Tapanuli Utara. Danau Toba mempunyai fungsi yang penting bagi pertanian dan peternakan, sumber air bagi kehidupan masyarakat, perikanan, transportasi antar wilayah, jasa pariwisata, pemutar turbin untuk menghasilkan listrik PT. Inalum (terutama untuk penyediaan pasokan listrik bagi industri peleburan biji aluminium di Kuala Tanjung serta pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat), dan lain-lain.
Di sisi lain DTA Danau Toba telah mengalami kerusakan lahan/lingkungan yang dicirikan dengan adanya kekeringan pada musim kemarau tetapi pada musim penghujan seringkali terjadi banjir terutama di daerah hilir seperti Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai, intersepsi yang semakin menurun, penurunan muka air tanah, meningkatnmya erosi/sedimentasi dan penurunan tingkat produktivitas lahan pertanian.
Sejalan dengan terjadinya degradasi lahan di DTA Danau Toba, maka perlu dipahami karakteristik biofisik dari daerah ini seperti penggunaan dan penutupan lahan, sistem jaringan sungai, topograpi, jenis tanah samapi tingkat bahaya erosinya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa penggunaan lahan yang dapat menghasilkan fungsi hidrologis yang optimum melalui indikator tingkat erosi/sedimentasi dan aliran permukaan yang terjadi apabila terjadi hujan.
Simulasi penggunaan lahan dilakukan dengan model ANSWERS dengan memasukkan data curah hujan tertinggi yang terjadi selama penelitian berlangsung dengan beberapa skenario penggunaan lahan. Model ANSWERS terbukti dapat memprediksi tingkat erosi/sedimentasi beserta aliran permukaan yang terjadi di Sub DAS Aek Silang dengan nilai korelasi R2 masing-masing 0,94 dan 0,98, tidak berbeda nyata dibandingkan dengan hasil pengukuran langsung di lapangan.
Berdasarkan simulasi beberapa skenario penggunaan lahan, maka diketahui bahwa penggunaan lahan yang paling optimal di Sub DAS Aek Silang adalah pertanian intensif pada lahan datar dengan kelas kemampuan IIe seluas 7.919 ha, dikombinasikan dengan teknik agroforestry pada lahan kelas kemampuan IIIe seluas 9.262,3 ha dan hutan pada lahan kelas kemampuan IVe seluas 1.218,3 ha.
HALAMAN PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :
ANALISIS PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU TOBA BERDASARKAN MODEL ANSWERS UNTUK FUNGSI DAERAH ALIRAN SUNGAI YANG BERKELANJUTAN (Study Kasus Sub DAS Aek Silang Hulu)
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis diperguruan tinggi lainnya.
Semua data dan infromasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Medan, 22 Maret 2011
Nama : HOTMAULI SIANTURI
ANALISIS PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN
AIR DANAU TOBA BERDASARKAN MODEL ANSWERS
UNTUK FUNGSI DAERAH ALIRAN SUNGAI
YANG BERKELANJUTAN
(Study Kasus Sub DAS Aek Silang Hulu)
Oleh:
HOTMAULI SIANTURI
068106002
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelas Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
JUDUL DISERTASI : ANALISIS PENGGUNAAN LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU TOBA BERDASARKAN MODEL ANSWERS UNTUK FUNGSI DAERAH ALIRAN SUNGAI YANG BERKELANJUTAN (Study Kasus Sub DAS Aek Silang Hulu)
NAMA MAHASISWA : HOTMAULI SIANTURI
NOMOR POKOK : 068106002
PROGRAM : DOKTOR
PROGRAM STUDY : PSL
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc., Ph.D Promotor
Dr. Sutarman, Msc Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS
Co-Promotor Co-Promotor
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS
Direktur
Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE NIP. 196212141991032001 NIP. 195208151980031001
Telah diuji pada
Tanggal 22 Maret 2011
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, Ph.D Anggota :
1. Prof. Dr. Ir. Alvi Syahrin, SH, MS 2. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS 3. Dr. Sutarman, M.Sc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Muara, Kabupaten Tapanuli Utara pada tanggal 5
November 1962 sebagai anak pertama dari delapan bersaudara pasangan J.B. Sianturi
dan K. Rajagukguk. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1985. Pada tahun
1992 penulis meneruskan pendidikan Pascasarjana di School Of Forestry, Canterbury
University, New Zealand dan menamatkannya pada tahun 1994. Selanjutnya pada
tahun 2006 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program
doktor pada Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Disisi lain penulis berkarir di Kehutanan sesuai dengan latar belakang
pendidikannya. Pada tahun 1986 penulis diterima sebagai Staf pada Direktorat
Reboisasi, Departemen Kehutanan, Jakarta. Tahun 1996 diangkat sebagai Kepala
Seksi Penyiapan Wilayah III, Direktorat Hutan Tanaman Industri. Tahun 2001
penulis pindah tugas ke Balige sebagai Kepala Bidang Program pada Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Toba Samosir. Tahun 2005 penulis ditetapkan
sebagai Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Toba Samosir. Tahun
2007 penulis pindah tugas kembali ke dalam lingkup Departemen Kehutanan sebagai
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Asahan Barumun (BPDAS Asahan
Barumun) di Pematang Siantar. Pada tahun 2011 pindah tugas menjadi Kepala
KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera,
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya disertasi untuk persyaratan menyelesaikan Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup di Universitas Sumatera Utara Medan dapat diselesaikan. Penyelesaian disertasi ini dapat kami lakukan berkat dukungan, bantuan dari para pengajar, teman dan keluarga yang sangat besar manfaatnya. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan kepada :
Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, Msc CTM, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Periode 2011-2015.
Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, Msc, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Periode 2005-2010 yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan S3 di Universitas Sumatera Utara. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Ketua Program Doktor (S3)
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Periode 2005-2010, dan juga atas kesediaan menjadi anggota tim penguji Disertasi yang telah memberikan arahan dan saran serta menumbuhkan kesadaran bahwa manusia mempunyai bermacam karakter yang harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda.
Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc. Ph.D, selaku Promotor yang telah banyak memberi masukan, arahan dan waktu yang tak terbatas serta dengan gayanya yang khas membuat persoalan berat menjadi ringan.
Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, selaku selaku Ketua Program Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Periode 2010-2015 dan juga sebagai co-promotor disertasi, yang telah dengan sabar dan penuh kelembutan dalam memberi arahan, perbaikan dan mendorong agar disertasi cepat terselesaikan.
Dr. Sutarman, M.Sc, selaku co-promotor yang memberi arahan dan kritikan yang bersifat membangun terutama menyangkut prinsip-prinsip pengujian hipotesis.
Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, selaku tim penguji yang sangat teliti dan memberi motivasi untuk selalu membaca jurnal terbaru demi penyempurnaan disertasi;
Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc, selaku tim penguji yang penuh kesabaran serta dengan pengalaman yang kaya memberikan masukan dalam penyempurnaan penulisan disertasi;
Bapak dan Ibu Dosen Program Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf (Sdr. Maya, Sdr. Putri dan Pak Ponimin).
Terimakasih kepada suami tercinta Drs. M. Sitanggang, MMA. atas segala dorongan, kasih sayang dan kesabarannya serta perhatian yang tidak pernah putus untuk selalu menyemangati dalam penyelesaian study ini. Juga terimakasih buat anak-anakku Valentino, Christ, Gabriella Sitanggang atas pengertian kalian selama ini, Ibu berharap menjadi inspirasi bagi kalian untuk selalu giat belajar dan menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Terimakasih diucapkan kepada Ayah saya J.B. Sianturi serta Ibu K. Rajaguguk yang selalu mendorong untuk meningkatkan pendidikan anak-anaknya dan atas doa-doa yang tiada pernah berhenti sehingga Penulis dapat meneyelesaikan disertasi ini.
Terimakasih Kepada Alm. Bapak L.R. Sitanggang (Op. David Doli) yang selalu bijaksana dalam membimbing anak-anaknya untuk selalu mengutamakan keluarga. Permohonan maaf yang sebesar-besarnya saya tidak bisa menyelesaikan sekolah ini semasa hidup Bapak.
Terimakasih kepada Ibu Mertua T. Togatorop (Op. David Boru) yang dengan penuh kelembutan selalu memberi nasehat, perhatian dan selalu menanyakan perkembangan study saya serta doa yang tidak pernah berhenti demi kesuksesan study saya.
Terimakasih kepada seluruh staf BPDAS Asahan Barumun yang telah banyak membantu data maupun sarana dalam penyelesaian disertasi ini, khususnya kepada sdr Entan, Mohtar, Komar, Yanthes, Sigit, Ricky dan Eddy Suryanta Purba (BPDAS Wampu Sei Ular) serta Rekan-rekan Petugas Lapangan Gerhan yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan (Dedy Manullang, Chandra Simbolon, Irawaty Ht. Barat, Eny Siregar, dll). Tanpa dukungan kalian rasanya sulit membayangkan penyelesaian disertasi ini. Rasa terimakasih yang sangat tulus kepada Bapak Prof. Naik Sinukaban yang
telah memperkenalkan beberapa Model dalam Hidrologi; Dr. Yayat Hidayat, M.Si. Dosen Ilmu Tanah IPB yang sangat membantu terutama dalam menjalankan Model ANSWERS.
DAFTAR ISI
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... 13
Indikator Pengelolaan DAS Berkelanjutan ... 15
2.2. Model dan Sistem... 22
Model ... 22
Sistem ... 23
2.3. Model Hidrologi Daerah Aliran Sungai... 25
2.4. Model ANSWERS ... 29
2.5. Lahan ... 44
Batas Pengertian ... 44
Pengelolaan Lahan ... 46
2.6. Sistem Usahatani Konservasi ... 46
Aspek Konservasi ... 46
Sistem Agroforestry ... 51
2.7. Proses Hirarki Analitis (AHP) ... 53
2.8. Kelembagaan Pengelolaan DAS (DTA Danau Toba)... 57
III. BAHAN DAN METODE ... 60
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 60
3.2. Bahan dan Alat ... 62
3.3. Tahapan Penelitian ... 62
3.4. Pengumpulan Data Primer ... 63
Data Biofisik ... 63
3.5. Pengumpulan Data Sekunder ... 72
3.6. Analisis Penutupan Vegetasi... 72
3.7. Analisis Tanah dengan berbagai penggunaan lahan ... 74
3.8. Running Model ANSWERS ... 75
3.9. Analisis Sosial Ekonomi DAS ... 81
3.10. Tingkat pendapatan petani ... 85
3.11. Kegiatan dasar wilayah ... 87
3.12. Analisis Pusat Pertumbuhan Wilayah... 88
3.13.Analisis Kebijakan Kelembagaan Pengelolaan DAS... 88
IV. KEADAAN UMUM LOKASI ... 96
4.1. Keadaan Biofisik DTA Danau Toba ... 96
Letak dan Luas ... 96
Iklim ... 98
Jenis Tanah ... 101
Kesuburan Tanah ... 101
Solum Tanah ... 102
Topografi... 102
4.2. Penggunaan Lahan / Tutupan Lahan ... 104
4.3. Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan ... 108
Kawasan Lindung... 108
Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan ... 109
Kawasan Budidaya Tanaman Semusin ... 109
Kawasan Penyangga ... 110
4.4. Keadaan Sosial ekonomi ... 110
Kependudukan ... 110
Keadaan Tenaga Kerja ... 113
Mata Pencarian ... 115
4.5. Pemilikan Lahan dan Penggunaan Lahan ... 116
4.6. Sarana Pendidikan ... 116
4.7. Tingkat Pendidikan ... 117
4.8. Sarana dan Prasarana Transportasi ... 118
4.9. Sarana Perekonomian ... 119
4.10.Tingkat Pendapatan Petani ... 121
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 123
5.1. Batas Wilayah Daerah Aliran Danau Toba ... 123
5.2. Evaluasi kesmampuan lahan DTA Danau Toba ... 128
5.3. Aplikasi Model ANSWERS untuk memprediksi Aliran Permukaan dan Erosi, dan Simulasi Penggunaan Lahan DAS Aek Silang Hulu 141 Parameter Masukan Model ... 142
Keluaran Model... 145
5.4. Simulasi Penggunaan Lahan ... 150
5.5. Perumusan Kebijakan Pengelolaan DAS ... 163
Fokus ... 165
Aktor ... 165
Kriteria ... 166
Sub kriteria ... 168
Kebijakan ... 170
Penyusunan Prioritas Pengelolaan ... 173
Penguatan Kelembagaan DTA Danau Toba ... 176
VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 182
6.1. Kesimpulan ... 182
6.2. Saran... 183
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Wilayah Administrasi Sub Das Aek Silang... 60
2. Perhitungan nilai konstanta a dan b pada hubungan TMA dengan Debit Aliran (Q)... 66 3. Perhitungan nilai konstanta a dan b pada hubungan Debit Suspensi (Qs) dengan Debit Aliran (Q)... 68 4 Standar dan Kriteria Indeks Penutupan Lahan (IPL) dan Kesesuaian Penggunaan Lahan (KPL) ... 74 5. Peta-peta DTA Danau Toba yang digunakan... 78
6. Uraian simulasi penggunaan lahan yang digunakan dalam penelitian.... 80
7. Skala Angka Saaty... 90
8. Pembagian Sub-Sub DAS pada DTA Danau Toba... 97
9. Jenis Tanah di DTA D. Toba Menurut Klasifikasi USDA... 101
10. Kondisi kemiringan lahan untuk tiap-tap sub DAS... 103
11. Liputan lahan di wilayah DTA Danau Toba... 105
12. Luas Kawasan Hutan di wilayah DTA Danau Toba yang dirinci dalam Kabupaten... 107
13. Luas Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Di Wilayah Sub DAS DTA Danau Toba di rinci dalam Sub-Sub DAS... 112
14. Jumlah Penduduk, Kepadatan Geografis dan Kepadatan Agraris Land Ratio) di Wilayah Sub DAS DTA Danau Toba Tahun 2004…… 113
15. Keadaan Beban Tanggungan Usia Produktif, Kerapatan Tenaga
Danau Toba ... 115
16. Keadaan Rata-rata Pemilikan Lahan Tiap Keluarga di Wilayah Sub DAS DTA Danau Toba yang Diirinci dalam Kabupaten... 116 17. Pendapatan Perkapita Penduduk di Wilayah DTA Danau Toba yang dirinci dalam Kabupaten ... 122 18. Kelas Bahaya Erosi (Anonim, 1986) ... 130
19. Kelas Tingkat Kedalaman solum tanah (Anonim, 1986) ... 132
20. Data hujan masukan model ANSWERS (15 Maret 2009)...……… 143
21. Nilai parameter tanah masukan model ANSWERS……… 144
22. Nilai parameter penggunaan lahan masukan model ANSWERS……… 145
23. Penyimpangan keluaran model terhadap hasil pengukuran pada berbagai curah hujan…..……… 149
24. Erosi raataan dan erosi maksimum keluaran model ANSWERS pada berbagai kejadian hujan …………..……… 150
25. Pengaruh simulasi penggunaan lahan terhadap volume dan debit puncak aliran langsung (DRO) menggunakan model ANSWERS pada curah hujan 78.8 mm……….… 152
26. Pengaruh simulasi penggunaan lahan terhadap volume konsentrasi sedimen menggunakan model ANSWERS pada curah hujan 78.8 mm 156 27. Hasil Uji Beda Nyata Antar Skenario Penggunaan Lahan... 159
28. Daftar pakar di bidang pengelolaan DAS yang mengisi kuesioner... 163
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran……… 10
2. Refleksi hidrologi yang diharapkan………. 16
3 Diagram aliran Model ANSWERS (de Roo, 1993)………... 33
4. Konsepsi pola usaha tani konservasi secara sederhana……… 49
5. Lokasi Penelitian... 61
6. Tahapan Pelaksanaan Penelitian... 63
7. Lokasi Titik Sampel Pengamatan... 64
8. Sketsa tahapan pelaksanaan penelitian... 78
9. Peta iklim DTA Danau Toba………... 99
10 Pertemuan Dua Anak Sungai Aek Silang... 125
11 Pohon Kemenyan... 126
12 Areal HTI PT. TPL yang berada di kawasan DTA Danau Toba... 128
13 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan.Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan itensitas dan ancaman penggunaan lahan... 130
14 Kondisi topografi DTA Danau Toba……… 131
15 Kelas Erosi di DTA Danau Toba……… 133
16 Ancaman bahaya erosi yang sangat tinggi karena solum tanah yang sangat dangkal di DTA Danau Toba……… 134
17 Kelas kemampuan lahan di DTA Danau Toba (termasuk di dalamnya DAS Aek Silang Hulu) (peta sebaiknya dilayout dalam format A3)….... 137
18 Pembukaan Lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan dapat memicu proses penggurunan………... 138
20 Diagram pencar hubungan antara volume (a) dan debit puncak aliran
permukaan langsung (DRO) (b) keluaran model dengan hasil
pengukuran……….... 148
21 Hidrograf aliran permukaan langsung keluaran model ANSWERS pada
berbagai skenario simulasi penggunaan lahan dengan curah hujan 78.8
mm... 155
22 Hidrograf sedimen keluaran model ANSWERS pada berbagai
skenario simulasi penggunaan lahan dengan curah hujan 78.8
mm………... 158
23 Sistem agroforestry antara tanaman kopi dan ingul: kopi dan lamtoro..… 161
DAFTAR LAMPIRAN
s/d 2005) di Wilayah DAS DTA Danau Toba.
Neraca Air Danau Toba Pada Tahun 1997.
Jumlah penduduk di Wilayah Sub DAS DTA Danau Toba Tahun
Keadaan Sarana Pendidikan di Wilayah Sub DAS DTA Danau Toba
yang dirinci dalam Kabupaten Tahun 2008.
Panjang Jalan dan Sarana Transportasi di Wilayah DTA Danau Toba
yang dirinci dalam Kabupaten.
Keadaan Sarana Perekonomian di Wilayah Sub DAS DTA Danau
Toba yang dirinci dalam Kabupaten Tahun 2008.
Hasil sedimen prediksi ANSWERS 2000 dari DAS P2* (Byne dan
Dillaha, 2000.
Tekstur dan kadar bahan organik di lokasi penelitian.
Analysis of Land Utilization in Lake Toba Catchment Area based on ANSWERS Model For Sustainable Watershed Function
(Case Study in Upper Aek Silang Sub Watershed)
ABSTRACT
Lake Toba Catchment Area (LTCA) is the upstream of Asahan Toba Watershed that consist of 7 administration area which are namely Kabupaten Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, Simalungun and Tapanuli Utara. LTCA has several importan functions for farming and pasturing, water sources, fishering, tour destiny, water power generating of PT. INALUM etc. On the other hand LTCA has suffering severe degradation that indicated by drought in dry season, water flood during rainy season especially along riverside, decreasing interception, depletion of water table and increasing of erosion/ sedimentation and finally decreasing of land productivity.
In line with the LTCA degradation, it is needed to study biophisical characteristic, land utilization, land coverage, river system, etc in order to understand what happen in the area that caused those problems. Survey was done in Aek Silang Sub Watershed- Lake Toba catchment area, North Sumatera Province. The objective of the research is to analyze the combination of land utilization that result optimum hydrologic functions of the watershed with minimum erosion and sediment.
Simulation was done by using model ANSWERS with the highest rainfall data input during the survey conducted which altered several scenarios. ANSWERS has proven able to predict erosion and surface run off in Aek Silang sub watershed. Direct run off predicted by ANSWERS are not significantly different compared to direct measurement with correlation value of R2 : 0,94 and 0,98.
Based on simulation of several land utilization, the best combination of land needed a propher institution in order to enact the principle of sustainable function of watershed in LTCA. This institution should be raised to the higher level in accordance with decentralization sissue that enable the surrounding area of LTCA to obey and harmonized their development programmes, such as by President Decree as the LTCA has been declared as a National Strategic Area.
Analisis Penggunaan Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Sungai (DAS) Asahan Toba yang terdiri dari 7 wilayah administrasi pemerintahan yaitu Kabupaten Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, Simalungun dan Tapanuli Utara. Danau Toba mempunyai fungsi yang penting bagi pertanian dan peternakan, sumber air bagi kehidupan masyarakat, perikanan, transportasi antar wilayah, jasa pariwisata, pemutar turbin untuk menghasilkan listrik PT. Inalum (terutama untuk penyediaan pasokan listrik bagi industri peleburan biji aluminium di Kuala Tanjung serta pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat), dan lain-lain.
Di sisi lain DTA Danau Toba telah mengalami kerusakan lahan/lingkungan yang dicirikan dengan adanya kekeringan pada musim kemarau tetapi pada musim penghujan seringkali terjadi banjir terutama di daerah hilir seperti Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai, intersepsi yang semakin menurun, penurunan muka air tanah, meningkatnmya erosi/sedimentasi dan penurunan tingkat produktivitas lahan pertanian.
Sejalan dengan terjadinya degradasi lahan di DTA Danau Toba, maka perlu dipahami karakteristik biofisik dari daerah ini seperti penggunaan dan penutupan lahan, sistem jaringan sungai, topograpi, jenis tanah samapi tingkat bahaya erosinya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa penggunaan lahan yang dapat menghasilkan fungsi hidrologis yang optimum melalui indikator tingkat erosi/sedimentasi dan aliran permukaan yang terjadi apabila terjadi hujan.
Simulasi penggunaan lahan dilakukan dengan model ANSWERS dengan memasukkan data curah hujan tertinggi yang terjadi selama penelitian berlangsung dengan beberapa skenario penggunaan lahan. Model ANSWERS terbukti dapat memprediksi tingkat erosi/sedimentasi beserta aliran permukaan yang terjadi di Sub DAS Aek Silang dengan nilai korelasi R2 masing-masing 0,94 dan 0,98, tidak berbeda nyata dibandingkan dengan hasil pengukuran langsung di lapangan.
Berdasarkan simulasi beberapa skenario penggunaan lahan, maka diketahui bahwa penggunaan lahan yang paling optimal di Sub DAS Aek Silang adalah pertanian intensif pada lahan datar dengan kelas kemampuan IIe seluas 7.919 ha, dikombinasikan dengan teknik agroforestry pada lahan kelas kemampuan IIIe seluas 9.262,3 ha dan hutan pada lahan kelas kemampuan IVe seluas 1.218,3 ha.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada dasarnya pembangunan merupakan suatu usaha untuk mengubah
keseimbangan yang ada menjadi keseimbangan baru yang dianggap lebih baik untuk
kehidupan manusia. Untuk itu paling tidak terdapat empat faktor kunci yang
berpengaruh terhadap kinerja pembangunan yaitu sumberdaya alam (natural capital),
sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia (man made
capital), serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital).
Peran keempat faktor tersebut berlangsung secara simultan dan saling menunjang.
Dengan demikian, kinerja pembangunan, berupa peningkatan produktivitas
masyarakat dalam jangka pendek maupun jangka panjang, akan dapat ditingkatkan
apabila peran keempat faktor tersebut dapat dioptimalkan (Kartodihardjo et al, 2000).
Sebagaimana sumberdaya alam lainnya, Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan
karakteristik alami biofisiknya yang spesifik merupakan faktor yang hampir tidak
dapat dimanipulasi dalam jangka pendek, relatif terhadap ketiga faktor lainnya. Oleh
karena itu, sebagai natural capital, karakteristik alami biofisik DAS yang spesifik
tersebut harus diperhatikan pada saat melakukan pengembangan sumberdaya manusia
dan sumberdaya buatan manusia atau teknologi melalui analisis bentuk institusi yang
sesuai. Upaya optimasi sebenarnya telah banyak dilakukan terhadap faktor
sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan, tetapi kinerja
Pada hakekatnya secara konseptual, pengelolaan DAS dapat dipandang sebagai
suatu sistem perencanaan dari (Asdak, 2002): (1) Aktivitas pengelolaan sumberdaya
termasuk tataguna lahan, praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
setempat, dan praktek pengelolaan sumberdaya di luar daerah kegiatan program; (2)
Alat implementasi untuk menempatkan usaha-usaha pengelolaan DAS seefektif
mungkin melalui elemen-elemen masyarakat dan perseorangan; dan (3) Pengaturan
organisasi dan kelembagaan di wilayah kegiatan dilaksanakan. Dengan demikian,
terdapat dua butir penting yang dapat diperoleh dari analisis sistem pengelolaan DAS.
Hal pertama, adanya perbedaan yang jelas antara aktivitas pengelolaan (hal-hal yang
akan dilakukan) dan alat implementasi (bagaimana cara melakukannya). Para
perencana pengelolaan DAS seringkali mengkosentrasikan pemikirannya pada
penyusunan formulasi alternatif kegiatan pengelolaan sumberdaya tanpa terlebih
dahulu memformulasikan alat implementasi alternatif pada tingkat lebih detail
termasuk penentuan siapa yang harus melakukan program pengelolaan sumberdaya
tersebut serta bagaimana melaksanakan program yang telah dirumuskan di tingkat
lapangan. Akibatnya, hal tersebut di atas seringkali menyebabkan terabaikannya
perumusan permasalahan pada tingkat penyusunan rencana pengelolaan DAS. Hal
kedua menyatakan bahwa pengaturan keadaan ini dimaksudkan untuk lebih
menegaskan lagi peran penting kelembagaan dalam menentukan keberhasilan atau
kegagalan pengelolaan DAS.
Selanjutnya berbagai kenyataan yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa
sumber daya alam tanah, air dan vegetasi telah dimanfaatkan secara berlebihan dan
ternyata masih menimbulkan masalah-masalah lingkungan yang serius di beberapa
wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berpenduduk padat. Kekeringan yang
terjadi dimusim kemarau dan banjir yang terjadi hampir di setiap musim hujan, yang
bersamaan dengan itu terjadi pula proses penghanyutan tanah atau erosi,
menyebabkan tanah menjadi miskin akan unsur kimia dan fisik. Adanya endapan
lumpur di sungai-sungai yang semakin meningkat merupakan indikasi meningkatnya
erosi tanah. Proses erosi tanah yang semakin berlanjut tanpa adanya usaha-usaha
yang serius untuk menanggulangi, akan menyebabkan produktivitas lahan semakin
merosot. Pada gilirannya lahan-lahan kritis semakin meluas.
Berdasarkan data Lake Toba Ecosystem Management Plan (LeTEMP) yang
dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Pelestarian Ekosistem DTA Danau Toba
(LeTEMP, 2006), DTA Danau Toba mempunyai luas 263.844 ha, merupakan DAS
bagian hulu yang mengalirkan airnya ke Danau Toba dan selanjutnya mengalir ke
laut melalui Sungai Asahan. DTA Danau Toba mempunyai fungsi yang sangat
penting karena berkaitan dengan sektor pariwisata, perikanan, sumber air minum,
irigasi pertanian serta sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) PT. Inalum yang
menghasilkan listrik bagi kebutuhan industri peleburan aluminium di Kuala Tanjung
dan masyarakat. Untuk itu pengelolaan lahan di DTA Danau Toba mempunyai nilai
penting dalam pembangunan Propinsi Sumatera Utara dan Nasional.
Secara administrasi kawasan DTA Danau Toba terdiri dari 7 kabupaten yaitu
Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara,
Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Dairi, dan
Secara geologis jenis tanah disekitar DTA Danau Toba umumnya peka erosi,
lahan berbukit/ bergunung dengan lereng yang sangat curam, solum tanah sangat
dangkal (dibawah 30 cm) sampai dangkal (antara 30 cm sampai 60 cm). Selain itu
DTA Danau Toba juga mempunyai curah hujan yang cukup tinggi (walaupun hanya
kurang dari 4 bulan dalam setahun). Dengan demikian secara alami DTA Danau Toba
mempunyai tingkat bahaya erosi yang cukup tinggi.
Pada kawasan ini terdapat kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah
resapan dan sumber air, pengendali tata air, penstabil struktur tanah dan pencegah
erosi. Saat ini kondisi ekosistem Danau Toba sudah sangat kritis sebagai akibat pola
penggunaan lahan yang kurang mengindahkan prinsip konservasi dan akibat
perambahan kawasan hutan maupun pencurian kayu (illegal logging) oleh oknum
pengusaha kayu.
Upaya rehabilitasi hutan dan lahan baik berupa penanaman pepohonan/tanaman
keras sudah banyak dilakukan melalui program pemerintah salah satu diantaranya
adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Namun program
ini masih belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan akibat seringnya terjadi
kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba yang ikut memusnahkan tanaman
yang baru ditanam. Faktor lain yang menyebabkan kurang berhasilnya rehabilitasi
hutan dan lahan adalah kondisi alam yang sangat kritis sehingga diperlukan upaya
ekstra untuk perawatan tanaman agar mampu tumbuh dengan kondisi alam yang
relatif kering dan berbatu-batu.
1.2. Permasalahan
Pola pemanfaatan lahan di DTA Danau Toba pada dasarnya belum optimal,
pada lahan dengan kelerengan diatas 40 % masih ditanami dengan palawija tanpa
diikuti dengan teknik konservasi tanah yang memadai. Disamping itu masih sering
ditemui pembukaan lahan dengan cara membakar karena memang sangat mudah
dilaksanakan tapi tidak baik bagi kesuburan tanah. Pembukaan lahan dengan
melakukan pencincangan terhadap semak belukar untuk kemudian dikuburkan/
ditimbun di dalam tanah agar membusuk menjadi kompos alami sudah sangat jarang
dilakukan.
Pembakaran lahan juga dilakukan dengan sengaja untuk penggembalaan ternak;
dan seringkali menyebabkan kebakaran menjadi tidak terkendali sehingga merembes
ke kawasan yang berhutan dan menimbulkan kebakaran lahan dan hutan yang sangat
besar. Praktek seperti ini merupakan salah satu penyebab terjadinya penggunaan
lahan yang berlebihan terutama di bagian hulu, sehingga tidak sesuai dengan
kemampuan lahan.
Pada dasarnya tingkat kepadatan penduduk di DTA Danau Toba tidaklah
terlalu besar dengan rata-rata 221 jiwa tiap kilometer persegi (BPS, 2008) namun
kurangnya pengertian, pengetahuan dan kesadaran masyarakat merupakan penyebab
pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya. Akibat dari kesemuanya itu adalah
rusaknya tata air dimana fluktuasi air sungai menjadi besar, laju erosi dan sedimentasi
semakin tinggi, dan semakin meluasnya lahan kritis. Hal ini tampak dari meluapnya
sungai-sungai di Pulau Samosir saat musim hujan, dan keringnya sungai-sungai di
Utara yang mangarah ke Danau Toba kondisinya hampir sama dimana pada musim
kemarau air sungai menjadi sangat sedikit/kecil.
Pada musim kemarau terjadi kekurangan air yang sangat parah seperti di
wilayah dataran tinggi Pulau Samosir; untuk sekedar kebutuhan air minum saja
masyarakat harus turun gunung untuk mengambil air dari danau karena persediaan/
sumber mata air di daratan sudah kering. Karena hal itu maka lazim dijumpai
masyarakat tidak mandi berhari-hari pada saat-saat musim kemarau, dan banyak
ternak besar seperti kerbau atau sapi yang mati tergelincir karena berusaha mencari
air minum ke daerah-daerah cerukan air/lembah yang sangat sulit dijangkau. Disisi
lain tanaman semusim pun umumnya sering layu kekeringan yang menyebabkan
merosotnya pendapatan masyarakat (dikenal sebagai musim paceklik) akibat gagal
panen.
Sebaliknya pada musim hujan umumnya curah hujan cukup besar dan seringkali
terjadi tanah longsor karena penutupan lahan (hutan) sangat sedikit ditambah dengan
topografi yang sangat curam, sehingga limpasan air permukaan sangat besar.
Disamping itu erosi dan sedimentasi yang sangat besar dapat menyebabkan
pendangkalan pinggiran pantai Danau Toba disatu pihak dan di pihak lain erosi juga
akan menyebabkan lahan-lahan menjadi menurun kesuburannya akibat terkikisnya
lapisan top soil yang relatif subur.
Dalam era otonomi daerah seperti sekarang, banyak ditemui (menginginkan)
kawasan hutan berubah menjadi non kawasan hutan seperti pemukiman, perkebunan,
pertanian, sarana prasarana pemerintah sebagai akibat pemekaran wilayah
pemerintahan yang ada di DTA Danau Toba hanya 4 kabupaten yaitu Tapanuli Utara,
Dairi, Karo dan Simalungun. Saat ini wilayah administrasi pemerintahan sudah
bertambah menjadi 7 (tujuh) kabupaten dengan terbentuknya kabupaten Toba
Samosir, Samosir dan Humbang Hasundutan. Hampir seluruh kabupaten
berlomba-lomba untuk menarik investor ke daerahnya untuk membuka pembangunan baru
dengan kebutuhan lahan yang tidak sedikit jumlahnya dan pada umunya kawasan
hutanlah yang menjadi sasarannya.
Disamping itu penempatan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Toba Pulp
Lestari (PT. TPL) di DTA Danau Toba oleh Departemen Kehutanan merupakan
kebijakan yang kurang pas karena HTI tersebut melakukan penebangan hutan yang
berada di hulu DAS yang seharusnya dipertahankan sebagai tegakan hutan untuk
memberikan fungsi hidrologis yang optimal bagi DTA Danau Toba. Kebijakan ini
menjadi kontraproduktif bagi upaya-upaya pelestarian DTA Danau Toba.
Pada tahun 2008 sampai 2009, masih ditemukan adanya penebangan hutan alam
oleh kontraktor yang disuruh oleh PT. Toba Pulp Lestari untuk melakukan land
clearing untuk diganti dengan tanaman Eucalyptus sebagai bahan baku industri
mereka. Hutan alam tersebut umumnya didominasi oleh jenis kemenyan (Styrax
benzoin) yang merupakan mata pencaharian bagi masyarakat disekitar kawasan hutan
untuk menyadap getah kemenyan dan menjualnya dengan harga yang relatif tinggi.
Akibatnya masyarakat dari Kabupaten Humbang Hasundutan beberapa kali
melakukan demonstrasi agar penebangan hutan alam dihentikan.
Program pembangunan pada ke tujuh kabupaten ini juga belum selaras dan
tersendiri sesuai dengan visi dan misi masing-masing bupati, sehingga pengelolaan
DTA danau Toba kurang berjalan dengan baik. Peran koordinasi yang dipunyai oleh
Badan Koordinasi Pelestarian Ekosistem DTA Danau Toba (BKPEDT) dirasakan
tidak cukup untu memaksa ketujuh kabupaten tersebut agar mengikuti program
bersama dalam pengelolaan DTA Danau Toba, sehingga diperlukan suatu lembaga
khusus yang menangani pengelolaan DTA danau Toba dengan kewenangan/legislasi
yang lebih tinggi.
Pada tahun 2009 pemerintah pusat telah menetapkan DTA Danau Toba sebagai
Kawasan Strategis Nasional. Untuk itu program pembangunan di DTA Danau Toba
harus mengikuti Tata Ruang yang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat,
sehingga diperlukan suatu kajian yang ilmiah terhadap pola penggunaan lahan yang
optimal yang bisa menjaga fungsi hidrologis secara seimbang. Hasil penelitian ini
diharapkan bisa menjadi rujukan bagi pengambil keputusan untuk menetapkan pola
penggunaan lahan di DTA Danau Toba.
Berdasarkan penjelasan diatas maka penurunan fungsi DTA Danau Toba yang
akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Penggunaan lahan/sistem usaha tani harus menjamin fungsi hidrologis DTA
Danau Toba.
2. Penggunaan lahan/sistem usaha tani masih mengakibatkan erosi yang lebih besar
dari erosi yang dapat ditoleransikan.
3. Tidak adanya lembaga khusus yang menagani pengelolaan DTA Danau Toba
1.3. Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya untuk melaksanakan penelitian secara benar sesuai dengan tujuan
penelitian itu sendiri diperlukan kerangka berpikir yang tepat. Dalam penelitian ini
secara garis besar kerangka berpikir yang diajukan sesuai identifikasi masalah yang
telah dijelaskan. Identifikasi masalah dimaksudkan untuk membantu mengenal dan
memahami masalah yang akan dirumuskan dan langkah pemecahannya.
Seperti telah dijelaskan, kondisi DTA Danau Toba saat ini telah mengalami
kerusakan yang cukup serius, sehingga diperlukan berbagai upaya pengelolaan yang
berkelanjutan. Langkah pertama adalah pengkajian dari segi penggunaan lahan pada
saat ini apakah sudah menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Langkah kedua
adalah mengkaji indikator keluaran DAS yang meliputi jumlah air (water yield),
waktu penyediaan air (water regime) dan Sedimen (Singh, 1977) dimana ketiga aspek
tersebut akan memberikan gambaran kualitas DAS.
Selanjutnya adalah pengkajian dari kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
tinggal dilokasi ini. Hasil kajian ini akan menentukan penggunaan lahan yang
optimal. Tahap akhir adalah kajian kelembagaan yang sesuai untuk pengelolaan DTA
Danau Toba (Gambar 1).
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1Mengkaji kombinasi penggunaan lahan yang menghasilkan kondisi hidrologis
yang stabil, laju erosi yang lebih kecil atau sama dengan laju erosi yang
masih dapat ditoleransikan, serta sedimentasi yang rendah.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
1.5. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
”Terdapat kombinasi penggunaan lahan optimal yang menjamin stabilitas debit air dengan tingkat sedimentasi yang rendah”.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai
Batasan Pengertian
Daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai hamparan wilayah yang
dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan
air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai
dan keluar pada satu titik (outlet) (Dunne dan Leopold, 1978).
Menurut Asdak (2002), ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu,
tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi,
mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih besar
dari 15%, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola
drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS
merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%),
pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali
daerah estuaria yang didominsi hutan gambut/bakau.
DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik
biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. Perubahan tataguna lahan dibagian
hulu DAS seperti reboisasi, pembalakan hutan, deforestasi, budidaya yang
mengabaikan kaidah-kaidah konservasi akan berdampak pada bagian hilirnya,
karena itu yang menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS sering kali DAS bagian
hulu, mengingat adanya keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.
Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai unit pengembangannya. Ada tiga aspek utama yang
selalu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS yaitu jumlah air (water yield),
waktu penyediaan (water regime) dan sedimen.
DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi yang dipengaruhi oleh
peubah presipitasi (hujan) sebagai masukan ke dalam sistem. Disamping itu DAS
mempunyai karakter yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur-unsur utamanya
seperti jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan tataguna lahan.
Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat
memberi pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi,
aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Seyhan, 1977).
Dalam hal ini air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalami proses yang
dikontrol oleh sistem DAS menjadi aliran permukaan (surface runoff), aliran bawah
permukaan (interflow) dan aliran air bawah tanah (groundwater flow). Ketiga jenis
aliran tersebut akan mengalir menuju sungai, yang tentunya membawa sedimen
dalam air sungai tersebut. Selanjutnya, karena daerah aliran sungai dianggap sebagai
sistem, maka perubahan yang terjadi disuatu bagian akan mempengaruhi bagian yang
lain dalam DAS (Grigg, 1996).
Bagian hilir dari DAS pada umumnya berupa kawasan budidaya pertanian,
tempat pemukiman (perkotaan), dan industri, serta waduk untuk pembangkit tenaga
kawasan resapan air. Dengan demikian keberhasilan pengelolaan DAS bagian hilir
adalah tergantung dari keberhasilan pengelolaan kawasan DAS pada bagian hulunya.
Kerusakan DAS dapat ditandai oleh perubahan perilaku hidrologi, seperti tingginya
frekuensi kejadian banjir (puncak aliran) dan meningkatnya proses erosi dan
sedimentasi. Kondisi ini disebabkan belum tepatnya sistem penanganan dan
pemanfaatan DAS (Brooks et al, 1989).
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Tujuan umum pengelolaan DAS adalah keberlanjutan yang diukur dari
pendapatan, produksi, teknologi dan erosi. Teknologi yang dimaksud adalah
teknologi yang dapat dilakukan oleh petani dengan pengetahuan lokal tanpa
intervensi dari pihak luar dan teknologi tersebut dapat direplikasi berdasarkan
faktor-faktor sosial budaya petani itu sendiri. Erosi harus lebih kecil dari erosi yang dapat
ditoleransikan agar kelestarian produktivitas dapat dipertahankan (Sinukaban, 2007).
Tujuan akhir pengelolaan DAS adalah terwujudnya kondisi yang lestari dari
sumber daya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberikan manfaat secara
optimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Manfaat yang optimal
dan berkesinambungan akan tercapai apabila sumber daya alam dan lingkungan
dikelola dengan baik (Mangundikoro, 1985).
Hal yang sama dikemukakan oleh Haeruman (1985) yang mendefinisikan
pengelolaan DAS sebagai pengelolaan sumberdaya lahan, hutan dan air untuk tujuan
produksi air secara optimum baik kuantitas maupun kualitasnya, meningkatkan
Untuk mencapai tujuan akhir dari pengelolaan DAS yaitu terwujudnya kondisi
yang optimal dari sumberdaya hutan, tanah dan air, maka kegiatan pengelolaan DAS
meliputi empat upaya pokok (Mangundikoro, 1985), yaitu : 1) Pengelolaan lahan
melalui usaha konservasi tanah dalam arti yang luas; 2) Pengelolaan air melalui
pengembangan sumberdaya air; 3) Pengelolaan hutan, khususnya pengelolaan hutan
yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air; 4) Pembinaan kesadaran
dan kemampuan manusia dalam penggunaan sumberdaya alam secara bijaksana
melalui usaha penerangan dan penyuluhan.
Dasar pertimbangan pentingnya penggunaan daerah aliran sungai (DAS)
sebagai unit pengelolaan sumberdaya alam tanah, air dan hutan, adalah bahwa DAS
merupakan unit hidrologi yang memiliki unsur-unsur biogeosistem dan manusia
dengan aktivitas budidayanya. Oleh karena itu DAS tepat sekali digunakan sebagai
unit perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi konservasi pengelolaan
sumberdaya alam (Asdak, 1995).
Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan untuk memperlambat proses degradasi
fungsi DAS dalam pengembangan dan pengelolaannya, pada dasarnya ditujukan
untuk; memelihara dan meningkatkan fungsi hidrologis DAS agar diperoleh hasil air
yang tinggi dan merata sepanjang tahun, tingkat erosi dan sedimentasi rendah,
produktivitas lahan tinggi, DAS lentur terhadap goncangan perubahan yang terjadi
(resillient), dan membina terlaksananya unsur-unsur pemerataan (equity) bagi petani
(Arsyad et al, 1985). Untuk mencapai upaya tersebut, dapat ditempuh dengan cara
memaksimalkan fungsi sejumlah komponen yang bekerja dalam sistem DAS, seperti
Indikator Pengelolaan DAS Berkelanjutan
Seperti telah dijelaskan, bahwa fungsi hidrologis DAS adalah debit yang stabil,
tingkat erosi dan sedimentasi rendah, serta produktivitas lahan yang tinggi. Untuk itu
maka suatu DAS yang berkelanjutan adalah DAS dengan fungsi hidrologis dengan
indikator yang dimaksud. Berikut akan dijelaskan indikator-indikator DAS
berkelanjutan tersebut.
Debit
Respon hidrologi suatu DAS dapat berupa produksi air yang dinilai dari
kontribusi aliran langsung terhadap debit total yang besar kecilnya tergantung dari
sifat hujan dan karakteristik fisik DAS/sub DAS (Lee, 1980 dalam Rauf, 1994).
Tanggapan aliran sungai terhadap masukan air hujan merupakan wujud respon
hidrologi yang dapat dilihat pada kurva hidrograf, yang sangat ditentukan oleh sifat
hujan dan karakter sifat fisik DAS (Chow, 1964).
Analisis hidrograf aliran adalah merupakan satu metode yang cukup relevan
untuk menarik kesimpulan apakah kondisi suatu DAS masih dalam kondisi baik,
karena output DAS yang diharapkan harus menjamin distribusi air yang merata
sepanjang tahun dengan hasil air (water yield) yang cukup tinggi Asdak, 2002).
Bentuk hidrograf sebagai respon hidrologi sangat tergantung dari sifat hujan
dan karakteristik DAS yang bersangkutan. Grafik hidrograf tahunan dari satu daerah
aliran sungai menggambarkan kondisi hidrologis satu DAS. Apabila bentuk kurva
aliran mempunyai nilai maksimum dan minimum yang besar maka dipastikan bahwa
penghujan dan musim kemarau sangat besar, sebaliknya apabila kurva aliran
mempunyai perbedaan maksimum dan minimum yang kecil maka dapat disimpulkan
kondisi DAS dalam keadaan baik karena perbedaan besar aliran pada musim
penghujan dan musim kemarau relatif kecil sehingga sungai pada musim penghujan
tidak menyebabkan banjir sebaliknya pada musim kemarau masih dapat mensuplai
debit aliran yang cukup besar seperti Gambar 2 (Chow, 1964).
Gambar 2. Refleksi hidrograf yang diharapkan.
Erosi
Di daerah beriklim basah seperti di Indonesia kerusakan lahan oleh erosi
terutama disebabkan oleh hanyutnya tanah terbawa oleh air hujan. Erosi oleh air
sangat membahayakan tanah-tanah pertanian di Indonesia, terutama yang terletak di
daerah dengan kemiringan yang besar. Selain iklim dan kemiringan lahan (topografi),
besarnya erosi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor vegetasi, pengolahan tanah dan
manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tersebut dapat dinyatakan dalam
E = f (C, T, V, S, H)
dimana C = curah hujan, T = topografi, V = vegetasi, S = tanah, dan H= manusia.
Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah intensitas curah
hujan dan ketinggian tempat. Faktor topografi yang diduga berpengaruh terhadap
debit air dan kadar lumpur adalah kemiringan lereng maupun panjang lereng.
Selanjutnya Arsyad (1989) mengemukakan, bahwa faktor tanah yang diduga
mempengaruhi erosi dan sedimentasi adalah : (a) luas jenis tanah yang peka erosi, (b)
luas tanah kritis atau daerah erosi, dan (c) luas tanah dengan kedalaman tertentu.
Upaya membuat model persamaan matematis untuk memprediksi erosi tanah
telah dimulai sejak tahun 1940-an khususnya di negara Amerika Serikat; dimulai
dengan menganalisis variabel-variabel utama yang mempengaruhi terjadinya erosi
tanah oleh air. Cook (1936) dalam Renard, et al (1996) menyimpulkan tiga faktor
utama yang mempengaruhi erosi yaitu : 1) kepekaan tanah untuk tererosi, 2) potensi
erosivitas hujan dan aliran permukaan serta 3) perlindungan tanah oleh tutupan tajuk
vegetasi.
Zing (1940) dalam Wischmeier dan Smith (1928) mempublikasikan persamaan
pertama untuk menghitung erosi tanah dari suatu lahan usahatani dengan
memasukkan faktor kemiringan dan panjang lereng. Kemudian Smith (1941)
menambahkan faktor sistem penanaman dan faktor konservasi tanah terhadap
persamaan tersebut sekaligus mengemukakan konsep spesifik batas erosi tahunan.
Hasil persamaan tersebut digunakan untuk mengembangkan metoda grafis untuk
penentuan faktor tindakan konservasi yang diperlukan pada suatu kondisi tanah
Model USLE (Universal Soil Loss Equation) merupakan model prediksi erosi
empirik yang paling populer dan secara luas digunakan sebagai referensi/acuan dalam
perencanaan konservasi tanah dan air (Wischmeier dan Smith, 1978). Model tersebut
dikembangkan berdasarkan pengamatan erosi jangka panjang pada skala plot dan
dirancang untuk memprediksi erosi rata-rata tahunan dari suatu lahan dengan
penggunaan dan pengolahan tertentu. Model USLE disajikan sebagai berikut:
A = R K L S C P A : Jumlah tanah tererosi per unit area (ton/ha/tahun).
R : faktor erosivitas hujan: energi kinetik hujan (E) dikalikan dengan intensitas
hujan maksimum selama 30 menit pada curah hujan normal.
K : faktor erodibilitas tanah : laju erosi per-unit indeks erosi hujan untuk tanah
yang terus menerus diberakan (diolah bersih menurut lereng dan tidak
ditanami) dengan kemiringan lereng 9% dan panjang lereng 22 m.
L : faktor panjang lereng : rasio erosi tanah dari plot erosi dengan panjang lereng
tertentu terhadap erosi tanah dari plot erosi dengan panjang lereng 22 m, jenis
tanah dan pengelolaan yang identik.
S : faktor kemiringan lereng : rasio erosi tanah dari plot erosi dengan kemiringan
lereng tertentu terhadap erosi dari plot erosi dengan kemiringan 9% dan
pengelolaan yang identik.
C : faktor tanaman dan pengelolaan : rasio erosi dari erosi dengan tanaman dan
pengelolaan tertentu terhadap erosi dari plot erosi yang diolah bersih dan
diberakan.
P : faktor tindakan konservasi tanah : rasio erosi dari plot dengan tindakan
konservasi tertentu terhadap erosi dari plot erosi yang ditanami secara baris
menurun lereng.
Pada hakikatnya USLE dikembangkan sebagai alat perencanaan konservasi
erosi skala DAS maka model ini tetap digunakan untuk memprediksi erosi DAS tanpa
dibarengi modifikasi yang berarti (Kinnell dan Risse, 1998)
Model prediksi erosi USLE telah digunakan secara luas, baik di Indonesia
maupun negara lain di Asia. Afrika, dan Eropa, tetapi ketepatan penggunaannya
dalam memprediksi erosi dari suatu wilayah (DAS) masih diragukan (Kurnia,1997)
mengingat bahwa metode USLE hanya dapat memprediksi rata-rata kehilangan tanah
dari erosi lembar (sheet erosion), dan erosi alur (rill erosion). Model ini juga tidak
dapat memprediksi pengendapan (deposition) dan tidak menghitung hasil sedimen
(sediment yield) dari erosi parit (gully erosion), tebing sungai (stream bank erosion)
dan dasar sungai (stream bed erosion) (Wischmeier, 1969). Hasil pendugaan erosi
tidak menggambarkan keadaan erosi suatu wilayah/kawasan yang luas, melainkan
hanya dari lahan usaha tani yang sempit dengan kemiringan lereng tunggal dan belum
memperhitungkan pengendapan tanah yang tererosi dari tanah diatasnya
(Wischmeier, 1976). Untuk menghitung besarnya erosi yang terjadi di DTA Danau
Toba akan didekati dengan memakai Model ANSWERS.
Hasil Sedimen
Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi
yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat
tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam
sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk.
sedimen yang terukur di daerah hilir mempunyai mekanisme kausalitas yang rumit
dan belum banyak dimengerti (Simons dan Senturk,1992).
Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/sub-DAS dan
tergantung pada transpor partikel-partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari
daerah tangkapan air DAS/sub-DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu kepada
besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam
suatu sistem DAS. Tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan
air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi akan terdeposisi di
cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk-bentuk
penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya
bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/sub-DAS (Julien, 1995). Besarnya hasil
sedimen dinyatakan sebagai volume atau berat sedimen per satuan daerah tangkapan
air per satuan waktu (ton per km2 per tahun).
Penelitian jangka panjang yang dilakukan di daerah beriklim sedang
menunjukkan bahwa hasil sedimen tahunan merupakan fungsi dari besarnya air larian
tahunan di daerah kajian, daerah tangkapan air, dan persentase daerah yang digarap
(pertanian, perkebunan, peternakan). Besarnya hasil sedimen per kilometer persegi
meningkat dengan meningkatnya air larian, menurunnya daerah tangkapan asal
sedimen, dan meningkatnnya lahan garapan (Dunne dan Leopold, 1978).
Sistem Hidrology DAS
Konsep daur air (hydrology cycle) menjadikan dasar pemikiran untuk
dalam skala luas (benua). Pendekatan geografik yang memandang DAS sebagai suatu
sistem yang alami, dimana DAS menjadi wadah tempat berlangsungnya
proses-proses fisik hidrologis maupun kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang kompleks
dengan dibatasi oleh punggung bukit dapat menjadi sarana untuk mempelajari respon
hidrologi yang terjadi (Pawitan dan Murdiyarso 1996).
Dalam sistem hidrologi DAS terdapat peubah sistem yang berperan dalam
proses masukan dan keluaran. Selain itu terdapat pula fungsi transfer yang
mencirikan interaksi antara setiap komponen dalam DAS. Interaksi antara komponen
dalam DAS dinyatakan dalam bentuk kesetimbangan yang bersifat dinamis, artinya
bahwa DAS tersebut menerima masukan hujan yang stokhastik sesuai dengan sifat
hidrometeorologinya dan sistem DAS dikendalikan oleh kendala fisiografi yang dapat
dianggap deterministik untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang juga
stokastik. Tanggapan kawasan DAS sebagai pengatur proses terhadap hujan akan
memberikan keluaran sebagai akibat interaksi semua proses yang terjadi dalam DAS
(Pawitan, 1995).
Perubahan fungsi hidrologi DAS sebagai dampak dari perluasan kawasan
budidaya dalam lahan DAS yang tidak terkendali seringkali mengarah pada kondisi
yang kurang diinginkan, yaitu berupa peningkatan erosi dan sedimentasi,
kemerosotan produktifitas lahan, dan degradasi lahan. Hasil akhir perubahan ini tidak
hanya nyata secara fisik berupa meluasnya lahan kritis dengan daya dukung yang
merosot, akan tetapi juga secara ekonomi, yaitu berupa masyarakat miskin yang
semakin hilang kesempatan berusaha tani (Pawitan dan Murdiyarso 1996). Oleh
perencanaan terpadu untuk menjamin terwujudnya pengembangan DAS yang
berkelanjutan sebagaimana yang diharapkan.
2. 2. Model dan Sistem
Model
Model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata (real world
system) yang mempunyai kelakuan seperti sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu.
Suatu model yang baik biasanya akan menggambarkan dengan baik semua segi-segi
yang penting dari kelakuan dunia nyata dalam masalah-masalah tertentu (Manetsch
dan Park, 1977). Penyederhanaan dari sebuah sistem di dunia nyata (real world) tidak
selalu mudah karena selalu dibayangi oleh distorsi terhadap sistem yang sebenarnya.
Menurut Sandi (1973) Penyusunan model merupakan suatu usaha untuk meniru
sistem dimana dicoba untuk menemukan komponen-komponen utama suatu sistem
dan interaksi setiap komponen. Selanjutnya dikatakan bahwa validitas suatu model
bukan merupakan satu konsep yang absolut. Apakah suatu model valid atau tidak,
tergantung tujuan membangun model tersebut.
Manetsch dan Park (1976) membagi model atas lima macam, yaitu: (1) model
matematik, (2) model fisik, (3) model analog, (4) model informal dan (5) model
kualitatif. Model yang paling abstrak adalah model matematik, dimana hubungan
timbal balik dalam suatu sistem dinyatakan dalam rumus-rumus matematika.
Selanjutnya dikatakan bahwa kegunaan model sangat tergantung pada
1. Model harus merupakan gambaran yang sahih dari sistem yang nyata, jadi harus
realistik dan informatif. Model yang tidak sahih akan memberikan hasil simulasi
yang sangat menyimpang dari kenyataan yang ada dengan demikian akan
memberikan informasi yang keliru.
2. Model harus cukup sederhana agar mudah dikelola.
Bagaimanapun bagusnya model, ia tetap merupakan distorsi dari sistem yang
sebenarnya, oleh karena itu harus digunakan secara teliti dan seksama.
Sistem
Menurut Manetsch dan Park (1976), sistem adalah suatu perangkat
elemen-elemen yang saling berhubungan atau berkaitan yang diorganisasi untuk mencapai
satu tujuan atau seperangkat tujuan.
Pada hakekatnya semua yang dipandang sebagai sistem dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka (open system).
Dalam hal ini umumnya sistem-sistem alam, seperti sistem biologis dan sistem DAS
termasuk ke dalam sistem terbuka.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan kajian sistem diperlukan suatu teknik yang
disebut dengan analisis sistem. Analisis sistem adalah studi mengenai sistem atau
oraganisasi dengan menggunakan azas-azas metoda ilmiah, sehingga dapat dibentuk
konsepsi atau model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk
mengadakan perubahan-perubahan struktur dan metode serta menentukan
kebijaksanaan, strategi dan taktik (Soerianegara, 1978). Oleh karena itu analisis
methodology). Pada dasarnya analisis sistem merupakan suatu metode penyelidikan
atau penelitian yang dihadapkan dengan masalah pemilihan alternatif dalam
ketidakpastian. Jadi analisis sistem digunakan untuk kepentingan pemilihan alternatif
dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Budhiyono, 1981).
Reichle (1970) mengemukakan, bahwa tujuan dari analisis sistem adalah untuk
mengerti dan mengenali proses-proses yang terjadi dalam suatu ekosistem. Dalam
ekosistem sumberdaya alam, analisis sistem diartikan sebagai suatu cara analisis
matematis tentang hubungan antara faktor-faktor dan komponen-komponen dalam
ekosistem sumberdaya alam tersebut yang mempunyai peranan dalam proses-proses
produksi, konsumsi dan pembinaan (Soerianegara, 1978). Oleh karena itu metode
pendekatan sistem dapat digunakan sebagai suatu dasar pemikiran yang
memungkinkan dalam pemecahan masalah-masalah yang rumit.
Peubah sistem dapat dikelompokkan dalam 3 katagori, yaitu peubah input
sistem, peubah output sistem dan parameter-parameter dugaan yang merupakan
aspek-aspek atau komponen dari suatu struktur sistem. Untuk melihat ketelitian dari
nilai-nilai parameter dugaan komponen sistem, maka digunakan teknik analisis
kepekaan (sensitivity analysis). Dengan merubah nilai setiap parameter ke atas dan ke
bawah, melalui suatu analisis komputer dapat dilihat respon dari sistem tersebut.
Apabila respon sistem kecil maka dikatakan bahwa sistem tidak sensitif terhadap nilai
parameter tersebut. Apabila respon sistem besar menunjukkan bahwa nilai parameter
tersebut penting, oleh karena itu diperlukan suatu dugaan yang lebih teliti lagi (Smith,
Hubungan antara peubah-peubah dalam suatu sistem, sebagai hubungan sebab
akibat, dirumuskan dalam suatu bentuk umum yang disebut model. Model ini tidak
lain adalah hipotesis yang harus dibentuk dan diuji kebenarannya untuk suatu sistem
(Haeruman, 1971 dalam Budhiyono, 1981). Untuk itu maka secara umum dapat
dikatakan bahwa analisis sistem adalah metoda ilmiah yang merupakan dasar di
dalam pemecahan masalah-masalah pengelolaan.
2.3. Model Hidrologi Daerah Aliran Sungai
Model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana (simple representation] dari
sebuah sistem hidrologi yang kompleks (Harto, 1993). Selanjutnya Brooks et al.
(1989) menyebutkan bahwa model hidrologi merupakan gambaran sederhana dari
suatu sistem hidrologi yang aktual. Model hidrologi biasanya dibuat untuk
mempelajari fungsi dan respon suatu DAS dari berbagai masukan DAS. Melalui
model hidrologi dapat dipelajari kejadian-kejadian hidrologi yang pada gilirannya
dapat digunakan untuk memprediksi kejadian hidrologi yang akan terjadi.
Konsep dasar yang digunakan dalam setiap sistem hidrologi adalah siklus
hidrologi (Harto, 1993). Persamaan dasar yang menjadi landasan bagi semua analisis
hidrologi adalah persamaan neraca air (water balanced equation). Persamaan neraca
air dari suatu daerah aliran sungai untuk suatu periode dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut:
dimana :
I = masukan (inflow)
O = keluaran (outflow)
AS = perubahan tampungan (storage change)
Sebagai suatu sistem hidrologi, daerah aliran sungai meliputi jasad hidup,
lingkungan fisik dan kimia yang berinteraksi secara dinamik, yang didalamnya terjadi
kesetimbangan dinamik antara energi dan meterial yang masuk dengan energi dan
material yang keluar. Dalam keadaan alami, energi matahari, iklim diatas DAS dan
unsur-unsur endogenik dibawah permukaan DAS merupakan masukan (input).
Sedangkan air dan sedimen yang keluar dari muara DAS serta air yang kembali ke
udara melalui evapotranspirasi adalah keluaran (output) DAS (Sinukaban, 1997).
Penggunaan model dalam penelitian hidrologi pertama kali diperkenalkan oleh
Crawford dan Linsley (1966), yang dikenal sebagai Stanford Watershed Model IV
(SWM IV) (Viessman Jr. et.al., 1977). Didalam model tersebut struktur neraca air
yang menyangkut parameter-parameter input dan output diuraikan secara ringkas.
Fungsi yang dirumuskannya diuji dengan simulasi komputer yang disebut
Hydrocomp Simulation Program (Biswas, 1976 dalam Murdiyarso, 1979).
Untuk analisis DAS, model hidrologi dapat dibedakan dalam "lumped" dan
"distributed". Model lumped parameter mentransformasi curah hujan (input) ke
dalam runoff (output) dengan konsep bahwa semua proses dalam DAS terjadi pada
satu titik spasial. Lumped parameter memperlakukan DAS sebagai himpunan
parameter-parameter yang berperilaku seragam. Sebaliknya, model distributed