• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiprositas Tradisi Nyumbang (Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Resiprositas Tradisi Nyumbang (Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan)"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

RESIPROSITAS TRADISI

NYUMBANG

(Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV,

Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA (S-1) ILMU SOSIAL DAN

ILMU POLITIK

Disusun Oleh :

SRI NOFIKA PUTRI

060905024

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

RESIPROSITAS TRADISI

NYUMBANG

(Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV,

Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Maret 2012

(3)

ABSTRAK

Sri Nofika Putri. 2012. Resiprositas Tradisi Nyumbang (Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 122 halaman, 7 tabel, 19 Gambar dan beberapa lampiran yang terdiri dari daftar informan, dokumentasi lapangan, daftar istilah, surat izin penelitian, dan peta lokasi penelitian.

Penelitian ini mengambarkan tradisi nyumbang dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang dan juga menjelaskan strategi serta resiprositas yang ada dalam tradisi ini. Tradisi nyumbang dapat dijumpai dalam setiap acara siklus daur hidup seperti hajatan dan selamatan. Perkembangan dan kemajuan zaman tidak menjadikan tradisi nyumbang hilang, justru saat ini tradisi tersebut semakin diminati masyarakat Desa Rawang, hal ini dapat dilihat dari intensitas untuk menggelar hajatan, setiap keluarga berlomba-lomba untuk bisa menggelar hajatan dalam rangka apapun itu.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang didapat melalui hasil lapangan dilakukan dengan cara observasi partisipasi yakni peneliti dalam hal ini ikut terlibat dalam kegiatan hajatan dan non partisipasi peneliti hanya mengamati serangkaian kegiatan yang peneliti tidak dapat ikut terlibat didalamnya seperti musyawarah keluarga, penghitungan uang hasil hajatan dan lain-lain. dan wawancara yang ditujukan kepada beberapa informan (informan kunci, pangkal dan biasa). Untuk pengumpulan data, peneliti menggunakan pedoman wawancara, dokumentasi berupa foto dan catatan lapangan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang tidak terlepas dari aktivitas sumbang menyumbang. Aktivitas tersebut mengandung unsur kerjasama resiprositas (hubungan timbal balik) antara orang-orang yang turut terlibat didalam hajatan. Resiprositas dianggap sebagai strategi yang dilakukan individu atau masyarakat di Desa Rawang Pasar IV untuk melestarikan tradisi yang dimilikinya agar dapat bertahan hingga sekarang. Resiprositas yang ada mengarah pada resiprositas yang seimbang, individu dalam resiprositas ini tidak mau ada yang saling dirugikan, walaupun kadangkalah juga ditemukan resiprositas negatif dengan maksud ingin mencari keuntungan semata tetapi jarang ditemukan dalam masyarakat. Keputusan untuk melakukan kerjasama resiprositas lebih dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan motif sosial. Bagi sebagian besar masyarakat Desa Rawang Pasar IV tradisi nyumbang terkadang dianggap memberatkan perekonomian rumahtangga, tetapi disisi yang lain mereka juga tidak dapat menghindarinya ataupun menolaknya hal ini dikarenakan adanya pengharapan dari tradisi tersebut. Keinginan untuk bisa menggelar hajatan serta menyumbang rata-rata menjadi harapan warga desa, temasuk keinginginan untuk bisa menyumbang atau mengembalikan pemberian, walaupun dengan cara berhutang katanya. Hajatan dan tradisi nyumbang sudah menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat Desa Rawang.

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya’lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan rasa terimakasih yang tulus kepada pihak-pihak yang selama ini memberi pengaruh besar serta terlibat dalam proses penyelesaian skripsi ini hingga selesai. Terimakasih ini dihaturkan kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin M. Si, selaku Dekan FISIP USU. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi FISIP USU dan Bapak Drs.Agustrisno, M.SP, selaku Sekertaris Departemen Antropologi FISIP USU, kepada bapak Drs. Edi Saputra Siregar, selaku dosen wali penulis.

(5)

Pasar IV semuanya terimakasih atas keterbukaannya berbagi pengalaman dan informasi, terutama warga yang ada di dusun V, terimakasih banyak.

Khusus dalam paragraf ini penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada kedua orang tua penulis tercinta, mereka adalah pahlawan dalam hidup penulis yang tidak pernah putus-putusnya selalu berkorban baik moril maupun materil, demi menghantarkan pada cita-cita dan kebahagian penulis kedepannya. Kepada ayahanda tercinta Misli AB dan ibunda tersayang Sumini yang telah berkorban, mendidik dan membesarkan penulis dengan limpahan do’a dan kasih sayang. Kepada Pak Lek dan Buk lek (Suyono dan Bu Ani) yang banyak memberikan kebaikan kepada penulis dan penulis anggap sebagai orang tua kedua selama menempuh pendidikan di Medan. Kepada kakak tersayang Sri Susmila Yanti A.Md beserta suami Abangda Subandrio dan adik tersayang Mhd. Syapril Ramadana yang senantiasa mendoakan dan memotivasi penulis selama pendidikan. Begitu juga kepada keluarga besar penulis yang selalu mendoakan penulis untuk terus berjuang dalam menempuh pendidikan.

(6)

stambuk 06 baik itu suka maupun duka, dimana ini akan menjadi lembaran cerita yang akan terus di ingat dalam perjalanan hidup penulis.

Menyadari sepenuhnya adanya keterbatasan pada diri penulis, lebih dan kurangnya skripsi ini masih jauh dari sempurna. Kendatipun demikian, penulis berharap agar isi yang termaktub dalam skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu Antropologi.

Terimah kasih atas segala perhatian dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, Maret 2012 Penulis

(7)

RIWAYAT HIDUP

Sri Nofika Putri (23), lahir pada tanggal 26 Nopember 1988 di Rawang, Kota Kisaran, Kab, Asahan. Anak ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Misli AB dan ibu Sumini.

(8)

KATA PENGANTAR

Resiprositas1

Tanpa adanya resiprositas, tradisi nyumbang dalam hajatan dan selamatan tidak akan bertahan hingga sekarang. Hal ini di karenakan setiap namanya pemberian dalam bentuk dan jenis apa pun itu katanya, walau sekalipun tanpa mengharapkan pamri, akan senantiasa diharapkan juga adanya balasan. Seperti yang dikatakan Marcel Mauss (1954) dalam bukunya “The Gift” mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma, segala bentuk pemberian selalu dibarengi dengan suatu pemberian kembali atau imbalan.

merupakan salah satu strategi yang digunakan masyarakat Jawa di Desa Rawang untuk mengeksistensikan tradisi nyumbang. Tradisi nyumbang merupakan aktivitas berupa tindakan membantu seseorang yang

memiliki beban dalam penyelenggaraan hajatan atau selamatan dalam bentuk bantuan materil (uang, barang) dan non-materil (tenaga, jasa), hakekat dari tradisi ini sendiri untuk meringankan beban serta menjaga solidaritas antar sesama.

Resiprositas nyumbang dalam hajatan masyarakat Desa Rawang dilakukan atas dasar motif tertentu dari orang yang terlibat dalam hajatan ini. Motif ekonomi merupakan motif utama seseorang untuk melakukan kerjasama resiprositas nyumbang dalam hajatan, hal ini karena seseorang merasa bahwa apa yang

diberikan kepada pemilik hajat merupakan bentuk investasi dengan maksud di kemudian hari sipemilik hajat juga melakukan hal yang sama terhadap pemberi tersebut. Selain motif ekonomi motif sosial juga menjadi bagian seseorang

1

(9)

melakukan kerjasama resiprositas ini seperti menjalin silahturahmi dan hubungan sosial serta tidak jarang pula dijadikan ajang pamer atau mencari prestise.

Pada perkembangannya saat ini acara menggelar hajatan ditengah masyarakat Desa Rawang semakin banyak dijumpai, padahal jika dilihat kehidupan perekonomian serta pendapatan dari tiap keluarga di desa ini masih tergolong rendah. Namun demikian faktor ekonomi yang lemah lantas tidak menjadikan intensitas menggelar hajatan di desa ini semakin surut justru malah sebaliknya. Bila dicermati biaya untuk menggelar hajatan bukanlah sedikit, bahkan pengeluaran untuk itu melampui dari penghasilan semestinya. Fenomena yang demikian ini banyak terjadi di masyarakat kita saat ini termasuk masyarakat Desa Rawang, mereka rela berhutang demi untuk menyumbang ataupun sekedar untuk menggelar hajatan dengan harapan mendapat keuntungan dari kegiatan tersebut.

Tradisi nyumbang dan menggelar hajatan telah menjadi gaya hidup dalam keluarga dan masyarakat Jawa di Desa Rawang. Ukuran mampu atau tidaknya ekonomi seseorang dilihat dari kegiatan sumbang menyumbang dan menggelar hajatan ini, jadi adanya pengakuan dari masyarakat dalam kegiatan seperti ini dianggap sangat penting sehingga mau tidak mau memacu seseorang untuk menonjolkan dirinya dan keluarganya di depan masyarakat bahwa dirinya juga mampu.

(10)

dalam tradisi nyumbang dianggap sangat “menyakitkan” sehingga kerap menjadi bahan gunjingan, sindiran ataupun pemutusan hubungan dalam pergaulan didalam masyarakat.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat serta memberikan pengetahuan yang baru. Penulis juga berharap kepada mahasiswa antropologi agar lebih peka dalam melihat berbagai persoalan atau fenomena dalam masyarakat kita, karena dalam masyarakat terdapat banyak bahan kajian yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita terutam untuk kemajuan antropologi kedepannya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam srkipsi ini baik penulisan maupun pemaparannya, dalam hal ini penulis berharap kiranya pembaca dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun guna untuk memperbaiki skripsi ini agar lebih baik lagi kedepannya. Atas kritik dan sarannya diucapkan terimakasih.

Medan, Maret 2012 Penulis

(11)

DAFTAR ISI

1.4.2. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Tinjauan Pustaka ... 10

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Singkat Desa Rawang ... 19

2.2. Letak Geografis ...21

2.3. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Desa ... 22

2.4. Pola Pemkiman dan Perumahan Penduduk ... 25

2.5. Suku Bangsa ... 27

2.6. Sistem Religi ... 29

2.7. Sistem Kekerabatan ... 30

2.8. Sistem Pendidikan ... 32

2.9. Matapencarian dan Ekonomi Masyarakat ... 34

(12)

2.11. Bahasa ... 41

2.12. Sarana dan Prasarana... 42

BAB III. TRADISI NYUMBANG DALAM SIKLUS DAUR HIDUP MASYARAKAT JAWA DI DESA RAWANG 3.1. Filosofis Budaya Tradisi Nyumbang... 45

3.2. Siklus Daur Hidup Masyarakat Jawa ... 48

3.3. Selamatan dan Hajatan dalam Masyarakat Jawa Desa Rawang ... 50

3.4. Siklus Daur Hidup yang Termasuk dalam Acara Selamatan ... 53

3.4.1. Mitoni ... 56

3.4.2. Sepasaran ... 59

3.4.3. Upacara Kematian ... 61

3.5. Siklus Daur Hidup yang Termasuk dalam Acara Hajatan ... 61

3.5.1. Khitanan (Sunatan) ... 65

3.5.2. Hajatan Pernikahan ... 61

3.6. Mereka yang Terlibat dalam Tradisi Nyumbang Hajatan dan Selamatan ... 72

3.7. Kegiatan Mengundang yang Menimbulkan Kewajiban Nyumbang ... 74

3.7.1. Ulem-ulem ... 74

3.7.2. Undangan Tertulis (Surat Undangan)... 76

3.7.3. Undangan Rantang (Tonjok’an) ... 77

3.8. Bentuk Sumbangan yang Diterima Saat Hajatan ... 81

3.9. Faktor yang Mempengaruhi Besar Kecilnya Nilai Nyumbang dalam Hajatan... 83

3.10. Nyumbang yang Menjadi Gaya Hidup ... 87

BAB IV. RESIPROSITAS DALAM TRADISI NYUMBANG 4.1. Sekilas Tentang Resiprositas. ... 95

4.2. Pemberi dan Penerima dalam Resiprositas Tradisi Nyumbang ... 99

4.3. Kerjasama dalam Resiprositas ... 99

4.3.1 Resiprositas antara Perewang dengan Pemilik Hajat.. .. 100

4.3.2.Resiprositas antara Tamu Undangan dengan Pemilik Hajat ... 101

4.3.3. Resiprositas antara Anggota Kerabat dengan Pemilik Hajat ... 103

4.4. Tiga Macam Kewajiban dalam Resiprositas ... 104

4.4.1. Kewajiban Memberi ... 104

4.4.2. Kewajiban Menerima ... 105

4.4.3. Kewajiban Membayar Kembali ... 106

4.5. Motif-motif yang Mendorong Kerjasama Resiprositas ... 108

4.6. Nilai Uang Bagi Masyarakat ... 111

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 116

(13)

DAFTAR PUSTAKA ... 121 LAMPIRAN

1. Daftar Nama Informan 2. Dokumentasi Lapangan 3. Daftar Istilah

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Penduduk, KK dan Kepadatan ... 22

Tabel 2 : Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Golongan Usia dan Jenis Kelamin .. ... 24

Tabel 3 : Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 28

Tabel 4 : Penduduk Berdasarkan Agama... 29

Tabel 5 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 33

Tabel 6 : Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Rawang Pasar IV... 35

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1, & 2 : Gambaran Perumahan Warga Desa Rawang Pasar IV yang

Merupakan Bangunan Permanen ... 27

Gambar 3 : Buruh Penanam Padi ”nderep”... 64

Gambar 4 : Pekerja Musiman ”ngomben” ... 64

Gambar 5 : Kondisi Jalan Desa Rawang Pasar IV ... 65

Gambar 6 : Jalan Utama Kec. Rawang Panca Arga ... 65

Gambar 7 : Nasi Bancaan ... 65

Gambar 8 : Rujak Bhe’bek ... 66

Gambar 9 : Pengantin Wanita Sungkeman... 86

Gambar 10 : Arak-arakan Manten Pria ... 86

Gambar 11 : Ritual Pijak Telur dan Sungkeman ... 69

Gambar 12 : Gendongan Pengantin ... 69

Gambar 13 : Acara Tepung Tawar... 69

Gambar 14 : Tamu Undangan Laki-laki yang Menyalami Tuan Rumah ... 70

Gambar 15 : Surat Undangan Tipe Modern ... 76

Gambar 16 : Baskoman Para Tamu ... 82

Gambar 17 : Buku Catatan Nyumbang dan Nominalnya...91

Gambar 18 : Amplop Sumbangan Para Tamu yang Masih Disimpan...91

(16)

ABSTRAK

Sri Nofika Putri. 2012. Resiprositas Tradisi Nyumbang (Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 122 halaman, 7 tabel, 19 Gambar dan beberapa lampiran yang terdiri dari daftar informan, dokumentasi lapangan, daftar istilah, surat izin penelitian, dan peta lokasi penelitian.

Penelitian ini mengambarkan tradisi nyumbang dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang dan juga menjelaskan strategi serta resiprositas yang ada dalam tradisi ini. Tradisi nyumbang dapat dijumpai dalam setiap acara siklus daur hidup seperti hajatan dan selamatan. Perkembangan dan kemajuan zaman tidak menjadikan tradisi nyumbang hilang, justru saat ini tradisi tersebut semakin diminati masyarakat Desa Rawang, hal ini dapat dilihat dari intensitas untuk menggelar hajatan, setiap keluarga berlomba-lomba untuk bisa menggelar hajatan dalam rangka apapun itu.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang didapat melalui hasil lapangan dilakukan dengan cara observasi partisipasi yakni peneliti dalam hal ini ikut terlibat dalam kegiatan hajatan dan non partisipasi peneliti hanya mengamati serangkaian kegiatan yang peneliti tidak dapat ikut terlibat didalamnya seperti musyawarah keluarga, penghitungan uang hasil hajatan dan lain-lain. dan wawancara yang ditujukan kepada beberapa informan (informan kunci, pangkal dan biasa). Untuk pengumpulan data, peneliti menggunakan pedoman wawancara, dokumentasi berupa foto dan catatan lapangan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang tidak terlepas dari aktivitas sumbang menyumbang. Aktivitas tersebut mengandung unsur kerjasama resiprositas (hubungan timbal balik) antara orang-orang yang turut terlibat didalam hajatan. Resiprositas dianggap sebagai strategi yang dilakukan individu atau masyarakat di Desa Rawang Pasar IV untuk melestarikan tradisi yang dimilikinya agar dapat bertahan hingga sekarang. Resiprositas yang ada mengarah pada resiprositas yang seimbang, individu dalam resiprositas ini tidak mau ada yang saling dirugikan, walaupun kadangkalah juga ditemukan resiprositas negatif dengan maksud ingin mencari keuntungan semata tetapi jarang ditemukan dalam masyarakat. Keputusan untuk melakukan kerjasama resiprositas lebih dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan motif sosial. Bagi sebagian besar masyarakat Desa Rawang Pasar IV tradisi nyumbang terkadang dianggap memberatkan perekonomian rumahtangga, tetapi disisi yang lain mereka juga tidak dapat menghindarinya ataupun menolaknya hal ini dikarenakan adanya pengharapan dari tradisi tersebut. Keinginan untuk bisa menggelar hajatan serta menyumbang rata-rata menjadi harapan warga desa, temasuk keinginginan untuk bisa menyumbang atau mengembalikan pemberian, walaupun dengan cara berhutang katanya. Hajatan dan tradisi nyumbang sudah menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat Desa Rawang.

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang

Sumatera Utara memiliki catatan sejarah yang besar, salah satunya yakni datangnya orang Jawa di Sumatera pada masa kolonial Belanda. Sumatera Utara saat itu dikenal dengan Sumatera Timur tanah kekuasaan raja-raja Melayu. Daerah yang merupakan bagian Sumatera Timur yakni: tanah Deli (kawasan Medan), Langkat, Deli Serdang, Batubara, Asahan, sampai Labuhan Batu. Sumatera Timur dikenal dengan daerah perkebunan tembakau dan karet, pembukaan onderafdeling (perkebunan besar) tahun 1890-1920 oleh Belanda mengawali datangnya pekerja kuli kontrak murah dari pulau Jawa di tanah Sumatera. Gelombang kedatangan kuli dari Jawa terus berlangsung dan semakin banyak didatangkan, dan di Sumatera mereka disebar di beberapa daerah yang menjadi konsentrasi perkebunan kekuasaan Belanda. Salah satu daerah di Sumatera yang menjadi kawasan perkebunan adalah Asahan, pada tanggal 22 September tahun 1865 kesultanan Asahan berhasil dikuasai Belanda, sejak saat itu kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Belanda sampai pada dibukanya kawasan perkebunan di tanah Asahan.

(18)

perkebunan untuk kembali ke Jawa, tetapi ada juga yang akhirnya tertangkap oleh polisi kebun dan mendapat siksaan. Bagi mereka yang takut untuk melarikan diri memilih untuk bertahan dengan mematuhi sistem kerja yang diberlakukan baik oleh pemerintah kolonial maupun pada masa pemerintahan Jepang. Nasib pekerja kuli dari Jawa ini tidak mengalami perubahan diperantauaan.

Rasa ikatan senasib dan sepenanggungan antara para pekeraja kuli dari Jawa ini menimbulkan hubungan persaudaraan diantara mereka untuk sama-sama bertahan dan bahu membahu hidup diperantauan. Dulur tunggal sekapal merupakan istilah bagi hubungan persaudaraan yang dibangun atas dasar persamaan nasib para buruh kontrak Jawa di Asahan. Pekerja kuli dari Jawa ini datang ke Sumatera juga membawa serta kebudayaan yang dimilikinya sebagai bentuk identitas diri mereka sebagai orang Jawa yang berasal dari tanah Jawa. Kebudayaan yang sering di pertunjukan adalah kesenian seperti tarian. Ludruk, Jarana, nembang dan sebagainya, kebudayaan serupa kesenian ini dimaksudkan

untuk mengobati kerinduan mereka akan kampung halaman serta menghibur diri selama diperantauan. Demikian juga halnya dengan adat istiadat yang mereka miliki senantiasa untuk bisa diterapkan dalam kehidupan mereka diperantauan. Untuk mengeksistensikan kebudayaan yang dibawah ini cara adaptasi dengan penduduk lokal2

Saat ini kebudayaan Jawa dan Orang Jawa di Asahan menjadi bukti dari sejarah tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Asahan Asahan merupakan strategi utama agar kebudayaan Jawa yang mereka miliki dapat diterima.

2

(19)

tahun 2010, tercatat bahwa jumlah penduduk suku Jawa di Asahan kini mencapai 59,41 %, suku Batak 29,40 %, suku Melayu 5,19 % sedangkan sisanya 6,00 % adalah suku Minang, Banjar, Aceh dan lainnya. Mereka yang suku Jawa sebagian besar banyak tinggal di desa-desa, perkebunan dan pinggiran kota dan sebagian kecil lainnya tinggal di kota. Matapencaharian mereka pun beragam mulai dari petani, karyawan perkebunan, buruh pabrik, pedagang, pekerja rumahtangga, pegawai pemerintah, pegawai swasta dan sebagainya. Mereka yang bersuku Jawa ini tidak ingin disebut sebagai generasi kuli, penyebutan tersebut dianggap “menyakitkan” dan melukai perasaan mereka, meskipun ada yang sebagian memang berasal dari generasi pekerja kuli namun mereka lebih senang bila disebut sebagai Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera).

Kehidupan masyarakat Jawa di Asahan juga tidak dapat dilepaskan dari serangkaian kegiatan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus daur hidup, mulai dari dalam kandungan sampai kematian. Upacara yang berkaitan dengan siklus daur hidup ini masih banyak dilakukan masyarakat Jawa yang tinggal di perkebunan dan di desa-desa, seperti salah satunya Desa Rawang di Kecamatan Rawang Panca Arga, kehidupan sebagian besar penduduknya yang berprofesi sebagai petani sangat berpengaruh besar terhadap masih dilestarikannya seremonial-seremonial yang berkaitan dengan siklus daur hidup tersebut. Intensitas menggelar kegiatan seperti hajatan dan slametan tidak jarang ditemukan di pedesaan.

(20)

dan kerabat jauh. Dalam batas-batas kemampuan ekonominya, warga Desa Rawang lebih memilih untuk menyelenggarakan acara yang menurut mereka paling penting seraya untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai yang mereka anut. Diantara banyaknya tradisi dan upacara yang ada pada masyarakat Jawa, warga di Desa Rawang lebih mengutamakan acara yang berkaitan dengan ritus hidup seperti: tingkeban, spasaran, sunatan (khitanan), mantenan (pernikahan) dan kematian.

Melibatkan peran serta dari keluarga, tetangga, kerabat, dan masyarakat desa dalam penyelenggaraan acara hajatan dan slametan berlangsung secara tersirat menimbulkan implikasi keterikatan sosial diantara mereka misalnya; datang memenuhi undangan pernikahan atau slametan, tindakan tersebut menimbulkan keterikatan sosial berupa kewajiban untuk saling tolong-menolong dan bekerjasama seperti dalam kegiatan sumbang-menyumbang hajatan. Kegiatan sumbang menyumbang ini sudah menjadi pemandangan yang biasa dilihat saat hajatan dan slametan, hingga sampai sekarang pun menjadi bagian tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari acara tersebut. Oleh masyarakat Jawa di Desa Rawang kegiatan sumbang menyumbang tersebut dikenal dengan tradisi nyumbang.

Tradisi nyumbang dalam masyarakat Jawa di Desa Rawang juga disebut “bestelan”. Tradisi nyumbang atau “bestelan” ini memiliki pengertian yang sama yaitu rangkaian kegiatan dari prilaku masyarakat Jawa yang memberikan bantuan baik dalam bentuk materil (uang, sembako dan barang) maupun non- materil (tenaga dan jasa) kepada tetangga atau kerabat yang membutuhkan. Tujuan dari nyumbang atau bestelan ini adalah membantu meringankan beban keluarga yang

(21)

nyumbang dan bestelan memiliki cakupan tersendiri, dimana nyumbang bisa

sangat luas penerapannya seperti; bisa dilakukan dalam acara yang berkaitan dengan siklus daur hidup seperti hajatan dan slametan juga dalam kegiatan sehari-hari. Sedangkan bestelan dikenal masyarakat hanya untuk kegiatan menghadiri undangan di saat hajatan dan slametan saja. Bentuk pemberian dari nyumbang dan bestelan juga berbeda, kalau nyumbang bentuk pemberiannya bisa berupa materil

dan non materil sedangkan untuk bestelan hanya terbatas pada materil saja.

Tradisi nyumbang berasal dari akar kebudayaan masyarakat Jawa yang bersifat guyub (kolektif) serta mementingkan kebersamaan ketimbang sifat individual ( urip-urip deweh ). Hakekat tradisi ini adalah meringankan beban dan menjaga solidaritas antar sesama warga masyarakat. Pada perjalanannya tradisi nyumbang dahulu dan sekarang pastinya mengalami banyak perkembangan serta

perubahan didalam masyarakat Desa Rawang, era 80’an misalnya tradisi nyumbang di desa ini bukan hanya terlihat di dalam seremonial siklus daur hidup

(22)

Tetapi biar bagaimanapun dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam hubungan-hubungan sosialnya, orang Jawa memiliki batasan tersendiri yakni introsfeksi diri dalam pergaulan yang ditunjukan dengan sikap isin (malu), sungkan (segan), tau diri dan toleran, inilah yang menjadi moral dalam kehidupan

orang Jawa. Walaupun tadinya bentuk pertolongan hanya dilandasi oleh keperdulian dan kerja sukarela semata, namun pada penerapannya senantiasa akan dibalas kembali oleh orang yang menerima bantuan tersebut, meskipun terkadang tidak sama pengembaliannya tetapi semua tindakan tersebut sebisa mungkin akan dibalas sama dan ini senantiasa diingat oleh yang menerima bantuan ataupun yang memberi bantuan.

(23)

untuk mengandalkan penanggalan secara rasional tentunya sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga.

Ditengah masyarakat yang notabenya hidup sebagai petani kegiatan hajatan seperti pernikahan dan sunatan ini sangat banyak ditemui bahkan yang tadinya acara slametan yang identik dengan kesederhanaan dalam pelaksanaanya, kini banyak dijumpai ditengah masyarakat Desa Rawang menjadi acara yang meriah seperti acara hajatan pernikahan terkecuali acara slametan untuk tingkepan dan kematian yang masih dilakukan secara sederhana. Bagi sebagian besar warga Desa Rawang terkadang hal seperti ini menjadi beban sosial dan ekonomi terutama bagi mereka yang penghasilannya serba berkecukupan. Jika intensitas hajatan di desa banyak maka mau tidak mau mereka harus membuat anggaran tambahan untuk kegiatan sumbang menyumbang di desanya.

(24)

memiliki ketergantungan terhadap keberadaan tradisi nyumbang dalam hajatan sampai-sampai tradisi tersebut menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat pertanian di Desa Rawang.

Fenomena tradisi nyumbang saat ini semakin menarik untuk dikaji lebih lanjut apalagi untuk menjelaskan lebih dalam lagi kerjasama resiprositas antara mereka yang terlibat. Selain itu mencari penjelasan mengapa tradisi ini masih dipertahankan sampai saat ini juga sangat penting, padahal disatu sisi kerap menjadi masalah tersendiri. Dan masih banyak lagi yang akan di jelaskan dalam penelitian ini terkait resiprositas tradisi nyumbang di Desa Rawang tersebut. 1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini terkait dengan gambaran tradisi nyumbang yang ada dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tradisi nyumbang dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang, terutama dalam hajatan pernikahan dan khitanan!

2. Mengapa tradisi nyumbang ini masih dipertahankan oleh masyarakat Desa Rawang? Strategi seperti apa yang digunakan masyarakat untuk mempertahankan tradisi ini!

3. Resiprositas seperti apa dan kerjasama resiprositas yang bagaimana yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam tradisi nyumbang tersebut!

3

(25)

1.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan. Lokasi ini di pilih karena beberapa hal termasuk diantaranya yaitu letak wilayah desa yang strategis, kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya yang unik juga merupakan salah satu perkampungan suku Jawa yang ada di Kabupaten Asahan. Selain itu pemilihan ini dikaitkan berdasarkan fenomena yang ada di desa tersebut terkait dengan tradisi nyumbang yang akan diteliti.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tradisi nyumbang yang ada, melihat kerjasama resiprositasnya, menjelaskan berbagai lingkup persoalan dan permasalahan yang muncul serta menjelaskan kemungkinan adanya solusi dalam menghadapi persoalan terkait dengan tradisi nyumbang ini. Selain itu juga untuk melihat strategi dari warga di Desa Rawang

dalam mempertahankan tradisi nyumbang. 1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini sendiri diharapkan secara akademis dapat menambah wawasan keilmuan terutama dalam melihat realita dan permasalahan di tengah masyarakat untuk dijadikan sebagai kajian dan pembelajaran. Dalam hal ini tentu saja akan menambah khasana keilmuan terutama antropologi dalam kaitan dengan judul penelitian ini.

(26)

nyumbang itu secara arif dan positif serta agar nantinya tradisi ini kedepannya

dapat dilestarikan sesuai dengan hakekat tradisi nyumbang yang sebenarnya tanpa harus menimbulkan permasalahan dan persoalan yang baru.

1.5. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan menurut Ruth Benedict merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan tertentu yang terungkap dalam aktivitas, sehingga pada hakekatnya kebudayaan itu adalah way of life, cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula pada suatu bangsa. Sedangkan menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sitem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1986: 180). Manusia dan kebudayaan memiliki keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

(27)

Tradisi nyumbang merupakan kebudayaan yang termasuk dalam wujud aktivitas serta tindakan berpola dari semua tingkah-laku yang ada dalam masyarakat Desa Rawang terutama aktivitas dalam menggelar hajatan dan slametan. Pada wujud kedua (sistem sosial) ini serangkaian aktivitas manusia

yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lainnya dari waktu ke waktu berjalan menurut pola-pola tertentu dalam adat tata kelakuan masyarakat. Sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita, bisa diobservasi, dilihat, difoto dan didokumentasikan.

Kegiatan nyumbang yang dilakukan masyarakat dalam membantu meringankan beban orang yang memiliki hajatan tetaplah bagus dilestarikan sebagai bagian ikatan kekerabatan atau emosi sosial yang representatif dan benar-benar mencerminkan jiwa dalam masyarakat Jawa. Namun apabila tradisi itu sendiri kerap menimbulkan permasalahan dalam masyarakat maka perlu adanya pertimbangan lagi untuk mempertahankan tradisi yang demikian. Seperti yang dikatakan Franz Magnis Suseno (1983) bahwa perspektif hidup didalam bingkai etika Jawa harus terwujud dalam pola rutinitasnya lebih mengutamakan sisi moralitas yang luhur, berbudi dan tidak menghancurkan antar sesama maupun diri sendiri. Hal ini dalam artian bahwa didalam setiap aktivitas yang dilakukan jangan sampai membebani orang lain dan diri sendiri apalagi sampai menimbulkan permasalahan didalam lingkungan masyarakat.

(28)

seimbang. Bagi mereka yang diundang dan terlibat dalam acara hajatan ataupun selamatan ini diharapkan dapat memenuhi kewajibannya yaitu salah satunya memenuhi undangan pesta. Memenuhi undangan merupakan suatu kewajiban sosial, ini dikarenakan adanya pengharapan pemberian dari mereka yang datang. Sedangkan bagi yang menerima (pemilik hajat) juga ada keharusan untuk membalas kembali atas apa yang diterimanya tersebut.

Marcel Mauss (Suparlan 1992: xviii) mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Segala bentuk pemberian selalu dibarengi dengan suatu pemberian kembali atau imbalan4. Dengan demikian maka yang ada bukan hanya pemberian yang dilakukan oleh seorang kepada lainnya, tetapi suatu tukar-menukar yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok yang saling memberi dan mengimbangi. Malinowski juga menjelaskan bahwa semua bentuk transaksi yang berada dalam satu garis hubungan yang berkesinambungan di mana disatu kutub pemberian ini bercorak murni, tanpa tuntunan imbalan dan di kutub lainnya bercorak pemberian yang harus diimbali5, maksudnya adalah bahwa bentuk nyumbang bisa saja diberikan secara cuma-cuma dalam artian seorang pemberi tidak mengharapkan adanya balasan/imbalan dari orang yang telah diberinya, sedangkan di sisi lainnnya terdapat bentuk nyumbang yang harus diimbali sehingga pemberian tersebut bersifat pamri (adanya pengharapan balasan kembali) dan ada timbal baliknya (resiprositas). Sistem menyumbang yang menimbulkan kewajiban untuk membalas ini merupakan suatu prinsip dari kehidupan masyarakat kecil, yang oleh Malinowski disebut principle of reciprocity, atau prinsip timbal balik antara yang memberi dan menerima.

4

(29)

Sistem pertukaran memunculkan rasa pengharapan adanya pengembalian ataupun pertukaran yang sama nilainya (resiprokal). Dimana rasa timbal balik (resiprokal) ini sangat besar dan ini difasilitasi oleh bentuk simetri institusional. Hubungan simetri ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung, contohnya adalah seorang petani mengundang tetangganya, untuk ikut kenduri selamatan atas kelahiran anaknya. Pada waktu yang lain kepala desa mengundang juga untuk peristiwa yang serupa. Dalam aktivitas tersebut mereka tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda, mereka sejajar sebagai warga kelompok keagamaan, meskipun sebagai warga desa mereka memiliki derajat kekayaan dan prestise sosial yang berbeda-beda. Menurut Polanyi peristiwa tersebut menunjukkan adanya posisi sosial yang sama, pada suatu saat menjadi pengundang dan yang diundang6.

Dalton menjelaskan bahwa resiprositas merupakan pola pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran tersebut, individu memberikan dan menerima pemberian barang atau jasa karena kewajiban sosial7. Melalui resiprositas orang tidak hanya mendapatkan barang tetapi dapat memenuhi kebutuhan sosial yaitu penghargaan baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Hubungan personel diantara individu atau kelompok juga merupakan syarat terjadinya aktivitas resiprositas. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama seperti kehidupan petani di pedesaan, dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan-hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat

5 Ibid. 6

(30)

dalam mematuhi adat kebiasaan. Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas.

Menurut Sahlins (Sairin 2002: 48), ada tiga macam resiprositas, yaitu: resiprositas umum (generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity) dan resiprositas negative (negative reciprocity)8. Dalam resiprositas umum individu dan kelompok yang saling memberikan barang dan jasa kepada individu atau kelompok lain tidak menentukan batas waktu pengembalian, tidak ada hukum yang mengontrol seseorang untuk memberi dan mengembalikan pemberian yang ada, hanya kepercayaan dan moral dari mereka yang bekerjasama. Resiprositas sebanding dilakukan apabila barang dan jasa yang dipertukarkan harus mempunyai nilai yang sebanding, dalam pertukaran ini ada tuntutan kapan harus memberi, menerima, dan mengembalikan. Ciri resiprositas sebanding ini ditunjukkan oleh adanya norma-norma atau aturan-aturan serta sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi. Ciri lainnya yakni adanya putusan untuk melakukan kerjasama resiprositas berada ditangan masing-masing individu. Mereka yang terlibat dalam kerja sama resiprositas tidak mau ada yang dirugikan.

Resiprositas negativ merupakan resiprositas yang dikatakan sudah terpengaruh oleh sistem ekonomi uang atau pasar, dimana bentuk pertukaran tradisional digantikan dengan bentuk pertukaran modern serta munculnya dualisme pertukaran. Berkembangnya uang sebagai alat tukar menjadikan barang dan jasa kehilangan nilai simbolik yang luas serta menjadi beragam maknanya.

7

Ibid., hal 42 8

(31)

Hal ini karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar obyektif terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan. Inilah yang disebut negatif, karena dapat menghilangkan suatu tatanan pertukaran yang telah ada. Tingkat gotong royong pun sekarang semakin berkurang karena kegiatan masyarakat yang semakin money oriented membuat nilai-nilai keikhlasan untuk saling membantu pun

berkurang.

Tradisi nyumbang yang ada dalam masyarakat Jawa di Desa Rawang juga tidak bisa terlepas dari adanya resiprositas. Hanya saja sejauh ini resiprositas yang ada seringkali mengalami perubahan, hal ini dikarenakan niatan untuk menggelar hajatan atau melakukan kerjasama resiprositas setiap individu dalam masyarakat kerap dipersepsikan berbeda. Jadi resiprositas yang seharusnya berjalan seimbang bisa saja berubah kearah negative kalau niatan seseorang melakukan hajatan itu hanya untuk meraup keuntungan semata.

1.6. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Melalui metode ini akan dideskripsikan secara gamblang tradisi nyumbang pada masyarakat Desa Rawang, untuk dapat mengambarkan atau mendeskripsikan secara baik tradisi ini. Oleh karena itu diperlukan adanya teknik pengumpulan data sebagai pendukung penelitian, terutama dalam menggali informasi sebanyak mungkin di lapangan sehingga didapat data yang diinginkan (harapkan).

1.6.1. Data Primer

(32)

a. Observasi

Observasi merupakan metode yang dipakai dalam penelitian ini. Observasi dilakukan untuk mengamati serangkaian kegiatan masyarakat maupun individu baik berupa tingkah laku, aktivitas, hubungan sosial dan lain sebagainya guna mendukung penelitian serta disesuaikan dengan data yang diinginkan. Dalam observasi ini peneliti bisa mengamati secara langsung kegiatan yang sedang dilakukan warga desa di sana, terutama ketika sedang ada hajatan atau selamatan, dari sini peneliti bisa mengikuti dan mengamati apa yang sedang dilakukan oleh warga dalam hal tersebut. Kemudian jika di desa tidak ada ditemukan acara seperti hajatan ataupun selamatan saat dilapangan, peneliti melakukan observasi seputar kegiatan dan aktivitas warga dalam kesehariannya.

b. Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview)9 dan dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara (interview guide). Wawancara mendalam difokuskan kepada pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah, serta pertanyaan yang lainnya baik yang sudah dipersiapkan (bukan dalam bentuk kuesioner) ataupun pertanyaan yang dikembangkan dari wawancara di lapangan. Wawancara sambil lalu juga digunakan dalam penelitian ini, pertanyaan yang diajukan tidak terstruktur

9

(33)

sebagaimana wawancara mendalam. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan wawasan dan pengetahuan yang informan10 ketahui dari tradisi nyumbang.

c. Menentukan Informan

Informan dalam penelitian ini terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu: informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Informan pangkal dalam penelitian adalah orang yang pertamakalinya ditemui peneliti yang memiliki pengetahuan tentang desa dan masyarakatnya, dan dari informan ini lah nantinya peneliti diarahkan langsung ke masyarakat serta diarahkan kepada orang yang memang mengetahui lebih banyak pengetahuan tentang kehidupan desanya. Bapak Ruslin selaku KADES Desa Rawang adalah informan pangkal pertama dalam penelitian ini, dari beliau saya dipertemukan dengan bapak Ramlan KADUS Desa Rawang Pasar IV, bapak KADUS inilah yang kemudian membantu peneliti menemui warga masyarakat di Desa Rawang Pasar IV, terutama warga desa yang pernah dan akan melangsungkan hajatan dalam waktu dekat. Dari sinilah kemudian peneliti mencari warga yang bisa dijadikan sebagai informan kunci.

Informan kunci dalam penelitian ini sebelumnya telah dikategorikan berdasarkan beberapa kriteria diantaranya; keluarga Jawa, sudah lama menetap didesa, memiliki pengetahuan luas tentang tradisi nyumbang dalam daur hidupnya, memiliki pengalaman melangsungkan hajatan/slametan baik yang sudah lama maupun yang baru berlangsung, berusia ± 40 tahun. Sedangkan informan biasa dalam penelitian ini adalah warga Desa Rawang yang peneliti temui untuk memberikan informasi seputar pengetahuannya yang berkaitan dengan tradisi nyumbang.

10

(34)

1.6.2. Data Skunder

Data skunder merupakan data pendukung yang bisa diperoleh dari bacaan, tulisan, literatur, media, perpustakaan, kearsipan dan lain sebagainya. Data skunder sangat penting dalam memberikan penyempurnaan hasil observasi dan wawancara, data ini bisa didapat dari hasil penelitian orang lain dan referensi berbagai sumber yang relefan seperti jurnal, surat kabar, bulletin, artikel, buku-buku dan media elektronik.

1.7. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif, Analisis data dimulai dari mengumpulkan data-data yang diperoleh dari lapangan baik dari observasi, wawancara dan dokumentasi, analisis ini juga meliputi data-data atau informasi yang diperoleh dari media massa, buku dan lain sebagainya yang kiranya dapat mendukung hasil penelitian. Data-data yang sudah ada dikelompokkan sesuai dengan kategori yang ditentukan sehingga dengan demikian akan memudahkan peneliti untuk menyajikan data yang ada dalam bentuk informasi yang disusun dalam bentuk standart penyusunan karya ilmiah sebagai bentuk hasil sebuah kesimpulan akhir penelitian yakni dalam bentuk laporan.

dilapangan yakni warga desa setempat yang memiliki pengetahuan seputar kegiatan tradisi

(35)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Desa Rawang

Rawang merupakan nama desa secara keseluruhan di Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan. Desa Rawang begitulah disebut dan dikenal masyarakat di Kab. Asahan. Desa ini terbagi dalam 7 bagian wilayah, seperti; Rawang Pasar IV, Rawang Pasar V, Rawang Pasar VI, Rawang Lama, Rawang Baru, Panca Arga dan Pondok Bungur. Wilayah desa yang pertama kali menjadi pemukiman adalah Desa Rawang Lama yang letaknya berdekatan dengan Kecamatan Meranti. Di Desa Rawang Lama ini penduduknya mayoritas adalah suku Jawa dan Melayu Pesisir. Keberadaan mereka sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda di Asahan, kebanyakan suku Jawa yang ada di Desa ini semuanya berasal dari Pulau Jawa, mereka umumnya bekerja sebagai buruh perkebunan dan bertani.

(36)

Menurut informan dalam wawancara penelitian (Kakek Lasam, 70 tahun)11, dulu desa ini seluruhnya masih berupa hutan yang ditumbuhi semak belukar, kondisinya berupa rawa-rawa dan tanah bergambut. Orang yang ingin memiliki lahan harus berjuang membuka hutan agar dapat menggarapnya, apabila sudah berhasil maka lahan yang sudah diperolehnya menjadi miliknya, jadi jangan heran kalau nenek atau kakek-kakek yang ada di desa ini punya banyak tanah dan anak-anaknya bisa dapat bagian. Sahnya kepemilikan tanah ini di sertifikasikan ketika Indonesia sudah merdeka. Jadi nama ‘rawang’ itu diambil dari nama tempat ini asalmulanya yaitu hutan dan rawa-rawa. Penduduk yang ada di desa ini kebanyakan adalah suku Jawa mereka bukan transmigran melainkan pekerja kuli perkebunan yang sudah habis masa kontraknya. Kebanyakan lebih memilih hidup di perantauan ketimbang pulang ke Jawa, dan sebagian lagi adalah warga pendatang seperti suku Batak, Mandailing, Melayu yang umumnya berasal dari daerah Siantar, Tanjung Balai, dan Batubara.

Setelah Desa Rawang Lama barulah bermunculan pemukiman baru dengan jumlah penduduk yang lumayan banyak, itulah yang menjadi cikal bakal desa baru yang sampai sekarang ini menjadi Desa Rawang Pasar IV, Pasar V,sampai Pasar VI. Wilayah Pondok Bungur (Kampong Bungo) sendiri merupakan perkampungan yang berada di tengah-tengah perkebunan karet, dan kampung ini sebenarnya sudah ada sejak masa kolonial, sedangkan desa yang

11

(37)

baru terbentuk dan tergolong masih muda adalah desa Rawang Baru dan Panca Arga. Keduanya baru dibentuk setelah Desa Rawang pemekaran membentuk pemerintahan kecamatan sendiri dan terlepas dari pemerintahan kecamatan yang lama yakni Kecamatan Meranti. Pada tahun 2010 resmi Kecamatan Rawang Panca Arga berdiri dengan harapan membawa perubahan yang lebih baik untuk kemajuan masyarakat Desa Rawang secara keseluruhan. Kantor Kecamatan Rawang Panca Arga sekarang berada di wilayah Desa Rawang Pasar IV

2.2. Letak Geografis

Letak geografis desa yang di maksud dalam penelitian ini adalah Desa Rawang Pasar IV yang menjadi fokus lokasi penelitian. Secara geografis desa ini memiliki batasan-batasan wilayah sebagai penanda luas keseluruhan wilayah desa serta pemerintahan desa secara atministratif, diantaranya yakni:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rawang Lama b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Gambir Baru c. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pondok Bungur d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Rawang Pasar V

(38)

dari pertanian sawah dan ladang (padi, tanaman palawijah) dan sebagian lagi adalah hasil perkebunan (kakao, sawit, dan pisang) serta tambak ikan (ikan lele dan ikan Mas).

2.3. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Desa

Jumlah penduduk Desa Rawang Pasar IV keseluruhan ± 2.829 jiwa dengan jumlah banyak KK sekitar 735 KK yang tersebar di 10 dusun. Adapun data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut;

Tabel 1. Nama Desa, Jumlah Penduduk, KK dan Kepadatan.

NO DESA

Sumber: Rawang Panca Arga dalam angka 2010.

(39)

sekitar 5 per/Km, ini sama dengan tingkat kerapatan penduduk yang ada di Desa Rawang Pasar V.

Sumber: Rawang Panca Arga dalam angka 2010

(40)

Roda perekonomian di dusun-dusun ini berjalan sangat baik, tingkat partisipasi masyarakat di dusun ini juga sangat antusias dalam pembangunan dan kemajuan desa.

Besarnya Jumlah penduduk desa juga dapat dilihat melalui golongan usia dan Jenis kelamin, hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel.2. Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Golongan Usia dan Jenis Kelamin

Sumber: Kantor Desa Rawang Pasar IV, 2010.

Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki- laki ± 1.367 jiwa dan jumlah penduduk dengan jenis kelamin perempuan ± 1462 jiwa. Berdasarkan keterangan data tersebut bahwa jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan hanya berbanding sedikit. Rata-rata penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan dengan usia balita dan lansia.

(41)

banyak diyakini masyarakat terutama mereka dari generasi terdahulu. Jadi tidak mengherankan jika di dalam masyarakat Desa Rawang ada keluarga dengan jumlah anaknya lebih dari 5 orang bahkan sampai 12 orang. Perkembangannya saat ini justru sebaliknya, tingkat pengetahuan masyarakat yang semakin baik, informasi dan pendidikan juga baik, membuat program-program pemerintah tentang kesehatan juga mudah diterima masyarakat, seperti program keluarga berencana (KB).

2.4. Pola Pemukiman dan Perumahan Penduduk

Permukiman adalah daerah tempat bermukim (tempat tinggal). Umumnya penduduk akan memilih tempat bermukim sedapat mungkin dekat dengan tempatnya melakukan aktivitas sehari-hari, ini dikarenakan akan lebih memudahkannya melakukan mobilitas dalam kesehariannya. Pemukiman penduduk pada dasarnya membentuk pola tertentu sesuai dengan keadaan lingkungannya, seperti pola menyebar/terbuka, pola linear/ memanjang dan pola melingkar12.

(42)

Saat ini pola pemukiman yang terlihat di desa lebih menyebar, ini seiring dengan berjalannya waktu dimana tingkat kepadatan penduduk desa semakin bertambah. Akibat adanya peningkatan jumlah penduduk ini kebutuhan akan lahan untuk perumahan semakin tinggi, indikasinya penggunaan lahan sawah dan ladang beralih fungsi menjadi tempat bermukim (rumah). Kondisi ini tentu akan mempengaruhi sektor lainnya terutama perekonomian. Produksi hasil sawah dan ladang tentu akan mengalami penurunan karena semakin sempitnya lahan serta alih fungsi lahan ke pemukiman. Bisa jadi bahwa 2-3 tahun mendatang sawah-sawah yang menghijau di desa ini akan semakin sulit di temukan karena digantikan dengan tempat pemukiman.

Kondisi perumahan penduduk di Desa Rawang Pasar IV tergolong sangat baik, hal ini dapat dilihat dari bangunan fisik rumah yang ada. Mengikuti anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang indikasi rumah sehat adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai perkapitannya minimal 10 m². Saat ini kondisi perumahan warga yang ada di desa telah memenuhi standar kesehatan bukan saja seperti yang di anjurkan pemerintah namun masyarakat juga memiliki konsep tersendiri tentang rumah tinggal yang layak huni, nyaman, sehat bagi penghuninya.

12

Liha

(43)

Foto. 1 Foto. 2

Kedua Foto tersebut (foto 1 dan 2) merupakan gambaran perumahan warga Desa Rawang Pasar IV yang rata-rata bangunan permanen

Rumah bagi orang Jawa terutama bukan saja dianggap sebagai tempatnya berlindung dari panas dan hujan atau beristirahatnya saat siang dan malam, tetapi rumah merupakan tempat dimana seseorang dapat hidup nyaman, memiliki manfaat bagi penghuninya (menaungi keluarganya), membawa berkah serta mencerminkan dari pemiliknya. Maka tidak mengherankan jika orang Jawa di Desa Rawang ini rata-rata rumahnya sudah permanen dan bagus-bagus, jangan melihat apa profesinya atau berapa penghasilannya bagi mereka rumah adalah yang utama, meskipun buruh pekerjaannya.

2.5. Suku Bangsa

(44)

Tabel 3. Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa No S u k u Jumlah Penduduk

( Jiwa )

Persentase ( % )

1. Jawa 2193 78

2. Batak 436 15

3. Melayu 50 2

4. Lain – lain 150 5

Jumlah 2.829 100

Sumber: Data Olahan Kantor Desa Rawang Pasar IV, 2010.

Besarnya jumlah penduduk yang suku Jawa sekitar 2.193 jiwa dengan persentase sekitar 78 persen. Penduduk kedua terbesar adalah suku Batak 436 jiwa dengan persentase sebesar 15 persen. Suku Batak dalam kehidupan bermasyarakat di desa ini umumnya dapat membaur dengan suku bangsa lainnya, namun dalam pola pemukiman dan tempat tinggal mereka membentuk satu kelompok dengan suku mereka sendiri yang jaraknya tidak terlalu berjauhan dengan pemukiman suku bangsa lainnya, kalaupun ada yang bertetanggaan mereka yang suku Batak umumnya adalah mereka yang muslim. Suku Batak yang ada di desa ini merupakan pendatang dari daerah disekitar Asahan.

(45)

2.6. Sistem Religi

Keberagaman suku bangsa juga memberikan keberagaman terhadap sistem keyakinan/ agama yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Rawang Pasar IV ini. Agama yang ada merupakan agama resmi yang diakui di Indonesia seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu. Di bawah ini merupakan data dari jumlah penduduk di Desa Rawang yang memeluk beberapa agama resmi tersebut:

Tabel 4. Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Penduduk

( Jiwa )

Persentase ( % )

1. Islam 2273 80

2. Kristen Khatolik 332 12

3. Kristen Protestan 224 8

Jumlah 2.829 100

Sumber : Data Kantor Desa Rawang Pasar IV, 2010

Berdasarkan data table diatas dapat diketahui bahwa penduduk Desa Rawang Pasar IV, 80 persennya memeluk agama islam. Suku bangsa yang memeluk agama ini umumnya dari suku Jawa, Melayu, Aceh, Banjar dan Batak Mandailing sedangkan 12 persen dan 8 persennya lagi banyak dianut oleh penduduk yang suku Batak seperti Toba, Karo, Nias.

(46)

sedangkan kegiatan perwiritan dan pengajian banyak dilakuakan di rumah dan dilakukan secara bergiliran. Demikian juga dengan warga yang beragama Kristen, mereka melakukan kebaktian setiap Minggu di Gereja masing-masing dan kebaktian kecil (seperti pengajian) di rumah-rumah.

Penerapan ajaran agama Islam terutama di dalam masyarakat Jawa di Desa Rawang ini dijalankan oleh sebagian warganya masih setengah-setengah atau belum sepenuhnya mengikuti dengan tepat ajaran agama islam. Masih banyak dijumpai warga desa yang meninggalkan ibadah wajib seperti shalat dan puasa, padahal kondisi fisik dan kesehatannya baik. Juga masih banyak warga desa yang melakukan praktek sesajen, percaya pada dukun, percaya terhadap hal-hal yang berbau mistis dan tahayul dalam kehidupan sebagian warga desa disana.

2.7. Sistem Kekerabatan

Komposisi penduduk yang ada di Desa Rawang Pasar IV bila dilihat dari keterangan tabel sebelumnya dapat diketahui secara keseluruhan bahwa suku Jawa merupakan mayoritas. Walaupun mereka sebagai mayoritas namun hubungan kekerabatan dengan suku bangsa yang lainnya tetap dijaga keakraban dan kerukunannya agar tercipta hidup yang selaras dan harmonis.

(47)

Sumatera walaupun bukan lagi lahir di tanah Jawa namun karena adanya ikatan dan rasa identitas dan jati diri sebagai bagian dari orang Jawa mereka tetap menjalin hubungan kekerabatan.

Hubungan kekerabatan suku Jawa ditentukan oleh prinsip bilateral, yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pria maupun wanita. Perkawinan yang ada di desa ini umumnya pernikahan dari sesama suku Jawa baik dari desa setempat maupun dari luar desannya, tetapi ada juga pernikahan campuran antara suku Jawa dengan suku bangsa lainnya. Setelah menikah biasanya 2-3 minggu pasangan baru akan tinggal bergilir dirumah orang tua mereka, baru selepas itu mereka memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri baik dilingkungan desanya atau tinggal diluar dari desannya.

Penyebutan saudara dekat dan saudara jauh dalam kekerabatan orang Jawa ditentukan oleh pertalian darah dan juga silahturahmi yang terjalin. Saudara dekat (masih jelas hubungan darahnya, seperti saudara kandung ayah atau ibu) tidak diperbolehkan adanya hubungan pernikahan dari dua insan yang masih keluarga, hal ini dianggap tabuh karena masih satu darah. Sedangkan pernikahan yang terjadi dengan saudara jauh diperbolehkan karena biasanya hubungan persaudaraan selain dari keluarga ayah atau ibu juga berasal dari keluarga yang seangkatan atau berdasarkan hubungan kekeluargaan yang lainnya sehingga menimbulkan istilah saudara jauh, dalam hal ini biasanya pertalian darah sudah tidak terlihat jelas lagi.

(48)

yang dikenal dalam pertalian keluarga Jawa selain keluarga sedarah adalah keluarga perbesanan yang ada karena hubungan pernikahan. Pertalian keluarga dalam masyarakat Jawa memiliki ikatan sosial yang ketat, keluarga Jawa memiliki peranan yang penting dalam masyarakat untuk membangun kekuatan ekonomi, politik dan bahkan keagamaan.

Batas-batas penyebaran keluarga kadang terlihat tidak menentu, tetapi orang Jawa memberikan perbedaan tertentu antara “saudara dekat” (sedulur

cedak) dan “saudara jauh” (sedulur adoh). Biasanya yang termasuk dalam

kategori pertama adalah ke empat orang kakek nenek (keluarga langsung ayah dan ibu kandung), anak-anak dan cucu-cucu mereka, anak-anak dan cucu-cucunya kandung, kemungkinan dengan ditambah pula kakek dan nenek moyang serta cicit-cicit. Golongan inilah, yaitu golongan “sedulur cedak”, dalam prakteknya batas-batasnya tidak tegas, akibatnya seorang saudara dekat dapat menjadi saudara jauh sebagai akibat percekcokan, tempat kediaman yang jauh, atau oleh perpindahan ke kelas lain. Seorang saudarah jauh akibat berkediaman dekat untuk waktu yang lama dapat mengembangkan hubungan pribadinya secara lebih mendalam dengan kelompok saudaranya yang telah jauh itu malah dianggap sebagai keluarga dekat.

2.8. Sistem Pendidikan

(49)

sekolah-sekolah yang ada hingga pada perguruan tinggi. Di bawah ini merupakan tabel data penduduk berdasarkan tingkat pendidikan:

Tabel.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah

1.

Sumber: Data Kependudukan Desa Rawang Psr IV, 2010.

Bila dilihat dari tabel tersebut dapat dilihat bagaimana komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan, dapat diketahui bahwa penduduk dengan latarbelakang pendidikan SLTA/ sederajat merupakan jumlah terbesar di desa ini, kemudian level ke-2 jumlah penduduk dengan latarbelakang pendidikan SLTP/ sederajat sekitar 931 orang serta latabelakang pendidikan lainnya. Hal ini dapat diketahui bahwa kesadaran akan pendidikan ditengah masyarakat desa ini tergolong masih diperhatikan walaupun pada dasarnya banyak dari penduduk desa yang setelah menyelesaikan bangku sekolahnya misalnya SLTA tidak melanjut ke jenjang perguruan tinggi, banyak dari penduduk di sana beranggapan bahwa untuk bisa mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTA dirasa sudah memadai.

(50)

desa untuk memiliki kesadaran tinggi akan pendidikan terutama pada tingkat perguruan tinggi.

Proses globalisasi berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di pedesaan seperti masyarakat di Desa Rawang. Pengaruhnya telah masuk kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat terutama dalam pendidikan. Standar kehidupan masyarakat mengacu pada standar hidup modern dimana pendidikan itu penting karena pendidikan saat ini menjadi standar di dunia kerja. Kaula muda desa juga banyak yang lebih memilih untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik dengan harapan dapat bekerja diluar sektor pertanian seperti menjadi pegawai ataupun bekerja kantoran dikota.

2.9. Matapencarian dan Ekonomi Masyarakat

(51)

Tabel 6. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Rawang Pasar IV

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk ( Jiwa )

1. Petani 421

2. Pengrajin/ Industri kecil 3

3. Pegawai Negeri Sipil 22

4. Karyawan Swasta 10

5. Pedagang 50

6. Kepolisian RI (POLRI) 4

7. Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Sumber: Data Kantor Desa Rawang Pasar IV, 2010.

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di desa ini bermata pencaharian sebagai petani yang jumlahnya sekitar 421 jiwa. Kemudian mata pencaharian yang selanjutnya yang banyak digeluti oleh penduduk desa adalah sebagai buruh yakni sekitar 152 jiwa penduduk. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa Desa Rawang merupakan desa agraria (pertanian) jadi sebagian besar penduduknya mengandalkan pertanian sawah dan ladang sebagai matapencariannya disamping perkebunan dan perikanan.

(52)

cermat dibagikan yang berperan disini adalah istri sebagai pengelolah keuangan rumah tangga, istri petani harus pandai-pandai meminimalisir pengeluaran serta menyisihkan uang yang ada untuk tabungan.

Upah buruh di desa dihitung per harinya yakni sekitar Rp 20.000 ini berlaku bagi buruh harian saja yang bekerja selama 2-3 hari paling lama. Hal ini berbeda lagi dengan buruh yang bekerja menjaga padi yang dibayar ketika masa panen tiba, sedangkan yang bekerja Nderep13 dibayar berdasarkan ikatan bibit yang dicabutnya 1 (satu) ikat bibit dihargai Rp 250. Selain buruh tani ada sebagian kecil yang bermata pencaharian sebagai buruh bangunan dan buruh pabrik dikota. Profesi buruh ini dilakoni oleh mereka tidak memiliki lahan pertanian di desa.

Foto.3. Buruh penanam padi “nderep” Foto.4. Pekerja musiman “ngomben” Gambar di atas merupakan gambaran profesi penduduk yang ada di Desa Rawang seperti Buruh tani dan pekerja musiman di waktu memasuki masa panen, mereka ini bekerja secara berkelompok. Pekerja musiman “ngomben” ini sebagian besar memiliki sawah tetapi bila musim panen tiba mereka merangkap profesi untuk ikut bekerja sebagai pemanen padi untuk penghasilan tambahan. Berbagai jenis profesi yang ada di desa ini sebenarnya tidak digeluti hanya dalam satu

13

(53)

bidang saja, banyak dari masyarakat yang merangkap dalam mencari penghasilan seperti misalnya petani pemilik lahan bukan hanya sebagai petani namun juga ia berprofesi sebagai pedagang dan bahkan sebagai buruh tani seperti pekerja pemanen padi “ngomben”. Demikian halnya dengan mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri/swasta mereka juga merangkap sebagai petani ataupun pedagang. Kegiatan yang demikian ini bukan tanpa alasan, mereka yang merangkap profesi yang demikian adalah untuk membantu perekonomian keluarga disamping dari mata pencaharian keluarga yang utama.

Sektor Perekonomian yang lebih besar ditopang oleh pertanian memberikan gambaran bahwa mayoritas matapencarian penduduknya tidak lain adalah petani. Seperti yang kita ketahui keluarga petani di Indonesia rata-rata tingkat ekonominya masih tergolong rendah.demikian pula halnya dengan petani yang ada di Desa Rawang ini, faktor dari berbagai sektor menjadikan produksi yang ada semakin menurun yang akhirnya juga berimbas kepada menurunnya pendapatan. Tingkat produksi pertanian kini hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan subsistensi saja yakni lebih banyak hasil produksi/panen hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan istilah masyarakat setempat “cukup-cukup makan”.

(54)

setengahnya lagi ada di Desa Rawang Pasar V. Petani yang memiliki lahan pribadi sangat beruntung dibandingkan dengan petani yang menggarap lahan sewaan, hasil panen dari lahan sendiri bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan lainnya seperti membayar hutang pupuk, pestisida, membayar iuran arisan atau yang lainnya.

Bagi penggarap lahan sewaan yang hanya sekitar 7-5 rante luasnya, penghasilan dari panen terkadang masih belum cukup karena bagi mereka bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja tetapi hasil panen harus dibagi dengan membayar uang sewa lahan. Hal itu belum termasuk untuk menutupi keperluan lainnya seperti membayar pupuk, membayar pestisida atau iuran lainnya. Taraf hidup masyarakat petani di Desa Rawang ini masih tergolong lemah karena tingkat pendapatan yang rendah sedangkan untuk pengeluaran yang digunakan sangat besar.

(55)

Menurut masyarakat di Desa Rawang ini sawit merupakan komoditi kedua dari desa ini, juga merupakan pendapatan kedua dari masyarakat disamping tanaman padi. Sebenarnya sawit lebih menjanjikan pendapatannya dibandingkan dengan padi karena masa penennya yang relatif cepat seperti 1(satu) bulan bisa 2-3 kali panen. Namun demikian keunggulan sawit lantas tidak menjadikan warga di desa tersebut mengganti lahan sawahnya dengan menanam sawit. Bagi mereka lahan sawah tetap menjadi prioritas utama mereka kalaupun mereka ingin memiliki lahan sawit mereka akan membeli lahan lain diluar dari desanya yang memang merupakan lahan khusus perkebunan.

Perkebunan coklat juga menjadi komoditi kedua, hampir sama dengan sawit namun produksi coklat yang ada di desa ini menurun drastis. Bagi sebagian besar rumahtangga petani di Desa Rawang ini coklat merupakan penghasilan mingguan bagi keluarga, karena panen coklat tidak sampai bulan-bulanan, tanaman coklat ini biasa ditanam di pekarangan rumah juga di bedengan sawah yang khusus dibuat untuk tanaman coklat. Tanaman coklat yang tumbuh di pekarangan dibiarkan tumbuh begitu saja hanya dirawat seadanya, tanaman ini selain diambil buahnya juga dijadikan teduhan. Tetapi belakangan ini masyarakat banyak yang mengganti tanaman coklatnya ke tanaman sawit menurut masyarakat tanaman coklat di desa ini banyak terserang hama sehingga buah yang dihasilkan tidak bagus sehingga tidak menguntungkan lagi.

(56)

petani yang setelah habis panen padi menggarap kembali sawah miliknya untuk ditanami sayuran. Tanaman sayuran yang ditanam petani desa umumnya bervariasi seperti bayam, pare, gambas, kacang panjang, kedelai, terung, cabai, mentimun dan jagung. Penanaman jenis sayuran ini tentu saja disesuaikan dengan harga jenis sayuran tertentu dipasaran yang memiliki harga relativ bagus.

2.10. Sistem Organisasi Kemasyarakatan

Organisasi yang ada di Desa Rawang Pasar IV umumnya berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat seperti kepartaian, kepemudaan, keagamaan dan LSM. Organisasi kepemudaan seperti PP (Pemuda Pancasila) diikuti oleh sebagian kecil kaula muda, organisasi keagamaan seperti Muhamadiyah merupakan salah satu organisasi agama islam dan kepartaian seperti PKS, P. Demokrat dan sebagainya.

(57)

memiliki hajat. Semua anggota yang terlibat dalam keanggotaan paguyuban ini dianggap sebagai sedulur yang harus tolong menolong.

Selain Organisasi tersebut didesa ini juga terdapat perkumpulan Kelompok Tani, di Desa Rawang Pasar IV sendiri ada sekitar 8 kelompok Tani yang namanya adalah sebagai berikut; Kelompok Tani Sehat, Kelompok Tani Sri Murni, Kelompok Tani Sinar Jati, Kelompok Tani Sri Rahayu, Kelompok Tani Dahlia, Kelompok Tani Mekar, Kelompok Tani Bakti dan Kelompok Tani Makmur. Adanya kelompok pertanian ini menjadikan masyarakat antar sesama petani menjadi peka terhadap lingkungan bahkan melalui perkumpulan kelompok tani seperti ini hubungan antar sesama warga masyarakat menjadi lebih dekat.

Organisasi dalam masyarakat Jawa selain dijadikan wadah sebagai kegiatan juga dijadikan sebagai pengerat hubungan silahturahmi, yakni dengan membentuk hubungan sosial antar sesama organisasi, juga terhadap masyarakat. disisi lain wadah-wadah organisasi ini membentuk jaringan-jaringan kekerabatan baru bagi mereka.

2.11. Bahasa

(58)

Penggunaan bahasa Jawa ini biasanya terjadi didalam lingkungan masyarakat baik dalam keluarga, perkumpulan dan ditempat umum lainya seperti pasar. Meskipun adakalanya dibarengi dengan penggunaan bahasa Indonesia namun penggunaan bahasa Jawa sudah menjadi kebiasaan sehari-hari (bahasa Ibu). Penggunaan bahasa Indonesia dipakai hanya sebatas pada sekolah ataupun pada saat pertemuan-pertemuan dan pada saat berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari kelompok etnik lainnya, dan terkadang juga etnik lain tersebut justru memakai bahasa Jawa untuk berkomunikasi.

2.12. Sarana dan Prasarana Desa

Sarana dan prasarana merupakan salah satu pendukung untuk berkembangnya suatu wilayah. Sarana yang dimiliki setiap wilayah adalah sarana umum (publik) seperti sarana komunikasi, sarana kesehatan (puskesmas dan posyandu), sarana pendidikan (sekolah), sarana keagamaan (tempat ibadah), sarana transportasi, sarana ekonomi (pasar tradisional “pekan/pajak”) dan seterusnya. Sedangkan yang meliputi prasarana umum yaitu prasarana yang menyangkut kebutuhan umum seperti adanya ruang publik untuk kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan kegiatan penunjang lainnya.

(59)

Berikut ini adalah tabel yang menerangkan sarana dan prasarana publik yang ada di Desa Rawang.

Tabel.7. Sarana dan Prasarana Publik Yang Ada di Desa Rawang Pasar IV

No Sarana Umum Jenis Unit Kondisi

Sumber: Data Olahan Kantor Desa Rawang Psr IV, 2009

(60)

penumpang tidak akan di temukan di desa ini yang ada hanya betor (becak motor) dan ini dikondisikan baik karena telah memadai sebagai alat trasportasi desa-kota.

(61)

BAB III

TRADISI NYUMBANG DALAM SIKLUS DAUR HIDUP MASYARAKAT JAWA DI DESA RAWANG

3.1. Filosofis Budaya Tradisi Nyumbang

Orang Jawa dalam kehidupannya baik pribadi maupun dalam bermasyarakat memiliki landasan pandangan dalam hidupnya14. Pandangan hidup seorang Jawa sudah ditanamkan dan terbentuk dalam keluarga yang telah membekali hidupnya dengan pandangan-pandangan tersebut. Dengan adanya pandangan hidup ini diharapkan dalam bermasyarakat dapat tercipta kehidupan yang harmonis dan selaras dengan irama kehidupan.

“Sepi pamrih ramein gawe, memayu hayuning buwono” adalah salah satu

filosofi dasar orang Jawa yang mampu menggambarkan cita-cita orang Jawa. “Sepi pamrih, memiliki arti jauh dari dorongan untuk hanya mengejar kepentingan sendiri. “Ramein gawe, berarti bergiat dalam hal melaksanakan kewajiban. Sementara “mamayu hayuning buwono, artinya ikut serta dalam memperindah dunia, konsep pemikiran ini menjadi etos kerja orang Jawa. Jika etos kerja tersebut diterapkan secara langsung, maka orang Jawa akan selalu memiliki ketentraman hati dalam melaksanakan segala kegiatannya dengan selalu menjaga kedekatan hubungannya dengan Pencipta-Nya, antar sesama dan dengan alam.

14

(62)

Berbicara mengenai kebudayaan Jawa juga akan selalu berada di dalam lingkaran defenisi keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Dalam diri orang Jawa akan selalu terpatri unsur kata harmoni, yang kemudian terpotret dalam wujud keramahan dalam tingkah pola orang Jawa sehari-harinya. Salah satu budaya yang menonjol dari etos kerja individu Jawa yang di dasari dari pandangan hidup mereka adalah tentang budaya guyub. Budaya guyub (kolektivistik) merupakan budaya yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat Jawa dimanapun mereka tinggal termasuk masyarakat Jawa di Desa Rawang. Dalam masyarakat Jawa Desa Rawang, guyub sendiri di artikan dengan keperdulian yang kemudian ditunjukan oleh sikap dan tindakan untuk membantu, dengan kata lain mempunyai pengertian perasaan suka rela untuk menggabungkan diri sehingga dicapai sebuah kekompakan dalam melakukan aktifitas kerja. Salah satu yang merupakan produk budaya guyub adalah tradisi nyumbang. Karena merupakan budaya guyub, maka tentu saja tradisi nyumbang berkaitan langsung dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Budaya guyub akan terlihat dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung yang artinya bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong

menolong (Suratno dan Astiyanto, 2009). Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan orang lain (manusia mahkluk sosial), oleh karena itu kita harus hidup saling tolong menolong.

Gambar

Tabel 1. Nama Desa, Jumlah Penduduk, KK dan Kepadatan.
Tabel.2. Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Golongan Usia dan Jenis
Tabel 3. Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa
Tabel 4. Penduduk Berdasarkan Agama
+5

Referensi

Dokumen terkait