• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGELOLAAN PENETASAN TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK MOJOSARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PENGELOLAAN PENETASAN TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK MOJOSARI"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGARUH PENGELOLAAN PENETASAN TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK MOJOSARI

Oleh Ana Sri Lestari

Penetasan telur merupakan suatu proses biologis yang kompleks untuk menghasilkan generasi baru dalam usaha untuk pengembangan ternak unggas yang berkesinambungan. Penetasan dapat dilakukan dengan metode alamiah (induk), metode buatan (mesin tetas) atau metode kombinasi. Berdasarkan pengalaman Kelompok Peternak Rahayu dengan metode kombinasi yaitu mengeramkan telur di induk kemudian dilanjutkan ke mesin tetas dapat menghasilkan fertilitas dan daya tetas yang tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pengaruh proses pengelolaan penetasan kombinasi pengeraman 7 dan 10 hari di entok kemudian dilanjutkan ke mesin tetas terhadap fertilitas, susut tetas (weight loss), daya tetas, dan bobot tetas telur itik mojosari dan (2) mengetahui pengaruh terbaik antara pengeraman 7 dan 10 hari di induk entok terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas telur itik mojosari.

Penelitian dilaksanakan selama 4 minggu pada 27 April--30 Mei 2012, bertempat di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran. Telur yang digunakan adalah telur itik mojosari sebanyak 160 butir dengan rata-rata bobot telur 66,70--67,27g.

Penelitian ini menggunakan 2 rancangan perlakuan, yaitu P1: Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas, P2: Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas, masing-masing perlakuan terdiri dari 20 satuan percobaan dan setiap satu satuan percobaan terdiri dari 4 butir telur. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t-student pada taraf nyata 5%.

(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, pendapatan, serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat, maka permintaan komoditas peternakan seperti telur dan daging dari tahun ke tahun semakin meningkat. Di lain pihak, daya produksi ternak lokal masih tergolong rendah sehingga target minimal konsumsi protein hewani asal ternak belum terpenuhi.

Itik merupakan salah satu komoditas ternak yang perlu ditingkatkan produksinya terutama sebagai penghasil telur dan daging. Sumbangan ternak itik sebagai unggas penghasil daging masih rendah yaitu hanya 0,94% dari 1.450.700 ton kebutuhan daging nasional (Direktorat Jendral Peternakan , 2001).

(3)

dikembangkan sebagai usaha ternak itik komersial, baik pada lingkungan tradisional maupun intensif.

Namun, kendala yang dihadapi oleh peternak pada umumnya adalah sistem perkembangbiakan sehingga tingkat produksi itik masih rendah. Untuk

memproduksi atau memenuhi kebutuhan daging dan telur itik maka dibutuhkan suatu cara pengembangan populasi itik yang terus-menerus salah satunya adalah penetasan.

Penetasan telur merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki peternak pembibit itik. Keterampilan yang baik akan sangat membantu kualitas hasil tetasan. Dalam tata laksana penetasan telur itik, saat ini dilakukan dengan dua cara yaitu cara traditional (menggunakan ayam / entok) yang sedang mengeram dan cara teknologi (mesin tetas).

Penetasan dengan menggunakan mesin tetas prinsip dasarnya adalah menciptakan suasana yang sesuai dengan kondisi induk unggas pada saat mengerami telurnya. Faktor-faktor yang terpenting dalam kerja mesin tetas adalah pengaturan suhu, kelembapan, sirkulasi udara, dan pemutaran telur (Sudaryani dan Santosa, 2001). Semua faktor tersebut akan menentukan feritilitas dan daya tetas telur yang akan ditetaskan.

Berdasarkan pengalaman Kelompok Tani Ternak Rahayu Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, penetasan telur itik yang menggunakan mesin tetas, fertilitas dan daya tetas nya sekitar 50--80%.

(4)

dimasukkan ke dalam mesin tetas. Cara ini menunjukkan hasil yang lebih baik dengan fertilitas dan daya tetas yang dihasilkan mencapai 90%. Namun untuk susut tetas (weight loss) dan bobot tetas, belum menjadi perhatian oleh peternak, untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perbandingan lama waktu pengeraman 7 dan 10 hari dengan induk (entok) yang dilanjutkan dengan mesin tetas terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengelolaan penetasan kombinasi pengeraman 7 dan 10 hari di entok kemudian dilanjutkan ke mesin tetas terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas telur itik mojosari serta mengetahui pengaruh terbaik antara pengeraman 7 dan 10 hari terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas telur itik mojosari.

C. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak itik mengenai perbandingan sistem pengelolaan penetasan yang mampu

menghasilkan fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas yang lebih baik.

D. Kerangka Pemikiran

(5)

mojosari. Itik mojosari merupakan jenis itik lokal yang sudah dipelihara oleh masyarakat sejak lama. Hanya saja pengalaman tersebut belum dapat menjadi indikasi keberhasilan peternak dalam beternak itik sehingga menyebabkan daya produksi ternak lokal masih tergolong rendah.

Penetasan telur merupakan suatu proses biologis yang kompleks untuk menghasilkan generasi baru dalam usaha untuk pengembangan ternak unggas yang berkesinambungan (Setiadi, et al., 1992).

Penetasan telur itik dapat dilakukan dengan metode alamiah yaitu dengan bantuan induk lain (entok), atau dengan metode buatan (mesin tetas). Baik penetasan secara alami maupun dengan buatan semuanya memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Terlepas dari semua itu, baik penetasan alami maupun buatan diharapkan dapat menghasilkan tingkat fertilitas, daya tetas, serta bobot tetas yang tinggi. Namun, untuk keseragaman bobot tetas anak itik umur sehari Day Old Duck (DOD) di kalangan peternak belum memiliki standar bobot tetas seperti pada ayam ras. Menurut Hasan, et. al., (2005) bobot tetas berkorelasi positif dengan bobot telur tetas. Semakin besar berat telur tetas maka semakin besar pula bobot tetas yang dihasilkan. Untuk itu seleksi telur tetas lebih dulu diutamakan pada bobot telur karena akan memengaruhi bobot awal DOC (Rasyaf, 1998).

(6)

kebutuhan suhu, kelembapan, pemutaran telur, dan sebagainya melalui tingkah laku entok selama penetasan. Namun, penetasan alami menggunakan entok juga memiliki kelemahan yaitu kapasitas yang sangat terbatas, memerlukan biaya untuk memelihara entok, resiko kematian entok akibat terlalu lama mengeram atau penyakit lainnya, serta kematian embrio dan DOD yang tinggi jika faktor kebersihan induk tidak diperhatikan (Setiadi, et al., 1992).

Pada prinsipnya penetasan telur dengan alat tetas buatan merupakan tiruan dari sifat-sifat alamiah unggas saat mengeram. Penetasan dengan cara ini sangat tergantung dari manajemen penetasan yang dilakukan oleh peternak. Menurut ketua Kelompok Peterrnak Rahayu Desa Sidodadi, penetasan telur itik mojosari yang dilakukan 100% menggunakan mesin tetas tingkat keberhasilannya yaitu 50--80%. Menurut Riyanto (2002), beberapa faktor memengaruhi keberhasilan penetasan dengan mesin tetas antara lain pengaturan suhu, kelembapan, sirkulasi udara, pemutaran telur, dan peneropongan telur, sehingga dibutuhkan

keterampilan khusus untuk melakukan penetasan secara buatan.

(7)

masa kritis pertama. Umur 7 hari pengeraman sebenarnya embrio juga telah melewati masa kritis pertama. Namun, pada umur 10 hari organ-organ dalam maupun jaringan luar telah terbentuk dan hampir mendekati sempurna

dibandingkan dengan 7 hari sehingga goncangan-goncangan dan perlakuan sebelum telur dimasukkan ke mesin tetas tidak akan memengaruhi pertumbuhan embrio.

Penurunan daya tetas dapat disebabkan oleh tingginya kematian embrio dini. Kematian embrio tidak terjadi secara merata selama masa pengeraman telur. Sekitar 65% kematian embrio terjadi pada dua fase masa pengeraman yaitu pada fase awal, puncaknya terjadi pada hari ke-4, dan fase akhir, puncaknya terjadi pada hari ke-19 (Jassim, et al., 1996). Lebih jauh Christensen (2001) melaporkan bahwa kematian embrio dini meningkat antara hari ke-2 dan ke-4 masa

pengeraman.

Menindak lanjuti pengalaman peternak di Desa Sidodadi, maka penulis tertarik untuk mengombinasikan dua sistem penetasan tersebut sebagai satu rangkaian proses penetasan dengan lama pengeraman di induk selama 7 dan 10 hari .

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah

(8)
(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Itik Mojosari

Itik lokal Indonesia dikenal sebagai keturunan itik Indian Runner yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Beberapa bangsa itik lokal antara lain: itik alabio (Anas platyrhyncos borneo) di Kalimantan Selatan, itik bali (Anas sp) di pulau Bali, itik tegal (Anas javanica) di Jawa Tengah dan itik mojosari di Jawa Timur (Sarengat, 1989). Menurut Suharno dan Amri (2003), salah satu itik lokal di Indonesia yang terkenal adalah itik mojosari. Itik mojosari berasal dari Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur.

Itik mojosari memiliki bentuk tubuh tinggi langsing menyerupai bentuk botol, dan dapat berdiri tegak, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil dari itik tegal. Warna bulu itik jantan dan betina hampir sama yaitu berwarna kemerahan dengan variasi warna cokelat, hitam, dan putih dengan paruh dan kaki berwarna hitam,

(10)

Sumber: Suharno dan Amri (2003)

Gambar 1. Itik mojosari

Menurut Whendrato dan Madya (1998), berat badan itik mojosari dewasa rata-rata adalah 1,7 kg, konsumsi ransum rata-rata 130--170 g per hari, umur dewasa kelamin rata-rata 175 hari, dan masa produksi rata-rata 11 bulan per tahun. Menurut Purna (1999), rata-rata umur dewasa kelamin itik mojosari dan itik tegal berturut-turut dicapai pada umur 201,19 ± 20,65 hari dan 207,50 ± 20,58 hari dengan kisaran 161--238 hari. Selanjutnya Wahyuni (1989) menyatakan bahwa rata-rata umur itik mojosari saat memasuki masa produksi adalah 156,17 ± 4,19--161,42 ± 0,03 hari. Hal ini lebih lambat dari yang dilaporkan oleh Hardjosworo, et al., (1980) yang menyatakan bahwa umur itik mojosari saat memasuki masa produksi yaitu sekitar 145 hari.

(11)

jika dipelihara secara intensif dengan sistem kandang tanpa air produksinya bisa mencapai 265 butir per ekor per tahun dengan perbandingan jantan dan betina (sex ratio) yaitu 1 : 10 dan dipilih itik yang berproduksi tinggi. Perawatan yang baik serta pemberian pakan yang cukup, sekitar 80% dari jumlah itik yang dipelihara akan berproduksi. Itik mojosari juga memiliki keunggulan dengan masa produksi yang lebih lama, jika dibandingkan dengan itik lokal yang lain (Suharno dan Amri, 2003).

B. Manajemen Penetasan

Menurut Setiadi, et al., (1992), penetasan telur merupakan suatu proses biologis yang kompleks untuk menghasilkan generasi baru dalam usaha untuk

mempertahankan kelangsungan hidup ternak unggas yang berkesinambungan. Metode penetasan telur merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh para peternak pembibit agar dapat mencapai hasil tetasan semaksimal mungkin baik kualitas maupun kuantitas.

Menurut Sudaryani (2003), dalam menetaskan telur perlu diperhatikan hal-hal yang menunjang keberhasilan dalam menetaskan. Telur yang baik jika ditetaskan akan menghasilkan anak itik yang baik pula, untuk itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. telur, harus dari induk yang dikawini;

(12)

3. kulit telur, permukaan kulit telur rata, tidak ada cacat, tidak terlalu tebal maupun tipis dan tidak boleh retak sedikitpun;

4. umur telur, telur yang akan ditetaskan harus masih segar sebaiknya berumur kurang dari 7 hari. Apabila telur terlalu lama disimpan dapat mengakibatkan kematian pada embrio. Umur telur yang akan ditetaskan sebaiknya

mempunyai umur yang seragam, bila tidak seragam maka hasil tetasnya tidak serempak;

5. bobot telur, bobot telur itik yang baik untuk ditetaskan berkisar antara

60--65 g, bobot telur yang seragam akan menghasilkan anak itik yang seragam besarnya;

6. kebersihan telur tetas, telur yang akan ditetaskan hendaknya dalam kondisi bersih, telur yang kotor dan terkontaminasi bakteri dapat mengakibatkan telur busuk dan akan menggagalkan penetasan.

Hampir semua bangsa itik domestikasi yang dikenal sekarang, tidak lagi memiliki sifat mengeram. Hilangnya sifat mengeram ini disebabkan oleh proses

(13)

1. Penetasan alamiah (menggunakan entok)

Entok (Cairina moschata) merupakan salah satu unggas air yang dibudidayakan pada tingkat petani tradisional. Entok sebagai salah satu ternak itik domestikasi yang tidak hanya menghasilkan telur dan bulu namun juga dikenal sebagai mesin penetas alami. Entok berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang sekarang dikenal berasal dari upaya seleksi yang dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Dari seleksi ini dihasilkan entok jantan dengan berat badan sekitar 5--5,5 kg dan entok betina dengan berat badan ekitar 2,5--3 kg. Entok betina mulai bertelur pada usia 6--7 bulan. Produksi telurnya sekitar 90--120

butir/tahun. Dalam satu periode bertelur, entok betina bisa menghasilkan telur sekitar 15--18 butir (Simanjuntak, 2002).

Menurut penelitian Kusmidi (2000) produksi telur entok yang dipelihara secara tradisional di Kabupaten Cianjur sebanyak 10,30--10,52 butir/ekor/periode. Wibowo, et al., (1995) melaporkan di Kabupaten Kerawang, produksi telur induk entok yang dipelihara secara semi intensif/periode produksi, rata-rata 10 butir dengan variasi 8--13 butir dan jarak bertelur kembali setelah penetasan pada induk yang dipisahkan dengan anaknya yaitu 22,4--22,7 hari sedangkan pada induk yang mengasuh anaknya yaitu 50,8--51,8 hari.

(14)

Entok dikenal sebagai mesin tetas alami karena induk entok lokal betina

mempunyai sifat keibuan yang sangat baik. Induk ini mampu merawat anak-anak entok dengan penuh kasih sayang, walaupun yang dirawat bukan anaknya sendiri atau anak titipan dari induk entok lain. Induk betina entok juga memiliki sifat mengeram yang cukup baik. Ia mampu mengeram selama berturut-turut sampai 3 periode. Artinya setiap telur yang dierami menetas, bisa langsung diganti dengan telur entok baru sampai 2 periode. Bahkan pernah terjadi, entok mengeram hingga 5 periode sampai akhirnya entok tersebut mati ketika sedang mengeram karena kelelahan (Simanjuntak, 2002).

Entok mempunyai kemampuan untuk menetaskan 20 butir telur itik dalam sekali penetasan (Suharno dan Amri, 2003). Lasmini, et al., (1992) juga menyatakan bahwa entok dapat mengerami telur itik sebanyak 20--30 butir/ekor/periode pengeraman. Keberhasilan penetasan dengan cara ini berkisar 80--90 % (Suharno dan Amri, 2003). Lasmini, et al., (1992) menyatakan bahwa penetasan alami dengan menggunakan entok sebagai pengeram mendapatkan hasil yang lebih baik daripada penetasan buatan. Hal ini sesuai dengan kondisi alamiah entok yang dapat mengatur sendiri kebutuhan suhu, kelembapan, pemutaran telur, dan sebagainya melalui tingkah laku entok selama penetasan. Namun, kelemahannya adalah jumlah telur yang dapat ditetaskan sangat terbatas dan harus bersamaan dengan waktu mengeram entok (Bambang, 1988).

2. Penetasan buatan (menggunakan mesin tetas)

(15)

prinsip kerja dari alat dan proses penetasannya benar-benar ditiru dari keadaan aslinya di alam (Zumrotun, 2006).

Keuntungan jika menggunakan mesin penetas yaitu telur yang ditetaskan lebih banyak dan dapat dilakukan setiap saat. Namun kelemahannya, biaya untuk membeli mesin penetas cukup besar dan membutuhkan keterampilan dalam pelaksanaan penetasan (Purba, 1981).

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses penetasan buatan adalah suhu, kelembapan, ventilasi dari inkubator, pemutaran telur di dalam inkubator, serta peneropongan telur (candling) (Rasyaf, 1998).

a. Suhu

Suhu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur itik yaitu sekitar 100--101,1o F (Rasyaf, 1998). Menurut Suharno dan Amri (2003), suhu mesin tetas pada minggu pertama sebesar 101,5oF (38,6 oC), pada minggu kedua sebesar 102 oF (38,9 oC), pada minggu ketiga sebesar 102,5 oF (38,6 oC), dan pada minggu keempat 103 oF (39,4 oC).

(16)

b. Kelembapan

Kelembapan yang dibutuhkan pada penetasan umur 1--25 hari adalah yang ideal antara 60--70%, sedangkan pada hari ke-26 sampai menetas membutuhkan lebih tinggi yaitu 75%. Kelembapan yang terlalu rendah cenderung menyebabkan terlambatnya saat penetasan karena penguapan telur berlangsung lebih cepat sehingga mengurangi suhu telur. Kelembapan mesin tetas yang terlalu tinggi mengakibatkan terhambatnya penguapan air di dalam telur (Paimin, 2003).

c. Ventilasi dari inkubator

Ventilasi berperan dalam pengaturan pergerakan udara selama penetasan. Pergerakan udara sangat penting bagi embrio yang sedang berkembang untuk mendapatkan suplai oksigen yang tetap melalui udara segar. Pergerakan udara tidak boleh terlalu kencang karena karbon dioksida (CO2) diperlukan untuk

pergerakan kalsium dari cangkang ke dalam embrio. Apabila pergerakan udara tinggi maka CO2 tidak ada yang terbentuk (Blakely dan Bade, 1998).

Pengukuran O2 secara akurat sangat sulit dilakukan, jadi CO2 menjadi ukuran

dalam mesin. CO2 yang tinggi menunjukkan rendahnya O2. Direkomendasikan

CO2 di dalam setter maksimum 0,3--0,4%. Jika ditemui lebih dari 0,5%

menandakan buruknya sistem ventilasi dan berdampak negatif terhadap daya tetas. Embrio muda memiliki tingkat toleransi CO2 yang lebih rendah

(17)

d. Pemutaran telur (turning)

Pemutaran telur mempunyai tujuan untuk memberikan panas secara merata pada permukaan telur. Selain itu, untuk mencegah agar embrio tidak menempel pada salah satu sisi kerabang telur. Pemutaran telur dilakukan dengan mengubah posisi telur dari kiri ke kanan atau sebaliknya, untuk telur dengan posisi mendatar yang bawah diputar menjadi di atas, apabila telur diberdirikan bagian yang tumpul harus di atas. Posisi normal badan embrio terletak mengikuti sumbu panjang sebutir telur dengan paruh berada di bawah sayap kanan. Ujung paruh

menghadap ke rongga udara telur yang terletak di ujung tumpul telur (Srigandono, 1998).

Setioko (1992) menyatakan bahwa pemutaran telur itik dilakukan 3 atau 5 kali sehari dengan interval waktu yang sama. Bila mesin inkubator mempunyai alat pemutar telur otomatis, maka pemutaran dapat dilakukan setiap 1 atau 2 jam sekali. Menurut Simanjuntak (2002), pemutaran telur sebaiknya 4 kali sehari sampai hari ke 28 sebab kegagalan penetasan sering terjadi akibat malposition.

Besarnya sudut dan frekuensi pemutaran telur dapat memengaruhi perkembangan embrio telur tetas. Pemutaran telur yang benar berperan positif terhadap volume cairan subembrionik dan pembentukan rongga udara telur, sekaligus pemanfaatan protein oleh embrio (Bogenfurst, 1995).

e. Peneropongan telur (candling)

(18)

penetasan berlangsung yaitu pada hari ke-1, ke-7 dan hari ke-25 (Rasyaf, 1998). Menurut Suharno dan Amri (2003), peneropongan (candling) dilakukan 3 kali pada har ke-7, 14, dan 21 selama masa penetasan untuk mengetahui

perkembangan embrio. Peneropongan pada minggu pertama, ciri telur yang fertil dapat diketahui dengan mengamati perkembangan pembuluh darah yang

memencar dari sentrumnya. Pada peneropongan minggu ke-2, telur yang fertil menunjukkan gambaran gelap. Pada peneropongan minggu terakhir, terdapat bayangan gelap kecuali rongga udara yang telah menempati ¼ bagian

(Srigandono, 1998).

3. Penetasan kombinasi

Metode penetasan kombinasi adalah metode penetasan campuran antara mesin tetas dan cara alamiah (pengeraman dengan entok). Bisa juga kombinasi antara mesin tetas dan cara sekam padi seperti pada penelitian yang dilaporkan

oleh Setioko dan Rohaeni (2002).

Brahmantiyo dan Prasetyo (2002) menyatakan bahwa untuk itik alabio yang ditetaskan dengan menggunakan mesin tetas rata-rata daya tunas dan daya

tetasnya yaitu 79,18% dan 48,98%. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Setioko dan Rohaeni (2002), rata-rata daya tunas dan tetas dari itik alabio yang ditetaskan dengan menggunakan sekam padi masing-masing 88,08% dan 67,16%. Daya tunas/fertilitas yang dihasilkan rata-rata tinggi karena peternak sudah

berpengalaman dalam hal memelihara dan memilih telur, sedangkan penetasan yang dilakukan dengan cara modifikasi antara mesin tetas dan balai-balai

(19)

cara sekam padi yaitu sekitar 5--10%. Namun, berdasarkan pengamatan untuk perbedaan daya tunasnya yaitu antara 1--3%.

C. Fertilitas

Fertillitas adalah persentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang dieramkan tanpa memperhatikan apakah telur itu dapat atau tidak dapat menetas (Card dan Neshiem, 1972). Menurut Srigandono (1996), fertilitas adalah perbandingan antara banyaknya telur yang ditunasi dengan banyaknya semua telur yang dihasilkan. Fertilitas dapat diketahui dengan candling (peneropongan telur). Sampai saat ini belum dapat ditemukan suatu cara yang tepat dan menguntungkan untuk usaha penetasan telur dalam menentukan tingkat daya tunas telur kecuali meneropong. Namun, dengan metode tersebut tidak didapat fertilitas yang akurat karena beberapa telur yang embrionya mati sebelum ditelurkan akan memberikan hasil yang infertil dalam pengujian.

Faktor yang memengaruhi fertilitas adalah sperma, ransum, umur pembibit, musim dan suhu, serta waktu perkawinan (Rasyaf,1998). Yuwanta (1983) juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi fertilitas yaitu kualitas pejantan, umur induk, produksi, dan kualitas pakan.

Makanan induk yang kekurangan vitamin E akan menyebabkan rendahnya

(20)

Perbandingan jantan dan betina perlu diperhatikan untuk mendapatkan fertilitas yang tinggi. Untuk mendapatkan fertilitas yang tinggi pada itik, dianjurkan agar 6 ekor itik betina dapat dikawini oleh 1 ekor pejantan (Rasyaf, 1998). Menurut Tai (1985), perbandingan jantan dan betina yang baik adalah 1:7 atau 1:5 (Setioko, et al., 1994). Pada perkawinan untuk menghasilkan itik serati (mule ducks), yaitu perkawinan antara entok jantan dan itik betina, perbandingan jantan dan betinanya adalah 1 : 2,5 karena entok jantan yang besar menyebabkan kesulitan dalam kawin alam, sehingga dibutuhkan pejantan yang lebih banyak (Gvaryahu, et al., 1984). Listiyowati dan Roospitasari (1995) juga menyatakan bahwa jika jumlah betina terlalu banyak, maka banyak telur yang tidak terbuahi atau infertil sehingga tidak bisa digunakan sebagai telur tetas.

Semakin tua umur induk, fertilitas semakin menurun. Ayam pada umur 43-- 46 minggu didapatkan fertilitas sebesar 91,23%, umur 47--50 minggu fertilitasnya sebesar 85,99%, dan pada umur 51--54 minggu fertilitasnya sebesar 83,22% (Fasenko, et al., 1992). Brahmantiyo dan Prasetyo (2002) melaporkan bahwa fertilitas telur itik Alabio dan Mojosari masing-masing 79,18% dan 74,97%.

D. Susut Tetas (Weight loss)

(21)

tinggi di dalam mesin tetas mengakibatkan perbedaan suhu antara embrio dan mesin tetas.

Pengeluaran panas lebih banyak melalui evaporasi dan mengakibatkan kehilangan berat telur yang lebih besar sebelum menetas. Persentase kehilangan berat telur selama penetasan berlangsung mempunyai hubungan yang terbalik dengan kelembapan penetasan. Kelembapan 43% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,60%, kelembapan 55% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,54% dan kelembapan 69% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,40% (Buhr dan Wilson, 1991).

Penyusutan berat telur merupakan perubahan yang nyata di dalam telur. Selain itu, air adalah bagian terbesar dan unsur biologis di dalam telur yang sangat menentukan proses perkembangan embrio di dalam telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Buhr dan Wilson (1991) melaporkan penyusutan berat telur tampak diakibatkan oleh berkurangnya persediaan cairan allantois. Menurut Shanawany (1987), selama perkembangan embrio di dalam telur, penyusutan telur sampai menetas menyusut sebesar 22,5--26,5%.

(22)

Tebal kerabang telur sedikit memengaruhi berkurangnya berat telur selama penetasan. Kerabang telur adalah bagian yang harus dilalui oleh gas dan air selama proses penyusutan terjadi. Kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur kurang terpengaruh oleh suhu penetasan sehingga penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf, 1998). Koswara (1997) menyatakan bahwa kerabang telur dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang terdiri dari 90% protein dan sedikit lemak. Fungsi kutikula ini untuk mencegah penetrasi mikroba dan

penguapan air terlalu cepat.

Pori-pori kerabang telur unggas merupakan saluran komunikasi yang penting antara perkembangan embrio di dalam telur dengan lingkungan di luar telur (Rahn, et al.,1987). Kerabang telur mengandung rata-rata lebih dari 7.000 pori-pori dan berukuran sempit 0,01--0,07 mm (Oluyemi dan Robert, 1980), namun jumlah pori-pori tersebut adalah bervaiasi (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Peebles dan Brake (1985) melaporkan bahwa bagian ujung telur yang tumpul mempunyai konsentrasi pori-pori yang lebih besar daripada di bagian tengah ataupun di bagian ujung yang runcing, sehingga dengan lebih besarnya

konsentrasi pori-pori tersebut akan memberikan kesempatan gas dan air menguap lebih banyak daripada bagian ujung yang runcing. Semakin banyak pori-pori kerabang telur laju susut tetas yang terjadi akan semakin lebih cepat.

(23)

E. Daya Tetas

Daya tetas dapat diartikan dengan dua cara: (1) Daya tetas adalah banyaknya telur yang menetas berdasarkan jumlah telur yang dieramkan dan dinyatakan dalam persen, dan (2) daya tetas adalah banyaknya telur yang menetas berdasarkan jumlah telur yang fertil (Card dan Neshiem, 1972).

Daya tetas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, kondisi penyimpanan telur, kebersihan telur, dan kondisi pada saat penetasan. Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa telur yang disimpan pada suhu 20--35oC masih dapat

berkembang terbatas, tetapi kemampuan selanjutnya untuk tetap hidup sangatlah rendah. Kondisi terbaik embrio dapat bertahan hidup adalah disimpan pada suhu 11--13oC (Rose, 1997).

Sebelum ditetaskan sebaiknya telur disimpan pada suhu 12oC dengan kelembaban relatif sekitar 70--75% (Lyons, 1998). Menurut Kortlang (1985), suhu

penyimpanan yang ideal berkisar antara 10--20°C. Namun, bila tidak memiliki lemari pendingin, telur dapat disimpan di suhu kamar yang sejuk dengan cukup ventilasi.

Baglaicca, et al., (1995) melaporkan bahwa pada ayam, selama periode

(24)

juga dapat berpengaruh pada viabilitas embrio selama penetasan (Lundy, 1969; Mayes dan Takeballi, 1984; Meijerhof, 1992).

Penyimpanan telur hendaknya tidak melebihi 1 minggu setelah telur dikeluarkan dari kloaka (Karnama,1996). Telur disimpan 3 hingga 4 hari untuk mendapatkan hasil penetasan yang baik. Makin lama disimpan, kesempatan pertukaran gas dan udara makin besar dan penguapan makin cepat sehingga terjadi penyusutan berat telur dan kantong udara makin besar. Bila hal ini terjadi daya tetas telur sudah berkurang (Bambang, 1988). Hasil yang paling baik diperoleh pada penyimpanan kurang dari 4 hari, namun untuk alasan komersial, telur itik dapat disimpan selama 7 hari. Penyimpanan hingga 14 hari dapat dilakukan dengan syarat telur disimpan dalam kantong plastik cryovac tertutup dan dijenuhi dengan nitrogen pada suhu 11--12°C (Kortlang, 1985) .

Studi yang dilakukan oleh Kortlang (1985) menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu tinggi (30°C) cocok untuk jangka pendek 1--3 hari, sedangkan

penyimpanan pada suhu rendah (15°C) dapat digunakan pada penyimpanan 5--7 hari seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 . Daya tetas telur itik yang disimpan pada suhu dan periode penyimpanan yang berbeda

Daya tetas (%)

Suhu penyimpanan (°c) Penyimpanan (1--3 hari) Penyimpanan (5--7 hari)

15 73,4 76,2

20 76,3 75,0

25 74,9 72,6

30 77,1 36,3

(25)

Indarwati (1991) menyatakan bahwa posisi telur dengan ujung tumpul di atas selama penetasan menghasilkan daya tetas yang lebih tinggi daripada dengan posisi horisontal dan ujung runcing di atas.

Telur yang kotor dapat menyebabkan rendahnya daya tetas karena

mikroorganisme dapat menyebabkan daya tetas jelek dan banyak telur busuk (Lyons, 1998). Menurut Setiadi, et al., (1992), tingginya tingkat kematian embrio salah satunya diduga karena faktor kebersihan telur selama proses penetasan. Selanjutnya menurut Setioko (1992), telur yang akan ditetaskan harus bersih dari berbagai kotoran yang melekat pada kerabang. Telur yang kotor akan mudah terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui pori-pori kerabang yang menyebabkan kematian embrio.

Penurunan daya tetas dapat disebabkan oleh tingginya kematian embrio dini. Kematian embrio tidak terjadi secara merata selama masa pengeraman telur. Sekitar 65% kematian embrio terjadi pada dua fase masa pengeraman: pada fase awal, puncaknya terjadi pada hari ke-4, fase akhir, puncaknya terjadi pada hari ke-19 (Jassim et al, 1996).

Lebih jauh Christensen (2001) melaporkan bahwa kematian embrio dini

meningkat antara hari ke-2 dan ke-4 masa pengeraman. Brahmantiyo dan Prasetyo (2002) melaporkan bahwa daya tetas untuk itik alabio dan mojosari masing-masing 48,98 dan 40,87%.

E. Bobot Tetas

(26)

dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan akibat pengaruh anak itik yang masih basah bulunya bila ditimbang akan memengaruhi bobotnya (Jayasamudra dan Cahyono, 2005).

Kaharudin (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi bobot tetas yaitu bobot telur tetas. Sudaryani dan Santoso (1994) menyatakan bahwa bobot telur tetas merupakan faktor utama yang memengaruhi bobot tetas, selanjutnya dinyatakan bobot tetas yang normal adalah 2/3 dari bobot telur dan apabila bobot tetas kurang dari hasil perhitungan tersebut maka proses penetasan bisa dikatakan belum berhasil. Didukung oleh Rusandih (2001) dari hasil

penelitiannya melaporkan bahwa itik mojosari dengan kisaran bobot telur 39,10--79,55 g menghasilkan bobot tetas berkisar antara 26,52--44,42 g.

(27)

Menurut North dan Bell (1990), faktor yang memengaruhi bobot telur adalah strain, umur pertama bertelur, suhu lingkungan, ukuran pullet pada suatu

(28)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 minggu pada 27 April--30 Mei 2012, bertempat di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

a) telur itik mojosari umur 4 hari sebanyak 160 butir. Telur tetas ini diperoleh dari Kelompok Peterrnak Campur Tani, Desa Wonokrio, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu. Sistem pemeliharaan induk secara intensif dengan rasio jantan dan betina yaitu 1:23. Itik jantan dan betina masing-masing berumur 15 bulan dan 12 bulan dan umur induk pertama kali bertelur yaitu umur 6 bulan. Ransum yang diberikan terdiri dari dedak, konsentrat, serta keong dan pemberiannya yaitu sekitar 200 g/ekor/hari;

(29)

c) air, digunakan untuk mengatur kelembapan di dalam mesin tetas; d) glutacap®, merupakan desinfektan yang di dalamnya mengandung

glutaraldehide 32%, benzakonium chloride 22%, dan isopropanol 6%. Glutacap® digunakan untuk mendesinfeksi ruang penetasan terhadap kontaminasi virus, bakteri, jamur, dan mycoplasma.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain:

a) sebuah mesin tetas semi otomatis berkapasitas 1.000 butir yang terdiri dari 12 rak dan setiap rak berukuran 70x40 cm, dengan sumber pemanas menggunakan lampu pijar;

b) kawat kasa sebagai penyekat telur antar perlakuan;

c) keranjang, untuk meletakkan dan membawa telur pada saat seleksi; d) timbangan digital kapasitas 1 kg dengan ketelitian 0,01 untuk menimbang

bobot telur dan DOD;

e) busa, digunakan untuk membersihkan telur;

f) candler (senter) untuk meneropong telur, fertil atau tidak;

g) termohygrometer untuk mengukur suhu dan kelembapan di dalam mesin tetas; h) nampan, untuk tempat air yang akan digunakan sebagai pengatur kelembapan

(30)

C. Metode Penelitian

1. Rancangan perlakuan

Penelitian ini menggunakan uji t yang terdiri dari 2 perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari 20 satuan percobaan dan setiap satu satuan percobaan terdiri dari 4 butir telur.

2. Perlakuan

Susunan perlakuannya sebagai berikut:

P1 : Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

P2 : Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

3. Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t student pada taraf nyata 5% (Steel dan Torrie, 1995).

D. Pelaksanaan Penelitian

1. Tahap persiapan

(31)

kebersihan, warna, ketebalan kerabang serta bentuk telur (oval). Ketebalan kerabang diukur dengan melihat warna kerabang telur (hijau muda kebiruan); b) membersihkan telur. Setelah diseleksi telur dibersihkan dengan menggunakan

air hangat yang dicampur desinfektan, dan cara pembersihannya menggunakan busa;

c) menimbang dan menandai telur. Penimbangan dilakukan untuk mendapatkan data bobot awal telur dan penandaan bertujuan agar jelas masing-masing perlakuan;

d) membuat sekat-sekat menggunakan kawat kasa untuk tiap perlakuan pada mesin tetas; Sekat perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4;

e) menyiapkan mesin tetas. Mesin tetas yang akan digunakan dicek kebersihan, suhu dan kelembapannya, selain itu mesin tetas juga disterilkan menggunakan glutacap® 3 hari sebelum digunakan. Mesin tetas dinyalakan dan diatur suhu dan kelembapannya 24 jam sebelum telur masuk ke mesin tetas;

f) memilih dan menandai entok yang akan digunakan untuk proses penetasan alami. Induk entok yang akan digunakan pada proses pengeraman ini adalah induk entok yang memiliki bobot tubuh dengan kisaran 1,5--2 kg.

2. Pelaksanaan penetasan

(32)

b) memasukkan telur ke mesin tetas. Agar diperoleh umur yang sama saat di dalam mesin tetas, dan waktu menetas juga bersamaan, maka telur dengan perlakuan P1 dimasukkan 3 hari lebih awal dari perlakuan P2 sehingga pada saat telur perlakuan P2 masuk ke dalam mesin tetas, baik telur P1 maupun telur P2 sama-sama berumur 10 hari;

c) candling. Sebelum telur dimasukkan ke dalam mesin tetas, terlebih dahulu telur di candling untuk melihat telur yang fertil dan yang infertil. Candling dilakukan sekali lagi pada saat telur masing-masing perlakuan berumur 20 hari, untuk mendapatkan data fertilitas. Candling dilakukan dengan menggunakan senter dan dilakukan pada malam hari agar lebih jelas. Data jumlah telur yang fertil masing-masing perlakuan untuk candling pertama dan kedua dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

d) pengontrolan harian. Pengontrolan harian dilakukan terhadap suhu,

kelembapan, dan pemutaran telur. Suhu diatur untuk minggu pertama hingga minggu ke-4 sebesar 38,6--39,4 oC, sedangkan untuk kelembapan pada umur 1--25 hari berkisar antara 60--70%, dan pada umur 26 hari sampai menetas pengaturan kelembapan ditingkatkan menjadi 75%. Pemutaran telur dilakukan 3 kali sehari pada pukul 08.00; 13.00; dan pukul 18.00 WIB, hingga hari ke-25 proses penetasan;

(33)

dilakukan bersamaan dengan waktu candling supaya tidak mengganggu proses menetasnya DOD;

f) menimbang DOD. Setelah telur-telur menetas dilakukan penimbangan DOD untuk mendapatkan data bobot tetas. Penimbangan dilakukan ketika bulu-bulu DOD telah mengering.

E. Parameter Penelitian

1. Fertilitas

Fertilitas adalah persentase telur fertil dari sejumlah telur yang digunakan dalam suatu penetasan (Suprijatna, et al., 2005).

Jumlah telur fertil

Fertilitas = X 100% Jumlah telur yang ditetaskan

2. Susut tetas (weight loss)

Susut tetas adalah bobot telur yang hilang selama penetasan berlangsung sampai telur menetas (Rusandih, 2001).

Bobot awal - bobot akhir

(%) Susut tetas = X 100% Bobot awal telur

3. Daya tetas

Daya tetas diartikan sebagai persentase telur yang menetas dari telur yang fertil (Suprijatna, et al., 2005).

Jumlah telur yang menetas

(34)

4. Bobot tetas

(35)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kelompok Ternak

Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Kelompok ini adalah Pusat Pembibitan Unggas Pedesaan (Village Breeding

Center) Desa Sidodadi yang terbagi menjadi 3 kelompok: Rahayu I, Rahayu II, dan Rahayu III. Kelompok Rahayu III merupakan kelompok pembibitan itik yang di ketuai oleh Bapak M. Yasri yang digunakan sebagai tempat penelitian ini.

Penetasan ini bermula dari ide Bapak Yasri yang ingin mengembangkan populasi ternak itik di Desa Sidodadi sehingga beliau mengajukan sebuah proposal ke suatu instansi untuk pengadaan bibit itik dan mesin tetas. Dari hasil proposal tersebut diperoleh bibit itik 550 ekor dan 4 unit mesin tetas yang kemudian dibagi ke setiap kelompok. Bapak Yasri mulai melakukan penetasan pada 2010.

Mesin tetas yang ada di tempat Bapak Yasri yaitu mesin tetas semi otomatis dengan kapasitas 1.000 butir yang terdiri dari 12 rak dan setiap rak berukuran 70x40 cm, dengan sumber pemanas menggunakan lampu pijar. Mesin tetas dapat dilihat pada Gambar 2.

(36)

Gambar 2. Mesin tetas

Dari ketiga kelompok peternak yang ada di Desa Sidodadi, kelompok Bapak Yasri dan Bapak Agus (Rahayu II) yang hingga saat ini masih tetap aktif menjalankan usaha penetasanya. Dari awal terbentuk hingga sekarang anggota Kelompok Peternak Rahayu III berjumlah 30 orang. Sistem pemeliharaan itik yang

(37)

Pada awal usahanya Pak Yasri menetaskan telur itik 100% dilakukan di mesin tetas dan tingkat keberhasilannya hanya mencapai 30%, beliau terus mencoba hingga tingkat keberhasilan penetasan tersebut semakin meningkat yaitu mencapai 50%. Telur itik yang ditetaskan berasal dari anggota kelompok yang telah

terkumpul sebelumnya kemudian dibawa ke rumah Bapak Yasri untuk ditetaskan.

Pada 2011 muncul ide dari Pak Yasri untuk melakukan penetasan kombinasi yaitu telur dieramkan terlebih dahulu di entok kemudian dilanjutkan ke mesin tetas. Biasanya Pak Yasri memakai 7 atau 10 hari waktu mengeramkan telur ke entok. Berdasarkan metode tersebut menurut Pak Yasri daya tetas telur bisa mencapai 90% dan tingkat keberhasilan jika dieramkan selama 10 hari di entok

mendapatkan hasil yang lebih bagus jika dibandingkan dengan 7 hari.

Kegiatan penetasan ini dilakukan untuk memperbanyak populasi ternak anggota kelompok serta untuk memenuhi kebutuhan DOD (Day Old Duck) di pasaran. Telur tetas yang digunakan saat ini lebih sering berasal dari peternak daerah sekitar seperti Gedong Tataan karena telur milik anggota terkadang belum bisa memenuhi permintaan DOD yang ada. Untuk pemasaran, para konsumen memesan DOD langsung dengan Bapak Yasri dan mengambilnya ke rumah dengan harga per ekor Rp.5.000. Sistem pembagian hasil yang dilakukan oleh kelompok yaitu setiap 10 butir telur yang ditetaskan 1 butir diberikan untuk kas dan untuk biaya pemakaian listrik ditanggung oleh kelompok.

B. Pengaruh Perlakuan terhadap Fertilitas Telur

(38)

Rata-rata fertilitas telur itik mojosari selama penelitian adalah 95 dan 96,25% seperti tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata fertilitas telur itik mojosari

Ulangan Fertilitas

Keterangan : P1 : Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

P2 : Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

(39)

(P>0,05) terhadap fertilitas telur itik mojosari (Tabel 11). Hal ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap fertilitas telur itik mojosari.

Fertilitas telur itik mojosari yang tidak nyata pada pengeraman 7 dan 10 hari di entok yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas diduga disebabkan oleh kondisi embrio telur pada saat dieramkan di entok baik 7 maupun 10 hari sama-sama berkembang dengan baik karena entok secara alami akan mengatur suhu,

kelembapan, serta pemutaran telur sesuai kebutuhan embrio. Pada umur 7 dan 10 hari perkembangan embrio juga sama-sama telah melewati masa kritis pertama meskipun umur 10 hari pertumbuhan organ dalam dan jaringan luar terbentuk lebih sempurna dibandingkan dengan umur 7 hari. Namun, perbedaan hari tersebut tidak terlalu jauh sehingga tidak memengaruhi kondisi embrio pada saat dimasukkan ke dalam mesin tetas.

Tidak nyatanya perlakuan juga diduga disebabkan oleh kualitas pejantan, umur induk, produksi, dan kualitas pakan yang digunakan selama dalam penelitian relatif sama dan cukup baik. Hal ini sesuai dengan Yuwanta (1983) bahwa fertilitas dipengaruhi oleh kualitas pejantan, umur induk, produksi, dan kualitas pakan. Hasil penelitian Rusandih (2001) menunjukkan bahwa kemampuan jantan yang rendah untuk mengawini betina serta kualitas sperma dan sel telur yang dihasilkan dari itik yang berumur muda (6 bulan) cenderung menghasilkan fertilitas yang rendah.

Pada penelitian ini itik jantan dan betina yang digunakan masing-masing berumur 15 dan 12 bulan dan umur induk pertama kali bertelur yaitu umur 6 bulan

(40)

tinggi. Ransum yang diberikan untuk pejantan dan induk juga sama yaitu terdiri dari dedak, konsentrat, serta keong dengan perbandingan dedak dan konsentrat 3:1. Pemberian per hari yaitu 200 g/ekor. Menurut Whendrato dan Madya (1998), konsumsi ransum rata-rata itik mojosari per hari yaitu 130--170 g jadi pemberian tersebut cukup baik karena tidak kurang dari jumlah konsumsi rata-rata.

Selain faktor-faktor di atas, tidak berbedanya perlakuan pengeraman diduga disebabkan oleh faktor nongenetis (lingkungan) misalnya pengaturan suhu dan kelembapan mesin tetas. Suhu dan kelembapan di dalam mesin tetas telah diatur yaitu masing-masing berkisar antara 38--39oC dan 60--70%. Pengaturan tersebut telah disesuaikan dengan kondisi alami entok dalam mengerami telur sehingga embrio dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan fertilitas yang tidak berbeda antara perlakuan 7 maupun 10 hari pengeraman di entok yang kemudian

dilanjutkan ke mesin tetas.

(41)

C. Pengaruh Perlakuan terhadap Susut Tetas (Weight Loss)

Rata-rata susut tetas telur itik mojosari selama penelitian berkisar antara 8,30 dan 8,11% seperti tertera pada Tabel 3. Hasil uji t-student menunjukan bahwa perlakuan pengeraman telur di entok 7 dan 10 hari yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap susut tetas telur itik mojosari (Tabel 13). Hal ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap susut tetas telur itik mojosari.

Tabel 3. Rata-rata susut tetas (weight loss) telur itik mojosari

(42)

Keterangan : P1 : Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

P2 : Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

Perlakuan tidak berbeda nyata pada P1 dan P2 terhadap susut tetas karena susut tetas dipengaruhi oleh suhu, kelembapan, dan tebal kerabang. Sedangkan pada perlakuan P1 dan P2 baik suhu, kelembapan, dan tebal kerabang yang digunakan relatif sama.

Kerabang telur yang terlalu tebal menyebabkan telur kurang terpengaruh oleh suhu penetasan sehingga penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf, 1998). Pada penelitian ini telah dipilih telur-telur yang

kerabangnya relatif sama tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis dan cara melihat tebal atau tipisnya kerabang yaitu dengan melihat warna kulit telur. Dipilih telur yang memiliki warna kerabang yang tidak terlalu tua atau terlalu muda karena seperti yang dikatakan oleh Kurtini (1988), telur yang kerabangnya tebal yaitu telur yang warna kulitnya terlalu tua sedangkan yang tipis yaitu yang warnanya terlalu muda. Telur yang warnanya lebih tua memiliki tebal kulit telur yang lebih tebal (0,46 mm) dibandingkan dengan warna yang sedang (0,43 mm), dan warna yang terang (0,39 mm).

Penyusutan berat telur selama masa pengeraman menunjukkan adanya

(43)

yang tinggi di dalam mesin tetas mengakibatkan perbedaan suhu antara embrio dan mesin tetas (Suarez, et al., 1996).

Semakin tinggi suhu maka kelembapan menjadi rendah dan telur akan mengalami pengeluaran panas yang lebih besar melalui evaporasi. Menurut Buhr dan Wilson (1991), kelembapan memiliki hubungan terbalik dengan persentase kehilangan berat telur. Kelembapan 43% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,60%, kelembapan 55% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,54% dan kelembapan 69% mengakibatkan kehilangan berat telur sebesar 0,40%. Untuk kisaran normal penyusutan berat telur ayam selama proses penetasan yang dianjurkan yaitu 12--14% (North dan Bell, 1990). Pada penelitian ini nilai susut tetas masih dalam kisaran normal karena tidak terlalu rendah dari yang dianjurkan oleh North dan Bell (1990) tersebut. Nilai susut tetas pada penelitian ini juga tidak jauh berbeda dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Weis, et al., (2011) yang menyatakan bahwa rata-rata susut tetas telur itik manila selama 20 hari yaitu sebesar 9.94±1.86%.

(44)

D. Pengaruh Perlakuan terhadap Daya Tetas

Rata-rata daya tetas telur itik mojosari selama penelitian berkisar antara 72,92 dan 74,17% seperti tertera pada Tabel 4. Hasil uji t-student menunjukkan bahwa

perlakuan pengeraman telur di entok 7 dan 10 hari yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya tetas telur itik mojosari (Tabel 15). Hal ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap daya tetas telur itik mojosari.

Daya tetas dihitung dengan membandingkan jumlah telur yang menetas dengan jumlah seluruh telur yang fertil. Semakin tinggi jumlah telur yang fertil dari jumlah telur yang ditetaskan akan dihasilkan persentase daya tetas yang tinggi pula (North dan Bell, 1990).

Tidak nyatanya pengaruh perlakuan terhadap daya tetas pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh fertilitas yang tidak berbeda nyata. Namun jika dilihat dari nilai fertilitas yang cukup tinggi baik pada P1 maupun P2 sedangkan nilai daya tetas yang relatif rendah hal ini kemungkinan disebabkan oleh pada perlakuan P1 dan P2, telur telah terkontaminasi oleh mikroba selama pengeraman di entok. Kontaminasi tersebut kemungkinan berasal dari sarang yang kotor serta kondisi entok yang kurang bersih sewaktu entok kembali ke sarang setelah turun untuk makan dan mendinginkan tubuh. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Setiadi, et al., (1992) bahwa kebersihan induk entok berpengaruh pada

(45)

Tidak berpengaruhnya perlakuan terhadap daya tetas telur itik mojosari

kemungkinan juga disebabkan oleh tidak berbedanya perlakuan terhadap susut tetas, karena susut tetas merupakan salah satu faktor yang memengaruhi daya tetas. Semakin besar susut tetas kemungkinan akan mengakibatkan embrio gagal menetas akibat dehidrasi karena penguapan yang terlalu besar sedangkan susut tetas yang terlalu kecil kemungkinan embrio tidak bermetabolisme.

Tabel 4. Rata-rata daya tetas telur itik mojosari

(46)

Keterangan : P1 : Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

P2 : Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

Pada penelitian ini rata-rata susut tetas masih dalam kisaran yang tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah meskipun rata-rata susut tetas masih di bawah kisaran yang dianjurkan oleh North dan Bell (1990) yaitu 12--14% untuk telur ayam selama di setter (1--18 hari).

Selain fertilitas dan susut tetas faktor lain yang kemungkinan memengaruhi tidak nyatanya perlakuan terhadap daya tetas antara lain yaitu kebersihan telur,

kerabang telur, suhu dan kelembapan, serta pemutaran telur. Telur yang kotor tidak dapat digunakan untuk penetasan karena terkontaminasi oleh bakteri (Rose, 1997). Lyons (1998) juga menyatakan bahwa mikroorganisme dapat

menyebabkan daya tetas jelek dan banyak telur busuk. Telur yang digunakan pada penelitian ini telah dipilih yang bersih dan sebelum dieramkan telah

dibersihkan dengan desinfektan. Telur juga telah dipilih yang memiliki kerabang tidak terlalu tebal atau terlalu tipis.

(47)

pengaturan suhu dan kelembapan yang relatif sama karena induk yang digunakan juga relatif sama sehingga menyebabkan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap daya tetas.

Frekuensi pemutaran telur juga memengaruhi daya tetas. Penelitian Daulay, et al., (2008) menunjukan bahwa perlakuan frekuensi pemutaran telur 8 kali/hari menghasilkan daya tetas tertinggi dibandingkan dengan perlakuan dengan frekuensi pemutaran 2; 4; dan 6 kali/hari. Pada penelitian ini pemutaran telur masing-masing perlakuan hanya dilakukan 3 kali/hari. Namun keadaan ini telah memenuhi standar seperti yang di kemukakan oleh Widyarti (1998) yang

menyatakan bahwa pemutaran telur itik dilakukan paling sedikit tiga atau sampai empat kali sehari semalam.

Daya tetas pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rohaeni, et al., (2005) tentang penetasan telur itik alabio yang ditetaskan dengan sistem sekam yang dimodifikasi (menggunakan mesin tetas 1--15 hari kemudian dilanjutkan dengan metode sekam hingga menetas) di Sentra Pembibitan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Daya tetas yang diperoleh berkisar antara 50--70% dengan nilai rata-rata 66,12%.

E. Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Tetas

(48)

Hal ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap bobot tetas telur itik mojosari.

Tabel 5. Rata-rata bobot tetas telur itik mojosari

Ulangan Bobot tetas

Keterangan : P1 : Pengeraman dengan entok selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

P2 : Pengeraman dengan entok selama 10 hari kemudian dilanjutkan ke dalam mesin tetas.

(49)

7 dan 10 hari di induk yang kemudian dilanjutkan ke mesin tetas terhadap susut tetas, sehingga bobot tetas juga menjadi tidak berbeda nyata.

Selain itu, bobot tetas itik memiliki hubungan erat dengan bobot telurnya,

semakin besar bobot telur maka anak itik yang menetas semakin besar (Gunawan, 2001). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Hermawan (2000) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat nyata (P<0,01) antara bobot telur dan bobot tetas.

Pada penelitian ini rata-rata bobot telur yang digunakan masing-masing perlakuan yaitu 67,27 dan 66,70 g antara kedua perlakuan hanya sedikit sekali perbedaan bobotnya dan masih dalam kisaran yang normal. Hal ini didukung oleh

(50)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Perlakuan pengeraman di entok 7 dan 10 hari kemudian dilanjutkan ke mesin tetas memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap fertilitas, susut tetas (weight loss), daya tetas, dan bobot tetas telur itik mojosari;

2. Perlakuan pengeraman di entok 7 dan 10 hari kemudian dilanjutkan ke mesin tetas memberikan pengaruh yang sama baiknya terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas telur itik mojosari.

B. Saran

1. Secara teknis pengeraman 7 dan 10 hari di entok tidak berpengaruh nyata terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas telur itik mojosari sehingga peternak dapat menggunakan lama waktu pengeraman 7 atau 10 hari di entok.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengeraman telur di entok dengan lama hari yang berbeda, sehingga diketahui pengaruh lama waktu pengeraman yang terbaik pada fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas.

(51)

Hal ini karena jika jumlah jantan dan betina tidak tepat dapat memengaruhi fertilitas dan daya tetas telur yang ditetaskan.

4. Perlu diperhatikan pengelolaan di dalam mesin tetas seperti kebersihan mesin, pengaturan suhu dan kelembapan, serta pemutaran telur karena apabila

pengelolaan tidak dilakukan dengan baik dan benar akan menghasilkan daya tetas yang rendah.

(52)

PENGARUH PENGELOLAAN PENETASAN TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS

TELUR ITIK MOJOSARI

Oleh : Ana Sri Lestari

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(53)

PENGARUH PENGELOLAAN PENETASAN TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS

TELUR ITIK MOJOSARI (Skripsi)

Oleh

ANA SRI LESTARI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(54)
(55)

III. BAHAN DAN METODE... 27

A. Waktu dan Tempat Penelitian... 27

B. Bahan dan Alat Penelitian... 27

1. Bahan... 27

2. Alat... 28

C. Metode Penelitian... 29

1. Rancangan perlakuan... 29

2. Perlakuan... 29

3. Analisis data... 29

D. Pelaksanaan Penelitian... 29

1. Tahap persiapan... 29

2. Pelaksanaan penetasan... 30

E. Parameter Penelitian... 32

1. Fertilitas... 32

2. Susut tetas (weight loss)... 32

3. Daya tetas... 32

4. Bobot tetas... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

A. Gambaran Umum Kelompok Ternak... 34

B. Pengaruh Perlakuan terhadap Fertilitas Telur... 36

C. Pengaruh Perlakuan terhadap Susut Tetas (Weight Loss)... 40

D. Pengaruh Perlakuan terhadap Daya Tetas ... 43

(56)
(57)

DAFTAR TABEL

10. Fertilitas telur itik mojosari dari kelompok perlakuan pengeraman di entok 7 dan 10 hari kemudian dilanjutkan ke mesin tetas... 66

11. Hasil uji t-student fertilitas telur itik mojosari P1 dan P2... 67

12. Weight loss (susut tetas) telur itik mojosari dari kelompok perlakuan pengeraman di entok 7 dan 10 hari kemudian dilanjutkan ke mesin tetas... 68

13. Hasil uji t-student weight loss (susut tetas) telur itik mojosari P1 dan P2... 69

14. Daya tetas telur itik mojosari dari kelompok perlakuan pengeraman di entok 7dan10 hari kemudian dilanjutkan ke mesin tetas... 70

(58)
(59)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Itik mojosari... 9

2. Mesin tetas... 35

3. Tata letak telur tetas penelitian... 58

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Bambang, A.M. 1988. Mengelola Itik. Cetakan Pertama. Kanisius. Jakarta Baglaicca, M., M. Marzoni., G. Pact., and C. Petrocelli. 1995 . “Effect of

warming treatments during duck egg storage on incubation performance”. Proceedings 10th European Symposium on Waterfowl. World's Poultry Science Association, Halle (Saale) Germany, pp. 299-302

Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Terjemahan: Bambang Srigandono. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta

Bogenfurst, F. 1995. “The current state of incubation in waterfowl” . Proceedings 10th European Symposium on Waterfowl. World's Poultry Science Association, Halle (Saale) Germany, pp. 241-256

Brahmantiyo, B. dan L. Prasetyo. 2002. “Pengaruh bangsa itik alabio dan

mojosari terhadap performan reproduksi”. Prosiding Lokakarya Unggas Air.

Bogor, 6−7 Agustus 2001. hlm. 73−78

Buhr, R.J. and J.L. Wilson. 1991. “Incubation relative humidity effect on allantoic fluid volume and hatchability”. Poultry Sci. Poscal 70 (Suplement 1) 1-188

Card, L.E. and M.C. Nesheim. 1972. Poultry Production.1 1th Ed. Lea and Febriger, Philadelphia

Christensen, V.L. 2001. “Factors associated with early embryonic mortality”.

World’s Poultry Sci Journal, Vol. 57:359-372

Daulay, A.H., Soehady, A., dan Agus, S. 2008. “Pengaruh umur dan frekuensi pemutaran terhadap daya teta dan mortalitas telur ayam arab (Gallus turcicus)”. Jurnal Agribisnis Peternakan Vol. 1, No 4

(61)

Fasenko, G.M., R.T. Hardin., and F.E. Robinson. 1992. “Relationship of hen age and egg sequence position with fertility, hatchability, viability and pre incubation embryonic development in broiler breeders”. Poultry Sci. 71:1374-1384

Gunawan, H. 2001. “Pengaruh Bobot Telur terhadap Daya Tetas serta Hubungan Antara Bobot Telur dan Bobot Tetas Itik Mojosari”. Skripsi. Fakultas

Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Gvaryahu, G., B. Robinzon., A. Meltzer., M. Perek., and N. Snapir. 1984. “Artificial insemination and natural mating in the rossbreeding of the

muscovy drakes and the pekin ducks”. Poultry Sci, 1984, 63 (2) :pp 386-387

Hardjosworo, P.S., D. Sugandi., dan D.J. Samosir. 1980. “Pengaruh Perbedaan Kadar Protein Dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan dan Kemampuan Berproduksi Itik Yang Dipelihara Secara Terkurung”. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Hasan, S.M., A.A Siam., M.E. Mady., and A.L. Cartwright. 2005. “Physiology, endocrinology, and reproduction: egg storage period and weight effect on hatchability”. J. Poultry Sci. 84: 1908-1912

Hermawan, A. 2000. “Pengaruh bobot dan indeks telur terhadap jenis kelamin

anak ayam kampung pada saat menetas”. Karya Ilmiah. Fakultas

Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Indarwati, A. 1991. “Pengaruh Posisi Letak Telur Itik Tegal Selama Penyimpanan Pada Suhu Ruang Terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Embrio”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Jassim, E.W., M. Grossman., W.J. Koops., and R. Luykx. 1996. “Multiphasic

analysis of embrionic mortality in chickens”. Poultry Sci. 75:464-471 Jayasamudra, D.J dan B. Cahyono. 2005. Pembibitan Itik . Penebar Swadaya.

Jakarta

(62)

Karnama, I.K. 1996. “Studi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Daya Tetas Telur Itik Bali Pada Penetasan Tradisional Dengan Gaban”. Tesis. Program Studi Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Kortlang, C.F.H.F. 1985 . The Incubation of Duck Egg. In : Duck Production Science and World Practice . Farrell, D.J . and Stapleton, p. (ed) . University of New England, pp . 168-177

Koswara, S. 1997. “Teknik pengawetan telur segar”. Poultry Indonesia 113: 18-19

Kurtini, T. 1988. “Pengaruh Bentuk dan Warna Kulit Telur Terhadap Daya Tetas

dan Sex Ratio Itik Tegal.” Tesis. Fakultas Pascasarjana, Universitas Padjadjaran. Bandung

Kusmidi, L. 2000. “Produktivitas Itik Manila (Cairina moschata) di Tiga Desa Yang Berbeda Topografinya di Kabupaten Cianjur”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Lasmini, A., R. Abdelsamie., dan N.M. Parwati. 1992. “Pengaruh cara penetasan terhadap daya tetas telur itik tegal dan alabio.” Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian. Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor

Listiowati, E. dan K. Roospitasari. 1995. Puyuh, Tata Laksana Budidaya Secara Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta

Lundy, H. 1969 . A Review of the Effect of Temperature, Humidity, turning and gasseous environment in the incubator on the hatchability of the hen's eggs. In The Fertility and Hatchability of Hen's Egg. (Eds.). Carter, T.C . and Freeman, B.M. Edinburg: pp 143-176

Lyons, J.J. 1998. Small Flock Series : Incubation of Poultry. Agricultural publications G*353-New january 15. University of Missouri.

http://muexetension.missouri.edu/xplor/agguides/poultry/908353.htm. [3 September 2002]

Mayes, F.J. and M.A. Takeballi. 1984. “Storage of the eggs of the fowl. (Gallus domesticus) Before Incubation : A Review”. World's Poultry Science

(63)

Meijerhof, R. 1992. “Pre-incubation holding of hatching eggs”. World's Poultry Science Journal 48 (1) : 57 - 68

North, M.O. and D.D. Bell. 1990. Commercial chicken Production Manual. 4 th Ed. Avi Publishing Company. Connecticut

Oluyemi, J.A. and F.A. Roberts. 1980. Poultry Production in Warm Wet

Climates. Macmillan Tropical Agriculture, Horticulture and Aplied Ecology Series. The Macmillan Press Ltd. London and Basingstoke

Paimin, F.B. 2003. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas. Cetakan keenam belas. Penebar Swadaya. Jakarta

Peebles, E.D and J. Brake. 1985. “Relationship of egg shell porosity of stage of embrionic development in broiler breeders”. Poult. Sci. 64 (12): 2388 Purba, T.K. 1981. Pendidikan Ketrampilan Penetasan. Karya UNI Press.

Jakarta

Purna, K.I. 1999. “Aspek Genetik Kelenturan Fenotipik Produksi dan Kualitas Telur Itik Lokal Sebagai Respon Terhadap Perubahan Aflatoksin Dalam Ransum”. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Rahn, H., C.V. Paganelli., and A.R. Amos. 1987. Pores and gas exchange of

avian eggs: A review. The journal of experimental zoology suplement 1: 165-172

Ranto dan M. Sitanggang. 2007. Panduan Lengkap Beternak Itik. Agromedia Pustaka. Jakarta

Rasyaf, M. 1998. Pengelolaan Penetasan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Riyanto, A. 2002. Sukses Menetaskan Telur Ayam. Cetakan ketiga. Agromedia

Pustaka. Jakarta

Rohaeni, E.S., A. Subhan., dan A.R. Setioko. 2005. “Usaha penetasan itik alabio sistem sekam yang dimodifikasi di sentra pembibitan Kabupaten Hulu Sungai Utara”. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan

(64)

Rose. 1997. Principles of Poultry Science. Cab. International, United Kingdom

Rusandih. 2001. “Susut Tetas dan Jenis Kelamin Itik Mojosari Berdasarkan

Klasifikasi Bobot dan Nisbah Kelamin”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Samosir, D.J. 1983. Ilmu Ternak Unggas. Gramedia. Jakarta

Sarengat, W. 1989. “Inventarisasi nama-nama jenis berdasarkan warna pada itik lokal di daerah Magelang dan Tegal”. Prosiding seminar nasional tentang unggas lokal. Universitas Diponegoro. Semarang

Setiadi, P., A. Lasmini., A.R. Setioko., dan P. Sinurat. 1992. “Pengujian metode penetasan telur tik tegal di pedesaan”. Prosiding Pengolahan dan

Komunikasi Hasil-hasil Penelitian. Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ternak, Ciawi

Setioko, A.R. 1992. “Teknik penetasan telur itik.” Makalah Temu Tugas dalam Aplikasi Teknologi Bidang Peternakan. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Badan Litbang Pertanian. hlm. 142−152

Setioko, A.R., A. Syamsudin., M. Rangkuti., H. Budiman., A. dan Gunawan. 1994. “Budidaya ternak itik.” Publikasi Teknis. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian . Badan Litbang Pertanian

Setioko, A.R. dan E.S. Rohaeni. 2002. “Pemberian bahan pakan lokal terhadap produktivitas itik alabio”. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Bogor, 6−7 Agustus 2001. hlm. 129−138

Shanawany, M.M. 1987. “ Hatching weight in relation to egg weight in domestic birds”. World’s Poultry Sci. Journal. 43 (2): 107-114

Simanjuntak, L. 2002. Tiktok Unggas Pedaging Hasil Persilangan Itik dan Entok. Agromedia Pustaka. Jakarta

Srigandono, B. 1996. Kamus Istilah Peternakan. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta

(65)

Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Suarez, M.E., H.R. Wilson., B.N. Mcpherson., F.B. Mather., and C.J. Wilcox. 1996. “Low temperature effect on embrionic development and hatch time”. Poultry Sci. 75: 1321-1331

Sudaryani, T. H, dan Santoso. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta

. 2001. Pemeliharaan Ayam Ras Petelur Di Kandang Baterai. Cetakan Kelima. Penebar Swadaya. Jakarta

Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. PT. Penebar Swadaya. Jakarta Suharno, B dan K. Amri. 2003. Beternak Itik Secara Intensif. Cetakan

kedelapan. Penebar Swadaya. Jakarta

Suprijatna, E., U. Atmomarsono., dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta

Tai, C. 1985. Duck breeding and artificial insemination in Taiwan. In : Duck Production Science and World Practice . Farrell, D. J . and Stapleton, p. (ed). University of New England, pp . 193-203

Tona, K., F. Barnelis., B. De Ketelaere., V. Bruggeman., and E. Decuypere. 2002. “Education and Production: Effect of induce molting on albumen quality, hatchability, and chick body wieght from broiler breeders”. J. Poultry Sci. 81:327-332

Tullet, S. G. And F.G. Burton. 1982. “Factor affecting the weight and water status of chick and hatch”. British Poult. Sci. 32: 361-369

Wahyuni, S. 1989. “Pengaruh Imbangan Asam Amino Dengan Energi Metabolis Dalam Ransum Terhadap Performa Itik Mojosari”. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

(66)

Whendrato, I. dan M. Madya. 1998. Beternak Itik Tegal secara Populer. Eka Offset. Semarang

Wibowo, B., E.T. Antawidjaja., E. Basuno., I.A.K. Bintang., dan S. Iskandar. 1995. “Pengaruh suplementasi pada dedak dengan dan tanpa pemisahan DOD secara dini terhadap produktivitas entok di pedesaan”. Prosiding Seminar Peternakan dan Forum Peternakan Ternak Unggas dan Aneka Ternak. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian APBN 1994/1995. Balai Penelitian Ternak. Ciawi

Windyarti, S.S. 1998. Beternak Itik Tanpa Air. Penebar Swadaya. Jakarta Yuwanta, T. 1983. Beberapa Metoda Praktis Penetasan Telur. Fakultas

Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

(67)

Betapa Tuhan mencintaimu, bahkan sangat mencintai.

Hingga Ia membuka telinga-Nya padamu untuk mendengar doa,

dan mengabulkan permintaanmu meskipun bukan dengan kata

Ya

,

Tapi dengan memberikan semua yang terbaik bagimu dikala

Dulu, Saat ini, dan Masa yang akan datang

Oleh sebab itu

Janganlah khawatir akan hari besok,

karena hari besok mempunyai kesusahan sendiri. Kesusahan sehari

cukuplah untuk sehari (Mat 6:34)

Dan

Percaya bahwa semua akan “Indah Pada Waktunya”

(68)

Judul Penelitian : PENGARUH PENGELOLAAN PENETASAN TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK MOJOSARI

Nama Mahasiswa : Ana Sri Lestari Nomor Pokok Mahasiswa : 0814061024

Jurusan : Peternakan

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Ir. Tintin Kurtini, M.S. Dian Septinova, S.Pt., M.T.A. NIP 19510922 198002 2 001 NIP 19710914 199702 2 001

2. Ketua Jurusan Peternakan

(69)

MENSAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Ir. Tintin Kurtini, M.S. _________________

Sekretaris : Dian Septinova, S.Pt., M.T.A. _________________

Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Khaira Nova, M.P. _________________

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.Sc. NIP 19610826 198702 1 001

(70)

Kupersembahkan karya sederhana ini sebagai tanda bakti, hormat,

serta kasih sayangku kepada :

Bapak dan Mamak tercinta yang telah membesarkanku dengan

kasih sayang dan telah memberikan do’a, motivasi, dukungan,

kesabaran dan keikhlasan yang selalu tercurah tiada henti;

Mas dan Mbak ku Eko Sriyono, Yustina Dwi Suryani,

MM. Tri Yuningsih, Yulianus Mardi Susilo yang selalu

mendo’akan

, memberi dukungan , kasih sayang serta motivasi yang

tiada henti;

Seluruh keluarga ku, penyemangat hidup ku, serta sahabat-sahabat

ku, yang selalu memberi dukungan, kasih sayang, semangat,

motivasi, dan keceriaaan yang tiada henti.

(71)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 13 Mei 1989 di Sendang Rejo, Lampung Tengah dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara buah kasih pasangan Bapak Yustinus Tujiono dan Ibu Yulia Sri Yunarti.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Sendang Rejo pada 2001, pada 2004 menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP N 2 Sendang Agung, selanjutnya menyelesaikan pendidikan tingkat atas di SMA N 1 Kalirejo pada 2007. Pada 2008 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Gambar

Gambar 1.  Itik mojosari
Tabel 1 .  Daya tetas telur itik yang disimpan pada suhu dan periode penyimpanan yang berbeda
Gambar 2.  Mesin tetas
Tabel 2.  Rata-rata fertilitas telur itik mojosari
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis ragam menunjukkan bah- wa dengan adanya pencelupan telur tetas menggunakan ekstrak daun sirih sampai dengan 30% memberikan pengaruh yang tidak nyata

Perbandingan telur tetas kalkun dari fase produksi pertama( induk umur 7 bulan) dan kedua (induk umur 14 bulan) berbeda tidak nyata P(&lt;0,05) terhadap fertilitas, susut

Hasil uji Duncan menyatakan bahwa lama penyimpanan 2 hari berbeda nyata (P&lt;0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lama penyimpanan 4 dan 6 hari pada daya tetas

Penambahan cacing tanah (Lumbricus rubellus) segar pada pakan tidak berpengaruh terhadap fertilitas dan daya tetas telur dikarenakan konsumsi yang menurun akibat

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, breed berpengaruh terhadap fertilitas telur itik Alabio, Mojosari dan PMp, namun tidak mempengaruhi daya tetas dan total

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh kualitas fisik (bobot dan bentuk) telur itik Super Peking Putih (SP2-F1) terhadap fertilitas, daya tetas dan

Hasil analisis ragam menunjukkan bah- wa dengan adanya pencelupan telur tetas menggunakan ekstrak daun sirih sampai dengan 30% memberikan pengaruh yang tidak nyata

Letak telur pada mesin tetas dengan posisi pengeraman atas, tengah dan bawah diduga memiliki suhu dan kelembapan yang berbeda sehingga akan menghasilkan persentase fertilitas, kematian