• Tidak ada hasil yang ditemukan

STORYTELLING UNTUK MENINGKATKAN HAPPINESS PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WERDHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STORYTELLING UNTUK MENINGKATKAN HAPPINESS PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WERDHA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

STORYTELLING

UNTUK MENINGKATKAN

HAPPINESS

PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WERDHA

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

Meiranthi Alisthia Ariani 08810004

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)
(3)
(4)
(5)

v menguatkan penulis hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW. yang senantiasa memberi teladan terbaik sepanjang hidupnya.

Selama penyusunan skripsi yang berjudul “Storytelling Untuk Meningkatkan

Happiness Lansia Yang Tinggal Di Panti Werdha” ini, banyak pihak yang telah membantu penyelesaiannya.

1. Ibu Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Dr. Latipun, M.Kes selaku dosen pembimbing I, atas segala bantuan serta

dukungan selama penyusunan skripsi ini, baik itu dalam membimbing, memberi koreksi dan saran-saran yang bermanfaat kepada penulis.

3. Bapak Zainul Anwar, S.Psi., M.Psi selaku dosen pembimbing II, juga atas segala

bantuan serta dukungan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih untuk bimbingan, koreksi, dan saran-saran yang diberikan selama ini untuk penulis.

4. Bapak Moh. Ramli selaku kepala Panti Werdha Puspakarma Mataram dan Bapak

Ikhsan selaku pembimbing lahan di panti serta segenap pegawai serta pengurus

panti werdha. Juga papuq-papuq penghuni panti werdha Puspakarma yang sangat

kooperatif selama penelitian dan terima kasih atas pengalaman serta kisah hidup yang diberikan kepada saya.

5. Bapak Tulus Winarsunu, M.Si dan Ibu Dr. Dyah Karmiyati selaku dosen wali

yang telah mendukung dan memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Ibunda tersayang Naniek Koesyantini yang selalu menjadi teman curhat setia

(6)

vi

7. Keluarga Besar LARFA LSO Kerohanian LISFA yang juga telah memberi warna

tersendiri dalam hari-hari subyek selama ini. Banyak pelajaran hidup yang kita alami bersama. Semoga Allah tetap menguatkan ikatan persaudaraan diantara kita.

8. Teman-teman EAMY Teknik, FPED Ekonomi, AL FARUQ FISIP, UKM-K JF,

FORISMA, dan semuanya yang tergabung dalam FULDUMM. Tetap berjuang kawan!

9. Teman-teman kelas F 2008: Uun, Priska, Lale Justin, Andra, Ratri, Emma, dan

semua penghuni kelas F untuk semua waktu yang telah kita habiskan bersama. Sungguh sangat berarti untuk penulis.

10.Untuk Wina Qanita, Riszky Adhini Rachmi, Siti Walida Riska, Firra Noor

Nayana, Ruli Ismawati, saudari-saudari seperjuangan hingga saat ini, yang sering menjadi teman diskusi dan ngobrol bareng, jalan-jalan bareng, ngeluh bareng. Pastinya akan merindukan kalian semua...

11.Teman-teman kosan Wismapan: Wina, Ida, dan Mbak Intan yang sering jadi

teman makan dan nonton bersama di kamar, Silva, Dana, dan semua penghuni Wismapan untuk bantuannya kepada penulis selama ini.

12.Keluarga Besar UPT. Bimbingan Konseling: Bu Hudaniah, Mbak Inay, Mbak

Ros, Mbak Iim, Dian, Wiwin, Franky, Ary. Juga untuk Ellan dan Dewi yang telah menjadi teman seperjuangan di BK selama penyelesaian skripsi. Semangat!

13.Dan untuk semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini

yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak.

Akhir kata, penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk perbaikan bersama. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak. Amin.

Malang, 24 Juli 2012 Penulis

(7)

vii

INTISARI

Ariani, Meiranthi Alisthia (2012). Storytelling Untuk Meningkatkan Happiness

Lansia Yang Tinggal Di Panti Werdha. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Pembimbing:

(1) Dr. Latipun, M. Kes. (2) Zainul Anwar, S. Psi., M. Psi.

Kata Kunci : storytelling, happiness, lansia panti werdha

Lingkungan seringkali menjadi sumber ketegangan dan stress yang makin

lama makin berat dirasakan lansia, tidak terkecuali dengan lansia yang tinggal di panti werdha. Hal ini menjadi indikasi bahwa lansia berada dalam kondisi yang tidak bahagia (unhappy). Oleh karena itu, peneliti mengajukan storytelling sebagai salah satu bentuk intervensi untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini dikarenakan,

storytelling dapat menjadi salah satu media untuk menanamkan suatu pesan moral,

sarana evaluasi diri, dan sharing, sehingga dapat memberi motivasi dalam

melakukan perubahan bagi pendengarnya, yang diharapkan dapat meningkatkan

happiness lansia di panti werdha. Maka, tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui apakah storytelling dapat digunakan untuk meningkatkan happiness

lansia yang tinggal di panti werdha.

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain

eksperimen kasus tunggal yang menggunakan kategori one group pre and post test

design. Metode pengumpulan data dilakukan melalui skala Happiness dan wawancara. Subyek penelitian berjumlah 6 orang lansia. Teknik analisa data yang

digunakan pada penelitian ini menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test untuk

menguji sampel yang berhubungan, yaitu menguji perbedaan antara hasil pre test dan

post test kelompok eksperimen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat happiness

pada subyek penelitian sebelum mendapat perlakuan dengan setelah mendapatkan

perlakuan (storytelling). Dari analisa data yang dilakukan, diperoleh nilai signifikansi

0,042 yang lebih kecil dari 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara statistik

(8)

viii

Key words: storytelling, happiness, elder people in nursing house.

Environment frequently acts as a source of tension which may lead to a stressful situation that may gradually becoming worse in elder people, including those who live in nursing house. This may indicate that the elderly live within

unhappy condition. Therefore, the author proposes storytelling as a treatment to

improve condition. This is due to the nature of storytelling that could act as a medium for conveying a moral message, self assessment, as well as sharing. It is expected to give some motivations to the audiences which is eventually lead to better

happiness for the elder people in the nursing house. Thus, this research aimed to investigate whether storytelling could be used as a mean to improve happiness for the elder people in nursing house.

This research is a quasi experiment in a single case experimental design

which used category one group pre and post test design. Data collections were done

using Happiness scale and interview. Research subject consisted of six persons.

Wilcoxon Signed Rank Test was used for data analysis to test related subjects which are the difference between the result of pre test and post test experiment groups.

The result shows that there is a difference in level of happiness among the subjects before and after storytelling treatment. Statistically, the treatment shows

significant value (0.042) which indicates that storytelling could improve happiness of

(9)

ix

4. Perubahan-perubahan pada Lansia ... 20

5. Perkembangan Kognitif Lansia ... 21

6. Lansia di Panti Werdha ... 21

D.Lansia di Panti Werdha, Happiness, dan Storytelling ... 22

E.Kerangka Berpikir ……… 25

(10)

x

b. Gambaran Perubahan Tingkat Happiness Subyek ... 37

c. Perkembangan Keadaan Subyek Selama Kegiatan ... 43

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

Tabel 3.1 : Blue print skala happiness ... 28

Tabel 3.2 : Item valid dan tidak valid pada skala happiness ... 29

Tabel 4.1 : Identitas Subyek ... 35

Tabel 4.2 : Skor happiness seluruh subyek ... 35

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Grafik 4.1 : Perubahan happiness subyek Nr dari pre test hingga follow up... 37

Grafik 4.2 : Perubahan happiness subyek Sj dari pre test hingga follow up... 38

Grafik 4.3 : Perubahan happiness subyek Nb dari pre test hingga follow up... 38

Grafik 4.4 : Perubahan happiness subyek Sl dari pre test hingga follow up... 39

Grafik 4.5 : Perubahan happiness subyek Lh dari pre test hingga follow up... 40

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Instrumen Penelitian (Skala Happiness)

Lampiran 2 : Guide Interview

Lampiran 3 : Modul Eksperimen

Lampiran 4 : Jadwal Kegiatan Storytelling tiap subyek

Lampiran 5 : Hasil wawancara

Lampiran 6 : Kumpulan cerita yang digunakan

Lampiran 7 : Jadwal Pelaksanaan Storytelling tiap subyek

Lampiran 8 : Inform consent tiap subyek

Lampiran 9 : Surat ijin melakukan penelitian dari BLHP Mataram

(14)

xiv

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A., & Supriyono, W. (2003). Psikologi belajar. Rineka Cipta.

Alwisol. (2004). Psikologi kepribadian. Malang: UMM Press.

Amalia R. I. (2008). Pengaruh self academic beliefs terhadap prestasi akademik

siswa SMA kelas XI jurusan IPS. Naskah Publikasi. Diakses pada 5 Desember 2011 dari papers.gunadarma.ac.id/index.php/psychology/article/view/242/217.

Azwar, S (2009). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S (2009) . Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta : Pustaka pelajar

Bandura, A. (1997). Self efficacy : The exercise of control. New York : W.H.

freeman and company

Feist, J., & Feist, G. J. (2002). Theories of personality (5th Edition ed.). New York:

McGraw-Hill.

Feist, J., & Feist, G. J. (2009). Teori kepribadian. Jakarta : Salemba Humanika.

Hamdu, G., & Agustina, L. (2011). Pengaruh motivasi belajar siswa terhadap prestasi

belajar IPA di Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan, 12 (2), 90-96.

Hamzah, A. (2012). Pengaruh disiplin dan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar siswa kelas XI di M.A. Ghozaliyah Jogoroto Jombang. Diakses pada 9 Mei 2012 dari Http://aak-hamza.blogspot.com/2012/03/skripsi-pengaruh-disiplin-dan-motivasi_25.html.

Kerlinger, F. N. (2005). Asas-asas penelitian. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Murtadlo. (2005). Peningkatan prestasi belajar siswa berkesulitan belajar membaca

menulis melalui pendekatan kooperatif tipe TAI di SD. Jurnal Pendidikan

Dasar, 6, 1-60.

berkembang (6th Edition ed.). Jakarta: Erlangga.

Prakosa, H. (1996). Cara penyampaian hasil belajar untuk meningkatkan self efficacy

mahasiswa. Jurnal Psikologi, 2, 11-22.

Rensi, & Sugiarti, L. R. (2010). Dukungan sosial, konsep diri dan prestasi belajar

(15)

xv

Santrock, J. W. (2007). Psikologi pendidikan (2nd Edition ed.). Jakarta: Prenada

Media Group.

Slameto. (1995). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Sutiyoso, A. R., & Zarfiel, M. D. (2009). Harga diri dan prestasi belajar pada remaja

yang obesitas. Jurnal Psikologi, 3, 68-75.

Syafitri, A. (2004). Gambaran aspek-aspek yang mempengaruhi prestasi belajar pada

siswa SMUN 106 Jakarta yang berprestasi akademik rendah. Jurnal

psikodinamik , 6 (2) , 39-57.

Tandelilin, E., & Salim, U. Kompetensi dosen, keyakinan diri (self Efficacy) dan motivasi mahasiswa: pengaruhnya terhadap prestasi mahasiswa (student

achievment) Fakultas Ekonomi Universitas Surabaya. Jurnal Aplikasi

Manajemen ,3 (3), 253-259.

Winarsunu, T. (2009). Statistik dalam penelitian psikologi dan pendidikan. Malang:

UMM Press.

Wahyuningsih, A. S. (2004). Hubungan antara kecerdesan emosional dengan prestasi

belajar pada siswa kelas II SMU Lab School Jakarta Timur. Skripsi,

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang tentu akan mengalami masa penuaan. Masa penuaan atau yang disebut sebagai masa lanjut usia (lansia) merupakan periode akhir dari rentang kehidupan seseorang. Pada periode ini, seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 1980). Menurut Darmojo (2004), menjadi tua bukanlah suatu penyakit atau sakit, tetapi suatu proses perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, 2008). Namun sebenarnya secara individual, tahapan proses menua terjadi pada seseorang dengan usia berbeda dan masing-masing lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda (Bandiyah, 2009).

Mengenai batasan usia lanjut seseorang, terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan. Menurut Hurlock (1980), batasan usia lansia berawal dari usia 60 tahun hingga meninggal dunia. Sedangkan menurut organisasi kesehatan dunia

(WHO), lansia dimulai dari usia pertengahan (middle age) untuk kelompok usia

45-59 tahun, usia lanjut (elderly) untuk usia 60-74 tahun, usia tua (old) antara 75-90

tahun, dan sangat tua (very old) untuk usia di atas 90 tahun.

(17)

2

Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut merupakan petunjuk perbaikan kualitas kehidupan bangsa di Indonesia, yang antara lain diakibatkan oleh penurunan angka fertilitas, angka kesakitan, dan angka kematian. Namun, mengingat bahwa jumlahnya semakin bertambah, kelompok lansia ini memerlukan perhatian khusus. Sebab, secara potensial, jika tidak tertangani dengan tepat, permasalahan yang mereka timbulkan akan mempengaruhi kelompok penduduk lainnya (Hardywinoto & Setiabudhi, 1999).

Pada usia lanjut, terdapat beberapa perubahan yang dialami individu tersebut. Perubahan yang mereka alami itu sebagian memang datang dari faktor fisik dan

sebagiannya lagi berasal dari faktor psikologis (Hurlock, 1980). Maryam et al.

(2008) menjelaskan bahwa proses menua yang dialami oleh lansia menyebabkan mereka rentan mengalami berbagai macam perasaan seperti sedih, cemas, kesepian, dan mudah tersinggung. Perasaan negatif yang muncul tersebut merupakan masalah psikologis yang terjadi pada lansia dan memberi pengaruh pada sisi emosional mereka. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa seiring bertambahnya usia, lansia juga dapat mengalami perubahan perilaku emosional. Mereka cenderung apatis, kurang responsif, dan kurang antusias bila dibandingkan dengan masa muda mereka. Pada akhirnya, perilaku emosional ini ditampilkan seperti perilaku emosional yang terjadi pada anak-anak, yaitu perilaku yang berdasarkan pada perasaan negatif, seperti mudah mengeluh, menutup diri, cemas, dan sifat-sifat yang kurang menyenangkan lainnya. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka, sehingga dapat mengganggu kegiatan sehari-hari lansia.

(18)

3

penduduk lansia di Indonesia dinyatakan telantar dan 28% (4.658.280 orang) rawan terlantar (Farmacia, Juni, 2007).

Di sisi lain, sebagian orang yang lebih muda juga masih beranggapan bahwa para lansia tidak perlu aktif dalam urusan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut akan memperburuk fungsi integrasi sosial dari para lansia dengan lingkungannya, sehingga terjadi kesenjangan antara lansia dengan mereka yang lebih muda. Akibatnya, lansia hidup dalam keterasingan dan merasa kesepian yang akhirnya dapat menyebabkan kecemasan bahkan depresi dalam menjalani kehidupan mereka (Nawawi, 2009). Diperkirakan frekuensi terjadinya depresi di antara orang-orang dewasa lanjut bervariasi. Namun sekitar tujuh persen dari orang-orang dewasa lanjut memiliki gangguan-gangguan kecemasan (Gatz, dalam Santrock, 2002).

Lansia sering dianggap tidak berdaya, sakit-sakitan, tidak produktif, serta tak jarang diperlakukan sebagai beban keluarga (Bandiyah, 2009). Sehingga ketidakmampuan pihak keluarga menghadapi permasalahan lansia membuat mereka menitipkan lansia di panti werdha (panti jompo). Maka tak heran bahwa salah satu alasan lanjut usia menjadi warga panti werdha adalah karena ditelantarkan oleh keluarganya, selain juga karena faktor ekonomi keluarga yang kurang mampu, bahkan disebabkan tidak memiliki keluarga. Dengan semakin menuanya orang-orang dewasa, kemungkinan mereka ada dalam panti werdha atau fasilitas perawatan lain pun semakin meningkat (Baines, dalam Santrock, 2002).

Realitanya saat ini, segelintir orang mengganggap panti werdha atau panti

jompo sebagai solusi. Menurut pakar psikologi, Soepangat (dalam Maryam, et al.,

2008), bahwa para lansia yang dititipkan di panti pada dasarnya memiliki sisi positif dan negatif. Dari sisi positif, lingkungan panti dapat memberikan kesenangan bagi lansia. Sosialisasi di lingkungan yang memiliki tingkat usia sebaya akan menjadi hiburan tersendiri, sehingga rasa kebersamaan ini akan dapat mengubur rasa kesepian yang biasanya mereka alami. Namun, jauh di lubuk hati mereka merasa lebih nyaman ketika berada dekat dengan keluarganya. Di Indonesia yang masih menjunjung tinggi rasa kekeluargaan, tinggal di panti merupakan suatu hal yang tidak alami lagi, apapun alasannya.

(19)

4

dengan keluarga menyebabkan para lansia yang berada di PSTW akan merasa tidak mendapatkan kebahagiaan dari keluarganya. Pada saat lansia terpisah dari anak serta

cucunya, maka muncul pula perasaan tidak berguna (useless) dan kesepian, sehingga

kebahagiaan pun dirasa sulit tergapai (Maryam, et al., 2008). Selain itu beberapa masalah lain yang biasa dialami oleh lansia panti, diantaranya keterasingan dari lingkungan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lansia yang memiliki tingkat ekonomi rendah serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal-hal negatif tersebut dapat mengakibatkan depresi yang berpengaruh menghilangkan kebahagiaan, harapan, ketenangan pikiran dan kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Padahal, yang dimaksud dengan kebahagiaan itu sendiri bagi para lansia adalah bukan dinilai dengan harta yang melimpah, namun kebahagiaan itu terjadi ketika hubungan dengan keluarga dan para sahabat dapat terjalin dengan baik (Coalman, 2007).

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sikap dari masyarakat terhadap sosial budaya ikut andil dalam menentukan persepsi citra diri usia lanjut ini. Secara budaya ada pandangan bahwa usia lanjut sudah tidak dapat didayagunakan, sudah ada keterbatasan gerak dan pengambilan keputusan. Budaya sering kali mendudukkan mereka pada peran yang dituakan, di sini mengandung dua pengertian, yaitu dituakan untuk tempat mencari nasihat hidup bagi generasi yang lebih muda, atau dituakan dalam arti tidak lagi diajak berdiskusi atau berkomunikasi. Untuk selanjutnya terjadi lingkaran setan antara sikap lingkungan dan perilaku yang diperlihatkan oleh usia lanjut dengan memasuki dan menjalani usia lanjut, seseorang akan dituntut untuk mengadakan penyesuaian diri.

(20)

5

bahagia (unhappy). Yang dikhawatirkan adalah jika pada lansia tersebut sudah tidak

menemukan jalan keluar dari semua masalahnya, tak jarang bunuh diri menjadi jalan pintas para lansia yang tidak bahagia tersebut (Nawawi, 2009).

Sejalan dengan penelitian mengenai lansia di Amerika, berdasarkan pendapat Dadang Hawari (dalam Nawawi, 2009), salah satu faktor penting yang dapat menunjang kebahagiaan lansia yaitu adanya dukungan dari orang-orang yang melindungi dirinya dari isolasi sosial. Sebab, hal ini dapat membuat lansia tetap memiliki kontak atau interaksi secara sosial, sehingga mereka merasa masih dibutuhkan dan memiliki kesempatan untuk berkarya dan produktif di dalam masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Menjaga interaksi sosial yang positif dengan lingkungan dan menemukan makna hidup menjadi salah satu tugas perkembangan lansia yang memiliki pengaruh dalam memberi kebahagiaan pada lansia tersebut. Beberapa kondisi lain yang menunjang kebahagiaan pada masa usia lanjut, menurut Hurlock (1980) antara lain yaitu sikap realistis terhadap kenyataan dan mau menerima kenyataan tentang perubahan fisik dan psikologis sebagai akibat dari usia lanjut yang tidak dapat dihindari. Selain itu, lansia juga perlu menerima kenyataan diri dan kondisi hidup yang ada sekarang, walaupun kenyataan tersebut berada di bawah kondisi yang diharapkan.

Salah satu cara menghindari lansia dari isolasi sosial, memberi kesempatan pada lansia untuk berbagi cerita dan pengalaman, serta menjadi sarana untuk

menginspirasi dalam melakukan perubahan adalah melalui storytelling (Serrat,

2008). Menurutnya, storytelling merupakan suatu proses menjelaskan gambaran

hidup mengenai sebuah ide, keyakinan, pengalaman pribadi, dan pelajaran hidup melalui cerita yang dapat membangkitkan emosi dan memberi wawasan atau

kesadaran terhadap suatu nilai (insight) (Serrat, 2008). Menurut Norbu Chophel

(dalam Burns, 2004), melalui sebuah cerita, seseorang dapat membangkitkan emosi orang lain (si pendengar cerita). Melalui cerita, seorang pencerita (story teller) dan pendengarnya mampu menemukan kebahagiaan dan kesejahteraan, sekaligus sebagai sarana untuk menciptakan dan mempertahankan situasi emosional yang positif (Burns, 2004).

Selain itu, storytelling merupakan salah satu cara menggunakan sebuah cerita

(21)

6

pengalaman, dan penggambaran dari pengetahuan setiap individu. Melalui

storytelling, seseorang dapat mengungkapkan perasaan yang mereka rasakan yang

selama ini sulit untuk diungkapkan secara langsung (Serrat, 2008). Maka, storytelling

ini menjadi cara yang efektif bagi seorang storyteller (pencerita) untuk memulai

komunikasi secara alami dalam menganalisa potensi yang ada, walaupun bukan hal yang mudah untuk mengarahkannya, sehingga dapat memberi motivasi untuk melakukan perubahan bagi orang lain yang mendengarnya (Serrat, 2008).

Cerita yang disampaikan biasanya mengandung sebuah makna, menunjukkan sebuah proses, pandangan hidup, dan sangat bernilai bagi si pencerita itu sendiri.

Ditambahkan lagi, menurut William Randall (dalam Trentham, t.t), storytelling juga

membantu seseorang yang memasuki usia lanjut untuk menyadari secara lebih luas mengenai bagaimana mereka menyerap norma sosial, harapan, dan tuntutan lingkungan dalam kehidupan di sekitar mereka. Berdasarkan literatur sosial, nilai

keefektifan storytelling untuk menyampaikan pesan moral dalam menjalani hidup

pada masa ini maupun untuk generasi masa depan serta untuk memenuhi tahap

perkembangan generativity (Erickson, 1963, dalam Trentham) atau fungsi kontribusi

sosial sangat berkaitan dengan individu usia lanjut (Trentham, t.t). Dalam kelompok

usia lanjut yang lebih kecil, kelompok yang menerapkan storytelling melaporkan

bahwa storytelling berhasil membantu mereka dalam mengembangkan rasa memiliki

dan membangun hubungan secara potensial antar individu yang merasa terisolasi dari lingkungannya (Pohlman, 2003; Birren & Cockran, 2001, dalam Trentham).

Maka, storytelling pada seseorang dengan usia lanjut ini diharapkan dapat

menjadi sarana diskusi ataupun berbagi cerita dengan mereka. Terdapat proses belajar dalam kegiatan ini. Melalui kegiatan ini, lansia dapat merefleksikan kekuatan atau potensi positif yang ada dalam diri mereka sehingga dimungkinkan lansia dapat menyadari kondisi mereka saat ini dengan lebih baik. Selain itu diharapkan dari proses ini mereka dapat merasa terhibur secara psikologis serta mengisi kesepian yang mereka rasakan ketika menghabiskan hari-hari di panti werdha. Melalui proses

bercerita yang dilakukan, diharapkan dapat memberi insight (wawasan mendalam)

bahwa mereka masih dibutuhkan dan interaksi sosial dengan mereka dapat terjaga.

Jadi, secara tidak langsung, kondisi happiness mereka pun kemungkinan akan

(22)

7

membawa mereka pada kondisi yang menunjang kebahagiaan, sehingga mereka akan dapat menjadi pribadi yang menyenangkan ketika bergaul dengan lingkungan sekitar.

Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai storytelling untuk

meningkatkan happiness (kebahagiaan) pada lansia yang tinggal di panti werdha.

B. Rumusan Masalah

Apakah storytelling dapat digunakan untuk meningkatkan happiness pada

lansia yang tinggal di panti werdha?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan happiness pada lansia yang

tinggal di panti werdha melalui storytelling.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran atau masukan positif bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya mengenai

pemberian storytelling untuk meningkatkan happiness pada lansia di panti

werdha.

2. Manfaat praktis.

Melalui penelitian ini diharapkan storytelling dapat dijadikan salah satu

alternatif intervensi yang berguna untuk meningkatkan kebahagiaan (happiness)

pada lansia. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat memberi gambaran

mengenai kondisi psikologis yang tekait dengan happiness pada lansia maupun

pihak yang terkait, seperti keluarga, perawat panti, ataupun pengurus panti

werdha, jika penelitian ini terbukti dapat meningkatkan happiness pada lansia di

Referensi

Dokumen terkait

seorang lansia yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang layak, lansia akan

Hipotesa dalam penelitian ini ialah ada hubungan positif antara makna hidup dengan dukungan sosial pada lansia yang tinggal di panti wreda, yang berarti semakin

Aspek lingkungan sosial yaitu hubungan antara anak lansia dengan ketua Panti, hubungan anatara lansia dengan sesama lansia, hubungan antara anak lansia dengan

Keempat domain (fisik, psikologis, sosial dan lingkungan) dimana tidak jauh berbeda kualitas hidup lansia yang tinggal di masyarakat dengan lansia yang tinggal di Rumoh

Bimbingan keagamaan sangat berperan dalam meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang adapun perannya adalah para

Terdapat hubungan antara kesehatan mulut dengan kualitas hidup lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Provinsi Kalimantan Selatan dengan arah positif, yang

GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA ABIYOSO YOGYAKARTA..

Ditunjukkan dengan lansia yang tinggal di panti werdha dalam penelitian ini memiliki penerimaan diri yang baik, hubungan yang positif dengan orang lain,