2008-2014 UNTUK ORANGUTAN SUMATERA (
Pongoabelii
)
SKRIPSI
AKHIRUL HIJRY
091201047
MANAJEMEN HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ii
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang
berjudul “Monitoring dan Evaluasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
(SRAK) Orangutan Indonesia 2008-2014 untuk Orangutan Sumatera (
Pongo
abelii
)”
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih
sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis yang telah membesarkan,
memelihara, dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Pindi Patana, S.Hut., M.Sc., dan Rahmawaty, S.Hut., M.Si.,
Ph.D., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan
memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dalam penyelesaian
proposal penelitian ini. Khusus untuk FOKUS (Forum Komunikasi Orangutan
Sumatera), BBKSDA-SU, dan OIC yang telah banyak membantu penulis selama
pelaksanaan penelitian.
Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf
pengajar dan pegawai Program Studi Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa
iii
ABSTRAK
AKHIRUL HIJRY : Monitoring dan Evaluasi Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi Orangutan Indonesia 2008-2014 untuk Orangutan Sumatera
(Pongo
abelii),
dibimbing oleh : Pindi Patana dan Rahmawaty.
Dalam peraturan perundangan Indonesia, orangutan termasuk dalam status
jenis satwa yang dilindungi. Diketahui bahwa jumlah populasi orangutan liar telah
menurun secara terus-menerus dalam beberapa dekade terakhir akibat hilangnya
hutan dataran rendah, namun pada beberapa tahun terakhir ini kecepatan
penurunan populasi orangutan terus meningkat. Menyikapi hal tersebut, maka
disusunlah suatu dokumen yang dapat menjadi panduan dalam penyelamatan
orangutan sumatera sekaligus sebagai acuan bagi para pihak yang bekerja untuk
konservasi orangutan. Penetapan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK)
Orangutan Indonesia 2007 – 2017 berguna sebagai kesatuan kerangka kerja
konservasi yang memadukan penanganan prioritas, terpadu, dan melibatkan
semua pihak dan para pemangku kepentingan.
Setelah lebih dari setengah periode berjalan, strategi dan rencana aksi yang
telah direcanakan dan yang dilaksanakan tidak begitu berefek positif terhadap
usaha-usaha konservasi orangutan. Oleh karena itu strategi dan rencana aksi ini
perlu dipantau dan dievaluasi untuk melihat sudah sejauh mana pelaksanaan
implementasinya serta tingkat keberhasilan dari program-program tersebut
sebagaimana tercantum dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
(SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017
iv
ABSTRACT
AKHIRULHIJRY: MonitoringandEvaluationStrategyandAction Plan2008-2014for
theIndonesianOrangutanConservationSumatran Orangutan(Pongo
abelii),
guidedby: PindiPatanaandRahmawaty.
InlegislationIndonesia,
orangutansare included in theprotected
speciesstatus. It is knownthat thenumberof wild populationshave declinedsteadily
inrecent decades due tothe loss oflowland forest, but inrecent yearsthe pace of
declinein orangutan populationscontinue to increase. In response,then
draftedadocumentthatcanserve as a guideinthe Sumatran orangutanrescueas
wellas areference forthose workingfor theconservationof orangutans.
DeterminationConservationStrategy and Action Plan(SRAK)
OrangutanIndonesia2007-2017usefulasunitaryframeworkthat combinesthe
handling ofpriorityconservation,
integrated,
andinvolveall
partiesandstakeholders.
After morethanhalf ofthe current year, a strategyand action planthathas
beenplannedandimplementednot sopositive effect onorangutanconservationefforts.
Therefore,strategiesand action plansneed to bemonitoredandevaluatedtoseethe
extent to whichthe implementation of theimplementationand the level
ofsuccessofsuch programsas containedindocumentConservationStrategy and
Action Plan(SRAK) OrangutanIndonesia2007-2017
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Akhirul Hijry lahir pada 9 Juli 1991 di Kota Solok,
Sumatera Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu ayah
Mulsriharto (Alm) dan ibu Oktiviarni S,Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar di SDN 01 Gunung Talang pada tahun 2003, lulus dari SMPN 01
Gunung Talang pada tahun 2006, dan lulus dari SMAN 01 Gunung Talang pada
tahun 2009. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi
Universitas Sumatera Utara dengan mengambil Program Studi Kehutanan, di
Fakultas Pertanian melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) pada tahun 2009.
Selama mengikuti pendidikan di Universitas Sumatera Utara, penulis aktif
di organisasi KAMMI, BKM Al-Mukhlisin FP USU, dan BKM Baytul Asyjaar
Kehutanan. Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH)
di Tahura xxx pada tahun 2012 selama 10 hari. Pada tahun 2013, penulis
melaksanakan Praktik Kerja Lapangana (PKL) di Taman Nasional (TN)
Sebangau, Kalimantan Tengah. Pad akhir masa kuliah, penulis melakaukan
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK
...
i
ABSTRACT
...
ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
... iii
KATA PENGANTAR
...
iv
DAFTAR ISI
...
v
DAFTAR TABEL
... vi
DAFTAR GAMBAR
... vii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...
1
Tujuan Penelitian ...
3
Manfaat Penelitian ...
3
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi Orangutan ...
4
Klasifikasi dan Anatomi Orangutan Sumatera (
Pongoabelii
) ...
5
Ancaman Kelestarian Orangutan ...
6
Status Konservasi ...
7
Monitoring ...
8
Evaluasi ...
9
vii
Batasan Penelitian ... 14
Batasan Operasional ... 14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum SRAK OU ... 16
Visi, Maksud, dan Tujuan ... 17
Wilayah Kerja SRAK OUS ... 18
Data Masing-Masing Habitat ... 20
Pemangku Kepentingan ... 24
Analisis Keterancaman Orangutan Sumatera ... 26
Evaluasi SRAK OUS ... 29
Analisis Medan Kekuatan ... 34
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 41
Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR TABEL
No.
1. Habitat dan populasi orangutan sumatera (2004) ... 19
2. Analisis keterancaman orangutan sumatera ... 27
3. Evaluasi pelaksanaan program aksi SRAK OUS 2008-2014 ... 29
4. Faktor pendukung program aksi SRAK OUS ... 35
5. Faktor penghambat program aksi SRAK OUS ... 37
ix
DAFTAR GAMBAR
No.
10
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Orangutan Sumatera
(
Pongoabelii
) dan orangutan Kalimantan
(
Pongopygmaeus
) adalah dua jenis satwa parimata yang menjadi bagian penting
dari kekayaan keanekaragaman hayati kita, dan merupakan satu-satunya kera
besar yang hidup di Asia, sementara tiga kerabatnya yaitu gorila, chimpanze, dan
bonobo hidup di benua Afrika. Orangutan dianggap sebagai suatu
‘
flagshipspecies’
yang menjadi suatu simbol untuk meningkatkan kesadaran
konservasi serta menggalang partisipasi semua pihak dalam aksi konservasi.
Orangutan juga merupakah
‘umbrella species’
elestarian orangutan di habitatnya
juga menjamin kelestarian hutan dan kelestarian makhluk hidup lainnya. Dari sisi
ilmu pengetahuan, orangutan juga sangat menarik, karena mereka menghadirkan
suatu cabang dari evolusi kera besar yang berbeda dengan garis turunan kera besar
yang terdapat di Afrika (Caldecott dan Miles, 2005).
Orangutan sumatera (
Pongo abelii
) merupakan kera besar endemik Pulau
Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak
dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu
penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan.
Kondisi ini menyebabkan orangutan berada di ambang kepunahan, serta menjadi
langka dan akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi
11
orangutan adalah satwa yang
termasuk dalam kategori genting
(
endangeredspecies
) IUCN (
International Union for Conservation of Nature and
NaturalResources
) dan tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar
Appendix I CITES (
Convention on International Trade in Endangered Spesies
).
Keadaan orangutan yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh
karena itu perlu adanya tindakan untuk pelestarian orangutan yaitu konservasi
(Meijaard et al., 2001).
Dalam peraturan perundangan Indonesia, orangutan termasuk dalam status
jenis satwa yang dilindungi. Pada IUCN Red List Edisi tahun 2002 orangutan
dikategorikan
Critically Endangered
, artinya sudah sangat terancam kepunahan.
Diketahui bahwa jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara
terus-menerus dalam beberapa dekade terakhir akibat hilangnya hutan dataran rendah,
namun pada beberapa tahun terakhir ini kecepatan penurunan populasi orangutan
terus meningkat.Menyikapi hal tersebut, maka disusunlah suatu dokumen yang
dapat menjadi panduan dalam penyelamatan orangutan sumatera sekaligus
sebagai acuan bagi para pihak yang bekerja untuk konservasi orangutan.
Penetapan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia
2007 – 2017 berguna sebagai kesatuan kerangka kerja konservasi yang
memadukan penanganan prioritas, terpadu, dan melibatkan semua pihak dan para
pemangku kepentingan.
Setelah lebih dari setengah periode berjalan, strategi dan rencana aksi yang
12
orangutan terus saja terjadi, khususnya untuk orangutan sumatera. Oleh karena itu
strategi dan rencana aksi ini perlu dipantau dan dievaluasi untuk melihat sudah
sejauh mana pelaksanaan implementasinya serta tingkat keberhasilan dari
program-program tersebut sebagaimana tercantum dalam dokumen Strategi dan
Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017
Tujuan
1.
Mengevaluasi pelaksanaan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
(SRAK) Orangutan Indonesia 2008 – 2014 untuk orangutan sumatera.
2.
Menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat yang
berpengaruh terhadap program-program Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2008 – 2014 untuk
Orangutan sumatera (
Pongo abelii
)
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam peningkatan
kualitas aksi dan implementasi program-program Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia, khususnya untuk konservasi orangutan
sumatera, yaitu berdasarkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan program, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
keberhasilan program, serta mengetahui tindakan yang dapat memberikan
13
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi Orangutan
Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri-ciri khas dasar
yang sama dengan saudara-saudara mereka dari Afrika. Pada saat ini, orangutan,
kera besar satu-satunya yang masih ada di Asia, hanya dapat ditemukan di
pedalaman hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera. Menurut anggapan beberapa
ahli taksonom, ada satu spesies dengan dua sub-spesies orangutan, satu pada tiap
pulau atau dua spesies, yaitu spesies Sumatera (
Pongo abelii
) dan spesies
Kalimantan (
Pongo pygmaeus
). Ironisnya nama “Orangutan” jarang sekali disebut
oleh penduduk di sekitar habitat alami orangutan. Di Sumatera digunakan julukan
“Mawas”. Di Kalimantan, berbagai nama digunakan, termasuk “Maias” atau
“Kahiyu” (Rijksen
dan
Meijaard, 1999
dalam
Schaik, 2006).
Nama orangutan berasal dari bahasa Melayu, yaitu “orang” dan “hutan”,
yang dapat diartikan sebagai orang yang berasal dari hutan. Selain itu juga dalam
berbagai bahasa Orangutan dikenal juga dengan nama Mawas (Sumatera Utara)
dan Maweh (Aceh). Orangutan merupakan hanya ditemui di Asia Tenggara atau
tepatnya di Indonesia dan Malaysia. Sedangkan jenis kera besar lainnya, yaitu
gorila (
Pan gorilla
), simpanse (
Pan troglodytes
), dan bonobo (
Pan paniscus
)
berada di benua Afrika (Galdikas, 1978).
14
Menurut Jones
et al.,
(2004), primata diklasifikasikan berdasarkan tiga
tingkatan taksonomi yaitu :
1. Secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang
disahkan secara terang-terangan.
2. Secara ilmiah populasi yang tidak memiliki nama yang terdapat di
daerah tersebut dengan bukti terpercaya yang taksonominya dikenali
secara terpisah kemungkinan benar.
3. Secara ilmiah nama spesies dan subspesies yang dikenali belum pasti
dan memerlukan investigasi lebih lanjut.
Berdasarkan tingkatan tersebut, orangutan Sumatera diklasifikasikan
menjadi:
Kelas
: Mammalia
Bangsa
: Primata
Anak bangsa : Anthropoidea
Famili
: Hominoidea
Subfamili
: Pongidae
Genus
: Pongo
Jenis
:
Pongo abelii.
Orangutan sumatera (
Pongo abelii
) memiliki penampilan rambut yang
lebih terang jika dibandingkan dengan orangutan kalimantan (
Pongo pygmaeus
),
warna rambut coklat kekuningan, tebal atau panjang (Supriatna
dan
Edy, 2000),
15
Pada bagian wajah orangutan sumatera (
Pongo abelii)
terkadang memiliki rambut
putih, rambut orangutan sumatera lebih lembut dan lemas dibandingkan dengan
rambut orangutan Kalimantan (
Pongo pygmaeus
) yang kasar dan jarang-jarang
(Galdikas, 1978).
Anak orangutan yang baru lahir memiliki kulit wajah dan tubuh yang
berwarna pucat dengan rambut coklat yang sangat muda dan setelah dewasa
warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umurnya. Ukuran tubuh
orangutan jantan 2 kali lebih besar daripada betina (Supriatna
dan
Edy, 2000).
Berat badan betina orangutan sumatera (
Pongo abelii)
maupun orangutan
kalimantan (
Pongo pygmaeus
) rata-rata 37 kg, sedangkan untuk berat badan
jantan orangutan sumatera (
Pongo abelii)
rata-rata 66 kg dan orangutan
kalimantan (
Pongo pygmaeus
) rata-rata 73 kg (Galdikas, 1978). Menurut
Supriatna dan Edy (2000), pada jantan mempunyai kantung suara yang berfungsi
mengeluarkan seruan panjang (
longcall
). Seruan panjang ialah suara orangutan
yang dikeluarkan dan dapat terdengar dari jarak-jarak jauh yang berfungsi untuk
merangsang perilaku seks pada betina yang artinya seruan panjang memiliki
peranan penting dalam reproduksi dan untuk seruan panjang orangutan
kalimantan. (
Pongo pygmaeus
) terdengar hingga sejauh lebih dari 2 Km serta
terdengar memukau dan menakutkan (Galdikas, 1978).
Ancaman Kelestarian Orangutan
16
ancaman yang teridentifikasi oleh para pihak yang hadir di pertemuan Berastagi
dan Pontianak dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 1. Analisis keterancaman orangutan sumatera
No. Ancaman Tingkat
Ancaman
Dampak Utama Kemungkinan Pengelolaan
1. Tekanan populasi penduduk Sedang Degradasi sumberdaya, kepunahan spesies khususnya akibat perburuan, peningkatan erosi, gangguan siklus hidrologi
- Mencegah migrasi ke Taman Nasional
- Membatasi/ mengatur
pemanfaatan sumberdaya,
- Membuat insentif untuk pindah keluar - Mengurangi perambahan 2. Perubahan Landuse – tata
guna lahan
Tinggi Degradasi dan
kerusakan sumberdaya,
kepunahan spesies, kehilangan fungsi hutan
- Melarang perubahan lahan (landuse) yang jadi habitat orangutan - Penyediaan alternatif mata pencaharian
- Mendorong ada perda yang mengakomodir ttg habitat orangutan, dengan membangun kawasan konservasi daerah di APL
3. Kebakaran hutan Tinggi Degradasi habitat,
kematian orangutan
- Pendidikan konservasi
- Pencegahan dan penanggulangan kebakaran
- Rescue dan translokasi
4. Pertambangan Sedang Perubahan dan
degradasi habitat
- Mendorong adanya aturan yang melarang pertambangan pada kawasan yang menjadi habitat orangutan
5. Penegakan aturan yang lemah Sedang Penebangan hutan dan perburuan tinggi
- Ada forum yang akan memonitor kegiatan penegakan aturan
- Ada aturan dan kebijakan
pengelolaan
orangutan di luar kawasan konservasi
6. Penebangan hutan Tinggi Habitat orangutan
berkurang, perubahan vegetasi dan penurunan populasi
- Menyusun pedoman penebangan di areal yang ada orangutan - Pengembangan kawasan konservasi daerah
7. Perburuan/ Perdagangan illegal Tinggi Kepunahan spesies, perubahan struktur komunitas
17
Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap
lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan
di dalamnya. Hutan Indonesia telah banyak berkurang akibat konversi menjadi
lahan pertanian, perkebunan, permukiman, kebakaran hutan serta praktek
pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan otonomi daerah dan
penerapan desentralisasi pengelolaan hutan pada tahun 1998 juga dipandang oleh
banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi di Indonesia
(Dephut, 2009).
Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap
lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan
di dalamnya. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan desentralisasi
pengelolaan hutan pada 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab
Pembukaan peningkatan laju deforestasi di Indonesia. Pembangunan perkebunan
dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut
berdampak terhadap upaya konservasi orangutan.
Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang
dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi
orangutan. Semenjak desentralisasi diimplementasikan sepenuhnya pada tahun
2001, sebagian tanggung jawab pengelolaan kawasan hutan diserahkan kepada
pemerintah daerah. Pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100 hektar
yang terjadi pada tahun 2001-2002 dengan pola tebang habis menyebabkan
18
Gambar 1. Peta tingkat keterancaman habitat oragutan sumatera (
Pongoabelii
)
Status Konservasi
Orangutan (
Pongo abelii
) merupakan kera besar endemik Pulau Sumatera
yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang
oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan
populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Kondisi ini
19
UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional orangutan adalah
satwa yang termasuk dalam kategori genting (
Endangered Species
) IUCN
(
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
) dan
tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar
Appendix
I CITES
(
Convention on International Trade in Endangered Spesies
). Keadaan orangutan
yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, perlu adanya
tindakan untuk pelestarian orangutan berupa kegiatan konservasi (Meijaard
et al.,
2001).
Monitoring
Monitoring merupakan proses pengumpulan informasi ( data dan fakta )
dan pengambilan keputusan – keputusan yang diambil dalam pelaksanaan
program dengan maksud untuk menghindari terjadinya keadaan – keadaan kritis
yang akan mengganggu pelaksanaan program sehingga program tersebut tetap
dapat dilaksanakan seperti yang direncanakan demi tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan ( Mardikanto, 1993 ).
Dalam kaitannya dengan program, monitoring diartikan sebagai suatu
proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektifitas dan dampak kegiatan –
kegiatan program yang sedang berjalan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai
20
memastikan bahwa pengadaan/penggunaan input, jadwal kerja, hasil yang
ditargetkan dan tindakan – tindakan lainnya yang diperlukan berjalan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan ( Sinar Tani, 2001 ).
Dengan melaksanakan monitoring, berarti ingin diketahui secara tepat dan
pasti mengenai pengamatan atas bukti dan fakta tentang proses dan pencapaian
tujuan yang diharapkan dan penemuan hambatan – hambatan maupun factor
pendorong mencapai keberhasilan ( Ginting, 2000 ).
Evaluasi
Evaluasi adalah teknik penilaian kualitas program yang dilakukan secara
berkala melalui metode yang tepat. Pada hakekatnya, evaluasi diyakini sangat
berperan dalam upaya peningkatan kualitas operasional suatu program dan
berkontribusi penting dalam memandu pembuat kebijakan diseluruh strata
organisasi. Dengan menyusun, mendesain evaluasi yang baik dan menganalisi
hasilnya dengan tajam, kegiatan evaluasi dapat member gambaran tentang
bagaimana kualitas operasional program, layanan, kekuatan dan kelemahan yang
ada, efektifitas biaya dan arah produktif potensial masa depan. Dengan
menyediakan informasi yang relevan untuk pembuat kebijakan, evaluasi dapat
membantu menata seperangkat prioritas, mengarahkan alokasi sumber dana,
memfasilitasi modifikasi, penajaman struktur program dan aktifitas sertamemberi
sinyal akan kebijakan penataan ulang personil dan sumber daya yang dimiliki. Di
21
Masalah utama dalam evaluasi adalah bahwa agen penyuluhan sering
melihatnya sebagai sebuah ancaman, terutama jika mereka kurang percaya diri
atau tidak yakin akan penilaian atasannya terhadap tugas mereka. Ini dapat
menjadi masalah terutama pada budaya dimana kritik dapat menyebabkan
kehilangan muka dan tidak bias dilihat sebagai cara yang positif untuk membantu
agar penyuluh memperbaiki tugasnya. Oleh karena itu, penting bagi agen
penyuluhan untuk tidak ragu – ragu terhadap penilaian tugasnya, dan berbicara
penuh dengan keyakinan untuk diperolehnya masukan yang baik ( Van den Bad
dan
Hawkins, 1999 ).
Beberapa evaluasi dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan metode
ilmu – ilmu sosial, tetapi sebagian besar dilakukan oleh agen penyuluhan.Untuk
itu perlu dikembangkan metodologi yang lebih sedehana, sesuai dan kurang
menyita waktu. Evaluasi sebagai pemberi informasi digunakan agen penyuluhan
sebagai dasar pengambilan keputusan walaupun biasanya keputusan juga
didasarkan pada bayangan yang ditunjukkan oleh banyak sumber informasi, dan
tidak dari satu sumber saja. Evaluasi dapat melengkapi basis informasi sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan bertahap dalam rencana ( van den ban &
Hawkins, 1999 ).
Tujuan dari evaluasi adalah untuk menentukan relevansi, efisiensi,
efektifitas dan dampak dari kegiatan dengan pandangan untuk menyempurnakan
kegiatan yang sedang berjalan, membantu perencanaan, penyususnan program dan
22
mengambil tindakan yang korektif tepat pada waktunya jika terjadi masalah dan
hambatan (Sinar Tani, 2001 ).
Gambaran Umum SRAK OU 2007-2017
Berawal dari kondisi orangutan yang sangat memprihatinkan, telah
mendorong para peneliti, pelaku konservasi, pemerintah, dan pemangku
kepentingan lainnya untuk mencari solusi terbaik yang dapat menjamin
keberadaan primata itu di tengah upaya negara menyejahterakan masyarakatnya.
Serangkaian pertemuan untuk menyusun strategi konservasi berdasarkan kondisi
terkini orangutan telah diadakan, dimulai dari Lokakarya Pengkajian Populasi dan
Habitat (
Population Habitat and Viability Analysis
) di Jakarta pada 2004,
kemudian dilanjutkan dengan pertemuan multipihak di Berastagi, Sumatera Utara,
pada September 2005, dan di Pontianak, Kalimantan Barat pada Oktober 2005,
serta di Samarinda pada Juni 2006. Ketiga pertemuan terakhir menyertakan pula
pemerintah daerah di seluruh daerah sebaran orangutan, kalangan industri
perkayuan, perkebunan kelapa sawit, dan utusan masyarakat, selain peneliti dan
pelaku konservasi. Dialog yang dilakukan antara berbagai pihak dengan latar
belakang kepentingan yang berbeda di ke-tiga pertemuan itu telah menghasilkan
serangkaian rekomendasi yang mencerminkan keinginan baik semua pihak untuk
melestarikan orangutan (Forina, 2013.)
23
Conservation Services Program
(OCSP)- USAID, telah mensintesis semua butir
rekomendasi dari pertemuan Berastagi dan Pontianakdan Samarinda melalui
pembahasan diskusi kelompok terfokus (FGD) di Jakarta 6 Novermber 2007,
FGD di Bogor 30-31 Oktober 2007, FGD Jakarta 8 November 2007, Lokakarya di
Jakarta 15-16 November dan Finalisasi di Bogor 20-21November 2007 ke dalam
suatu
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Orangutan
. Penyusunan
strategi dan rencana aksi ini melibatkan kembali berbagai pihak yang berperan
serta menghasilkanseluruh butir rekomendasi yang ada. Dengan demikian, proses
yang terjadi juga dapat dipandang sebagai upaya mengevaluasi pencapaian target
konservasi sejak rekomendasi aksi dicanangkan, selain sebagai upaya
memperbarui informasi sebaran dan populasi orangutan. Seluruh rangkaian proses
ini diharapkan menghasilkan sebuah acuan yang dapat diterima dan dijalankan
semua pihak, sehingga dalam sepuluh tahun yang akan datang kondisi orangutan
dan hutan dataran rendah yang menjadi habitatnya akan menjadi lebih baik dari
saat ini (Forina, 2013)
Visi SRAK OU 2007-2017
Terjaminnya keberlanjutan populasi orangutan dan habitatnya melalui
kemitraan para pihak.
Maksud SRAK OU 2007-2017
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Orangutan disusun
sebagai upaya merumuskan kesepakatan para pihak ke dalam serangkaian
rekomendasi aksi yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan populasi
orangutan di dalam proses pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
24
Tujuan disusunnya Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan
adalah sebagai acuan bagi para pihak untuk menentukan prioritas kegiatan
konservasi insitu dan eksitu, serta merancang program pembangunan yang tidak
mengancam keberlanjutan populasi orangutan, sehingga kondisi orangutan di
alam menjadi lebih baik dalam sepuluh tahun mendatang. Sasaran yang ingin
dicapai sampai tahun 2017 adalah :
1. Populasi dan habitat alam orangutan sumatera dan kalimantan dapat
dipertahankan atau dalam kondisi stabil.
2. Rehabilitasi dan reintroduksi orangutan ke habitat alamnya dapat
diselesaikan pada 2015.
3. Dukungan publik terhadap konservasi orangutan sumatera dan
kalimantan pada habitat alamnya meningkat
4. Pemerintah daerah dan pihak industri kehutanan serta perkebunan
menerapkan tata kelola yang menjamin keberlanjutan populasi orangutan
dan sumberdaya alam.
5. Pemahaman dan penghargaan semua pihak terhadap keberadaan
orangutan di alam meningkat
Wilayah Kerja SRAK OUS
Saat ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi
Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling
25
Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Data ukuran
populasi orangutan di berbagai blok habitat di Sumatera beserta sebarannya
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 di bawah (sumber: Wich, dkk draft).
Tabel 2. Habitat dan populasi orangutan sumatera (2004)
No. Unit Habitat Perkiraan Jumlah Orangutan
Blok Habitat Hutan
Primer (km2)
Habitat Orangutan
(km2)
1. Seulawah 43 Seulawah 103 85
2. Aceh Tengah Barat 103 Beutung (Aceh Barat) Inge
1297 352
261 10
3. Aceh Tengah Timur 337 Bandar-Serajadi 2117 555
4. Leuser Barat 2508 Kluet Highland (Aceh Barat Daya) G. Leuser Barat
Rawa Kluet
G. Leuser / Demiri Timur Mamas-Bengkung
1209 1261 125 358 1727
934 594 125 273 621
5. Sidiangkat 134 Puncak Sidiangkat / Bukit Ardan 303 186
6. Leuser Timur 1052 Tamiang
Kapi dan Hulu Lesten Lawe Sigala-gala Sikundur-Langkat
1056 592 680 1352
375 220 198 674
7. Rawa Tripa 280 Rawa Tripa (Babahrot) 140 140
8. Trumon-Singkil 1500 Rawa Trumon-Singkil 725 725
9. Rawa Singkil Timur 160 Rawa Singkil Timur 80 80
10. Batang Toru Barat 400 Batang Toru Barat 600 600
11. Sarulla Timur 150 Sarulla Timur 375 375
Total 6667 14452 7031
Dari data yang disajikan pada tabel di atas dapatlah diketahui bahwa
populasi orangutan terbesar terdapat di wilayah habitat Leuser Barat dengan
perkiraan jumlah individu orangutan sebanyak 2508 individu, dan untuk wilayah
habitat dengan jumlah individu orangutan terkecil terdapat di Seulawah dengan
26
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, yaitu meliputi;
Medan kota, Medan Maimun, Medan Denai, Medan Amplas, dan Medan Area.
Dengan pertimbangan bahwa semua pemangku kepentinganterkait
pelaksanaanStrategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia
2007 – 2017 untuk orangutan sumatera berada di kawasan kota Medan. Waktu
pelaksanaan penelitian Juli-September 2014.
Alat dan Bahan
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis untuk menulis,
kamera digital utuk dokumentasi, perangkat komputer untuk mengolah data.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar monitoring dan
evaluasi indikator kesuksesan Rencana Aksi Nasional Konservasi Orangutan
Indonesia 2007-2017
27
Metode pengambilan sampel adalah secara
purposive
. Dimana yang akan
menjadi sample penelitian adalah pihak-pihak terkait pelaksanaan program SRAK
2007-2017.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang langsung diperoleh dari orang yang ada di lapangan. Data
primer dalam penelitian ini diperoleh melalui kuisioner dan wawancara kepada
respondenuntukmengetahui bagaimana pelaksanaan program-program Strategi
dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017
berjalan, serta capaian dari program-program yang telah dilaksanakan.
Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi :
a.
Karakteristik responden yang digunakan untuk validitas dan reliabilitas
sumber data, berupa : umur, suku, agama, pendidikan.
b.
Evaluasi pencapaian program sesuai dengan indikator yang ditetapkan
dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK)
Orangutan Indonesia 2007 – 2017.
c.
Faktor-faktor pendukung dan penghambatpelaksanaan programyang
diketahui dari para pemangku kepentingan.
Analisis Data
Analisis Medan Kekuatan(Force Field Analysis)
Analisis data pada penelitian ini menggunakan metode analisis medan
28
terhadap faktor-faktor kekuatan tersebut (Lewin, 1951). Adapun tahapan yang
dilakukan dalam melakukan analisis medan keuatan adalah sebagai berikut,
1.
Tentukan program yang akan dianalisis
2.
Menetukan bidang perubahan yang akan dibahas. Bidang perubahan ini
dapat ditulis sebagai sasaran kebijakan yang diinginkan atau tujuan.
3.
Semua kekuatan yang mendukung adanya perubahan kemudian ditulis
dalam kolom di sebelah kiri (mendorong perubahan ke depan),
4.
Sementara semua kekuatan penentang munculnya perubahan ditulis dalam
kolom di sebelah kanan (penghambat perubahan).
5.
Kekuatan pendorong dan penghambat ini kemudian diberi skor sesuai
dengan ‘magnitude’ masing2, mulaidari skor satu (lemah) hingga skor
lima (kuat). Skor yang diperoleh bisa jadi tidak seimbang
dimasing-masing sisi.
6.
Menetapkan tindakan yang dapat dilakukan menghadapi
kekuatan-kekuatan tersebut. Dampak paling signifikan akan dipeoleh dengan cara
meningkatkan kekuatan pendukung yang lemah sementara mengurangi
kekuatan penghambat yang kuat.
7.
Dalam upaya mempengaruhi kebijakan sasaran utamanya adalah
menemukan cara untuk mengurangi kekuatan-kekuatan penghambat
29
Gambar 1. Analisis Medan Kekuatan (
Force Field Analysisis
)
Skala Likert
Untuk keperluan analisis ini, pengolahan data yang diperoleh dilakukan
dengan cara memberikan bobot penilaian dari setiap program yang dilaksanakan
menggunakan skala Likert. Menurut Sugiyono (2004; 84), skala Likert dapat
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala Likert, maka variabel
yang akan diukur dijabarkan menjadi sub variabel. Kemudian sub variabel
dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat terukur.
Komponen-komponen yang terukur ini kemudian dijadikan sebagai titik tolak untuk
menyusun item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan yang
kemudian dijawab oleh responden atau oleh peneliti berdasarkan kondisi
responden. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert
mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Untuk keperluan
analisis secara kuantitatif, maka jawaban yang diperoleh dari kuesioner akan
diberikan bobot penilaian berdasarkan skala Likert seperti terlihat pada tabel 3
dibawah ini, yaitu :
Tabel 3.Pembobotan Skala Likert
PencapaianProgram
Bobot
30
Baik
4
Cukup
3
Buruk
2
Sangat Buruk
1
Data yang telah terkumpul kemudian diproses dan dianalisis secara
kualitatif. Analisis data secara kulitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan
impelementasi program selama tahun 2008-2014 yang kemudian disajikan dalam
bentuk tabel.
Batasan Penelitian
Untuk menghindari kesalahan pengertian dan definisi yang berbeda – beda
dalam mengartikan hasil penelitian ini, maka perlu didefinisikan beberapa hal
yang berkaitan dengan isi laporan guna memberikan batasan – batasan terhadap
setiap variable yang diteliti.
1.
Monitoring adalah kegiatan untuk memastikan dan mengendalikan
keserasian pelaksanaan program dengan perencanaan yang telah
ditetapkan.
2.
Evaluasi adalah teknik penilaian kualitas program yang dilakukan
secara berkala melalui metode yang tepat.
3.
Evaluasi kinerja lembaga-lembaga terkait adalah evaluasi yang
31
2007 – 2017 untuk orangutan sumatera (
Pongoabelii
) melaksanakan
fungsinya sesuai dengan kondisi dan porsinya.
Batasan Operasional
Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman dalam penelitian
ini, maka dibuat batasan operasional sebagai berikut.
1.
Daerah penelitian adalah kota Medan.
2.
Dalam penelitian ini yang dimonitoring dan dievaluasi adalah
pelaksanaan program-program serta indikator keberhasilan yang
terdapat pada dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK)
Orangutan Indonesia 2007 – 2017.
3.
Sampel dalam penelitian ini adalah kepala para pemangku kepentingan
yang tercantum dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
(SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017.
32
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi SRAK OU 2007-2014
Sesuai dengan panduan nasional, strategi dan rencana aksi konservasi
orangutan memiliki rentang waktu selama sepuluh tahun, yaitu terhitung dari
tahun 2008 hingga tahun 2017. Hingga sekarang (2014) sudah lebih dari setengah
periode berjalan. Oleh karena itu sebagian besar program-program aksi yang
direncanakan seharusnya sudah terlaksana, mengingat sebagian besar program
memiliki rentang kerja dari 2008-2014, dan hanya sebagian kecil program yang
direncanakan tahun 2015-2017.
Evaluasi yang dilakukan berdasarkan data impelementasi kerja yang
dihimpun dari stakeholder yang bertanggungjawab atas program aksi yang
direncanakan. Sebagian besar data diperoleh dari Forum Komunikasi Stakeholder
Orangutan Sumatera (FOKUS) yang mewadahi stakeholder dalam program aksi
SRAK OUS. Data kinerja dari seluruh stakeholder yang dihimpun kemudian di
sesuaikan dengan indikator kesuksesan yang terdapat dalam panduan nasional
untuk menilai apakah program aksi yang dilaksanakan sesuai dengan panduan
nasional sekaligus mengukur tingkat pencapaian program aksi.
Berdasarkan data kinerja yang dihimpun, seluruhnya berjumlah 230
program aksi yang telah dilaksanakan oleh stakeholder orangutan sumatera. Data
kineja yang dihimpun tersebut kemudian dilakukan monitoring sesuai sasaran
33
Tabel 4. Evaluasi Pelaksanaan Program Aksi SRAK OUS 2008-2014
NO. Kategori ∑ Program ∑ Indikator Capaian Total
Skala Likert Persentase (%)
1 22 33 4 55 1 2 3 4 5
1 Strategi meningkatkan pelaksanaan konservasi insitu sebagai kegiatan utama penyelamatan orangutan di habitat aslinya (A1)
8 18 4 3 3 4 4 22,22% 16,67% 16,67% 22,22% 22,22% 100%
2 Strategi mengembangkan konservasi eksitu sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi insitu orangutan (A2)
10 27 11 5 3 7 1 40,74% 18,52% 11,11% 25,93% 3.70% 100%
3 Strategi meningkatkan penelitian untuk mendukung konservasi orangutan (A3)
8 24 2 6 15 1 8,33% - 25,00% 62,50% 4,17 100%
4 Strategi mengembangkan dan mendorong terciptanya kawasan koservasi daerah berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, status hukum, dan kearifan masyarakat (B1)
7 11 1 3 3 2 2 9.08% 27,27 27,27 18,19 18,19 100%
5 Strategi implementasi dan menyempurnakan berbagai peraturan perundangan untuk mendukung keberhasilan konservasi orangutan (B2)
12 23 16 1 2 3 1 69,57% 4,35% 8,69% 13,04% 4,35% 100%
6 Strategi meningkatkan dan memperluas kemitraan antara pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan konservasi orangutan Indonesia (C1)
6 13 4 1 1 3 4 30,77% 7,69% 7,69% 23,08% 30,77% 100%
7 Strategi mengembangkan kemitraan lewat pemberdayaan masyarakat (C2)
6 12 3 - 2 4 3 25.00 - 16,67% 33.33 25.00 100%
8 Strategi menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak pelaksana konservasi orangutan di Indonesia (C3)
3 9 6 - 1 1 1 66,67% - 11,11% 11,11% 11,11% 100%
9 Strategi meningkatkan kesadartahuan masyarakat dan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan komitmen mengenai pentingnya upaya konservasi orangutan Indonesia (D1)
9 20 10 1 4 2 3 50,00% 5,00% 20,00% 10,00% 15,00% 100%
10 Strategi meningkatkan dan mempertegas peran pemerintah, pemda, LSM, serta mencari dukungan lembaga dalam dan luar negeri untuk penyediaan dana bagi konservasi orangutan (E1)
5 7 3 - 3 1 - 42,86% - 42,86% 14,28% - 100%
Total 74 164 60 14 28 42 20 36,59% 8,54% 17,07% 25,61% 12,19% 100%
34
Dari 74 program aksi dan 164 indikator keberhasilan program yang terdapat
dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Nasional,
keseluruhannya terbagi dalam 10 (sepuluh) kategori aksi utama, yaitu strategi
peningkatan konservasi insitu, strategi mengembangkan konservasi eksitu, strategi
meningkatkan penelitian, strategi pengembangan kawasan konservasi, Strategi
implementasi dan penyempurnaan perundangan, strategi meningkatkan kemitraan,
strategi pemberdayaan masyarakat, strategi penguatan komitmen pelaksana konservasi,
strategi meningkatkan penyadartahuan, dan strategi pendanaan
1.
Strategi Peningkatan Konservasi Insitu
Pada kategori aksi ini terdapat 8 (delapan) program aksi dengan 18 (delapan
belas) indikator keberhasilan. Berdasarkan skala Likert, program aksi yang dievaluasi
yang memiliki penilaian Baik dan Sangat Baik yaitu masing-masing sebanyak 4
indikator, yaitu keduanya sebesar 44,44%. Ditambah dengan 3 indikator program yang
bernilai Cukup sebesar 16,67%, sehingga bila dijumlahkan secara keseluruhan indikator
aksi yang bernilai Cukup sampai dengan Sangat Baik berjumlah 61,11 %. Dari data
tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar program yang dilaksanakan telah berjalan
dengan baik dan cukup dapat memenuhi indikator keberhasilan program.
2.
Strategi Mengembangkan Konservasi Eksitu
Kategori strategi mengembangkan konservasi eksitu merupakan kategori aksi
dengan jumlah program aksi terbanyak kedua setelah strategi implementasi dan
penyempurnaan perundangan, yaitu sebanyak 10 (sepuluh) program aksi. Tapi
dibandingkan dengan kategori aksi yang lain, kategori ini memiliki jumlah indikator
evaluasi program terbanyak, yaitu sebanyak 27 (dua puluh tujuh) indikator keberhasilan.
35
yang disajikan dapat diketahui bahwa lebih dari 50% indikator evaluasi bernilai tidak
memuaskan karena tidak sesuai dengan indikator pencapaian.
3.
Strategi Meningkatkan Penelitian
Rencana aksi yang terdapat pada kategori ini berjumlah 8 (delapan) program.
Namun dari segi jumlah indikator evaluasi merupakan kategori aksi dengan indikator
terbanyak kedua setelah strategi mengembangkan konservasi insitu, yaitu memiliki
indikator evaluasi sebanyak 24 (dua puluh empat) indikator.
Kategori aksi ini juga merupakan kategori dengan penilaian evaluasi
impelementasi program yang paling baik, dengan 6 indikator dengan nilai Cukup pada
skala Likert sebesar 25%, 15 indikator dengan nilai Baik sebesar 62,50%, dan 1 indikator
dengan penilaian Sangat Baik sebesar 4,17%.
4.
Strategi Pengembangan Kawasan Konservasi
Pada kategori aksi strategi pengembangan kawasan konservasi ini terdapat 7
(tujuh) program aksi dengan 11 (sebelas) indikator keberhasilan. Berdasarkan penilaian
menggunakan skala Likert, persentase paling tinggi yaitu pada evaluasi bernilai Buruk
sebanyak 3 indikator aksi, dan Cukup sebanyak 3 indikator aksi, yaitu masing-masing
sebesar 27,27%. Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi program aksi pada
kategori ini berjalan tidak begitu baik, karena walau semua program aksi dapat
dilaksanakan tapi tidak mencapai indikator keberhasilan yang diharapkan.
5.
Strategi Implementasi dan Penyempurnaan Perundangan
Kategori strategi implementasi dan penyempurnaan perundangan merupakan
kategori aksi dengan jumlah program aksi terbanyak, yaitu sebanyak 12 (dua belas)
program aksi. Sedangkan untuk indikator evaluasi program aksi berjumlah 23 (dua puluh
tiga) indikator keberhasilan. Namun untuk evaluasi berdasarkan skala Likert, kategori ini
juga merupakan kategori aksi dengan kondisi impelementasi program terburuk.
36
sebesar 69,57%. Sedangkan untuk indikator aksi dengan predikat Buruk sejumlah 1
indikator evaluasi sebesar 4,35%. Sehingga apabila dijumlah antara indikator aksi dengan
predikat Sangat Buruk dan Buruk yaitu sebesar 73,92%. Dan hanya 26,08% dari
keseluruhan indikator keberhasilan dengan predikat Cukup, Baik, dan Sangat Baik.
6.
Strategi Meningkatkan Kemitraan
Rencana aksi yang terdapat pada kategori ini berjumlah 6 (enam) program, dan
indikator evaluasi program berjumlah 13 (tiga belas) indikator.
Bedasarkan evaluasi indikator keberhasilan menggunakan skala Likert, pada
kategori ini memiliki penilaian Sangat Baik tertinggi dibandingkan kategori aksi lainnya,
yaitu 4 indikator evaluasi bernilai sangat baik sebesar 30,77%. Hal ini menunjukkan
bahwa kemitraan antara pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan
masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan konservasi orangutan Indonesia telah
berjalan dengan baik. Walaupun demikian masih ada beberapa indikator keberhasilan
program yang masih belum tercapai.
7.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pada kategori aksi ini terdapat 6 (enam) program aksi dengan 12 (dua belas)
indikator keberhasilan. Berdasarkan penilaian menggunakan skala Likert, tidak ada
indikator evaluasi program yang bernilai Buruk, namun ada 3 indikator yang berpredikat
Sangat Buruk sebesar 25%. Sedangkan untuk indikator aksi yang berpredikat Cukup,
Baik, dan Sangat Baik, seluruhnya berjumlah 9 indikator sebesar 75% Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar program dilaksanakan telah berjalan dengan baik dan
dapat memenuhi indikator keberhasilan program.
8.
Strategi Penguatan Komitmen Pelaksana Konservasi
37
keberhasilan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa masalah komitmen belum menjadi
perhatian utama dalam strategi dan rencana aksi konservasi orangutan Nasional.
Berdasarkan evaluasi menggunakan skala Likert, pada kategori aksi ini sebanyak
6 indikator aksi memiliki penilaian Sangat Buruk, yaitu sebesar 66,66%. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar program yang dilaksanakan tidak mencapai indikator
keberhasilan yang ditetapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjalanan
implementasi program aksi pada kategori penguatan komitmen adalah sangat buruk.
9.
Strategi Meningkatkan Penyadartahuan
Program aksi yang terdapat pada kategori ini berjumlah 9 (sembilan) program,
dan memiliki 20 (dua puluh) indikator evaluasi program.
Bedasarkan evaluasi indikator keberhasilan menggunakan skala Likert, 10
indikator keberhasilan program berpredikat Sangat Buruk, dan 1 indikator dengan
predikat Buruk. Sisanya hanya 4 indikator dengan predikat Cukup, 2 indikator dengan
predikat Baik, dan 3 indikator dengan predikat Sangat Baik. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa upaya untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat dan para
pemangku kepentingan untuk meningkatkan komitmen mengenai pentingnya upaya
konservasi orangutan Sumatera telah berjalan cukup baik, walau masih banyak indikator
keberhasilan program yang tidak tercapai.
10.
Strategi Pendanaan
38
yaitu mencari dana pengelolaan dari pembayaran jasa lingkungan untuk perlindungan
habitat orangutan.
Analisis Implementasi Program SRAK OUS 2007-2014
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa program dalam rencana aksi
konservasi orangutan berjumlah 74 program, dan dirincikan ke dalam 164
indikator pencapaian untuk melihat kesuksesan pelaksanaan program.
Keseluruhan program tersebut masing-masing dikelompokkan berdasarkan
kategori program aksi menjadi 10 (sepuluh) kategori.
Dari keseluruhan kategori aksi, strategi implementasi dan
menyempurnakan berbagai peraturan perundangan untuk mendukung
keberhasilan konservasi orangutan memiliki jumlah program aksi terbanyak
sebanyak 12 (dua belas) program. Hal ini menunjukkan bahwa masih perlunya
perhatian yang besar terhadap aturan yang melindungan populasi dan habitat
orangutan, baik dari segi implementasi aturan maupun penerapan perundangan
yang menindak segala bentuk pelanggaran terhadap orangutan. Namun disisi lain,
strategi implementasi dan menyempurnakan berbagai peraturan perundangan
untuk mendukung keberhasilan konservasi orangutan sekaligus memiliki
peniliaian terburuk, yaitu 16 indikator dari 23 indikator bernilai 1 (sangat buruk)
dalam skala likert, yaitu sebesar 69,57% Hal ini menandakan bahwa masih
lemahnya perhatian terhadap adanya aturan perundangan yang melindungi habitat
dan populasi orangutan sekaligus juga menandakan bahwa lemahnya
impelementasi aturan yang diberlakukan. Kondisi ini tentunya juga meruapakan
imbas dari lemahnya kapasitas lembaga-lembaga yang menjadi pelaksanan
penegakan hukum. Sesuai dengan hasil evaluasi pelaksanaan program, bahwa
39
meningkatan kapasitas lembaga terkait dalam penanganan orangutan juga tidak
terlaksana. Ditambah dengan lemahnya diseminasi aturan larangan memelihara,
memperdagangkan orangutan.
Terkait dengan kategori aksi strategi implementasi dan menyempurnakan
berbagai peraturan perundangan untuk mendukung keberhasilan konservasi
orangutan, program aksi upaya untuk memfasilitasi perubahan lampiran PP 7
Tahun 1999 terkait dengan status taksonomi orangutan sejauh ini juga belum
terlaksana terlaksana, padahal Orangutan Sumatera (Pongo abelii) belum tercatat
dalam lampiran PP. No.7/1999, tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah tidak terlaksananya pemantauan dan
evaluasi baik dan berkelanjutan terhadap implementasi komitmen dan konvensi
Internasional yang telah diratifikasi (GRASP, CBD, CITES), sehingga komitmen
untuk konservasi orangutan terkesan hanya setengah-setengah dan hanya
berprospek proyek semata.
Sedangkan pada kategori strategi mengembangkan konservasi eksitu
sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi insitu orangutan yang memiliki
indikator aksi terbanyak yaitu sebanyak 27 indikator untuk mengukur
keberhasilan program. Hal ini menunjukan bahwa ada banyak hal yang harus
diperhatikan dan dibenahi untuk mengembangkan pelaksanaan konservasi eksitu
agar benar-benar dapat mendukung pelaksanaan aksi konservasi orangutan.
Namun banyaknya indikator evaluasi tidak serta merta menjadikan program
40
program tidak terlaksana, yaitu sebanyak 11 indikator sebesar 40,74%. Program
aksi yang menjadi perhatian penting dalam kategori ini adalah ini adalah tidak
adanya studbook orangutan, sehingga tidak adanya data tentang jumlah serta
kondisi orangutan yang dikelola di kawasan konservasi eksitu. Keterampilan
teknis konservasi orangutan yang kurang memadai serta tidak adanya peningkatan
kapasitas pengelola orangutan di kebun binatang ditambah dengan evaluasi
kinerja kebun binatang yang tidak berjalan maksimal menjadi faktor yang
menyebabkan terjadinya kematian pada orangutan di kebun binatang, di kebun
binatang Medan misalnya. Hal ini membuktikan bahwa masih lemahnya
pengawasan pengelolaan orangutan di eksitu.
Hal lain yang menjadi perhatian dalam strategi mengembangkan
konservasi eksitu sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi insitu orangutan
adalah tidak adanya interaksi dan kerjasama antara kebun binatang dengan
sekolah untuk melaksanakan program aksi pendidikan konservasi. Tentunya jika
adanya MoU kerjasama antara kebun binatang, taman safari, dengan sekolah
sesuai dengan program rencana aksi tentu akan dapat meningkat kunjungan
terhadap kebun binatang, terutama di kalangan pelajar . Serta keberadaan
informasi yang disediakan kebun binatang tentang konservasi orangutan yang
memadai dan berifat edukasi juga dapat menjadi pemancing untuk meningkat
kepedulian sekolah dan pelajar terhadap konservasi orangutan.
Strategi meningkatkan dan memperluas kemitraan antara pemerintah,
41
sehingga bernilai 30,77%. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran yang
meningkat di kalangan pemerintah tentang konservasi orangutan serta adanya
dorongan yang kuat dari pemerintah terhadap agenda-agenda koservasi. Hal ini
terbukti dengan adanyanya payung hukum di bidang konservasi yang dikeluarkan
pemerintah yang mengatur tentang Tim Penanggulangan Konflik Satwa (PP No.
48 Tahun 2008, Permenhut P.53/Menhut-1/2007, Surat Keputusan Gubernur
Sumatera Utara Nomor 188.44/535/KPTS/2011 tanggal 28 April 2011, Surat
Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/536/KPTS/2011 tanggal 28
April 2011). Dalam hal penguatan forum komunikasi antar pakar serta para pihak
yang berkepentingan terhadap konservasi, juga telah dikeluarkannya Surat
Keputusan Kepala Balai Besar KSDA Sumatera Utara Nomor :
SK.277/BBKSDASU-1/2009, untuk memberikan legalitas kepada FOKUS
(Forum Komunikasi Orangutan Sumatera) yang berfungsi sebagai wadah
multistakeholder. Kerjasama dan kemitraan antar sesama lembaga konservasi juga
berjalan baik. Hal ini terbukti dengan adanya kerjasama antara sesama NGO
Lokal maupun dengan lembaga konservasi Internasional dalam pelaksanaan
program aksi yang lebih efektif dan efisien.
Secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa perjalanan SRAK OU dari
tahun 2008-2014 masih belum dapat dikatakan baik. Hal ini dibuktikan dengan
masih banyaknya program aksi yang tidak terlaksana dan indikator keberhasilan
program aksi yang tidak tercapai. Hal yang menjadi penyebab adalah lemahnya
42
diperoleh dari pengelolaan jasa lingkungan. Dari pihak swasta, sejauh ini baru ada
satu perusahaan (PT. Musim Mas) yang ada mengalokasikan dana untuk
mendukung aksi konservasi orangutan. Sistem monitoring terhadap dampak dari
proyek atau program masih juga lemah. Hal ini dibuktikan dengan tidak rutinnya
laporan impelementasi program yang disampaikan stakeholder dan pertemuan
yang tidak berjalan sesuai target evaluasi per tahun. Keterampilan teknis
konservasi orangutan belum memadai juga berpengaruh terhadap kesuksesan
pelaksanaan aksi konservasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya program yang
tidak terlaksana dikarenakan SDM yang tidak mendukung. Serta masih adanya
perbedaaan cara pandang antara para pihak mengenai konservasi Orangutan
menjadikan rencana aksi konservasi orangutan masih terhambat.
Analisis Medan Kekuatan (Force Field Analysis)
Faktor Pendukung
Analisis data dengan metode analisis medan kekuatan (
Force Field
Analysis
) bertujuan untuk mengevaluasi perjalanan pelaksanaan SRAK OU untuk
orangutan sumatera, sekaligus memberikan masukan berupa strategi untuk
memperkuat faktor pendukung dan melemahkan faktor penghambat yang
mempengaruhi pelaksanaan program. Secara umum metode FFA memiliki
beberapa persamaan dengan analisis SWOT, namun kelebihannya penggunaan
metode analisis medan kekuatan dapat memberikan rekomendasi untuk
43
faktor penghambat mulai dari faktor sangat berpengaruh hingga faktor tidak
[image:43.595.104.524.186.577.2]berpengaruh yang diperoleh berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program.
Berikut merupakan analisis terhadap faktor pendukung SRAK OUS,
Tabel 5. Faktor pendukung pelaksanaan SRAK OUS
Faktor Pendukung Skor Keterangan
Adanya kesadaran yang meningkat di kalangan pemerintah tentang Konservasi orangutan.
3 Dikatakan cukup berpengaruh, karena pemerintah dalam beberapa hal telah menunjukan komitmen untuk mendukung konservasi orangutan, seperti pemberian payung hukum terhadap aksi-aksi konservasi. Namun dalam hal pendanaan, seperti pengalokasian APBD masih terkendala
Tersedianya lembaga konservasi dan tenaga ahli (peneliti) yang mendukung konservasi orangutan
5 Dikatakan sangat berpengaruh, karena aksi-aksi konservasi yang bersifat lokal lebih didominasi oleh lembaga-lembaga konservasi, termasuk turunan dari program pemerintah. Disamping juga lembaga konservasi banyak tersebar di beberapa wilayah dan memiliki jaringan yang kuat. Diterapkannya kebijakan mendorong peningkatan
populasi orangutan sebesar 3%
4 Dikatakan berpengaruh, karena kebijakan mendorong peningkatan populasi orangutan sebesar 3 persen merupakan kebijakan yang menguntungkan untuk pelaksanaan aksi-aksi konservasi.
Komitmen perusahaan untuk mendukung kegiatan konservasi
4 Dikatakan berpengaruh, karena perusahaan yang bersinggungan dengan wilayah konservasi sudah menampakkan kepedulian terhadap konservasi orangutan, seperti komitmen untuk mendukung kelestarian dengan kebun lestari, ikut berperan dalam pengelolaan habitat dan penanganan satwa, adanya kebijakan alokasi lahan konservasi, adanya divisi khusus untuk lingkungan, serta adanya dukungan financial.
Dalam kaitannya dengan penelitian, sudah memiliki tenaga yang berpengalaman, dan adanya tenaga peneliti muda di Medan dan Aceh.
4 Dikatakan berpegaruh, karena ketersediaan tenaga peneliti berpengalaman yang banyak bekerja sama dengan LSM dengan beberapa kegiatan penelitian sedang berjalan dan sebagian lokasi penelitian telah selesai, ditambah dengan tersedianya tenaga peneliti-peneliti muda di tingkat universitas Sumut dan Aceh. Potensi ini merupakan peluang untuk kesuksesan pelaksanaan agenda SRAK OUS, terutama dalam bidang penelitian.
Menguatnya isu perubahan lingkungan yang diimplementasikan dalam berbagai kebijakan terkait dengan konservasi orangutan
5 Dikatakan sangat berpengaruh, karena isu perubahan lingkungan yang dampaknya tidak hanya pada orangutan, tapi pada semua makhluk hidup dapat menguatkan alasan untuk mensukseskan agenda konservasi
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada dua faktor yang sangat
berpengaruh mendukung pelaksananaan impelementasi program aksi yang
tertuang dalam SRAK OU. Pertama, adanya lembaga konservasi dan tenaga ahli
(peneliti) yang mendukung konservasi orangutan. Lembaga konservasi (NGO)
umumnya memiliki komitmen yang jelas terhadap upaya-upaya konservasi, hal ini
44
bidang konservasi. Aktivitas-aktivitas lembaga konservasi yang tersebar di
beberapa wilayah juga merupakan hal yang mendorong pelaksanaan agenda
konservasi yang efektif dari segi sasaran dan efisien dari segi waktu. Dalam
pelaksanaan program aksi, lembaga konservasi memiliki beberapa koalisi yang
dapat saling memperkuat, disamping juga memiliki akses kepada pihak-pihak
kunci di dunia konservasi. Termasuk adanya partisipasi aktif dari beberapa LSM
dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan terhadap
orangutan, seperti pengumpulan data perdagangan orangutan.
Kedua, adanya isu perubahan lingkungan yang mendorong berbagai pihak
untuk tergabung dalam aksi konservasi. Hal ini dikatangan sangat berpengaruh
dalam mendorong kesukesan implementasi SRAK OU karena isu perubahan
lingkungan tidak hanya mempengaruh kelangsungan populasi orangutan, tapi juga
berdampak pada semua makhluk hidup termasuk manusia sebagai pengelola
sumber daya alam.Perubahan iklim sebagai fenomena global merupakan
tantangan lingkungan terbesar yang dihadapi dunia saat ini. Isu global ini mulai
menjadi topik perbincangan sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi
di Rio de Janeiro, Brazil dua puluh tahun yang lalu sampai dengan KTT Rio+20
tahun 2012. Konferensi internasional terkait isu perubahan iklim terus
berlangsung dari waktu ke waktu. Tahun 2012 sudah mencapai penyelenggaraan
COP 18 (Conference of the Parties) to the United Nations Framework Convention
on Climate Change di Doha, Afrika Selatan, yang pada dasarnya mencari berbagai
45
Faktor Penghambat
Sedangkan untuk faktor penghambat program juga didapatkan 6 kondisi
yang menyebabkan tidak berjalannya implementasi program SRAK OU secara
baik. Analsis faktor penghambat dijabarkan pada tabel 6 berikut
Tabel 6. Faktor Penghambat Program Aksi SRAK OUS
Faktor Penghambat Skor Keterangan
SRAK OU yang belum tersosialisasi dengan baik kepada seluruh pemangku kepentingan
4 Dikatakan berpengaruh, karena masih adanya pihak berkepentingan yang belum berpartisipasi dalam aksi konservasi terutama beberapa konsesi yang bersinggungan dengan habitat orangutan, dikarenakan belum adanya sosialisasi yang baik kepada seluruh stakeholder
Dukungan pendanaan yang tidak berkelanjutan 5 Dikatakan sangat berpengaruh, karena merupakan salah satu penyebab utama adanya program aksi yang tidak sempat terlaksana disebabkan karena tidak adanya dukungan pendanaan.
Ketersediaan SDM untuk mendukung kesuksesan program terbatas dan tidak merata, baik secara kualitas maupun kuatitas
3 Dikatakan cukup berpengaruh, karena lemahnya kualitas SDM yang berdampak pada lemahnya pelaksanaan program aksi serta dampaknya, seperti terbatasnya kemampuan staf dan manajemen dari unit pengelola kawasan untuk menterjemahkan hasil penelitian ke dalam manajemen kawasan
Koordinasi di antara pihak masih kurang, baik di antara pemerintahan sendiri mau pun dengan institusi-institusi di luar pemerintahan.
4 Dikatakan berpengaruh, ambatnya koordinasi internal di Kementrian Kehutanan, bahkan hal ini turut melahirkan konflik pengelolaan antara sesama pelaku konservasi , seperti konflik pengelolaan stasiun riset orangutan di Ketambe – TNGL, antara Pemerintah Aceh (diera BPKEL) dengan BBTNGL
Sistem monitoring dan evaluasi terhadap dampak program atau kebijakan masih lemah.
4 Dikatakan berpengaruh, karena evaluasi yang tidak berjalan baik dan terhadap program aksi yang telah dilakukan, sehingga tidak ada pembelajaran efektifitas program aksi
Masih adanya perbedaaan cara pandang antara para pihak mengenai konservasi Orangutan.
4 Dikatakan berpengaruh, karena pemahaman yang salah terhadap konservasi orangutan hanya sebagai aksi penyelamatan spesies, bukan habitatnya, serta panilaian pihak terhadap potensi habitat hanya sebagai sumber pendapatan daerah (ekonomi)
Untuk faktor penghambat juga memiliki faktor yang sangat berpengaruh,
yaitu kendala dukungan pendanaan yang tidak berkelanjutan. Bahkan dapat
dikatakan bahwa sebagian besar program aksi yang tidak atau belum sempat
dilaksanakan adalah terkendala pada dana. Begitu juga dengan pengadaan sarana
46
Pemda yang berdasarkan SRAK OU diharapkan dapat memasukkan upaya
konservasi orangutan dalam rencana strategis daerah dan dalam anggaran
pendapatan belanja daerah (APBD), belum terlaksana dengan baik. Disamping itu
pengelolaan dana abadi untuk konservasi orangutan, masih berada pada tataran
konsep. Sedangkan dana yang tersedia dari pengelolaan jasa lingkungan sejauh ini
belum tersedia. Sehingga keterbatasan dana yang dianggarkan untuk aksi
konservasi turut berdampak pada terbatasnya aksi-aksi konservasi yang dilakukan.
Kebijakan pendanaan yang dilakukan oleh manajemen sangat terkait
dengan besarnya sumber dana yang digunakan dalam operasional pelaksanaan
program. Lambert (2001) menyatakan bahwa dalam hubungan “principal –
agent”, pihak manajemen (agen) melakukan aktivitas yang meliputi keputusan
operasional, kebijakan pendanaan atau keputusan investasi lainnya. Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pendanaan merupakan salah satu aktivitas
(action) yang dilakukan oleh manajemen sesuai dengan perencanaan program.
Maka sudah seharusnya dalam pelaksanaan impelementasi program SRAK OU
harus didahului dengan perencanaan pendanaan yang baik dan memadai, untuk
mendukung kesuksesan pelaksanaan program aksi konservasi.
Setiap program dan rencana kerja memerlukan dana yang memadai untuk
dapat mencapai kondisi maupun tujuan yang diinginkan. Dana tersebut dapat
diperoleh dengan cara dan dari sumber yang berbeda. Masalah pendanaan ini
harus diputuskan dengan hati–hati karena setiap kebijakan pendanaan memiliki
47
dalam program aksi. Kedua sumber pendanaan ini sedikit banyak tentu akan
mempengaruh arah jalannya program aksi. Keputusan pendanaan keuangan juga
akan mempengaruhi kemampuan operasional dari impelementasi rencana aksi
konservasi orangutan.
Strategi Penguatan Implementasi SRAK OUS 2007-2017
Faktor pendukung, faktor penghambat dan strategi untuk memperkuat
[image:47.595.106.517.332.662.2]faktor pendukung dan melemahkan faktor penghambat dapat dilihat pada tabel
berikut,
Tabel 7. Strategi penguatan implementasi program SRAK OUS
Faktor Pendukung Faktor Penghambat Strategi Penguatan Faktor Pendukungdan Pelemahan Faktor Penghambat Adanya kesadaran yang
meningkat di kalangan pemerintah tentang Konservasi orangutan.
SRAK OU yang belum tersosialisasi dengan baik kepada seluruh pemangku kepentingan
Memaksimalkan fungsi forum multistakehoder sebagai forum komunkasi aktif dan membebankan kepada semua perusahaan yang memiliki populasi orangutan di kawasan konsesinya diharuskan membuat rencana kelola dan mengimplementasikannya
Tersedianya lembaga konservasi dan tenaga ahli (peneliti) yang mendukung konservasi orangutan
Dukungan pendanaan yang tidak berkelanjutan
Mengidentifikasi pelaku industry di kawasan habitat orangutan dan merangkulnya dalam aksi koservasi serta mengkultivisasi dan menggalang dana dari sektor swasta.
Diterapkannya kebijakan mendorong peningkatan populasi orangutan sebesar 3%
Ketersediaan SDM untuk mendukung kesuksesan program terbatas dan tidak merata, baik secara kualitas maupun kuatitas
Pengembangan pengelolaan pengetahuan konservasi orangutan dengan melaksanakan pelatihan bagi perguruan tinggi, akademisi, peneliti dan staf UPT pengelola kawasan konservasi mengenai : monitoring populasi, penanganan konflik yang benar, rehabilitasi yang bermafaat, dsb.
Komitmen perusahaan untuk mendukung kegiatan konservasi
Koordinasi di antara pihak masih kurang, baik di antara pemerintahan sendiri mau pun dengan institusi-institusi di luar pemerintahan.
Mendorong agar fungsi forum, baik di tingkat nasional maupun regional sebagai media bersama para pihak pelaku konservasi orangutan lebih aktif sehingga memberikan manfaat pada konservasi orangutan dan para pihak yang terlibat sehingga singkronisasi kebiakan antara pusat dan daerah, terkait konservasi orangutan dan habitatnya dapat tercapai
Dalam kaitannya dengan penelitian, sudah memiliki tenaga yang berpengalaman, dan adanya tenaga peneliti muda di Medan dan Aceh.
Implementasi, sistem monitoring dan evaluasi terhadap program atau kebijakan serta dampaknya masih lemah.
Perlu dibentuk tim khusus yang secara spesifik ditugaskan untuk melakukan monitoring dan evaluasi rencana aksi, serta penekanan pada UPT bahwa rencana kelola bukan hanya sekedar kewajiban administrasi, tapi yang lebih utama untuk diimplementasikan Menguatnya isu perubahan
lingkungan yang diimplementasikan dalam berbagai kebijakan terkait dengan konservasi orangutan
Masih adanya perbedaaan cara pandang antara para pihak mengenai konservasi Orangutan.
Kementrian Kehutanan perlu mendukung kebijakan daerah yang berpihak pada penyelamatan orangutan, serta program kampanye penyadartahuan perlu digalakan di sekitar habitat orangutan dengan menekankan pada konservasi orangutan, bukan hanya pada spesies, tapi termasuk habitatnya
Dari analisis tersebut kemudian dapat diambil kesimpulan berupa strategi
48
kesuksesan pelaksanaan program aksi konservasi yang tertuang dalam SRAK OU,
untuk itu diperlukan suatu perencanaan strategi untuk meningkatkan faktor
tersebut. Faktor penghambat merupakan hal yang menjadi kendala dalam
implementa