• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komodifikasi isi media terhadap trend Berjilbab gaul dalam rubrik fashion Majalah annisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komodifikasi isi media terhadap trend Berjilbab gaul dalam rubrik fashion Majalah annisa"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

KOMODIFIKASI ISI MEDIA TERHADAP TREND

BERJILBAB GAUL DALAM RUBRIK FASHION

MAJALAH ANNISA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I.)

Oleh:

Intan Purwatih

NIM: 1110051000123

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarja Strata Satu (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 8 September 2014

(5)

i

ABSTRAK

Nama : Intan Purwatih

Judul : Komodifikasi Isi Media Terhadap Trend Berjilbab Gaul dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa

NIM : 1110051000123

Jilbab tidak hanya digunakan oleh para perempuan dewasa, namun juga digunakan oleh remaja, yang selalu mengikuti mode yang sedang tren. Kini kita melihat jilbab sebagai bagian dari gaya hidup remaja muslim. Bahkan, saat ini mulai banyak bermunculan butik yang dengan khusus menjual jilbab yang telah dimodifikasi dengan berbagai cara. Jilbab yang merupakan kewajiban dari perempuan muslimah menutup aurat banyak ditampilkan dalam majalah. Majalah tersebut menilai bahwa perempuan Indonesia menyukai model jilbab gaul yang saat ini menjadi tren. Maka majalah pun berlomba-lomba menampilkan berbagai model jilbab yang lebih fashionable. Majalah tersebut seakan-akan menjadikan jilbab sebagai barang dagangan (komoditas) yang dapat laku dipasaran sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih. Fenomena jilbab yang gaul tanpa mengedepankan syariat Islam, hal tersebut terjadi pada majalah Annisa karena terdapat kerjasama majalah Annisa dengan majalah asing.

Pertanyaan penelitian, yaitu: Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto-foto jilbab gaul muslimah dengan motif lasercut di rubrik fashion pada majalah Annisa edisi Juni tahun 2013? Bagaimanakah komodifikasi isi media mewujudkan nilai guna ke nilai tukar di majalah Annisa?

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana semiotika. Teknik pengumpulan data yaitu, wawancara mendalam dengan direktur majalah Annisa, dan observasi yang digunakan yaitu observasi non partisipan, serta dokumentasi yaitu mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian berupa rubrik fashion yang terdapat di majalah Annisa.

Penelitian ini menggunakan kerangka teori ekonomi politik media Vincent Mosco, yaitu komodifikasi khususnya pada komodifikasi isi media dan konsep foto semiotika Roland Barthes diantaranya, trick effect, pose, objects, photogenia, aesthetiscism, dan syntax.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa makna denotasi yang ditemukan menggambarkan bahwa jilbab yang disajikan Annisa, pakaiannya ketat, membentuk lekuk tubuh, tidak menutupi dada dan seperti pakaian laki-laki. Makna konotasinya, penggunaan jilbab pada Annisa tidak dalam kategori syar’i

dan hanya mengedepankan mode. Mitosnya penggunaan jilbab yang tidak syar’i sama saja berbusana tapi tanpa pakaian karena membentuk lekuk tubuh. Adanya komodifikasi isi media pada majalah Annisa yang dipengaruhi oleh beberapa kultur dari internasional, sehingga barang atau jasa yang awalnya hanya merupakan nilai guna menjadi nilai tukar. Isi media dirubah sedemikian rupa, dengan cara seperti pemilihan model, teknik fotografer, jilbab gaul, dan iklan sehingga mendapat keuntungan untuk majalah Annisa.

(6)

ii

kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan karunia nikmat-Nya serta ridho-Nya kepada peneliti agar dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Komodifikasi Isi Media Terhadap Trend Gaya Jilbab Gaul

Muslimah Modern dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa”. Tidak lupa shalawat dan salam juga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta para sahabat dan keluarganya.

Skripsi ini merupakan tugas akhir peneliti yang disusun guna melengkapi salah satu syarat yang telah ditentukan dalam menempuh program studi Strata Satu (S1). Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan dukungan dan bimbingan serta perhatian berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Dr. H. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Suprapto, M.Ed, Ph.D, selaku Wakil Dekan I bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.Si, selaku Wakil Dekan II bidang Administrasi Umum dan Dr. H. Sunandar Ibnu Noor, M.A selaku Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan.

2. Rachmat Baihaky, M.A selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

(7)

iii

memberikan waktu luang, tenaga dan pikiran, motivasi serta memberikan pengarahan dengan penuh kesabaran dalam proses penyelesaian skripsi ini. 4. Prof. Dr. Murodi, M.A selaku Dosen Penasehat Akademik Jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan ilmu yang tak ternilai, sehingga peneliti dapat menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Segenap staf akademik dan staf perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Teruntuk yang mulia kedua orang tuaku tersayang, Ibunda Siti Komariyah

dan Ayahanda Kemas Ali Kosim, yang senantiasa mencurahkan cinta, kasih dan sayangnya dikala sehat maupun sakit, dikala susah maupun senang, dikala mudah maupun sulit. Membantu dengan segenap kemampuan dan doa-doa dalam setiap sholatnya, doa yang selalu mengiringi tiap langkah kaki ini sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Avi Budimansyah selaku Direktur majalah Annisa, mba Ade Nur Sa’adah selaku managing editor, kak Andini Aprilliana selaku Asst.

(8)

iv

10.Teman sejawat KPI 2010 dan sahabat KPI D Cory, Nadia, Arista (Madeh), Ucin, Rika, Erfa, Ibel, Dwinovita, Itha, Anis, Ewy, Anggy, Fitri, Nurul, Bobby, Abdurrahman, Agung, Ichsan, Mantri, Rachmat, Enjang Zaki, Helmi, Fahmi, dan Syehab terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik selama ini, melewati waktu dalam suka duka, tawa canda, serta memberikan motivasi kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, pokoknya sayang kalian semuanya.

11.Special thanks to Nurmalisa Nazarani yang selalu siaga dan menemani peneliti disaat melakukan penelitian serta memberi masukan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini serta selalu memberi semangat. 12.Terimakasih pula kepada Om JR yang sudah meluangkan waktu

disela-sela kesibukan kerjanya untuk membantu peneliti dalam melakukan penyelesaian skripsi ini dan juga tak pernah absen dalam memberikan motivasi kepada peneliti.

13.Sahabat KKN PETA 2013, Rezza Fahlevi, Imas, Novi (Ipil), Bebsy, Savira, Dian, Willy, Dio, Yogi, Muha, Umam, dan Makin, terimakasih sudah menjadi sahabat yang selalu memberikan masukan dan motivasi kepada peneliti.

(9)

v

proses penyelesaian skripsi ini dan juga tak henti-hentinya memberikan motivasi kepada peneliti. Dan untuk semua pihak yang pernah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini, yang tak bisa peneliti sebutkan satu persatu, mengucapkan banyak terima kasih untuk bantuannya sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti akan menerima segala kritik dan saran sehingga dapat menjadi acuan pembelajaran peneliti.

Peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa/i Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan sebagai bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.

Jakarta, 8 September 2014

(10)

vi

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batas dan Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Tinjauan Pustaka ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II. LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP A. Landasan Teori... 21

1. Komodifikasi pada Media ... 21

2. Tinjauan Umum Tentang Semiotika ... 26

B. Kerangka Konsep ... 43

1. Media Cetak ... 43

2. Majalah ... 45

3. Jilbab ... 51

(11)

vii

BAB III. GAMBARAN UMUM MAJALAH ANNISA

A. Gambaran Umum Majalah Annisa ... 58

B. Sasaran Pembaca dan Pendistribusian Majalah Annisa ... 60

C. Rubrikasi Majalah Annisa ... 60

D. Struktur Redaksi Majalah Annisa ... 61

BAB IV. TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Analisis Semiotika Roland Barthes... 66

1. Analisis Data Foto 1 ... 67

2. Analisis Data Foto 2 ... 77

B. Analisis Pemaknaan Komodifikasi Isi Media di Majalah Annisa ... 85

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(12)

viii

2. Gambar 1 Data Foto 1 ... 67

3. Gambar Foto 2 ... 75

4. Gambar 3 Data Foto 2 ... 77

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini masyarakat di Indonesia telah akrab dengan media massa. Fenomena ini mulai tampak pasca era Orde Baru sekitar tahun 1998 ketika terjadi reformasi. Masyarakat merasakan perbedaan dalam diri mereka dimana semula pada era Orde Baru kebebasan media sangat terbatas, sangat tidak leluasa, namun kini menjadi begitu terbuka dan amat bebas.

Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan elektronik. Media cetak yang dapat memenuhi kriteria sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah.1 Media cetak adalah berita-berita yang disiarkan melalui benda cetak.2

Salah satu media cetak yang paling tua di Indonesia adalah surat kabar. Keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan panjang melalui empat (4) periode, yakni masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan. Serta zaman Orde Lama dan Orde Baru. Sedangkan keberadaan majalah sebagai media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar. Sebagaimana surat kabar, sejarah majalah diawali dari negara-negara Eropa dan Amerika.

Edisi perdana majalah yang diluncurkan di Amerika pada pertengahan 1930-an memperoleh kesuksesan besar, majalah telah memuat segmentasi

1

Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi (Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 103.

2

(14)

pasar tersendiri dan membuat fenomena baru dalam dunia media massa cetak di Amerika.3

Keberadaan majalah sebagai media massa di Indonesia dimulai menjelang awal kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta pada tahun 1945 terbit majalah bulanan dengan nama Pantja Raja pimpinan Markoem Djojohadisoeparto (MD) dengan prakata dari Ki Hajar Dewantoro selaku menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia.

Majalah merupakan media cetak yang paling simpel organisasi atau struktur redaksinya, relatif mudah mengelolanya, serta tidak membutuhkan modal yang banyak. Majalah juga dapat diterbitkan oleh setiap kelompok masyarakat, dimana mereka dapat dengan leluasa dan luwes menentukan bentuk, jenis dan sasaran khalayaknya. Majalah mempunyai karakteristik tersendiri dibanding dengan media cetak lainnya, salah satunya adalah frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan, selebihnya dwi mingguan, bahkan bulanan, dalam majalah juga terdapat jumlah halaman yang lebih banyak sehingga menampilkan gambar atau foto yang lengkap dengan ukuran besar dan kadang-kadang berwarna serta kualitas kertas yang lebih baik. Di samping foto dan cover atau sampul majalah juga merupakan daya tarik tersendiri, karena cover adalah ibarat pakaian. Cover majalah biasanya menggunakan kertas yang bagus dengan gambar dan warna yang menarik.

Majalah merupakan salah satu media cetak di Indonesia yang sangat berkembang, memiliki pengaruh yang besar terhadap pola pikir dan perilaku

3

Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi (Bandung:

(15)

3

masyarakat, karena dalam media cetak terdiri atas rubrik-rubrik yang biasa dijadikan sebagai inspirasi, tak terkecuali bagi media cetak nasional, seperti Majalah Annisa banyak memuat foto-foto dengan jilbab yang fashionable, yang mengikuti masukan tren dari Barat, sehingga banyak dijadikan inspirasi bagi perempuan muslimah masa kini. Dan yang menjadi persoalan adalah majalah Annisa sebagai majalah Islam dengan mengedepankan nilai-nilai Islam dan identitas Islam justru melakukan komodifikasi tentang makna jilbab yang sesungguhnya dalam Islam. Makna jilbab berubah karena tren atau gaya, bukan lagi mengedepankan syariat Islam.

Keunikan lain yang peneliti nilai dari majalah Annisa adalah target pasar atau pembacanya kalangan aktif muslimah. Dimana muslimah dalam ajaran Islam diwajibkan menggunakan jilbab sesuai dengan perintah berjilbab dalam Al-Qur’an surat Al- Ahzab ayat 59:



“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka menutup jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Ahzab, 33:59)

(16)

juga menjadi instrumen penting dalam perubahan sosial.4 Sejalan dengan majalah-majalah muslimah yang bermunculan, majalah tersebut menjadi salah satu tolak ukur bagi perempuan muslimah dalam berjilbab masa kini, yang lebih modis dan mudah ditiru oleh para pembaca majalah muslimah agar berpenampilan lebih menarik dan tidak dianggap kuno. Peneliti khawatir dengan adanya isi media tentang gaya jilbab yang majalah Annisa tampilkan dapat merubah makna jilbab yang sebenarnya.

Dari fenomena tren berjilbab muslimah pada masa sekarang ini, terutama yang dimuat di majalah Annisa tentang rubrik fashion yang berisi foto-foto penggunaan tren aksesoris lasercut dalam jilbab muslimah, harusnya tidak lepas dari syariat Islam beragama aturan berjilbab sesuai dalam Al-Qur’an.

Nilai guna jilbab “kaffah” Islam memang sejalan dengan visi misi

majalah Annisa yang menuliskan bahwa “Annisa menghadirkan informasi yang mencakup semua aspek kehidupan muslimah modern sesuai dengan tren lokal dan global, masih dalam nilai dan identitas Islam”. Namun pada

kenyataannya majalah Annisa bertolak belakang dengan visi misinya, Annisa

menyajikan model jilbab gaul yang awalnya dari nilai guna menjadi nilai tukar. Ini dikarenakan adanya faktor tren, ekonomi dan kerja sama dengan majalah asing. Dengan demikian, Annisa mengkomodifikasikan isi media melalui tren jilbab gaul. Maksudnya, mentrendikan gaya jilbab yang tidak sesuai dengan aturan Islam, kultur Islam, dan estetika.

4

Shirley Biagi, Media/ Impact Pengantar Media Massa (Jakarta: Salemba Humanika,

(17)

5

Salah satu yang selalu dilihat dalam berpenampilan adalah bagaimana cara berpakaian seseorang. Berbicara tentang pakaian sesungguhnya berbicara sesuatu yang erat kaitannya dengan diri kita. Hal itu menunjukkan bahwa apa yang dipakai sehari-hari dapat menggambarkan kepribadian yang dimiliki. Cara berpakaian tentu mencirikan penampilan fisik. Berpakaian bukan sekadar untuk menutupi tubuh atau asal pantas, namun juga berusaha menciptakan kesan yang positif pada orang lain.5 Nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan, semua itu memengaruhi cara kita berdandan.6

Salah satu cara berpakaian yang berkaitan dengan nilai agama dan yang sering menjadi pusat perhatian adalah dengan menggunakan jilbab. Jilbab adalah pakaian yang wajib hukumnya dikalangan perempuan muslim. Agamalah yang mewajibkan perempuan muslim untuk menutup aurat mereka dengan jilbab. Tentu saja dengan alasan mereka menggunakan jilbab hanyalah karena agama. Namun, jilbab bukan hanya menutup badan semata badan, tetapi jilbab itu menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.7 Berjilbab adalah sebuah hukum dan syariat agama Islam yang berakar kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW., bukan kultur Arab atau cara berpakaian masyarakat Timur Tengah. Memakainya sesuai dengan ajaran tersebut termasuk dalam kategori ibadah kepada Allah SWT. Dalam ajaran Islam, para wanita dianjurkan mengenakan jilbab untuk menutupi seluruh

5

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2007), h. 394.

6

Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, h. 392.

7

Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam (Jakarta: CV

(18)

badan, kecuali telapak tangan, kaki dan wajah. Tujuannya untuk menghindari pandangan yang mengundang syahwat.

Perempuan-perempuan yang menggunakan jilbab sering kali dinilai perempuan yang memiliki fanatisme tentang agamanya. Tidak jarang perempuan yang menggunakan jilbab mendapat diskriminasi pada bidang politik, dikeluarkan dari sekolah, dan mendapat perlakuan buruk dari agama lain. Berjilbab tidak boleh dijadikan alasan untuk menghalangi kemajuan karir wanita.8 Pada saat itu jilbab hanya dipakai di kalangan terbatas dari segelintir keluarga aktivis Islam, pelajar muslim di pesantren atau sekolah umum sebagai ungkapan kepatuhan pada ajaran agama, sekaligus ungkapan perlawanan terhadap status quo.9 Hal tersebut yang membuat perempuan kini menciptakan bentuk-bentuk jilbab yang menarik agar jilbab dapat diterima oleh masyarakat.

Saat ini jilbab tidak hanya digunakan oleh para perempuan dewasa, namun juga digunakan oleh remaja, bahkan oleh remaja akhir yang selalu mengikuti mode yang sedang tren. Kini kita melihat jilbab sebagai bagian dari gaya hidup remaja muslim. Bahkan, saat ini mulai banyak bermunculan butik yang dengan khusus menjual jilbab yang telah dimodifikasi dengan berbagai cara. Berjilbab tidak boleh menjadi sekadar tren, sehingga apabila tren tersebut berubah maka jilbab ditinggalkan.10

Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi. Mengkomunikasikan Identitas Sosial,

Seksual, Kelas, dan Gender (Yogyakarta: Jalasutra 1996), h. 11.

10

(19)

7

Hal itu yang seharusnya difikirkan oleh para perempuan. Penggunaan jilbab yang mereka lakukan seharusnya memang benar-benar atas dasar agama bukan karena adanya perkembangan jilbab yang saat ini sedang marak di pasaran. Pola, warna, dan aksesoris lainnya bisa saja berubah, tetapi substansinya, yakni seorang perempuan muslimah wajib berjilbab, tidak pernah berubah. Penggunaan aksesoris seperti bros, tentu tidak dilarang, namun kaidah penggunaan jilbab yang menutupi dada dan pakaian yang tidak menonjolkan bentuk tubuh tetap harus diperhatikan.

Kini jilbab pun mulai berubah bentuk. Dahulu yang hanya berupa kain besar yang digunakan untuk menutupi kepala sampai dada, kini jilbab mulai disesuaikan dengan mode yang sedang tren. Jilbab yang saat ini ada digunakan para remaja akhir dinilai lebih luwes dan simpel. Hal ini pula yang membuat para remaja akhir tidak malu dan ragu menggunakan jilbab. Berkembangnya

mode membuat jilbab menjadi busana yang ngetrend karena didesain untuk gaya dengan model-model kontemporer. Jilbab menjadi busana muslim yg selalu mendapatkan sentuhan gaya sehingga menjadi lebih menarik dan

fashionable. Bahkan saat ini mulai dikenal dengan istilah jilbab gaul. Jilbab

gaul memiliki ciri-ciri yaitu, pakaian yang digunakan merupakan pakaian yang ketat, transparan, dan membentuk lekuk tubuh. Kerudung yang digunakan tidak menutupi dada dan ujungnya diikat ke belakang. Pengguna jilbab gaul

(20)

Seiring berkembangnya, jilbab kini mulai diterima di masyarakat luas. Para penggunanya juga tidak ragu lagi untuk memodifikasi jilbab yang ada. Beberapa kantor juga mulai mengizinkan para karyawan perempuannya menggunakan jilbab. Di instansi pemerintahan juga mulai banyak terlihat para perempuan yang menggunakan jilbab.

Selain itu, jilbab yang merupakan ciri khas dari perempuan muslimah banyak ditampilkan dalam sebuah majalah. Majalah tersebut menilai bahwa perempuan Indonesia menyukai model jilbab gaul yang saat ini menjadi tren. Maka majalah pun berlomba-lomba menampilkan berbagai model jilbab yang lebih fashionable. Majalah tersebut seakan-akan menjadikan jilbab sebagai barang dagangan (komoditas) yang dapat laku dipasaran sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih.

(21)

9

proses dan benda meski terjadi resistensi. Produksi adalah proses menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan.

Dalam penelitian ini, peneliti memandang perlu melakukan penelitian mengenai fenomena jilbab gaul. Jilbab di era sekarang ini dijadikan sebuah komoditas untuk diangkat di media massa. Komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi atau ditawarkan untuk dijual. Barang-barang dan jasa ini selalu mempunyai asal-usul dan konsekuensi ideologis.11

Dalam konsep teoritik Mosco, selanjutnya dalam bukunya menjelaskan “aktivitas” ekonomi politik, yang juga merupakan entry point atau pintu

masuk untuk menjelaskan fenomena ekonomi politik media atau komunikasi terdiri dari 3 bagian, yaitu: komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization), dan strukturasi (structuration).12

Peneliti tertarik untuk meneliti majalah muslimah yang menyajikan jilbab gaul sehingga menjadi inspirasi banyak wanita, terutama kalangan kaum muslim yang aktif yang ingin tampil modis dengan menggunakan jilbab gaul

yang dimuat dalam majalah Annisa. Alasan peneliti memilih majalah Annisa

dikarenakan, pertama, sasaran pasar majalah Annisa mayoritas adalah kalangan kaum muslim yang aktif yang gemar mencari trend dalam berjilbab

gaul; kedua, adanya gaya jilbab unik atau aneh yang disajikan dalam majalah

Annisa tanpa sesuai dengan syariat Islam; ketiga, para model yang digunakan majalah Annisa mayoritas merupakan model asing, sehingga menimbulkan

11

Lull James, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pengantar Global (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 223.

12“Kajian Ekonomi Politik Media” Artikel diakses pada 3 Juni 2014 dari

(22)

kesan lebih menarik perhatian pembaca, keempat, penulisan setiap rubrik dalam majalah Annisa menggunakan bahasa Inggris. Maka dari itu judul yang diangkat oleh peneliti adalah “Komodifikasi Isi Media terhadap Trend

Berjilbab Gaul dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Untuk lebih fokus dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi masalah pada analisis semiotika foto-foto jilbab gaul dalam majalah Annisa

yaitu pada rubrik fashion edisi Juni tahun 2013, karena pada edisi ini majalah

Annisa menyajikan gaya jilbab yang berbeda, yaitu menggunakan top lasercut

sebagai jilbab, dimana gaya jilbab ini belum pernah disajikan pada edisi sebelumnya. Kemudian untuk membatasi penggunaan teori, peneliti hanya membahas mengenai poin komodifikasi dari Vincent Mosco, khususnya komodifikasi isi media, karena peneliti ingin mengetahui bagaimana Annisa

mengolah suatu barang atau jasa dari nilai guna menjadi nilai tukar. Adapun perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto-foto jilbab gaul

muslimah dengan motif lasercut di rubrik fashion pada majalah Annisa

edisi Juni tahun 2013?

(23)

11

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini diantaranya:

1. Mendeskripsikan makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto-foto di rubrik fashion yang terdapat pada majalah Annisa edisi Juni tahun 2013. 2. Mendeskripsikan latar belakang, proses produksi dan konsumsi

kapitalisme yang berada di balik proses komodifikasi di majalah Annisa.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis

Penelitian ini secara akademis dapat memberikan kontribusi positif pada bidang Ilmu Komunikasi, terutama dalam konteks analisis semiotika, terutama manfaat mengetahui makna dalam sebuah tanda di media cetak yaitu dengan semiotika, serta dapat memberikan informasi kepada mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang akan menggunakan jilbab gaul yang terdapat pada rubrik fashion di majalah

Annisa serta diharapkan dapat menambah pemahaman tentang proses komodifikasi jilbab gaul yang dibangun oleh majalah Annisa.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi komunikasi mengenai pembelajaran tentang pemahaman penggunaan jilbab yang syar’i, khususnya bagi mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan

(24)

fashion terutama jilbab gaul namun tetap dalam aturan agama yang sebenarnya tanpa mengurangi makna di dalamnya.

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.13 Paradigma dapat dikatakan sebagai cara pandang yang digunakan untuk memahami komplesitas yang ada dalam dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam asosiasi penganut dan praktisinya, paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan juga masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan pada mereka mengenai apa yang harus melakukan pertimbangan eksistensial ataupun epistimologis yang panjang.14 Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai pesan penyampai konstruktivisme

13

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kalitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2007), Edisi Revisi, h.49.

14

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

(25)

13

menganggap subjek (komunikan) sebagai faktor central dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial.15

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian pada skripsi ini adalah pendekatan kualitatif dengan sifat deskriptif. Yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistic dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan.16 Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Pendekatan ini lebih menekankan pada persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya kuantitas data.17

3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah semiotika model Roland Barthes. Menurut Barthes, pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Dan pada tingkat konotasi, bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit,

15Mulyadi Saputra, “Paradigma Positivisme, Konstruktivisme dan Kritis dalam

Komunikasi”, artikel diakses pada 22 Mei 2014 dari http://terinspirasikomunikasi.blogspot.com/2012/12/paradigma-positivisme-konstruktivisme.html.

16

Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), h. 159.

17

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikas (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.

(26)

yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi. Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.18

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.

a. Observasi

Observasi adalah suatu cara mengumpulkan data dengan mengambil langsung terhadap objek atau penggantinya (misal: film, rekonstruksi, video dan sejenisnya)19. Ada dua macam observasi: 1. Observasi Partisipan

Observasi partisipan adalah observasi yang memungkinkan periset atau peneliti mengamati kehidupan individu atau kelompok dalam situasi riil, dimana terdapat setting yang riil tanpa dikontrol atau diatur secara sistematis seperti riset eksperimental, misalnya.20 2. Observasi Non Partisipan

Observasi non partisipan adalah observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan penelitian sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti.21

18

Tommy Christomy, Semiotika Budaya (Depok: PPKB Universitas Indonesia, 2004),

h.94.

19

Nazar Bakry, Tuntunan Praktis Metodologi Penelitian (Jakarta: CV Pedoman Ilmu

Jaya, 1994), h. 36.

20

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikas (Jakarta: Kencana, 2010), h. 112.

21

Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

(27)

15

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non partisipan karena peneliti hanya mengunjungi tempat penelitian, menelaah apa yang ada di sana serta tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan penelitian sebagai partisipan yang diteliti.

b. Wawancara

Wawancara adalah teknis dalam upaya menghimpun data yang akurat untuk keperluan melaksanakan proses pemecahan masalah tertentu yang sesuai dengan data22. Wawancara dilakukan untuk memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab terhadap salah satu nara sumber. Ada dua jenis wawancara, yaitu:

1. Wawancara Terstruktur (Structured Interview)

Wawancara terstruktur adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan menggunakan pedoman wawancara, yang merupakan bentuk spesifik yang berisi instruksi yang mengarahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Wawancara jenis ini dikenal juga sebagai wawancara sistematis atau wawancara terpimpin23. 2. Wawancara Mendalam (Depth Interview)

Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan

22

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian dan Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:

Bhinneka Cipta, 1996), Cet. Ke-10. h. 72.

23

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana 2010), Cet.

(28)

agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan berulang-ulang secara intensif.24

Wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah jenis wawancara mendalam, peneliti langsung mewawancarai narasumber, yaitu Ibu Avi Budimansyah selaku Director/ Publisher di majalah

Annisa dan fotografer yaitu Roy Mega Antara. c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah penelitian yang mengumpulkan, membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah atau jurnal) yang terdapat di perpustakaan. Internet atau instansi lain yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini. Peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian berupa rubrik fashion yang terdapat pada majalah Annisa.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis semiotika model Roland Barthes, yaitu mencari tahu makna denotasi, konotasi dan mitos yang ada pada foto-foto yang terpilih dalam rubrik

fashion pada majalah Annisa edisi Juni 2013 serta menerapkan pada teori komodifikasi Vincent Mosco.

Dari data yang sudah terkumpul, peneliti terlebih dahulu menyeleksi foto-foto yang ada pada rubrik fashion, karena yang akan

24

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana 2010), Cet.

(29)

17

peneliti analisis hanyalah foto yang menggunakan motif lasercut pada jilbab.

Setelah tahap penyeleksian foto, peneliti menemukan dua foto model asing yang menggunakan motif lasercut sebagai jilbab. Dari kedua foto inilah peneliti akan menganalisis menggunakan semiotika Roland Barthes yang mengikuti enam prosedur yang dapat memengaruhi foto, setelah dianalisis kemudian peneliti menerapkan ke teori komodifikasi Vincent Mosco.

6. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 Februari s/d 12 Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di perusahaan media massa cetak majalah Annisa yang beralamat di Jalan Pangeran Antasari No. 53 Jakarta Selatan. Telp (021) 72793518 fax. (021) 72793118 website: www.annisamagazine.com

7. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah majalah Annisa dan objek dalam penelitian ini adalah foto-foto di rubrik fashion tentang jilbab menggunakan motif lasercut pada majalah Annisa.

8. Pedoman Penulisan

(30)

F. Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan judul penelitian ini, peneliti sudah mengadakan tinjauan pustaka ke perpustakaan yang terdapat di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Perpustakaan Utama (PU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta maupun tinjauan ke perpustakaan lain. Selain dari buku-buku yang jadi rujukan utama, data-data yang diperoleh pada penelitian ini berfokus pada jilbab yang dijadikan fashion perempuan di media massa cetak, khususnya majalah muslimah. Menurut pengamatan peneliti dari hasil observasi yang peneliti lakukan sampai saat ini, hanya menemukan:

Noor Hidayati mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang berjudul ”Analisis Semiotika Terhadap Rubrik Mode Pada Majalah

Ummi” yang ditulis pada tahun 2011. Pada skripsi ini membahas tentang

rubrik mode yang terdapat pada majalah Ummi, pada skripsi ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce yakni membagi objeknya menjadi icon, simbol, dan index.

Risqa Fadhielah mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang berjudul “Analisis Semiotika

Terhadap Rubrik Busana Pada Majalah Paras” yang ditulis pada tahun 2012.

Pada skripsi ini membahas tentang rubrik busana yang terdapat pada majalah

(31)

19

Trigustia Pusporini mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik yang berjudul “Analisis Semiotika Terhadap Rubrik Fashion Style Majalah

Kawanku” yang ditulis pada tahun 2009. Pada skripsi ini membahas tentang

rubrik fashion style yang terdapat pada majalah Kawanku yang diambil dari edisi No 33-2008 sampai edisi No 36-2008 menyajikan foto fashion style yang bertemakan pakaian model tahun 70-an dan pergantian musim. Yang mencoba menggali makna konotasi dan denotasi yang menggunakan teori semiotika Roland Barthes.

Aldillah Oriza Sativa mahasiswi Universitas Mercu Buana Fakultas Ilmu Komunikasi yang berjudul “Efek Majalah Fashion Terhadap Perilaku

Konsumtif Remaja di Universitas Mercu Buana” yang ditulis pada tahun

2013.

Ericha Nur Aprilia mahasiswi Universitas Mercu Buana Fakultas Ilmu Komunikasi yang berjudul “Komodifikasi Program Variety Eat Bulaga

Indonesia di SCTV”yang ditulis pada tahun 2013.

(32)

Perbedaan pada skripsi ini, peneliti selain menggunakan analisis semiotika, juga menggunakan teori ekonomi politik media dengan proses komodifikasi.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN: Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN TEORI: Dalam bab ini membahas tentang teori yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Teori ekonomi politik media Vincent Mosco khususnya komodifikasi isi media, tinjauan umum semiotika, teori semiotika Roland Barthes, konsep media cetak, konsep majalah, konsep jilbab, dan jilbab gaul.

BAB III GAMBARAN UMUM: Dalam bab ini membahas tentang sejarah singkat majalah Annisa, rubrikasi majalah Annisa, struktur redaksi majalah

Annisa.

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA: Dalam bab ini berisi tentang tanda-tanda, makna, pesan yang terdapat pada foto-foto yang terpilih dalam rubrik fashion majalah Annisa edisi Juni 2013 dengan menggunakan teori semiotika foto Roland Barthes yaitu denotatif, konotatif dan mitos serta pemaknaan komodifikasi isi media di majalah Annisa.

(33)

21

BAB II

LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP

A. Landasan Teori

1. Komodifikasi pada Media

Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi. Dari pendapat Mosco di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kekuasaan (politik) dengan kehidupan ekonomi dalam masyarakat. Dalam studi media massa, penerapan pendekatan ekonomi politik memiliki tiga konsep awal, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi.

(34)

2. Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktik ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media.

3. Strukturasi atau penyeragaman yaitu ideologi secara terstruktur.

Komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi atau ditawarkan untuk dijual. Barang-barang dan jasa-jasa ini selalu mempunyai asal-usul dan konsekuensi ideologis.25

Komoditas terjadi dari adanya jangkauan kebutuhan yang luas, baik fisik maupun kultural dan penggunaannya dapat dijabarkan melalui berbagai cara komoditas bisa muncul dari berbagai macam kebutuhan sosial tersebut termasuk didalamnya kepuasan jasmani sampai pemenuhan status dalam masyarakat. Jadi nilai pakai tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup, tetapi lebih meluas sampai kepenggunaan yang didasarkan kepada kebutuhan sosial. Sehingga komodifikasi mengacu pada proses mengubah nilai pakai menjadi nilai tukar dan beragam cara bagaimana proses ini kemudian

25

Lull James, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global (Jakarta:

(35)

23

diperluas ke dalam bidang sosial dari produk komunikasi, audiens dan tenaga kerja yang selama ini mendapat sedikit perhatian. Proses komodifikasi ini menggambarkan cara kapitalisme membawa modalnya melalui perubahan nilai pakai menjadi nilai tukar.26

Adam Smith dan ekonomi klasik membedakan antara produk yang nilainya berasal dari kepuasan keinginan dan kebutuhan spesifik dari manusia yang disebut nilai pakai dan produk yang nilainya berasal dari kemampuan produk tersebut untuk ditingkatkan sebagai nilai tukar. Komoditas adalah bentuk khusus dari produk ketika produksi mereka secara terorganisisr diatur melalui proses pertukaran.27

Dalam konsep komodifikasi ini, komunikasi merupakan arena potensial tempat terjadinya komodifikasi. Hal ini dikarenakan komunikasi merupakan komoditas yang sangat besar pengaruhnya karena yang terjadi bukan hanya komodifikasi untuk mendapatkan surplus value, tapi juga karena pesan yang disampaikan mengandung simbol dan citra yang bisa dimanfaatkan untuk mempertajam “kesadaran” penerima

pesan.28

Terdapat dua dimensi signifikan dalam hubungan antara komodifikasi dan komunikasi:

1. Proses dan teknologi komunikasi yang memberi kontribusi kepada proses komodifikasi secara umum sebagai satu kesatuan.

26

Vincent Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal

(London: Sage Publication, 1996), h. 141.

27

Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, h.

141-142.

28

(36)

2. Proses komodifikasi yang bekerja dalam masyarakat merasuk dalam proses sosial komodifikasi sebagai suatu praktik sosial.29 Bentuk-bentuk komodifikasi dalam komunikasi:

1. Komodifikasi Isi Media

Proses komodifikasi pada komunikasi melibatkan perubahan pesan-pesan dari sumber data sampai sistem pemikiran dan menjadi produk ysang dapat dipasarkan. Misalnya paket produk yang dipasarkan media dengan cara pemuatan tulisan seorang penulis, artikel lain dan iklan dalam suatu paket yang bisa dijual. Dari sudut pandang modal, komodifikasi isi media dipengaruhi oleh penciptaan nilai surplus atau keuntungan. Isi media dibuat sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal.30

2. Komodifikasi Khalayak

Media komodifikasi memiliki dua peran, yaitu sebagai peran langsung pencipta surplus melalui produksi dan pertukaran komoditas. Dan tidak langsung melalui periklanan dalam penciptaan nilai surplus melalui sektor lain produksi komoditas. Pengiklan juga berperan dalam menentukan isi media, sehingga menciptakan khalayak sebagai komoditas, Smythe mengambil ide-ide ini dengan pandangan yang berbeda dengan menekankan pada audiens yaitu bahwa audiens adalah komoditas utama dari

29

Vincent Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal

(London: Sage Publication, 1996), h..142.

30

(37)

25

media massa. Menurut Smythe, media massa tebentuk dari sebuah proses dimana didalamnya perusahaan media memproduksi audiens dan mengirim mereka pada pengiklan.

Dalam pandangannya, proses tersebut menciptakan hubungan yang resiprokal yang mengikat antara media, khalayak dan pengiklan. Program atau isi media digunakan untuk membentuk khalayak dan pengiklan membayar perusahaan media untuk mendapatkan akses pada khalayak ini, dengan begitu khalayak dibawa kepada pengiklan.31

3. Komodifikasi Pekerja

Pekerja merupakan penggerak kegiatan produksi. Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal dengan cara mengkonstruksi pikiran mereka tentang bagaimana menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media massa, walaupun dengan upah yang tak seharusnya.32

Tiga aspek di atas merupakan “kendaraan” untuk mendekati dan

memahami perspektif komodifikasi dalam industri media. Dan komodifikasi isi media dianggapnya sebagai langkah awal untuk memahami komodifikasi dalam kegiatan komunikasi.33

Komodifikasi sering kali disamakan dengan komersialisasi,

31

Vincent Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal

(London: Sage Publication, 1996),h..148.

32“Kajian Ekonomi Politik Media” Artikel diakses pada 3 Juni 2014 dari

http://indiwan.blogspot.com/2010/05/kajian-ekonomi-politik-media.html

33

Syaiful Halim, Postkomodifikasi Media and Cultural Studies (Tangerang: Matahati Production,

(38)

walaupun dalam pengertiannya sedikit berbeda. Komodifikasi merujuk pada semua nilai tukar, sedangkan komersialisasi lebih merujuk pada nilai tukar ekonomi. Namun, komodifikasi dilihat sebagai kegiatan produksi dan distribusi komoditas yang memiliki daya tarik agar dapat menarik audiens sebanyak-banyaknya, tanpa mementingkan pertimbangan konteks sosial, sehingga komodifikasi menjadi tempat dimana proses bisnis berlangsung.

Dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan dan menganalisis komodifikasi tentang isi media atau konten dari majalah

Annisa khususnya pada rubrik fashion.

2. Tinjauan Umum Tentang Semiotika

1. Pengertian Semiotik/ Semiologi

Semiologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani semion

atau sign dalam bahasa Inggris, yaitu tanda. Secara singkat, semiologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda, misalnya seperti bahasa, sinyal, kode, dan sebagainya. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.

(39)

27

diciptakan dan direka sebagai bentuk penyampaian informasi yang memiliki makna tertentu.

Semiotika pada dasarnya ilmu yang mempelajari atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang sesuatu sebagai tanda-tanda yang bermakna. Contohnya asap menandai adanya api, sirine mobil yang keras menandai adanya kebakaran, bila disekitar rumah kita ada tetangga yang memasang janur maka pertanda ada pernikahan, dan sebagainya.

Semiotika memiliki dua tokoh utama dalam perkembangan kajiannya, yakni Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Peirce adalah filsafat ahli logika dari Amerika Serikat. Sedangkan Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum di Eropa.

(40)

Kemudian semiotika menurut Ferdinand de Saussure, semiologi sebuah kajian umum tentang tanda-tanda didalam masyarakat. Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat dapat dibayangkan ada. Ia akan menjadi bagian dari psikologis sosial dan karenanya juga bagian dari psikologis umum. Saya akan menyebutnya semiologi (dari bahasa Yunani, semion “tanda”).

Semiologi akan menujukkan hal-hal yang membangun tanda-tanda dan hukum-hukum yang mengaturnya. Semiotika Saussure mengemuka dari pikiran-pikiran yang dituliskan betdasarkan pada teori kebahasaan.

Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Ia menyatakan bahwa tanda linguistik perlu menemukan tempatnya dalam sebuah teori umum, dan untuk hal ini ia mengusulkan nama semiologi.

Semiologi juga sama sebagai semiotika, mulai dari metode dan analisis bahasa. Untuk menganalisis bagaimana semua sistem tanda bekerja. Mengeksplorasi dari logika dan metodelogi dibalik komunikasi, dan memperlihatkan bagaimana kita mengerti sebuah sistem melalui metode semiotik, dan maksud dari komunikasi. Difokuskan terhadap pemaknaan dan dengan jalan dimana pemaknaan akan diproduksi dan dikirimkan.

(41)

29

tanda-tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang mempergunakannya. Dengan demikian istilah semiotika maupun semiologi yaitu ilmu tentang tanda-tanda (the science of sign) tanpa adanya perbedaan pengertian yang terlalu tajam. Semiologi lebih dikenal di Eropa yang mewarisi tokoh dari Ferdinand de Saussure dengan tradisi linguistiknya. Sedangkan semiotika lebih dipakai oleh para penutur bahasa di Inggris mewarisi tradisi Charles Sanders Peirce.

Dalam pemikiran Peirce dikenal dengan teori segitiga makna-nya

(triangel meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang terdiri dari: tanda (sign), acuan tanda (object),

pengguna tanda (interpretant). Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dibenak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila elemen-elemen tersebut berinteraksi dalam bentuk seseorang, maka munculah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.

(42)

misalnya handphone atau ponsel. Kemudian representamen ponsel tersebut berhubungan dengan interpretasi lain, misalnya gambar iklan telepon dan seterusnya, sambung-menyambung tanpa pernah selesai.

Dalam kajian Peirce terdapat tipologi tanda yaitu, pertama adalah ikon yakni kemiripan “rupa” (resemblance), contohnya suatu peta atau

lukisan, misalnya hubungan ikonik dengan objeknya sejauh diantara keduanya terdapat kesamaan atau keserupaan. Kedua adalah indeks yakni keterkaitan eksistensi diantara representasi dan objeknya. Contohnya, ketukan pintu merupakan indeks dari ada kedatangan seseorang di rumah kita. Ketiga adalah simbol yang merupakan tanda yang bersifat abriter (semena-mena atau semaunya) dan konvensional berupa kesepakatan. Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah simbol-simbol. Misalnya rambu lalu lintas yang hanya berupa garis putih melintang di atas latar belakang merah. Pemaknaannya garis putih maupun bidang merah yang menjadi latar belakangnya adalah sebuah tanda arbiter yang berdasarkan konvensi atau kesepakatan.

Menurut pandangan Saussure tentang tanda sangat berbeda dengan pandangan para ahli linguistik di zamannya. Saussure justru menyerang pemahaman historis terhadap bahasa yang dikembangkan pada abad ke-19.34 Menurutnya, definisi tanda linguistik merupakan entitas dua sisi yang bersifat arbiter (semena-mena atau semaunya).

34

Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media,

(43)

31

Sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier), dan sisi kedua dari tanda yaitu sisi yang diwakili secara material oleh penanda, disebut juga sebagai petanda (signified).

Unsur penanda (signifier) merupakan aspek material tanda yang bersifat sensoris yang dapat diindrai (sensible). Dengan kata lain penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sementara petanda (signified) adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep, merupakan aspek mental dari tanda-tanda yang biasa disebut juga sebagai “konsep”, yakni konsep -konsep ide didalam benak penutur. Misalnya, gambar ayam, maka

signifiernya adalah ayam tulisan “a-y-a-m”, berkokok (aspek material dari bahasa yang dikatakan, didengar, ditulis dan dibaca). Sedangkan

signifiednya adalah berkaki dua, berbulu, berjengger (segala bentuk dan konsep dari ayam).

(44)

mungkin secara sekaligus atau simultan. Karakteritik kedua, kearbiteran tanda bersangkutan dengan relasi diantara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan konvensi atau kesepakatan.

Pada dasarnya para semiotikus melihat kehidupan sosial dan budaya sebagai pemaknaan, bukan sebagai hakikat esensial objek. Charles Morris memudahkan kita dalam memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurutnya, kajian semiotika pada dasarnya terbagi menjadi tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni, sintaktik atau sintaksis, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal

diantara suatu tanda dengan tanda-tanda lain”, dengan perkataan lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih adalah gramatika.

2. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

(45)

33

konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Tanda bekerja di dua tingkatan dari pemaknaan denotasi dan konotasi. Definisi denotasi menurut Barthes adalah sistem signifikansi tingkat pertama. Jelasnya tingkatan tanda mengkomunikasikan dan mengacu kepada pemaknaan dari tanda yang masuk akal. Makna denotasi dapat diekspresikan dengan cara mendeskripsikan tanda dengan benar.35 Jadi tanda-tanda pada tataan pertama ini hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya, bahkan kadang kala dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikansi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi yang biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap.

Denotasi merupakan tingkat pertandaan hubungan antara penandaan dan petanda antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna sesungguhnya. Sesuatu hal yang disepakati bersama secara general dan universal. Misalnya, kerudung yang berarti

35Michael O’Shaughnessy and Jane Stadler,

(46)

sebagai penutup aurat, penutup kepala, berwarna hitam, berbentuk segi empat.

Sedangkan pengertian dari konotasi adalah tataran signifikansi tingkat kedua, konotasi mengacu pada emosi, nilai dan asosiasi yang menimbulkan tanda kepada para pembaca, penonton, atau pendengar. Makna konotasi dari tanda yang dapat diekspresikan dengan cepat melalui catatan atau pengalaman atau kenangan yang dibayangkan.36 Konotasi merupakan hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung.

Konotasi adalah istilah signifikansi tahap kedua yang digunakan Barthes. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca dan nilai-nilai dari kebudayaan. Makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Contohnya, makna dibalik kerudung yang berarti identitas, kesucian dan harga diri.

Konotasi identik dengan ideologi, yang disebutnya mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu. Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena ada hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif yang terjadi secara termotivasi.37 Ia juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang

36Michael O’Shaughnessy and Jane Stadler,

Media and Society (New York: Oxford, 1991), h. 116.

37

(47)

35

hidup di dunia tidak nyata atau imajiner dan ideal, walaupun kenyataan hidup yang sesungguhnya tidak demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada, itulah sebabnya Barthes menjelaskan berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya, misalnya seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain sebagainya.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified,

tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Mitos merupakan sesuatu yang dianggap alamiah, bersifat konvensional. Mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Didalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Mitos juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.

(48)

atau memahami sesuatu. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.38 Mitos adalah suatu wahana ideologi berwujud.39 Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapa pun menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya.

Dalam pandangan Umar Yunus, mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih baik hidup dalam masyarakat.40 Misalnya, ia mungkin hidup dalam gosip kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditemukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos.

Setiap tipe tuturan, entah berupa sesuatu yang tertulis atau sekedar representasi, verbal atau visual, secara potensial dapat menjadi mitos.41 Artinya, tidak hanya wacana tertulis yang dapat kita baca sebagai mitos, melainkan juga fotografi, film, pertunjukan, bahkan olah raga dan makanan. Contohnya, di sebuah cover majalah tampak foto seorang Negro muda yang mengenakan seragam serdadu Prancis.

38

John Fiske, Introduction to Communication Studie (London: Second Edition, 1990), h.

88.

39

Van Zoest dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media (London: Second Edition), h. 88.

40

Umar Yunus, Mitos dan Komunikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 74.

41

(49)

37

Pada tataran pertama, kita dapat mengidentifikasi setiap penanda didalam citra tersebut ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin, misalnya seorang serdadu, pakaian seragam, lengan yang diangkat, mata yang menatap ke atas dan sebuah bendera Prancis.

Pada tataran kedua, (tataran konotasi atau mitos), citra ini memberikan makna: bahwa Prancis adalah sebuah bangsa yang besar, dengan segenap putranya yang tanpa diskriminasi ras sedikit pun setia di bawah lindungan benderanya. Pada tataran konotasi ini penanda-penandanya menunjuk kepada seperangkat petanda atau fragmen ideologi tertentu, yakni campuran dari imperialitas Prancis dan kemiliteran.

Contoh lain adalah pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon beringin yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah mitos.

Pendekatan semiotik Roland Barthes secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan (speech) yang disebutnya sebagai mitos.42 Menurutnya, bahwa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu dicirikan oleh hadirnya tataran signifikansi yang disebut sebagai sistem semiologi tingkat kedua. Penanda-penanda berhubungan dengan

42

(50)

petanda kemudian menghasilkan tanda. Pada tataran signifikansi lapis kedua inilah mitos terlahir. Aspek material mitos, yaitu penanda-penanda pada tataran kedua sistem semiologi itu, dapat disebut sebagai retorik atau konator-konator yang tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama, sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi.

Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif, karena salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah satu dalam mengartikan makna suatu tanda.

Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja43: 1. Signifier

(penanda)

2. Signified (petanda) 3. Denotative Sign

(tanda denotative) 4. Connotative Signifier

(penanda konotatif)

5. Connotative Signified (petanda konotatif) 6. Connotative Sign (tanda konotatif)

Gambar 2.1

Peta Tanda Roland Barthes

43

(51)

39

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material, hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian

menjadi mungkin.

Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang

(52)

menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang hanya adalah konotasi semata-mata.

3. Semiotika Foto Roland Barthes

Foto bisa bersifat secara subjektif, setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengartikan makna pada sebuah foto, sangat minim kemungkinannya dari dua orang yang berbeda memiliki detail pemikiran yang sama persis terhadap satu foto, dan suatu foto secara umum atau garis besar pasti akan memberikan satu makna tertentu. Artinya, sekaya apapun variasi interpretasi makna yang dihasilkan oleh khalayak tapi secara umum menuju ke satu fisik dan kesimpulan yang sama.

Foto sebagai petanda atau signifier memberikan makna melalui orang, benda atau situasi dalam foto itu sendiri. Dalam hal ini segala sesuatu yang menjadi pusat perhatian dalam foto itu bisa dan akan mengambil alih realitas seperti yang sebenarnya dan tergantung pada maknanya. Orang benda, atau situasi dalam foto itu sangat berkaitan dengan tanda, yaitu korelasi original yang diterjemahkan kepada kita dan orang, benda, atau situasi itu menjadi tanda atau sign itu sendiri.44

Sebuah tanda atau sign menggantikan sesuatu untuk seseorang. Dia hanya bermakna jika dia memiliki seseorang yang mengartikannya. Meskipun demikian, semua tanda bergantung dari proses pemaknaannya dari keberadaan khalayak yang spesifik dan konkret, yaitu mereka yang

44

Judit Williams, Decoding Adwertisments: Ideology (London: Camelot Press, 1985), h.

(53)

41

memperoleh dan menghasilkan semua sistem nilai dan kepercayaan. Dalam The Photographic Message, Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto, yaitu perseptif, kognitif, dan etis ideologis.45

Pertama, tahap perseptif terjadi ketika seseorang mencoba melakukan transformasi gambar ke kategori verbal, jadi semacam verbalisasi gambar. Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi sintagnatik yang pada dasarnya bersifat perspektif (forsee). Kedua,

konotasi kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan beberapa

signifier yang dikalimatkan.

Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa di atas membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes menyebut signifier

pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified dengan sebutan ideologi. Ini dibangun dengan imajinasi simbolik. Ketiga, tahap ini tidak menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Kita akan mencari objektivitas pesan foto melalui prosedur yang dapat diamati dan diukur.46

Dalam The Photographic Message Barthes juga menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk memengaruhi gambar sebagai analogon. Keenam langkah tersebut dapat dipandang sebagai kegiatan menulis karena pada hakikatnya lewat prosedur tersebut seorang fotografer dapat menentukan berbagai unsur tanda, hubungan, dan

45

ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 187.

46

(54)

lain yang menjadi pertimbangan utama ketika orang membaca bahasa gambar tersebut.

Pada bahasan ini, Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra, khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto. Prosedur-prosedur ini terbagi dalam dua bagian besar. Pertama, konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri. Maksudnya manipulasi atau rekayasa yang secara langsung dapat memengaruhi realitas atau kenyataan itu sendiri.

Dalam hal ini dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu:47Trick effect

(efek tiruan) adalah gambar hasil rekayasa foto atau gambar yang sengaja dibuat berlebihan dalam menyampaikan tujuan pembuatan berita. Efek tiruan merupakan intervensi “without warning in the plane of

denotation” artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang

berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.

Selanjutnya, pose (sikap) adalah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil. Kemudian, objects (objek) adalah pemilihan dari objek itu sendiri untuk menentukan point of interest (POI) dari sebuah foto. Objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat.

47

Jonathan Bignell, Media Semiotics an Introduction (USA: Manchester University Press,

Gambar

gambaran mental, pikiran, atau konsep, merupakan aspek mental dari
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes
gambar tersebut.
gambar yang dapat membatasi dan menimbulkan makna konotasi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

meninggalkan ruangan dengan izin dan pengawasan dari pengawas ruang US serta tidak melakukannya berulang kali.  Peserta US yang yang memperoleh paket soal yang

[r]

Dengan ini saya menyatakan bahwa bukti fisik di dalam berkas/dokumen yang saya lampirkan untuk keperluan sertifikasi guru ini benar dan abash adanya,dan

[r]

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 38 .Tahun 2015 tentang Pemberian Gaji/ Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam Tahun

Batasan Masalah pada Perancangan dan Implementasi Aplikasi Kamus Bahasa Biak pada android yaitu menerjemahkan bahasa Biak ke bahasa Indonesia maupun sebaliknya, kamus ini

The ability of the powered prosthesis and controller to provide level walking functionality was assessed by characterizing the knee and ankle joint biome- chanics (e.g., joint

lalu lintas ya, jadi saya berpikirnya karena memang tidak lewat jalur- jalur seperti itu, saya anggap gak jadi masalah kalo gak pake, jadi anak gakmau yaudah, pake yang