• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel-novel realis karya najib mahfuz (kajian sosiologis atas perubahan sosial, politik, dan keagamaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Novel-novel realis karya najib mahfuz (kajian sosiologis atas perubahan sosial, politik, dan keagamaan"

Copied!
383
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Doktor Pengkajian Islam

Dalam Bidang Bahasa dan Sastra Arab

Oleh:

R i d w a n

04.3.00.1.06.01.0020

Pembimbing:

Prof. Dr. H. Chatibul Umam

Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, MA

PROGRAM DOKTOR

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

N a m a : Ridwan

N I M : 04.3.00.1.06.01.0020

Alamat : Kadipolo 02/35 Sendangtirto Berbah Sleman

Yogyakarta

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi yang berjudul "Novel-Novel

Realis Karya Naji@b Mah{fu>z}: Kajian Sosiologis atas Perubahan Sosial, Politik,

Dan Keagamaan" adalah benar karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang

disebutkan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya,

sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Yogyakarta, 28 Oktober 2010

(3)

Sosiologis atas Perubahan Sosial, Politik, dan Keagamaan” ini ingin membuktikan bahwa sastrawan telah menjadi bagian dari wacana tentang hubungan Islam dan modernitas. Karya-karya sastranya lahir karena dilatarbelakangi oleh kepedulian terhadap problem masyarakat dalam transformasinya menjadi masyarakat modern.

Kesimpulan besar disertasi ini adalah bahwa karya-karya sastra realis Mesir pada paroh pertama abad ke-20 merupakan salah satu perwujudan dari tanggapan sastrawan Mesir terhadap modernitas. Karya-karya ini menawarkan “dunia mungkin” yang dibangunnya secara selektif dan eklektik dari sisi-sisi positif beragam respon dan pandangan masyarakat.

Model “dunia mungkin” yang ditawarkan Naji>b Mah}fu>z} adalah dunia, tempat ajaran-ajaran dasar agama bersama-sama ilmu pengetahuan mengiringi perjalanan sejarah manusia, tempat pemisahan antara ruang privat dan publik bagi moralitas dan nilai-nilai agama tidak dikenal, dan tempat perjuangan bagi kemanusiaan dan keadilan tidak membeda-bedakan antara bangsa sendiri dan bangsa lain. Para penghuni “dunia mungkin” Naji>b Mah}fu>z} ini adalah orang-orang modernis dan moderat. Mereka tidak hanya berilmu pengetahuan, tetapi juga bermoral dan/atau beragama; tidak hanya humanis, tetapi juga religius; dan tidak hanya memiliki kesadaran tentang masalah-masalah lokal dan nasionalnya, tetapi juga penuh perhatian dan solidaritas terhadap berbagai problem ketidakadilan yang dialami masyarakat regional dan internasional. Dengan mengonstruksi “dunia mungkin” dan penghuni semacam ini, Naji>b Mah}fu>z} membuktikan diri sebagai seorang pengarang muslim yang, mengikuti klasifikasi Rippin tentang respon umat Islam terhadap modernitas, menjadi bagian dari kelompok modernis, atau --mengikuti kategori Pierre Cachia-- kelompok reformis, bukan konservatif atau sekularis.

Kesimpulan ini memiliki kesamaan antara lain dengan kesimpulan Mattityahu Peled yang menganggap Naji>b Mah}fu>z} sebagai pengarang muslim yang menerima nilai-nilai Islam sebagai a way of life dan warisan yang dihormati, yang vitalitasnya dapat menjadi dasar masyarakat muslim memberikan solusi atas tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Namun, kesimpulan ini berbeda antara lain dengan anggapan Anwa>r al-Jundi> bahwa karya Naji>b Mah}fu>z} sarat kefasikan dan kekufuran; dan kesimpulan Gha>li> Shukri> bahwa Naji>b Mah}fu>z lebih bersimpati kepada kelompok kiri (sosialis).

Sumber data disertasi ini adalah novel-novel realis Naji>b Mah}fu>z}, yaitu

al-Qa>hirah al-Jadi>dah (1945), Kha>n al-Khali>li> (1946), Zuqa>q al-Midaq

(1947), al-Sara>b (1948), Bida>yah wa Niha>yah (1949), Bayn al-Qas}rayn (1956),

(4)
(5)
(6)

Sociological Review on Religious, Political, and Social Change," is eager to prove that the authors or novelists have become part of the discourse of Islam and modernity. Their literary works are stimulated by a concern for the various problems of their society in its transformation into a modern society.

The general conclusion of this dissertation is that the realistic works of Egyptian literature in the first half of the 20th century are a manifestation of the Egyptian literary responses to modernity. These works offer a "possible world" which they constructed selectively and eclectically from the positive aspects and views of society.

"The possible world" that Naji>b Mah}fu>z} offered is a world where the basic teachings of the religion and science together accompany the journey of human history, where the separation between private and public space for morality and religious values is not known, and where the struggle for humanity and justice does not discriminate between their own nation and other nations. The people who inhabit "the possible world" of Naji>b Mah}fu>z} are modernists and moderates. They are not only knowledgeable, but also moralist and/or religious; not only humanitarian, but also pieties, and not only having an awareness of the problems of local and national community, but also caring and solidarity towards the various problems of injustice at regional and international ones. And, Naji>b Mah}fu>z}, by constructing "the possible world and its inhabitants of this kind," proved himself as a Muslim author who, following the Rippin’s classification about the Muslim response to modernity, attributed to the modernist, or --following the Pierre Cachia’s category--- the reformist group, not to conservative or a secularist ones.

This conclusion has similarity to the one Mattityahu Peled has drawn upon from his study of works of Naji>b Mah}fu>z}. He considered Naji>b Mah}fu>z} as the Muslim author who accepts Islamic values as a way of life and respected heritage, that its vitality can be the basis of the Muslim society to offer solutions for challenges they face. However, the conclusion differs from the claim Anwa>r al-Jundi> has said that the works of Naji>b Mah}fu>}z are full of ungodliness and infidelity; and the conclusion Gha>li> Shukri> has drawn upon that Naji>b Mah}fuz}> is more sympathetic to the leftists (socialists).

(7)

Akhirnya, penulisan disertasi yang memakan waktu cukup lama dan

melelahkan ini dapat penulis rampungkan atau, lebih tepatnya, penulis anggap

rampung. Semula proses penulisan disertasi ini berjalan relatif lancar dan, dengan

penuh optimisme, akan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Hanya saja, dalam perkembangannya muncul berbagai problem non akademik,

terutama hambatan psikologis penulis terkait dengan perasaan tentang kelayakan

tulisan ini disebut sebagai “disertasi” dan kepatutan penulis menyandang gelar

doktor, sehingga tulisan yang sangat sederhana ini harus membutuhkan waktu

sekitar empat tahun. Waktu dan pembatasan masa studilah yang pertama-tama

berjasa karena telah memaksa penulis untuk mengenyampingkan problem non

akademik tersebut, sehingga tulisan ini bisa hadir.

Ucapan terima kasih patut diberikan kepada Prof. Dr. H. Chatibul Umam,

Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, MA, dan almarhum Prof. Dr. Badri Yatim,

MA yang telah memberikan masukan-masukan yang konstruktif selama proses

penyelesaian disertasi ini; Direktur Sekolah Pascasrajana (SPS) UIN Syarif

Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, yang telah memberikan “bonus”

waktu studi; Prof. Dr. Abdul Hadi WM, MA dan Prof. Dr. HD. Hidayat, MA,

yang menyadarkan penulis tentang hal-hal “tidak terduga” sebelumnya selama

ujian; UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang, melalui “Training Program”nya,

telah memberi beasiswa studi kepada penulis selama tiga tahun, mendanai riset

penulis di Mesir selama enam bulan, beberapa kali memberi bantuan penyelesaian

disertasi, dan terakhir memberi bantuan Ujian Terbuka (Promosi) meskipun “tidak

penuh;” Ditpertais Kementerian Agama RI yang juga telah beberapa kali memberi

beasiswa studi dan penyelesaian studi; dan teman-teman yang, saat bertemu

penulis, selalu menanyakan dan meminta diundang waktu promosi. Khusus yang

terakhir ini, meskipun awalnya terdengar “menyesakkan,” ternyata cukup menjadi

(8)

ix

Yogyakarta, 17 Desember 2010

(9)

PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN PERSEMBAHAN

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN KATA PENGANTAR

ABSTRAK

DAFTAR SINGKATAN

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Kegunaan Penelitian

E. Landasan Teori

E.1. Sastra, Pengarang, dan Masyarakat

E.2. Agama dan Perubahan

F. Kajian Pustaka

G. Metode Penelitian

H. Sumber Data

I. Sistematika Penulisan

BAB II KEHIDUPAN DAN KESASTRAWANAN NAJI@B

MAH{FU<Z{

A. Riwayat Hidup Naji>b Mah}fu>z}

B. Naji>b Mah}fu>z} dan Kelas Menengah Mesir

C. Naji>b Mah}fu>z} dan Karya-karyanya

D. Gaya Sastra Naji>b Mah}fu>z}

ii

iii

iv

v

viii

x

xiv

xv

1

1

19

20

21

21

21

27

35

40

42

42

44

44

63

71

(10)

BAB III PERUBAHAN SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL-NOVEL REALIS NAJI@B MAH{FU<Z{

A. Media Massa Sebagai Instrumen dan Akselerator Perubahan

Sosial

B. Pendidikan Menjadi Pintu Utama Perubahan Sosial

C. Politik Sebagai Arena Perang Fisik dan Perang Pemikiran

BAB IV CORAK KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MESIR DALAM NOVEL-NOVEL REALIS NAJI@B MAH{FU<Z{

A. Mistis (Kultural)

B. Shaleh Individual dan Sosial

C. Substansialis (Sekularis)

D. Formalis (Fundamentalis)

BAB V PANDANGAN NAJI@B MAH{FU<Z} TENTANG AGAMA (ISLAM)

DAN MODERNITAS

A. Agama dan Ilmu Pengetahuan

B. Sekularisme

C. Nasionalisme dan Pan-Islamisme

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN:

1. Sinopsis Novel-novel Realis Naji>b Mah}fu>z}}

2. Potret Naji>b Mah}fu>z}

3. Peta Kairo

4. Potret Masyarakat Mesir Tempo Dulu

RIWAYAT HIDUP

94

97

109

136

160

164

191

206

227

246

250

265

283

302

302

304

306

321

346

348

353

362

(11)
(12)

Saya Persembahkan Karya Ini Untuk

Ustaz H. Mukhlis Sulaiman, BA

(13)

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra, apapun genrenya, selalu terkait dengan kehidupan sosial masyarakat. Ia merupakan produk dari seorang pengarang yang ditakdirkan lahir

sebagai makhluk sosial, sehingga masyarakat dengan segala dinamika

perubahannya menjadi area yang tidak mungkin ditinggalkannya dalam kreasi

sastra. “Mustahil ada karya sastra,” kata Abugu Benjamin, kolomnis

berkebangsaan Nigeria, “yang mengenyampingkan sikap, moral, dan nilai

masyarakat, karena tidak ada pengarang yang muncul tanpa kontak sepenuhnya

dengan dunia sekelilingnya.”1 Oleh karena itu, tidaklah sulit menemukan adanya

“kesan” hubungan antara potret masyarakat dalam karya sastra dan kenyataan

faktual masyarakat, tempat kelahirannya. Membaca novel Siti Nurbaya (Kasih

Tak Sampai) karya Marah Rusli,2 misalnya, akan memunculkan kesan tentang potret sebenarnya dari masyarakat Minang dengan segala tradisinya, termasuk

perencanaan pernikahan untuk anak-anak perempuannya. Di samping itu,

peristiwa-peristiwa di luar sastra yang seringkali menjadi penanda periodesasi

perkembangan sastra juga merupakan bukti lain dari keterkaitan sastra dengan

kehidupan sosial masyarakat.3

1

Dalam konteks ini, yang dilakukan pengarang, bagi Benjamin, adalah memindakan berbagai peristiwa kehidupan riil ke dalam fiksi dan menghadirkannya kepada masyarakat sebagai cermin, alat masyarakat melihat diri mereka dan mengadakan perubahan-perubahan seperlunya. Lihat, Abugu Benjamin, Literature as a Reflection of the Society, http://expertscolumn.com/ content/literature-reflection-society, 27 Oktober 2010.

2

Lihat, Marah Rusli, Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (Jakarta: Balai Pustaka, 2008).

3 Pendudukan Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1789, misalnya, menjadi penanda

(14)

Beragam genre dan aliran yang muncul dalam sastra pun, dalam hal ini, bisa dipandang sebagai keragaman sastrawan dalam mengolah dan meramu

pengalaman yang dialami, dirasakan, dan dilihatnya dari kehidupan ini dengan

imajinasi, kreativitas, dan cara pengungkapannya. Keragaman ini hanya

menunjukkan keragaman titik tekan sastrawan dalam mengekspresikan kenyataan

yang menginspirasinya. Pernyataan Naji>b Mah}fu>z} berikut tentang model

pengungkapan tertentu dalam berkreasi tampak relevan, “Saat mulai berkreasi, ia

wajib mengambil inspirasi dari lingkungan pribadinya, laiknya arsitektur yang

perlu mempelajari pola-pola dunia. Namun, saat ingin mendirikan bangunan di

Mesir, maka sang arsitektur harus mendirikannya sesuai dengan kondisi khas

lingkungannya. Di sini, peniruan tidaklah berguna. Seni harus mengambil

inspirasi dari kenyataan, bukan dari model-model yang mengagumkan, sedangkan

teknik itu sesuatu yang mendunia. Teknik penulisan karya seni sejak Yunani

sampai kini tidak lebih dari tujuh atau delapan bentuk, yang telah menjadi alat

penulisan ribuan karya.”4

Sebuah bentuk, aliran atau model ekspresi sastra tentu lahir dengan latar

tertentu. Ia tidak muncul begitu saja, tanpa faktor sosio-historis yang

melatarbelakanginya. Kata “realisme” yang mulai dikenal di Perancis sejak 1803

dan dikenal sebagai teori sastra pada pertengahan abad ke-19 dengan pelopor

Gustave Flaubert (1821-1880),5 misalnya, muncul karena sejumlah faktor, baik

sosial, ekonomi maupun pemikiran.6 Berkembangnya orientasi kritis dalam

bidang ilmu alam, sosial, dan sejarah juga kejayaan filsafat positivisme dan

4

Naji>b Mah}fu>z} sendiri tidak ingin mengungkapkan bentuk melebihi keinginannya untuk berkomunikasi menyampaikan pemikirannya, dengan bentuk apa pun. Lihat, Mas}ri> H{anu>rah, Masi>rah ‘Abqari>yah: Qira>’ah fi> ‘Aql Naji>b Mah}fu>z} (Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mis}ri>yah, 1994), 176-177.

5

Gustave Flaubert adalah seorang novelis Perancis dari periode realis. Ia dikenal karena novel sensasionalnya, Madame Bovary (1857), sebuah cerita klasik tentang cinta dan dendam. Novel ini merupakan potret tentang gadis muda kampung, Emma Bovary, dan hubungan-hubungan zinanya dengan Rodolphe Boulanger. Lihat, http://www.online-literature.com/gustave-flaubert/, 26 Oktober 2010.

6

(15)

materialisme telah mendekatkan seni (sastra) kepada masyarakat.7 Selain itu,

kemandirian ekonomi para sastrawan, konflik kelas dalam masyarakat Eropa, dan

adanya perasaan tidak nyaman dengan “mimpi” kaum romantik, yang menjadikan

sastra sebagai sarana ekspresi perasaan subyektif dan bukan berbagai problem

obyektif masyarakat, juga ikut mendorong kelahiran realisme Perancis.8

Pada prinsipnya, aliran realisme, dengan beragam varian dan sebutannya,9

dimotivasi oleh keinginan untuk berekspresi bebas dari kaidah-kaidah klasik yang

diwarisi dari Yunani dan Romawi, dan untuk menjalin kontak dengan kenyataan

hidup dan menolak imajinasi atau lari dari kekinian. Titik tolaknya adalah

7

Gagasan-gagasan para pemikir seperti Henri de Saint-Simon (1760-1825), Auguste Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1973), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), dan Vladimir Ilyich Ulyanov atau Lenin (1870-1924) berpengaruh besar pada para kritikus dan/atau sastrawan, seperti Saint Bave (1824-1869), Hippolayte Taine (1828-1893), Emile Zola (1840-1902), dan George Lukacs (1885-1971). Saint Bave menyerukan studi sastrawan secara ilmiah yang berdasar pada kajian cermat atas semua hubungan yang mengaitkan sastrawan dengan keluarga, zaman, pengetahuan, dan sifatnya. Taine berpendapat bahwa sastra itu produk dari pengaruh dan faktor-faktor tertentu, seperti ras, zaman, dan tempat. Emile Zola berpandangan bahwa penulis harus mengkaji masyarakat secara cermat dan obyektif, dan harus mengikuti cara ilmuwan dan laboratoriumnya. George Lukacs hanya memfokuskan perhatiannya pada pandangan dunia dalam sastra dan keyakinan-keyakinan yang tersembunyi dalam karya pengarang. Lihat, Lihat, al-Rashi>d Bu>sha‘i>r, al-Wa>qi‘i>yah, wa Tayya>ratuha> fi> al-A<da>b al-Sardi>yah al-Aurobi>yah (Damaskus: al-Aha>li>, 1996), 16-20. Lihat pula, http://homepage. newschool.edu/het//profiles/saintsimon.htm; http://www.blupete.com/Literature/Biographies/ Philosophy/Comte.htm; http://www.iep.utm.edu/milljs; dan http://plato.stanford.edu/entries/ marx/, 27 Oktober 2010.

8 Al-Rashi>d Bu>sha‘i>r,

al-Wa>qi‘i>yah, 16-32.

9

(16)

semacam pandangan dunia terbuka bagi semua orang dan semua keadaan, baik

dan buruk, tanpa berupaya menggunakan hiasan kata-kata, agar model ekspresi

tidak lebih penting hingga mengaburkan realitas. Seni pun menjadi pandangan

tentang apa yang terjadi di masyarakat, dan sang seniman hanyalah pemindah apa

yang dilihatnya. Tugas utama seniman adalah menggunakan cara pengungkapan

terbaik untuk memindah potret kenyataan ini dengan cara yang bisa diterima.

“Kehidupan dan alam tidak mengenal yang mungkar. Oleh karena itu, pengarang

harus mengatakan segalanya, karena kebebasan berekspresi adalah kewajiban

pertama bagi pengarang, seniman, dan ilmuwan, apapun model kenyataan yang

diungkapkannya,” tegas Emile Zola.10

Memang, sejak Revolusi Perancis (1789-1794 M),11 ada tuntutan untuk

memperhatikan kenyataan. Sebaliknya, pengaruh romantisme dan klasikisme

menghilang seiring dengan lahirnya revolusi yang menekankan dominasi akal,

rasionalisasi, dan logos ini dan yang kemudian melahirkan sejumlah konsep,

seperti penghapusan kekuasaan politik yang mutlak, pernyataan hak-hak asasi

manusia dan kebebasan individu, pemisahan agama dari negara (sekularisme),

penguatan negara hukum, pembebasan masyarakat madani, dan demokratisasi

budaya, pendidikan, dan masyarakat.12

Selanjutnya, dunia Islam, terutama Mesir, pada paroh pertama abad ke-20

dapat disebut sebagai area yang siap menyambut lahirnya realisme. Melalui

serangkaian upaya perubahan yang dilakukan oleh Muh}ammad ‘Ali>13 dan para

10

Laila> ‘Ana>n, al-Wa>qi‘i>yah, 31-45.

11

Sebagai sebuah kelanjutan logis dari sejarah perkembangan manusia, modernitas diyakini lahir dari rahim Revolusi Industri di Inggris (1760-1830 M) dan Revolusi Perancis ini. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), 451.

12

Jama>l Shuh}ayyid dan Wali>d Qas}s}a>b, Khit}a>b H{ada>thah fi> Adab: al-Us}u>l wa al-Marja‘i>yah (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2005), 11-12.

13 Muh}ammad ‘Ali> (w. 1848) semula adalah seorang komandan militer keturunan

(17)

penggantinya, di sana pun telah muncul pelbagai ide baru yang terbawa serta oleh

budaya dan pengalaman modernitas Barat, seperti rasionalisme, nasionalisme,

demokrasi, dan sekularisme yang kelak melahirkan pelbagai persoalan baru.14

Sebagaimana dimaklumi, upaya-upaya Muh}ammad ‘Ali> ini dilatari oleh

kesadarannya atas ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat,15 setelah

pendudukan Mesir tahun 1789 oleh Napoleon Bonaparte dan untuk pertama kali

penduduk kota tersebut menyaksikan kekuatan militer jenis baru dan para pesaing

dari negara-negara Eropa.16

Paling tidak, selama proses ini berlangsung sejak Muh{ammad ‘Ali>

Pa>sha> sampai sistem monarkhi jatuh dan digantikan oleh sistem republik pada

tahun 1952, perubahan-perubahan besar dan cepat dalam sejarah Mesir modern

telah terjadi. Munculnya sentimen nasional, yang berujung pada upaya-upaya

pemisahan Mesir dari kekuasaan Uthmani, lalu kemerdekaan Mesir dari Inggris;

berkembangnya jaringan transportasi mesin untuk mendukung kelancaran ekspor

dan impor barang-barang manufaktur, di samping sistem keuangan dan

perbankan; pendidikan tersedia bagi anak-anak laki-laki dan perempuan usia

sekolah; dan rata-rata melek-huruf meningkat adalah beberapa perubahan di

bidang politik, ekonomi, dan sosial yang bisa disebut.17

Perubahan-perubahan besar ini, menurut pandangan Nurcholish Madjid

dalam kata pengantarnya atas terjemahan buku Agama di Tengah Sekularisasi

Politik, dirasakan sangat mendadak dan bersifat bertubi-tubi, baik bagi perorangan maupun kelompok sosial. Sifat mendadak dan menyentak ini banyak

tahun 1952. Lihat, J. Brugman, An Introduction to the History of Modern Arabic Literature (Leiden: E.J. Brill, 1984), 4-5.

14 Harun Nasution,

Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 11.

15

Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terjem. Irfan Abubakar (Bandung: Mizan, 2004), 527.

16

Ah}mad Haykal, Tat}awwur Adab H{adi>th fi> Mis}r: Min Awa>’il Qarn al-Ta>si‘ ‘Asyar ila Qiya>m al-H{arb al-Kubra al-Tha>niyah (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1994), 25. Lihat pula, Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, 514.

17

(18)

menimbulkan keterkejutan, yang merupakan fungsi krisis era modern ini.18 Umat

Islam, kelompok sosial terbesar di Mesir, pun tidak terhindar dari keterkejutan

akibat sentakan perubahan ini. Bahkan, tidak jarang sentakan perubahan ini terasa

mengguncang dogma dan memukul pondasi ajaran agama yang selama ini

dipahaminya. Sistem perbankan yang menjalankan praktek bunga adalah salah

satu contohnya.19 Praktik bunga dalam perbankan ini memaksa umat Islam untuk

berpikir keras agar bisa memastikan masuk tidaknya bunga ini dalam terma riba>

yang jelas-jelas diharamkan oleh Islam sebagaimana yang tercantum dalam

teks-teks al-Qur’an.20

Dari sini, muncullah tokoh-tokoh pemikir yang mencoba merumuskan

respon Islam terhadap kemodernan. Rifa>‘ah Ra>fi‘ al-T{aht}a>wi>

(1801-1873), misalnya, menyerukan kembali pentingnya ijtihad dan menganjurkan para

ulama agar mempelajari ilmu-ilmu modern. Demikian pula dengan Muh}ammad

‘Abduh (1849-1905). Kemunduran umat Islam itu, baginya, akibat paham jumu>d

(statis) yang melanda hampir seluruh umat. Karena itu, umat Islam harus kembali

kepada ajaran asli Islam, yang harus disesuaikan dengan kenyataan modern.

Sebagaimana al-T{aht}a>wi>, ia juga menyerukan dibukanya pintu ijtihad.

Rashi>d Rid{a> (1865-1935) mendesak perlunya penafsiran modern atas

al-Qur’an. Perkembangan peradaban Barat itu, menurutnya, didasarkan pada ilmu

pengetahuan dan teknologi, yang sebenarnya tidak bertentangan dengan Islam.

Oleh karena itu, demi kemajuan Islam, umat Islam harus bersedia menerima

peradaban Barat. Bahkan, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu

pengetahuan dan teknologi.21 Lain lagi T{aha H{usayn (1889-1973). Ia

menginginkan Mesir maju seperti Eropa dan, untuk itu, Mesir harus mengikuti

18

Donald Eugene Smith, Agama di Tengah Sekularisasi Politik, terjem. Azyumardi Azra dan Hari Zamharir (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), xix.

19

Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1998), 157-8.

20

Teks-teks al-Qur’an dimaksud antara lain adalah dalam al-Baqarah/2:275 berikut:

او ﷲا ﻴ ا مﺮ و

ﺎ ﺮ ا (Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba).

21

(19)

peradaban Eropa secara menyeluruh, dalam yang baik atau yang buruk dan dalam

yang terpuji atau yang tercela.22

Respon masyarakat Islam Mesir terhadap kemodernan --mengikuti

penyederhanaan Pierre Chacia-- dapat dikelompokkan menjadi tiga: konservatif,

reformis, dan sekularis. Kelompok konservatif yang umumnya muncul dari

otoritas-otoritas keagamaan dan tampaknya mewakili sikap mayoritas masyarakat,

menolak kemodernan. Alih-alih menangkap momentum perubahan, kelompok ini

menyebut mereka yang mengikuti ide-ide modern --meminjam sebutan

orang-orang desa dalam al-Ayya>m terhadap T{aha H{usayn muda, pelajar al-Azhar, yang mengingkari banyak hal yang mereka sakralkan seperti kara>ma>t--

sebagai “salah asuh.”23 Kelompok reformis tidak menganggap nilai-nilai dari

Barat atau kemodernan itu salah, tetapi mereka mengklaimnya sebagai bagian dari

ajaran Islam. Bila kelompok reformis masih mempertanyakan, misalnya, sesuai

tidaknya pendirian bank dengan pandangan Muslim tentang konsep riba, maka

kelompok sekular tidak menunggu jawaban yang memuaskan secara intelektual

dalam pendirian bank yang sama.24

Di sini, novel-novel realis Mesir dapat dikatakan sebagai salah satu

perwujudan dari respon sastrawan Mesir terhadap kemodernan. Dalam

pergumulan antara “dunia lama” dan “dunia baru” yang ditawarkan oleh

kemodernan,25 sastrawan, melalui karya-karya kreatifnya, menawarkan “dunia

22

T{aha H{usayn, Mustaqbal al-Thaqa>fah fi> Mis{r (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, 1973), 54.

23

Matti Moosa, The Origins of Modern Arabic Fiction (London: Lynne Rienner, 1997), 296.

24

Pierre Cachia, An Overview of Modern Arabic Literature (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990), 4-5.

25

Fenomena tentang sastrawan dan responnya terhadap berbagai bentuk perubahan di sekitarnya melalui karya-karya kreatifnya ini dapat disebut sebagai fenomena universal, dalam arti berlangsung di semua level budaya masyarakat, bukan hanya tipikal masyarakat di negara tertentu atau negara berkembang. Benturan antara nilai-nilai lama (tradisi) dan nilai-nilai baru (modernitas), yang biasanya lazim menyertai setiap perubahan banyak ditemukan dalam beragam karya sastra di berbagai belahan dunia.

(20)

yang mungkin/the possible world,”26 tempat beberapa nilai dalam dunia lama dan dunia baru itu dapat dinegosiasiakan dan dipertemukan. Melalui dialog yang

intens dengan dunia yang mengitarinya beserta segala problem sosial keagamaan

yang muncul akibat pergumulan ini, ia kemudian menawarkan alternatif sebuah

“dunia mungkin” yang dibangunnya secara imajinatif.27 Dengan demikian,

sebagaimana karya-karya ilmuwan lain, karya-karya kreatif sastrawan pada

dasarnya juga dapat menjadi sumber otoritatif bagi pemahaman tentang pemikiran

dan masyarakatnya.28

Sayangnya, dalam perdebatan tentang hubungan antara Islam dan

kemodernan ini suara mereka dapat dikatakan "nyaris tidak terdengar dan

didengarkan." Berbeda dengan suara tokoh-tokoh Mesir seperti Rifa>‘ah Ra>fi‘

T{aht}a>wi>, Muh}ammad ‘Abduh, Rashi>d Rid{a>, dan ‘Ali> ‘Abd

dan prinsip-prinsip demokratis, bahkan bila ini bermakna penolakan seutuhnya atas tradisi-tradisi yang telah berlangsung lama. Novel ini bercerita tentang kampung Pachanga, tempat orang-orang yang hidup secara tradisional dan tidak tersentuh oleh inovasi-inovasi modern. Ketika kampung itu dilanda kelaparan, karena tanahnya tidak lagi subur dan ikan di sungainya berkurang, salah seorang warganya, Ngurumo, mengusulkan agar mereka pindah ke kampung yang lebih subur. Sang kepala kampung, Mzee Matata, tidak hanya menolak usulan Ngurumo, tetapi bahkan ingin membunuhnya karena menganggapnya sebagai ancaman bagi otoritasnya. Karena tahu gelagat tidak baik tersebut, Ngurumo dan istrinya diam-diam pergi meninggalkan kampung. Mereka pun dibawa paksa ke kampung dan hendak dijadikan kurban bagi dewanya, tetapi secara kebetulan diselamatkan oleh pengawas pemerintah, Shabani, dengan menembak mati Mzee Matata. Ngurumo kemudian mengambil alih kepemimpinan kampung melalui pemilihan secara demokratis dan berniat mengirim ekspedisi melintasi gunung-gunung menuju masyarakat modern yang dilukiskan oleh Shabani.

Di Amerika juga muncul karya yang antara lain juga berisi tentang benturan antara tradisi dan modernitas. Menurut Marita Nadal dari Universitas Zaragoza, Spanyol, novel The American (1877) karya Henry James itu memotret benturan antara budaya Eropa dan Amerika dengan mengambil masyarakat Paris aristokrat sebagai latar. Kepolosan Amerika dipertentangkan dengan kerusakan Eropa ditunjukkan dalam karya-karya semacam ini. Lihat, http://www.goodreads.com/book/show/1700803.Rebel, 23 Agustus 2010; http://content. ghananation.com/articles/Bediako-Asare.aspx, 23 Agustus 2010; dan Marita Nadal, Tradition and modernity in Henry James's The American, http://ebc.chez-alice.fr/ebc84.html, 17 Agustus 2010.

26

Umberto Eco, The Limits of Interpretation (Bloomington-Indianapolis: Indiana University Press, 1994), 69.

27 Ruth Ronen,

Possible Worlds in Literary Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 5-8.

28

(21)

Ra>ziq (1888-1966) yang selalu menghiasi literatur-literatur dalam studi-studi

keislaman, suara sastrawan hampir tidak pernah bergema. Kalaupun ada sastrawan

yang disebut-sebut dalam wacana ini, maka penyebutannya itu bukan didasarkan

pada karya-karya sastra (baca: fiksi)nya, melainkan pada karyanya yang lain.

Penyebutan sastrawan T{aha H{usayn dalam wacana ini, misalnya, lebih

didasarkan pada pemikiran-pemikirannya dalam dua karya non fiksinya, yaitu

Mustaqbal al-Thaqa>fah fi> Mis}r dan Fi> al-Shi‘r / al-Adab al-Ja>hili>. Karya pertama adalah karya yang memuat gagasan-gagasannya tentang pendidikan dan

kebudayaan Mesir, sedangkan karya kedua adalah karya yang membahas perlunya

penerapan metode ilmiah dalam kajian sejarah dan kritik sastra Arab. Pernyataan

dan konklusi kontroversial pengarang dalam kedua karya inilah yang tampaknya

membuatnya selalu disebut-sebut dalam pembicaraan tentang Islam dan

kemodernan.29

Dengan tidak terdengarnya suara sastrawan Mesir tentang hubungan Islam

dan kemodernan dalam literatur-literatur studi-studi keislaman ini, timbul kesan

bahwa sastrawan-sastrawan Mesir tidak memiliki gagasan dan berada di luar

lingkaran wacana ini dan, akibatnya, karya-karya mereka sedikit atau bahkan

sama sekali tidak menyinggung wacana ini. Pada kenyataannya --seperti yang

akan dibuktikan dalam tulisan tentang Naji>b Mah}fu>z} ini-- tidaklah demikian.

Adalah sulit diterima nalar apabila kondisi sosial Mesir yang sedang dalam

perubahan besar dan bersifat mendadak tersebut lepas dari perhatian para

sastrawan. Sebagai individu yang menjadi bagian dari masyarakat dan memiliki

29

(22)

kepekaan yang relatif tinggi daripada anggota masyarakat yang lain, sastrawan

tentu juga merasakan denyut perubahan sosial yang cepat ini.30 Sebagaimana

anggota masyarakat yang lain, ia juga terkena dampak perubahan yang sedang

berlangsung. Seperti halnya individu masyarakat lainnya, ia juga memiliki sikap

atas perubahan yang bersifat mendadak ini. Karya-karya yang dilahirkannya pun

menjadi salah satu perwujudan atas sikapnya tersebut.31

Sebagaimana di Perancis, corak karya-karya sastra yang sarat dengan

berbagai masalah sosial dan/atau keagamaan dan dampaknya terhadap individu

dan masyarakat ini, yang menjelmakan kontak intens sastrawan Mesir dengan

kenyataan yang mengitarinya, dikenal dengan karya sastra realis.32 Apabila fiksi

romantik yang populer sebelumnya melukiskan kehidupan secara tidak obyektif

30

Bahkan, karena begitu sensitifnya, sastrawan tidak memerlukan lagi seseorang yang mendorongnya untuk memperhatikan masyarakatnya. Lihat, Mah}mu>d Taymu>r, Ittija>ha>t al-Adab al-‘Arabi> fi> al-Sini>n al-Mi’ah al-Akhi>rah (Kairo: al-Namu>dhaji>yah, 1970), 188-9.

31

Di sini dapat disebut beberapa sastrawan Mesir yang menjadikan berbagai masalah sosial seperti moral, tradisi, dan kondisi masyarakat (kelas menegah ke bawah) sebagai tema sentral dalam karya-karyanya. Ah}mad H{a>fiz} ‘Awad, misalnya, menulis H{a>l wa al-Ma’a>l (Sekarang dan Masa Depan) 1905, al-Fata> al-Ri>fi> (Pemuda Kampung) 1902, dan al-Fata>t al- Ri>fi>yah (Gadis Kampung) 1905. Novel pertama bercerita tentang perempuan muda Mesir, Asma, yang pergaulannya dengan orang-orang lain menunjukkan keburukan-keburukan pengaruh Barat: ia tidak segan-segan membaca novel-novel Perancis, dan ia menentang moral-moral tradisional Mesir dengan menyambut lelaki-lelaki muda secara terbuka. Novel kedua dan ketiga memotret kondisi menyedihkan dan kebodohan petani Mesir.

Apabila Ah}mad H{a>fiz} ‘Awad memusatkan perhatiannya pada kehidupan petani Mesir, maka S{a>lih} H{amma>d H{amdi> lebih banyak melahirkan karya-karya fiksi tentang moral. Tujuannya adalah menanamkan moralitas publik yang dianggapnya penting bagi sebuah masyarakat yang terus berkembang. Salah satu novelnya yang dipublikasikan tahun 1910 adalah al-Ami>rah Yara‘a (Pangeran Putri Yara‘a). Novel ini penuh dengan ceramah-ceramah Putri Yara‘a tentang beragam masalah moral dan sosial, seperti kebahagiaan, kenikmatan sosial, persepsi, akal, kehidupan pragmatis, dan masyarakat manusia, yang disampaikannya kepada sekelompok lelaki Mesir, termasuk para Shaykh al-Azhar. Demikian pula dengan sastrawan Mesir lainnya, Mah}mu>d T{a>hir La>shi>n (1894-1954 M). Ia pada tahun 1934 menulis novel H{awa bila> A<dam (Hawa tanpa Adam). Di samping tentang kehidupan pribadi Hawa, titik tekan karya ini adalah sikap masyarakat terhadap keadaan sulitnya dan kelas menengah Mesir, tempatnya berasal. Dengan novel ini La>shi>n memberikan gambaran yang hidup tentang masyarakat Mesir tahun 1930-an dan keadaan sulit kelas menengah yang sedang muncul. Lihat, Matti Moosa, The Origins, 255 dan 282-283.

32

(23)

dan nyata, maka fiksi realis mencoba memotret perilaku manusia dalam

kehidupannya sehari-hari senyata mungkin.33

Naji>b Mah{fu>z} (1911-2006 ) dengan karya-karya sastra yang

dihasilkannya dapat disebut sebagai manifestasi yang sebenarnya dari tanggapan

dan dialog sastrawan Mesir dengan kenyataannya ini. Geliat masyarakatnya yang

sedang mencari identitas dalam apa yang disebut dengan gelombang besar

“perubahan” ia rekam. Sastrawan yang lahir pada 11 Desember di distrik

al-Jama>li>yah di jantung kota Kairo lama ini, memandang sastra sebagai suatu

penyampaian pengalaman kemanusiaan dari sudut pandang sastrawan untuk

bangsanya.34 Perhatiannya terhadap problem sosial keagamaan merupakan fakta

yang tidak dapat dibantah. Baginya, moralitas individual itu tidak bisa lepas dari

moralitas sosial. Mereka yang hanya mencari keselamatan individual dicelanya.

Surga, menurutnya, adalah wilayah yang sangat kolektif.

Oleh karena itu, dunia yang menjadi latar dari karya-karyanya adalah kota

Kairo dengan seluk-beluk dan masyarakatnya, terutama karya-karyanya yang

bergaya realis, yaitu lima buah novel dan Trilogi35Kairo yang ditulis antara tahun 1939 dan 1952.36 Bahkan, karya-karya realis Naji>b Mah{fu>z} ini dianggap

sebagai titik kulminasi dari kecenderungan realisme sosial dalam perkembangan

33

Karya-karya realis biasanya mengungkapkan aspek kehidupan nyata secara langsung, apa adanya, dan cermat. Idealisasi lukisan kehidupan masyarakat tidak dikenal dalam karya sastra jenis ini. Kehidupan yang dilukiskannya biasanya kehidupan masyarakat kelas menengah atau rendah. Lihat, Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: UI-Press, 1990), 66. Lihat pula, Majdi> Wahbah dan Ka>mil Muhandis, Mu‘jam al-Mus{t{alaha>t al-‘Arabi>yah fi> al-Lughah wa al- Adab (Beirut: Maktabah Lubnân, 1984), 428.

34

Lihat hasil wawancara Ramadhan K.H. dengan Naji>b Mah{fu>z} yang diterjemahkan oleh Zainuddin Mansur.

35

Trilogi didefinisikan sebagai a group of three literary works that together compose a larger narrative (kumpulan tiga karya sastra yang secara bersama-sama membentuk cerita yang lebih luas). Lihat, http://web.cn.edu/kwheeler/lit_terms_T.html, Literary Terms and Definitions: T, 13 Juli 2010.

36

(24)

fiksi Arab di Mesir.37 Dalam novel-novel realisnya itu muncul potret kehidupan

sosial, politik, dan agama “manusia Mesir” pada paroh pertama abad ke-20,

terutama dari sudut pandang keluarga kelas menengah masyarakat urban Mesir,

sebuah lapisan masyarakat yang merasakan akibat langsung dari proses perubahan

yang sedang berlangsung. Pergesekan pemikiran antara generasi lama dan

generasi baru, pergolakan politik masyarakat, dan lontaran-lontaran kritis para

tokoh fiktifnya terhadap eksistensi Tuhan dan agama menghiasi dan mewarnai

novel-novel ini.

Nuansa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Mesir

memang terasa kental dalam novel-novel realis Naji>b Mah{fu>z} ini. Masuknya

radio ke dalam lorong Midaq, misalnya, telah membawa perubahan besar terhadap

kehidupan seorang penyair. Bila selama dua puluh tahun sebelumnya ia bisa

mencari penghidupan dengan membacakan dan/atau menyanyikan beberapa bait

puisi di kedai kopi milik Kirshah, maka masuknya radio telah membuatnya

kehilangan satu-satunya tempat mencari penghidupan. “Orang di zaman kita

sekarang tidak butuh penyair. Mereka seringkali memintaku radio. Inilah

radionya, sedang dipasang. Tinggalkan kami. Rizkimu di tangan Allah,” kata

Kirshah, pemilik kedai, kepada sang penyair.38 Implikasi-implikasi lain dari

proses perubahan ini, baik sosial, politik, ekonomi, maupun agama, tentu layak

dilihat lebih jauh.

Meskipun novel-novel realis bernuansa perubahan ini tidak secara khusus

menyorot kehidupan beragama, potret masyarakat Mesir dalam menjalani

kehidupan sehari-harinya, yang tentu tidak lepas dari agama dan praktik

keberagamaan, juga secara otomatis ikut terpotret. Di samping lontaran-lontaran

kritis para tokoh fiktifnya terhadap eksistensi Tuhan dan agama, di sana juga

dijumpai fenomena-fenomena yang terkait dengan Tuhan, agama, dan

37

Roger Allen, misalnya, menyebut Trilogi Kairo Naji>b Mah}fu>z} sebagai klimaks dari serangkaian novel yang ditulis dalam model realis sosial Eropa (the climax of a series of novel written in the European social realist style). Lihat, http://www.america.gov/st/arts-English/2007/January/ 20070119141225GLnesnoMO.4873621.html, Egyptian Author Naguib Mahfouz Sought to Reconcile East and West,1 Januari 2007; dan Matti Moosa, The Origins, 289.

38

(25)

keberagamaan. Misalnya, dalam novel-novelnya ini, Tuhan selalu “hadir” di

tengah-tengah kehidupan para tokohnya. Ucapan-ucapan “subh}a>nalla>h,” “Alla>hu ya‘lam,” “ghafaralla>hu ‘anh,” untuk menyebut beberapa contoh, sering diucapkan para tokoh.39 Namun, caci-maki, berjudi, berzina, homoseksual,

dan meminum minuman keras juga tidak jarang dilakukan oleh tokoh-tokoh ini.

Kesan bahwa kehadiran Tuhan tidaklah menjamin kehidupan seseorang menjadi

steril dari perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki Tuhan tampak nyata.

Bahkan, terkadang muncul kesan bahwa Tuhan dan/atau ajaran agama

diperolok-olok.40 Orang bisa taat beragama dan sekaligus sering melakukan tindakan yang

dilarang agama.41

Dengan demikian, pembacaan dan penganalisisan novel-novel realis

Naji>b Mah}fu>z} akan dapat menunjukkan bahwa sastrawan-sastrawan Mesir

juga berada dalam lingkaran wacana Islam dan kemodernan. Dengan cara dan

medianya mereka mengartikulasikan berbagai masalah masyarakat (Muslim)

Mesir dalam menghadapi perubahan di negaranya. Bahkan, dari media mereka

(baca: sastra) ini dapat ditemukan apa yang tidak muncul dalam karya-karya para

tokoh Mesir non sastrawan yang kerapkali menjadi acuan dalam wacana

hubungan Islam dan kemodernan. Dengan berbagai peristiwa dan tokoh fiktifnya

sastrawan dapat menggambarkan problem masyarakat secara lebih hidup. Mereka

bisa menembus titik terdalam pikiran dan perasaan individu-individu dalam

39

Lihat, misalnya, dalam Naji>b Mah}fu>z}, “Kha>n al-Khali>li> ” dalam al-A‘ma>l al-Ka>milah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmi>yah al-Jadi>dah, tt.), juz III, 8 dan 36.

40

Membaca surah al-Fa>tih}ah, misalnya, dalam beberapa momen berubah menjadi sesuatu yang bernuansa seksual. Pelayan, yang mengundang H{asan untuk sebuah “kencan” setelah yang terakhir ini sukses sebagai futu>wah, menepuk pundaknya saat ia masuk dan tertawa sambil berkata, “Bacakan al-Fa>tih}ah untuk kami.” Ah}mad ‘Abd al-Jawwa>d hanya mau menyempurnakan transaksi seksualnya bersama Zubaidah dengan membaca al-Fa>tih}ah. Sambil terlebih dahulu memohon ampun kepada Allah dalam benaknya, ia bertanya, “Kita membaca al-Fa>tih}ah?” Lihat, Naji>b Mah}fu>z}, Bida>yah wa Niha>yah (Kairo: Maktabah Mis}r, tt.), 162; dan Naji>b Mah}fu>z}, Bayn al- Qas}rayn (Kairo: Maktabah Mis}r, tt.), 91.

41

(26)

masyarakatnya. Akibatnya, tidak seperti pemikiran tokoh-tokoh non sastrawan

yang tampak bersifat deduktif, pemikiran sastrawan tampak bersifat induktif.42

Pemikiran dan pandangan mereka tentang apapun hanya muncul setelah melihat

dan menguraikan banyak hal, satu demi satu dengan seksama. Selanjutnya,

berbeda dengan pemikiran deduktif yang cenderung hanya menggambarkan

problem hubungan Islam dan modernitas dalam level "konseptual"nya, pemikiran

induktif sastrawan ini dapat menggambarkan problem yang sama sampai pada

level "pengaruh"nya dalam masyarakat.43

Oleh karenanya, melihat dampak perubahan sosial, politik, dan ekonomi

terhadap keberagamaan masyarakat Mesir melalui pembacaan novel-novel realis

Naji>b Mah}fu>z} adalah sebuah langkah tepat dan, tentu saja, menjanjikan hasil

yang utuh. Novel dapat mengungkapkan sesuatu yang tidak akan dapat diungkap

oleh orang-orang seperti Rifa>‘ah Ra>fi‘ al-T{aht}a>wi>, Muh}ammad ‘Abduh,

Rashi>d Rid{a>, dan ‘Alî ‘Abd al-Ra>ziq. Masyarakat, yang bisa jadi menjadi

dasar pertimbangan mereka dalam memberikan pendapatnya tentang Islam dan

kemodernan, tidak muncul. Dalam novel, masyarakat tidak hanya muncul, tetapi

mereka juga berbicara: mereka dengan leluasa menyatakan perasaan, pandangan,

dan harapannya atas berbagai perubahan yang sedang berlangsung.44 Karena

masyarakat dalam novel memiliki ruang berbicara, maka melalui novel tentu

dapat dihasilkan dua hal; pertama, potret menyeluruh atas dampak perubahan

terhadap agama dan keberagamaan masyarakat, sehingga tidaklah mudah --untuk

42

Induktif di sini menunjuk pada penarikan kebenaran-kebenaran umum dengan berdasar pada pengalaman yang berulang-ulang. Ini terkait dengan tujuan dari realisme (sastra) yang ingin memberikan representasi dunia riil, baik dunia eksternal maupun manusia itu sendiri, secara akurat, benar, dan obyektif. Lihat, M.A. Rafey Habib, A History of Literary Criticism: from Plato to the Present (Oxford: Blackwell, 2005), 471.

43

Hal ini terkait dengan sifat pemikiran deduktif dan induktif itu sendiri. Pemikiran pertama menggunakan prinsip yang sudah ada untuk menilai peristiwa tertentu, sedangkan pemikiran kedua bergerak dari peristiwa-peristiwa tertentu untuk mengambil kesimpulan umum. Lihat, Sandra Anderson dkk., Dictionary of Media Studies (London: A & C Black, 2006), 62 dan 118.

44

(27)

tidak mengatakan tidak mungkin-- menyimpulkan pandangan dan sikap

masyarakat terhadap proses perubahan yang berlangsung secara dikotomik, setuju

atau tidak setuju dan positif atau negatif, karena respon mereka ternyata tidak

pilah; dan kedua, pandangan pengarang tentang hubungan Islam dan kemodernan. Kedua pencapaian ini tentu akan memenuhi apa yang dikeluhkan oleh Daniel

Crecelius dalam tulisannya "Arah Sekularisasi di Mesir" bahwa studi-studi

tentang modernisasi dan reformasi di Timur Tengah pada umumnya terbatas pada

usaha-usaha sejumlah kecil para elit agama, seperti Jama>luddi>n al-Afgha>ni>,

Muh}ammad ‘Abduh, Rashi>d Rid}a>, dan H{asan al-Banna>, untuk menata dan

menafsirkan kembali pemikiran dan praktik Islam tradisional. Studi-studi ini lebih

banyak menekankan pada sistem konseptualnya daripada pengaruh pemikirannya

terhadap masyarakat. Baginya, baru sedikit studi yang diadakan berkenaan dengan

realitas perubahan sosial ekonomi, dan lebih sedikit lagi yang menjelaskan dan

menilai sekularisasi dalam masyarakat yang disebutnya merupakan bagian

integral dari proses modernisasi.45

Dalam novel-novel realis Naji>b Mah}fu>z sendiri terdapat beberapa

fenomena lain yang menarik untuk dikaji lebih jauh, terkait dengan posisi agama

di tengah-tengah masyarakat Mesir yang sedang dalam proses perubahan sosial.

Pertama, sikap tokoh-tokoh terhadap agama dalam novel-novel ini sangat

beragam: ada yang setia dan taat dalam beragama, ada yang berpandangan negatif

dan antipati terhadap agama, dan ada yang tidak begitu taat dalam beragama tetapi

juga tidak berpandangan negatif terhadap agama. Keragaman sikap tokoh

terhadap agama ini patut diduga hendak merepresentasikan realitas sikap

masyarakat Mesir. Dialog antara dua tokoh, Ah}mad ‘A<kif dan Ah}mad

Ra>shid, dalam Kha>n al-Khali>li> berikut adalah salah satu contoh dari perbedaan sikap terhadap agama ini:46

45

John L. Esposito (Ed.), Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial-Politik, terjem. A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 87.

46

Lihat, Naji>b Mah}fu>z}, “Kha>n al-Khali>li,” dalam al-A‘ma>l al-Ka>milah, 45-46. Terjemahan teks di atas adalah:

(28)

-ﻣو

ﺳر

ا

؟ﺮﺿﺎ ا

!

-بﺮﺿأ

ﻼﺜﻣ

ﺬﻬ

ﻴ ﺮ ا

:

ﺪ وﺮ

لرﺎآو

آرﺎﻣ

!

-...

-ﺔ ﻜ

ﺿﺎ ا

!!

-ﺎ ر

!

-ﻮ

تﺪ و

ﺿﺎ ا

ﺔ ﻜ

ﺔﻴ ﻴ

رﺎ

ﺎﻴﺿﺎﻣ

!

-دو

!

بﺎ ا

ﻴ ﺎ

،ﺔ هد

ﻮ و

عﺎﻄ ﺳا

آﺎ

نا

ﺎﻣ

ءارو

ةرﺎﻈ ا

ءادﻮ ا

ىأﺮ

ةﺮﻈ

رﺎ ا

ثرﻮ

نﻮ ا

.

و

:

-ﺎ

ﺔ اﺬ

!

Kedua, kebanyakan tokoh yang ditampilkan oleh narator dilukiskan

sebagai tokoh bulat, dalam arti sebagai manusia yang memiliki dua sisi dalam

kehidupannya, baik dan buruk. Dengan pelukisan tokoh secara bulat seperti ini,

analisis yang menyeluruh atas sikap masyarakat Mesir terhadap agama dalam

proses perubahan akan mendapat pijakan kokoh karena didasarkan pada tokoh

yang alami dan nyata. Al-Sayyid Rid}wa>n al-H{usayni>, salah seorang tokoh

utama dalam Zuqa>q al-Midaq, misalnya, dilukiskan sebagai tokoh agama di kampung al-Midaq yang suci dan bersih. Namun, kehidupan pribadinya di rumah dilukiskan secara agak berbeda oleh narator. “Sinar matanya bening, jernih,

mencerminkan iman, kebajikan, cinta, dan jauh dari maksud-maksud rendah …

Anehnya, di rumahnya sendiri orang ini --yang namanya terkenal karena

kebaikan, kecintaan, dan kedermawannya-- bersikap tegas, kasar, dan pelit.

Mungkin dapat dikatakan bahwa dia, yang gagal meraih semua kekuasaan yang

sebenarnya di dunia ini, ingin menerapkan kekuasaannya kepada makhluk

satu-satunya yang tunduk pada kemauannya, yaitu istrinya. Ia memuaskan nafsunya

- Tak ada hikmah di masa lalu!! (kata Ah}mad Ra>shid, pen.) - Ya Tuhan!

- Kalau kamu menemukan hikmah sejati di masa lalu, tentu tak akan pernah menjadi masa lalu! - Bagaimana dengan agama kita?

Si pemuda (Ah}mad Ra>shid) mengangkat alisnya, heran. Andai ‘A<kif mampu melihat apa yang ada di balik kaca mata hitamnya, tentu ia akan melihat pandangan meremehkan yang membuat gila.

(29)

Ketiga, di antara novel-novel realis ini terdapat novel yang tercakup dalam

Trilogi, yang memotret tokoh-tokoh dari tiga generasi: generasi pertama (kakek), generasi kedua (bapak atau paman), dan generasi ketiga (cucu). Hal ini

memungkinkan untuk dilakukan kajian atas apa yang berubah dan tidak berubah

sepanjang tiga generasi tersebut berserta faktor-faktor yang mempengaruhinya,

terutama dalam kehidupan beragama mereka.

Selain itu, sebagaimana lazimnya karya bergaya realis, deskripsi latar,

peristiwa, dan tokoh dalam novel-novel ini cermat dan renik.48 Dengan

kecermatan dan kerenikan ini pengarang seakan-akan ingin menghadirkan potret

Mesir seutuhnya, dengan segala kebaikan dan keburukannya.49 Lukisan kenyataan

yang demikian cermat dan renik ini membuat novel-novel realis ini menjadi

pilihan yang tepat untuk melihat bagaimana dampak perubahan sosial, politik, dan

ekonomi terhadap keberagamaan masyarakat Mesir tercermin dalam karya sastra.

Terlebih lagi, di antara novel-novel realis ini terdapat karya yang menjadikan

pengarangnya sebagai sastrawan Arab dan Muslim pertama yang meraih Hadiah

Nobel pada tahun 1988 dari Akademi Swedia, yaitu Trilogi.

Pandangan Naji>b Mah{fu>z} tentang hubungan Islam dan kemodernan

juga tidak kalah menarik untuk dikaji. Ia adalah sosok yang unik. Ia tumbuh di

tengah-tengah keluarga tradisional yang taat beragama, tetapi ia adalah produk

47

Naji>b Mah}fu>z}, Zuqa>q al-Midaq, 53-4, yang teks aslinya sebagai berikut:

" نﺎآو رﻮ ﻴ ﻴ ﺎﻴ ﺎ ﺎﻴ ﻄ نﺎ ﻹﺎ ﺮﻴﺨ او او ﺮ او ضاﺮ ﻷا .... ﻣو نأ نﻮﻜ اﺬه ﺮ ا – يﺬ ا رﺎ ﻴ ﺮﻴﺨ ا او دﻮ او آ رﺎﻄﻣ – ﺎﻣزﺎ ﺎ ﺳﺎ ﻰ و ﺔﻇﺎﻈ صﺮ و ﻴ ! ﺎ ﻴ إ ﺪ و ﺁ ﻣ آ نﺎﻄ ﺳ ﻴ ﺬه ﺎﻴ ﺪ ا ضﺮ ﻮﻄﺳ ﻰ قﻮ ﺨ ا ا ﺪﻴ ﻮ يﺬ ا ﺬ ، دارﻹ أ ﻮهو وز ! إو ﻮﻬ ﺔ ﺋﺎ ا ذﻮ نﺎﻄ او عﺎ ﺎ مﺰ ا ﺔ ﺎﻬ او ﺎﻬ ﻣ ".

48 Yu>suf al-Sha>ru>ni>,

al-Rawa’i>yu>n al-Thala>thah: Naji>b Mah}fu>z}, Yu>suf al-Siba>‘i>, Muh}ammad ‘Abd al-H{ali>m ‘Abdulla>h (Kairo: al-H{ad}a>rah al-‘Arabi>yah, tt.), 13.

49

(30)

dari lembaga pendidikan formal modern-sekuler yang dikembangkan di Mesir

sejak era Muh}ammad ‘Ali> Pa>sha>. Hanya saja, berbeda dengan

sastrawan-sastrawan lain seperti T{aha H{usayn, Tawfi>q al-H{aki>m, Muh}ammad

H{{usayn Haykal (1888-1956), yang pernah tinggal dan bersentuhan langsung

dengan kemodernan di Barat,50 ia menyelesaikan studinya dari tingkat dasar

sampai pendidikan tinggi di dalam negeri. Meskipun demikian, ia sejak kecil telah

membaca sastra Barat, di samping tentu saja sastra Arab, baik yang klasik maupun

yang modern. Orang-orang yang disebutnya mempengaruhi pemikirannya adalah

semuanya orang Arab atau Mesir. Mereka adalah ‘Abba>s Mah}mu>d

al-‘Aqqa>d, T{aha H{usayn, dan Sala>mah Mu>sâ.

Bagi orang Barat atau non Muslim sebagaimana diungkapkan oleh

Mattityahu Peled, ia dikenal sebagai seorang Muslim yang menerima nilai-nilai

Islam sebagai a way of life dan warisan yang dihormati, yang vitalitasnya dapat menjadi dasar masyarakat Muslim memberikan solusi atas tantangan-tantangan

yang mereka hadapi.51 Namun, umat Islam sendiri memberikan penilaian terhadap

Naji>b Mah}fu>z} secara berbeda. Banyak yang menilainya sebagai netral dan

obyektif dalam melihat sesuatu, tetapi tidak sedikit yang menyebutnya sebagai

agen Barat dan tidak simpati terhadap Islam. Anwa>r al-Jundi>, misalnya, pernah

menulis sebuah artikel di majalah al-I‘tis}a>m, yang menyerang Naji>b

Mah}fu>z} dan menyebut seluruh sastranya sebagai kefasikan dan kekufuran.52

Penilaian orang-orang seperti Anwa>r al-Jundi> ini --seperti akan terlihat dalam

analisis atas novel-novel realis Naji>b Mah}fu>z} nanti-- sama sekali tidak

didasarkan pada kritik dan pembacaan yang obyektif atas karya-karya Naji>b

50 T{aha H{usayn pernah belajar di Perancis, meraih gelar doktor dari Universitas Sorbon

pada 1918, dan bahkan menikah dengan gadis Perancis. Tawfi>q al-H{aki>m juga pernah tinggal di Perancis dari 1925 sampai 1928. Muh}ammad H{{usayn Haykal pernah belajar di Perancis untuk menempuh pendidikan doktoralnya. Novel Zaynab bahkan ditulisnya sewaktu dirinya berada di negara tersebut. Lihat, Julie Scott Meisami dan Paul Starkey ed., Encyclopedia of Arabic Literature (London and New York: Routedge, 1998), vol. I, 263-4, 278, dan 296.

51

Mattityahu Peled, Religion, xi.

52

(31)

Mah}fu>z}. Penilaian negatif mereka terhadap Naji>b Mah{fu>z} itu tampaknya

lebih didasarkan oleh sebab-sebab non sastra, dalam arti bukan dikarenakan oleh

isi karya-karya kreatifnya. Tentu saja, menilai Naji>b Mah}fu>z} sebagai netral,

dalam arti tidak memiliki keberpihakan dan "pesan" dalam melihat sesuatu juga

terlalu berlebihan. Hal ini karena --seperti yang akan dibuktikan dalam penelitian

ini-- ia tidak hanya sekedar "menceritakan sesuatu," tetapi juga "menyampaikan

sesuatu." Sesuatu yang disampaikan ini --mengikuti klasifikasi Pierre Chacia atas

tiga kelompok masyarakat Muslim dalam merespon kemodernan di atas-- adalah

merepresentasikan sikap kelompok reformis atau modernis, bukan konservatif

atau sekularis.

Melihat kenyataan tersebut, penulis --tanpa mengecilkan berbagai

pendekatan yang bisa dipakai dalam mengapresiasi karya sastra-- berasumsi

bahwa memahami dampak perubahan terhadap kehidupan beragama dalam

novel-novel realis Naji>b Mah}fu>z} dengan perspektif sosiologi sastra, dan mengkaji

pandangan Naji>b Mah}fu>z} tentang kaitan antara Islam dan kemodernan,

bukan saja sebuah langkah yang relevan, melainkan juga perlu dan signifikan.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ada pijakan kuat untuk

menjadikan karya-karya realis sebagai dasar pengkajian suatu tindakan, sikap atau

peristiwa di luar karya, tempat karya-karya realis tersebut lahir. Oleh karena itu,

yang menjadi obyek kajian sosiologis atas perubahan sosial, politik, dan

keagamaan masyarakat Mesir ini hanyalah novel-novel Naji>b Mah{fu>z} yang

oleh para kritikus digolongkan sebagai novel-novel realis. Novel dimaksud adalah

al-Qa>hirah al-Jadi>dah (1945), Kha>n al-Khali>li> (1946), Zuqa>q al-Midaq

(1947), al-Sara>b (1948), dan Bida>yah wa Niha>yah (1949) serta “Trilogi”:

Bayn al-Qas}rayn (1956), Qas}r al-Shawq (1956), dan al-Sukkari>yah (1957). Atas dasar pembatasan di atas, maka masalah yang penulis rumuskan dan

akan dicari jawabannya melalui novel-novel realis Naji>b Mah{fu>z} dan

(32)

1. Apa faktor-faktor yang mendorong perubahan sosial di Mesir tahun

1900-1950?

2. Bagaimana novel-novel realis Naji>b Mah}fu>z} menggambarkan kehidupan

beragama masyarakat Mesir?

3. Apa pandangan Naji>b Mah}fu>z} tentang Islam dan kemodernan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian novel-novel realis Naji>b Mah{fu>z} secara sosiologis

ini adalah:

1. Memahami faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial

masyarakat Mesir tahun 1900-1950, sebuah rentang waktu yang menjadi latar

cerita novel-novel realis Naji>b Mah}fu>z}.

2. Memahami posisi agama atau “kehadiran” Tuhan di tengah masyarakat Mesir

yang sedang dalam proses memodernisasi diri, dan di saat

perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang tidak terhindarkan telah

menciptakan berbagai problem sosial keagamaan, sebagaimana telah

menghiasai novel-novel tersebut atau mewarnai konteks literer novel, yang

pada gilirannya menyebabkan perubahan sikap, perilaku, dan praktik

keberagamaan masyarakat.

3. Memahami perspektif pengarang (Naji>b Mah}fu>z}) tentang kaitan antara

Islam dan kemodernan melalui kajian atas berbagai peristiwa, dialog antar

tokoh, dan keseluruhan teks novel-novel realisnya. Pemahaman perspektif

pengarang ini sekaligus hendak membuktikan dua hal. Pertama, pemikiran

tentang kaitan antara Islam dan kemodernan tidak saja ditemukan dari

kalangan sastrawan, tetapi bahkan pemikiran para sastrawan tersebut tampak

lebih memiliki akar dan kaitan yang erat dengan kenyataan daripada

pemikiran kalangan di luar lingkaran mereka. Kedua, karya-karya realis Mesir

muncul sebagai salah satu perwujudan dari respon sastrawan terhadap proses

(33)

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian atas novel-novel realis Naji>b Mah{fu>z} ini, secara

teoritis, diharapkan dapat berguna bagi pengembangan wacana keilmuan di

bidang kritik sastra, terutama terhadap karya-karya sastra yang lahir di

tengah-tengah masyarakat yang memiliki problem penempatan agama dalam konteks

kehidupan masyarakat modern yang majemuk. Penelitian ini juga diharapkan

dapat meretas jalan bagi peneliti atau kritikus sastra selanjutnya untuk melihat dan

membandingkan berbagai gagasan tentang agama (Islam) dan kemodernan dari

para sastrawan di berbagai belahan dunia, terutama dunia Muslim atau yang

mayoritas penduduknya beragama Islam, termasuk Indonesia.

Secara praksis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan

pemikiran dalam menempatkan agama dan membangun masyarakat beragama

dalam konteks berbangsa dan bernegara. Hal ini penting, terutama bagi

masyarakat multiagama dan tempat agama memiliki peran penting dalam seluruh

aspek kehidupannya, termasuk Indonesia.

E. Landasan Teori

E. 1. Sastra, Pengarang, dan Masyarakat

Pada hakekatnya sastra adalah ekspresi tentang masyarakat dengan segala

sistem, kepercayaan, milieu, dan pemikiran yang ada. Sastrawan sendiri, sebagai

penghasil sastra, tidaklah jatuh ke tengah masyarakatnya dari langit, melainkan

lahir dan tumbuh dari masyarakatnya dan dari segala yang dilihat, dirasakan, dan

didengarnya.53 Sejauh-jauh seorang sastrawan hendak mengelak dari segala fakta

yang melahirkan, mengasuh, dan mendewasakannya, ia tidak mungkin membuat

karya sastra yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan pengalaman,

pengetahuan, pikiran, dan perasaannya sendiri.54 “Semua karya sastrawan itu

53

Shawqi> D{ayf, al-Bahth al-Adabi>: T{abi>‘atuh, Mana>hijuh, Us}u>luh, Mas}a>diruh (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1992), 96.

54

(34)

mengambil inspirasi dari kehidupan ... Bahkan, ketika novel itu produk dari

perenungan dan pemikirannya, bukan dari peristiwa dalam kehidupan sehari-hari,

maka pemikiran itu sendiri pada dasarnya merupakan produk dari interaksi

sastrawan dengan realitas yang dijalaninya,” tegas Naji>b Mah}fu>z}.55 Dengan

kata lain, tidak ada karya sastra yang dapat menghuni suatu wilayah otonom yang

serba fiktif, imajiner, dan terlepas dari sangkut-pautnya dengan dunia “luar”

sastra.56 Setiap teks --menurut Fredric Jameson-- pada dasarnya mengandung

gema sosial, historis, dan politis.57

Gema dunia “luar” sastra dalam setiap teks sastra ini tampak lebih kentara

pada karya-karya sastra realis. Imajinasi dan idealisasi tidak mendapat porsi besar

dalam karya-karya semacam ini. Lukisan tentang kenyataan secara apa adanya

55 Naji>b Mah}fu>z},

Wat}ani> Misr: H{iwa>ra>t ma‘a Muh}ammad Salma>wi> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1997), 80.

56

Adanya unsur imajinasi/invensi dan fakta dalam karya sastra ini melahirkan persoalan tentang pembedaan antara sejarah (history) dan fiksi (fiction) yang, selanjutnya, menyebabkan munculnya beragam istilah, seperti fiksi sejarah (historical fiction) dan sejarah fiksional (fictional history). Bagi, Robert F. Berkhofer, JR., sebagaimana sejarawan, novelis fiksi sejarah tetap membedakan antara dunia fiksi dan fakta dalam karya atau tulisan mereka meskipun mereka mungkin menciptakan tokoh-tokoh utama novel dan menempatkannya dalam konteks historis yang seriil mungkin, sedangkan novelis sejarah fiksional bisa mencampuradukkan keduanya. Hanya saja, Berkhofer mengakui bahwa sejarah dan novel sejarah sama-sama menggunakan alat-alat interpretasi untuk mengelaborasi bukti dokumenter dan artifactual. Pengakuan yang tidak jauh berbeda juga datang dari Hayden White ketika ia membalik pertanyaan teoritis Erich Auerbach dan E. H. Gombrich, “Komponen-komponen ‘historis” apa dalam seni ‘realis’?” (what are the ‘historical’ componens of a ‘realistik’ art?) menjadi “Unsur-unsur artistik apa dalam historiografi realis?” (what are the ‘artistic’ elements of a’realistic’ historiography?). Menurut White, pembedaan antara “sejarah” dan “fiksi” yang disarkan pada fakta bahwa seorang sejarawan itu “menemukan” cerita-ceritanya sedangkan seorang penulis fiksi itu “menciptakannya” adalah kabur, karena “invensi’ (penciptaan) juga memainkan peran dalam kerja sejarawan. Penulisan sejarah, dalam pandangannya, juga melalui proses seleksi dan penyusunan data dari catatan sejarah yang belum terproses (unprocessed historical record) agar catatan tersebut lebih dapat dipahami oleh audiens tertentu. Di sana juga ada proses yang disebutnya emplotment, yaitu cara pengurutan peristiwa menjadi kisah/cerita, sehingga jenis kisah/cerita tersebut pelan-pelan dapat dikenali (romantik, tragik, komik atau satiris). Lihat, Robert F. Berkhofer, JR., Beyond the Great Story: History as Text and Discourse (Cambridge: Harvard University Press, 1997), 66-8. Lihat pula, Hayden White, Metahistory: the Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe (Baltimore & London: the Johns Hopkins University Press, 1975), 2-7.

57

(35)

adalah ciri utama karya-karya sastra realis.58 Dalam konteks Mesir, sastra realis

didefinisikan oleh Ah{mad D{ayf sebagai: sastra yang memotret senyata mungkin

petani di ladangnya, pengusaha di tempat usahanya, pangeran di istananya, sarjana

di antara buku-buku dan mahasiswanya, tokoh agama di antara para

jamaahnya.”59

Oleh karena itu, menganalisis karya sastra dengan hanya berkutat pada

struktur “dalam” tidak saja akan melepaskan karya tersebut dari konteks dan

fungsi sosialnya tetapi sekaligus mengenyampingkan manusia --termasuk

pengarang-- yang berada di sekitarnya. Dalam kenyataannya, sastra merupakan

sesuatu yang berada dan lahir dalam suatu peta sosial budaya dan dalam kondisi

sosio-historis tertentu. Struktur "luar," tempat lahirnya karya ini menjadi bagian

yang tidak terpisahkan dan memiliki hubungan erat dengan struktur "dalam" karya

sastra.

Hubungan yang erat antara struktur “dalam” dan “luar” sastra itu

didasarkan pada kelahiran sastra itu sendiri yang disebabkan oleh dorongan dasar

manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah

manusia dan kemanusiaan, dan peduli terhadap dunia nyata yang berlangsung

sepanjang hari dan sepanjang zaman. Karena watak sastra yang demikian, sastra

dapat memberikan kepuasan estetik dan sekaligus kepuasan intelek bagi

58

Memang tujuan paling umum realisme adalah menyajikan representasi tentang dunia riil, baik dunia eksternal maupun diri manusia, secara obyektif, seksama, dan sebenar-benarnya. Untuk mencapai tujuan ini, kaum realis memakai sejumlah strategi: menggunakan rincian yang deskriptif dan evokatif; menghindari yang tidak masuk akal, imajiner, dan mitis; mengikuti atau memenuhi tuntutan probabilitas dan meniadakan peristiwa-peristiwa yang mustahil; memasukkan tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dari seluruh strata sosial, dan tidak hanya para penguasa dan bangsawan; memfokuskan pada kekinian dan memilih topik-topik dari kehidupan kontemporer, bukan merindukan masa lalu yang diidealisasikan; dan menekankan pada sosial, bukan individual (atau melihat individu sebagai makhluk sosial). Semua tujuan dan strategi ini didasari oleh sebuah penekanan pada observasi langsung, faktualitas, pengalaman, dan induksi (menyimpulkan kebenaran-kebenaran umum hanya atas dasar pengalaman yang berulang-ulang). Dengan mengambil strategi-strategi ini, realisme merupakan reaksi terhadap idealisasi, retrospeksi historis, dan dunia-dunia imajiner yang menjadi ciri romantisisme. Lihat, M.A. Rafey Habib, A History of Literary Criticism: from Plato to the Present (Oxford: Blackwell, 2005), 471.

59

(36)

penikmatnya. Kepuasan estetik didapat penikmat dari keahlian pengarang dalam

mengungkapkan kenyataan dan kepuasan intelek diperolehnya dari kenyataan

yang diangkat pengarang itu sendiri. Kenyataan ini meliputi aspek sosial, budaya,

politik, agama, dan aspek-aspek lain yang terkait dengan keseluruhan kehidupan

pengarang dan masyarakat penikmat karyanya.

Membaca karya sastra berarti membaca suatu segi kebudayaan. Dalam

karya sastra terpancar pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu

masyarakat.60 Dapatlah dipahami apabila Grebstein mengatakan bahwa karya

sastra tidak dapat dipahami seutuhnya terlepas dari milieu, budaya, atau

peradaban, tempat kelahirannya. Ia haruslah dikaji dalam konteks yang seluas

mungkin, daripada hanya karya itu sendiri. Setiap karya sastra, menurutnya,

merupakan hasil atau akibat dari interaksi berbagai faktor sosial dan budaya yang

kompleks. Karya sastra itu sendiri adalah sebuah obyek budaya yang kompleks.

Bagaimanapun juga, ia adalah sebuah fenomena yang tidak berdiri sendiri.61

Hanya saja, gema sosial masyarakat ini hadir dalam karya sastra setelah

mengalami serangkaian olahan dan polesan dari pengarang. Kenyataan dalam

karya sastra adalah kenyataan yang tidak lepas dari “konstruksi” pengarang,

kenyataan yang telah ditafsirkan. “Bagaimanapun juga, dunia riil tidak otomatis

direproduksi dalam fiksi tetapi direpresentasikan olehnya, melalui bahasa, media

yang juga dikonstruksi secara sosial,” tandas Samah Selim.62 Kenyataan tersebut

bukanlah sekedar copy atau jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis. Pengarang tidak semata-mata melukiskan kenyataan obyektif, tetapi

60

Okke K. S. Zaimar, Menelusuri Makna “Ziarah” Karya Iwan Simatupang (Jakarta: Intermasa, 1990), 1.

61

Sheldon Norman Grebstein (Ed.), Perspectives in Contemporary Criticism (New York, 1968), 164-165. “The literary work cannot be fully understood apart from the milieu or culture or civilization in which it was produced. It must be studied in the widest possible context rather than by itself. Every literary work is the result of complex interaction of social and cultural factors and is itself a complex cultural object. It is, in any case, not an isolated phenomenon.”

62

(37)

mengolahnya sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya.63 Tanpa

olahan oleh hal terakhir ini, kenyataan yang dihadirkannya tentu menjadi tidak

bermakna.64 Dengan kata lain, kenyataan faktual, bagi pengarang, tidak lebih dari

semacam rangsangan untuk menciptakan kenyataan estetisnya sendiri.

Pengolahan pengarang atas kenyataan ini lahir sebagai akibat otomatis dari

fakta bahwa pengarang --sebagaimana pengakuan Naji>b Mahfu>z}

sendiri--menulis itu lebih dimotivasi oleh keinginan "menyampaikan sebuah pemikiran"

daripada oleh keinginan menulis itu sendiri.65 Ia ingin menawarkan “the possible

imagined world,” sebuah dunia imajiner yang tidak mustahil ada, sebagai sebuah

alternatif dari kenyataan faktualnya yang penuh kontradiksi. Sistem berpikir atau

ide yang diyakini dan dipilih pengarang sendiri inilah yang disebut sebagai

"ideologi" atau --dalam istilah Lucien Goldmann-- "pandangan dunia

pengarang."66 Hanya saja, karena pengarang adalah bagian dari sebuah kelompok

masyarakatnya, maka ideologi atau pandangan dunianya sebenarnya juga

mewakili ideologi atau pandangan dunia kelompok sosialnya.67

Ilmu sastra yang menelaah karya atau struktur “formal/dalam” sastra

dalam hubungannya dengan pengarang dan masyarakat pembacanya sebagai

struktur “luar” karya sastra ini dikenal dengan sosiologi sastra. Bila pembagian

63 Nyoman Kutha Ratna,

Paradigma Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 6-7.

64

H{ami>d Lah}amda>ni>, al-Naqd al-Rawa>’i> wa al-Ideologi>ya> (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi> al-Arabi> , 1990), 29.

65

Mas}ri> H{anu>rah, Masi>rah ‘Abqari>yah: Qira>’ah fi> ‘Aql Naji>b Mah{fu>z} (Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mis}ri>yah, 1994), 25.

66

Bagi Lennard Davis, novel tidak melukiskan kehidupan. Ia melukiskan kehidupan sebagaimana direpresentasikan oleh ideologi, yaitu sistem penandaan yang, dalam interpenetrasinya dengan psikis individu, membuat hal-hal “memiliki makna” tertentu bagi budaya dan individu-individu dalam budaya tersebut. Kehidupan merupakan serangkaian peristiwa dan persepsi yang luas dan tidak terkoordinir, sedangkan novel itu sistem pengalaman yang telah diorganisir sebelumnya, tempat para tokoh, tindakan, dan obyek harus bermakna sesuatu dalam hubungannya dengan sistem novel itu sendiri, dengan budaya tempat novel itu ditulis, dan dengan pembaca dalam budaya tersebut. Lihat Lennard Davis, Resisting Novel: Ideology and Fiction (New York: Methuen, 1987), 24-5.

67

(38)

Rene Wellek dan Austin Warren atas dua pendekatan utama dalam teori atau ilmu

sastra, intrinsik dan ekstrinsik, diikuti, maka sosiologi sastra termasuk ilmu yang

mempergunakan pendekatan ekstrinsik.68 Dalam perspektif sosiologi sastra, karya

sastra tidak jatuh dari langit; hubungan-hubungan yang ada antara sastra,

sastrawan, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari.69

Kajian tentang hubungan timbal bali

Referensi

Dokumen terkait