• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Status Hara Tanah, Tekstur Tanah, dan Produksi Lahan Sawah Terasering Pada 3 Ordo Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Status Hara Tanah, Tekstur Tanah, dan Produksi Lahan Sawah Terasering Pada 3 Ordo Tanah"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T.S.1996. Survai Tanah dan Evaluasi Lahan. PT Penebar Swadaya, Jakarta.

Abdulrachman, S., dan Hasil, S. 2006. Penentuan Takaran Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi Sawah. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Agus. F.,A. Adimihardja., S. Hardjowigeno. A. M. Fagi., dan W. Hartatik. 2004. Tanah Sawah dan Pengelolaanya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor

Atmojo, S.W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Sumatera Utara Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statisik, Sumatera Utara.

Basyuni, Z. 2009. Mineral dan Batuan Sumber Unsur Hara P dan K. Universitas Jendral Sudirman, Purbalingga

Damanik M.M., B. E Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin dan H. Hanum, 2010. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. Universitas Sumatera Utara Press, Medan

Dariah, A., H.Subagyo, Chendy.T., dan Setiari.M. 2003. Kepekaan Tanah Terhadap Erosi.

Foth, H. D. 1994. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan E. D Purbayanti., D. R Lukiwati., R. Trimulatsih. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hakim, A.M. 2009. Asupan Nitrogen dan Pupuk Organik Cair Terhadap Hasil dan

Kadar Vitamin C Kelopak Bunga Rosela. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Hanafiah, K.A.2005. Dasar Dasar Ilmu Tanah. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Hardjowigeno. S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika

Pressindo, Jakarta.

Hardjowigeno, S., 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Hardjowigeno. S dan L. Rayes. 2005. Tanah Sawah. Bayumedia. Malang.

(2)

Mukhlis., Sarifuddin., dan H. Hanum. 2011. Kimia Tanah Teori dan Aplikasi. Usu Press, Medan.

Munir, M. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, Jakarta.

Musa, L., Mukhlis, dan A. Rauf. 2006. Dasar Ilmu Tanah. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Agromedia Pustaka. Tangerang

Novriani. 2010. Alternatif Unsur Hara P (Fosfor) Pada Budidaya Jagung. FP Universitas Baturaja

Permentan. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 47/Permentan/OT.140/10/2006 Pramono, J. 2004. Kajian Penggunaan Bahan Organik Pada Padi Sawah. Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

Prasetyo, B.H dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Prayitno, J., J.J. Weinman, M.A. Djordjevic, and B.G. Rolfe. 2000. Pemanfaatan protein pendar hijau (green fluoresecent protein) untuk mempelajari kolonisasi bakteri Rhizobium. Prosiding Seminar Nasional Biologi XVI: 372-277.

Rauf, A.W., Syamsuddun, T., dan Sri, R.S. 2000. Peranan Pupuk NPK Pada Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Irian Jaya

Resman., S. A., Syradz., dan B. H. Sunarminto., 2006. Kajian Beberapa Sifat Kimia Dan Fisika Inceptisol Pada Toposekuen Lereng Selatan Gunung Merapi Kabupaten Sleman. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 6 (2). Hal : 101-108.

Rija, D., M.A. Solihin., dan S. Rosniawaty. 2007. Respon Beberapa Sifat Kimia Inceptisol Asal Rajamandala dan Hasil Bibit Kakao Melalui Pemberian Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

(3)

Sakti, P. 2009. Evaluasi Ketersediaan Hara Makro N,P dan K Tanah Sawah Irigasi Teknis dan Tadah Hujan di Kawasan Industri Kabupaten Karanganyar. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Subagyo, H., N. Suharta dan A.N. Siswanto. 2000. Tanah-Tanah Pertanian. Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (ed) Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.

Sukristiyonubowo. 2008. Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah Berteras Dengan Irigasi Tradisional. Jurnal Tanah dan Iklim. Balai Penelitian Tanah, Bogor

Suriatna, S. 1992. Pupuk dan Pemupukan. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta Suriadikarta, D.A., dan Adimihardja A. 2001, Penggunaan Pupuk Dalam Rangka

Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah, Jurnal Litbang Pertanian 20 (4), Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan agroklimat, Bogor.

Suriadikarta, D.A., T. Prihatini., D. Setyorini., dan W. Hartatiek. 2002. Pengelolaan Bahan Organik Tanah. Dalam, Abdurachman, A., Mappaona., dan A. Saleh (eds). 2002. Teknologi pengelolaan lahan kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian, Bogor

Tambun, B.V., Fitryane, L., dan Daud, Y. 2012. Pengaruh Erosi Permukaan Terhadap Kandungan Unsur Hara N,P,K Tanah Pada Lahan Pertanian Jagung di Desa Ulanta Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo

Usman. 2012. Teknik Penetapan Nitrogen Total Pada Contoh Tanah Secara Destilasi Titrimetri dan Kolorimetri Menggunakan Autoanalyzer. Buletin Teknik Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor

(4)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2016 sampai dengan July 2016 melalui 2 tahap kegiatan yaitu kegiatan lapangan dan kegiatan laboratorium. Tahapan kegiatan lapangan dilaksanakan di Kabupaten Samosir dengan ketinggian 1.300 meter diatas permukaan laut. Tahap kedua contoh tanah dianalisis di laboratorium PT. Asian Agri Tebing Tinggi.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah terganggu yang diambil di lahan sawah terasering, peta pengambilan titik sampel, kantong plastik dan karet gelang sebagai wadah sampel tanah, kotak stereoform untuk wadah seluruh sampel tanah, kertas label untuk memberi nama sampel serta bahan – bahan kimia lainnya yang digunakan untuk analisis di Laboratorium.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning

System) sebagai alat untuk menentukan koordinat wilayah, bor tanah sebagai alat

untuk mengambil sampel tanah terganggu, pisau atau parang sebagai alat untuk membantu pengambilan contoh tanah, clinometer sebagai alat mengukur kemiringan lereng, kamera sebagai alat untuk mendokumentasikan kegiatan dan alat tulis sebagai alat untuk menulis data dilapangan.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif dengan menggunakan Metode Survei. Teknik sampling berdasarkan metode cluster dan stratified sampling. Cluster

(5)

merupakan metode pengambilan sampel dengan memperhatikan strata atau tingkatan.

Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini dilakukan beberapa tahapan. Adapun tahapan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Persiapan Awal

Konsultasi dengan dosen pembimbing, telaah pustaka, penetapan lokasi pengambilan titik sampel dan persiapan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Pengambilan Contoh Tanah

Kegiatan lapangan dilakukan dengan pengambilan sampel tanah. Sampel tanah diambil dengan 3 ulangan pada 3 lokasi lahan sawah terasering yang memiliki ordo tanah yang berbeda. Kemudian setiap lahan sawah terasering dibagi menjadi bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah sehingga diperoleh 27 sampel tanah. Saat pengambilan contoh tanah, lahan dalam keadaan tidak tergenang.

Pengumpulan Data Sekunder

Data produksi serta data pendukung lainnya mengenai teknik pengolahan lahan diperoleh dengan cara kuisioner (wawancara) terhadap petani setempat yang memiliki maupun mengolah lahan sawah terasering yang teramsuk pada areal pengambilan sampel penelitian.

Parameter Pengamatan

(6)

- P2O5 dengan metode HCL 25% - N - Total dengan metode Kjeldhal - K2O dengan metode HCL 25% - Zn dengan Metode HCL 25% Skema Lahan Terasering

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Data hasil analisis N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu, Liat dan Produksi pada sawah terasering Inceptisol dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa :

- N - Total tertinggi berada pada teras bawah yakni 0,11 % dan terendah pada teras tengah yakni 0,09 %. Status hara N – Total pada terasering atas dan bawah tergolong kriteria rendah dan pada teras tengah sangat rendah. - P2O5 tertinggi berada pada teras atas yakni 18 mg kg-1 dan terendah

terdapat pada teras bawah yakni 10,43 mg kg-1. Status hara P2O5 pada setiap teras tergolong kriteria rendah.

- K2O tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 2621,75 mg kg-1 dan terendah terdapat pada teras atas yakni 2483,96 mg kg-1. Status hara K2O pada setiap teras tergolong kriteria sangat tinggi.

- Zn tertinggi terdapat pada teras atas yakni 53,40 mg kg-1 dan terendah terdapat pada teras tengah yakni 47,17 mg kg-1. Status hara Zn pada setiap teras tergolong kriteria sangat tinggi.

- C-Organik tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 1,28 % dan terendah terdapat pada teras tengah yakni 0,93%. Status hara C-Organik pada teras atas dan tengah tergolong kriteria sangat rendah dan pada tears bawah tergolong kriteria rendah.

(8)

- Persentase fraksi debu tertinggi terdapat pada teras atas yakni 44 % dan terendah terdapat pada teras bawah yakni 38,67.

- Persentase fraksi liat tertinggi terdapat pada teras atas yakni 32,67 % dan terendah pada teras tengah dan bawah yakni 19,33%.

- Produksi tertinggi terdapat pada teras atas yakni 5967 kg/ha dan terendah pada teras bawah yakni 4900 kg/ha.

(9)
[image:9.842.104.743.101.346.2]

Tabel 1. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Inceptisol

Inceptisol

Parameter

N (%) P2O5 K2O Zn C-Organik Pasir Debu Liat

Tekstur Produksi (%) (mg kg-1) (mg kg-1) (mg kg-1) (%) (%) (%) (%) kg/ha

Teras Atas

0,11 15,36 2679,74 65,2 0,89 16 38 46 li 5500

0,10 16,57 2142,76 45,30 1,01 28 48 24 l 6200

0,10 22,07 2629,38 49,70 1,01 26 46 28 lli 6200

Rata-rata 0,10 r 18,00 r 2483,96 st 53,40 st 0,97 sr 23,33 44,00 32,67 li 5967 Teras

Tengah

0,09 10,05 2896,83 53,16 0,89 26 54 20 l 6800

0,09 16,73 2429,08 45,71 1,01 48 34 18 l 5500

0,10 16,19 2539,33 42,63 0,89 40 40 20 l 5500

Rata-rata 0,09 sr 14,32 r 2621,75 st 47,17 st 0,93 sr 38,00 42,67 19,33 l 5933 Teras

Bawah

0,11 5,46 2322,22 50,55 0,74 54 26 20 lp 4800

0,11 5,46 2583,28 47,28 1,01 32 44 24 l 4400

0,10 20,37 2926,10 58,84 2,10 40 46 14 l 5500

Rata-rata 0,11 r 10,43 r 2610,53 st 52,22 st 1,28 r 42,00 38,67 19,33 l 4900 Keterangan : sr (sangat rendah), r (rendah), s (sedang), t (tinggi), st (sangat tinggi), l (lempung), li (liat), ld (lempung berdebu), lli (lempung berliat),

lp (lempung berpasir), llip (lempung liat berpasir)

(10)

Data hasil analisis N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu, Liat dan Produksi pada sawah terasering Entisol dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa :

- N - Total tertinggi berada pada teras tengah yakni 0,12 % dan terendah pada teras atas yakni 0,10 %. Status hara N-Total pada setiap teras tergolong kriteria rendah.

- P2O5 tertinggi berada pada teras atas yakni 12,24 mg kg-1 dan terendah terdapat pada teras tengah yakni 9,74 mg kg-1. Status hara P2O5 pada setiap teras tergolong kriteria sangat rendah.

- K2O tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 2341,45 mg kg-1 dan terendah terdapat pada teras atas yakni 1916,75 mg kg-1. Status hara K2O pada setiap teras tergolong kriteria sangat tinggi.

- Zn tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 38,21 mg kg-1 dan terendah terdapat pada teras atas yakni 33,22 mg kg-1. Status hara Zn pada setiap teras tergolong kriteria tinggi.

- C-Organik tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 0,87 % dan terendah terdapat pada teras atas yakni 0,59%. Status hara C-Organik pada setiap teras tergolong kriteria sangat rendah.

- Persentase fraksi pasir tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 50,96% dan terendah terdapat pada teras bawah 43,90 %.

- Persentase fraksi debu tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 40,89 % dan terendah terdapat pada teras tengah yakni 37,36 %.

(11)

- Produksi tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 3505 kg/ha dan terendah pada teras atas yakni 2437 kg/ha.

(12)
[image:12.842.83.782.103.362.2]

Tabel 2. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Entisol

Entisol

Parameter

N (%) P205 K20 Zn C-Organik Pasir Debu Liat

Tekstur Produksi (%) (mg kg-1) (mg kg-1) (mg kg-1) (ppm) (%) (%) (%) kg/ha

Teras Atas

0,09 6,41 2274,28 33,36 0,54 47,78 34,81 17,41 l 2292

0,10 7,36 1663,11 35,68 0,54 54,66 34,86 10,47 lp 2269

0,10 22,96 1812,87 30,62 0,70 44,32 45,23 10,45 l 2750

Rata-rata 0,10 r 12,24 sr 1916,75 st 33,22 t 0,59 sr 48,92 38,30 12,78 l 2437 Teras

Tengah

0,12 30,08 2210,91 34,12 0,78 47,33 42,13 10,54 l 2986

0,12 6,15 2116,47 38,30 0,62 51,19 34,86 13,95 l 3025

0,12 13,33 2148,28 41,15 0,62 54,38 35,09 10,54 lp 2750

Rata-rata 0,12 r 16,52 sr 2158,55 st 37,86 t 0,67 sr 50,96 37,36 11,68 l 2920 Teras

Bawah

0,11 17,41 2360,42 33,53 1,05 40,00 42,34 17,65 l 4400

0,10 5,95 2482,18 39,34 0,70 44,05 38,46 17,49 l 2915

0,12 12,99 2181,76 41,77 0,85 47,64 41,88 10,48 l 3208

Rata-rata 0,11 r 12,12 sr 2341,45 st 38,21 t 0,87 sr 43,90 40,89 15,21 l 3508 Keterangan : sr (sangat rendah), r (rendah), s (sedang), t (tinggi), st (sangat tinggi), l (lempung), li (liat), ld (lempung berdebu), lli (lempung berliat),

lp (lempung berpasir), llip (lempung liat berpasir)

(13)

Data hasil analisis N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu, Liat dan Produksi pada sawah terasering Ultisol dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa :

- N-Total tertinggi berada pada teras bawah yakni 0,23 % dan terendah pada teras atas yakni 0,19 %. Status hara N-Total pada teras atas tergolong kriteria rendah sedangkan pada teras tengah dan bawah tergolong kriteria sedang.

- P2O5 tertinggi berada pada teras tengah yakni 61,10 mg kg-1 dan terendah terdapat pada atas tengah yakni 16,68 mg kg-1. Status hara P2O5 pada teras atas tergolong kriteria rendah, pada teras tengah tergolong kriteria sangat tinggi dan pada teras bawah tergolong tinggi.

- K2O tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 2417,41 mg kg-1 dan terendah terdapat pada teras bawah yakni 2188,27 mg kg-1. Status hara K2O pada setiap teras tergolong kriteria sangat tinggi.

- Zn tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 52,70 mg kg-1 dan terendah terdapat pada teras atas yakni 44,11 mg kg-1. Status hara Zn pada setiap teras tergolong sangat tinggi.

- C-Organik tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 1,75 % dan terendah terdapat pada teras atas yakni 1,49 %. Status hara C-Organik pada setiap teras tergolong rendah.

- Persentase fraksi pasir tertinggi terdapat pada teras atas yakni 65,70% dan terendah terdapat pada teras bawah 54,45 %.

(14)

- Persentase fraksi liat tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 3,61 % dan terendah pada teras atas yakni 3,56 %.

- Produksi tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 3505 kg/ha dan terendah pada teras bawah yakni 5080 kg/ha.

(15)
[image:15.842.84.760.102.357.2]

Tabel 3. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Ultisol

Ultisol

Parameter

N (%) P205 K20 Zn C-Organik Pasir Debu Liat Tekstur Produksi (%) (mg kg-1) (mg kg-1) (mg kg-1) (ppm) (%) (%) (%) kg/ha

Teras Atas

0,18 21,41 2899,18 36,58 1,44 64,47 35,52 0,01 lp 5500

0,21 19,60 2066,16 50,43 1,67 68,21 28,24 3,54 lp 6111

0,17 9,04 2224,74 45,32 1,36 64,41 28,46 7,13 lp 4583

Rata-rata 0,19 r 16,68 r 2396,69 st 44,11 st 1,49 r 65,70 30,74 3,56 lp 5194 Teras

Tengah

0,27 58,81 3602,86 43,65 1,75 64,42 32,01 3,57 lp 4950

0,20 60,70 2126,54 63,90 1,67 60,24 36,14 3,63 lp 5500

0,20 63,78 1522,83 50,54 1,83 46,44 49,98 3,58 ld 5042

Rata-rata 0,22 s 61,10 st 2417,41 st 52,70 st 1,75 r 57,03 39,37 3,59 lp 5368 Teras

Bawah

0,24 57,04 1535,93 54,64 1,52 57,01 42,98 0,01 lp 5156

0,22 63,24 1455,58 49,15 1,83 53,24 39,55 7,20 lp 4583

0,22 53,33 3573,31 52,25 1,75 53,09 43,29 3,62 lp 5500

Rata-rata 0,23 s 57,87 t 2188,27 st 52,01 st 1,70 r 54,45 41,94 3,61 lp 5080 Keterangan : sr (sangat rendah), r (rendah), s (sedang), t (tinggi), st (sangat tinggi), l (lempung), li (liat), ld (lempung berdebu), lli (lempung berliat),

lp (lempung berpasir), llip (lempung liat berpasir)

(16)
[image:16.595.159.522.80.296.2]

Gambar 1. Grafik pengaruh jumlah liat terhadap produksi padi

Berdasarkan grafik diatas, menunjukkan bahwa adanya kecenderungan meningkatnya jumlah produksi padi seiring dengan meningkatnya jumlah liat pada lahan sawah terasering tersebut. Adanya liat sebagai salah satu koloid tanah, mampu meningkatkan produksi tanaman karena liat mempengaruhi sifat kimia tanah seperti status hara tanah tersebut.

Data hasil uji t 5 % parameter N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu, Liat dan Produksi pada sawah terasering Entisol, Inceptisol dan Ultisol dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa :

- Pada data lahan sawah Entisol, setiap parameter tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, kecuali pada perameter N-Total (T.Atas vs T.Tengah).

- Pada data lahan sawah Ultisol, beberapa parameter menunjukkan perbedaan nyata, yakni pada N-Total (T.Atas vs T.bawah), P2O5

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

Atas Tengah Bawah

Inceptisol

Ultisol

Entisol Kg/ha

32,67 - 19,33 - 19,33

3,56 - 5,59 - 3,61

(17)

(T.Atas vs Tengah dan T.Atas vs T.Bawah), fraksi pasir (T.Atas vs Tengah) dan fraksi debu (T.Atas vs Tengah).

(18)
[image:18.842.91.751.110.361.2]

Tabel 4. Uji t parameter Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Entisol, Inceptisol dan Ultisol

Ordo Sawah

Signifikan

N P2O5 K2O Zn C-Organik Pasir Debu Liat Produksi

Entisol

T.Atas vs T.Tengah 0,00* 0,38 tn 0,26 tn 0,14 tn 0,35 tn 0,61 tn 0,83 tn 0,69 tn 0,05 tn T.Atas vs T.Bawah 0,12tn 0,99 tn 0,11 tn 0,15 tn 0,08 tn 0,25 tn 0,52 tn 0,50 tn 0,09 tn T.Tengah vs T.Bawah 0,16 tn 0,38 tn 0,12 tn 0,92 tn 0,17 tn 0,08 tn 0,26 tn 0,25 tn 0,27 tn

Ultisol

T.Atas vs T.Tengah 0,24 tn 0,00* 0,98 tn 0,30 tn 0,07 tn 0,20 tn 0,22 tn 0,99 tn 0,74 tn T.Atas vs T.Bawah 0,04* 0,00* 0,79 tn 0,14 tn 0,19 tn 0,00* 0,01* 0,99 tn 0,79 tn T.Tengah vs T.Bawah 0,90 tn 0,38 tn 0,82 tn 0,92 tn 0,66 tn 0,67 tn 0,67 tn 0,99 tn 0,56 tn

Inceptisol

(19)

Data hasil analisis N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu, Liat dan Produksi pada sawah terasering Ultisol, Inceptisol dan Entisol (rataan teras atas + tengah + bawah) dapat dilihat pada Tabel 5.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa :

- N-Total tertinggi berada pada lahan sawah terasering Ultisol yakni 0,21 % dan terendah pada lahan sawah terasering Inceptisol yakni 0,10 %. Status hara N-Total pada lahan sawah terasering Ultisol tergolong kriteria sedang sedangkan pada lahan sawah terasering Inceptisol dan Entisol tergolong kriteria rendah.

- P2O5 tertinggi berada pada lahan sawah terasering Ultisol yakni 45,22 mg kg-1 dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Entisol yakni 13,63 mg kg-1. Status hara P2O5 pada lahan sawah terasering Ultisol tergolong kriteria tinggi, sedangkan pada lahan sawah terasering Inceptisol dan Entisol tergolong kriteria rendah.

- K2O tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Inceptisol yakni 2572,08 mg kg-1 dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Entisol yakni 2138,92 mg kg-1. Status hara K2O pada setiap lahan sawah terasering tergolong kriteria sangat tinggi.

(20)

- C-Organik tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Ultisol yakni 1,65 % dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Entisol yakni 0,71 %. Status hara C-Organik pada lahan sawah terasering Ultisol dan Inceptisol tergolong kriteria rendah, sedangkan pada lahan sawah terasering Entisol tergolong kriteria sangat rendah.

- Persentase fraksi pasir tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Ultisol yakni 59,06 % dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Inceptisol 34,44 %.

- Persentase debu tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Inceptisol yakni 41,78 % dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Ultisol yakni 37,35 %.

- Persentase fraksi liat tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Inceptisol yakni 23,78 % dan terendah pada lahan sawah terasering Ultisol yakni 3,59 %.

- Produksi tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Inceptisol yakni 5600 kg/ha dan terendah pada lahan sawah terasering Entisol yakni 2954 kg/ha.

(21)
[image:21.842.89.755.106.350.2]

Tabel 5. Data Sifat Kimia,Fisik dan Produksi lahan sawah terasering Ultisol, Inceptisol dan Entisol

Ordo Teras

Parameter

N (%) P205 K20 Zn C-Organik Pasir Debu Liat

Tekstur Produksi (%) (mg kg-1) (mg kg-1) (mg kg-1) (%) (%) (%) (%) kg/ha

Ultisol

Atas 0,19 16,68 2396,69 44,11 1,49 65,7 30,74 3,56 lp 5194

Tengah 0,22 61,10 2417,41 52,70 1,75 57,03 39,37 3,59 lp 5368

Bawah 0,23 57,87 2188,27 52,01 1,70 54,45 41,94 3,61 lp 5080

Rata-rata 0,21 s 45,22 t 2334,12 st 49,61 st 1,65 r 59,06 37,35 3,59 lp 5214

Inceptisol

Atas 0,10 18,00 2483,96 53,40 0,97 23,33 44,00 32,67 li 5967

Tengah 0,09 14,32 2621,75 47,17 0,93 38,00 42,67 19,33 l 5933

Bawah 0,11 10,43 2610,53 52,22 1,28 42,00 38,67 19,33 l 4900

Rata-rata 0,10 r 14,25 r 2572,08 st 50,93 st 1,06 r 34,44 41,78 23,78 l 5600

Entisol

Atas 0,10 12,24 1916,75 33,22 0,59 48,92 38,3 12,78 l 2437

Tengah 0,12 16,52 2158,55 37,86 0,67 50,96 37,36 11,68 l 2920

Bawah 0,11 12,12 2341,45 38,21 0,87 43,90 40,89 15,21 l 3505

Rata-rata 0,11 r 13,63 r 2138,92 st 36,43 t 0,71 sr 47,93 38,85 13,22 l 2954 Keterangan : sr (sangat rendah), r (rendah), s (sedang), t (tinggi), st (sangat tinggi), l (lempung), li (liat), ld (lempung berdebu), lli (lempung berliat),

lp (lempung berpasir), llip (lempung liat berpasir)

(22)

Data hasil uji t 5 % (Entisol vs Inceptisol), (Entisol vs Ultisol), (Inceptisol vs Ultisol) parameter N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu, Liat dan Produksi dapat dilihat pada Tabel 6.

Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa :

- Status hara N-Total pada lahan sawah terasering Ultisol berbeda nyata dengan lahan sawah terasering Entisol dan Inceptisol. Sedangkan status hara N-Total pada lahan sawah Entisol tidak berbeda nyata dengan lahan sawah Inceptisol.

- Status hara P2O5 pada lahan sawah terasering Ultisol berbeda nyata dengan lahan sawah terasering Entisol dan Inceptisol. Sedangkan status hara P2O5 pada lahan sawah Entisol tidak berbeda nyata dengan lahan sawah Inceptisol.

- Status hara K2O pada lahan sawah terasering Ultisol tidak berbeda nyata dengan lahan sawah terasering Entisol dan Inceptisol. Sedangkan status hara K2O pada lahan sawah Entisol berbeda nyata dengan lahan sawah Inceptisol.

- Status hara Zn pada lahan sawah terasering Entisol berbeda nyata dengan lahan sawah terasering Inceptisol dan Ultisol. Sedangkan status hara Zn pada lahan sawah Inceptisol tidak berbeda nyata dengan lahan sawah Ultisol.

(23)

- Persentase pasir pada lahan sawah Entisol berbeda nyata dengan lahan sawah terasering Inceptisol dan Ultisol. Serta persentase pasir pada lahan sawah terasering Inceptisol berbeda nyata dengan lahan sawah terasering Ultisol.

- Tidak ada perbedaan yang nyata pada persentase debu pada setiap lahan sawah terasering.

- Persentase liat pada lahan sawah Entisol berbeda nyata dengan lahan sawah terasering Inceptisol dan Ultisol. Serta persentase pasir liat pada lahan sawah terasering Inceptisol berbeda nyata dengan lahan sawah terasering Ultisol.

(24)
[image:24.842.91.763.105.203.2]

Tabel 6. Uji t parameter Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Entisol, Inceptisol dan Ultisol

Ordo Signifikan

N P2O5 K2O Zn C-Organik Pasir Debu Liat Produksi Entisol vs Inceptisol 0,12tn 0,34 tn 0,00* 0,00* 0,03 tn 0,01* 0,36 tn 0,01* 0,00*

(25)

Pembahasan

Pada uji t 5% tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada setiap teras.Namun data yang diperoleh menunjukkan bahwa peningkatan jumlah liat pada lahan sawah terasering, cenderung mempengaruhi produksi dan sifat kimia tanah (keberadaan unsur hara) yang lebih baik jika dibandingkan dengan lahan sawah terasering dengan kandungan liat yang lebih rendah pada setiap lahan sawah terasering. Hal ini karena liat yang merupakan salah satu koloid anorganik tanah mempengaruhi berbagai reaksi kimia tanah dan pertukaran ion di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Mukhlis dkk (2011) yang menyatakan bahwa koloid tanah merupakan komponen tanah yang aktif dan sangat menentukan sifat kimia tanah. Proses adsorbsi (jerapan), pertukaran ion, adsorbsi air,pembentukan dan stabilitas agregat, mengembang dan mengerutnya tanah, dispersi dan flokulasi, sangat terkait dengan keberadaan koloid tanah.

(26)

sangat rendah pada setiap teras jika dibandingkan dengan lahan terasering Inceptisol dan Entisol. Hal ini karena proses pencucian liat yang terjadi dari horison A menuju horison Bt sehingga hanya sebagian kecil terbawa oleh aliran permukaan.Hal ini sesuai dengan literatur Hardjowigeno (1993) yang menyatakan bahwa Ultisol mengalami proses pencucian liat (lessivage) yang tinggi dan Prasetyo dan Suriadikarta (2006) bahwa Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah.

(27)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pada lahan sawah terasering Entisol, status hara dan produksi pada setiap

teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N-Total (T.Atas vs T.Tengah)

2. Pada lahan sawah terasering Ultisol, status hara dan produksi pada setiap teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N (T.Atas vs T.Bawah) dan P - Total (T.Atas vs T.Tengah) (T.Atas vs Teras Bawah).

3. Pada lahan sawah terasering Inceptisol, status hara dan produksi pada

setiap teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N-Total (T.Tengah vs Teras Bawah).

4. Status hara tertinggi berada pada lahan sawah terasering Ultisol 5. Produksi tertinggi berada pada lahan sawah Inceptisol.

6. Lahan sawah terasering Inceptisol merupakan lahan sawah yang memiliki potensi terbaik untuk budidaya padi sawah.

Saran

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan Sawah

Sawah merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan yang sangat strategis karena lahan tersebut merupakan sumber daya utama untuk memproduksi padi/beras, yang merupakan pangan pokok utama bagi Indonesia. Dengan demikian, sawah merupakan sumber daya utama bagi pemantapan ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional (Abdullah, 1996) .

Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Kecuali itu padi sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya (Hardjowigeno, 2003).

Ciri khas tanah sawah, yang membedakannya dengan tanah tergenang lainnya, yaitu adanya lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat difusi O2 setebal 0,8 – 1,0 cm, selanjutnya lapisan reduksi setebal 25 – 30 cm dan diikuti oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Selama pertumbuhan tanaman padi akan tejadi sekresi 02 oleh akar tanaman padi yang menimbulkan kenampakan yang khas pada tanah di sekitar tanaman padi sawah (Mukhlis dkk, 2011).

(29)

Proses pembentukan profil tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu proses utama berupa pengaruh kondisi reduksi-oksidasi (redoks) yang bergantian, penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel tanah, dan perubahan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi tanah, akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan. (Hardjowigeno, 2003).

Penggenangan akan meningkatkan pH tanah yang semula asam (kecuali tanah yang rendah kadar besinya) menjadi netral, dan sebaliknya akan menurunkan pH tanah yang semulanya basa menjadi netral. Peningkatan tanah masam, oleh penggenangan terjadi akibat adanya penambahan ion OH- dari reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ (Mukhlis dkk, 2011).

Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang terus berlangsung tersebut, dicerminkan juga oleh perubahan sifat morfologi tanah, terutama di lapisan permukaan. Dalam keadaan tergenang, tanah menjadi berwarna abu-abu akibat reduksi besi-feri (Fe-III) menjadi besi-fero (Fe-II). Akan tetapi pada tanah pasir atau tanah lain yang permeabel, warna reduksi tersebut tidak terjadi, terkecuali pada penggenangan yang sangat lama. Di lapisan permukaan horizon tereduksi tersebut, dalam keadaan tergenang, ditemukan lapisan tipis yang tetap teroksidasi berwarna kecoklatan, karena difusi O2 dari udara, atau dari fotosintesis algae (Agus dkk, 2004).

(30)

dan puncak tertinggi pada tanah pasir yang miskin Fe aktif (Hardjowigeno dan Rayes, 2005) .

Meningkatnya ketersediaan P pada awal penggenangan disebabkan oleh: (a) reduksi FePO.2H2O Fe(PO4)2.8H2O

(b) desorpsi akibat reduksi Fe3+ Fe2+ (c) hidrolisis FePO4 dan AlPO4 pada tanah masam (d) pelepasan occluded P (P-tersemat)

(e) pertukaran ion. (Agus,dkk, 2004).

Pembakaran jerami sebelum diberikan ke tanah sawah seperti yang biasa dilakukan petani dinilai sangat merugikan karena banyak unsur hara yang hilang, salah satunya unsur hara, antara lain C, N, P, K, S, Ca, Mg dan unsur-unsur mikro (Fe, Mn, Zn, Cu). Pembakaran jerami akan mengakibatkan kehilangan hara C 94%, P 45%, K 75%, S 70%, Ca 30%, dan Mg 20% dari total kandungan hara dalam jerami (Suriadikarta dan Adimihardja, 2001).

(31)

C-Organik

Bahan organik memegang peranan penting dalam memperbaiki sifat-sifat tanah (fisik, kimia dan biologi) yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Oleh karena itu, bahan organik disebut juga sebagai dinamisator, aktivator dan regenerator tanah dalam meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan. Bahan organik merupakan salah satu komponen tanah yang sangat penting dari segi fisik, kimia, dan biologi tanah. Bahan organik dapat memperbaiki infiltrasi, porositas, struktur tanah, ketersediaan unsur hara, dan merupakan sumber energi bagi mikroorganisme tanah (Rija dkk, 2007).

(32)

Kandungan bahan organik lahan pertanian di Indonesia secara umum termasuk rendah, disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran petani untuk mengembalikan limbah panen ke dalam tanah. Katagorisasi tingkat kandungan bahan organik tanah menurut Balai Besar Penelitian Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) adalah rendah apabila kurang dari 2%, sedang apabila kandungan bahan organik tanah 2-3%, dan tinggi apabila lebih dari 3%. 73% lahan pertanian Indonesia memiliki kandungan bahan organik yang rendah, 23% sedang, dan hanya 4% yang berstatus tinggi (Suwarno dkk, 2009).

Penambahan bahan organik secara kontinyu pada tanah merupakan cara pengelolaan yang murah dan mudah. Namun demikian, walaupun pemberian bahan organik pada lahan pertanian telah banyak dilakukan, umumnya produksi tanaman masih kurang optimal, karena rendahnya unsur hara yang disediakan dalam waktu pendek, serta rendahnya tingkat sinkronisasi antara waktu pelepasan unsur hara dari bahan organik dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara. Kualitas bahan organik sangat menentukan kecepatan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik (Atmojo, 2003).

(33)

Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik dapat dikelompokkan dalam tiga grup, yaitu 1) sifat dari bahan tanaman termasuk jenis tanaman, umur tanaman dan komposisi kimia, 2) tanah termasuk aerasi, temperatur, kelembaban, kemasaman, dan tingkat kesuburan, dan 3) faktor iklim terutama pengaruh dari kelembaban dan temperatur (Atmojo, 2003).

Komponen organik tanah adalah residu tumbuhan dan hewan di dalam tanah pada berbagai tingkat dekomposisi. Kadarnya + 5% dari volume total tanah. Konsentrasi C organik berkisar dari < 5 g C/Kg tanah (0,5%) hingga >130 g C/Kg tanah (13 % C) di tanah humus alpin (Histosol dan Mollisol) pada lapisan 0 -10 cm, pada lahan lempung padang pasir (Aridisol). Bahan organik terdiri atas organisme hidup (10%), akar tanaman (10%) dan humus (80%). Unsur penyusun

utama dari bahan organik tanah adalah C (52 – 58 %), O (34 – 39 %), H (3,3 – 4,8 %), dan N (3,7 – 4,1%) (Mukhlis dkk, 2011).

Nitrogen (N)

Sumber utama nitrogen untuk tanaman adalah gas nitrogen bebas di udara yang menempati 78% dari volume atmosfir. Dalam bentuk unsur, nitrogen tidak dapat digunakan oleh tanaman, sedangkan dalam bentuk gas, agar dapat digunakan oleh tanaman harus diubah terlebih dahulu menjadi bentuk nitrat atau amonium (Usman, 2012).

(34)

mikroorganisme tanah. Bentuk NO3- lah yang selalu terlindi dan mudah larut, maka dikaji pergerakannya ke permukaan akar agar tidak hilang sehingga merupakan suatu usaha ke arab efisiensi pemupukan (Mukhlis dan Fauzi, 2003).

Nitrogen adalah komponen utama dari berbagai substansi penting didalam tanaman. Sekitar 40-50% kandungan protoplasma yang merupakan substansi hidup dari sel tumbuhan terdiri dari senyawa nitogen. Senyawa nitrogen digunakan oleh tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah menjadi protein. Nitrogen juga dibutuhkan untuk membentuk senyawa penting seperti klorofil, asam nukleat dan enzim. Karena itu, nitrogen dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, khususnya pada tahap pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas atau perkembangan batang dan daun. Memasuki tahap pertumbuhan generatif, kebutuhan nitrogen mulai berkurang. Tanpa suplai nitrogen yang cukup, pertumbuhan tanaman yang baik tidak akan terjadi (Hakim, 2009).

Secara alami unsur nitrogen ini dapat tersedia apabila lingkungan kaya bakteri penambat nitrogen yang biasanya bersimbiosis dengan kelompok tanaman dari famili Legumonosae. Penambatan nitrogen secara biologis diperkirakan menyumbang lebih dari 170 juta ton nitrogen ke biosfer pertahun, 80% merupakan hasil dari simbiosis antara bakteri Rhizobium dengan tanaman Leguminosae (Prayitno, 2000).

(35)

Selain itu, kelebihan N juga akan meningkatkan masa vegetatif dan memperpendek masa generatif yang justru menurunkan kualitas produksi. Tanaman yang kelebihan N akan menunjukan warna hijau gelap, peka hama penyakit dan mudah roboh (Winarso, 2005).

Fosfat (P)

Fosfor (P) termasuk unsur hara makro yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman, namun kandungannya di dalam tanaman lebih rendah dibanding nitrogen (N), dan kalium (K). Tanaman menyerap P dari tanah dalam bentuk ion fosfat, terutama H2PO4 - dan HPO4 2- yang terdapat dalam larutan tanah. Ion H2PO4 - lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih masam, sedangkan pada pH yang lebih tinggi (>7) bentuk HPO4 2- lebih dominan. Di samping ion-ion tersebut, tanaman dapat menyerap P dalam bentuk asam nukleat, fitin, dan fosfohumat (Novriani, 2010).

Fosfor (P) merupakan unsur penting penyusun adenosin triphosphate (ATP) yang secara langsung berperan dalam proses penyimpanan dan transfer energi maupun kegiatan yang terkait dalam proses metabolisme tanaman. Hara P sangat diperlukan tanaman padi, terutama pada awal pertumbuhan, berfungsi memacu pembentukan akar dan penambahan jumlah anakan. Di samping itu, P juga berfungsi mempercepat pembungaan dan pemasakan gabah (Abdulrachman dan Hasil, 2006).

(36)

kandungan fosfor di dalam tanah hanya bersumber dan ditentukan oleh banyak

sedikitnya cadangan mineral fosfor dan tingkat pelapukannya (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Pertambahan fosfor ke dalam tanah hanya bersumber dari defosit atau pelapukan batuan dan mineral yang mengandung fosfat seperti mineral apatit. Ketersediaan fosfor di dalam tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri bahan induk tanah, serta bagaimana pengelolaan tanah itu oleh manusia. Oleh karena itu kandungan fosfor di dalam tanah hanya bersumber dan ditentukan oleh banyak

sedikitnya cadangan mineral fosfor dan tingkat pelapukannya (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Kalium (K)

Kadar kalium total di dalam tanah pada umumnya cukup tinggi, dan diperkirakan mencapai 2.6% dari total berat tanah, tetapi kalium yang tersedia didalam tanah cukup rendah. Pemupukan hara nitrogen dan fosfor dalam jumlah besar turut besar turut memperbesar serapan kalium dari dalam tanah, ditambah lagi pencucian dan erosi menyebabkan kehilangan kalium semakin besar (Musa, dkk, 2006).

(37)

kritis K adalah 0,10 me/100 gr tanah (setara 3,9 mg/100 gr) atau sekitar 2-3% jumlah basa tertukar (Hanafiah, 2005).

Beberapa peran kalium yang perlu diketahui adalah sebagai berikut: 1. Translokasi (pemindahan) gula pada pembentukan pati dan protein. 2. Membantu poses membuka dan menutup stomata (mulut daun). 3. Efisiensi penggunaan air (ketahanan terhadap kekeringan). 4. Memperluas pertumbuhan akar.

5. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. 6. Memperkuat tubuh tanaman supaya daun, bunga, dan buah tidak mudah rontok. 7. Memperbaiki ukuran dan kualitas buah pada masa generatif (Novizan, 2002).

Kekurangan Kalium menyebabkan : pertumbuhan kerdil, daun kelihatan kering dan terbakar pada sisi-sisinya., menghambat pembentukan hidrat arang pada biji., permukaan daun memperlihatkan gejala klorotik yang tidak merata, munculnya bercak coklat mirip gejala penyakit pada bagian yang berwarna hijau gelap. Kelebihan kalium dapat menyebabkan daun cepat menua sebagai akibat kadar magnesium daun dapat menurun, kadang-kadang menjadi tingkat terendah sehingga aktifitas fotosintesa terganggu (Rauf dkk, 2000).

(38)

penyerapan K terhambat, besarnya nisbah Na:K, Mg:K, atau Ca:K dalam tanah, dan kondisi sodik atau salin, Kelebihan Mg dalam tanah asal batuan ultrabasik, besarnya konsentrasi bikarbonat dalam air irigasi (Basyuni, 2009).

Tekstur

Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah, ditentukan berdasarkan perbandingan butir-butir (fraksi) pasir (sand), debu (silt) dan liat (clay). Fraksi pasir berukuran 2 mm – 50 µ lebih kasar dibanding debu (50 µ - 2 µ) dan liat (lebih kecil dari 2 µ). Karena ukurannya yang kasar, maka tanah-tanah yang didominasi oleh fraksi pasir akan melalukan air lebih cepat (kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tinggi) dibandingkan dengan tanah-tanah yang didominasi oleh fraksi debu dan liat. Kapasitas infiltrasi dan permeabilitas yang tinggi, serta ukuran butir yang relatif lebih besar menyebabkan tanah-tanah yang didominasi oleh pasir umumnya mempunyai tingkat erodibilitas tanah rendah. Tanah dengan kandungan pasir halus (0,01 mm – 50 µ) tinggi juga mempunyai kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan, maka butir-butir halusnya akan mudah terangkut (Dariah dkk, 2003).

(39)

Tanah-tanah yang banyak mengandung liat dan bercampur dengan sejumlah debu menghasilkan tanah yang bertekstur halus (Foth, 1994).

Debu merupakan fraksi tanah yang paling mudah tererosi, karena selain mempunyai ukuran yang relatif halus, fraksi ini juga tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan (tanpa adanya bantuan bahan perekat/pengikat), karena tidak mempunyai muatan. Berbeda dengan debu, liat meskipun berukuran halus, namun karena mempunyai muatan, maka fraksi ini dapat membentuk ikatan. Meyer dan Harmon (1984) menyatakan bahwa tanah-tanah bertekstur halus (didominasi liat) umumnya bersifat kohesif dan sulit untuk dihancurkan. Walaupun demikian, bila kekuatan curah hujan atau aliran permukaan mampu menghancurkan ikatan antar partikelnya, maka akan timbul bahan sedimen tersuspensi yang mudah untuk terangkut atau terbawa aliran permukaan (Dariah dkk, 2003).

Ordo Tanah

Ultisol

Ultisol di Indonesia memiliki sebaran yang luas. Luas Ultisol di Indonesia mencapai 24,3% atau sekitar 45,794 juta ha. Di Sumatera Utara luas Ultisol yaitu lebih kurang 1,549 juta ha, Ultisol termasuk tanah yang luas di Sumatera Utara selain Inseptisol dan Andisol (Subagyo dkk, 2000).

(40)

Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Secara umum Ultisol memiliki sifat fisik yang buruk, yaitu memiliki permeabilitas yang lambat sampai sedang, kepekaan erosi besar karena stabilitas agregat tanah buruk, mengalami proses pencucian liat (lessivage) yang tinggi, kandungan unsur hara relatif rendah, konsistensi teguh hingga gembur, agregat berselaput liat kadang-kadang berada diatas lapisan yang mengeras atau plinthite, sering ada konkresi besi dan sedikit kuarsa (Hardjowigeno, 1993).

Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Inceptisol

Sifat fisik dan kimia tanah Inceptisol antara lain; bobot jenis 1,0 g/cm3, kalsium karbonat kurang dari 40 %, pH mendekati netral atau lebih (pH < 4 tanah bermasalah), kejenuhan basa kurang dari 50 % pada kedalaman 1,8 m, COLE antara 0,07 dan 0,09, nilai porositas 68 % sampai 85 %, air yang tersedia cukup banyak antara 0,1 – 1 atm (Resman dkk, 2006).

(41)

menjadi formasi lempung, pelepasan sesquioksida, akumulasi bahan organik dan yang paling utama adalah proses pelapukan, sedangkan proses pedogenesis yang menghambat pembentukan tanah Inceptisol adalah pelapukan batuan dasar menjadi bahan induk. Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah yang matang dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya (Hardjowigeno, 1993).

Inceptisol memiliki tekstur tanah yang beragam mulai dari kasar hingga halus dengan kandungan liat cukup tinggi (35-78%), tetapi sebagian lagi termasuk berlempung halus dengan kandungan liat lebih rendah (18-35%). Warna tanah Inceptisol umumnya kelabu, coklat sampai hitam tergantung bahan induknya. Selain itu, Inceptisol mempunyai karakteristik horizon pedogenik dengan sedikit akumulasi bahan seperti karbonat atau silika amorf, beberapa mineral lapuk dan kemampuan menahan kation fraksi lempung yang sedang sampai tinggi (Munir, 1996).

(42)

Entisol

Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus sudah terjadi proses pembentukan tanah yang menghasilkan epipedon okhrik. Banyak tanah Entisol yang digunakan untuk usaha pertanian misalnya di daerah endapan sungai atau daerah rawa-rawa pantai. Padi sawah banyak ditanam di daerah-daerah Aluvial ini (Hardjowigeno, 1993).

Berdasarkan sifat dan ciri tanah yang ada menunjukkan bahwa dalam tanah tidak menunjukkan adanya gejala pembentukan horizon penciri, sehingga horizon yang dipergunakan sebagai kriteria pengklasifikasian tidak di jumpai.Demikian pula untuk penciri utama lainnya tidak pernah dijumpai dalam entisol. Penurunan warna khroma yang disebabkan karena proses reduksi yang sangat kuat merupakan salah satu kriteria yang dapat di pergunakan sebagai salah satu penciri horizon kambik, namun demikian tetap harus disertai adanya perubahan perubahan fisik lainnya. Warna kroma yang meningkat dalam tanah menunjukkan adanya proses pelapukan yang menyebabkan timbulnya pembebasan oksida besi (Munir, 1996).

(43)
(44)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produksi padi nasional masih terfokus pada lahan sawah irigasi jika dibandingkan dengan lahan kering (padi gogo). Hal ini erat kaitannya dengan produksi padi sawah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan padi gogo. Menurut data BPS (2014) produktivitas padi sawah telah mencapai 4,78 ton/ha sementara padi gogo baru mencapai 2,56 ton/ha. Data ini membuktikan bahwa lahan sawah memiliki potensi yang lebih besar jika dibandingkan dengan lahan kering dalam hal budidaya tanaman padi.

Lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi. Yang membedakan lahan ini dari lahan rawa adalah masa penggenangan airnya, pada lahan sawah penggenangan tidak terjadi terus- menerus tetapi mengalami masa pengeringan (Musa, dkk, 2006).

Ketersediaan unsur hara memegang peranan dalam tingkat produktivitas tanah sawah, khususnya unsur hara makro primer, yaitu N, P, dan K. Ketersediaan unsur hara ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor bawaan dan faktor dinamik . Faktor bawaan adalah bahan induk tanah, yang berpengaruh terhadap ordo tanah. Faktor dinamik merupakan faktor yang berubah - ubah, antara lain pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan pe ngembalian seresah tanaman (Sakti, 2009).

(45)

yang termasuk dalam ordo Ultisol, Inceptisol, Andisol, dan Alfisol (Latosol, Regosol, Andosol, dan Mediteran). Sedangkan sekitar 6% merupakan pesawahan pada tanah-tanah masam, yang termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning) (Hardjowigeno, 2003).

Sekitar 45% wilayah Indonesia berupa perbukitan dan pegunungan yang dicirikan oleh topo-fisiografi yang sangat bergam, sehingga praktek budidaya pertanian di lahan pegunungan memiliki posisi strategis dalam pembangunan pertanian nasional. Selain memberikan manfaat bagi jutaan petani, lahan pegunungan juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah alisaran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya. Walaupun berpeluang untuk budidaya pertanian, lahan pegunungan rentan terhadap longsor dan erosi, karena tingkat kemiringannya, curah hujan relatif lebih tinggi, dan tanah tidak stabil (Permentan, 2006).

Sawah pada teras, sifatnya sangat berubah dibandingkan dengan tanah asalnya, karena terjadinya penggalian dan penimbunan pada waktu pembuatan teras. Cara pembuatan teras adalah dengan jalan menggali lereng atas, dan menimbun lereng bawah. Akibatnya, susunan horizon tanah asalnya dapat hilang sama sekali. Makin curam lereng, maka teras semakin sempit dan penggalian serta penimbunan semakin dalam. Dalam satu petak sawah yang baru dibuat dengan cara ini, mungkin akan ditemukan lebih dari satu jenis tanah, yaitu Entisol atau Inceptisol pada bagian tanah yang ditimbun atau digali, selain tanah aslinya di bagian tengah petakan (Agus dkk, 2004).

(46)

mampu menahan air yang mengalir diatas permukaan tanah dan yang terjadi yaitu pelepasan partikel-partikel tanah pada permukaan tanah dan bahkan dapat menyebabkan hilangnya top soil (tanah lapisan atas) sehingga dapat berpengaruh pada salah satu komposisi penyusun tanah atas atau lapisan olah tanah. Kehilangan hara dari permukaan tanah merupakan salah satu akibat utama dari terjadinya erosi. Peristiwa ini terjadi karena hara tanah umumnya banyak terdapat pada lapisan atas tanah (top soil) khususnya unsur N, P, K sebagai penyubur tanaman , sehingga aliran permukaan yang terjadi selain membawa tanah menjadi erosi juga membawa hara tanah keluar dari petak lahan pertanian (petak pertanaman) (Tambun dkk, 2012).

Irigasi tradisional pada sawah berteras umumnya dilakukan dengan membuka dan menutup saluran air masuk dan saluran air keluar yang dibangun secara sederhana oleh petani. Sumber air irigasi berasal dari mata air yang ada di kawasan atas atau air hujan yang mengalir melalui kanal-kanal alami. Cara ini memungkinkan sedimen dan unsur hara terbawa masuk dan terangkut keluar lahan sawah melalui pergerakan air tersebut. Fenomena ini sangat menarik dan perlu dipelajari lebih lanjut dalam hubungannya dengan kondisi di lahan (on-site

impacts) dan di luar lahan (off-site impacts). Namun demikian, penelitian

mengenai mobilitas sedimen dan hara tanaman pada sawah termasuk sistem sawah berteras masih jarang dilakukan (Sukristiyonubowo, 2008).

(47)

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui status hara, tekstur dan produksi lahan sawah terasering pada 3 ordo tanah berbeda.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

(48)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hara, tekstur, dan produksi lahan sawah terasering pada 3 ordo tanah (Inceptisol, Ultisol dan Entisol) di Kabupaten Samosir. Pengambilan sampel berdasarkan metode cluster dan stratified sampling, dengan membagi lahan sawah terasering menjadi tiga bagian yakni atas, tengah dan bawah. Analisis data hara N metode Kjeldhal, P metode HCl 25%, K metode HCL 25%, Zn metode HCl 25%, C-Organik metode Walkley & Black, Tekstur metode Hydrometer Boyoucous dan produksi melalui data kuisioner. Serta menguji data parameter dengan uji t 5%.

Hasil penelitian menunjukkan pada lahan sawah terasering Entisol, status hara dan produksi pada setiap teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N-Total (Teras Atas vs Teras Tengah). Pada lahan sawah terasering Ultisol, status

hara dan produksi pada setiap teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N - Total (T.Atas vs T.Bawah) dan P - Total (T.Atas vs T.Tengah) (T.Atas vs T.Bawah). Pada lahan sawah terasering Inceptisol, status hara dan

produksi pada setiap teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N-Total (T.Tengah vs T.Bawah). Status hara tertinggi berada pada lahan sawah terasering

(49)

ABSTRACT

This research aims to determine nutrient status, texture, and production of terraced paddy fields at 3 soil ordos (Inceptisol, Ultisol, Entisol) in Samosir Regency. Soil sampling is done by using cluster and stratified sampling, and divided the fields in a three-part i.e. top, middle and bottom. Analysis of nutrient data Nitrogen Kjeldhal method, phosphate HCl 25% method, potassium HCl 25% method, Zn HCl 25% method, organic carbon Walkley & Black method, texture Hydrometer Boyoucous method and production by questionnaire. And test the data by using t test 5%.

The result of research show that at Entisol terraced paddy field, nutrient status and production at every terrace is not definitely different one each other except Nitrogen (Top Terrace vs Middle Terrace). At Ultisol terraced paddy field, nutrient status and production at every terrace is not definitely different one each other except Nitrogen (Top Terrace vs Bottom Terrace) and Phosphate (Top Terrace vs Middle Terrace) (Top Terrace vs Bottom Terrace). At Inceptisol terraced paddy field, nutrient status and production at every terrace is not definitely different one each other except Nitrogen (Middle Terrace vs Bottom Terrace). The highest of Nutrient status is in Ultisol terraced paddy field and the highest of production is in Inceptisol terraced paddy field.

(50)

IDENTIFIKASI STATUS HARA TANAH, TEKSTUR TANAH DAN PRODUKSI LAHAN SAWAH TERASERING PADA 3 ORDO TANAH

SKRIPSI

Oleh :

NIKSON SITINJAK 120301125

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(51)

IDENTIFIKASI STATUS HARA TANAH, TEKSTUR TANAH DAN PRODUKSI LAHAN SAWAH TERASERING PADA 3 ORDO TANAH

SKRIPSI

Oleh :

NIKSON SITINJAK 120301125

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Progaram Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(52)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hara, tekstur, dan produksi lahan sawah terasering pada 3 ordo tanah (Inceptisol, Ultisol dan Entisol) di Kabupaten Samosir. Pengambilan sampel berdasarkan metode cluster dan stratified sampling, dengan membagi lahan sawah terasering menjadi tiga bagian yakni atas, tengah dan bawah. Analisis data hara N metode Kjeldhal, P metode HCl 25%, K metode HCL 25%, Zn metode HCl 25%, C-Organik metode Walkley & Black, Tekstur metode Hydrometer Boyoucous dan produksi melalui data kuisioner. Serta menguji data parameter dengan uji t 5%.

Hasil penelitian menunjukkan pada lahan sawah terasering Entisol, status hara dan produksi pada setiap teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N-Total (Teras Atas vs Teras Tengah). Pada lahan sawah terasering Ultisol, status

hara dan produksi pada setiap teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N - Total (T.Atas vs T.Bawah) dan P - Total (T.Atas vs T.Tengah) (T.Atas vs T.Bawah). Pada lahan sawah terasering Inceptisol, status hara dan

produksi pada setiap teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N-Total (T.Tengah vs T.Bawah). Status hara tertinggi berada pada lahan sawah terasering

(53)

ABSTRACT

This research aims to determine nutrient status, texture, and production of terraced paddy fields at 3 soil ordos (Inceptisol, Ultisol, Entisol) in Samosir Regency. Soil sampling is done by using cluster and stratified sampling, and divided the fields in a three-part i.e. top, middle and bottom. Analysis of nutrient data Nitrogen Kjeldhal method, phosphate HCl 25% method, potassium HCl 25% method, Zn HCl 25% method, organic carbon Walkley & Black method, texture Hydrometer Boyoucous method and production by questionnaire. And test the data by using t test 5%.

The result of research show that at Entisol terraced paddy field, nutrient status and production at every terrace is not definitely different one each other except Nitrogen (Top Terrace vs Middle Terrace). At Ultisol terraced paddy field, nutrient status and production at every terrace is not definitely different one each other except Nitrogen (Top Terrace vs Bottom Terrace) and Phosphate (Top Terrace vs Middle Terrace) (Top Terrace vs Bottom Terrace). At Inceptisol terraced paddy field, nutrient status and production at every terrace is not definitely different one each other except Nitrogen (Middle Terrace vs Bottom Terrace). The highest of Nutrient status is in Ultisol terraced paddy field and the highest of production is in Inceptisol terraced paddy field.

(54)

RIWAYAT HIDUP

Nikson Sitinjak, lahir di Pematang Siantar pada tanggal 24 Agustus 1994, anak ke-2 dari 4 bersaudara dari ayahanda B.Sitinjak dan ibunda B.Simanjuntak.

Adapun pendidikan yang ditempuh penulis adalah :

1. Pendidikan Sekolah Dasar di SD Budi Mulia II Pematang Siantar, lulus tahun 2006

2. Pendidikan SMP di SMP Negeri 3 Pematang Siantar, lulus tahun 2009 3. Pendidikan SMA di SMA Negeri 3 Pematang Siantar, lulus tahun 2012

4. Diterima di Universitas Sumatera Utara, Medan tahun 2012 di Fakultas Pertanian Jurusan Agroekoteknologi melalui jalur SNMPTN tertulis.

Selama masa perkuliahan, penulis juga mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Pt. Asian Agri Kebun Tanjung Selamat, Labuhan Batu pada bulan Juli- Agustus.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di berbagai organisasi intra dan extra kampus. Penulis dipercaya menjadi Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Komunikasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) 2015-2016 dan menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Pertanian (MPMF) 2015-2016.

(55)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Adapun judul dari skripsi ini yaitu “Identifikasi Status Hara Tanah, Tekstur Tanah, dan Produksi Lahan Sawah Terasering Pada 3 Ordo

Tanah”. Yang merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana

di Departemen Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Purba Marpaung S.U dan Ir. Razali, MP selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Anggota Komisi Pembimbing, serta kepada semua pihak yang telah banyak memberikan masukan.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan Skripsi ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih

Medan, Oktober 2016

(56)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Lahan Sawah ... 5

C-Organik ... 8

N ... 10

P ... 12

K ... 13

Tekstur ... 15

Ultisol ... 16

Inceptisol ... 17

Entisol ... 19

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

Bahan dan Alat ... 21

Metode Penelitian ... 21

Pelaksanaan Penelitian ... 22

Pesiapan Awal ... 22

Pengambilan Contoh Tanah ... 22

Pengambilan Data Sekunder ... 22

Analisis Laboratorium... 23

Parameter Pengamatan ... 23

Skema Lahan Terasering ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 24

(57)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 44 Saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA

(58)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering

Inceptisol ... 26 2 . Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering

Entisol ... 29 3. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering

Ultisol ... 32 4. Uji t parameter Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah

terasering Entisol, Inceptisol dan Ultisol ... 35 5. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering

Ultisol, Inceptisol dan Entisol ... 36 6. Uji t parameter Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah

(59)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1. Lampiran 1. Uji t 5% data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan

sawah terasering Entisol ... 48

2 . Lampiran 2. Uji t 5% data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Ultisol ... 54

3. Lampiran 3. Uji t 5% data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan Sawah terasering Inceptisol ... 60

4. Lampiran 4. Uji t 5% data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Entisol, Inceptisol dan Ultisol ... 66

5. Lampiran 5. Peta Jenis Tanah ... 72

6. Lampiran 6. Data Kuisioner Lahan Sawah Terasering Entisol ... 73

7. Lampiran 7. Data Kuisioner Lahan Sawah Terasering Ultisol ... 74

8. Lampiran 8. Data Kuisioner Lahan Sawah Teraseing Inceptisol ... 75

Gambar

Tabel 1. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Inceptisol Parameter
Tabel 2. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Entisol Parameter
Tabel 3. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Ultisol Parameter
Gambar 1. Grafik pengaruh jumlah liat terhadap produksi padi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian lainnya dilakukan Panjares dan Schunk [11] menemukan bahwa mahasiswa dengan tingkat self- efficacy yang tinggi juga menunjukan tingkat pengaturan

Hasil data yang diperoleh dari uji organoleptik dilanjutkan dengan pengujian hipotesis untuk membuktikan apakah terdapat perbedaan antara singkong parut yang

Tutkimuksessamme näemme seksuaalisuuden muodostuvan Greenbergin, Bruessin ja Mullenin (1993) teorian mukaan neljästä eri ulottuvuudesta (ks. Tarkastelimme opettajien valmiuksia

Kantor KPP Madya Batam pada Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau, kami Pokja ULPD Kepulauan Riau telah melaksanakan pembukaan dokumen penawaran untuk paket

[r]

Pendidikan yang tidak sesuai dengan standar internasional tidak lagi cocok pada saat ini, apalagi bagi masyarakat yang sedang menghadapi persaingan bebas.. Pendidikan yang

1) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dikaji sesuai hasil refleksi pada pembelajaran siklus I Pembelajaran akan dilaksanakan dengan pengunaan Metode Demonstrasi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan minat belajar dan hasil belajar pada mata pelajaran Menggambar Teknik Dasar Siswa Kelas X Program Keahlian