HASIL WAWANCARA DENGAN KASUBBID PENMAS HUMAS POLDA SUMATERA UTARA PADA TANGGAL 28 MARET 2016
1. Bagaimana tanggapan dari pihak kepolisian mengenai liputan/berita yang dilakukan
oleh insan pers/wartawan dalam mengupas kasus-kasus kejahatan?
Jawab:
Tindakan insan pers dalam menyiarkan/menyampaikan informasi dalam liputan yang
berkaitan dengan kasus-kasus kejahatan tersebut sudah berimbang dan sejalan
dengan tugas dan fungsi pers yang sesuai dengan dengan peraturan
perundang-undangan.
2. Bagaimana tanggapan dari pihak kepolisian mengenai liputan/berita yang dilakukan
oleh insan pers/wartawan dalam hal indepth reporting/investigasi kasus kejahatan
yang merahasiakan identitas narasumbernya sebagai pelaku kejahatan?
Jawab:
Liputan/berita mengenai liputan investigasi semisal pada tayangan di televisi, pihak
kepolisian menganggap bahwa berita tersebut merupakan hiburan serta bersifat
informatif dan telah memenuhi fungsi pers dalam memberikan hiburan dan informasi
kepada masyarakat. Namun berkaitan dengan penanyangan tindakan insan pers yang
merahasiakan identitas narasumber terutama pelaku kejahatan seharusnya KPI
(Komisi Penyiaran Indonesia) bekerjasama dengan media massa mengenai tayangan
tersebut sebab sumber informasi yang wajib dirahasiakan identitasnnya oleh pers
adalah saksi, pelaku kejahatan anak dan korban kejahatan asusila.
3. Di beberapa media massa, di dalam liputan investigasi insan pers merahasiakan
identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan. Mengenai hal tersebut, apakah
tindakan wartawan itu dapat dikenakan sanksi pidana?
Jawab:
Berkaitan dengan hal tersebut jika tindakan yang dilakukan wartawan itu telah
memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana maka tindakan wartawan tersebut dapat
4. Apakah kepolisian pernah menindaklanjuti kasus-kasus kejahatan yang dibuat oleh
pers dalam liputan investigasi dimana identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan
dirahasiakan/disembunyikan?
Jawab:
Tindakan yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui
liputan investigasi yang dilakukan wartawan tidaklah ditindaklanjuti oleh pihak
kepolisian karena adanya beberapa kendala.
5. Kendala apa yang dihadapi kepolisian dalam menindaklanjuti tindakan pers dalam
merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan?
a. tindakan yang dilakukan oleh wartawan tersebut haruslah terlebih dahulu
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yaitu: adanya subjek hukum, adanya
perbuatan yang melawan hukum, adanya kesahalan dan adanya korban.
b. bahwa suatu investigasi bukanlah merupakan tugas dari seorang wartawan. Pihak
yang berwenang untuk melakukan penyelidikan hanya pejabat polisi Negara
Republik Indonesia.
c. karena polisi mempunyai kesibukannya masing-masing sehingga tidak mungkin
setiap saat dapat mengetahui liputan investigasi yang diberitakan oleh insan pers
tersebut maka penyidik ataupun polisi menerima terlebih dahulu laporan ataupun
pengaduan dari masyarakat yang menjadi korban ataupun yang merasa
diresahkan dari pemberitaan tersebut.
6. Apakah selama ini ada kasus mengenai tindakan insan pers dalam merahasiakan
identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan yang ditangani oleh pihak kepolisian?
Jawab:
Selama ini pun kasus-kasus yang diterima oleh pihak kepolisian adalah sebatas
mengenai kasus-kasus kejahatan yang dilaporkan ataupun diadukan kepada pihak
kepolisian yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik.
7. Bagaimana tanggapan Bapak mengenai hak tolak yang dimiliki oleh insan
pers/wartawan (Pasal 1 angka 10 jo Pasal 4 ayat 4 Undang-Undang Pers)?
Jawab:
Tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku
4 ayat 4 undang-Undang Pers) contohnya menjadi saksi di pengadilan. Dimana
wartawan harus merahasiakan identitas narasumbernya tersebut terutama
menyangkut keselamatan jiwa dan perlindungan narasumber.
Sebab, begitu wartawan/insan pers menjadi saksi di bawah sumpah dalam sidang
pengadilan, saat itu juga insan pers tidak bisa melindungi narasumbernya terutama
pada kasus yang mengancam keselamatan negara dan ketertiban umum, Karena
memberikan kesaksian dalam hal ini adalah kewajiban dari setiap warga negara.
Maka, setiap orang yang berprofesi sebagai wartawan haruslah berani dan siap untuk
mempertanggungjawabkan informasi maupun keterangan yang disampaikan
narasumbernya.
8. Bagaimana upaya kepolisian dalam menanggapi/menindaklanjuti tindakan insan pers
dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan?
Jawab:
Upaya pertama yang dilakukan oleh pihak kepolisian agar dapat menindaklanjuti
tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku
kejahatan adalah memastikan terlebih dahulu terpenuhinya unsur-unsur kejahatan
ataupun tindak pidana yang dilakukan oleh insan pers. Selanjutnya, diperlukan
adanya kerjasama antara pihak kepolisian dengan pers. Dalam beberapa kasus
tertentu pihak pers dapat menjadi informan bagi pihak kepolisian, misalnya kasus
korupsi, terorisme dan lain sebagainya, yang mana apabila informasi mengenai kasus
tersebut dapat mengancam keselamatan jiwa wartawan atau keluarganya maka pihak
kepolisian pun akan memberikan perlindungan kepada dirinya.
Diketahui oleh :
Pewawancara Narasumber
Finna Pastri Siregar MP Nainggolan
NIM: 120200118 ` Kasubbid Penmas Humas Poldasu
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurachman Surjomihardjo, 2002, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
A.T.Sugeng Priyanto, 2008, Pendidikan Kewarganegaraan kelas VII Edisi 4, Jakarta: PT. Gramedia.
Barda Nawawi Arif, 1984, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Semarang: Fakultas Hukum Undip.
B.Simandjuntak, 1984, Kriminologi, Bandung: Tarsito.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Edy Susanto, 2010, Hukum Pers di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Effendy, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ibnu Hamad, 2004, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa, Jakarta: Granit.
Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Leden Marpaung, 1991, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika.
M. Nazir, 2003, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT.Rineka Cipta.
Mohammad Ekaputra, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan: USU Press. Peter Baerhr, Pieter Van Dijk et.al, 1997, Instrumen Internasional Pokok
Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor.
Ryan Sugiarto, 2008, Mengenal Pers Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Samsul Wahidin, 2006, Hukum Pers, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Septiawan Santana K, 2003, Jurnalisme Investigasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Ed.1..
Sugiyono, 2012, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta. Teguh Prasetyo, 2014, Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wikrama Iryans Abidin, 2005, Politik Hukum Pers Indonesia, Jakarta: Grasindo.
Yulies Tena, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kode Etik Jurnalistik Wartawan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Situs Internet
http://www.artikelsiana.com/2015/03/fungsi-pers-peranan-pers-fungsi-pers.html, diakses 12 Maret 2016.
Igne Hutagalung, 2013, Dinamika Sistem Pers Di Indonesia, Program Pascasarjana Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, http://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi/article/download6588/5421
http://finnlandchaniago.blogspot.co.id/2015/03/sumber-berita-bagi-wartawan.html http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12350/eksaminasiputusanpidanaite
mpoi-pertimbangan-hakim-tidak-mendalam-, diakses 12 April 2016 pukul 12.15
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10947/ilexspecialisikahundangunda ng-pers-dari-kuhp, diakses pada Kamis, 12 Maret 2016
http//:library.unisba.ac.id/artikel/artikelseptipr091004.doc, Baperasdasu, 10 Maret 20l6 , pukul 10.30 Wib.
http://reporter.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=86:pel anggaran-pelanggaran-kodeetikjurnalistik&catid=1:etikamedia&Itemid=6, diakses Senin, 05 April 2016
http://wartakota.tribunnews.com/2016/03/18/celaka-bahan-makanandipklmalkota-kasablanka-dipastikan-mengandung-bahan-berbahaya,diakses pada tanggal
BAB III
TINDAKAN PERS DALAM MERAHASIAKAN IDENTITAS NARASUMBER SEBAGAI PELAKU KEJAHATAN
A. Bentuk-Bentuk Tindakan Merahasiakan Identitas Narasumber
Dalam melakukan suatu liputan oleh insan pers untuk memperoleh sebuah informasi ataupun berita diperlukan yang namanya penelusuran narasumber atau investigating individuals atau istilah lain dari people trails, yaitu menyangkut kegiatan pencarian dan wawancara dengan para narasumber.63 Hal ini terkait untuk mendapatkan keterangan dari para narasumber yang berwenang, dan kredibel untuk memperkuat pembuktian dari fakta yang hendak dilaporkan. Bukan hanya mencatat pandangan dari para pakar/ahli, wartawan investigasi juga harus mampu menempuh narasumber yang terkait dengan permasalahan yang hendak diungkap, seperti para mantan pejabat, eksekutif dan pekerja lainnya, bahkan orang-orang luar yang mengetahui jelujuran persoalannya.
Dapat melakukan hal tersebut merupakan langkah penting yang harus dilakukan oleh wartawan/insan pers investigasi. Banyak dari narasumber tersebut yang harus diberi kepercayaan terlebih dahulu sebelum mau untuk diajak wawancara. Meraih kepercayaan ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Untuk itulah seorang wartawan dalam melaksanakan kegiatan jurnalistiknya harus memenuhi 7 prinsip berikut yaitu64 :
1. Kewajiban pertama wartawan adalah pada kebenaran.
Demokrasi tergantung pada warga yang mendapatkan fakta yang akurat dan terpercaya yang diletakkan dalam suatu konteks yang tepat dan
63
Septiawan Santana K, op.cit, hlm. 110 64
memiliki makna. Wartawan bukan mengejar kebenaran dalam pengertian yang absolute atau filosofis, tetapi harus dan bisa mengejar kebenaran dalam pengertian yang praktis, yaitu berusaha menyampaikan makna tersebut dalam sebuah laporan yang adil dan terpercaya, berlaku untuk saat ini dan sedapat mungkin bersikap transparan.
2. Loyalitas pertama wartawan adalah kepada warga masyarakat.
Wartawan harus menyediakan dan menyampaikan berita tanpa rasa takut atau memihak (without fear or favor), maka mereka harus memelihara kesetiaan kepada warga masyarakat dan kepentingan public yang lebih luas di atas yang lainnya.
3. Inti jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi.
Wartawan mengandalkan diri pada displin professional untuk memverifikasi informasi. Mencari berbagai saksi, menyingkap sebanyak mungkin sumber, atau bertanya berbagai pihak untuk komentar, semua mengisyaratkan adanya standar yang professional. 4. Para wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang mereka
liput.
5. Wartawan harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas terhadap kekuasaan.
Prinsip ini menekankan pentingnya peran penjaga (watchdog). Sebagai wartawan, kita wajib melindungi kebebasan peran jaga ini dengan tidak merendahkannya, misalnya dengan menggunakannya secara sembarangan atau mengeksploitasinya untuk keuntungan komersial. 6. Wartawan harus menjaga agar berita itu proporsional dan komprehensif. Wartawan harus menjaga berita agar tetap proporsional dan tidak
menghilangkan hal-hal yang penting yang juga adalah dasar dari kebenaran.
7. Wartawan memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya.
Setiap wartawan harus memiliki etik dan tanggung jawab serta rasa keadilan.
Dunia jurnalisme adalah dunia informatif. Kebertanggungjawaban jurnalistik adalah pada tingkat keakurasian fakta. Fakta-fakta yang terkompilasi, secara jurnalisme, merupakan hasil observasi. Tingkat observasinya, baik lewat wawancara dan penelusuran paper trail, merupakan upaya yang tidak segrigid dunia akademisi. Metode riset dari pekerjaan peliputan jurnalisme berbeda dengan dunia akademisi. Maka itulah, narasumber menjadi buruan media dalam mengangkat sebuah peristiwa. Narasumber menjadi salah satu sandaran faktual media dalam menguatkan pemberitaannya.
dimilikinya, pemberitaan tergantung. Hal ini merupakan permasalahan yang cukup pelik. Persyaratan jurnalisme ialah fakta-fakta yang siap diverifikasi, terbuka untuk ditelusuri datanya, mudah dikenali berbagai narasumber yang memberikan informasinya, dan berbagai pertanggungjawaban berita lainnya.
Jika ada kejadian narasumber yang tidak mau dilaporkan keberadaan jati dirinya, atau disebut sumber anonim, hal ini akan mengurangi kredibilitas media. Pada momen tertentu malah mengakibatkan persoalan hukum. Penuntutan terhadap kevalidan laporan yang telah mencemarkan nama-nama atau pihak-pihak tertentu.
Maka itulah, jurnalisme mencantumkan beberapa persyaratan bila sebuah media hendak mengangkat pelaporan berita dengan sumber-sumber anonim.
Pencantuman keterangan “menurut sumber yang layak dipercaya” dihadirkan, di
laporan berita, setelah media atau wartawannya menghitung beberapa kriteria pencantuman sumber anonim.
Pada praktiknya merahasiakan identitas narasumber lazim terjadi. Wartawan melakukan hal tersebut biasanya atas permintaan narasumber yang mungkin merasa tidak nyaman atau takut bila identitasnya diketahui. Misalnya, jika jati diri tersebut terbuka, dapat berdampak pada keselamatan narasumber. Untuk kasus korban perkosaan, wartawan biasanya merahasiakan identitas korban atas pertimbangan moral (menutupi aib). Apalagi bila korban masih di bawah umur.65
65
Andreas Harsono mengutip Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (dalam buku Warp Speed, 1999)66 mengenai sumber anonim. Kovach dan Rosenstiel membahas pemakaian sumber anonim pada kasus Monica Lewinsky dengan Presiden AS, Bill Clinton. Pertama, sumber anonim ialah orang yang berada pada
lingkaran pertama “peristiwa berita”. Ia adalah orang yang menjadi saksi atau
terkait langsung pada peristiwa tersebut. Kedua, keselamatan narasumber terancam bila identitasnya diketahui, baik nyawanya atau orang-orang terdekatnya, atau bisa juga perkerjaannya. Ketiga, motivasi narasumber benar-benar untuk kepentingan publik. Keempat, integritas narasumber benar-benar-benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Kelima, pencantuman narasumber anonim ini diketahui dan atas ijin redaktur atau atasan si wartawan. Keenam, keterangan anonim ini minimal didapat dari dua narasumber, atau sumbernya minimal dua orang. Ketujuh, membuat kesepakatan pembatalan keanoniman jika kemudian terbukti narasumber sengaja berbohong atau menyesatkan publik.67
Mengenai tindakan merahasiakan identitas narasumber yang dilakukan oleh wartawan terdapat dengan jelas dalam Pasal 14 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia menyatakan bahwa :
“Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini. Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada
wartawan yng bersangkutan”
Tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber tersebut
66http//:library.unisba.ac.id/artikel/artikel_septi_pr_091004.doc, Baperasdasu, 10 Maret 20l6 , pukul 10.30 Wib.
juga dilakukan dalam bentuk “off the records” ataupun dengan menyamarkan
identitas narasumber dengan menggunakan inisial nama narasumber ataupun dengan nama yang lain.68
B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Tindakan Perahasiaan Identitas Narasumber Sebagai Pelaku Kejahatan Oleh Insan Pers Di Indonesia Komponen yang paling utama dari tugas wartawan adalah mencari dan memberikan informasi ataupun berita kepada seluruh masyarakat. Bagi seorang wartawan sumber berita dapat ditemukan dimana saja, tergantung kepada topik yang akan dijadikan berita dimana suatu peristiwa tertentu terjadi. Wartawan
tersebut harus mendapatkan sumber-sumber yang kredibel sehingga hasil berita
yang sesuai dengan fakta dilapangan. Karena sumber berita tersebut sangat
berpengaruh terhadap hasil tulinsan yang dimuat karena akan dibaca oleh
khalayak luas dan sebagai seorang wartawan atau insan pers harus
bertanggungjawab dengan hasil tulinsannya.
Misalnya untuk mendapatkan berita kekerasan yang dialami perempuan di
Papua, seorang wartawan harus mencari sumber berita melalui tokoh-tokoh
masyarakat Papua, mewawancarai masyarakat setempat yang dapat dipercaya,
orang atau sumber yang berkaitan yang berkaitan langsung dengan peristiwa
tersebut, ataupun mencari keterangan dari pihak kepolisian yang menangani kasus
tersebut.
68
Dalam pembahasan sebelumnya, dikatakan bahwa pers mempunyai hak
untuk tidak mengungkapkan identitas narasumbernya yang diatur dalam Pasal 4
ayat 4 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yakni yang disebut dengan hak tolak.
Hak ini dipakai karena pada satu sisi insan pers membutuhkan informasi dari
narasumber yang ada, tetapi pada sisi lain keselamatan narasumber (dan juga
mungkin keluarganya) dapat terancam jika informasi itu disiarkan ataupun
dipublikasikan.
Untuk menghadapi keadaan seperti itulah maka kemudian ada hak tolak.
Sehingga pers dapat meminta informasi dari narasumber, tetapi narasumber dapat
pula meminta kepada wartawan agar identitasnya tidak disebutkan. Kalau ada
yang menanyakan sumber informasi ini, pers berhak menolak menyebutkannya.
Inilah yang dimaksud dengan hak tolak tersebut.
Oleh karena itu, menjaga kerahasiaan identitas narasumber bagi wartawan
merupakan suatu hal yang sakral. Ada kalanya narasumber tidak ingin
pernyataannya tersebut dikutip atau dipublikasikan (off the record) maka
kewajiban wartawan untuk mematuhinya. Namun, mempublikasikan pernyataan dari narasumber yang identitasnya tidak ingin dipublikasikan membuat insan pers harus memikul risiko tambahan. Insan pers tersebut harus mengambil alih tanggung jawab narasumber anomin (yang identitasnya tidak disebutkan) tersebut jika dikemudian hari menimbulkan masalah hukum.
wartawan dengan narasumber. Hal ini penting untuk menjaga kredibiltas seorang wartawan.69 Pada liputan investigasi, diperlukan keterangan narasumber yang kredibel agar sesuai dengan fakta di lapangan. Untuk mengetahui keterangan
ataupun “seluk beluk” dari suatu peristiwa tersebut maka wartawan memenuhi
keinginan narasumber sebagai pelaku kejahatan untuk merahasiakan identitasnya dengan kesepakatan bersama.
Selain itu faktor yang menyebabkan tindakan perahasiaan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan yang dilakukan oleh insan pers di Indonesia adalah untuk mengantisipasi teror yang mungkin dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang terkait dengan pemberitaan ataupun informasi yang
disampaikan oleh narasumber yang dapat mengancam keselamatan nyawa
narasumber itu sendiri, keluarganya atau orang-orang terdekatnya bahkan pekerjaannya bila identitasnya diketahui dari informasi ataupun keterangannya yang dipublikasikan tersebut.70 Maka pers wajib untuk terus melindungi identitas narasumbernya. Dalam keadaan ini seluruh tanggung jawab terhadap isi informasi
beralih kepada pers. Pers yang membocorkan identitas narasumber di depan
hukum yang dilindungi hak tolak melanggar hukum dan kode etik sekaligus.
Tetapi, dalam praktik, karena takut akan ancaman atau tidak mengerti makna
kerahasiaan di balik hak tolak tersebut, masih ada terbitan yang membocorkan
69
http://finnlandchaniago.blogspot.co.id/2015/03/sumber-berita-bagi-wartawan.html, diakses pada 05 April 2016
identitas narasumber yang seharusnya dirahasiakan, baik yang dilakukan secara
terbuka maupun secara diam-diam.71
C. Pelaksanaan Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas Narasumber Sebagai Pelaku Kejahatan
Pelaksanaan pnerapan dalam merahasiakan identitas narasumber yang dilakukan oleh insan pers di Indonesia, merupakan suatu pemberian kewenangan, yakni merupakan kewenangan istimewa yang tidak bisa diganggu gugat. Yang dalam penerapannya telah diberikan suatu kepastian hukum. Kepastian hukum yang di berikan tentunya telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan penerapan tindakan merahasiakan identitas narasumber tersebut juga merupakan salah satu kode etik pers yang dalam hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pers, menyatakan bahwa pers harus menetapkan dan mengawasi kode etik, sehingga pers terikat dengan kode etiknya sendiri yang dapat menerapkan tindakan tersebut sebagai pers. Kode etik pers dibentuk dengan tujuan sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas, profesionalisme dari pers itu sendiri.
Sehubungan dengan pelaksanaan penerapan tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pekaku kejahatan yang di dalam KUHP sendiri dapat dikategorikan sebagai tindakan penyertaan (deelneming) yang diatur dalam pasal 52 sampai dengan pasal 62 KUHP yang menjelaskan
71
siapa-siapa saja yang oleh karena posisinya dapat terlibat dalam suatu perbuatan, pada saat apakah seseorang dikategorikan sebagai orang yang terlibat, dan siapa yang bertindak sebagai pembujuk atau yang terbujuk dalam suatu tindak pidana penyertaan.
Dalam pelaksanaan penerapan tindakan pers yang merahasiakan identitas narasumber tidak ditemukan apa yang kita sebut dengan kepastian hukum. Dapat dilihat keberadaan dari penerapan tindakan tersebut, jika diperhatikan tidaklah mungkin seseorang yang terlibat dalam suatu kejahatan yang posisinya dikategorikan sebagai pelaku kejahatan (kriminalis) dengan leluasa mengungkapkan kejahatan yang telah dilakukannya dihadapan publik lewat media tanpa ada jaminan dari pihak pers akan keselamatan dirinya. Dilihat dari sisi yang lain, undang-undang menjamin bahwa adanya hak tolak dalam UU Pers bisa dimentahkan dengan keputusan pengadilan apabila mengenai kepentingan nasional dan ketertiban umum.72
Hal ini searah dengan Pasal 221 ayat (1) KUHP, yang pada pokoknya mengatur bahwa barang siapa yang dengan sengaja menyembunyikan pelaku kejahatan atau orang yang dituntut kerena kejahatan, atau memberikan pertolongan kepada pelaku kejahatan untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang dapat dikenakan sanksi pidana.
Terlihat jelas bahwa kedudukan insan pers yang menggunakan hak tolaknya sangat telah memenuhi unsur-unsur yang dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP, inilah yang merupakan salah satu konsep pidana yang bertolak belakang
72
dengan penerapan tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan.
Kembali lagi jika dilihat dalam hal deelneming maka posisi dari pada narasumber sebagai pelaku utama, sedangkan insan pers yang menerapkan hak tolak posisinya sebagai orang yang turut serta membantu, bisa juga disebut sebagai orang yang terbujuk yang dikarenakan dengan adanya suatu perjanjian sebelum melakukan kegiatan jurnalistik.73
Fokus yang utama dalam Undang Pers adalah bahwa Undang-Undang Pers sebagai lex specialis derogate lex generalis. Namun menurut Bagir Manan bahwa Undang-Undang Pers tidak memenuhi syarat sebagai lex specialis karena tidak jelas memiliki induk pada undang-undang umum atau aturan yang mana, begitu pula tidak jelas mengacu pada hukum acara yang mana. Untuk itu jelaslah bahwa Undang-Undang Pers berlaku secara umum bukan mengatur secara khusus.74
Maka dari itu penerapan tindakan pers dalam merahasiakan identitas narasumber tidak terlepas dari terpenuhnya unsur-unsur dalam hukum pidana materil, yang menyatakan penerapan tindakan tersebut yang dilakukan oleh insan pers salah satunya dapat digolongkan sebagai orang yang melakukan deelneming atau orang yang turut membantu menyembunyikan identitas atau keberadaan orang yang oleh karena perbuatannya melanggar hak-hak orang lain atau menjadi orang yang dibutuhkan oleh negara untuk membuat jelas atau terang suatu peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan kepentingan negara atau
73
Pasal 14 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia 74
kepentingan umum.
Oleh karena itu dari sisi penjelasan deelneming, jelas dapat terlihat posisi dari pada narasumber maka poisinya berada dalam kategori uitlokker atau orang yang karena suatu keadaan dimanfaatkannya seseorang dengan berbagai alasan yang berupa usaha membujuk ataupun dengan tipu muslihatnya untuk bisa terlepas dari tanggungjawaban pidana oleh karena perbuatan yang dikehendakinya telah dilakukan oleh orang yang dimanfaakannya.
Dilihat dari sisi pers sebagai orang yang merahasiakan identitas dari narasumber dapat dilihat bahwa posisi pers tersebut berada dalam posisi orang yang turut serta dalam menyembunyikan pelaku kejahatan. Menurut Pompe bahwa kejahatan adalah suatu pelanggaran norma atau gangguan tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak disengaja yang telah dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok pelaku adalah perlu dipidana demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.75
Jelas bahwa penerapan tindakan tersebut dinilai tidak bisa menjamin terpeliharanya tertib hukum ataupun terjaminnya kepentingan umum. Di samping itu juga dalam Pasal 50 KUHP menyebutkan adanya pengecualian-pengecualian bahwa barang siapa yang menjalankan perintah undang-undang (termasuk insan pers yang menggunakan hak tolaknya sebagai perintah dari Undang-Undang Pers sendiri) tidak dapat dihukum.
Sehingga dalam usaha penyidik melakukan tugasnya sesuai dengan penjelasan-penjelasan di atas tentunya banyak menemukan kesulitan-kesulitan
75
yang sangat membingungkan dalam menjalankan tugasnya (ketidakjelasan hukum). Seperti yang pernah terjadi dalam kasus pengibaran Bintang Kejora di Jayapura Provinsi Papua, di mana ada seorang wartawan yang dipanggil oleh pihak penyidik sebagai saksi untuk memberikan keterangan tentang identitas orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora. Namun wartawan itu membuat surat yang berisikan hak tolak sebagai tanggung jawab profesi yang didasarkan pada Pasal 4 ayat 4 Undang- Undang Nomor 40 Tentang Pers, di samping itu juga penyidik tidak bisa memanggil wartawan tersebut secara individu, karena profesi wartawan atau instansi melekat pada individu tersebut.76 Sebab selain diatur dalam Undang-Undang Pers tersebut mengenai hak tolak yang berhak untuk merahasiakan identitas narasumbernya, dasar hukum tersebut juga terdapat dalam Pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa :
“mereka yang menjalan perintah Undang-Undang tidak dapat di hukum.”
Sehingga dalam menjalankan tugasnya insan pers menjalankan amanat Undang-Undang Pers, sehingga berkonsekuensi tidak dapat dihukum ketika menggunakan hak tolaknya.
Pelaksanaan penerapan tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan dalam kondisi tertentu dapat menimbulkan tindakan pembiaran hukum yakni tidak mengkhawatirkan atau tidak turut dalam rangka pencegahan terjadinya tindak pidana yang membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, oleh karena setiap hak warga negara dijamin (Pasal 28 UUD
76
1945 NRI) oleh negara, sepatutnya pembiaran hukum merupakan tindakan yang melanggar hak- hak warga negara yang serius sebagai urusan utama (kepentingan umum) dari pada pelaksanaan penerapan tindakan tersebut.
Berpatokan pada hukum pidana yang dimaksudkan sebagai pelindung bagi warga negara, tentunya tidak searah dengan pelaksanaan penerapan tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber di mana narasumber sendiri merupakan pelaku kejahatan atau pelaku dari pada perbuatan yang telah diungkapkan lewat rekaman, video dan lain- lain dalam suatu wawancara, investigasi, atau kegiatan jurnalistik lainnya.
BAB IV
PERANAN KEPOLISIAN TERHADAP INSAN PERS DALAM MENINDAKLANJUTI TINDAKAN PERAHASIAAN IDENTITAS
NARASUMBER SEBAGAI PELAKU KEJAHATAN
A. Hambatan Kepolisian Terhadap Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas Pelaku Kejahatan
Setelah mengetahui bahwa adanya celah hukum yang terdapat di dalam UU Pers untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan KUHP sebagai lex generalis, yang selanjutnya menjadi perhatian adalah mengenai peranan pihak kepolisian dalam menindaklanjuti tindakan insan pers tersebut dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan. Sebelumnya, mengenai peranan kepolisian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa:
“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”
Adanya ketentuan di dalam UU Pers mengenai tindakan tersebut memunculkan pemahaman yang cukup luas sehingga menimbulkan kekeliruan baik bagi masyarakat, wartawan ataupun bagi pihak kepolisian.
dalam UU Pers.77 Berkaitan dengan tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan beliau juga mengatakan jika tindakan yang dilakukan wartawan sebagai insan pers tersebut sekalipun telah memenuhi unsur tindak pidana dalam merahasiakan identitas pelaku kejahatan maka tindakan wartawan tersebut dapat dijadikan sebagai subjek dalam pekara pidana.
Menurut beliau, mengenai tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui liputan investigasi yang dilakukan wartawan tidaklah ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian karena adanya beberapa kendala.
Pertama, bahwa tindakan yang dilakukan oleh wartawan tersebut haruslah terlebih dahulu memenuhi unsur-unsur tindak pidana yaitu: adanya subjek hukum, adanya perbuatan yang melawan hukum, adanya kesahalan dan adanya korban.
Kedua, suatu hal yang sangat disayangkan bahwa suatu investigasi bukanlah merupakan tugas dari seorang wartawan. Mengenai hal investigasi, pihak yang berwenang untuk melakukan penyelidikan hanya pejabat polisi Negara Republik Indonesia (POLRI), tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi dan pejabat lain sebagai- mana tercantum dalam Pasal 4 KUHAP yaitu :
“Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia”.
Tidak terdapat Pasal-pasal dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang menyatakan bahwa insan pers berfungsi atau bertugas untuk melakukan investigasi atau penyelidikan, tetapi dalam prakteknya dijumpai di berbagai media massa bahwa insan pers melakukan penyelidikan terhadap suatu kejahatan,
77
bahkan berhasil mengumpulkan bukti-bukti kejahatan itu serta menemukan pelaku atau tersangka dari kejahatan itu (narasumber).
Ketiga, dalam hal wartawan/insan pers tidak berwenang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya lewat pemberitaan kejahatan yang diberitakan melalui media, akan tetapi penyidik ataupun polisi mempunyai kesibukannya masing-masing sehingga tidak mungkin setiap saat dapat mengetahui liputan investigasi yang diberitakan oleh insan pers tersebut. Oleh karena itu, penyidik ataupun polisi menerima terlebih dahulu laporan ataupun pengaduan dari masyarakat yang menjadi korban ataupun yang merasa diresahkan dari pemberitaan yang diinformasikan dari insan pers.
Berdasarkan ketentuan Pasal 106 KUHAP menyatakan bahwa :
“Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.”
dilaporkan ataupun diadukan kepada pihak kepolisian yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik.
Menurut pendapat penulis yang didukung dengan penelaahan mengenai putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pers, bahwa tidak adanya penindaklanjutan dari pihak kepolisian terhadap tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan dikarenakan kemungkinan adanya potensi bahwa penyidik belum mengetahui substansi dari UU Pers dan mekanisme penyelesaian sengketa pers, semisal mengenai seorang wartawan atau insan pers yang melanggar suatu ketentuan yang sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana apakah dikenakan sanksi melalui KUHP atau UU Pers.
Kasubbid Penmas Humas Polda Sumut, AKBP MP Nainggolan, juga mengakui bahwa hak tolak yang dimiliki oleh insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber baik itu nama maupun identitas lainnya yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU Pers memunculkan pemahaman yang cukup luas sehingga menimbulkan banyak perdebatan. Diantaranya, Pasal 4 ayat 4 UU Pers yang menyatakan :
“Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.”
Beliau juga menjelaskan, begitu wartawan/insan pers menjadi saksi di bawah sumpah dalam sidang pengadilan, saat itu juga insan pers tidak bisa melindungi narasumbernya dengan ancaman memberikan keterangan palsu terutama pada kasus yang mengancam keselamatan negara dan ketertiban umum, yang nantinya akan dijerat dengan Pasal 242 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:
“Barangsiapa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan linsan atau tulinsan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Sehingga insan pers wajib menyebutkan identitas narasumbernya. Hal ini juga sejalan dengan asas equality before the law (persamaan di depan hukum) yang merupakan asas hukum yang bersifat umum dan prinsipiil. Artinya, hukum tidak membedakan status ataupun kedudukan seseorang. Dikaitkan dengan kesaksiaan, memberikan kesaksian dalam hal ini adalah kewajiban dari setiap warga negara. Maka, setiap orang yang berprofesi sebagai wartawan haruslah bersikap berani dan siap mempertanggungjawabkan informasi maupun keterangan yang disampaikan narasumbernya.
B. Upaya Kepolisian Terhadap Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas Pelaku Kejahatan
tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber terletak pada; pertama, pemenuhan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan, yang kedua mengenai tindakan investigasi yang dilakukan oleh insan pers dan ketiga, tidak adanya pelaporan ataupun pengaduan dari korban atau dari masyarakat yang merasa diresahkan.
Menurut Kasubbid Penmas Humas Polda Sumut, AKBP MP Nainggolan, upaya pertama yang dilakukan oleh pihak kepolisian agar dapat menindaklanjuti tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan adalah memastikan terlebih dahulu terpenuhinya unsur-unsur kejahatan ataupun tindak pidana yang dilakukan oleh insan pers dan juga diperlukannya kerjasama antara pihak kepolisian dengan pers.78 Dalam hal ini berarti pihak kepolisian menjadi partner (mitra) pers. Kerjasama juga bergantung kepada kemauan pers. Pihak kepolisian juga tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan dan partisipasi dari masyarakat dalam memberantas kejahatan. Dalam beberapa kasus tertentu pihak pers dapat menjadi informan bagi pihak kepolisian, misalnya kasus korupsi, terorisme dan lain sebagainya, yang mana apabila informasi mengenai kasus tersebut dapat mengancam keselamatan jiwa wartawan atau keluarganya maka pihak kepolisian pun akan memberikan perlindungan kepada dirinya.
Dilihat dari tugas dan wewenang pihak kepolisian yang diatur dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa :
78
“Tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan,
pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat.”
Berdasarkan ketentuan tersebut dalam menghadapi kendala yang berikutnya mengenai tidak adanya laporan ataupun pengaduan dari masyarakat terhadap pemberitaan insan pers dalam liputan investigasinya, maka menurut penulis seharusnya pihak kepolisian tidak menunggu adanya laporan ataupun pengaduan dari orang yang merasa dirugikan atau masyarakat yang merasa diresahkan karena dalam pemberitaan investigasi yang dilakukan oleh insan pers telah terang terjadi suatu tindak pidana yang merugikan ataupun meresahkan masyarakat.
Kemudian terkait dengan ketentuan hukum dalam UU Pers yang penjelasannya kurang lengkap dan kurang jelas, dalam arti tidak secara rinci dan tegas menyebut ketentuan dan syarat-syarat yang tergolong melanggar suatu pasal. Oleh karena itu, masing-masing pihak dapat menginterprestasikan muatan pasal ini secara bebas. Dan akibat dari kekurangtegasan pasal tersebut, tidak salah pula kalau sebagian masyarakat ataupun penyidik lebih memilih menggunakan pasal-pasal KUHP untuk menjerat pers.
1) Hak Jawab
Hak jawab telah dijelaskan dalam Pasal 5 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers yaitu : “Pers wajib melayani Hak Jawab”. Dan terkait pengertian dari
hak jawab telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 11 yakni :
“Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya.”
Dari pemaparan di atas telah jelas bahwasannya hak jawab itu merupakan hak memberikan kesempatan kepada setiap warga masyarakat yang menjadi narasumber atau objek pemberitaan untuk mengemukakan versinya yang berbeda atau bertentangan dengan isi berita yang sudah di publikasikan atau di siarkan. Upaya ini merupakan jalur tempuh paling praktis dan cepat, yang dapat ditempuh warga masyarakat dan terjadi ketidakpuasan terhadap suatu pemberitaan yang berkaitan dengan hak jawab.79
Sedangkan dalam Kode Etik Jurnalistik juga menegaskan terkait pelayanan terhadap hak jawab yakni pada Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik menyatakan :
“Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional”.
Melayani hak jawab merupakan wujud tanggung jawab dan suatu kewajiban bagi wartawan atau praktisi pers itu sendiri. Sebagai kewajiban, wartawan atau praktisi pers terkait wajib segera mencabut atau meralat kekeliruan atas suatu pemberitaan yang dimuatnya dalam bentuk hak jawab. Oleh karena
79
kesalahan terletak pada praktisi pers maka selain memuat hak jawab yang harus diperhatikan dan dilakukan adalah memuatnya pada halaman yang sama, bersamaan dengan itu, praktisi atau penerbit yang bersangkutan harus meminta maaf atas kekeliruan atau kesalahan tersebut.80
2) Hak Koreksi
Hak Koreksi telah dijelaskan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
dalam Pasal 5 ayat 3 yang berbunyi : “Pers wajib melayani Hak Koreksi”.
Dan terkait pengertian hak koreksi telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12, yakni :
“Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau
membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik
tentang dirinya maupun tentang orang lain.”
Sedangkan kewajiban hak koreksi juga dijelaskan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 1 ayat 13 yakni :
“Keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers
yang bersangkutan”.
Sedangkan dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik juga menjelaskan:
“Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar dan atau pemirsa.”
Terkait hal tersebut, maka wartawan berhak segera mengambil suatu tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik sebelum ada maupun tidak adanya teguran dari luar untuk memperbaiki, mencabut, dan meralat pemberitaan dan penyiaran yang keliru dan tidak akurat dengan disertai
80
permintaan maaf. Ralat ditempatkan pada halaman yang sama dengan informasi yang salah atau tidak akurat. Dalam hal pemberitaan yang merugikan seseorang atau kelompok, pihak yang dirugikan harus memberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik suatu kesimpulan :
1. Pengaturan tentang tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui liputan investigasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999 Tentang Pers namun belum dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi insan pers sendiri serta bagi masyarakat di sekitar insan pers. UU Pers sebagai peraturan yang bersifat lex specialis tersebut menimbulkan celah hukum yang dapat digunakan untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan KUHP sebagai lex generalis. Hal ini dapat dilihat dalam praktiknya di persidangan, dimana pertimbangan yang diambil terhadap suatu putusan sebagian besar didasarkan pada KUHP bukan pada UU Pers, diantaranya seperti perkara tindak pidana pencemaran nama baik Tommy Winata oleh Bambang Harymurti cs (Tempo) tanggal 16 September 2004 (Putusan Perkara No. 1426/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst). 2. Pelaksanaan tindakan yang dilakukan oleh insan pers dalam merahasiakan
dari pelaksanaannya, dari sisi pers sebagai orang yang merahasiakan identitas dari narasumber dapat dilihat bahwa posisi pers tersebut berada dalam posisi orang yang turut serta dalam menyembunyikan pelaku kejahatan. Dan faktor yang menyebabkan insan pers merahasiakan identitas narasumbernya yaitu untuk menjaga hubungan baik antara wartawan dengan narasumber terhadap liputan yang memerlukan keterangan kredibel yang sesuai dengan fakta di lapangan, selain itu untuk mengantisipasi teror yang dapat mengancam keselamatan narasumber dan orang-orang terdekatnya.
B. Saran
Setelah pembahasan di atas maka Penulis memberikan saran-saran yang diharapkan dapat berguna untuk insan pers, pemerintah dan masyarakat, yaitu :
1. Undang-Undang Pers sebagai lex specialis harus memberikan suatu pengaturan yang lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan suatu kesalahpahaman ataupun pertentangan yang mengakibatkan celah hukum bagi pihak pers, pemerintah, maupun masyarakat.
BAB II
KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN INSAN PERS DALAM MERAHASIAKAN IDENTITAS NARASUMBER SEBAGAI PELAKU
KEJAHATAN
A. Perkembangan Pers Di Indonesia 1. Sejarah Pers
Disamping Indonesia sebagai negara hukum juga merupakan negara dengan sistem pemerintahan demokrasi yang berkeadilan sosial dan berperikemanusiaan. Kehidupan pers sebagai manifestasi kebebasan untuk memperoleh informasi bagi warga negara memperoleh tempat yang layak dalam sistem kemasyarakatan. Perkembangan pers di Indonesia pada umumnya tidak terlepas dari kerangka politik di tanah air.37 Maka perkembangan pers di Indonesia dapat dilihat dari masa perjuangan hingga era reformasi saat ini.
1. 1 Masa Perjuangan
Pers di Indonesia mulai berkembang jauh dari sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pada masa penjajahan Belanda pertengahan abad ke 18, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Pers nasional pada waktu itu jelas membedakan dirinya dengan pers Belanda, dimana pers penjajah yang dipergunakan oleh Belanda saat itu adalah sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.38 Sedangkan cikal bakal pers nasional yaitu sebagai satu media informasi dan komunikasi yang menjadi satu kesatuan dengan pergerakan nasional. Pers dipergunakan oleh pendiri bangsa sebagai alat
37
Samsul Wahidin, op.cit, hlm. 88 38
perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (Agustus 1744 -Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata telah dapat menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa.39
Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan masyarakat yang mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-badan kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo pada bulan Mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk menumbuhkan kesadaran nasional dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia.
Pada gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya,
39
Abdurachman Surjomihardjo, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Di
serta organisasi Persatoean Djoernalis Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari perjuangan nasional secara keseluruhan.40
1. 2 Masa Kemerdekaan
Hal ini terus berlangsung sampai dengan diproklamasikannya kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 yang menandai revolusi di berbagai sisi kehidupan masyarakat Indonesia. Termasuk dalam hal ini tentunya revolusi dalam bidang pers dalam arti pers menemukan kebebasannya setelah sekian lama dibelenggu dan dibatasi oleh pemerintah Belanda.
Sampai dengan kemerdekaan Indonesia, ada 4 (empat) hal yang digarisbawahi sebagai fenomena umum kehidupan pers pada masa itu. Disadari bahwa semua institusi sosial memang mempunyai masa tersendiri pada jamannya. Yakni yang dapat dipelajari dari perkembangan tersebut adalah :
a. Dari awal masa penjajahan Hindia Belanda Nampak bahwa peran pemerintah jajahan begitu dominan dalam bidang pers
b. Pers dijadikan sebagai alat untuk kepentingan penguasa dengan tidak memberikan keleluasaan bergerak baik karena keterbatasan fasilitas maupun keterbatasan kemampuan pengelola. Pers cenderung berhadapan dengan penguasa.
c. Tingkat intelektualitas masyarakat berpengaruh besar terhadap hidup dan berkembangnya penerbitan sehingga pada akhirnya hanya penerbitan yang sejalan dengan pemerintah saja yang memungkinkan
40
bisa hidup.
d. Pergesekan kepentingan yang tampat pada saat itu adalah antara kepentingan penguasa dan pengelola pers dan belum muncul ke permukaan adanya konflik akibat sajian pers yang merugikan masyarakat. Paling tidak hal ini menjadi indicator bahwa pada masa itu pers berpihak kepada masyarakat dan antikolaborasi kepada penjajah dan memilih untuk mengambil jalan berseberangan dengan penguasa.41 1. 3 Masa Orde Baru
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atas rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI. Kehancuran G30S/ PKI merupakan awal “pembenahan” kehidupan
nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 1966. Pengembangan pers nasional lebih lanjut diwujudkan dengan men-gundangkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 sebagai penyempurnaan Undang-Undang No. 11 tahun 1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.42
Pada era Soeharto, pers dinyatakan sebagai salah satu media pendukung
41
Samsul Wahidin, op.cit, hlm. 92-93 42
keberhasilan pembangunan. Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Dari kenyataan ini terlihat bahwa pers Indonesia tidak mempunyai kebebasan karena pers harus mendukung program pemerintah Orde Baru . Pers sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang dapat ditafsirkan bertentangan dengan program pemerintah Orde baru. Tanggung jawab pers bukan pada masyarakat melainkan pada penguasa Orde Baru.
Tidak adanya kebebasan berpendapat dan kebebesan pers membuat media di Indonesia pada rezim Orde Baru tidak pernah berhasil mengangkat dirinya sebagai pilar keempat demokrasi. Satu hal lainnya adalah struktur organisasi media itu sendiri sebagai corong bagi kepentingan pemilik modal dan kelompok usahanya mau tidak mau membuat media harus tunduk kepada aturan main di dalam perusahaan yang kerap mencerminkan ketergantungan antara pemiliknya dan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru menganggap pers yang bebas akan dapat mengganggu stabilitas negara, keamanan dan kepentingan umum, sehingga laju kebebasannya harus dikontrol dengan ketat. Maka lahirlah perlakuan represif negara terhadap pers sepanjang sejarah Orde Baru.
1. 4 Era Reformasi
1999, secara normatif, pers filosofi adalah kebebasan pers yang professional (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum) sebagaimana yang disebut dalam konsideran. Filosofi yang demikian menggantikan sebelumnya yaitu pers yang bebas dan bertanggungjawab.43
Berbeda dengan Undang No. 11 Tahun 1966 juncto Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, sedangkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu antara lain terletak pada Pasal 15 dan Pasal 17 Undang-Undang No.40 Tahun 1999.44
Kebebasan pers yang professional memahami kebebasan pers sebagai satu konsekuensi logis dari Hak Asasi Manusia yang tidak boleh dibatasi. Sementara pers yang bebas dan bertanggungjawab memandang kebebasan sebagai sesuatu yang harus diatur (dibatasi) dengan asumsi untuk kesatuan dan persatuan bangsa. Pada dalam hal Hak Asasi Manusia siapa pun termasuk negara tidak mempunyai kewenangan untuk membatasinya.45
Jika dihubungkan dengan teori media normatif maka keadaan pers Indonesia dimasa era reformasi saat ini adalah gambaran dari a liberal-pluralis or marked model, dimana isu-isu yang diliput oleh pers semakin beragam.46 Banyak bermunculan penerbitan baru baik dalam bentuk tabloid, majalah, surat kabar. Dari politik, ekonomi sampai yang berbau pornografi. Kualitas penerbitannyapun
43
Samsul Wahidin, op.cit, hlm. 98 44
Ibnu Hamad, op.cit hlm. 66 45
Samsul Wahidin, op.cit, hlm. 98-99 46
Inge Hutagalung dalam JURNAL INTERAKSI, Vol II No.2, Dinamika Sistem Pers Di
Indonesia, diakses: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi/article/download6588/5421
beragam.
Peningkatan kuantitas media belum disertai dengan perbaikan kualitas jurnalismenya. Banyak media yang hanya menjual gosip alias desas desus dengan warna pemberitaan yang kental keberpihakan atau penyudutan kepada suatu golongan/partai tertentu maupun individu. Pemberitaan sering dilakukan tanpa didukung fakta yang kuat, selain hanya potongan-potongan komentar yang tidak seimbang dari hasil wawancara yang kurang mendalam.
Tampaknya media di Indonesia masih terbius dengan eforia kebebasannya, dan lebih memilih kepentingan komersial yang cenderung mengutamakan keuntungan, dimana aspek kriminalitas, gosip, dan seks lebih mengandung nilai pasar dibandingkan menjalankan tanggung jawab sosial dalam penyampaian informasi dan pencerahan publik sebagai konsekuensi hubungan media dengan masyarakat.47
Yin Jiafei pun mengulas dalam artikelnya Beyond The Four Theories Of The Press: A New Model For The Asian & The World Press (2008), bahwa sistem pers di Indonesia pada era reformasi termasuk sistem pers bebas dan tidak bertanggungjawab, yaitu bahwa sistem pers di Indonesia benar-benar telah begitu bebas, sehingga gagal untuk mengedepankan prinsip-prinsip dasar jurnalistik, dan tidak punya peran positif dalam masyarakat. Banyak media yang melanggar prinsip-prinsip dasar jurnalistik, yaitu dalam menyampaikan kebenaran.48
Sistem pers di dikte oleh kekuatan pasar, isinya cenderung sensasional, kurang penghargaan pada etika, banyak kekerasan, pornografi, berita bohong dan
47 Ibid., 48
provokatf, wartawan amplop bahkan iklan yang menyesatkan. Pers kerap dipakai sebagai kepentingan politik pribadi ataupun kelompok tertentu. Hal ini sebagai dampak pemusatan kepemilikan media pada segelintir orang.
2. Kebebasan Pers di Indonesia
Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Peran besar ini memang membutuhkan ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal tentu saja selain kode etik yang membuatnya harus tetap profesional.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan:
"Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum".
Ini artinya, kemerdekaan pers dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum, sehingga kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sesuai dengan hati nurani insan pers.
yang pada intinya menyatakan pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan dalam upaya mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dengan demikian, makna kemerdekaan pers lebih luas dari makna kebebasan pers yang dipersepsikan oleh insan pers.49
Mengenai kebebasan pun dijamin dalam konstitusi di Indonesia yang terdapat pada Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi,
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan linsan dan tulinsan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Jaminan terhadap kemerdekaan tersebut juga terdapat dalam setiap naskah hak-hak asasi manusia yang dikeluarkan setelah Perang Dunia II, misalnya Deklarasi Umum PBB tentang Hak-Hak Asasi manusia tahun 1948 dalam Pasal 19 menyatakan:
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk meliputi kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.50
Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik: Pasal 19
1. Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapatkan gangguan;
2. Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat atau mengungkapkan
49
Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dalam Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, 2005, hlm.233
50
diri, dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan pembatas-pembatasan, baik secara linsan maupun tulinsan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya sendiri;
3. Pelaksanaan hak-hak yang diberikan dengan ayat 2 pasal ini membawa berbagai kewajiban dan tanggungjawabnya sendiri. Maka dari itu dapat dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal demikian hanya boleh ditetapkan dengan undang-undang dan sepanjang keperluan untuk:
a. Menghormati hak-hak dan nama baik orang lain;
b. Menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum.51
Pasal 10 Konvensi Eropa tentang Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1950 yang menyatakan:
Pasal 10
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengutarakan pendapat. Hak ini harus mencakup kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk menerima dan memberikan keterangan tanpa campur tangan suatu instansi (badan) umum dan tanpa mengindahkan perbatasan- perbatasan. Pasal ini tidak akan menghalangi suatu negara untuk memberikan syarat ijin usaha untuk penyiaran, televisi dan bioskop. (2) Pelaksanaan segala kebebasan ini, karena membawa berbagai
kewajiban dan tanggungjawab masing-masing, harus mengikuti formalitas, persyaratan atau pidana, yang diatur dengan undang- undang dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokrasi demi kepentingan keamanan, integritas/kedaulatan wilayah atau keselamatan umum; untuk mencegah kekacauan atau kejahatan, menjaga kesehatan atau kesusilaan umum, melindungi nama baik atau hak orang lain, menghalangi pengungkapan keterangan yang telah diterima sebagai rahasia, atau guna mempertahankan kekuasaan dan kenetralan peradilan.52
Konstitusi dan ketentuan-ketentuan internasional tersebut mengisyaratkan bahwa kebebasan itu bernilai universal. Kebebasan itu ada tidak hanya sepanjang hasil pikiran dan perasaan itu ada di dalam pikiran atau perasaan seseorang (atau
51
Ibid., hlm. 303
52
paling jauh dituangkan untuk disimpan dalam bentuk tulinsan atau kalau itu berupa suara dilakukan perekaman), tetapi juga saat pendapat tersebut disiarkan atau disebarluaskan. Walaupun pendapat itu sangat membahayakan atau berupa perasaan yang sangat jahat sekalipun, kemerdekaan itu masih harus ada pada diri orang yang akan menyiarkan atau menyebarluaskannya.
Karena itu, tidak ada tindakan yang sifatnya preventif yaitu mengekang atau menjadikan orang tidak bebas untuk menyiarkan atau menyebarluaskan pendapatnya. Selain bernilai universal yang maknanya setiap orang mempunyai hak tersebut, pengertian universal juga berarti bahwa hak itu harus dilindungi dengan adanya jaminan oleh undang-undang. Semangat kebebasan pers juga terlihat dalam ketentuan Undang-Undang Pers ini mengenai wartawan, perusahaan pers, Dewan Pers, pers asing, dan peranan serta masyarakat dalam kehidupan pers.
Mengenai wartawan Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Karena organisasi wartawan di era reformasi banyak bermunculan, organisasi wartawan yang diakui tidak lagi bersifat tunggal, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), seperti di masa Orde Baru.
Ditambahkan bahwa pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itu, negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers.
Tentang Dewan Pers Pasal 15 undang-undang ini menyatakan:
(1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independent.
(2) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. b. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. c. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. d. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
e. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah.
f. Menfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan- peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
g. Mendata perusahaan pers. (3) Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a. Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan.
pers.
c. Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunkasi, dan bidang-bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
d. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota. (4) Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal
ini ditetapkan dengan keputusan presiden. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
(5) Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari : a. Organisasi pers.
b. Perusahaan pers.
c. Bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) di atas dikatakan bahwa tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.
Selanjutnya mengenai peran serta masyarakat Pasal 17 Undang-Undang ini menyatakan:
1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
etika dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan pers.
b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Tetapi dengan kebebasan pers tidak berarti bahwa pers itu boleh berkembang tanpa kendali, karena undang-undang ini juga mengatur fungsi, kewajiban, peranan dan ketentuan lainnya yang harus ditaati oleh pers.
3. Fungsi dan Peranan Pers
Dalam menjalankan profesinya sebagai pers, wartawan atau jurnalis memiliki aturan yang menjadi pegangan dalam setiap langkahnya yaitu UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang berfokus pada Bab II pasal 3, 5 dan 6 UU No 40 tahun 1999 yang berisi mengenai kewajiban dan peranan Pers yang dijabarkan dalam 8 ayat secara keseluruhan.
Mengenai fungsi pers terdapat dalam Pasal 3 dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan:
(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pers mempunyai 5 (lima) fungsi dalam menjalankan tugas jurnalistiknya yaitu53: a. Pers sebagai Informasi (to Inform)
Fungsi pertama dari lima fungsi utama pers ialah menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya.
Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar yaitu aktual, akurat, faktual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas dan jernih, jujur adil, berimbang, relevan, bermanfaat dan etis.
b. Pers sebagai Edukasi (to Educate)
Setiap informasi yang disebarluaskan pers hendaklah dalam kerangka mendidik (to educate). Pers sebagai lembaga ekonomi memang dituntut berorientasi komersil untuk memperoleh keuntungan finansial namun orientasi dan misi komersil itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab sosial.
c. Pers sebagai Koreksi ( to Influence)
Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dalam kerangka ini kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar kekuasaan mereka tidak menjadi korup dan absolut.
d. Pers sebagai Rekreasi (to Entertain)
Fungsi keempat pers adalah menghibur. Pers harus mampu menempatkan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menghibur bagi semua lapinsan masyarakat. Pesan rekreatif yang disajikan mulai dari cerita pendek sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destruktif.
e. Pers sebagai Mediasi (to Mediate)
lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama.
Sedangkan, Kusman Hidayat dalam tulinsannya berjudul “Dasar-Dasar Jurnalistik/Pers” menyatakan bahwa Pers mempunyai 4 (empat) fungsi sebagai
berikut54:
a. Fungsi pendidik, yaitu melalui karya-karya tercetaknya dengan segala isi, baik langsung ataupun tidak langsung dengan sifat keterbukaannya, membantu masyarakat meningkatkan budayanya. Segala peristiwa yang dimuat pers, masyarakat bisa menilai sendiri hal ikhwal sebagai teladan bagi kehidupannya. Melalui rubrik-rubrik khusus, seperti ruang kebudayaan atau ruang ilmu pengetahuan, pers dapat menambah pengetahuan masyarakat.
b. Fungsi penghubung, dengan ciri universalitasnya, pers merupakan sarana lalu-lintas hubungan antar manusia. Melalui pers akan tumbuh saling pengertian, atau dapat digunakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menumbuhkan kontak antar manusia agar tercipta saling pengertian dan saling tukar pandangan bagi perkembangan dan kemajuan hidup manusia.
c. Fungsi pembentuk pendapat umum, rublik-rublik dan kolom-kolom tertentu seperti tajuk rencana, pikiran pembaca, pojok, dan lain-lain merupakan suatu ruang untuk memberikan pandangan atau pikiran kepada
54
khalayak pembaca.
d. Fungsi kontrol, dengan fungsi ini pers berusaha melakukan bimbingan dan pengawasan kepada masyarakat tentang tingkah laku yang benar atau tingkah laku yang tidak dikehendaki oleh khalayak.
Kewajiban pers yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 5.
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab. (3) Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya memiliki 3 (tiga) hak seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 10-12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yaitu:
a. Hak Tolak
Hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. b. Hak jawab
Hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
c. Hak Koreksi
informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Tujuan dari hak tolak tercantum dalam Penjelasan Pasa