• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Di Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang (Kawasan Hulu Das Wampu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Di Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang (Kawasan Hulu Das Wampu)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA BERBAGAI

TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAERAH ALIRAN

SUNGAI LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

T E S I S

Oleh

AHMAD SYOFYAN

077004002/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA N

(2)

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA BERBAGAI

TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAERAH ALIRAN

SUNGAI LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

AHMAD SYOFYAN

077004002/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

Nama Mahasiswa : Ahmad Syofyan

Nomor Pokok : 077004002

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

(PSL)

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Sumono, MS) Ketua

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D) (Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)

(4)

Telah Diuji pada

Tanggal 16 Februari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Sumono, MS

Anggota : 1. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D

2. Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP

3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

(5)

ABSTRAK

Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lau Biang dengan luas 94.147 hektar merupakan Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Wampu yang mempunyai luas 410.715 hektar, kawasan Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang yang seharusnya merupakan kawasan konservasi, justru menjadi kawasan budidaya terutama untuk komoditi tanaman pangan dan tanaman semusim dengan luas 80.169,822 hektar atau 85,06%, kawasan hutan yang seharusnya 30% (UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 8 ayat 2 tetapi kenyataannya luasnya hanya 10.780,081 hektar atau 11,43%, topografi 82,93% dari luas lahan agak curam hingga sangat curam, hanya 0,96% yang datar dan 0,76% yang landai, kondisi tanah umumnya tanah muda dan dangkal yang rentan terhadap erosi serta curah hujan tinggi, rerata 3.000 mm/thn, oleh karena itu potensi pada daerah ini erosinya dapat dikategorikan besar atau tinggi. Besarnya erosi pada suatu lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu intensitas hujan (R), kepekaan tanah terhadap erosi (K), bentuk lahan (LS), vegetasi penutup tanah (C), dan tingkat pengelolaan tanah (P).

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang yang meliputi 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Simalungun, 8 (delapan) kecamatan di Kabupaten Karo. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei deskriptif dan metode survai eksploratif. Metode survei deskriptif di lapangan dilaksanakan dengan menggunakan data hasil interpretasi peta dari citra satelit dan data pendukung lainnya, sedangkan metode survai eksploratif dilakukan dengan mengamati sifat-sifat fisika dan kimia tanah berdasarkan analisis contoh tanah di laboratorium, pada lahan hutan, lahan pertanaman Agroforestry/ kebun campuran, lahan pertanaman kopi Arabika, lahan pertanaman jagung dan lahan pertanaman jeruk manis. Sedangkan penetapan besarnya erosi tanah melalui persamaan Prediksi USLE.

Hasil penelitian menunjukkan besarnya erosi yang terjadi paling kecil pada kawasan hutan sebesar 36,07 ton/ha/thn dan yang paling tinggi pada kopi arabika (Coffea arabica) (344,08 ton/ha/thn), rataan erosi yang diperbolehkan pada berbagai jenis penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang berkisar antara 23,36 ton/ha/thn (pada kawasan hutan) hingga 27,76 ton/ha/thn pada tanaman jeruk manis (Citrus sinensis), Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dengan kriteria sedang sampai sangat tinggi, teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi paling kecil pada semua komoditi yang diteliti adalah strip tanaman sejajar kontor dengan tanpa pengolahan tanah sedangkan erosi terbesar terjadi pada teknik penanaman menurut garis kontor tetapi dengan pengolahan tanah.

(6)

perencanaan pengelolaan pertanian yang terencana sehingga sebagai hulu DAS Wampu dapat benar-benar terjaga kelestariannya.

(7)

ABSTRACT

Sub-Watershed (DAS) Lau Biang 94,147 hectares of area is the Upper Regions Wampu Watershed which has 410,715 hectares of area, region Watershed Sub Lau Biang which should form a conservation area, it became cultivated area, especially for commodity crops and plants with wide seasonal 80,169.822 hectares or 85.06%, forest areas should be 30% (Law No. 41 of 1999 Article 8 paragraph 2 but in reality only the extent of 10,780.081 hectares or 11.43%, 82.93% of the ground cover (C), and the level of land management (P). The study was conducted in April and July 2009 in the sub watershed areas covering Biang Lau 2 (two) districts in the County Simalungun, 8 (eight) districts in Karo District. Research carried out by using survey method and descriptive exploratory survey method. Descriptive methods in the field survey carried out by using the data interpretation of satellite image maps and other supporting data, while the method of exploratory surveys conducted by observing the physical properties and chemical analysis of soil based on soil samples in the laboratory, the forest land, crop land Agroforestry/garden mixture, Arabica coffee crop land, crop land and land corn planting oranges. While the determination of the amount of land erosion by USLE prediction equation.

The results showed the amount of erosion that occurred in the smallest forest area of 34.27 tons/ha/yr and the highest in arabica coffee (344.08 tonnes/ha/yr). Erosion averaging is allowed on various types of land use in sub-watersheds ranging Lau Biang 23.36 tons/ha/yr (the forest) to 27.76 tons/ha/yr (swee orange plants) Erosion Hazard level (TBE) with criteria for moderate to very high soil conservation techniques that can control erosion on the smallest of all the commodities under amount of erosion, the main consideration in farm management planning process that is planned so that the upstream watershed may Wampu awake sustainability.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas taufiq dan hidyahNya sejak penulis menempuh pendidikan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sehingga penulisan tesis ini sudah dapat diselesaikan dengan baik yang berjudul “Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu)”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai derajat S-2, sekaligus sebagai akhir studi di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Lau Biang, berada di Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara yang pada prinsipnya untuk menetapkan berapa besar tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi pada beberapa penggunaan lahan yang digunakan. Melalui pengukuran kelas tingkat bahaya erosi tanah akan dapat dilakukan tindakan pengelolaan apabila erosi yang terjadi sudah berada diambang batas yang masih dapat dibiarkan.

Kami menyadari bahwa hasil tesis ini hanyalah karya manusia yang tidak luput dari berbagai keterbatasan dan kekurangan. Namun demikian, dengan segala kerendahan hati penulis berharap agar keterbatasan dan kekurangan yang ada dalam tesis ini, dapat dijadikan bahan masukan untuk diteliti lebih lanjut dan hasilnya dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Penulisan tesis ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, pada kesempatan yang berbahagia ini penghargaan dan rasa terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

(9)

memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sejak persiapan penelitian sampai tersusunnya tesis ini;

2. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan seluruh Dosen serta Staf Administrasi yang telah menberi kemudahan dan kelancaran selama penulis mengikuti pendidikan;

3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS., Ir. Taruna Jaya, M.Sc. selaku Pembanding/ Penguji dengan semua saran-sarannya sehingga penulisan tesis ini dirasakan lebih sempurna;

4. Kepala Balai Pengeloaan Daerah Aliran Sungai Wampu Sei Ular beserta staf yang selalu mendukung rencana studi penulis;

5. Terima kasih juga disampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun, khususnya Dinas Kehutanan dan Dinas Pertanian beserta staf dan masyarakat Desa Dokan dan Desa Merek Kecamatan Merek Kabupaten Karo yang telah memberikan ijin dan tempat penelitian bagi penulis dalam pengumpulan data sebagai bahan tesis dari lokasi tersebut;

6. Sembah dan sujud serta ucapan terima kasih yang tiada terhingga pen ulis samp aik an k ep ad a Alm arhun a ya han da H. Amir Bin Abb as dan i bun da penulis Hj. Zariah binti Wagimen yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan cinta kasih berdasarkan pundi-pundi Ilahi pada setiap detik dan detak napas kehidup an, pada setiap fajar hingga penghujung malam, disert ai do a yan g tulus s ehi n gga m emb uk a kel ap an gan j alan b agi p enulis dalam mengarungi bahtera lautan karier ini, menggapai ridho dan inayah-Nya di sepanjang masa.

(10)

m en j al an i p en d i d i k a n i n i ;

8. Istriku tercinta Suharsih yang dengan tabah dan setia, dengan penuh pengorban an, selalu mendampingi, memberikan dukungan d an doa untuk penulis, baik dalam keadaan suka maupun duka, juga kepada anak-anak penulis Kartika Utami, Muhammad Faqih Lazuardi dan Jihan Hidayah Putri, p a d a t e m p a t n y a p a p a m e n y a m p a i k a n u c a p a n t e r i m a k a s i h d a n penghargaan yang tiada terhingga, semoga cucuran rahmat Allah SWT tiada h e n t i k e p a d a k i t a a t a s k e t a b a h a n m a m a d a n a n a k - a n a k k u d a l a m pengorbanan dan kesetiaan yang telah dipersembahkan; 9. Semua pihak yang telah membantu kami baik dukungan moril maupun

materi sehingga penelitian dan penulisan tesis dapat diselesaikan dengan baik. Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan semoga semua kebaikan dan kerelaan hati yang telah diberikan semua pihak kepada Penulis mendapat fadilah yang sesuai. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan yang tetap mengalir tiada habis-habisnya sepanjang peradaban umat manusia.

Medan, Februari 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Ahmad Syofyan, dilahirkan pada hari Kamis tanggal 26 Mei 1960 di Medan (Sumatera Utara), anak Ketujuh dari Sembilan orang bersaudara, orang tua bernama Alm. H. Amir (Ayah) dan Alm. Hj. Zariah (Ibu). Menikah pada tanggal 9 Januari 1988 dengan istri bernama Suharsih, Bapak mertua bernama H. Yazid Bustami dan Ibu mertua bernama Hj. Poniem. Dikaruniai tiga orang anak bernama Kartika Utami (perempuan), Muhammad Faqih Lazuardi (laki-laki) dan Jihan Hidayah Putri (Perempuan).

(12)
(13)

3.4.2. Perhitungan (Prediksi) Laju Erosi Menggunakan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 49

4.1. Kondisi Umum Sub DAS Lau Biang Bagian Hulu DAS Wampu ... 49

4.1.1. Letak dan Luas Sub DAS Lau Biang ... 49

4.1.2. Penggunaan Lahan ... 50

4.2. Penilaian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi ... 51

4.2.1. Nilai Erosivitas Hujan (R) di Sub DAS Lau Biang... 52

4.2.2. Faktor Erodibilitas Tanah (K) ... 55

4.2.3. Faktor Topografi (LS) ... 58

4.2.4. Faktor Vegetasi (C) dan Faktor Manusia/Tindakan Konservasi (P) ... 60

4.3. Pengukuran Laju Prediksi Erosi... 61

4.3.1. Erosi Prediksi ... 61

4.4. Laju Erosi Ditoleransikan (T) ... 68

4.5. Tingkat Bahaya Erosi ... 69

4.6. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi ... 70

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Luas Wilayah Kecamatan, Kabupaten dan Kota yang Masuk

ke dalam DAS Wampu ... 35

2. Luas Wilayah Kecamatan pada Sub DAS Lau Biang ... 36

3. Kelas Kemiringan Lereng di Kawasan DAS Wampu ... 37

4. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Setiap Sub DAS dalam Kawasan DAS Wampu ... 38

5. Harkat Struktur Tanah... 43

6. Harkat Permeabilitas Tanah ... 43

7. Nilai Faktor (P) untuk Berbagai Tindakan Konservasi Tanah... 44

8. Nilai Faktor (C) untuk Berbagai Tipe Pengelolaan Tanaman... 45

9. Nilai CP dari Beberapa Tipe Penggunaan Lahan... 45

10. Nilai Faktor Kedalaman Tanah pada Berbagai Jenis Tanah ... 46

11. Kriteria Tingkat Bahaya Erosi ... 47

12. Curah Hujan Bulanan Rata-rata, Hari Hujan Rata-rata, Curah Hujan Maksimum Selama 24 jam, dan Nilai Erosivitas Hujan di Sub DAS Lau Biang... 53

13. Rataan Besarnya Erosi Prediksi di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu) pada Kemiringan Lereng 34-37% 62

(15)

15. Besarnya Erosi Ditoleransikan dan Tingkat Bahaya Erosi pada

Lima Jenis Penggunaan Lahan di sub DAS Lau Biang ... 70 16. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada Tiga

Jenis Penggunaan Lahan di Sub DAS Lau Biang ... 72 17. Struktur dan Komposisi Hutan Sekunder di Sub DAS Lau Biang

(Kawasan Hulu DAS Wampu) yang Menjadi Objek Kajian

(Rerata dalam Setiap Hektar Hutan) ... 77 18. Tipe Agroforestri Berdasarkan Struktur Komponen Penyusunnya

di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu) yang

Menjadi Objek Kajian ... 78 19. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada

Pertanaman Jagung (Zea mays) di Sub DAS Lau Biang ... 80 20. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada

Pertanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis) di Sub DAS Lau Biang 81 21. Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah terhadap Erosi pada

Pertanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) di Sub DAS

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Diagram Alir Pengukuran Laju Erosi Metode USLE ... 94

2. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Tiga Pancur Kec. Simpang Empat 95

3. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Tiga Pancur Kec. Simpang Empat... 96

4. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Barus Jahe Kec. Barus Jahe... 97

5. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Barus Jahe Kec. Barus Jahe ... 98

6. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Merek Kec. Merek... 99

7. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Merek Kec. Merek ... 100

8. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Tiga Panah Kec. Tiga Panah ... 101

9. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Tiga Panah Kec. Tiga Panah ... 102

10. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Sumber Jaya Kec. Munthe ... 103

11. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Sumber Jaya Kec. Munthe ... 104

12. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Sta. Sinabung Kec. Payung ... 105

13. Data Curah Hujan Maksimal Harian Sta. Sinabung Kec. Payung ... 106

14. Data Rata-rata Curah Hujan Bulanan... 107

15. Data Rata-rata Curah Hari Hujan Bulanan... 107

16. Data Curah Hujan Maksimal Harian Rata-rata ... 107

17. Perhitungan Curah Hujan Erosivitas (R) ... 108

(18)

19. Contoh Perhitungan Erosivitas dari Data yang Diperoleh Selama

10 Tahun ... 109

20. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah pada Lahan Hutan ... 110

21. Tabel Nilai Kandungan C-Organik Tanah pada Lahan Hutan... 111

22. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Hutan ... 112

23. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) pada Tanah Hutan... 113

24. Tabel Nilai Faktor Topografi (LS) pada Lahan Hutan... 114

25. Tabel Nilai Faktor CP untuk Hutan ... 115

26. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Tanah Hutan ... 116

27. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Hutan ... 117

28. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Hutan ... 118

29. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Lahan Agroforestry ... 119

30. Tabel Nilai Kandungan C-Organik Tanah pada Lahan Agroforestry... 120

31. Tabel Nilai Laju Permeabilitas di Lahan Agroforestry ... 121

32. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) pada Penggunaan Lahan Tanaman Agroforestry... 122

33. Tabel Nilai Faktor Topografi (LS) pada Lahan Agroforestry... 123

34. Tabel Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Teknik Konservasi (CP) pada Lahan Agroforestri ... 124

35. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Penggunaan Lahan Tanaman Agroforestri ... 125

36. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Lahan Tanaman Agroforestri .. 126

(19)

38. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Lahan Tanaman Pangan (Jagung, Zea mays) ... 128 39. Tabel C-Organik Tanah pada Lahan Tanaman Pangan (Jagung,

Zea mays)... 129

40. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Tanaman Pangan (Jagung) ... 130 41. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas (K) pada Lahan Tanaman Pangan

(Jagung) ... 131 42. Tabel Nilai Faktor Topografi ( LS) pada Penggunaan Lahan Tanaman

Pangan (Jagung) ... 132 43. Tabel Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Teknik Konservasi (P)

pada Lahan Jagung (Zea mays) ... 133 44. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Penggunaan Lahan Tanaman Jagung

(Zea mays) ... 134 45. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Lahan Tanaman Jagung

(Zea mays) ... 135 46. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dan pada Lahan Jagung (Zea mays) ... 136 47. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Lahan Tanaman Jeruk

Manis (Citrus sinensis)... 137 48. Tabel C-Organik Tanah pada Lahan Tanaman Jeruk Manis

(Citrus sinensis)... 138 49. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Tanaman Jeruk Manis

(Citrus sinensis)... 139 50. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) pada Lahan Tanah Jeruk

Manis (Citrus sinensis)... 140 51. Tabel Nilai Faktor Topografi (LS) pada Penggunaan Lahan Jeruk Manis

(Citrus sinensis)... 141 52. Tabel Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Teknik Konservasi (P)

(20)

53. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada Penggunaan Lahan Tanaman Jeruk

Manis (Citrus sinensis)... 143

54. Tabel Erosi yang Diperbolehkan (T) pada Lahan Tanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis)... 144

55. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dan pada Lahan Tanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis)... 145

56. Tabel Nilai Kandungan Partikel Tanah (M) pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) ... 146

57. Tabel C-Organik Tanah pada Lahan Kopi Arabika ... 147

58. Tabel Nilai Laju Permeabilitas pada Lahan Kopi Arabika ... 148

59. Tabel Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) Pada Tanah Kopi Arabika ... 149

60. Tabel Nilai Faktor Topografi ( LS) Untuk Kopi Arabika ... 150

61. Tabel Nilai Faktor CP Untuk Kopi Arabika ... 151

62. Tabel Nilai Erosi Tanah (A) pada tanah Kopi Arabika... 152

63. Tabel Erosi Yang Diperbolehkan (T) pada Kopi Arabika ... 153

64. Tabel Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Kopi Arabika ... 154

65. Analisis Data penerapan Teknik Konservasi Kopi ... 155

66. Analisis data penerapan teknik konservasi Jagung ... 158

67. Analisis data teknik konservasi jeruk... 161

68. Foto Pengamatan di Lapangan ... 164

(21)

ABSTRAK

Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lau Biang dengan luas 94.147 hektar merupakan Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Wampu yang mempunyai luas 410.715 hektar, kawasan Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang yang seharusnya merupakan kawasan konservasi, justru menjadi kawasan budidaya terutama untuk komoditi tanaman pangan dan tanaman semusim dengan luas 80.169,822 hektar atau 85,06%, kawasan hutan yang seharusnya 30% (UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 8 ayat 2 tetapi kenyataannya luasnya hanya 10.780,081 hektar atau 11,43%, topografi 82,93% dari luas lahan agak curam hingga sangat curam, hanya 0,96% yang datar dan 0,76% yang landai, kondisi tanah umumnya tanah muda dan dangkal yang rentan terhadap erosi serta curah hujan tinggi, rerata 3.000 mm/thn, oleh karena itu potensi pada daerah ini erosinya dapat dikategorikan besar atau tinggi. Besarnya erosi pada suatu lahan ditentukan oleh lima faktor yaitu intensitas hujan (R), kepekaan tanah terhadap erosi (K), bentuk lahan (LS), vegetasi penutup tanah (C), dan tingkat pengelolaan tanah (P).

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2009 di Sub Daerah Aliran Sungai Lau Biang yang meliputi 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Simalungun, 8 (delapan) kecamatan di Kabupaten Karo. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei deskriptif dan metode survai eksploratif. Metode survei deskriptif di lapangan dilaksanakan dengan menggunakan data hasil interpretasi peta dari citra satelit dan data pendukung lainnya, sedangkan metode survai eksploratif dilakukan dengan mengamati sifat-sifat fisika dan kimia tanah berdasarkan analisis contoh tanah di laboratorium, pada lahan hutan, lahan pertanaman Agroforestry/ kebun campuran, lahan pertanaman kopi Arabika, lahan pertanaman jagung dan lahan pertanaman jeruk manis. Sedangkan penetapan besarnya erosi tanah melalui persamaan Prediksi USLE.

Hasil penelitian menunjukkan besarnya erosi yang terjadi paling kecil pada kawasan hutan sebesar 36,07 ton/ha/thn dan yang paling tinggi pada kopi arabika (Coffea arabica) (344,08 ton/ha/thn), rataan erosi yang diperbolehkan pada berbagai jenis penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang berkisar antara 23,36 ton/ha/thn (pada kawasan hutan) hingga 27,76 ton/ha/thn pada tanaman jeruk manis (Citrus sinensis), Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dengan kriteria sedang sampai sangat tinggi, teknik konservasi tanah yang dapat mengendalikan erosi paling kecil pada semua komoditi yang diteliti adalah strip tanaman sejajar kontor dengan tanpa pengolahan tanah sedangkan erosi terbesar terjadi pada teknik penanaman menurut garis kontor tetapi dengan pengolahan tanah.

(22)

perencanaan pengelolaan pertanian yang terencana sehingga sebagai hulu DAS Wampu dapat benar-benar terjaga kelestariannya.

(23)

ABSTRACT

Sub-Watershed (DAS) Lau Biang 94,147 hectares of area is the Upper Regions Wampu Watershed which has 410,715 hectares of area, region Watershed Sub Lau Biang which should form a conservation area, it became cultivated area, especially for commodity crops and plants with wide seasonal 80,169.822 hectares or 85.06%, forest areas should be 30% (Law No. 41 of 1999 Article 8 paragraph 2 but in reality only the extent of 10,780.081 hectares or 11.43%, 82.93% of the ground cover (C), and the level of land management (P). The study was conducted in April and July 2009 in the sub watershed areas covering Biang Lau 2 (two) districts in the County Simalungun, 8 (eight) districts in Karo District. Research carried out by using survey method and descriptive exploratory survey method. Descriptive methods in the field survey carried out by using the data interpretation of satellite image maps and other supporting data, while the method of exploratory surveys conducted by observing the physical properties and chemical analysis of soil based on soil samples in the laboratory, the forest land, crop land Agroforestry/garden mixture, Arabica coffee crop land, crop land and land corn planting oranges. While the determination of the amount of land erosion by USLE prediction equation.

The results showed the amount of erosion that occurred in the smallest forest area of 34.27 tons/ha/yr and the highest in arabica coffee (344.08 tonnes/ha/yr). Erosion averaging is allowed on various types of land use in sub-watersheds ranging Lau Biang 23.36 tons/ha/yr (the forest) to 27.76 tons/ha/yr (swee orange plants) Erosion Hazard level (TBE) with criteria for moderate to very high soil conservation techniques that can control erosion on the smallest of all the commodities under amount of erosion, the main consideration in farm management planning process that is planned so that the upstream watershed may Wampu awake sustainability.

(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Erosi tanah (soil erosion) adalah proses penghanyutan tanah dan merupakan gejala alam yang wajar dan terus berlangsung selama ada aliran permukaan. Erosi semacam itu melaju seimbang dengan laju pembentukan tanah sehingga tanah mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996).

(25)

Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lau Biang merupakan bagian hulu dari DAS Wampu yang mencakup wilayah Kecamatan Dolok Silau dan Silimakuta di Kabupaten Simalungun, Kecamatan Merek, Tiga Panah, Kabanjahe, Barus Jahe, Munthe, Tiganderket, Kuta Buluh dan Payung di Kabupaten Karo. Luas wilayah Sub DAS Lau Biang sekitar 94.147 hektar atau sekitar 15,42% dari total luas wilayah DAS Wampu (610.551 hektar). Selain Sub DAS Lau Biang, Sub DAS lainnya di DAS Wampu adalah Sub DAS Wampu Hulu seluas 210.374 hektar (34.46%), Sub DAS Batang Serangan seluas 138.727 hektar (22.72%), Sub DAS Sei Bingei seluas 81.511 hektar (13,35%), Sub DAS Wampu Hilir seluas 85.792 hektar (14,05%) (Misran, 2008).

Permasalahan umum di DAS Wampu yang menyebabkan berbagai bencana alam, diantaranya banjir bandang di Sub DAS Wampu Hulu Sub-Sub DAS Bahorok pada November 2003 yang lalu adalah akibat banyaknya penggarapan liar yang menyebabkan banyak lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu, sehingga dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir. Pola usaha tani yang kurang mengikuti kaedah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang di Kabupaten Simalungun dan Karo dengan komoditi utama tanaman pangan dan hortikultura. Sedangkan pada bagian hilir terjadi penyempitan dan pendangkalan sungai, khususnya di Sub DAS Wampu Hilir dan Sub DAS Sei Bingei di Kabupaten Langkat dan Kota Binjai (Misran, 2008).

(26)

dan topografi) yang rentan terjadi erosi, banjir, tanah longsor, dan kekeringan; (2) iklim, tarutama curah hujan yang tinggi dan potensial dapat menimbulkan daya rusak terhadap hamparan lahan/tanah, yang menyebabkan erosivitas yang tinggi; dan (3) aktivitas manusia dalam pemanfaatan/penggunaan lahan/hutan yang melampaui daya dukung wilayah/lingkungan dan atau tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan ketrampilan petani, serta sikap mental orang-orang yang tidak bertanggung jawab (memiliki moral hazard).

(27)

1.2. Rumusan Masalah

Baik buruknya suatu kawasan DAS dalam arti masih mantap atau telah terdegradasinya suatu kawasan DAS dapat dilihat dari fluktuasi air larian atau air limpasan (sungai), besarnya erosi dan sedimentasi yang terjadi, dan tingkat produktivitas lahan. Fluktuasi air larian yang tinggi antara musim hujan dengan musim kemarau menandakan tanah memiliki kemampuan yang kecil dalam menyerap dan menyimpan air (kapasitas infiltrasi rendah), sementara erosi dan sedimentasi yang tinggi menandakan tanah memiliki kemantapan agregat yang rendah.

Kemampuan tanah yang rendah dalam menyerap dan menyimpan air, bukan hanya menyebabkan tanaman akan mudah kekeringan pada musim kemarau, tetapi juga menyebabkan air yang mengalir di atas permukaan tanah (run-off) pada musim hujan menjadi lebih banyak dan akan menyebabkan lapisan tanah akan lebih banyak terkikis akibat erosi.

Berbagai cara dapat dipergunakan dalam pengukuran erosi seperti pengukuran air limpasan yaitu dengan menggunakan metode petak standar dan metode sendimen, dengan menggunakan metode Universal Soil Loss Equation (USLE) perlu diuji untuk mendapatkan metode pengukuran erosi mana yang tepat dalam mengukur besarnya jumlah tanah yang tererosi berdasarkan penggunaan lahan pada kawasan Sub DAS Lau Biang.

(28)

1. Sejauhmana teknik konservasi tanah dan air yang telah diterapkan di kawasan budidaya pada Sub DAS Lau Biang dan pengaruhnya terhadap erosi.

2. Sejauhmana penggunaan lahan lainnya (non-pertanian) di Sub DAS Lau Biang dan pengaruhnya terhadap erosi.

3. Bagaimana indeks (tingkat) bahaya erosi yang terjadi pada berbagai tipe penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang.

4. Seberapa besar erosi yang ditoleransikan pada setiap tipe penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui teknik konservasi tanah dan air yang telah diterapkan di Sub DAS Lau Biang.

2. Mengetahui besarnya prediksi erosi pada setiap tipe penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang.

3. Mengetahui sejauhmana pengaruh teknik konservasi yang diterapkan di Sub DAS Lau Biang dalam mempengaruhi erosi.

4. Mengetahui erosi yang ditoleransikan (T) pada setiap tipe penggunaan lahan di Sub DAS Lau Biang.

(29)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai:

1. Sumber informasi bagi pihak yang berkepentingan tentang tingkat bahaya erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan, khususnya di kawasan hulu DAS Wampu (Sub DAS Lau Biang).

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam Arsyad, 1989).

Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989, Talkurputra, et.al. 1996).

(31)

Hasil penelitian yang dilakukan Suharto (1994) tentang optimalisasi alokasi penggunaan lahan di DAS Solo Hulu, Jawa Tengah, ditinjau dari segi erosi, sedimentasi, dan debit menunjukkan erosi yang terbesar terjadi pada penggunan lahan tegalan buruk, kemudian diikuti oleh lahan pekarangan, lahan tegalan baik, lahan hutan, dan yang paling rendah lahan sawah. Limpasan permukaan dan sedimentasi yang terjadi pada tiap sub DAS didominasi oleh penggunaan lahan tegalan buruk. Kekritisan lahan yang termasuk tingkat kekritisan berat juga terjadi pada penggunaan lahan tegalan buruk.

2.1.2. Pengertian DAS

Daerah aliran sungai (DAS) dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai drainage area atau catchment area atau river basin atau

watershed.

DAS ialah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan ke sungai atau danau, dan akhirnya ke laut. Kawasan itu dipisahkan dengan kawasan lainnya oleh pemisah topografis, yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan. Suatu DAS yang sangat luas terdiri atas beberapa sub-DAS dan masing-masing sub-DAS terdiri atas beberapa sub-sub DAS.

(32)

bentuk DAS (Sosrodarsono dan Takeda, 1977, dalam Asdak, 2002).

Soejono Paembonan (1982, dalam Dradjad, 1990) mengatakan DAS adalah suatu ekosistem dengan unsur-unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air, dan manusia yang mempunyai hubungan saling mempengaruhi dalam suatu keseimbangan dinamik. Vegetasi, tanah dan air merupakan unsur-unsur yang perlu didayagunakan dengan sebaik-b a i k n y a , a g a r d a p a t m e m e n u h i k e b u t u h a n m a n u s i a s e c a r a berk esi nambun gan. M an usi a berp eran seb agai p elaku di dal am pend a yagu naan u nsu r-unsu r ters eb ut.

Pengelolaan DAS perlu dilakukan agar daerah tersebut secara keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lest ari bagi m anus ia dal am mem enuhi k ebu tuh an hi dup dan kehidupan serta kesejahteraannya. Hal itu berarti bahwa untuk menangani suatu DAS, perlu memandang DAS sebagai suatu sistem.

De n g a n d e m i k i a n m e l a l u i p e n g e l o l a a n D A S ya n g t e r p a d u (pendekatan holistik) antara daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir dapat diketahui keadaan erosi yang terjadi pada suatu wilayah akibat dari penggunaan lahan yang ada (present land use), apakah erosi yang terjadi sudah membahayakan atau masih dalam batas yang dapat dibiarkan (Sinukaban, 1986; Manik, et al, 1997; Asdak, 2002).

2.1.3. Kebijakan Umum Pengelolaan DAS

(33)

terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari jumlah DAS kritis tersebut, 60 DAS merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong prioritas III dalam upaya penanggulangan/rehabilitasinya. Sedangkan lahan kritis di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat luas dan terbagi ke dalam lahan sangat kritis seluas 6.890.567 hektar, dan 23.306.233 hektar merupakan lahan kritis (Darori, 2008).

Berbicara tentang pengelolaan DAS, maka tidak akan terlepas dari permasalahan pengelolaan hutan, meskipun seluruh titik di muka bumi ini merupakan bagian dari DAS. Seperti diketahui bahwa luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 120,35 juta hektar atau 63% dari luas daratan, dan terdiri dari hutan konservasi 20,50 juta hektar, hutan lindung seluas 33,50 juta hektar, dan hutan produksi seluas 66,35 juta hektar. Dari luas kawasan hutan tersebut kondisi kawasan yang tidak berhutan (terjadi deforestasi) seluas 30,83 juta hektar atau 25,6% dari luas kawasan hutan. Tercatat laju deforestasi pada tahun 2000 hingga 2005 mencapai 1,08 juta ha/tahun (Gambar 1).

Kawasan hutan yang kritis semakin meningkat karena laju deforestasi tersebut jauh lebih besar dibandingkan laju rehabilitasi yang hanya 500 ribu hingga 700 ribu hektar per tahun (Hutabarat, 2008).

(34)

Sumatera Utara seluas 7.491.695,34 hektar) (Hutabarat, 2008). Laju deforestasi dan rehabilitasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Laju Deforestasi Versus Laju Rehabilitasi (Hutabarat, 2008)

Menurut Hutabarat, (2008), terdapat tiga faktor utama penyebab degradasi DAS-DAS di Indonesia, yaitu:

1. Keadaan alam geomorfologi (geologi, tanah, dan topografi) yang rentan terjadi erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan (kemampuan lahan/daya

dukung wilayah).

2. Iklim/curah hujan tinggi yang potensial menimbulkan daya merusak lahan/ tanah (erosivitas tinggi).

(35)

Begitu luasnya lahan kritis di kawasan DAS yang menyebabkan terjadinya DAS kritis, maka pengelolaan kawasan berdasarkan konsep DAS mutlak diperlukan. Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pembangunan berkelanjutan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang mendayagunakan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara sumber daya manusia, dalam memanfaatkan sumber daya buatan dan sumber daya alam, serta mengupayakan kelestarian fungsi sumber daya alam dalam jangka panjang (Nasution, 2008).

Dengan demikian, tujuan pengelolaan DAS terdiri dari (Darori, 2008; Hutabarat, 2008):

1. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antarmulti pihak dalam pengelolaan SDA dan lingkungan DAS.

2. Terbentuknya kelembagaan pengelolaan DAS yang mantap.

3. Terwujudnya kondisi tata air DAS yang optimal meliputi kuantitas, kualitas dan distribusinya menurut ruang dan waktu.

4. Terjaminnya pemanfaatan/penggunaan hutan, tanah dan air yang produktif sesuai daya dukung dan daya tampung DAS.

5. Terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(36)

lahan, konservasi hutan, tanah dan air. Sedangkan sasaran lokasi kegiatan pengelolaan DAS meliputi: kawasan budidaya di bagian hulu dan hilir DAS, kawasan lindung di bagian hulu dan hilir DAS. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS didasarkan atas: a) kriteria teknis sektoral, b) persyaratan kelestarian ekosistem DAS, dan c) pola pengelolaan hutan, lahan dan air.

Satu kalimat yang menjadi dambaan bagi kita semua untuk diwujudkan dalam pengelolaan DAS adalah “Save Our Forest, Land and Water, demi keberlangsungan peradaban ummat manusia di muka bumi ini (Hutabarat, 2008).

2.1.4. Erosi dan Sedimentasi pada Suatu DAS

Erosi dan sedimentasi merupakan proses penting dalam pembentukan suatu daerah aliran sungai (DAS) serta memiliki konsekwensi ekonomi dan lingkungan yang penting di DAS tersebut. Erosi dan sedimentasi secara alami akan mempengaruhi pembentukan landskap suatu DAS dan sebaliknya bentuk dan kondisi fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan sedimentasi (Linsley, dkk, 1996).

(37)

dengan meningkatkan/menjadikan kemantapan agregat tanah yang ideal melalui penambahan bahan amelioran seperti bahan organik.

Kemiringan dan panjang lereng serta faktor vegetasi dan pengelolaan tanah merupakan faktor yang paling sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran permukaan serta menurunkan laju dan jumlah erosi (Agus dan Widianto, 2004; Arsyad, 2006).

Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu erosi geologi atau erosi normal dan erosi yang dipercepat. Erosi geologi (erosi normal) juga disebut erosi alami merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah keadaan vegetasi alami. Biasanya terjadi pada keadaan lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Proses geologi meliputi terjadinya pembentukan tanah di permukaan bumi secara alami. Dalam hal ini erosi yang terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah. Oleh sebab itu, hanya erosi dipercepat inilah yang menjadi perhatian konservasi tanah. Dalam pembahasan selanjutnya, istilah erosi yang dipergunakan menggambarkan erosi dipercepat yang disebabkan oleh air (Rahim, 2003; Arsyad, 2006).

(38)

primer oleh energi tumbukan butir-butir hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh air yang tergenang (proses dipersi), dan pemindahan (pengangkutan) butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan (2). Penghancuran struktur tanah diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut oleh air yang mengalir di permukaan tanah.

Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi. Sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di permukaan tanah tergantung pada hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas penyimpanan air tanah (Rahim, 2003).

Tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan daya dispersi dan daya angkut aliran di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan-tindakan yang diberikan manusia terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya akan menentukan apakah tanah itu akan menjadi baik dan produktif atau menjadi rusak (Rahim, 2003; Arsyad, 2006).

(39)

Erosi merupakan faktor eksternal penyebab tanah-tanah pertanian menjadi sakit atau bahkan mati. Erosi pada awalnya akan memindahkan bahan organik dan liat dari dalam tanah (selektivitas erosi) ke badan-badan air (sungai) yang kemudian diendapkan di buffer area sungai atau terbuang ke muara dan ke lautan. Erosi yang terus berlanjut akan mengikis permukaan tanah atau bagian tanah yang lembut (horizon A dan B), sehingga horizon C (bahan induk) dan bahkan horizon R (batuan induk) muncul ke permukaan (Arsyad, 2006).

Fenomena ini tejadi secara berkelanjutan pada hampir semua lahan pertanian di Indonesia, terutama pada sistem pertanian lahan kering di kawasan hulu suatu DAS. Pada tahap ini tanah dikategorikan sakit parah dan bahkan dapat dikatakan sebagai tanah yang mati (Arsyad, dkk, 1992).

Sedangkan prediksi erosi pada sebidang tanah dapat dilakukan menggunakan model yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978 dalam Arsyad, 2006) yang diberi nama Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan persamaan sebagai berikut:

A = R.K.L.S.C.P...(1)

yang menyatakan:

A = banyaknya tanah tererosi (ton/(ha.thn))

(40)

K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indek erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 72,6 kaki (22,1 meter) terletak pada lereng 9%, tanpa tanaman.

L = faktor panjang lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kaki (22,1 meter) di bawah keadaan yang identik.

S = faktor kecuraman lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik.

C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah yang identik tanpa tanaman.

P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, teras menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus tersebut terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang identik. Saifuddin Sarief (1980) dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Masalah Pengawetan Tanah dan Air”, penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan

(41)

tanah yang terkikis dan aliran permukaan (run-off) untuk satu kali kejadian hujan. Metode ini disebut “Pengukuran Erosi Petak Kecil”, metode ini ditujukan untuk mendapatkan data-data sebagai berikut:

1. Besarnya erosi.

2. Pengaruh faktor tanaman.

3. Pemakaian bahan pemantap tanah (soil conditioner). 4. Pemakaian mulsa penutup tanah, dan

5. Pengelolaan tanah.

Dengan berpegangan pada pendapat Konhke dan Bertrand (1959). Bahwa petak kecil yang biasanya berbentuk persegi panjang dipergunakan untuk mendapatkan besarnya pengikisan dan penghanyutan yang disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor tertentu untuk suatu tipe tanah dan derajat lereng tertentu (Kartasapoetra, 1990).

Menurut penelitian Saidi (2001) hasil pendugaan erosi dengan menggunakan rumus USLE bahwa perkiraan erosi pada Sub DAS Sumani, Lembang, Gawan, Aripan dan Imang cukup besar yakni berkisar 141,94-436,7 ton/(ha.thn), kehilangan tanah sebesar ini sudah cukup menghilangkan lapisan bagian atas hanya dalam tempo yang sangat singkat, dengan demikian perlu diimbangi dengan tindakan konservasi tanah dan air, terutama pada lahan yang berlereng terjal.

(42)

126,71ton/(ha.thn), sedangkan pada hutan sekunder dengan komponen utama pinus dan rumput pakan ternak sebesar 289,51 ton/(ha.thn) (Sutrisna dan Sitorus, 2009).

Aryanto, et al, (2008) melaporkan bahwa erosi pada hutan yang tidak terusik di DTA Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sebesar 34,2 ton/(ha.thn) sementara erosi pada hutan yang terusik di kawasan yang sama sebesar 65,9 ton/(ha.thn).

Sukresno (1993) melaporkan bahwa erosi yang terjadi di kawasan hutan Waduk Gajah Mungkur (di hulu DAS Bengawan Solo) sebesar 82,2 ton/(ha.thn), sedangkan pada lahan pekarangan yang merupakan kebun campuran erosinya sebesar 138 ton/(ha.thn) dan pada lahan tegalan yang ditanami tanaman semusim (padi gogo, jagung, kedele, kacang tanah dan ketela pohon) di sekitar Waduk Gajah Mungkur tersebut erosinya berkisar antara 211,5-729,4 ton/(ha.thn).

Erosi yang terjadi pada sistem agroforestri atau kebun campuran di Sub DAS Cibogo DAS Ciliwung sebesar 71-197 ton/(ha.thn) dan di Sub DAS Cigadog DAS Ciliwung sebesar 65-170 ton/(ha.thn) (Pawitan dan Sinukaban, 2007).

(43)

agrosilvopastural yang merupakan kombinasi antara pepohonan hutan dengan tanaman pertanian dan rumput pakan ternak di lahan selanya.

Supangat dan Savitri (2001) juga mendapatkan bahwa erosi yang terjadi di lahan tegalan yang ditanami jagung di DAS Surakarta, tepatnya di DAS Miro Dukuh Kebondalen Desa Sukorejo dan Mojosari Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, sebesar 188,91 ton/(ha.thn), juga mendapatkan bahwa erosi yang masih diperkenankan di lahan pertanaman tumpang sari (agrosilvicultural) antara sengon muda dengan kopi muda di DAS Surakarta (lokasi kajian di DAS Miro Dukuh Kebondalen Desa Sukorejo dan Mojosari Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah) sebesar 42 ton/(ha.thn), sedangkan pada tumpang sari sengon tua dengan kopi tua sebesar 40,8 ton/(ha.thn), dan antara sengon tua dengan kopi muda sebesar 49,2 ton/(ha.thn). Erosi ditoleransikan (diperkenankan) pada pertanaman tumpang sari sengon dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila dibandingkan erosi yang masih dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang digunakan untuk pertanaman jagung sebesar 25,2 ton/(ha.thn).

2.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Erosi

2.1.5.1. Faktor iklim

(44)

menyebabkan tanah terdispersi, selanjutnya sebahagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air (kapasitas infiltrasi).

Besarnya hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Oleh karena itu, besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter kubik per satuan luas atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air yaitu milimeter. Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau masa tertentu seperti per hari, per bulan, per tahun atau per musim.

2.1.5.2. Faktor tanah

Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan erosi tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi yang merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi; (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan.

(45)

mengikuti klasifikasi kelas erodibilitas yang diusulkan Utomo (1985), maka andosol mempunyai indeks erodibiltas sangat rendah sampai sedang. Jadi sebenarnya cukup tahan terhadap erosi yang ditimbulkan oleh pukulan air hujan dan kikisan limpasan permukaan. Tetapi karena umumnya andosol mempunyai sifat thixotropic, maka jika jenuh air (karena intensitas hujan sangat tinggi), tanahnya mudah mengalami erosi massa (creep dan slip erosion). Karena tingkat perkembangan tanahnya baru pada tingkat lemah sampai sedang.

Menurut Arsyad (2000), beberapa sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah, sedangkan kepekaan tanah terhadap erosi yang menunjukkan mudah atau tidaknya tanah mengalami erosi ditentukan oleh berbagai sifat fisika tanah.

Tekstur adalah ukuran tanah dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer bagian mineral tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi dan jika tanah tersebut dalam, erosi dapat diabaikan. Tanah-tanah bertekstur pasir halus juga mempengaruhi kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan, butir halus akan mudah terangkut. Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat.

(46)

kedua adalah adanya bahan pengikat butir-butir primer sehingga terbentuk agregat yang mantap.

Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur yang menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan tetapi kemampuan itu hanya faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran permukaan. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran, peningkatan infiltrasi dan pemantapan agregat tanah.

Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi daripada tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan.

Sifat lapisan bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi tanah adalah permeabilitas lapisan tersebut. Permeabilitas dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler dan permeabel kurang peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan permeabilitasnya rendah.

(47)

Kepekaan erosi tanah haruslah merupakan pernyataan keseluruhan sifat-sifat tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor penyebab erosi lainnya. Menurut Hodson (1992), kepekaan erosi didefinisikan sebagai mudah tidaknya tanah untuk tidak tererosi, sedangkan menurut Arsyad (2000), kepekaan erosi tanah didefinisikan sebagai erosi per satuan indeks erosi hujan untuk suatu tanah dalam keadaan standar. Kepekaan erosi tanah menunjukkan besarnya erosi yang terjadi dalam ton tiap hektar tiap tahun indeks erosi hujan, dari tanah yang terletak pada keadaan baku (standar). Tanah dalam standar adalah tanah yang terbuka tidak ada vegetasi sama sekali terletak pada lereng 9% dengan bentuk lereng yang seragam dengan panjang lereng 72,6 kaki atau 22 m. Nilai faktor kepekaan erosi tanah yang ditandai dengan huruf K, dinyatakan dalam persamaan berikut:

K= A/R, ... (2) dengan K adalah nilai faktor kepekaan erosi suatu tanah, A adalah besarnya erosi yang terjadi dari tanah pada petak standar (ton/(ha.thn)), dan R adalah EI30 tahunan. 2.1.5.3. Faktor topografi

Jika keadaan lereng di lapangan tidak sama dengan baku, maka faktor panjang lereng dan kemiringan lereng harus dikembalikan pada keadaan baku, yaitu panjang lereng 22 m dan kemiringan lereng 9 persen dengan persamaan berikut:

0,00138

2 0,00965 0,0138

L S S

(48)

Lereng yang lebih curam, selain memerlukan tenaga dan biaya yang lebih besar dalam penyiapan dan pengelolaan, juga menyebabkan lebih sulitnya pengaturan air dan lebih besar masalah erosi yang dihadapi. Di samping itu, lereng-lereng dengan bentuk yang seragam dan panjang memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan lereng-lereng pada kemiringan yang sama, tetapi mempunyai bentuk yang tidak seragam dan pendek. Pada lereng yang panjang dan seragam, air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di lereng bawah sehingga makin besar kecepatannya daripada di lereng bagian atas. Akibatnya tanah lereng bagian bawah mengalami erosi lebih besar daripada lereng bagian atas. Sebaliknya, lereng yang panjang dan tidak seragam biasanya diselingi oleh lereng datar dalam jarak pendek. Akibatnya aliran air yang terkumpul di lereng bawah tidak begitu besar dan erosi yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan lereng yang panjang dan seragam (Arsyad, 1989).

(49)

Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai suatu titik air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dengan kemiringan lereng berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng. Dengan demikian, lebih banyak air yang mengalir akan makin besar kecepatannya di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada di bagian atas. Akibatnya adalah tanah-tanah di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas. Makin panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin tinggi mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula (Wischmeier dan Smith, 1978).

2.1.5.4. Faktor vegetasi

Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, (b) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, (d) pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan (e) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air berkurang (Arsyad, 2000).

(50)

hijau atau tanaman penutup tanah lainnya, merupakan cara konservasi tanah yang sangat penting. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada tanah untuk mengimbangi periode pengrusakan tanah akibat penanaman tanaman budidaya secara terus-menerus. Keuntungan dari pergiliran tanaman adalah mengurangi erosi karena kemampuannya yang tinggi dalam memberikan perlindungan oleh tanaman, memperbaiki struktur tanah karena sifat perakaran, dan produksi bahan organik yang tinggi.

Pada lahan hutan pelaksanaan pencacahan dan pengukuran pohon merupakan hal yang paling penting dilakukan, karena dapat mengetahui atau menduga potensi suatu tegakan ataupun suatu komunitas tertentu pada hutan tersebut, diameter pohon merupakan dimensi pohon yang sangat penting dalam pendugaan potensi pohon dan tegakan. Data diameter bukan hanya diperlukan untuk menghitung nilai luas bidang dasar suatu tegakan melainkan juga dapat digunakan untuk menentukan volume pohon dan tegakan, berguna dalam pengaturan penebangan dengan batas diameter tertentu serta dapat digunakan untuk mengetahui struktur suatu tegakan hutan (Novarianti, 2009).

2.1.5.5. Faktor manusia atau tindakan konservasi (P)

(51)

terbatas, antara lain dengan (a) luas tanah pertanian yang diusahakan, (b) tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, (e) harga hasil usaha tani, (f) perpajakan, (g) ikatan hutang, (h) pasar dan sumber keperluan usahatani, dan (i) infrastruktur dan fasilitas kesejahteraan (Arsyad, 2000).

Rencana konservasi tanah harus mempertimbangkan keterbatasan atau hambatan dalam pemanfaatan tanah disamping faktor-faktor yang bersifat mendukung program konservasi. Faktor penting yang harus dilakukan dalam usaha konservasi tanah, yaitu teknik inventarisasi dan klasifikasi bahaya erosi dengan tekanan daerah hulu (upstream area). Untuk menentukan tingkat bahaya erosi suatu bentang lahan diperlukan kajian terhadap empat faktor, yaitu jumlah, macam dan waktu berlangsungnya hujan serta faktor-faktor yang berkaitan dengan iklim, jumlah dan macam tumbuhan penutup tanah, tingkat erodibilitas di daerah kajian, dan keadaan kemiringan lereng (Asdak, 1995)

(52)

Pada pengolahan lahan menurut kontur, pembajakan dilakukan menurut kontur atau memotong lereng, sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur menurut kontur. Pengolahan lahan menurut kontur akan lebih efektif apabila diikuti dengan penanaman menurut kontur pula, yaitu larikan tanaman dibuat sejajar dengan kontur.

Efek utama pengelolaan menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Oleh karena itu, di daerah kering, pengolahan menurut kontur sangat-sangat efektif dalam pengawetan air.

Teras adalah suatu bangunan pengawetan tanah dan air secara mekanis yang dibuat untuk memperpendek lereng dan atau memperkecil kemiringan, dan merupakan suatu metode pengendalian erosi dengan membangun semacam saluran lebar melintang lereng tanah. Pengelolaan lahan dengan kontur tanah pertanian selalu dikombinasikan dengan teras. Karena penterasan memerlukan investasi tambahan dan menyebabkan perubahan dalam prosedur bertani maka tindakan penterasan hanya dipertimbangkan di mana tindakan pertanaman atau pengelolaan tanah lainnya, sendiri-sendiri atau bersama, tidak memberikan pengendalian yang cukup.

(53)

Di dalam perencanaan teras, diperlukan berbagai pertimbangan khusus, antara lain keadaan tata guna lahan pada daerah yang bersangkutan, pembuatan saluran pembuangan (outlet), penentuan tata letak teras (terrace lay-out) dan rencana pertanian yang diusahakan.

Berdasarkan fungsinya, teras dibedakan kedalam dua jenis, yaitu: teras intersepsi (interseption terrace), dan teras disversi (diversion terrace). Pada teras intersepsi, aliran permukaan ditahan oleh saluran yang memotong lereng, sedangkan pada teras disversi berfungsi untuk mengubah arah aliran sehingga tersebar ke saluran lahan dan tidak terkonsentrasi kesuatu tempat. Menurut bentuknya teras dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu teras kredit, teras guludan, teras datar, teras bangku, teras kebun dan teras individu (Hardjoamidjojo dan Sukandi, 2008).

(54)

tidak terjadi (erosi tidak melebihi erosi yang ditoleransikan) (Sinukaban, Suwardjo dan Barus, 2007).

Erwiyono (2008) menyebutkan bahwa dalam mengendalikan kesuburan fisik tanah pada pertanaman kopi di lahan miring dapat dilakukan dengan pembuatan rorak yang ke dalamnya dibenamkan bahan organik sisa tanaman (mulsa vertikal). Dengan cara ini permeabilitas tanah dapat meningkat dari 3,69 cm/jam (pada perlakuan mulsa secara tebar) menjadi 24,24 cm/jam pada perlakuan mulsa yang dibenamkan kedalam rorak sedalam 30-45 cm. Dengan demikian, tanah dapat lebih banyak menyerap air sehingga limpasan permukaan menjadi sangat kecil dan erosi dapat terkendali.

Pertanaman jeruk di Taiwan pada kemiringan lereng 28% yang diperlakukan dengan teknik konservasi berupa teras bangku datar dapat meniadakan erosi sama sekali (erosi = 0,0 ton/(ha.thn)) dari erosi sebesar 156,4 ton/(ha.thn) pada pertanaman jeruk dengan pengolahan tanah bersih. Pada perlakuan konservasi tanah yang lain seperti teras bangku miring menghasilkan erosi 6,54 ton/(ha.thn), penanaman rumput bahia rapat disertai pemberian mulsa erosinya sebesar 0,94 ton/(ha.thn) dan penanaman rumput bahia dalam strip di sertai pemberian mulsa erosinya hanya 2,8 ton/(ha.thn) (Liao and Wu dalam Haryati, 2008).

(55)

padi gogo-jagung-sayuran yang tidak diberi tindakan konservasi tanah menyebabkan erosi sebesar 136 ton/(ha.thn) sedangkan pada pola pertanaman yang sama yang disertai teknik konservasi berupa teras gulud, erosinya dapat ditekan menjadi 89 ton/(ha.thn).

2.1.6. Laju Erosi Ditoleransikan (T)

Laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman/tumbuhan yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan yang diberi lambang T. Batas tertinggi erosi yang masih dapat dibiarkan kadang-kadang dapat juga ditetapkan dengan tujuan utama untuk pengendalian kualitas air atau untuk mengendalikan laju pendangkalan waduk (Arsyad, 2006).

Besarnya erosi ditoleransikan (T) secara sederhana dapat dikatakan bahwa tidak boleh melebihi proses pembentukan tanah. Sebagai bahan perbandingan ditentukan laju erosi yang masih dapat ditoleransikan untuk setiap penggunaan lahan yang sedang diukur tingkat bahaya erosinya (Utomo, 1989).

2.1.7. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

(56)

Tingkat bahaya erosi pada dasarnya dapat ditentukan dari perhitungan nisbah antara laju erosi tanah (A) dengan laju erosi erosi yang masih ditoleransikan.

Batas Toleransi Erosi adalah batas maksimal besarnya erosi yang masih diperkenankan terjadi pada suatu lahan. Besarnya batas toleransi erosi dipengaruhi oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim, dan permeabilitas tanah. Evaluasi bahaya erosi merupakan penilaian atau prediksi terhadap besarnya erosi tanah dan potensi bahayanya terhadap sebidang tanah. Evaluasi bahaya erosi ini didasarkan dari hasil evaluasi lahan dan sesuai dengan tingkatannya. Menurut Arsyad (2000) evaluasi bahaya erosi atau disebut juga tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan perbandingan antara besarnya erosi tanah aktual dengan erosi tanah yang dapat ditoleransikan (tolerable soil loss). Untuk mengetahui kejadian erosi pada tingkat membahayakan atau suatu ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat diketahui dari tingkat bahaya erosi dari lahan tersebut.

Tingkat Bahaya Erosi dikategorikan ke dalam sangat ringan hingga sangat berat. Pada tanah dengan solum dalam (kedalaman >90 cm) seperti pada wilayah kajian, tingkat bahaya erosi dikatakan sangat ringan (SR) bila jumlah erosi < 15 ton/(ha.thn), ringan (R) bila jumlah erosi antara 15-60 ton/(ha.thn), sedang (S) bila jumlah erosi 60-180 ton/(ha.thn), berat (B) bila jumlah erosi 180-480 ton/(ha.thn) dan sangat berat (SB) bila erosinya > 480 ton/(ha.thn) (Saptarini, dkk, 2007).

(57)

Erosi ditoleransikan (diperkenankan) pada pertanaman tumpang sari sengon dengan kopi di wilayah tersebut cukup tinggi bila dibandingkan erosi yang masih dapat diperkenankan pada lahan tegalan yang digunakan untuk pertanaman jagung sebesar 25,2 ton/(ha.thn) (Supangat dan Savitri, 2001).

2.2. Kondisi Umum DAS Wampu

Secara geografis Daerah Aliran Sungai Wampu terletak antara 02º58’51”– 04º36’00” Lintang Utara dan 97º 48’ 03” – 98º38’50” Bujur Timur dengan luas sekitar 410714,75 hektar atau 4107,15 Km2 (BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008). Sedangkan menurut administratif terletak di Kabupaten Langkat, Karo, Deli Serdang, Simalungun dan Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara (Gambar 2), dengan batas-batas wilayah sebagai berikut (Misran, 2008; BP-DAS Wampu Sei Ular, 2008): Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka

Sebelah Selatan berbatas dengan DAS Lau Renun dan DTA Danau Toba Sebelah Timur berbatas dengan DAS Belawan, Deli, Percut dan Ular Sebelah Barat berbatas dengan Provinsi NAD

(58)

Wilayah kecamatan yang masuk ke dalam DAS Wampu meliputi 16 kecamatan di Kabupaten Karo, 11 kecamatan di Kabupaten Langkat, 2 kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, 2 kecamatan di Kabupaten Simalungun, dan 5 kecamatan di Kota Binjai (Tabel 1).

Sementara wilayah kecamatan yang masuk ke dalam Sub DAS Lau Biang sebanyak 19 kecamatan dengan luas wilayah masing-masing sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Dari segi kemiringan lereng, bentuk lahan dominan di DAS Wampu adalah agak curam hingga sangat curam (kemiringan > 26%) selaus 282.179,86 hektar atau 68,7% dari luas DAS Wampu. Bentuk kemiringan lereng lainnya berikut luasnya disajikan pada Tabel 3.

(59)

3. Hinai

Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008)

Tabel 2. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang

Kecamatan Luas (Ha) % dari luas Sub DAS Lau Biang

11. Namanteran 7523,418 7,98

12. Munthe 7901,312 8,38

13. Payung 3071,953 3,26

14. Tiganderket 9283,204 9,85

15. Kuta Buluh 2863,562 3,04

16. Tiga Binanga 2185,782 2,32

17. Kutalimbaru 1,374 0,001

18. Salapian 24,847 0,03

19. Sei Bingei 49,473 0,05

Luas Sub DAS Lau Biang 94.250,454 100,00 Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008).

(60)

Curah Hujan di kawasan Daerah Aliran Sungai Wampu antara 1.154,5 mm/thn sampai 4.127,2 mm/tahun. Debit sungai di DAS Wampu sebesar 180 m³/detik. Sedangkan penutupan lahan (Land Cover) DAS Wampu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Kelas Kemiringan Lereng di Kawasan DAS Wampu

No Lereng (%) Bentuk Lahan Ha %

1 < 2 Datar 30851,025 7,51

2 2 – 8 Landai 27809,410 6,77

3 9-15 Bergelombang 67114,834 16,34

4 16-25 Berbukit 2759,617 0,67

5 26-40 Agak Curam 104853,056 25,53

6 41-60 Curam 77465,902 18,86

7 > 60 Sangat Curam 99860,902 24,31

Jumlah 410714,747 100,00

Sumber: BP-DAS Wampu Sei Ular (2008).

Permasalahan khusus di DAS Wampu antara lain adalah:

(1) Banyaknya penggarapan-penggarapan liar di era reformasi, sehingga banyak lahan hutan yang rusak dan beralih fungsi di daerah hulu saat ini, sehingga dapat menimbulkan besarnya sedimentasi di daerah hilir;

(2) Pola usaha tani yang kurang mengikuti kaedah konservasi tanah di Sub DAS Lau Biang (tanaman hortikultural) Kabupaten Karo;

(61)

Tabel 4. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Setiap Sub DAS dalam Kawasan DAS Wampu

No Sub Das Penggunaan Lahan Ha %/Kec.

1 Lau Biang Belukar 985,451 1,05

Danau/air 123,127 0,13

Hutan Tanaman Industri 1069,320 1,13

Hutan lahan kering sekunder 9710,761 10,30

Pemukiman 504,698 0,54

Pert. lahan kering campur semak 805,643 0,85

Pertanian lahan kering 80169,822 85,06

Sawah 567,371 0,60

Terbuka 314,261 0,33

94.250,454 100,00

2 Sei Bingei Belukar 2706,732 3,42

Hutan lahan kering sekunder 12589,229 15,93

Pemukiman 3605,944 4,56

Perkebunan 11830,809 14,97

Pert. lahan kering campur semak 30411,443 38,47

Pertanian lahan kering 15494,856 19,60

Rawa 20,249 0,03

Sawah 1711,881 2,17

Terbuka 675,768 0,85

79046,911 100,00

3 Wampu Hilir Belukar 2199,217 6,72

Hutan belukar rawa 5111,674 15,61

Hutan mangrove sekunder 18,732 0,06

Pemukiman 1222,289 3,73

Perkebunan 4234,642 12,94

Pert. lahan kering campur semak 7914,319 24,17

Pertanian lahan kering 5960,24 18,21

Rawa 261,864 0,80

Hutan lahan kering primer 40837,661 19,95

Hutan lahan kering sekunder 63941,95 31,24

Pemukiman 389,488 0,19

Perkebunan 24605,028 12,02

Pert. lahan kering campur semak 43683,562 21,34

Pertanian lahan kering 17639,344 8,62

Sawah 2444,487 1,19

Terbuka 1247,592 0,61

204679,854 100,00 Total DAS Wampu 410714,747

Gambar

Gambar 1. Laju Deforestasi Versus Laju Rehabilitasi (Hutabarat, 2008)
Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan, Kabupaten dan Kota yang Masuk ke dalam DAS Wampu
Tabel 2. Luas wilayah kecamatan pada Sub DAS Lau Biang
Tabel 3. Kelas Kemiringan Lereng di Kawasan DAS Wampu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Interaksi antara kedua perlakuan itu juga menurunkan erosi dengan nyata dan yang paling rendah adalah pada P2C2 yaitu dengan 0.96 mm/th (setara 11.58 ton/ha/th) dibanding

Setelah dilakukan perhitungan menggunakan analisa USLE diperoleh nilai erosi pada DAS Amprong sebesar 378.507,4374 ton/ha/tahun dan besarnya nilai erosi pada DAS Amprong

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Bahaya erosi permukaan (ton/ha/tahun) di Sub DAS Lau Padung Kecamatan Namorambe (2) Erosi terbolehkan pada lahan pertanian di Sub DAS

Tesis yang berjudul “Kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lahan Perkebunan di Hulu DAS Batang Pane Kabupaten Padang Lawas Utara”.. Penulisan tesis ini tidak akan terselesaikan

Erosi ini terutama disebabkan oleh konversi lahan hutan ke bukan hutan, pengelolalaan lahan pertanian kurang atau tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air, dan

Hasil perhitungan prediksi laju erosi dengan metode RUSLE menunjukkan laju erosi yang paling rendah terjadi pada satuan lahan D2-I-ST yaitu sebesar 4,51 ton/ha/tahun

Berdasarkan Tabel 5, hasil analisis erosi tanah (A) dari yang terendah pada lahan perkebunan kakao pada kemiringan 15-25% sebesar 9,26 ton/ha/thn sedangkan erosi

Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2002 (BPLHD-Jawa Barat, dalam Haryanto 2007) besarnya ba- haya potensi erosi untuk DAS Citarum Hulu dapat diprediksi menggunakan