• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Di Kawasan Pantai Studi Di Kecamatan Medan Belawan"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN

PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN TANAH

DI KAWASAN PANTAI

STUDI DI KECAMATAN MEDAN BELAWAN

T E S I S

Oleh

EDI SAHPUTRA

057011023/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS

SUMATERA

UTARA

(2)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN

PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN TANAH

DI KAWASAN PANTAI

STUDI DI KECAMATAN MEDAN BELAWAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

EDI SAHPUTRA

057011023/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS

SUMATERA

UTARA

(3)

Judul Tesis : TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN TANAH DI KAWASAN PANTAI ( STUDI DI KECAMATAN MEDAN BELAWAN)

Nama Mahasiswa : Edi Sahputra Nomor Pokok : 057011023 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM) (Notaris Syafnil Gani, SH.,MHum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 14 April 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM 2. Notaris Syafnil Gani, SH.,MHum 3. Dr. Sunarmi, SH, MHum

(5)

ABSTRAK

Keberadaan kawasan pantai sangat urgen dilihat dari sudut ekonomi dan politik, karena selain merupakan pintu gerbang menuju lautan apabila hendak mengesploitasi kekayaan alam, juga merupakan pintu gerbang ke daratan sehingga berkaitan dengan pertahanan negara. Kawasan pantai merupakan kawasan penting dalam penguasaan dan penggunaan tanahnya karena dapat dimanfaatkan untuk tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan dapat juga difungsikan untuk kepentingan yang lebih tinggi, antara lain menyangkut masalah lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan, Untuk itu perlu pengaturan terhadap aspek penguasaan dan penggunaan dari kawasan pantai baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, aturan yang ada memungkinkan tanah dalam kawasan lindung (kawasan pantai) dapat dikuasai dan berikan hak atas tanah, asal penggunaan dan pemanfaatannya sesuai dengan fungsi kawasan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dilakukan pengkajian mengenai pelaksanaan pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan pantai, khususnya yang terdapat di Kecamatan Medan Belawan. Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian ini bersifat deskriptif

kualitatif, dengan metode pendekatan yuridis normatif yang mengacu kepada

peraturan perundang-undangan dan dianalisis dengan kenyataan di lapangan, dengan mengambil sumber data dari data sekunder. Berdasarkan hal penelitian menunjukkan bahwa :

1. Pelaksanaan penguasaan tanah pada kawasan pantai di Kecamatan Medan Belawan, ditemui adanya bukti-bukti penguasaan seperti Hak Pengelolaan (HPL) namun tidak sepenuhnya dikuasai pemegang hak, juga terdapat Hak Milik atas nama warga setempat, ada KLD yang tanahnya tidak dikuasai, ada SKT yang diterbitkan Camat Medan Belawan, juga ada penguasan tanah yang hanya didasarkan pada surat di bawah tangan.

2. Pelaksanaan penggunaan tanah ditemui adanya penggunaan tanah untuk

kepentingan pelabuhan yang semula ditetapkan seluas 2.217,95 Ha namun yang digunakan PT. Pelindo sebagai pemegang HPL hanya seluas 423,15 Ha, ada juga untuk fasilitas markas/perkantoran instansi pemerintah, untuk tambak, pemukiman serta untuk jemuran ikan/udang.

(6)

Terhadap hal tersebut di atas, maka disarankan agar aspek penguasaan dan penggunaan tanah menjadi pertimbangan penting dalam pemberian hak atas tanah pada kawasan pantai dengan tetap memperhatikan fungsi kawasan dan kelestarian lingkungan dan untuk masyarakat yang benar-benar menguasai dan menggunakan tanah di kawasan pantai disarankan untuk dapat diberikan hak atas tanah di atas HPL.

(7)

ABTRACT

The existence of coastal area is very urgent in economic and politic perspective, becouse in addition to be a gate toword sea for exploiting the natural resources, itu will be also a gate terrestrial area thus related to the state defense. The coastal area is very importand in land utilization and use becouse it can be used as places in wich the activities of communities can be done to meet their life needs and also to be functioned for a higher level of importance, including the problem of life environment, defense, and security. For the purpose, there should be regulation on aspects of coastal area utilization and use for government and community’s interest. In order to meet the life needs of community, the existing rule allows for land in coastal area (conserved area) to be utilized and entitled some rights on the land, provided that the use and utilization of it must be consistent with areal function. Thus, the assessment on regulatory implementation of land utilization and use in coastal area, particularly in subdistrict of Medan Belawan, has been made.

This was a qualitatative descriptive method of the reseach, by normative yuridic approach making references on the laws or statuaries and analyzed according to the real situation of fiels, and taking secondary data. The result of research indicated thet :

1. The implementations of land utilization and use in coastal area Subdistrict of Medan Belawan has proven, that there has been utilization such as rights of cultivation or management, however it was not controlled completely by the rightholder, and also there was rights of property on the name local people, there was KLD without control of land, there was SKT issued by the reagent of Medan Belawan subdistrict, and there was also land utilization merly based on underhand refernce.

2. In implementation of land use, there was land use for interest of seaport that was initially stipulated for 2.217,95 Ha, however PT. Pelindo, as HPL holder, just used 423,15 Ha, some of them was also for headquarter facility/public instance stations, for fishing area, settlement and fish/shirimp drying areas.

(8)

To consider the situations above, it is suggested thet the aspects of land utilization and use has become ana importand consideration in imposition of land rights in coastal area by constantly noticing the areal function and enveronment preservation, and the peoples controlling and using the land actually in coastal areas should be given land rights on HPL.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT. karena berkat

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan

judul “Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan dan Penggunaan

Tanah di Kawasan Pantai (Studi di Kecamatan Medan Belawan)”. Penulisan

tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar

Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang

mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat

terpelajar Bapak Prof. Dr. Mhd. Yamin, SH,MS,CN, Bapak Syafruddin Hasibuan,

SH,MH,DFM dan Bapak Notaris/PPAT Syahnil Gani, SH., MHum, selaku Komisi

Pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk

kesempurnaan penulisan tesis ini.

Demikian juga diucapkan terima kasih kepada Bapak-Bapak Dosen Penguji

yang telah memberikan masukan, koreksi yang kontruktif dalam penyempurnaan

Tesis ini sejak kolokium, seminar hasil hingga ujian meja hijau.

Tidak lupa diucapkan terima kasih khusus kepada keluarga Penulis, istri tercinta

dr. Nur Handayani, anak-anak tersayang Muhammad Faza Al faridzi Nasution, Nasywa Syaila Nabila Nasution, orang tua yang terhormat dan Saudara-Saudara

yang budiman yang telah memberikan dorongan semangat, panjatan doa dan

kesetiaan berkorban dalam merelakan waktu yang seharusnya dapat berkumpul

dengan keluarga tetapi terpaksa tersita dengan kesibukan Penulis menuntut ilmu

(10)

Dalam penulisan Tesis ini, sepenuhnya Penulis menyadari bahwa hasil yang

dicapai ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan kerendahan hati Penulis

mengharapkan kritikan dan masukan yang positif demi kesempurnaan Tesis ini.

1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister

Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta

seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga

dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program

Magister Kenotariatan (M.Kn), dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A,SH, CN,

Mhum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Pada Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister

Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah

mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister

Kenotariatan.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Sari,

Lisa, Bang Aldi, Mai Rizal, Afni dan lain-lain, yang selalu membantu

kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Rekan-rekan Mahasiswa pada Program Magister kenotariatan dan semua pihak

yang turut membantu yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang

(11)

7. Bapak Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan beserta Staf dan Camat Medan

Belawan dan Lurah yang telah memberikan bantuan dalam melaksanakan

penelitian Tesis ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari ALLAH SWT, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada

kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,

namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan

manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum pada umumnya

khususnya di bidang hukum keperdataan.

Medan, Juni 2009

Penulis,

(12)

RIWAYAT HIDUP

I. Indentitas Pribadi

Nama : Edi Sahputra

Tempat/Tgl Lahir : Labuhan Batu, 11 September 1969

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : jl. Kapten M.Jamil Lubis No.157

II. Keluarga

Nama Istri : dr. Nur Handayani

Nama Ayah : Alm.H. Abd. Hakim Nasution

Nama Ibu : Hj. Hafsyah Dalimunthe

Nama Anak : 1. Muhammad Faza Al faridzi Nasution

2. Nasywa Syaila Nabila Nasution

III. Pendidikan

1. SD Negeri Inpres 064976 Medan

2. SMP Negeri 15 Medan

3. SMA Negeri 13 Medan

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area thn 1989-1996

5. S-2 Program Studi Magiter Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjan

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ………. iii

KATA PENGANTAR ………. v

RIWAYAT HIDUP ………. vi

DAFTAR ISI ……… ix

DAFTAR TABEL ……… xi

DAFTAR SINGKATAN ………. xii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Permasalahan ...……….. 1

B. Perumusan Masalah ………. 14

C. Tujuan Penelitian ………. 14

D. Manfaat Penelitian ………... 15

E. Keaslian Penelitian ………... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi .………. 16

(14)

BAB II PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH PADA KAWASAN

PANTAI DI KECAMATAN BELAWAN ……… 45

A. Gambaran Lokasi Penelitian ………. 45

B. Pengaturan Penguasaan Tanah ……….. 50

C. Pelaksanaan Pengaturan Penguasaan Tanah ………. 57

D. Bukti Penguasaan Tanah ………... 76

BAB III PELAKSANAAN PENGGUNAAN TANAH PADA KAWASAN PANTAI DI KECAMATAN BELAWAN ……….. 87

A. Pengaturan Penggunaan Tanah ………. 87

B. Pelaksanaan Pengaturan Penggunaan Tanah ……… 96

C. Penggunaan Kawasan Pantai Untuk Pariwisata ... 105

BAB IV KENDALA DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH PADA KAWASAN PANTAI DAN UPAYA MENGATASINYA ………... 109

A. Pemberian Hak Atas Tanah ……….. 109

B. Kendala Yang Ditemui ………. 121

C. Upaya Mengatasinya ……… 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 131

A. Kesimpulan ………... 131

B. Saran-saran ……… 133

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Data Penerbitan SKT di Kecamatan Belawan ………. 66

2. Data Bukti Penguasaan Tanah di Kawasan Pantai di Belawan …… 85

(16)

DAFTAR SINGKATAN

Adpel : Administratur Pelabuhan

BPN : Badan Pertanahan Nasional

BHMC : Badan Hukum Milik China

BPHTB : Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan

BPD : Badan Perwakilan Desa

Lantamal : Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut

KLD : Keterangan Labuhan Deli

KP3 : Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan

KEK : Kawasan Ekonomi Khusus

Keppres : Keputusan Presiden

KUHP : Kitab Undang Undang Hukum Perdata

PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap

PBB : Pajak Bumi dan Bangunan

Pelindo : Pelabuhan Indonesia

PP : Peraturan Pemerintah

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

RUTRW : Rencana Umum Tata Ruang Wilayah

RHTKP : Ruang Hijau Terbuka Kawasan Perkotaan

Satpol Air : Satuan Polisi Perairan

SKT : Surat Keterangan Tanah

SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

SPOPP : Standar Pengaturan Operasional Pelayanan Pertanahan

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Kawasan pantai merupakan pintu gerbang menuju lautan. Lautan itu sendiri

menyimpan kekayaan alam yang menjadi asset suatu negara. Bahkan seperti

dinyatakan oleh Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin, diperkirakan terdapat 60

hingga 70 persen asset negara yang berada di laut, seperti sumber daya alam dan harta

karun yang masih tersimpan di dalam lautan Indonesia.1

Untuk menuju lautan tersebut, maka keberadaan kawasan pantai sangat urgen

dilihat dari sudut ekonomi, karena ketika hendak mengeksploitasi kekayaan alam

yang ada di lautan, kawasan pantai terlebih dahulu harus dilalui.

Di samping itu, kawasan pantai juga merupakan pintu masuk ke daratan.

Pihak luar dapat memasuki daratan malalui kawasan pantai, baik dalam rangka

penyusupan, penyeludupan maupun serangan, sehingga secara politik, kawasan pantai

sangat penting dalam kaitannya dengan pertahanan negara.

Oleh karena pentingnya keberadaan kawasan pantai, maka perlu pengaturan

lebih lanjut terhadap aspek penguasaan/pemilikan dan penggunaan/pemanfaatan

bidang-bidang tanah yang ada di kawasan pantai, sehingga tercapai tujuan

pemanfaatan kawasan pantai baik secara ekonomi maupun secara politik.

1

Harian Analisa, terbitan tanggal 7 Nopember 2008, hal. 4 dengan judul “Gubsu : 60 Hingga

(18)

Pengaturan terhadap penguasaan dan penggunaan tanah yang ada di kawasan

pantai mengacu kepada pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah pada

umumnya, baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan rakyat. Dalam

hal ini kepentingan rakyat berkaitan dengan hak-hak yang dapat dimiliki atau dapat

diberikan oleh Negara kepada rakyatnya atas obyek tertentu.

Menyangkut hak-hak rakyat tersebut, konstitusi Negara menjamin adanya

hak-hak dasar rakyat, tidak hanya terhadap hak-hak atas tanah tetapi juga terhadap

hak-hak dasar lainnya yang memang diemban oleh rakyat dan wajib dilindungi oleh

negara.

Hak-hak dasar merupakan kondisi dasar yang harus ada dan tersedia dalam

kehidupan, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Hak-hak dasar yang lahir

oleh karena proses kesejahteraan dan proses perjalanan bangsa selama ini yang

mewujud dalam banyak hal, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan,

rasa aman, rasa nyaman, kebebasan, keadilan dan dalam berbagai bentuk lainnya.

“Hampir semua hal yang berkaitan dengan hak-hak dasar rakyat langsung atau tidak langsung berkaitan dengan persoalan pertanahan. Hak-hak dasar rakyat yang mewujud dalam bentuk keadilan, misalnya seperti tidak berkaitan dengan pertanahan, tetapi karena tanah dan pertanahan merupakan sumber-sumber utama kemakmuran, sumber-sumber utama ekonomi dan bahkan politik, maka pengaturan penataan, penguasaan dan pemilikannya menjadi indikator penting dari keadilan”. 2

(19)

Menyangkut masalah pertanahan yang disebut sebagai sumber-sumber utama

kesejahteraan dan menjadi indikator penting dari keadilan dikonstatir dalam Pasal 33

ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Penggunaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemanfaatannya semata-mata untuk

mensejahterakan rakyat sekaligus dengan memperhatikan aspek keadilan yang

ditunjukkan dari kata "sebesar-besarnya", artinya hasil dari penggunaan dan

pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam tersebut bukan untuk perseorangan atau

kelompok tertentu tetapi untuk rakyat banyak.

Selanjutnya kebijakan di bidang pengelolaan bumi, air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (sumber daya agraria) diatur dalam

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

atau disebut juga dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), kemudian

ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam berbagai peraturan-perundangan

yang bersifat organik, baik dalam bentuk Undang-undang, peraturan pemerintah,

keputusan presiden, peraturan menteri dan lain-lain.

Pasal 2 UUPA mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh

(20)

bawahnya serta yang berada di atasnya, pengertian air adalah perairan pedalaman

maupun laut wilayah Indonesia, sedang pengertian ruang angkasa adalah ruang di

atas bumi dan di atas perairan.

Lingkup permukaan bumi tersebut meliputi tanah yang ada di seluruh

Indonesia sesuai dengan konsep kesatuan seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan

tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, maksudnya tanah tidak semata-mata hak dari

pemiliknya tetapi juga merupakan hak bersama rakyat Indonesia yang merupakan

semacam hubungan hak ulayat Bangsa Indonesia.3

Kemudian Pasal 4 UUPA menentukan bahwa atas dasar hak menguasai dari

negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam

hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum

(subyek hak).

Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah

yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan

peraturan perundangan.

Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara

kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat

digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.4

3 Lutfi I Nasution, Pembaruan Agraria Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi, Makalah disampaikan pada Seminar "Reformasi Kembar Hukum dan Ekonomi", dalam rangka Dies Natalis ke-52 USU, Medan, 14 Agustus 2004, hal. 9

(21)

Oleh karena itu secara konsepsional, seluruh permukaan bumi (tanah) yang

ada di seluruh wilayah Indonesia dapat diberikan hak-hak atas tanah kepada setiap

warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Namun dalam tataran operasionalnya, hak-hak atas tanah tidak dapat

diberikan untuk seluruh permukaan bumi di seluruh Indonesia, karena sejak tahun

1967 terjadi perceraian beberapa sektor dari yang semula diatur dalam UUPA, yakni

ketika diterbitkan beberapa ketentuan sektoral seperti Undang-undang Nomor 5 tahun

1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang

Ketentuan-ketentuan Pertambangan (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 22

tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi), Undang-undang Nomor

11 Tahun 1974 tentang Pengairan (telah diubah dengan Undang Undang Nomor 7

tahun 2004), Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (telah

diubah dengan Undang Undang Nomor 26 tahun 2007) yang diharapkan sebagai

suatu undang-undang yang akan disinkronkan seluruh kegiatan yang berkaitan

dengan bumi, air dan ruang udara.5

(22)

Di samping itu sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPA bahwa terdapat

pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah untuk kawasan tertentu berdasarkan

rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaannya, baik yang

disusun perencanaannya oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk :

a) keperluan negara;

b) keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya;

c) keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan

lain-lain kesejahteraan;

d) keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan

perikanan serta sejalan dengan itu; dan e) keperluan memperkembangkan

industri, transmigrasi dan pertambangan.

Perencanaan yang bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian,

peternakan, perikanan, industri dan pertambangan tersebut mengisyaratkan

dilakukannya pengaturan terhadap daerah-daerah tertentu guna keperluan

memperkembangkan usaha tersebut di atas. Salah satu daerah atau kawasan yang

dapat disediakan untuk keperluan memperkembangkan usaha pertanian, peternakan,

perikanan, industri dan pertambangan dan untuk keperluan pembangunan lainnya

(23)

Kawasan/garis pantai tersebut berdasarkan data yang ada, untuk seluruh

wilayah ndonesia mencapai 81.800 km dan termasuk salah satu garis pantai yang

paling panjang di dunia.6

Kawasan pantai tersebut menurut Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 24

tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebut sebagai sisi darat dari garis laut terendah

dan merupakan bagian dari ruang daratan.

Kawasan sepanjang pantai merupakan kawasan penting dalam penguasaan

dan penggunaan tanahnya karena selain dapat dimanfaatkan untuk tempat melakukan

kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan seperti usaha pertanian, peternakan,

perikanan/tambak, industri dan pertambangan, sumber energi, tempat penelitian dan

percobaan, kawasan pariwisata juga dapat difungsikan untuk kepentingan yang lebih

tinggi, antara lain menyangkut masalah lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan

atau kepentingan masyarakat setempat khususnya nelayan.

Sedang di sisi lain, kawasan pantai juga tidak tertutup kemungkinan ada yang

hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau hilang karena longsor

atau karena pengerukan laut, tertimbun atau gempa bumi (tsunami) atau sebaliknya

dapat saja bertambah luas karena munculnya tanah timbul akibat gelombang laut,

selain itu, kawasan pantai juga dapat ditimbun (reklamasi) untuk kepentingan

tertentu.

6 Andik Hardiyanto, Pembaruan Agraria di Sektor Perairan dalam Tim Lapera, Prinsip-prinsip

Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, (Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama,

(24)

Bahkan belakangan ini muncul kecendrungan "pengkaplingan" kawasan

pantai oleh masyarakat nelayan kampung, juga pengkaplingan untuk proyek

perumahan di kawasan pantai, proyek pengembangan energi (PLTGU, misalnya),

sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem pantai seperti habisnya hutan

mangrove.7

Bila diperhatikan di lapangan maka secara kasat mata di kawasan pantai yang

merupakan hutan mangrove di Kecamatan Medan Belawan saat ini banyak ditemukan

penimbunan rawa-rawa hutan mangrove tersebut oleh berbagai pihak, baik yang

dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha, seperti penimbunan yang dilakukan

untuk pembangunan pompa bensin, gudang dan lain-lain.

Dalam hal ini tentu dapat dipersoalkan mengenai penimbunan tersebut

terhadap status tanahnya dan arahan penggunaannya, sebab secara umum hutan

mangrove termasuk dalam kategori hutan lindung yang tidak dapat dikuasai dan

diusahai karena berfungsi sebagai kawasan lindung dalam rangka menjaga kelestarian

ekosistem lingkungan di sekitarnya.

Mengingat urgennya fungsi dan manfaat kawasan pantai yang sebagian dapat

dimanfaatkan sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia

namun sekaligus pemanfaatan yang tidak terencana dapat merusak ekosistem

sehingga perlu perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di sekitarnya, maka

berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32

tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, ditentukan bahwa kawasan/

(25)

sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung atau kawasan perlindungan

setempat.8

Pada Pasal 13 Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dinyatakan bahwa

perlindungan sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari

kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai.

Semula oleh UUPA tidak ada diatur mengenai sempadan pantai tersebut

apakah dapat diberikan hak-hak atas tanah, selanjutnya berdasarkan Pasal 60

Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai dinyatakan bahwa pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai9 atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau

atau berbatasan dengan pantai akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni

1997, antara lain dinyatakan bahwa permohonan hak atas tanah yang seluruhnya

merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai untuk tidak dilayani sampai

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut.

8 Lihat juga Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan tanah yang menegaskan bahwa sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung/kawasan perlindungan setempat.

9

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 UUPA),

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah

(26)

Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 500-1698 Tanggal 14 Juli 1997 antara lain dinyatakan

bahwa permohonan ijin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang berbatasan

dengan pantai masih dimungkinkan diproses yang dilakukan secara hati-hati dan

selektif dan permohonan yang diajukan setelah tanggal 3 Juli 1997 agar dilaporkan

kepada Menteri untuk mendapat petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.

Ketentuan yang lebih tegas diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pentagunaan Tanah yang menyebutkan

bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya

dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan, dengan catatan

sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004

penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus

sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh

mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan ekosistem alami.

Bahkan secara khusus dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun

2004 diatur bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan

bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan

waduk dan atau sempadan sungai harus memperhatikan :

a) kepentingan umum dan

b) keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan

(27)

Dalam hal ini penguasaan atas tanah menjadi faktor penting untuk dapat

memanfaatkan dan menggunakan tanahnya, namun dalam penggunaan tanah tersebut

ada aturan yang membatasi kewenangan dari yang menguasai tanah tersebut.

AP Parlindungan menyatakan, “dikuasai” dan “dipergunakan” harus

dibedakan, dalam arti bahwa dipergunakan itu sebagai tujuan daripada dikuasai dan

kedua kata tersebut tidak ada sangkut pautnya dalam hubungan sebab akibat.10

Sekalipun dinyatakan bahwa dipergunakan sebagai tujuan daripada dikuasai,

namun pengertian tersebut berbeda antara konsepsi yang dianut oleh Pemerintah

melalui peraturan perundangan dengan pengertian yang dianut oleh masyarakat,

dalam hal ini masyarakat memandang bahwa apabila sebidang tanah dikuasainya

maka penggunaannya juga sesuai dengan kepentingannya.

Hal ini dapat dimengerti karena sejak dahulu terdapat perbedaan antara

perasaan hukum rakyat dan kesadaran hukum penguasa atas tanah. Perselisihan

mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum telah terjadi karena

pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah.11

Dalam kaitan ini, peraturan perundang-undangan memandang

diperkenankannya diberikan hak atas tanah pada kawasan pantai asal disesuaikan

penggunaannya dengan fungsi kawasan yakni sebagai kawasan lindung, sedang

masyarakat beranggapan bahwa penguasaan atas tanah berkaitan erat dengan

penggunaannya, menguasai tanah berarti dapat menggunakannya juga.

10

AP Parlindungan, 1993, Op.cit, hal. 42

11

(28)

Kemudian perkembangan terakhir, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor

27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang

diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007.

Pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir tersebut tentunya

menyangkut wilayah pantai. Hal ini perlu ditelusuri ketentuan yang mengatur tentang

obyek pantai dalam Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007, sebab bisa jadi

pengaturan atas obyek pantai berlainan antara satu peraturan perundangan dengan

peraturan perundangan lainnya, sehingga menimbulkan konflik kepentingan terutama

konflik antara lembaga yang menanganinya.

Hal ini dapat dimengerti karena dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 juga diatur adanya perizinan dengan bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir

(HP-3) yang diterbitkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), sementara

dalam hal pengelolaan tanah di kawasan pantai dapat juga diberikan hak atas tanah

oleh Instansi Badan Pertanahan Nasional

Sungguhpun menurut pendapat Bomer Pasaribu, anggota Komisi IV DPR-RI

dinyatakan HP-3 hanya terbatas pada permukaan laut dan kolam air sampai dengan

permukaan dasar laut, HP-3 tidak menyangkut hak atas tanahnya.12

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai

pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan pantai, dengan

12

(29)

memperhatikan rambu-rambu yang telah ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan, khususnya yang terdapat di Kecamatan Medan Belawan.

Pemilihan lokasi penelitian di Kecamatan Belawan dikaitkan dengan adanya

penguasaan tanah di kawasan pantai tersebut oleh berbagai pihak baik oleh instansi

pemerintah maupun oleh masyarakat setempat dengan penggunaan tanah pada

kawasan pantai di daerah tersebut untuk berbagai kegiatan seperti untuk pelabuhan

dengan segala sarana dan prasarananya, pemukiman nelayan, usaha perikanan/tambak

dan usaha lain-lainnya, sehingga perlu diteliti lebih lanjut bagaimana pelaksanaan

dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terhadap kawasan pantai tersebut

terutama dalam hal aspek penguasaan dan penggunaan tanahnya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan penguasaan tanah pada kawasan sempadan pantai di

Kecamatan Medan Belawan?

2. Bagaimanakah pelaksanaan penggunaan tanah pada kawasan sempadan pantai di

Kecamatan Medan Belawan ?

3. Apakah kendala yang ditemui dalam penetapan hak atas tanah pada kawasan

(30)

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan penguasaan tanah pada kawasan sempadan pantai

di Kecamatan Medan Belawan

2. Untuk mengetahui pelaksanaan penggunaan tanah pada kawasan sempadan

pantai di Kecamata Medan Belawan.

3. Untuk mengetahui kendala yang ditemui dalam penetapan hak atas tanah pada

kawasan sempadan pantai dan upaya mengatasinya

D. Manfaat Penelitian

Disamping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga

diharapkan memberikan manfaat, yaitu :

1. Memberikan gambaran yang jelas tentang pengaturan penguasaan dan penggunaan

tanah pada kawasan sempadan pantai, khususnya yang terdapat di Kecamatan

Medan Belawan

2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik kepada

Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah untuk

(31)

pada kawasan pantai sehingga bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

dan kebutuhan pembangunan.

E. Keaslian Penelitian

Setelah dilakukan pengamatan terhadap Tesis dan Disertasi yang ada di

perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, sepanjang yang diketahui

belum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pasca Sarjana ataupun

orang lain yang membahas tentang pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah

pada kawasan pantai. Dengan demikian penelitian ini benar-benar asli dan bukan

hasil ciplakan dari penelitian atau penulisan orang lain.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

Kerangka teori menurut M. Solly Lubis disebut sebagai landasan teori adalah

”suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, mungkin disetujui atau tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.”13

Oleh karena penelitian ini menyangkut pelaksanaan pengaturan penguasaan

dan penggunaan tanah pada kawasan pantai lebih kepada perilaku Pemerintah selaku

pengambil kebijakan sekaligus pelaksananya di lapangan, maka kerangka teori yang

13

M. Solly Lubis dalam Muhammad Yamin, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan

(32)

diambil tidak lebih dari ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan

dan dasar berpijak bagi pelaksanaannya.

Akan tetapi dalam pengaturan sesuatu obyek dapat saja telah ada sistem

hukum yang menatanya, namun situasi di lapangan terutama pada lapisan masyarakat

selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang dapat diprediksi dan tidak

sistematis, masyarakat dengan keinginan dan kebutuhannya terus-menerus bergerak

secara dinamis.

Hal demikian terjadi karena dalam masyarakat banyak sekali faktor yang

mempengaruhinya, misalnya kekuatan-kekuatan (kekuasaan) dan saling tarik-menarik

dan berbenturan di dalamnya dan menimbulkan ketidakteraturan, dengan kata lain

hukum dan masyarakat bukan sebagai sesuatu yang sistematis, tetapi penuh dengan

ketidakteraturan, inilah yang disebut dengan teori ketidakteraturan hukum (Theories

of legal disorder) yang dikembangkan oleh Charles Sampford.14

Namun seharusnya peranan hukum dapat menjamin adanya suatu

keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, karena

keteraturan tersebut merupakan salah satu tujuan dari masyarakat yang sedang

membangun, maka hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam

proses pembangunan.15

14

HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali, (Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005), hal. 105-108

15

Mochtar Kusumaatmaja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional,

(33)

Berdasarkan teori di ataslah yang dijadikan kerangka berpikir dalam

penelitian ini guna melihat situasi hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah

dalam hal ini antara aspek penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan pantai

dikaitkan antara peraturan perundang-undangan dengan kenyataan di lapangan,

termasuk tujuan hukum dalam menciptakan keteraturan terutama dalam kondisi

masyarakat yang sedang membangun.

Dari pijakan kerangka teori hukum tersebut, maka konsepsi yang

dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan meninjau peraturan

perundang-undangan mengenai obyek yang diteliti dan menggambarkan kenyataannya di

lapangan, yang diuraikan dalam tiga variabel, yakni penguasaan tanah, penggunaan

tanah dan kawasan pantai dengan segala lingkup aturan dan uraiannya.

1. mengenai Pengaturan Tentang Penguasaan Tanah

Ketentuan hukumnya dilihat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur

bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam

tersebut termasuk dalam pengertian ”dikuasai oleh Negara” tersebut kemudian

dijabarkan dalam UUPA. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan :

(34)

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.

Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian ”dikuasai” bukan

berarti ”dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada

Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan

wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan negara mengenai tanah mencakup

tanah yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara

mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari

hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberikan kekuasaan kepada yang

mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara

tersebut.

Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu

hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, artinya negara

dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak

menurut peruntukan dan keperluannya.

Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya

alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu wewenang untuk

(35)

fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah

yang bersifat peribadi.16

Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai Hak

Menguasai dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif, artinya dengan atau

tanpa penyebutan ketentuan tersebut setiap negara tetap mempunyai hak menguasai

negara. Namun demikian, ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi

eksistensi dari hak menguasai negara tersebut dan menunjukkan sifat hubungan

antara negara dan tanah.17

Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada Pasal 2 dan 4 UUPA

mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, dan atas dasar

hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah

yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak).

Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan

tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan

peraturan perundangan. Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah

oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya

dapat digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.18

16

Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru Untuk Reformasi

Agraria,(Yogyakarta : Citra Media, 2007), hal.5

17

Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan

Implementasi, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006), hal. 60

(36)

Dari ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat bahwa Negara

memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum (subyek hak),

bahkan menjamin, mengakui, melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam

rangka mensejahterakan kehidupannya dan tidak boleh diambil alih secara

sewenang-wenang oleh siapapun.

Akan tetapi Negara tidak hanya memberikan begitu saja hak-hak atas tanah

tersebut kepada subyek hak untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan

kehidupannya, tetapi Negara juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap

hak-hak atas tanah tersebut melalui pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah

menurut Pasal 19 ayat (2) meliputi :

a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;

b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanahnya;

c) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah baik untuk pendaftaran pertama kali maupun

untuk pendaftaran hak dan peralihannya, baru dapat dilakukan apabila subyek hak

dapat membuktikan adanya hubungan hubungan baik yang bersifat keperdataan

(perorangan) maupun bersifat publik (tanah yang dikuasai oleh instansi Pemerintah

atau tanah hak ulayat19 masyarakat hukum adat) antara subyek hak dengan tanahnya.

19

(37)

Hubungan hukum tersebut dapat dibuktikan dengan cara menguasai secara fisik tanah

yang bersangkutan dan atau mempunyai bukti yuridis atas penguasaan tanah

Bukti yuridis atas penguasaan tanah tersebut dapat saja dalam bentuk

keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang memberikan hak penguasaan

kepada subyek hak untuk menguasai tanah dimaksud dan dapat juga dalam bentuk

akta otentik yang diterbitkan oleh pejabat umum yang menunjukkan tanah

tersebut diperolehnya akibat adanya perbuatan hukum berupa perjanjian

pemindahan/peralihan hak.

Bila dikatakan perolehan hak atas tanah, maka tersirat adanya perbuatan

hukum yang dilakukan oleh subyek hak, hal ini sejalan dengan pengertian perolehan

hak atas tanah dan atau bangunan yang dikembangkan oleh Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Tanah dan atau Bangunan

yakni perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas

tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan, seperti jual beli,

tukar-menukar, hibah, wasiat, hibah wasiat, pewarisan dan lain-lain, yang pemindahan

haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur undang-undang.

Penguasaan atas tanah merupakan hal penting dalam mengatur lalu lintas

hukum di bidang pertanahan. Penguasaan tersebut dapat juga sebagai permulaan

(38)

suatu ”hak”. Kata ”penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah

dengan yang mempunyainya.20

Artinya ada sesuatu hal yang mengikat antara orang dengan tanah tersebut,

ikatan tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda bahwa tanah tersebut telah

dikuasainya. Tanda tersebut bisa berbentuk fisik maupun bisa berbentuk bukti

tertulis.

Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat dipergunakan dalam

arti yuridis maupun fisik.21 Penguasaan dalam arti yuridis maksudnya hubungan

tersebut ditunjukkan dengan adanya alas hak dari penguasaan tanahnya, apabila telah

ada alas hak, maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah dilandasi

dengan suatu hak.

Sedangkan penguasaan tanah dalam arti fisik menunjukkan adanya

hubungan langsung antara tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya

didiami dengan mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman produktif

untuk tanah pertanian.

Penguasaan tanah dapat merupakan permulaan adanya atau diberikannya hak

atas tanah, dengan perkataan lain penguasaan tanah secara fisik merupakan salah satu

faktor utama dalam rangka pemberian hak atas tanahnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat-alat

20

Badan Pertanahan Nasional, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Jakarta, 2002, hal. 18

21

(39)

bukti penguasaan secara yuridis, namun apabila dalam kenyataan bidang tanah

tersebut telah dikuasai secara fisik, maka dapat dilegitimasi penetapan/pemberian

haknya kepada yang bersangkutan.

Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis

dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti penguasaan atas tanah

secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan

adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga

berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah

sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara

yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan,

surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di

bawah tangan dan lain-lain.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan

Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997, alas hak tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai

status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain

yang membebaninya.

Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan

tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada

alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak, tanah tersebut

(40)

Penguasaan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan untuk

menguasai fisik tanahnya, oleh karena penguasaan yuridis memberikan alas hak

terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila

tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya

hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas

tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Negara agar hubungan tersebut memperoleh

perlindungan hukum. Proses penetapan dan pengakuan alas hak menjadi hak atas

tanah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertipikat tanah.

Oleh karena itu alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal

atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun

idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara,

maka harus dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara

(Pemerintah).

AP. Parlindungan menyatakan :

”bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas tanah dapat diterbitkan karena penetapan pemerintah atau ketentuan peraturan perundangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak di atas hak tanah lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) juga karena ketentuan konversi hak atas tanah. Sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.”22

(41)

Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak23 untuk tanah

menurut UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan

perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti hak-hak adat

atas tanah dan hak-hak yang berasal dari hak-hak Barat,24 dengan catatan dilakukan

penyesuaian dengan ketentuan yang baru yang dalam Hukum Agraria dikenal dengan

istilah konversi. Maksud dari konversi hak atas tanah tersebut adalah perubahan hak

lama atas tanah menjadi hak baru sebagaimana yang diatur dalam UUPA.25

Sedang menurut AP. Parlindungan, konversi adalah bagaimana pengaturan

dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam

system UUPA. 26

Konversi dibagi dalam tiga jenis, yaitu 1) konversi hak yang berasal dari

tanah hak barat yaitu hak eigendom, opstal, erfpacht; 2) konversi hak yang berasal

dari tanah hak Indonesia yaitu terhadap hak erfpach yang altijdurend, hak agrarische

eigendom dan hak gogolan dan 3) konversi hak yang berasal dari tanah bekas

23

Alas hak adalah bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain (Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hal. 237)

24 AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 1993), hal. 3 25 Ali Ahmad Chomzah, Hukum Agraria, Jilid-I (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2004), hal. 80.

(42)

swapraja, yaitu terhadap hak anggaduh, hak grant, hak konsesi dan sewa untuk

perumahan dan kebun besar.27

Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang

tanah yang diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya (dasar penguasaan/alas hak lama)

masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh

pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang

berlaku pada masa itu.

Hak-hak adat maupun hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak

tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum

didaftar. Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak atas tanah yang

tunduk pada KUH Perdata, sungguhpun ada juga orang-orang Bumi Putera yang

mempunyai hak atas tanah yang berstatus hak Barat selain golongan Eropa dan Timur

Asing termasuk golongan China.

Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran

tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa

pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Geran

lama, Geran Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di

daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan

menirukan system pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah

(43)

pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di

Pulau Jawa.28

Di Daerah Sumatera Utara juga dikenal semacam pendaftaran tanah untuk

kepentingan perpajakan yang ditemukan di daerah Kabupaten Deli Serdang yang

dikenal dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh Bupati Deli

Serdang dalam rangka pemungutan pajak tanah atas obyek tanah yang digarap oleh

penduduk setempat, kemudian pemiliknya menjadikan SKT tersebut sebagai alas hak

atas tanah.

Selain itu ditemukan juga alas hak atas tanah berupa surat-surat yang dibuat

oleh para Notaris atau yang dibuat oleh Camat dengan berbagai ragam bentuk untuk

menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat.

Penerbitan bukti-bukti penguasaan tanah tersebut ada yang dibuat di atas

tanah yang belum dikonversi maupun tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan

kemudian tanah dimaksud diduduki oleh rakyat baik dengan sengaja ataupun diatur

oleh Kepala-kepala Desa dan disahkan oleh para Camat, seolah-olah tanah tersebut

telah merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak adat. 29

Surat-surat tersebutlah yang dijadikan sebagai alas hak atau bukti perolehan

atau pemilikan tanah yang diajdikan sebagai kelengkapan persyaratan dalam

mengajukan permohonan pendaftaran tanahnya.

28 Ibid., hal. 76.

(44)

Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai

kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah yang diketegorikan sebagai alas

hak telah ditentukan secara limitatif dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Pasal 60 ayat (1)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu :

a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan

Overschrijvingsordonantie (Staatsblad 1834-27) yang telah dibubuhi catatan

bahwa hak eigendomnya dikonversi menjadi hak milik atau,

b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan

Overschrijvingsordonantie (Staatsblad 1834-27) sejak berlakunya UUPA

sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 di daerah yang bersangkutan, atau

c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1959; atau

e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban mendaftarkan haknya, tetapi dipenuhi semua kewajiban yang ada

f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang disaksikan oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum PP ini;

g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahya belum dibukukan; atau

h. Akta Ikrar Wakaf /surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977; atau

i. Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang yang tanahnya belum dibukukan; atau

j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau

k. Petuk Pajak Bumi / Landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia sebelum berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961;

(45)

m.Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Surat-surat tersebut yang dikategorikan sebagai alas hak atau data yuridis

atas tanah pada dasarnya merupakan keterangan tertulis mengenai perolehan tanah

oleh seseorang, misalnya saja dengan berupa pelepasan hak bekas pemegang hak,

pernyataan tidak keberatan dari bekas pemegang hak tentunya setelah ada ganti rugi.

Syarat ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang

Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan

yang bunyinya "sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, pemohon harus

menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 30

Selanjutnya Pasal 18 ayat (2) angka 2 Peraturan tersebut ditentukan bahwa

keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik adalah :

a) Dasar penguasaannya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta

pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya;

b) letak, batas-batas dan luasnya; dan

c) jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan).

(46)

Yang termasuk kategori alas hak dalam hal ini adalah data yuridis yaitu

dasar penguasaan, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas

tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya.

Penguasaan tanah tersebut menurut pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 2004 adalah hubungan hukum antara orang-perorang, kelompok

orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang

Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.

Kemudian secara operasional, ketentuan tentang bukti penguasaan atas tanah

atau alas hak juga ditemukan dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan di

lingkungan Badan Pertanahan Nasional yakni dalam Buku III (Pelayanan Hak Hak

Atas Tanah) yang menunjukkan bahwa alas hak suatu bidang tanah dijadikan sebagai

salah satu kelengkapan persyaratan yang berisi keterangan mengenai data yuridis

yang bentuknya berbeda-beda menurut status tanah yang dimohonkan hak atas

tanahnya yang dikategorikan dalam 13 (tiga belas) jenis bukti penguasaan atau

kepemilikan / alas hak atas tanahnya, yaitu

1. Untuk tanah yang berasal dari tanah hak/telah terdaftar / bersertipikat, alas

haknya yaitu : a) fotokopi sertipikat yang dilegalisir dan b) bukti perolehan

atas tanah (jual beli/pelepasan hak, hibah, tukar-menukar, surat keterangan

waris, akte pembagian hak bersama, lelang wasiat, putusan pengadilan dll.

2. Untuk tanah yang berasal dari tanah negara, alas haknya yaitu :

(47)

b) Riwayat tanah/bukti perolehan tanah (hubungan hukum sebagai alas

hak) dari hunian/garapan terdahulu

c) Surat Penyataan Penguasaan Fisik pemohon.

3. Untuk tanah yang berasal dari tanah negara (Keppres 32/1979), alas haknya

yaitu :

a) Fotokopi sertipikat/kartu/akta verponding yang dilegalisir;

b) Bukti perolehan/penyelesaian bangunan dari bekas pemegang hak;

c) Surat keterangan telah keluar dari occupasi TNI/Polrii;

4. Untuk tanah negara yang berasal dari bekas hak barat, alas haknya yaitu :

a) Fotokopi sertipikat yang dilegalisir;

b) Surat penyataan penguasaan fisik,

c) Surat keterangan telah keluar dari occupasi TNI/Polri ;

5. Untuk tanah yang berasal dari tanah adat/yasan/gogol tetap, alas haknya

yaitu :

a) Patok D/Girik, Ketitir, Kanomeran/ letter C Desa, keterangan riwayat

tanah dari Desa/Kelurahan dan

b) Bukti perolehan/surat pernyataan pelepasan hak dari pemegang

sebelumnya.

6. Untuk tanah yang berasal dari tanah gogol bersifat tidak tetap, alas hak yaitu

a) Patok D/Girik, Ketitir, Kanomeran/ letter C Desa, keterangan riwayat

(48)

b) Keputusan desa/peraturan desa yang disetujui oleh BPD berisi

persetujuan tidak keberatan dan

c) Akta pelepasan hak yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris/

Camat/Kepala Kantor Pertanahan setempat;

7. Untuk tanah yang berasal dari tanah kas desa, alas haknya yaitu :

a) Perda tentang sumber pendapatan dan kekayaan desa atau keputusan

desa/pengesahan bupati dan ijin gubernur ;

b) Penetapan besarnya ganti rugi berupa uang atau tanah pengganti;

c) Berita acara serah terima tanah pengganti;

d) Akta /surat pelepasan hak atas tanah kas desa yang dibuat notaris/camat

dan kepala kantor pertanahan;

e) Fotokopi petok D/girik/letter C Desa dan

f) Fotokopi sertipikat tanah pengganti atas nama pemerintah desa

setempat;

8. Untuk tanah yang berasal dari asset pemerintah daerah, alas haknya yaitu :

a) Persetujuan dari DPRD;

b) Keputusan kepala daerah tentang peralihan/pelepasan asset;

c) Perjanjian antara pemda dan pihak ketiga dan

d) Pelepasan hak atas tanah yang dibuat di hadapan pejabat yang

berwenang dan

e) Bukti sertipikat tanah pengganti (jika perolehannnya berasal dari

(49)

9. Untuk tanah yang berasal dari asset instansi pemerintah pusat, alas haknya

yaitu :

a) SK pelepasan asset dari instansi tersebut;

b) Surat persetujuan Menteri Keuangan;

c) Berita Acara pelepasan hak

d) Bukti sertipikat tanah pengganti (jika perolehannya berasal dari

tukar-menukar)

10. Untuk tanah yang berasal dari asset BUMN, yaitu :

a) Persetujuan Menteri BUMN/Menteri Keuangan,

b) Sertipikat sepanjang sudah terdaftar,

c) Berita acara pelapasan hak;

d) Bukti sertipikat tanah pengganti (jika peroehan dari tukar-nemukar,

sepanjang terdapat dalam perjanjian)

11. Untuk tanah yang berasal dari asset BUMD, alas haknya yaitu :

a) Persetujuan kepala desa,

b) Persetujuan DPRD,

c) Berita acara/ pelapasan hak;

d) Sertipikat yang bersangkutan

e) Bukti sertipikat tanah pengganti

12. Untuk tanah yang berasal dari kawasan hutan, yaitu SK pelepasan kawasan

(50)

13. Untuk tanah yang berasal dari BHMC (Badan Hukum Milik China), alas

haknya yaitu :

a) Pelepasan asset BHMC dari Menteri Keuangan dan

b) Bukti pelunasan pembayaran tanah dan bangunan yang dimohon.

Setelah dibuktikan adanya hubungan hukum atau penguasaan atas

tanah yang dimiliki oleh subyek hak, maka Pemerintah sebagai pemangku Hak

Menguasai Negara yang berwenang melakukan pengaturan dan menentukan

hubungan-hubungan hukum antara orang dengan tanah, melaksanakan tugasnya

memberikan hak-hak atas tanah yang dibuktikan dengan penerbitan keputusan

pemberian haknya, sedangkan terhadap penguasaan atas tanah yang ditandai dengan

adanya hak-hak lama, dilakukan pengaturannya dengan menegaskan atau mengakui

hak-hak lama.

Selanjutnya kepada penerima hak atau yang ditegaskan/diakui hak-hak

lamanya diterbitkan produk hukum berupa sertipikat tanah yang berfungsi sebagai

alat pembuktian yang kuat dan memberikan jaminan kepastian hukum atas

penguasaan/pemilikana tanahnya.

2. mengenai Pengaturan Tentang Penggunaan Tanah

Dalam hal ini dapat dilihat aturan hukumnya sebagaimana dalam Pasal 14

(51)

suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan

ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya :

a) untuk keperluan negara;

b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya

sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;

c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan

dan lain-lain kesejahteraan;

d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan

dan perikanan serta sejalan dengan itu; dan

e) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan

pertambangan.

Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa berdasarkan rencana umum

tersebut, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,

air dan ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah

masing-masing.

Penjelasan umum UUPA (point II angka 8) ditentukan bahwa dengan adanya

rencana (planning) tersebut maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin

dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan

(52)

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 14 UUPA, diterbitkan Undang Undang

Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang disempurnakan dengan Undang

Undang nomor 37 tahun 2007. Pasal 1 angka (3) Undang Undang Nomor 24 tahun

1992 disebutkan bahwa penatagunaan ruang adalah proses perencanaan ruang,

pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Selanjutnya pada Pasal 14 ayat (2) diatur bahwa perencanaan tata ruang

mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna

tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam. Dalam hal ini

penatagunaan tanah merupakan bagian dari penatagunaan ruang.

Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 jo. Undang Undang Nomor 37 tahun

2007 tersebut belum operasional khususnya mengenai penatagunaan tanah. Oleh

karena itu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004

Tentang Penatagunaan Tanah. 31 Pengertian dari penggunaan tanah menurut pasal 1

angka (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 adalah wujud tutupan

permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

3. mengenai Pengaturan Tentang Kawasan Pantai

dapat diuraikan dengan menjelaskan pengertian tentang kawasan pantai

sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 24 tahun 1992

tentang Penataan Ruang yang didefenisikan sebagai sisi darat dari garis laut terendah

dan merupakan bagian dari ruang daratan.

31

(53)

Kawasan pantai atau disebut juga dengan sempadan pantai menurut

ketentuan Pasal 1 angka 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung adalah kawasan tertentu sepanjang

pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi

pantai.

Kawasan pantai atau semadan pantai tersebut termasuk salah satu bagian

dari kawasan lindung.32 Hal itu dapat dilihat dari penjelasan Pasal 4 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang

menjelaskan bahwa kawasan Lindung tersebut meliputi kawasan yang memberikan

perlindungan kawasan bawahannya yang mencakup kawasan hutan lindung, kawasan

bergambut, kawasan resapan air, kawasan perlindungan setempat yang mencakup

sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar

mata air, kawasan terbukit hijau termasuk di dalamnya hutan kota, kawasan suaka

alam yang mencakup kawasan cagar alam, suaka margasatwa, kawasan pelestarian

alam yang mencakup taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan

cagar budaya, kawasan rawan bencana alam yang mencakup antara lain kawasan

rawan letusan gunung api, gempa bumi, tanah longsor serta gelombang pasang dan

banjir, kawasan lindung lainnya mencakup taman buru, cagar biosfir, kawasan

32

Gambar

Tabel  1: Data Penerbitan SKT di Kecamatan Belawan
Tabel 2 : Data Bukti Penguasaan Tanah di Kawasan Pantai di Belawan
Tabel 3 : Data Penggunaan Tanah pada Kawasan Pantai di Kecamatan Belawan

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian yang diusulkan, diarahkan untuk mengetahui pengaruh menggunakan multimedia interaktif dengan pendekatan

“adat recht” (bahasa belanda) yaitu untuk memberi nama pada suatu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam masyarakat Indonesia atau utk

Berdasarkan hasil yang diperoleh, terlihat bahwa kasus SC memiliki bobot paling rendah yaitu 0,09 dan tertinggi pada kasus PE yaitu 1, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Tetapi ada satu hal yang ramai penulis Kedah tidak sedar , banyak dalam karya - karya mereka impak RSJ dari segi kependekan nama, identiti nama kampung,

Pada penelitian ini 4 jenis pour point depressant (PPD) yaitu VP-A kopolimer EVA (ethylene-vinyl acetate), VP-B kopolimer MAC (maleat anhidrida copolymer), VP-C kopolimer

PROFIL PENDERITA LESI JINAK DAN GANAS PADA TIROID BERDASARKAN DIAGNOSA HISTOPATOLOGI.. DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK PADA

Peneliti lain dalam validitas konkuren pada dasarnya telah menggunakan teknik pencocokan dimana deskripsi kepribadian yang berasa dari catatan-

Energi ini biasanya berasal dari nyala hasil pembakaran campuran gas asetilen-udara atau asetilen-N 2 O, tergantung suhu yang dibutuhkan untuk membuat unsur analit