TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN
PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN TANAH
DI KAWASAN PANTAI
STUDI DI KECAMATAN MEDAN BELAWAN
T E S I S
Oleh
EDI SAHPUTRA
057011023/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS
SUMATERA
UTARA
TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN
PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN TANAH
DI KAWASAN PANTAI
STUDI DI KECAMATAN MEDAN BELAWAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
EDI SAHPUTRA
057011023/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS
SUMATERA
UTARA
Judul Tesis : TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN TANAH DI KAWASAN PANTAI ( STUDI DI KECAMATAN MEDAN BELAWAN)
Nama Mahasiswa : Edi Sahputra Nomor Pokok : 057011023 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua
(Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM) (Notaris Syafnil Gani, SH.,MHum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
Telah diuji pada
Tanggal : 14 April 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM 2. Notaris Syafnil Gani, SH.,MHum 3. Dr. Sunarmi, SH, MHum
ABSTRAK
Keberadaan kawasan pantai sangat urgen dilihat dari sudut ekonomi dan politik, karena selain merupakan pintu gerbang menuju lautan apabila hendak mengesploitasi kekayaan alam, juga merupakan pintu gerbang ke daratan sehingga berkaitan dengan pertahanan negara. Kawasan pantai merupakan kawasan penting dalam penguasaan dan penggunaan tanahnya karena dapat dimanfaatkan untuk tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan dapat juga difungsikan untuk kepentingan yang lebih tinggi, antara lain menyangkut masalah lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan, Untuk itu perlu pengaturan terhadap aspek penguasaan dan penggunaan dari kawasan pantai baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, aturan yang ada memungkinkan tanah dalam kawasan lindung (kawasan pantai) dapat dikuasai dan berikan hak atas tanah, asal penggunaan dan pemanfaatannya sesuai dengan fungsi kawasan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dilakukan pengkajian mengenai pelaksanaan pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan pantai, khususnya yang terdapat di Kecamatan Medan Belawan. Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian ini bersifat deskriptif
kualitatif, dengan metode pendekatan yuridis normatif yang mengacu kepada
peraturan perundang-undangan dan dianalisis dengan kenyataan di lapangan, dengan mengambil sumber data dari data sekunder. Berdasarkan hal penelitian menunjukkan bahwa :
1. Pelaksanaan penguasaan tanah pada kawasan pantai di Kecamatan Medan Belawan, ditemui adanya bukti-bukti penguasaan seperti Hak Pengelolaan (HPL) namun tidak sepenuhnya dikuasai pemegang hak, juga terdapat Hak Milik atas nama warga setempat, ada KLD yang tanahnya tidak dikuasai, ada SKT yang diterbitkan Camat Medan Belawan, juga ada penguasan tanah yang hanya didasarkan pada surat di bawah tangan.
2. Pelaksanaan penggunaan tanah ditemui adanya penggunaan tanah untuk
kepentingan pelabuhan yang semula ditetapkan seluas 2.217,95 Ha namun yang digunakan PT. Pelindo sebagai pemegang HPL hanya seluas 423,15 Ha, ada juga untuk fasilitas markas/perkantoran instansi pemerintah, untuk tambak, pemukiman serta untuk jemuran ikan/udang.
Terhadap hal tersebut di atas, maka disarankan agar aspek penguasaan dan penggunaan tanah menjadi pertimbangan penting dalam pemberian hak atas tanah pada kawasan pantai dengan tetap memperhatikan fungsi kawasan dan kelestarian lingkungan dan untuk masyarakat yang benar-benar menguasai dan menggunakan tanah di kawasan pantai disarankan untuk dapat diberikan hak atas tanah di atas HPL.
ABTRACT
The existence of coastal area is very urgent in economic and politic perspective, becouse in addition to be a gate toword sea for exploiting the natural resources, itu will be also a gate terrestrial area thus related to the state defense. The coastal area is very importand in land utilization and use becouse it can be used as places in wich the activities of communities can be done to meet their life needs and also to be functioned for a higher level of importance, including the problem of life environment, defense, and security. For the purpose, there should be regulation on aspects of coastal area utilization and use for government and community’s interest. In order to meet the life needs of community, the existing rule allows for land in coastal area (conserved area) to be utilized and entitled some rights on the land, provided that the use and utilization of it must be consistent with areal function. Thus, the assessment on regulatory implementation of land utilization and use in coastal area, particularly in subdistrict of Medan Belawan, has been made.
This was a qualitatative descriptive method of the reseach, by normative yuridic approach making references on the laws or statuaries and analyzed according to the real situation of fiels, and taking secondary data. The result of research indicated thet :
1. The implementations of land utilization and use in coastal area Subdistrict of Medan Belawan has proven, that there has been utilization such as rights of cultivation or management, however it was not controlled completely by the rightholder, and also there was rights of property on the name local people, there was KLD without control of land, there was SKT issued by the reagent of Medan Belawan subdistrict, and there was also land utilization merly based on underhand refernce.
2. In implementation of land use, there was land use for interest of seaport that was initially stipulated for 2.217,95 Ha, however PT. Pelindo, as HPL holder, just used 423,15 Ha, some of them was also for headquarter facility/public instance stations, for fishing area, settlement and fish/shirimp drying areas.
To consider the situations above, it is suggested thet the aspects of land utilization and use has become ana importand consideration in imposition of land rights in coastal area by constantly noticing the areal function and enveronment preservation, and the peoples controlling and using the land actually in coastal areas should be given land rights on HPL.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT. karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan
judul “Tinjauan Hukum Terhadap Pengaturan Penguasaan dan Penggunaan
Tanah di Kawasan Pantai (Studi di Kecamatan Medan Belawan)”. Penulisan
tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar
Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat
terpelajar Bapak Prof. Dr. Mhd. Yamin, SH,MS,CN, Bapak Syafruddin Hasibuan,
SH,MH,DFM dan Bapak Notaris/PPAT Syahnil Gani, SH., MHum, selaku Komisi
Pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk
kesempurnaan penulisan tesis ini.
Demikian juga diucapkan terima kasih kepada Bapak-Bapak Dosen Penguji
yang telah memberikan masukan, koreksi yang kontruktif dalam penyempurnaan
Tesis ini sejak kolokium, seminar hasil hingga ujian meja hijau.
Tidak lupa diucapkan terima kasih khusus kepada keluarga Penulis, istri tercinta
dr. Nur Handayani, anak-anak tersayang Muhammad Faza Al faridzi Nasution, Nasywa Syaila Nabila Nasution, orang tua yang terhormat dan Saudara-Saudara
yang budiman yang telah memberikan dorongan semangat, panjatan doa dan
kesetiaan berkorban dalam merelakan waktu yang seharusnya dapat berkumpul
dengan keluarga tetapi terpaksa tersita dengan kesibukan Penulis menuntut ilmu
Dalam penulisan Tesis ini, sepenuhnya Penulis menyadari bahwa hasil yang
dicapai ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan kerendahan hati Penulis
mengharapkan kritikan dan masukan yang positif demi kesempurnaan Tesis ini.
1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister
Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta
seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga
dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan (M.Kn), dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A,SH, CN,
Mhum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Pada Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah
mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister
Kenotariatan.
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Sari,
Lisa, Bang Aldi, Mai Rizal, Afni dan lain-lain, yang selalu membantu
kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.
6. Rekan-rekan Mahasiswa pada Program Magister kenotariatan dan semua pihak
yang turut membantu yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang
7. Bapak Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan beserta Staf dan Camat Medan
Belawan dan Lurah yang telah memberikan bantuan dalam melaksanakan
penelitian Tesis ini.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari ALLAH SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,
namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum pada umumnya
khususnya di bidang hukum keperdataan.
Medan, Juni 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. Indentitas Pribadi
Nama : Edi Sahputra
Tempat/Tgl Lahir : Labuhan Batu, 11 September 1969
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : jl. Kapten M.Jamil Lubis No.157
II. Keluarga
Nama Istri : dr. Nur Handayani
Nama Ayah : Alm.H. Abd. Hakim Nasution
Nama Ibu : Hj. Hafsyah Dalimunthe
Nama Anak : 1. Muhammad Faza Al faridzi Nasution
2. Nasywa Syaila Nabila Nasution
III. Pendidikan
1. SD Negeri Inpres 064976 Medan
2. SMP Negeri 15 Medan
3. SMA Negeri 13 Medan
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area thn 1989-1996
5. S-2 Program Studi Magiter Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……… i
ABSTRACT ………. iii
KATA PENGANTAR ………. v
RIWAYAT HIDUP ………. vi
DAFTAR ISI ……… ix
DAFTAR TABEL ……… xi
DAFTAR SINGKATAN ………. xii
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
A. Latar Belakang Permasalahan ...……….. 1
B. Perumusan Masalah ………. 14
C. Tujuan Penelitian ………. 14
D. Manfaat Penelitian ………... 15
E. Keaslian Penelitian ………... 15
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .………. 16
BAB II PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH PADA KAWASAN
PANTAI DI KECAMATAN BELAWAN ……… 45
A. Gambaran Lokasi Penelitian ………. 45
B. Pengaturan Penguasaan Tanah ……….. 50
C. Pelaksanaan Pengaturan Penguasaan Tanah ………. 57
D. Bukti Penguasaan Tanah ………... 76
BAB III PELAKSANAAN PENGGUNAAN TANAH PADA KAWASAN PANTAI DI KECAMATAN BELAWAN ……….. 87
A. Pengaturan Penggunaan Tanah ………. 87
B. Pelaksanaan Pengaturan Penggunaan Tanah ……… 96
C. Penggunaan Kawasan Pantai Untuk Pariwisata ... 105
BAB IV KENDALA DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH PADA KAWASAN PANTAI DAN UPAYA MENGATASINYA ………... 109
A. Pemberian Hak Atas Tanah ……….. 109
B. Kendala Yang Ditemui ………. 121
C. Upaya Mengatasinya ……… 126
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 131
A. Kesimpulan ………... 131
B. Saran-saran ……… 133
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Data Penerbitan SKT di Kecamatan Belawan ………. 66
2. Data Bukti Penguasaan Tanah di Kawasan Pantai di Belawan …… 85
DAFTAR SINGKATAN
Adpel : Administratur Pelabuhan
BPN : Badan Pertanahan Nasional
BHMC : Badan Hukum Milik China
BPHTB : Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan
BPD : Badan Perwakilan Desa
Lantamal : Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut
KLD : Keterangan Labuhan Deli
KP3 : Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan
KEK : Kawasan Ekonomi Khusus
Keppres : Keputusan Presiden
KUHP : Kitab Undang Undang Hukum Perdata
PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
Pelindo : Pelabuhan Indonesia
PP : Peraturan Pemerintah
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
RUTRW : Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
RHTKP : Ruang Hijau Terbuka Kawasan Perkotaan
Satpol Air : Satuan Polisi Perairan
SKT : Surat Keterangan Tanah
SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
SPOPP : Standar Pengaturan Operasional Pelayanan Pertanahan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kawasan pantai merupakan pintu gerbang menuju lautan. Lautan itu sendiri
menyimpan kekayaan alam yang menjadi asset suatu negara. Bahkan seperti
dinyatakan oleh Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin, diperkirakan terdapat 60
hingga 70 persen asset negara yang berada di laut, seperti sumber daya alam dan harta
karun yang masih tersimpan di dalam lautan Indonesia.1
Untuk menuju lautan tersebut, maka keberadaan kawasan pantai sangat urgen
dilihat dari sudut ekonomi, karena ketika hendak mengeksploitasi kekayaan alam
yang ada di lautan, kawasan pantai terlebih dahulu harus dilalui.
Di samping itu, kawasan pantai juga merupakan pintu masuk ke daratan.
Pihak luar dapat memasuki daratan malalui kawasan pantai, baik dalam rangka
penyusupan, penyeludupan maupun serangan, sehingga secara politik, kawasan pantai
sangat penting dalam kaitannya dengan pertahanan negara.
Oleh karena pentingnya keberadaan kawasan pantai, maka perlu pengaturan
lebih lanjut terhadap aspek penguasaan/pemilikan dan penggunaan/pemanfaatan
bidang-bidang tanah yang ada di kawasan pantai, sehingga tercapai tujuan
pemanfaatan kawasan pantai baik secara ekonomi maupun secara politik.
1
Harian Analisa, terbitan tanggal 7 Nopember 2008, hal. 4 dengan judul “Gubsu : 60 Hingga
Pengaturan terhadap penguasaan dan penggunaan tanah yang ada di kawasan
pantai mengacu kepada pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah pada
umumnya, baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan rakyat. Dalam
hal ini kepentingan rakyat berkaitan dengan hak-hak yang dapat dimiliki atau dapat
diberikan oleh Negara kepada rakyatnya atas obyek tertentu.
Menyangkut hak-hak rakyat tersebut, konstitusi Negara menjamin adanya
hak-hak dasar rakyat, tidak hanya terhadap hak-hak atas tanah tetapi juga terhadap
hak-hak dasar lainnya yang memang diemban oleh rakyat dan wajib dilindungi oleh
negara.
Hak-hak dasar merupakan kondisi dasar yang harus ada dan tersedia dalam
kehidupan, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Hak-hak dasar yang lahir
oleh karena proses kesejahteraan dan proses perjalanan bangsa selama ini yang
mewujud dalam banyak hal, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan,
rasa aman, rasa nyaman, kebebasan, keadilan dan dalam berbagai bentuk lainnya.
“Hampir semua hal yang berkaitan dengan hak-hak dasar rakyat langsung atau tidak langsung berkaitan dengan persoalan pertanahan. Hak-hak dasar rakyat yang mewujud dalam bentuk keadilan, misalnya seperti tidak berkaitan dengan pertanahan, tetapi karena tanah dan pertanahan merupakan sumber-sumber utama kemakmuran, sumber-sumber utama ekonomi dan bahkan politik, maka pengaturan penataan, penguasaan dan pemilikannya menjadi indikator penting dari keadilan”. 2
Menyangkut masalah pertanahan yang disebut sebagai sumber-sumber utama
kesejahteraan dan menjadi indikator penting dari keadilan dikonstatir dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Penggunaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemanfaatannya semata-mata untuk
mensejahterakan rakyat sekaligus dengan memperhatikan aspek keadilan yang
ditunjukkan dari kata "sebesar-besarnya", artinya hasil dari penggunaan dan
pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam tersebut bukan untuk perseorangan atau
kelompok tertentu tetapi untuk rakyat banyak.
Selanjutnya kebijakan di bidang pengelolaan bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (sumber daya agraria) diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
atau disebut juga dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), kemudian
ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam berbagai peraturan-perundangan
yang bersifat organik, baik dalam bentuk Undang-undang, peraturan pemerintah,
keputusan presiden, peraturan menteri dan lain-lain.
Pasal 2 UUPA mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
bawahnya serta yang berada di atasnya, pengertian air adalah perairan pedalaman
maupun laut wilayah Indonesia, sedang pengertian ruang angkasa adalah ruang di
atas bumi dan di atas perairan.
Lingkup permukaan bumi tersebut meliputi tanah yang ada di seluruh
Indonesia sesuai dengan konsep kesatuan seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, maksudnya tanah tidak semata-mata hak dari
pemiliknya tetapi juga merupakan hak bersama rakyat Indonesia yang merupakan
semacam hubungan hak ulayat Bangsa Indonesia.3
Kemudian Pasal 4 UUPA menentukan bahwa atas dasar hak menguasai dari
negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum
(subyek hak).
Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan
peraturan perundangan.
Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara
kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat
digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.4
3 Lutfi I Nasution, Pembaruan Agraria Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi, Makalah disampaikan pada Seminar "Reformasi Kembar Hukum dan Ekonomi", dalam rangka Dies Natalis ke-52 USU, Medan, 14 Agustus 2004, hal. 9
Oleh karena itu secara konsepsional, seluruh permukaan bumi (tanah) yang
ada di seluruh wilayah Indonesia dapat diberikan hak-hak atas tanah kepada setiap
warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Namun dalam tataran operasionalnya, hak-hak atas tanah tidak dapat
diberikan untuk seluruh permukaan bumi di seluruh Indonesia, karena sejak tahun
1967 terjadi perceraian beberapa sektor dari yang semula diatur dalam UUPA, yakni
ketika diterbitkan beberapa ketentuan sektoral seperti Undang-undang Nomor 5 tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pertambangan (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 22
tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi), Undang-undang Nomor
11 Tahun 1974 tentang Pengairan (telah diubah dengan Undang Undang Nomor 7
tahun 2004), Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 26 tahun 2007) yang diharapkan sebagai
suatu undang-undang yang akan disinkronkan seluruh kegiatan yang berkaitan
dengan bumi, air dan ruang udara.5
Di samping itu sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPA bahwa terdapat
pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah untuk kawasan tertentu berdasarkan
rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaannya, baik yang
disusun perencanaannya oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk :
a) keperluan negara;
b) keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya;
c) keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan
lain-lain kesejahteraan;
d) keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan
perikanan serta sejalan dengan itu; dan e) keperluan memperkembangkan
industri, transmigrasi dan pertambangan.
Perencanaan yang bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian,
peternakan, perikanan, industri dan pertambangan tersebut mengisyaratkan
dilakukannya pengaturan terhadap daerah-daerah tertentu guna keperluan
memperkembangkan usaha tersebut di atas. Salah satu daerah atau kawasan yang
dapat disediakan untuk keperluan memperkembangkan usaha pertanian, peternakan,
perikanan, industri dan pertambangan dan untuk keperluan pembangunan lainnya
Kawasan/garis pantai tersebut berdasarkan data yang ada, untuk seluruh
wilayah ndonesia mencapai 81.800 km dan termasuk salah satu garis pantai yang
paling panjang di dunia.6
Kawasan pantai tersebut menurut Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 24
tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebut sebagai sisi darat dari garis laut terendah
dan merupakan bagian dari ruang daratan.
Kawasan sepanjang pantai merupakan kawasan penting dalam penguasaan
dan penggunaan tanahnya karena selain dapat dimanfaatkan untuk tempat melakukan
kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan seperti usaha pertanian, peternakan,
perikanan/tambak, industri dan pertambangan, sumber energi, tempat penelitian dan
percobaan, kawasan pariwisata juga dapat difungsikan untuk kepentingan yang lebih
tinggi, antara lain menyangkut masalah lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan
atau kepentingan masyarakat setempat khususnya nelayan.
Sedang di sisi lain, kawasan pantai juga tidak tertutup kemungkinan ada yang
hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau hilang karena longsor
atau karena pengerukan laut, tertimbun atau gempa bumi (tsunami) atau sebaliknya
dapat saja bertambah luas karena munculnya tanah timbul akibat gelombang laut,
selain itu, kawasan pantai juga dapat ditimbun (reklamasi) untuk kepentingan
tertentu.
6 Andik Hardiyanto, Pembaruan Agraria di Sektor Perairan dalam Tim Lapera, Prinsip-prinsip
Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, (Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama,
Bahkan belakangan ini muncul kecendrungan "pengkaplingan" kawasan
pantai oleh masyarakat nelayan kampung, juga pengkaplingan untuk proyek
perumahan di kawasan pantai, proyek pengembangan energi (PLTGU, misalnya),
sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem pantai seperti habisnya hutan
mangrove.7
Bila diperhatikan di lapangan maka secara kasat mata di kawasan pantai yang
merupakan hutan mangrove di Kecamatan Medan Belawan saat ini banyak ditemukan
penimbunan rawa-rawa hutan mangrove tersebut oleh berbagai pihak, baik yang
dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha, seperti penimbunan yang dilakukan
untuk pembangunan pompa bensin, gudang dan lain-lain.
Dalam hal ini tentu dapat dipersoalkan mengenai penimbunan tersebut
terhadap status tanahnya dan arahan penggunaannya, sebab secara umum hutan
mangrove termasuk dalam kategori hutan lindung yang tidak dapat dikuasai dan
diusahai karena berfungsi sebagai kawasan lindung dalam rangka menjaga kelestarian
ekosistem lingkungan di sekitarnya.
Mengingat urgennya fungsi dan manfaat kawasan pantai yang sebagian dapat
dimanfaatkan sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia
namun sekaligus pemanfaatan yang tidak terencana dapat merusak ekosistem
sehingga perlu perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di sekitarnya, maka
berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32
tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, ditentukan bahwa kawasan/
sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung atau kawasan perlindungan
setempat.8
Pada Pasal 13 Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dinyatakan bahwa
perlindungan sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari
kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai.
Semula oleh UUPA tidak ada diatur mengenai sempadan pantai tersebut
apakah dapat diberikan hak-hak atas tanah, selanjutnya berdasarkan Pasal 60
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai dinyatakan bahwa pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai9 atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau
atau berbatasan dengan pantai akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni
1997, antara lain dinyatakan bahwa permohonan hak atas tanah yang seluruhnya
merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai untuk tidak dilayani sampai
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut.
8 Lihat juga Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan tanah yang menegaskan bahwa sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung/kawasan perlindungan setempat.
9
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 UUPA),
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 500-1698 Tanggal 14 Juli 1997 antara lain dinyatakan
bahwa permohonan ijin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang berbatasan
dengan pantai masih dimungkinkan diproses yang dilakukan secara hati-hati dan
selektif dan permohonan yang diajukan setelah tanggal 3 Juli 1997 agar dilaporkan
kepada Menteri untuk mendapat petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.
Ketentuan yang lebih tegas diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pentagunaan Tanah yang menyebutkan
bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya
dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan, dengan catatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004
penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus
sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh
mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan ekosistem alami.
Bahkan secara khusus dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2004 diatur bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan
bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan
waduk dan atau sempadan sungai harus memperhatikan :
a) kepentingan umum dan
b) keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan
Dalam hal ini penguasaan atas tanah menjadi faktor penting untuk dapat
memanfaatkan dan menggunakan tanahnya, namun dalam penggunaan tanah tersebut
ada aturan yang membatasi kewenangan dari yang menguasai tanah tersebut.
AP Parlindungan menyatakan, “dikuasai” dan “dipergunakan” harus
dibedakan, dalam arti bahwa dipergunakan itu sebagai tujuan daripada dikuasai dan
kedua kata tersebut tidak ada sangkut pautnya dalam hubungan sebab akibat.10
Sekalipun dinyatakan bahwa dipergunakan sebagai tujuan daripada dikuasai,
namun pengertian tersebut berbeda antara konsepsi yang dianut oleh Pemerintah
melalui peraturan perundangan dengan pengertian yang dianut oleh masyarakat,
dalam hal ini masyarakat memandang bahwa apabila sebidang tanah dikuasainya
maka penggunaannya juga sesuai dengan kepentingannya.
Hal ini dapat dimengerti karena sejak dahulu terdapat perbedaan antara
perasaan hukum rakyat dan kesadaran hukum penguasa atas tanah. Perselisihan
mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum telah terjadi karena
pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah.11
Dalam kaitan ini, peraturan perundang-undangan memandang
diperkenankannya diberikan hak atas tanah pada kawasan pantai asal disesuaikan
penggunaannya dengan fungsi kawasan yakni sebagai kawasan lindung, sedang
masyarakat beranggapan bahwa penguasaan atas tanah berkaitan erat dengan
penggunaannya, menguasai tanah berarti dapat menggunakannya juga.
10
AP Parlindungan, 1993, Op.cit, hal. 42
11
Kemudian perkembangan terakhir, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang
diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007.
Pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir tersebut tentunya
menyangkut wilayah pantai. Hal ini perlu ditelusuri ketentuan yang mengatur tentang
obyek pantai dalam Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007, sebab bisa jadi
pengaturan atas obyek pantai berlainan antara satu peraturan perundangan dengan
peraturan perundangan lainnya, sehingga menimbulkan konflik kepentingan terutama
konflik antara lembaga yang menanganinya.
Hal ini dapat dimengerti karena dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 juga diatur adanya perizinan dengan bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(HP-3) yang diterbitkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), sementara
dalam hal pengelolaan tanah di kawasan pantai dapat juga diberikan hak atas tanah
oleh Instansi Badan Pertanahan Nasional
Sungguhpun menurut pendapat Bomer Pasaribu, anggota Komisi IV DPR-RI
dinyatakan HP-3 hanya terbatas pada permukaan laut dan kolam air sampai dengan
permukaan dasar laut, HP-3 tidak menyangkut hak atas tanahnya.12
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan pantai, dengan
12
memperhatikan rambu-rambu yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan, khususnya yang terdapat di Kecamatan Medan Belawan.
Pemilihan lokasi penelitian di Kecamatan Belawan dikaitkan dengan adanya
penguasaan tanah di kawasan pantai tersebut oleh berbagai pihak baik oleh instansi
pemerintah maupun oleh masyarakat setempat dengan penggunaan tanah pada
kawasan pantai di daerah tersebut untuk berbagai kegiatan seperti untuk pelabuhan
dengan segala sarana dan prasarananya, pemukiman nelayan, usaha perikanan/tambak
dan usaha lain-lainnya, sehingga perlu diteliti lebih lanjut bagaimana pelaksanaan
dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terhadap kawasan pantai tersebut
terutama dalam hal aspek penguasaan dan penggunaan tanahnya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan penguasaan tanah pada kawasan sempadan pantai di
Kecamatan Medan Belawan?
2. Bagaimanakah pelaksanaan penggunaan tanah pada kawasan sempadan pantai di
Kecamatan Medan Belawan ?
3. Apakah kendala yang ditemui dalam penetapan hak atas tanah pada kawasan
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan penguasaan tanah pada kawasan sempadan pantai
di Kecamatan Medan Belawan
2. Untuk mengetahui pelaksanaan penggunaan tanah pada kawasan sempadan
pantai di Kecamata Medan Belawan.
3. Untuk mengetahui kendala yang ditemui dalam penetapan hak atas tanah pada
kawasan sempadan pantai dan upaya mengatasinya
D. Manfaat Penelitian
Disamping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga
diharapkan memberikan manfaat, yaitu :
1. Memberikan gambaran yang jelas tentang pengaturan penguasaan dan penggunaan
tanah pada kawasan sempadan pantai, khususnya yang terdapat di Kecamatan
Medan Belawan
2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik kepada
Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah untuk
pada kawasan pantai sehingga bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
dan kebutuhan pembangunan.
E. Keaslian Penelitian
Setelah dilakukan pengamatan terhadap Tesis dan Disertasi yang ada di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, sepanjang yang diketahui
belum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pasca Sarjana ataupun
orang lain yang membahas tentang pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah
pada kawasan pantai. Dengan demikian penelitian ini benar-benar asli dan bukan
hasil ciplakan dari penelitian atau penulisan orang lain.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
Kerangka teori menurut M. Solly Lubis disebut sebagai landasan teori adalah
”suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, mungkin disetujui atau tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.”13
Oleh karena penelitian ini menyangkut pelaksanaan pengaturan penguasaan
dan penggunaan tanah pada kawasan pantai lebih kepada perilaku Pemerintah selaku
pengambil kebijakan sekaligus pelaksananya di lapangan, maka kerangka teori yang
13
M. Solly Lubis dalam Muhammad Yamin, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan
diambil tidak lebih dari ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan
dan dasar berpijak bagi pelaksanaannya.
Akan tetapi dalam pengaturan sesuatu obyek dapat saja telah ada sistem
hukum yang menatanya, namun situasi di lapangan terutama pada lapisan masyarakat
selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang dapat diprediksi dan tidak
sistematis, masyarakat dengan keinginan dan kebutuhannya terus-menerus bergerak
secara dinamis.
Hal demikian terjadi karena dalam masyarakat banyak sekali faktor yang
mempengaruhinya, misalnya kekuatan-kekuatan (kekuasaan) dan saling tarik-menarik
dan berbenturan di dalamnya dan menimbulkan ketidakteraturan, dengan kata lain
hukum dan masyarakat bukan sebagai sesuatu yang sistematis, tetapi penuh dengan
ketidakteraturan, inilah yang disebut dengan teori ketidakteraturan hukum (Theories
of legal disorder) yang dikembangkan oleh Charles Sampford.14
Namun seharusnya peranan hukum dapat menjamin adanya suatu
keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, karena
keteraturan tersebut merupakan salah satu tujuan dari masyarakat yang sedang
membangun, maka hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam
proses pembangunan.15
14
HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, (Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005), hal. 105-108
15
Mochtar Kusumaatmaja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional,
Berdasarkan teori di ataslah yang dijadikan kerangka berpikir dalam
penelitian ini guna melihat situasi hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah
dalam hal ini antara aspek penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan pantai
dikaitkan antara peraturan perundang-undangan dengan kenyataan di lapangan,
termasuk tujuan hukum dalam menciptakan keteraturan terutama dalam kondisi
masyarakat yang sedang membangun.
Dari pijakan kerangka teori hukum tersebut, maka konsepsi yang
dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan meninjau peraturan
perundang-undangan mengenai obyek yang diteliti dan menggambarkan kenyataannya di
lapangan, yang diuraikan dalam tiga variabel, yakni penguasaan tanah, penggunaan
tanah dan kawasan pantai dengan segala lingkup aturan dan uraiannya.
1. mengenai Pengaturan Tentang Penguasaan Tanah
Ketentuan hukumnya dilihat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam
tersebut termasuk dalam pengertian ”dikuasai oleh Negara” tersebut kemudian
dijabarkan dalam UUPA. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.
Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian ”dikuasai” bukan
berarti ”dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada
Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan
wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan negara mengenai tanah mencakup
tanah yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara
mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari
hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberikan kekuasaan kepada yang
mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara
tersebut.
Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu
hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, artinya negara
dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak
menurut peruntukan dan keperluannya.
Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya
alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu wewenang untuk
fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah
yang bersifat peribadi.16
Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai Hak
Menguasai dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif, artinya dengan atau
tanpa penyebutan ketentuan tersebut setiap negara tetap mempunyai hak menguasai
negara. Namun demikian, ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi
eksistensi dari hak menguasai negara tersebut dan menunjukkan sifat hubungan
antara negara dan tanah.17
Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada Pasal 2 dan 4 UUPA
mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, dan atas dasar
hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah
yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak).
Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan
peraturan perundangan. Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah
oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya
dapat digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.18
16
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru Untuk Reformasi
Agraria,(Yogyakarta : Citra Media, 2007), hal.5
17
Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan
Implementasi, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006), hal. 60
Dari ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat bahwa Negara
memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum (subyek hak),
bahkan menjamin, mengakui, melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam
rangka mensejahterakan kehidupannya dan tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun.
Akan tetapi Negara tidak hanya memberikan begitu saja hak-hak atas tanah
tersebut kepada subyek hak untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan
kehidupannya, tetapi Negara juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
hak-hak atas tanah tersebut melalui pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah
menurut Pasal 19 ayat (2) meliputi :
a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanahnya;
c) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Kegiatan pendaftaran tanah baik untuk pendaftaran pertama kali maupun
untuk pendaftaran hak dan peralihannya, baru dapat dilakukan apabila subyek hak
dapat membuktikan adanya hubungan hubungan baik yang bersifat keperdataan
(perorangan) maupun bersifat publik (tanah yang dikuasai oleh instansi Pemerintah
atau tanah hak ulayat19 masyarakat hukum adat) antara subyek hak dengan tanahnya.
19
Hubungan hukum tersebut dapat dibuktikan dengan cara menguasai secara fisik tanah
yang bersangkutan dan atau mempunyai bukti yuridis atas penguasaan tanah
Bukti yuridis atas penguasaan tanah tersebut dapat saja dalam bentuk
keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang memberikan hak penguasaan
kepada subyek hak untuk menguasai tanah dimaksud dan dapat juga dalam bentuk
akta otentik yang diterbitkan oleh pejabat umum yang menunjukkan tanah
tersebut diperolehnya akibat adanya perbuatan hukum berupa perjanjian
pemindahan/peralihan hak.
Bila dikatakan perolehan hak atas tanah, maka tersirat adanya perbuatan
hukum yang dilakukan oleh subyek hak, hal ini sejalan dengan pengertian perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan yang dikembangkan oleh Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Tanah dan atau Bangunan
yakni perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas
tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan, seperti jual beli,
tukar-menukar, hibah, wasiat, hibah wasiat, pewarisan dan lain-lain, yang pemindahan
haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur undang-undang.
Penguasaan atas tanah merupakan hal penting dalam mengatur lalu lintas
hukum di bidang pertanahan. Penguasaan tersebut dapat juga sebagai permulaan
suatu ”hak”. Kata ”penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah
dengan yang mempunyainya.20
Artinya ada sesuatu hal yang mengikat antara orang dengan tanah tersebut,
ikatan tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda bahwa tanah tersebut telah
dikuasainya. Tanda tersebut bisa berbentuk fisik maupun bisa berbentuk bukti
tertulis.
Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat dipergunakan dalam
arti yuridis maupun fisik.21 Penguasaan dalam arti yuridis maksudnya hubungan
tersebut ditunjukkan dengan adanya alas hak dari penguasaan tanahnya, apabila telah
ada alas hak, maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah dilandasi
dengan suatu hak.
Sedangkan penguasaan tanah dalam arti fisik menunjukkan adanya
hubungan langsung antara tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya
didiami dengan mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman produktif
untuk tanah pertanian.
Penguasaan tanah dapat merupakan permulaan adanya atau diberikannya hak
atas tanah, dengan perkataan lain penguasaan tanah secara fisik merupakan salah satu
faktor utama dalam rangka pemberian hak atas tanahnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat-alat
20
Badan Pertanahan Nasional, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Jakarta, 2002, hal. 18
21
bukti penguasaan secara yuridis, namun apabila dalam kenyataan bidang tanah
tersebut telah dikuasai secara fisik, maka dapat dilegitimasi penetapan/pemberian
haknya kepada yang bersangkutan.
Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis
dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti penguasaan atas tanah
secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan
adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga
berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah
sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara
yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan,
surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di
bawah tangan dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997, alas hak tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai
status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya.
Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan
tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada
alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak, tanah tersebut
Penguasaan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan untuk
menguasai fisik tanahnya, oleh karena penguasaan yuridis memberikan alas hak
terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila
tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya
hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas
tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Negara agar hubungan tersebut memperoleh
perlindungan hukum. Proses penetapan dan pengakuan alas hak menjadi hak atas
tanah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertipikat tanah.
Oleh karena itu alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal
atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun
idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara,
maka harus dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara
(Pemerintah).
AP. Parlindungan menyatakan :
”bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas tanah dapat diterbitkan karena penetapan pemerintah atau ketentuan peraturan perundangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak di atas hak tanah lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) juga karena ketentuan konversi hak atas tanah. Sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.”22
Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak23 untuk tanah
menurut UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan
perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti hak-hak adat
atas tanah dan hak-hak yang berasal dari hak-hak Barat,24 dengan catatan dilakukan
penyesuaian dengan ketentuan yang baru yang dalam Hukum Agraria dikenal dengan
istilah konversi. Maksud dari konversi hak atas tanah tersebut adalah perubahan hak
lama atas tanah menjadi hak baru sebagaimana yang diatur dalam UUPA.25
Sedang menurut AP. Parlindungan, konversi adalah bagaimana pengaturan
dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam
system UUPA. 26
Konversi dibagi dalam tiga jenis, yaitu 1) konversi hak yang berasal dari
tanah hak barat yaitu hak eigendom, opstal, erfpacht; 2) konversi hak yang berasal
dari tanah hak Indonesia yaitu terhadap hak erfpach yang altijdurend, hak agrarische
eigendom dan hak gogolan dan 3) konversi hak yang berasal dari tanah bekas
23
Alas hak adalah bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain (Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hal. 237)
24 AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 1993), hal. 3 25 Ali Ahmad Chomzah, Hukum Agraria, Jilid-I (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2004), hal. 80.
swapraja, yaitu terhadap hak anggaduh, hak grant, hak konsesi dan sewa untuk
perumahan dan kebun besar.27
Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang
tanah yang diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya (dasar penguasaan/alas hak lama)
masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku pada masa itu.
Hak-hak adat maupun hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak
tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum
didaftar. Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak atas tanah yang
tunduk pada KUH Perdata, sungguhpun ada juga orang-orang Bumi Putera yang
mempunyai hak atas tanah yang berstatus hak Barat selain golongan Eropa dan Timur
Asing termasuk golongan China.
Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran
tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa
pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Geran
lama, Geran Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di
daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan
menirukan system pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah
pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di
Pulau Jawa.28
Di Daerah Sumatera Utara juga dikenal semacam pendaftaran tanah untuk
kepentingan perpajakan yang ditemukan di daerah Kabupaten Deli Serdang yang
dikenal dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh Bupati Deli
Serdang dalam rangka pemungutan pajak tanah atas obyek tanah yang digarap oleh
penduduk setempat, kemudian pemiliknya menjadikan SKT tersebut sebagai alas hak
atas tanah.
Selain itu ditemukan juga alas hak atas tanah berupa surat-surat yang dibuat
oleh para Notaris atau yang dibuat oleh Camat dengan berbagai ragam bentuk untuk
menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat.
Penerbitan bukti-bukti penguasaan tanah tersebut ada yang dibuat di atas
tanah yang belum dikonversi maupun tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan
kemudian tanah dimaksud diduduki oleh rakyat baik dengan sengaja ataupun diatur
oleh Kepala-kepala Desa dan disahkan oleh para Camat, seolah-olah tanah tersebut
telah merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak adat. 29
Surat-surat tersebutlah yang dijadikan sebagai alas hak atau bukti perolehan
atau pemilikan tanah yang diajdikan sebagai kelengkapan persyaratan dalam
mengajukan permohonan pendaftaran tanahnya.
28 Ibid., hal. 76.
Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai
kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah yang diketegorikan sebagai alas
hak telah ditentukan secara limitatif dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Pasal 60 ayat (1)
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu :
a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan
Overschrijvingsordonantie (Staatsblad 1834-27) yang telah dibubuhi catatan
bahwa hak eigendomnya dikonversi menjadi hak milik atau,
b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan
Overschrijvingsordonantie (Staatsblad 1834-27) sejak berlakunya UUPA
sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 di daerah yang bersangkutan, atau
c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1959; atau
e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban mendaftarkan haknya, tetapi dipenuhi semua kewajiban yang ada
f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang disaksikan oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum PP ini;
g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahya belum dibukukan; atau
h. Akta Ikrar Wakaf /surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977; atau
i. Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang yang tanahnya belum dibukukan; atau
j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau
k. Petuk Pajak Bumi / Landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia sebelum berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961;
m.Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Surat-surat tersebut yang dikategorikan sebagai alas hak atau data yuridis
atas tanah pada dasarnya merupakan keterangan tertulis mengenai perolehan tanah
oleh seseorang, misalnya saja dengan berupa pelepasan hak bekas pemegang hak,
pernyataan tidak keberatan dari bekas pemegang hak tentunya setelah ada ganti rugi.
Syarat ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
yang bunyinya "sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, pemohon harus
menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 30
Selanjutnya Pasal 18 ayat (2) angka 2 Peraturan tersebut ditentukan bahwa
keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik adalah :
a) Dasar penguasaannya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta
pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya;
b) letak, batas-batas dan luasnya; dan
c) jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan).
Yang termasuk kategori alas hak dalam hal ini adalah data yuridis yaitu
dasar penguasaan, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas
tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya.
Penguasaan tanah tersebut menurut pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2004 adalah hubungan hukum antara orang-perorang, kelompok
orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Kemudian secara operasional, ketentuan tentang bukti penguasaan atas tanah
atau alas hak juga ditemukan dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional yakni dalam Buku III (Pelayanan Hak Hak
Atas Tanah) yang menunjukkan bahwa alas hak suatu bidang tanah dijadikan sebagai
salah satu kelengkapan persyaratan yang berisi keterangan mengenai data yuridis
yang bentuknya berbeda-beda menurut status tanah yang dimohonkan hak atas
tanahnya yang dikategorikan dalam 13 (tiga belas) jenis bukti penguasaan atau
kepemilikan / alas hak atas tanahnya, yaitu
1. Untuk tanah yang berasal dari tanah hak/telah terdaftar / bersertipikat, alas
haknya yaitu : a) fotokopi sertipikat yang dilegalisir dan b) bukti perolehan
atas tanah (jual beli/pelepasan hak, hibah, tukar-menukar, surat keterangan
waris, akte pembagian hak bersama, lelang wasiat, putusan pengadilan dll.
2. Untuk tanah yang berasal dari tanah negara, alas haknya yaitu :
b) Riwayat tanah/bukti perolehan tanah (hubungan hukum sebagai alas
hak) dari hunian/garapan terdahulu
c) Surat Penyataan Penguasaan Fisik pemohon.
3. Untuk tanah yang berasal dari tanah negara (Keppres 32/1979), alas haknya
yaitu :
a) Fotokopi sertipikat/kartu/akta verponding yang dilegalisir;
b) Bukti perolehan/penyelesaian bangunan dari bekas pemegang hak;
c) Surat keterangan telah keluar dari occupasi TNI/Polrii;
4. Untuk tanah negara yang berasal dari bekas hak barat, alas haknya yaitu :
a) Fotokopi sertipikat yang dilegalisir;
b) Surat penyataan penguasaan fisik,
c) Surat keterangan telah keluar dari occupasi TNI/Polri ;
5. Untuk tanah yang berasal dari tanah adat/yasan/gogol tetap, alas haknya
yaitu :
a) Patok D/Girik, Ketitir, Kanomeran/ letter C Desa, keterangan riwayat
tanah dari Desa/Kelurahan dan
b) Bukti perolehan/surat pernyataan pelepasan hak dari pemegang
sebelumnya.
6. Untuk tanah yang berasal dari tanah gogol bersifat tidak tetap, alas hak yaitu
a) Patok D/Girik, Ketitir, Kanomeran/ letter C Desa, keterangan riwayat
b) Keputusan desa/peraturan desa yang disetujui oleh BPD berisi
persetujuan tidak keberatan dan
c) Akta pelepasan hak yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris/
Camat/Kepala Kantor Pertanahan setempat;
7. Untuk tanah yang berasal dari tanah kas desa, alas haknya yaitu :
a) Perda tentang sumber pendapatan dan kekayaan desa atau keputusan
desa/pengesahan bupati dan ijin gubernur ;
b) Penetapan besarnya ganti rugi berupa uang atau tanah pengganti;
c) Berita acara serah terima tanah pengganti;
d) Akta /surat pelepasan hak atas tanah kas desa yang dibuat notaris/camat
dan kepala kantor pertanahan;
e) Fotokopi petok D/girik/letter C Desa dan
f) Fotokopi sertipikat tanah pengganti atas nama pemerintah desa
setempat;
8. Untuk tanah yang berasal dari asset pemerintah daerah, alas haknya yaitu :
a) Persetujuan dari DPRD;
b) Keputusan kepala daerah tentang peralihan/pelepasan asset;
c) Perjanjian antara pemda dan pihak ketiga dan
d) Pelepasan hak atas tanah yang dibuat di hadapan pejabat yang
berwenang dan
e) Bukti sertipikat tanah pengganti (jika perolehannnya berasal dari
9. Untuk tanah yang berasal dari asset instansi pemerintah pusat, alas haknya
yaitu :
a) SK pelepasan asset dari instansi tersebut;
b) Surat persetujuan Menteri Keuangan;
c) Berita Acara pelepasan hak
d) Bukti sertipikat tanah pengganti (jika perolehannya berasal dari
tukar-menukar)
10. Untuk tanah yang berasal dari asset BUMN, yaitu :
a) Persetujuan Menteri BUMN/Menteri Keuangan,
b) Sertipikat sepanjang sudah terdaftar,
c) Berita acara pelapasan hak;
d) Bukti sertipikat tanah pengganti (jika peroehan dari tukar-nemukar,
sepanjang terdapat dalam perjanjian)
11. Untuk tanah yang berasal dari asset BUMD, alas haknya yaitu :
a) Persetujuan kepala desa,
b) Persetujuan DPRD,
c) Berita acara/ pelapasan hak;
d) Sertipikat yang bersangkutan
e) Bukti sertipikat tanah pengganti
12. Untuk tanah yang berasal dari kawasan hutan, yaitu SK pelepasan kawasan
13. Untuk tanah yang berasal dari BHMC (Badan Hukum Milik China), alas
haknya yaitu :
a) Pelepasan asset BHMC dari Menteri Keuangan dan
b) Bukti pelunasan pembayaran tanah dan bangunan yang dimohon.
Setelah dibuktikan adanya hubungan hukum atau penguasaan atas
tanah yang dimiliki oleh subyek hak, maka Pemerintah sebagai pemangku Hak
Menguasai Negara yang berwenang melakukan pengaturan dan menentukan
hubungan-hubungan hukum antara orang dengan tanah, melaksanakan tugasnya
memberikan hak-hak atas tanah yang dibuktikan dengan penerbitan keputusan
pemberian haknya, sedangkan terhadap penguasaan atas tanah yang ditandai dengan
adanya hak-hak lama, dilakukan pengaturannya dengan menegaskan atau mengakui
hak-hak lama.
Selanjutnya kepada penerima hak atau yang ditegaskan/diakui hak-hak
lamanya diterbitkan produk hukum berupa sertipikat tanah yang berfungsi sebagai
alat pembuktian yang kuat dan memberikan jaminan kepastian hukum atas
penguasaan/pemilikana tanahnya.
2. mengenai Pengaturan Tentang Penggunaan Tanah
Dalam hal ini dapat dilihat aturan hukumnya sebagaimana dalam Pasal 14
suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya :
a) untuk keperluan negara;
b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya
sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan
dan lain-lain kesejahteraan;
d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan
dan perikanan serta sejalan dengan itu; dan
e) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa berdasarkan rencana umum
tersebut, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air dan ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah
masing-masing.
Penjelasan umum UUPA (point II angka 8) ditentukan bahwa dengan adanya
rencana (planning) tersebut maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin
dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 14 UUPA, diterbitkan Undang Undang
Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang disempurnakan dengan Undang
Undang nomor 37 tahun 2007. Pasal 1 angka (3) Undang Undang Nomor 24 tahun
1992 disebutkan bahwa penatagunaan ruang adalah proses perencanaan ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Selanjutnya pada Pasal 14 ayat (2) diatur bahwa perencanaan tata ruang
mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna
tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam. Dalam hal ini
penatagunaan tanah merupakan bagian dari penatagunaan ruang.
Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 jo. Undang Undang Nomor 37 tahun
2007 tersebut belum operasional khususnya mengenai penatagunaan tanah. Oleh
karena itu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004
Tentang Penatagunaan Tanah. 31 Pengertian dari penggunaan tanah menurut pasal 1
angka (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 adalah wujud tutupan
permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.
3. mengenai Pengaturan Tentang Kawasan Pantai
dapat diuraikan dengan menjelaskan pengertian tentang kawasan pantai
sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 24 tahun 1992
tentang Penataan Ruang yang didefenisikan sebagai sisi darat dari garis laut terendah
dan merupakan bagian dari ruang daratan.
31
Kawasan pantai atau disebut juga dengan sempadan pantai menurut
ketentuan Pasal 1 angka 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung adalah kawasan tertentu sepanjang
pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
pantai.
Kawasan pantai atau semadan pantai tersebut termasuk salah satu bagian
dari kawasan lindung.32 Hal itu dapat dilihat dari penjelasan Pasal 4 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang
menjelaskan bahwa kawasan Lindung tersebut meliputi kawasan yang memberikan
perlindungan kawasan bawahannya yang mencakup kawasan hutan lindung, kawasan
bergambut, kawasan resapan air, kawasan perlindungan setempat yang mencakup
sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar
mata air, kawasan terbukit hijau termasuk di dalamnya hutan kota, kawasan suaka
alam yang mencakup kawasan cagar alam, suaka margasatwa, kawasan pelestarian
alam yang mencakup taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan
cagar budaya, kawasan rawan bencana alam yang mencakup antara lain kawasan
rawan letusan gunung api, gempa bumi, tanah longsor serta gelombang pasang dan
banjir, kawasan lindung lainnya mencakup taman buru, cagar biosfir, kawasan
32