• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagnosis, Bioekologi dan Analisis Faktor Epidemik Penyakit Hawar Beludru (Velvet blight) pada Lada di Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diagnosis, Bioekologi dan Analisis Faktor Epidemik Penyakit Hawar Beludru (Velvet blight) pada Lada di Kalimantan Barat"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

DIAGNOSIS, BIOEKOLOGI DAN ANALISIS FAKTOR

EPIDEMIK PENYAKIT HAWAR BELUDRU

(

VELVET BLIGHT

) PADA LADA

DI KALIMANTAN BARAT

FADJAR RIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Diagnosis, bioekologi dan analisis faktor epidemik penyakit hawar beludru (Velvet blight) pada lada di Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

FADJAR RIANTO.Diagnosis, Bioekologi dan Analisis Faktor Epidemik Penyakit Hawar Beludru (Velvet Blight) pada Lada di Kalimantan Barat. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA, WIDODO dan SURYO WIYONO..

Saat ini di Indonesia, sebaran penyakit hawar beludru (velvet blight) pada lada terbatas di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Penyakit ini belum tergolong penyakit penting. Tetapi jika tidak dikendalikan maka suatu saat dapat menimbulkan kerugian yang tinggi secara ekonomi. Informasi penyebab penyakit, bioekologi dan faktor epidemiknya belum ada. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh informasi patogen penyebabnya, bioekologi dan faktor epidemiknya. Studi dibagi menjadi tiga tahap. Penelitian I dilakukan untuk mendiagnosa penyakit, penelitian II mengkaji ekobiologi dan penelitian III menganalisis faktor epidemik. Diagnosis penyakit untuk menentukan patogen penyebab dilakukan dengan pengamatan gejala dan tanda penyakit, dan dilanjutkan dengan postulat Koch. Postulat Koch dilakukan pada bibit lada sehat setelah diberi perlakuan pengeringan pada media tanam. Bioekologi patogen diamati dari respon pertumbuhan miselia karena pengaruh pH dan suhu, kemampuan bertahan tubuh buah pada jaringan tanaman selama dalam penyimpanan, keberadaan mikroba di perakaran yang berpotensi sebagai agens pengendali serta kehadiran serangga dalam tubuh buah. Analisis faktor epidemik dilakukan untuk mekaji kemungkinan keterkaitan antara cara budidaya,sifat fisik dan kimia tanah, dan faktor cuaca dengan keparahan penyakit.

Hasil postulat Koch menunjukkan penyebab hawar beludru pada lada adalah Septobasidium pseudopedicellatum Burt. Identifikasi penyebab berdasarkan pengamatan morfologi, baik secara makroskopik dan mikroskopik. Keberhasilan infeksi pada postulat Koch terjadi setelah bibit lada diberi perlakuan pengeringan. Inokulasi dilakukan dengan menempelkan miselia di permukaan cabang yang dilukai atau di bagian buku, terutama jika sudah mulai terbentuk akar. Gejala sudah mulai terbentuk mulai minggu ke 5 setelah inokulasi.

Suhu dan pH mempengaruhi pertumbuhan radial S. pseudopedicellatum. Jika pH diturunkan dari posisi normal maka pertumbuhan miselia akan terhambat. Kejadian yang sama juga terhadap perlakuan suhu. Jika suhu 10 atau 400C menyebabkan miselaia tidak tumbuh. Perlakuan penyimpanan tubuh buah patogen dapat menurunkan viabilitasnya. Penurunan tercepat viabilitas terjadi jika penyimpanan dilakukan dalam tanah yang tidak disterilkan. Penurunan viabilitas ada kaitannya dengan serangan antagonis dan pembusukan pada cabang atau ranting. Beberapa cendawan tanah berpotensi sebagai agens pengendali hayati seperti Trichoderma dan Penicillium. Kemampuan menekan pertumbuhan di atas 70%. Pada tubuh buah dapat ditemukan kutu sisik, Unaspis sp. Unaspis sp. lebih sering ditemukan pada tubuh buah yang tua. Peranan kutu sisik pada penyakit hawar beludru masih belum diketahui.

(5)

tergolong tinggi (lebih dari 200 g/tan/th), lebih sering menggunakan pupuk anorganik, pengendalian gulma menggunakan herbisida, melakukan pemangkasan tiang panjat lebih 2 kali/tahun. Diantara sifat kimia dan fisik tanah Ca (kalsium) paling berperan dalam menentukan keparahan penyakit. Sifat tanah lain yang juga berperan adalah pH, C-organik, KB (kejenuhan basa), kandungan liat dan debu. Unsur Ca memperlihatkan hubungan negatif dengan tingkat keparahan penyakit hawar beludru. Pada unsur cuaca, suhu dan kelembaban udara berperan besar terhadap keparahan penyakit.

Kata kunci: hawar beludru, teknik budidaya, cuaca, kimia dan fisik tanah,

(6)

SUMMARY

Fadjar Rianto. Diagnosis, Bioecology and Epidemic Factor Analysis of Velvet Blight Disease on Black Pepper in West Kalimantan. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA, WIDODO and SURYO WIYONO.

Currently in Indonesia, the incidence of velvet blight disease on black pepper is relatively limited in West Kalimantan and East Kalimantan. The disease was not as a major group. But if it isn’t controled the disease will cause great loss economically. There was no information about the pathogen, bioecology, and its epidemic factor. The objective of this study was to obtain information of pathogen, bioecology, and epidemic factor for this disease.

The study was divided into 3 phases. The first phase was done to diagnose velvet blight disease, the second was to assess bioecology, and the last was to analysis of epidemic factors. Disease diagnose was to determine the pathogen based on disease symptom and sign, and then proceed to do the Koch’s postulate.

Koch’s postulate was conducted on healthy black pepper seedling. Pathogen bioecology was observed from the response of mycelial growth due to pH and temperature in vitro, the survival ability of fruiting body on plant tissue during storage, the potency of microbes on rhizosphere that may take a role as controlling agent, and the presence of insect on fruiting body. The Analysis of epidemic factor was conducted to analyze the relationships between cultivation techniques, soil physical and chemical properties and weather factor to the disease severity.

The result of Koch’s postulat indicate that the pathogen of velvet blight disease of black pepper was Septobasidium pseudopedicellatum Burt. Identification of the pathogen based on microscopic and macroscopic morphologies. The success of infection on Koch’s postulate occured after the seedling was drought treated. Inoculation is done by attaching the mycelia on the surface of the wounded branch or at the internodes, particularly if it begins to form roots. The symptoms had started to form at fifth week after inoculation.

Temperature and pH affected the mycelia radial growth. The reduction of medium acidity than the neutral level will inhibited the mycelial growth. The same result showed to temperature treatment. The mycelial growth stopped at 100C or 400C. The storage treatment affected the viability of fruiting body. The fastest decline occured when the fruiting body was buried in the unsterilized soil.The decrease of viability related to antagonist attack and branch or twig decay. Some soil fungi are potential as a controlling agent, such as Trichoderma and Penicillium. Its ability to suppressed the pathogen more than 70%. In the fruiting bodies can be found scale insect, Unaspis sp.Unaspis sp. more often was found in the older ones. In this case the function of the insect was not known.

(7)

organic content, clay and loam content. Ca has negative relationship to disease severity of velvet blight. Temperature and humidity had the most effect to the disease severity.

Keywords: cultivation technique, identification, soil chemical and physical,

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Fitopatologi

DIAGNOSIS, BIOEKOLOGI DAN ANALISIS FAKTOR

EPIDEMIK PENYAKIT HAWAR BELUDRU (

VELVET

BLIGHT

) PADA LADA DI KALIMANTAN BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Sudradjat, MS

(Staf Pengajar Jurusan Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB) 2. Dr Ir Supramana, MSi

(Staf Pengajar Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Prof. Dr Ir H. Muhammad Hasjim Bintoro, MAgr

(Staf Pengajar Jurusan Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB) 2. Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi

(11)

Judul Disertasi : Diagnosis, Bioekologi dan Analisis Faktor Epidemik Penyakit Hawar Beludru (Velvet blight) pada Lada di Kalimantan Barat

Nama : Fadjar Rianto

NIM : A362090021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc Ketua

Dr Ir Widodo, MS Anggota

Dr Ir Suryo Wiyono, MSc Agr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Fitopatologi

Prof. Dr Ir Sri Hendrastuti H., MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2011 sampai Desember 2012 ini ialah penyakit hawar beludru, dengan judul Diagnosis, bioekologi dan analisis faktor epidemik penyakit hawar beludru (Velvet blight) pada lada di Kalimantan Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu Prof. Dr Ir Meity Suradji Sinaga MSc, Bapak Dr Ir Widodo, MS dan Bapak Dr Ir Suryo Wiyono MSc Agr selaku pembimbing, yang telah banyak memberi saran, bimbingan, waktu dan motivasi dalam penyelesaian studi. Terutama sekali kepada ibu Prof. Dr Ir Meity yang sangat memacu, memberikan dorongan yang sangat besar kepada penulis untuk bisa menyelesaikan studi. Juga ucapan yang sama disampaikan kepada tim penguji pada ujian tertutup, Dr Ir Sudradjat, MS dan Dr Ir Supramana, MSi yang banyak memberikan motivasi dan saran perbaikan materi tulisan. Kepada tim penguji pada ujian terbuka, Prof. Dr Ir H. Muhammad Hasjim Bintoro, MAgr dan Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi yang banyak memberikan saran perbaikan pada meteri tulisan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi dan ibu Dr Ir Nina Maryana, MS yang memberi masukan sehingga lebih membuka cakrawala dalam pengembangan penelitian pada ujian kualifikasi. Kepada seluruh staf pengajar program studi Fitopatologi yang sabar dalam memberikan pendidikan untuk memperkaya khasanah ilmu disampaikan ucapan terima kasih. Juga kepada seluruh pegawai di lingkungan jurusan Proteksi Tanaman yang selalu siap memberikan bantuan pada sidang komisi, ujian kualifikasi, ujian tertutup dan ujian terbuka. Kepada ketua program studi, Prof. Dr Ir Sri Hendrastuti H., MSc yang secara khusus selalu memberi dukungan dalam usaha penulis menyelesaikan pendidikan di IPB.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir Sajarwadi dan staf dari Badan Proteksi Tanaman Perkebunan Pontianak yang banyak membantu selama pengambilan data dan sampel tanamandi lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman seperjuangan dalam pendidikan di IPB (bu Lia, pak Kusuma, bu Ummu, bu Tati, pak Santoso, bu Alina, bu Umi, bu Bedah, bu Eka) yang saling menguatkan untuk bisa menyelesaikan pendidikan. Khusus kepada pak Jekvy yang setia berbagi dalam senang, susah selama menjalani pendidikan di IPB, terutama disaat akhir penyelesaian studi yang selalu siap berbagi susah.

Ucapan terima kasih tak terhingga dihaturkan kepada istri tercinta, Zurnawati yang setiap saat membaluti kehidupan segala aspek kehidupan penulis selama pendidikan di IPB dengan doa. Juga untuk anak-anak tercinta, Bugi Yudistira, Rizki Dwi Lestari dan Nurvianty yang selalu menjadi penyemangat dalam melalui masa pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Salam hormat kepada ibu, Djumilah serta ayah, Saryono (alm), yang telah membesarkan dan menuntun penulis hingga ke kehidupan yang sekarang ini. Terima kasih juga disampaikan kepada adik-adik atas doanya selama ini.

(14)

Bogor mulai menghuni tahun 2009 sampai 2014 yang selalu menemani mengusir kepenatan akibat kegiatan perkuliahan penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian studi penulis di Sekolah Pascasarjana IPB diucapkan terima kasih. Atas budi baik yang telah diberikan akan sulit terbalaskan. Insya Allah akan dibalas olehNya. Aamiin.

.

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

Nilai Kebaruan Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Penyakit Hawar Beludru 5

Septobasidium 5

Budidaya Lada 7

Syarat Tumbuh 7

Perawatan Tanaman 8

Epidemiologi 8

3 DIAGNOSIS PENYAKIT HAWAR BELUDRU (VELVET BLIGHT) PADA LADA 11

Abstrak 11 Pendahuluan 11 Tujuan dan Manfaat 12

Masalah Penelitian 12

Metode 12 Identifikasi Patogen Penyebab Hawar Beludru 12

Postulat Koch 13

Hasil dan Pembahasan 14

Diagnosis Penyakit Hawar Beludru 14

Postulat Koch 18

Simpulan 21

4 BIOEKOLOGI PATOGEN HAWAR BELUDRU PADA LADA 22

Abstrak 22

Pendahuluan 22

Tujuan dan Manfaat 23

Masalah Penelitian 23

Metode 24

Pengujian Perlakuan pH dan Suhu terhadap Pertumbuhan S. pseudopedicellatum 24

Viabilitas Tubuh Buah Akibat Penyimpanan 24

Eksplorasi Mikroba Tanah dan Uji Antagonis terhadap Patogen Hawar Beludru 25

(16)

Uji Antagonis Mikroba Tanah 23

1 Eksplorasi Mikroba Tanah 23

2 Uji Antagonisme 26

Kehadiran Serangga pada Tubuh Buah Hawar Beludru 26

Hasil dan Pembahasan 27

Pengaruh pH dan Suhu terhadap Pertumbuhan S. pseudopedicellatum in vitro 27

1 Pengaruh pH Media 27

2 Pengaruh Suhu 28

Viabilitas Tubuh Buah akibat Penyimpanan 29

Uji Antagonis Mikroba Tanah 30

Kehadiran Serangga pada Tubuh Buah 32

Simpulan 33

5 ANALISIS FAKTOR EPIDEMIK PENYAKIT HAWAR BELUDRU PADA LADA DI KALIMANTAN BARAT 35

Abstrak 35

Pendahuluan 35

Tujuan dan Manfaat 36

Masalah Penelitian 36

Metode 37

Pengukuran Insidensi Penyakit (IP) dan Keparahan Penyakit (KP) 37

Faktor Epidemik 37

Cara Budidaya dan Kondisi Kebun 37

Kimia dan Fisik Tanah 38

Cuaca 39

Hasil dan Pembahasan 39

Insidensi dan Keparahan Penyakit 39

Faktor Epidemik 42

Teknik Budidaya dan Kondisi Kebun 42

Kimia dan Fisik Tanah 48

Cuaca 49

Simpulan 51

6. PEMBAHASAN UMUM 53

7. SIMPULAN UMUM DAN SARAN 60

Simpulan 60

Saran 61

8. DAFTAR PUSTAKA 62

LAMPIRAN 69

(17)

DAFTAR TABEL

4.1 Hasil uji antagonisme cendawan hasil isolasi rizosfor lada terhadap

S. pseudopedicellatum 31

4.2 Kehadiran serangga pada beberapa kelompok umur tubuh buah

penyakit hawar beludru pada lada 32

5.1 Hasil uji khi-kuadrat cara budidaya dan kondisi kebun terhadap

tingkat keparahan penyakit 42

5.2 Nilai komponen variabel kesuburan tanah penyusun faktor dan koefisien skor baku terhadap keparahan penyakit hawar beludru

hasil AKU 47

5.3 Nilai komponen variabel cuaca penyusun faktor, koefisien skor baku dan komunalitas hasil AKU terhadap keparahan penyakit

hawar beludru 50

5.4 Nilai komponen variabel cuaca penyusun faktor, koefisien skor baku dan komunalitas hasil AKU terhadap prevalensi penyakit

(18)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Alur penelitian 4

2.1 Bentuk himenium, pilar, basidia, probasidia dan spora S. pesudopedicellatum Burt. 1 pilar, 2 himenium, 3 probasidia, 4

basidium, 5 spora, 6 sterigmata (Couch 1935) 6

3.1 Tubuh buah cendawan S. pseudopedicellatum Burt. Rizomorfa yg aktif tumbuh (A), pilar yang terbentuk pada subikulum (B). Subikulum dan pilar ditutupi himenium (tanda panah), subikulum di bagian tepi tubuh buah berwarna putih (C), percabangan tubuh buah tumbuh ke udara

(D) 15

3.2 Mikroskopik S. pseudopedicellatum Burt. (A) spora dan basidia, (B). Basidium yang dilengkapi sterigma, (D) sel basidium yang mengalami penyempitan, (C) probasidium yang sedang berkecambah. 17 3.3 Gejala hawar beludru . (A) gejala awal, terbentuk lapisan miselia tipis

terbentuk di atas dan bawah tempat penempelan miselia, (B) miselia mulai menebal di daerah inokulasi, (C) terbentuk bercak tubuh buah

pada daerah buku. 19

3.4 Gejala hawar beludru yang belum membentuk pilar. (A) gejala hasil postulat Koch, (B) gejala pada spesimen dari lapangan. 20 4.1 Pertumbuhan miselia tiga isolat S.pseudopedicellatum karena pengaruh

pH media 27

4.2 Pertumbuhan miselia tiga isolat S. pseudopedicellatum karena

pengaruh suhu 29

4.3 Viabilitas tubuh buah S. pseudopedicellatum selama masa penyimpanan. TpTn = tanpa tanah, TnTds = dalam tanah yang tidak

disteril, TnS = dalam tanah yang disteril. 30

4.4 Unaspis sp yang ditemukan dalam tubuh buah S. pseudopedicellatum. Nimfa (kiri), imago jantan dan nimfa (tengah), nimfa dan imago betina di bawah subikulum tubuh buah (kanan) 33 5.1 Hubungan insiden penyakit (IP) dengan keparahan penyakit (KP)

hawar beludru pada lada 40

5.2 Plot korespondensi antara cara budidaya dan kondisi kebun dengan

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hubungan antara pH media PDA dengan pertumbuhan radial koloni

S. pseudopedicellatum 69

2 Hubungan antara suhu dengan pertumbuhan radial koloni S.

pseudopedicellatum pada media PDA 69 3 Hasil analisis keragaman pengaruh pH dan suhu terhadap pertumbuhan

radial koloni S. pseudopedicelatum 70 4 Keparahan penyakit dan hasil analisa tanah dari masing-masing kebun

contoh 71

5 Visualisasi hasil PCR biakan isolat S. paseudopedicellatum Burt. Isolat

Glg tidak terdeteksi 72

6 Perkembangan penyakit hawar beludru di dua lokasi penelitian, Sei Duri Bengkayang dan Galing – Sambas dalam kaitan dengan faktor cuaca 73

7 Hasil uji antagonis T. harzianum dan Penicillium sp terhadap

S. pseudopedicellatum metode dual culture pada 7 hsi 74 8 Perlakuan penyimpanan tubuh buah yang terdapat pada jaringan cabang

lada 75

9 Perkembangan serangan patogen hawar beludru pada lada di Kalimantan Barat dan daerah penelitian, Bengkayang dan Sambas 61 10 Penularan penyakit hawar beludru melalui kontak miselia 61 11 Data cuaca dari stasiun meteorologi Sambas dan Bengkayang mencakup

(20)
(21)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengusahakan lada terbesar dunia disamping Vietnam, India, Brazil. Komoditi ini walaupun bukan aseli Indonesia tetapi cukup banyak dikembangkan oleh masyarakat. Sebagian besar perkebunan yang ada merupakan perkebunan rakyat. Oleh karenanya tingkat produktivitas tanaman tergolong rendah. Tingkat produksi lada Indonesia menempati peringkat II di bawah Vietnam dengan jumlah 55.000 matrik ton, namun mempunyai luas areal tanam yang terluas diantara negara-negara penghasil. Luas tanaman mencapai 112.857 ha (IPC 2014). Produksi lada Indonesia tersebut 85% diantaranya digunakan untuk ekspor, dan ini tentunya dapat menjadi penyumbang devisa negara yang cukup besar.

Umumnya perkebunan rakyat dihadapkan pada pengelolaan kebun yang kurang baik. Permasalahan utama yang dihadapi antara lain rendahnya produktivitas dan masih tingginya kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit. Pada saat ini jenis penyakit yang tergolong baru dan masih kurang mendapat perhatian adalah hawar beludru. Menurut Sarma et al. (2011) penyakit dikelompokkan sebagai penyakit minor dan sudah ditemukan di India, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia hawar beludru baru ditemukan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di Kalimantan Barat penyakit hawar beludru mulai diributkan oleh petani sejak tahun 1995. Tidak menutup kemungkinan penyakit juga akan menyebar ke daerah lain di Indonesia.

Penyakit hawar beludru diketahui keberadaanya di Serawak tahun 1937. Diperkirakan masuk ke Kalimantan Barat melalui bibit. Oleh karena sampai saat ini belum dilakukan pengendalian, dan lingkungan yang mendukung untuk infeksi menyebabkan penyakit terus berkembang. Belum ada pengendalian yang dapat dilakukan atas dasar rujukan dari pemerintah.

Walaupun tergolong sebagai penyakit minor pada lada tetapi petani sudah resah, karena penyakit belum dapat dikendalikan. Penyakit masih terus berkembang. Hampir bisa dikatakan di setiap kebun lada akan mudah ditemukan tanaman memperlihatkan gejala hawar beludru. Serangannya pada sebagian daerah telah mencapai taraf mematikan tanaman. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap bulannya mencapai Rp 237,85 juta (BPTP 2014). Penyakit masih saja terus berkembang karena belum ada usaha pengendaliannya.

(22)

2

Penyakit hawar beludru pada lada memperlihatkan gejala yang berbeda, pertumbuhannya cepat sehingga dapat membentuk percabangan tubuh buah mengarah keudara. Berbeda dengan hawar beludru yang dilaporkan juga menyerang tanaman kayu, tubuh buah yang terbentuk resupinat sepanjang permukaan cabang yang diserangnya. Bila sudah tua maka himenium tubuh buah akan pecah-pecah, sehingga akan mudah terlihat pilar dan subikulum.

Kajian tentang Septobasidium sebagai patogen lebih mengarah kepada mendapatkan informasi yang dapat dijadikan dasar pengendalian. Beberapa hal yang dimaksudkan antara lain kemampuan bertahan diri, kemungkinan melakukan infeksi ulang ke jaringan sehat, pengaruh lingkungan terhadap perkembangan patogen, dan juga faktor yang dapat mendukung terjadinya epidemik.

Perumusan Masalah

Hampir setiap petani lada di Kalimantan Barat tidak asing dengan penyakit hawar beludru yang dikenal sebagai ganggang pirang. Daerah serangannya juga terus bertambah, sudah menyerang sejak tanaman belum menghasilkan. Kerugian yang bisa diakibatkan adalah kematian tanaman atau cabang/ ranting tertentu sehingga bisa berdampak pada mengeringnya buah. Serangan yang terjadi pada tandan buah mengakibatkan buah keriput sehingga tidak layak lagi untuk dijual.

Gejala hawar beludru yang terbentuk pada lada yang dikembangkan di Kalimantan Barat memperlihatkan kelainan dibandingkan dengan gejala pada umumnya. Perkembangan bercak dari tubuh buah yang cepat, dan di antaranya membentuk percabangan ke arah udara membuat kecurigaan bahwa penyakit kemungkinan disebabkan oleh patogen bukan dari Septobasidium.

Serangannya yang masih terbatas di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur bukan berarti menjadi tidak perlu diperhatikan mengingat tingkat kerugian yang bisa ditimbulkan cukup besar. Apalagi jika tidak ada upaya untuk menghambat perkembangannya sehingga setiap tahun insiden penyakit akan bertambah luas. Maka menjadi perlu untuk membatasi agar penyakit tidak menyebar ke daerah lain. Untuk itu penelaahan tentang patogen penyebab, ekobiologi dan faktor epidemiknya menjadi penting untuk dikaji guna dapat dijadikan dasar dalam pengendaliannya.

Penyakit sudah menyebar di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat yang mengembangkan lada. Daerah serangan sudah mencapai 19,5%, bahkan di beberapa desa di Kabupaten Bengkayang dan Sambas insidensi penyakit sudah diatas 80%. Serangan yang sudah meluas ini berkaitan erat dengan kondisi tanaman dan juga cuaca yang mendukung perkembangan patogen hawar beludru. Untuk itu maka analisis faktor epidemik penting untuk dikaji dalam rangka menghambat perkembangan di daerah-daerah yang sudah terserang.

Tujuan Penelitian

(23)

3 serangga pada tubuh buah patogen, dan (3) menganalisis faktor yang dominan berperan dalam epidemik penyakit hawar beludru pada lada.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai patogen penyebab hawar beludru sehingga dapat menjadi dasar pengembangan strategi pengendalian.

Nilai Kebaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki nilai kebaruan yaitu: (1) informasi mengenai penyebab hawar beludru pada lada adalah Septobasidium pseudopedicelatum Burt. Selain itu juga diperoleh informasi bioekologi patogen, respon pertumbuhan in vitro patogen karena pengaruh pH dan suhu; kemampuan bertahan inokulum (tubuh buah) pada jaringan mati tanaman; beberapa cendawan tanah yang berpotensi sebagai agens pengendali; jenis serangga yang mendiami tubuh buah, (2) pada kasus penyakit hawar beludru pada lada untuk menentukan keparahan bisa didekati dengan cara menghitung insiden serangannya berdasarkan model persamaan regresi., (3) dalam melaksanakan postulat Koch terdapat pengembangan teknik inokulasi buatan agar terjadi infeksi, yaitu dengan memberi perlakuan kering sebelum inokulasi dilakukan, dan (4) menetapkan strategi pengendalin terhadap S. pseudopedicellatum. Penyusunan strategi berdasarkan pada faktor epidemik dan bioekologi patogen.

Ruang Lingkup Penelitian

(24)

4

Gambar 1.1 Alur penelitian

Oktober 2011 - Juni 2013 Mei 2012 – Desember 2012

P

e

r

c

o

b

a

a

n

L

u

a

r

a

n

Serangan Hawar Beludru

C. Faktor epidemik dan perkembangan penyakit:

1. Pengukuran keparahan dan insiden penyakit

2. Keterkaitan keparahan penyakit dgn cara budidaya, kimia dan fisik tanah, cuaca

B. Bioekologi patogen:

1. Pertumbuhan biakan pada kisaran suhu dan pH

2. Kemampuan bertahan patogen pada cabang yang terserang 3. Asosiasi serangga – patogen

A. Diagnosis penyakit hawar beludru:

1. Pengamatan morfologi tubuh buah 2. Penularan pd bibit lada

Ada faktor budidaya, kimia dan fisik tanah, serta cuaca yang berkaitan dengan keparahan penyakit Pola pertumbuhan cendawan pada media PDA

Penurunan viabilitas patogen pada jaringan akibat penyimpanan

Jenis cendawan tanah yang berpotensi sebagai agens pengendali

Keberadaan dan jenis serangga pd gejala hawar beludru Patogen hawar beludru

Isolat biakan murni Cara penularan

Penyusunan strategi pengendalian penyakit Hawar Beludru

(25)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Hawar beludru

Penyakit hawar beludru di lapangan ada dua jenis. Gejala yang dapat diamati meliputi velvet blight dan gejala yang menyerupai koloni ganggang pirang. Penyakit velvet blight yang ditemukan menunjukkan gejala bercak yang diselimuti oleh jalinan miselia berwarna putih abu-abu seperti abu rokok (Couch 1935) atau penutupan permukaan jaringan tanaman dengan miselia berwarna coklat yang semakin lama akan menebal dan tumbuh bercabang ke arah udara. Gejala yang terakhir oleh masyarakat setempat dikenal dengan penyakit ganggang pirang.

Penyakit ini masih dinilai tidak penting dibandingkan busuk pangkal batang, penyakit kuning degenerasi dan antraknosa (Sarma et al. 2011). Untuk kondisi Kalbar penyakit tergolong cepat menyebar dan mengakibatkan patahnya cabang/ ranting, dan bahkan dapat menimbulkan kematian tanaman. Serangan bisa dilihat di batang, cabang/ ranting yang terus bisa menjalar sampai ke daun dan buah (hasil pengamatan lapangan). Gejala velvet blight berwarna abu-abu keunguan berupa jalinan miselia yang menjalar dipermukaan cabang, daun dan tandan buah. Bila jalinan ini menutupi seluruh permukaan bagian tanaman yang diserangnya mengakibatkan kematian (Kheng et al. 1993). Pada bagian tepi bercak biasa akan terlihat seperti lapisan berminyak, dan terkadang terlihat lapisan rizomorf warna putih (Couch 1929).

Penyakit hawar beludru yang dapat menyebabkan kematian pada cabang dapat ditemukan menyerang di lima kabupaten di Kalimantan Barat, dan yang terbesar serangannya terdapat di Bengkayang. Hasil pengamatan terhadap keparahan berkisar antara 10-100%. Pengamatan dilakukan di Kabupaten Pontianak dan Sambas (Rianto et al. 2009). Perkembangan penyakit akan berlangsung cepat jika terjadi pada musim hujan, sedangkan pada kemarau penyakit masih bisa bertahan hanya saja tidak berkembang. Segera setelah hujan maka akan terlihat pertumbuhan rizomorf yang keluar dari himenium yang telah mengalami keretakan.

Septobasidium sp.

(26)

6

menjadi pembungkus. Pada jaringan inilah akan terbentuk probasidium, basidium dan basidiospora cendawan. Tubuh buah, spora dan basidium S. pseudopedicellatum dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Bentuk himenium, pilar, basidia, probasidia dan spora S. pesudopedicellatum Burt. 1 pilar, 2 himenium, 3 probasidia, 4 basidium, 5 spora, 6 sterigmata (Couch 1935)

Sumber: Couch (1935)

Sebagaian besar genus Septobasidium hidup bersimbiosis dengan kutu sisik (Coccidea) dengan membentuk hubungan yang komplek. Tercatat bahwa cendawan ini sebagai parasit pada kutu sisik. Tetapi ada juga kelompok Septobasidium lain yang membentuk simbiosis mutualistik, karena berfungsi membantu dalam meningkatkan populasi kutu (Couch 1929). Serangga-serangga yang tidak terparasit akan terus berkembang meningkatkan populasinya. Hasil dari pemeriksaan banyak spesimen ditentukan bahwa Septobasidium merupakan parasit pada koloni serangga kutu sisik. Miselia tumbuh pada permukaan tubuh serangga dan pada akhirnya menimbulkan infeksi (Couch 1930)

Selain itu karakteristik lain yang dapat membantu dalam identifikasi Septobasidium adalah bentuk haustorium. Haustorium ini dapat terbentuk walau ditumbuhkan pada media biakan. Haustorium Septobasidium ada yang berbentuk koil atau kepala jarum jahit (Henk 2005)

Upaya dalam melakukan identifikasi terhadap spesies Septobasidium sebagian besar dilakukan berdasarkan pada morfologi tubuh buah, seperti S.

2

3

4

45 6

4

3 5

(27)

7 humile dan S. petchii di Taiwan (Kirchner and Jen Chen 2007), S. gomezii dan S. meredithie di Puerto Rico (Henk 2005), S. annulatum dan S. kameii di Cina, S. gaouligongense, S. polygoni, S. euryae-groffii di Cina (Lu 2010); S. capparis, S. reevesiae and S. dacrydii (Chen and Gou 2012); S. broussoniate, S. meizhouense yang ditemukan berasosiasi dengan tanaman kayu di cina (Lu et al. 2010), S. fissuratum yang ditemukan pada Castanea dan berasosiasi dengan Pseudaulacaspis, S. heliciae ditemukan pada pohon Heliciae yang berasosiasi Lepidosaphes (Li and Guo 2013). Identifikasi yang dilakukan mengacu pada monograf yang telah disusun oleh Couch (1929; 1935; 1938) dan juga oleh Yamamoto (1956) yang telah mendiskripsikan enam spesies yang ditemukan di Jepang.

Septobasidium umumnya berkembang di daerah tropis lembab, dan juga masih bisa ditemukan di subtropis. Cendawan ini mengkoloni permukaan jaringan tanaman pada batang, cabang dan daun. Dilaporkan ada beberapa anggota Septobasidium yang menjadi parasit pada tanaman berkayu, tetapi sebagian besar bersimbiosis dengan serangga kutu tanaman. Spora yang berbentuk elip akan berkecambah membentuk hifa yang bersepta, dan untuk selanjutnya membentuk sporodosia jika lingkungan lembab. Pada fase berikutnya cendawan akan membentuk asosiasi dengan kutu tanaman atau tetap di permukaan jaringan batang/ cabang memarasit tanaman (Couch 1929). Gejala yang timbul terdiri dari tiga lapis. Lapisan pertama berupa jalinan miselia yang melekat pada permukaan jaringan tanaman. Lapisan kedua berupa talus yang tumbuh vertikal seperti pilar sehingga menciptakan ruang antara lapisan bawah dan atas. Lapisan ketiga berupa jalinan himenium yang terbentuk di bagian ujung pilar sehingga memberi kesan sebagai atap penutup (dome).

Dari sejumlah cendawan Septobasidium yang diamati oleh Couch (1929; 1935) hanya menemukan satu jenis yang diisolasi dari pakis tidak berasosiasi dengan kutu tanaman. Cendawan tidak memarasit daun atau jaringan kayu tetapi hanya memarisit kutu tanaman untuk mengambil nutrisi. Sehingga pada jaringan tanaman tidak ditemukan Septobasidium. Ada beberapa spesies yang dilaporkan sebagai patogen tumbuhan seperti S. pilosum, S. bogoriense, S. theae, S. pseudopedicilatum yang menyerang mangga, teh, lada dan jeruk. Kajian yang dilakukan masih terbatas pada asosiasi antara beberapa spesies Septobasidium dengan tanaman dimaksud, belum ada kajian akademiknya.

Budidaya Lada

Syarat Tumbuh

Untuk dapat tumbuh dengan baik, lada layaknya seperti tanaman budidaya lainnya menghendaki syarat tertentu. Hal yang penting harus diperhatikan diantaranya seperti goegrafi lahan, kesuburan lahan serta ketersediaan air. Bila persyaratan tidak terpenuhi biasanya akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman, dan juga kemungkinan terjadinya serangan hama dan penyakit.

(28)

8

lingkungan. Hal ini berpengaruh kuat terhadap produktivitas dan usia menghasilkan tanaman (Manohara et al. 2006).

Lada dapat tumbuh baik pada tanah dengan kandungan liat tinggi sampai sedikit liat berpasir, kaya humus dan gembur, drainase baik tetapi kemampuan memegang air masih tinggi. Tanah mempunyai pH sekitar netral, kandungan bahan organik tinggi, mempunyai KB tinggi. Kandungan Ca dan Mg menentukan produktivitas tanaman. Tanah yang dikenhendaki untuk penanaman lada dengan komposisi 0,26% N, 0,25% P2O5, 0,41% K2O, 0,18% MgO dan 0,5% Ca

(Sivaraman et al. 1999).

Tanaman lada menghendaki kondisi curah hujan yang merata sepanjang tahun. Curah hujan sangat menentukan pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Lada umum diusahakan di daerah tropik basah dengan curah hujan antara 2.000 – 3.000 mm/ tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 177 hari/tahun. Bila curah hujan kurang dari 2.000 mm/tahun dengan bulan kemarau lebih dari 3 bulan akan menghambat pertumbuhan tanaman (Wahid dan Yuldi, 1988).

Kelembaban udara yang dikehendaki berkisar antara 70 – 90% dengan kisaran suhu terbaik antara 21-270C pada pagi, 26-320C pada siang dan 24-300C pada sore hari. Tanaman menghendaki perubahan suhu dan curah hujan yang tidak bervariasi sepanjang tahun. Tanaman tidak bisa mentolerir terhadap suhu udara panas yang berlebihan (Sivaraman et al. 1999). Letak geografi dan keberadaan tanaman pelindung berkaitan erat dengan pengaruhnya terhadap kelembaban udara dan suhu di sekitar tanaman. Kedua hal tersebut turut menentukan terhadap perkembangan dan infeksi oleh patogen penyakit.

Perawatan tanaman

Selain kondisi lingkungan, hal lain yang juga dapat mempengaruhi terjadi epidemi adalah perawatan tanaman. Perawatan yang dilakukan dapat menentukan kesehatan tanaman sehingga akan berpengaruh terhadap infeksi dan perkembangan penyakit. Perawatan tanaman (Manohara et al., 2006) meliputi pemberian dan pengaturan naungan, pemangkasan sulur, pembuangan bunga dan sulur liar, pemupukan serta pemeliharaan saluran drainase menjadi kunci pokok jika menghendaki tanaman lada dapat tumbuh dan berproduksi optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Jumlah pupuk yang diberikan agar tanaman tumbuh subur tergantung pada umur tanaman dan kesuburan tanah.

Lada akan memperlihatkan pertumbuhan dan produksi terbaik pada kondisi cahaya penuh dan tidak ternaungi. Tetapi jika ditanam menggunakan tiang dari tanaman hidup maka dianjurkan melakukan pemangkasan sehingga memberi naungan 25%. Naungan yang masih memberi cahaya 100-75% tidak terlalu menghambat pertumbuhan (Wahid 1980).

Epidemiologi

(29)

9 budidaya tanaman yang dilakukan dapat membuat kondisi tanaman mudah terinfeksi atau mendukung perkembangan penyakit.

Pemberian pupuk, jenis kultivar yang ditanam dan pengolahan tanah dapat menjadi penentu untuk terjadi ledakan penyakit. Selama 11 tahun pengamatan pada pertanaman gandum, ternyata penyakit-penyakit yang menyerang daun berkurang pada areal yang tidak dilakukan pengolahan tanah. Tanah yang tidak diolah ternyata kelembaban di daerah perakaran tidak banyak berubah, terutama saat musim kering. Pada musim kering tanaman tidak menunjukkan kekurangan air. Hal yang sama juga terjadi jika dilakukan pengurangan pupuk N sehingga tanaman kekurangan N (Krupinsky et al. 2007).

Perkembangan penyakit berkaitan dengan kegiatan budidaya tanaman sehingga mempengaruhi mikroklimat. Beberapa pengelolaan kebun seperti pemberian pupuk berimbang, pengaturan dalam panen, pengendalian gulma, monitoring lapangan dapat mempengaruhi insiden dan perkembangan penyakit. Penerapan pengeloaan di atas dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit hawar pucuk yang disebabkan oleh Fusarium spp., busuk cabang yang disebabkan oleh Sclerotinia sclerotiorum, hawar askosita disebabkan Ascochyta lentis, antraknosa yang disebabkan Colletotrichum truncatum (Krupinsky et al. 2000).

Ledakan penyakit dapat terjadi karena keterkaitan dengan kondisi pertumbuhan tanaman. Selama proses pertumbuhan tanaman terjadi masa kritis yang membuat tanaman mudah diinfeksi oleh patogen. Ledakan serangan bercak coklat pada jeruk tangerin yang disebabkan oleh Alternaria alternata berkaitan dengan munculnya pucuk. Jika pada ranting yang sudah terserang tidak dipangkas maka buah-buah muda akan diserang, timbul bercak coklat pada buah muda (Peres et al. 2003).

Kemampuan bertahan dan bentuk propagul patogen merupakan salah satu strategi dalam menimbulkan infeksi pada saat yang menguntungkan utuk memulai infeksi. Cara bertahan patogen dan kemampuan untuk kembali aktif dalam waktu singkat adalah strategi patogen untuk dapat menimbulkan ledakan penyakit. Bertahan diri dapat dilalui dengan cara hidup saprofitik pada jaringan tanaman yang sudah mati atau tempat penyimpanan cadangan makanan, pada tanaman inang lainnya (inang alternatif), dalam tubuh serangga. Kemampuan bertahan diri dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Sebagai contoh konidia Colletotrichum acutatum yang sampai di tanah mempunyai kemampuan bertahan menurun jika kelembaban tanahnya ditingkatkan. Kemampuan berkecambah juga akan semakin kecil jika tanahnya terkontaminasi dengan mikroorganisme dibandingkan pada tanah steril (Freeman and Zvi Shalev 2002).

Kejadian epifitotik juga ditentukan kemampuan dan kecepatan infeksi yang dilakukan oleh patogen. Ada beberapa hal yang penting diketahui untuk parameter yang dijadikan rujukan untuk melihat kemampuan suatu patogen dalam kemungkinannya menimbulkan epidemi seperti periode inkubasi (IP), periode laten (LP), jumlah lesio (LN), dan keparahan penyakit (DS). Pada penyakit antraknosa, C. truncatum yang menyerang Lens culinaris kesemua parameter diatas dipengaruhi oleh konsentrasi konidia, periode basah permukaan jaringan, fase tumbuh tanaman dan suhu (Chongo and Bernier 2000).

(30)

10

lingkungan fisik yang mempengaruhi perkembangan penyakit seperti suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, intensitas cahaya, kemasaman tanah dan struktur tanah, nutrisi tanah, pemakaian herbisidan dan polusi udara (Agrios 2005). Suhu selain menentukan infeksi, juga terhadap perkembangan penyakit. Tetapi biasanya suhu dalam pengaruhnya tidak berdiri sendiri tetapi dengan faktor lainnya seperti kelembaban. Infeksi dan perkembangan Fusicladium oleagineum dipengaruhi oleh suhu dan lama periode basah. Infeksi terjadi pada kisaran suhu 5

– 250C dengan periode basah 12 sampai 24 jam. Semakin rendah suhu maka periode basah harus semakin lama. Perlakuan kering setelah infeksi terjadi tidak mempengaruhi insiden penyakit tetapi hanya mempengaruhi keparahan penyakit, karena memasuki periode laten (Viruega et al. 2011). Suhu dan kelembaban juga menentukan terhadap perkembangan penyakit, ditandai oleh semakin besar ukuran bercak yang terbentuk setelah sporulasi dan infeksi terjadi (Paul and Munkvold 2005).

Faktor penting lain agar terjadi epifitotik adalah pemencaran patogen. Pemencaran bisa dilakukan dengan bantuan hujan. Percikan air hujan akan membantu pemencaran inokulum primer Plasmopara viticola, semakin tinggi intensitas curah hujan maka pemencarannya semakin besar terjadi. Ukuran dan jumlah percikan tergantung pada intensitas curah hujan. Indikasi pemencaran ditandai dengan adanya infeksi baru (Rossi and Caffi 2012).

(31)

11

3 DIAGNOSIS PENYAKIT HAWAR BELUDRU (VELVET BLIGHT)

PADA LADA

Abstrak

Pengendalian yang baik harus dibekali dengan pengetahuan tentang patogen penyebab, begitu juga pada kasus hawar beludru pada tanaman lada yang banyak terdapat di Kalimantan Barat. Penelitian bertujuan untuk melakuan diagnosis penyakit hawar beludru. Identifikasi patogen dilakukan berdasarkan hasil pengamatan makro dan mikroskopik berbagai bentuk tubuh buah pada ranting/ cabang lada. Selain itu juga dilakukan analisa molekuler biakan murni patogen. Tubuh buah diambil dari beberapa lokasi penanaman lada di Kalimantan Barat. Postulat Koch dilakukan dengan menggunakan miselia biakan murni patogen. Penularan pada postulat Koch dilakukan dengan cara menempelkan miselia pada bibit lada umur satu tahun. Hasil identifikasi menemukan bahwa patogen

penyebab hawar beludru pada lada adalah Septobasidium pseudopedicellatum Burt. Postulat Koch berhasil setelah bibit lada diberi perlakuan pengeringan dan miselia ditempelkan pada cabang yang dilukai atau pada bagian buku.

Kata kunci: patogen, pengeringan, postulat Koch, S. pseudopedicellatum, tubuh

buah

Pendahuluan

Tanaman yang dibudidayakan tidak terlepas dari gangguan hama dan penyebab sakit tanaman. Tidak terkecuali dengan lada yang banyak dikembangkan oleh rakyat, dapat diserang oleh berbagai jenis patogen. Tidak semua patogen yang tercatat sebagai penyebab sakit tergolong penting. Pada jenis penyakit yang tergolong kurang penting biasanya akan luput dari pantauan sehingga terus berkembang. Dikhawatirkan suatu saat dapat terjadi epifitotik. Kasus ini terjadi pada penyakit hawar beludru pada lada di Kalimantan Barat

Petani lada di Kalimantan Barat mengenal penyakit hawar beludru sebagai ganggang pirang. Penyakit ini sudah ditemukan pada tahun 1990 di daerah Mempawah (hasil pantauan penulis). Kasus serangan terus meluas, dan sekarang ini sudah ditemukan di 5 kabupaten dari 13 kabupaten yang ada (BPTP 2014). Dikalangan petani penyakit ini sudah sampai pada taraf meresahkan karena belum dapat dikendalikan dan kasus serangannya cenderung bertambah luas.

Berdasarkan pada gejala awal yang terbentuk, baik pada batang, cabang, ranting dan buah diduga menyerupai dengan gejala hawar beludru (velvet blight) yang khas disebabkan oleh genus Septobasidium. Gejala yang dapat dilihat adalah terbentuknya tubuh buah berupa bercak resupinat yang cepat berkembang pada kulit kayu dan daun. Di daerah Kalimantan Barat gejala yang terbentuk memperlihatkan perkembangan yang cepat, tubuh buah membentuk percabangan ke arah udara. Melihat pada pertumbuhan tubuh buah yang berlebihan ini menimbulkan pendapat bahwa kemungkinan adanya spesies lain penyebab hawar beludru yang berbeda dengan yang pernah dipublikasi sebelumnya.

(32)

12

biasanya harus didasarkan pada sifat patogen bersangkutan. Pada kenyataannya sampai saat ini memang belum ada metoda pengendalian yang dapat dibakukan untuk menghambat perkembangan dan penyebaran patogen penyakit hawar beludru.

Hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan Septobasidium pada berbagai jenis tanaman lebih mengarah pada identifikasi,.tidak menekankan keterkaitannya sebagai patogen. Pengkajian lebih lanjut status Septobasidium sebagai patogen penyakit pada tanaman belum dilakukan. Ini penting karena untuk melaksanakan pengendalian perlu informasi terhadap patogen yang dapat menyebabkan sakit tanaman. Penyakit hawar beludru yang sudah menyebar di Kalimantan Barat perlu ditangani agar tidak meluas ke daerah lain. Atas dasar itu pula kajian tentang patogen hawar beludru perlu dikerjakan agar bisa dijadikan dasar dalam upaya pengendalian penyakit.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan diagnosis penyakit hawar beludru pada lada di Kalimantan Barat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi patogen penyebab hawar beludru pada lada, dan menjadi dasar dalam pengembangan penelitian lain berkaitan dengan pengendalian.

Masalah

Penyakit hawar beludru yang terdapat pada lada di Kalimantan Barat masih sulit dikendalikan. Serangannya cenderung bertambah luas. Kajian mengenai penyakit ini di Indonesia, khususnya Kalimantan Barat belum ada. Patogen penyebab hawar beludru masih terbatas pada pendugaan berdasarkan pada gejala yang terbentuk. Oleh Sarma et al. (2011) dikatakan penyakit hawar beludru ini sudah terdapat di Indonesia selain Malaysia dan India.

Variasi gejala hawar beludru sangat beragam antar spesies, mulai dari ukuran sampai ketebalan tubuh buah yang terbentuk. Serangan baru diketahui setelah tubuh buah yang terbentuk sudah berukuran besar (Henk 2005). Untuk menentukan spesies dari Septobasidium salah satunya didasarkan pada karakter makromorfologi (tubuh buah). Gejala yang bervariasi, selain karena perbedaan spesies yang menyerang bisa juga disebabkan oleh respon tanaman dan juga faktor lingkungan abiotik. Maka identifikasi patogen penyebab hawar beludru perlu dilakukan untuk menjadi landasan dalam upaya pengendaliannya.

Metode

Penelitian yang dilakukan adalah mendiagnosis penyakit hawar beludru pada lada di daerah Kalimantan Barat.

Identifikasi Patogen Penyebab Hawar Beludru

(33)

13 stereo dan kompon. Pengamatan mikroskopik juga dilakukan terhadap cendawan hasil isolasi dari media biakan.

Sampel tubuh buah patogen hawar beludru diambil dari bagian cabang atau ranting. Sebagian dari lapisan himenium dibuka untuk melihat bentuk pilar, subikulum serta rizomorfa. Untuk bagian himenium dan pilar dari tubuh buah diambil menggunakan pinset dan diletakan pada gelas objek untuk digunakan dalam pengamatan secara mikroskopik. Pengamatan mikroskopik ini dimaksudkan untuk mengamati basidia, spora, probasidia dan hifa patogen, serta jalinan miselia pada pilar. Pengamatan menggunakan bantuan mikroskop. Sampel tubuh buah yang dijadikan objek pengamatan diambil dari beberapa tempat kebun lada di Kalimantan Barat, seperti desa Sei Duri, Ratu Sepundak, Paloh dan Mempawah.

Pengamatan mikroskopik juga dilakukan terhadap miselia hasil isolasi patogen pada media PDA (Potato Dextrose Agar). Isolasi patogen dilakukan dari jaringan kayu cabang yang bergejala hawar beludru, dan juga dari bagian tubuh buah. Sebelumnya cabang lada tersebut dibersihkan dari tubuh buah yang melekat dan dipotong-potong sepanjang 3 cm. Terhadap cabang ini dilakukan sterilisasi permukaan dengan merendamnya dalam larutan alkohol 70% selama 3 menit dan kemudian direndam kembali dalam larutan klorok 3% selama 2-3 menit. Setelah itu potongan cabang dibilas menggunakan aquades steril dan dikeringkan menggunakan kertas isap. Cabang ini kemudian dibelah setelah kedua bagian ujungnya dipotong ± 0,5 cm, kemudian di letakkan pada media PDA dalam cawan Petri. Sterilisasi dan inokulasi potongan cabang lada dilakukan dalam laminar. Inkubasi dilakukan dalam inkubator pada suhu 280C selama 3 hari. Setiap jenis cendawan yang tumbuh di permukaan atau bagian tepi potongan cabang di reisolasi. Hasil reisolasi ini akan digunakan dalam identifikasi.

Selain mengisolasi dari bagian jaringan kayu cabang yang bergejala hawar beludru, isolasi juga dilakukan dari bagian tubuh buah (himenium dan pilar). Potongan tubuh buah tersebut sebelum diisolasi terlebih dahulu direndam dalam larutan alkohol 70% selama 2 menit dan dibilas dengan merendamnya dalam aquades steril sambil diguncang. Untuk menumbuhkan patogen hawar beludru digunakan media PDA. Inkubasi dilakukan dalam inkubator pada suhu 280C selama 3 hari.

Jenis cendawan yang tumbuh dari hasil isolasi, baik dari jaringan kayu ataupun tubuh buah digunakan untuk melakukan postulat Koch. Selain itu biakan cendawan juga digunakan dalam pengujian pertumbuhannya karena pengaruh suhu, pH media. Isolat cendawan juga digunakan untuk identifikasi molekuler. Ekstraksi DNA cendawan, yang sebelumnya dibiakan pada PDB (Potato Dextrose Broth) menggunakan reagen nucleon PHYTOpure. Amplifikasi PCR menggunakan primer ITS4 dan ITS 5.

Postulat Koch

(34)

14

lapangan, dan 4. dilakukan reisolasi dari gejala yang terbentuk, dan hasilnya sama seperti hasil isolasi pertama.

Cendawan hasil isolasi dari jaringan kayu yang memperlihatkan kesamaan dengan hasil isolasi dari tubuh buah digunakan sebagai sumber inokulum dalam postulat Koch. Sumber inokulum yang digunakan pada postulat Koch berupa potongan miselia biakan murni ukuran 1 cm2. Pada pengujian postulat Koch ini menggunakan 3 isolat, yaitu Sdr, Glg dan Plh. Isolat ini berasal dari tiga daerah berbeda, Sei Duri, Galing dan Paloh yang semuanya terdapat di Kalimantan Barat. Untuk pengujian menggunakan bibit lada yang berumur satu tahun.

Inokulasi patogen hawar beludru dilakukan dengan cara menempelkan potongan biakan miselia dan menyemprotkan suspensi hifa. Inokulasi dilakukan pada bagian cabang yang dilukai dan tanpa dilukai serta pada daerah buku. Setelah penempelan potongan biakan miselia lalu dibalut dengan kapas yang dilembabkan menggunakan larutan glukosa 1%. Masing-masing perlakuan menggunakan 5 bibit.

Suspensi potongan hifa diperoleh dengan memberi aquades steril pada permukaan biakan cendawan sambil digoyang-goyang. Cara ini diulang beberapa kali guna mendapatkan lebih banyak lagi potongan hifa. Suspensi hifa ditampung pada botol semprot tangan (hand sprayer). Larutan suspensi hifa mengandung ± 1,8 x 109 potong hifa. Pengukuran kandungan potongan hifa dalam suspensi menggunakan haemositometer.

Bibit-bibit lada yang telah diinokulasi dengan patogen hawar beludru ditutup dengan kantung plastik bening untuk tujuan inkubasi. Untuk mempertahankan kelembaban yang tinggi setelah dua hari inokulasi bibit tersebut disemprot dengan aquades steril. Penginkubasian dilakukan selama 7 hari. Setelah masa inkubasi bibit lada tersebut diletakan dalam pembibitan yang diberi atap paranet 70%. Di sekeliling tempat pembibitan, gulma dibiarkan tumbuh lebat dan tanahnya dibuat becek. Hal ini dimaksudkan untuk membuat lingkungan yang relatif lembab sepanjang pengujian dilakukan.

Bibit lada lada yang digunakan dalam postulat Koch berumur 12 bulan, sudah membentuk percabangan. Penanaman bibit dilakukan pada kantung plastik hitam (polibek) ukuran 5 l. Pengamatan kemunculan gejala dilakukan setiap minggu. Pengamatan dilakukan pada bagian bibit lada yang diinokulasi dengan patogen hawar beludru.

Hasil dan Pembahasan

Diagnosis Penyakit Hawar Beludru

Identifikasi patogen penyebab hawar beludru dilakukan baik pada pengamatan makromorfologi dan juga mikroskopik. Pengamatan makromorfologi lebih menekankan pada tubuh buah yang melekat pada permukaan jaringan batang/cabang lada. Hasil pemeriksaan tubuh buah baik langsung pada permukaan cabang memperlihatkan pertumbuhan rizomorf dan pilar serta lapisan himenium dari cendawan (Gambar 3.1). Tubuh buah resupinat dan terbagi menjadi tiga lapis memperlihatkan ciri khas tubuh buah (basidiokarp) yang dibentuk oleh Septobasidium.

(35)

15 patogen penyebab adalah Septobasidium pseudopedicellatum Burt. Identifikasi dilakukan menggunakan kunci spesies dan juga monograf Septobasidium (Burt 1916; Couch 1935; 1938).

[image:35.595.113.515.242.638.2]

Tubuh buah patogen dibagi menjadi tiga lapis, subikulum, pilar dan lapisan atas yang terjadi dari jalinan miselia (himenium). Subikulum yang sedang aktif tumbuh berwarna keputihan merambat pada permukaan jaringan tanaman, memperlihatkan percabangan yang dikotomus di nagian tepi bercak. Pada subikulum ini akan terbentuk pilar tegak lurus berwarna coklat sampai coklat gelap dan tidak bercabang (Gambar 3.1). Bila sudah tua pilar akan berwarna gelap.

Gambar 3. 1 Tubuh buah cendawan S. pseudopedicellatum Burt. Rizomorfa yg aktif tumbuh (A), pilar yang terbentuk pada subikulum (B). Subikulum dan pilar ditutupi himenium (tanda panah), subikulum di bagian tepi tubuh buah berwarna putih (C), percabangan tubuh buah tumbuh ke udara (D)

Permukaan himenium halus, dan terkadang mengkilap, jika sudah tua biasanya akan retak dan berkeriput. Pada spesimen muda, atau bercak yang baru, lapisan himenium belum terbentuk maka permukaannya terlihat seperti beludru. Bagian tepi tubuh cendawan memperlihatkan pertumbuhan yang terbatas dan bervariasi. Di bagian tepi subikulum biasanya berwarna putih dan ditandai oleh terbentuknya pilar dalam jumlah banyak (Couch 1935).

Pilar merupakan jalinan miselia membentuk sinemata yang padat, terdiri dari hifa yang saling berlekatan satu sama lain akibat anastomosis. Pada bagian ujung dan pangkal hifanya menyebar (fimbriata). Jalinan yang menyebar di bagian pangkal karena pembentukan pilar terjadi pada subikulum, sedang jalinan yang memencar di bagian ujung terjadi karena akan membentuk himenium. Bentuk pilar memanjang, meruncing di bagian ujung dan tidak bercabang (Gambar 3.1).

A B

(36)

16

Bentuk pilar ini menjadi salah satu pembeda antar spesies pada Septobasidium, disamping morfologi lainnya.

Tubuh buah cepat berkembang, ukurannya bervariasi, dapat mencapai panjang 20-25 cm. Warna yang terbentuk juga bervariasi, abu-abu seperti warna abu rokok, kekuning-kungingan, coklat sampai coklat tua. Pada kondisi tertentu lapisan atas dapat memanjang ke arah luar, bahkan subikulum dapat menutupi pilar (Couch 1935; 1938; Burt 1916). Tubuh buah seringkali memperlihatkan pertumbuhan yang cepat dan bercabang ke arah udara (Gambar 1d). Ini terjadi karena lapisan himenium retak, sehingga rizomorfa yang terlepas dari permukaan kulit cabang dapat menjuntai. Pada rizomorfa inilah terbentuk pilar yang diikuti dengan pembentukan himienium, sehingga memberi kesan percabangan tubuh buah ke arah udara. Pada spesimen yang tua lapisan himenium dapat terbentuk berlapis-lapis, dan ketebalannya dapat mencapai 300 μm.

Percabangan tubuh buah yang terbentuk ke udara dan berwarna coklat kekuning-kuningan memberi kesan seperti ganggang. Atas dasar itu pula penduduk setempat menamakan gejala hawar beludru pada lada sebagai ganggang pirang.

Hasil pengamatan mikroskopik (Gambar 3.2) terhadap himenium dan pilar tubuh buah diperoleh spora, basidium dan hifa. Bentuk spora elip, lurus sampai melengkung. Hasil pengukuran terhadap spora, basidium dan hifa sebagai berikut: spora berukuran (2,71 ± 0,64) x (5,78 ± 0,68) μm, diameter hifa 3,15 ± 0,91 μm, basidium yang teramati berukuran (4,94 ± 1,14) x (27,75 ± 2,56) μm berbentuk selinder agak membengkok bersekat 4 dan dilengkapi sterigmata. Seringkali sel ketiga basidium menyempit. Sterigmata meruncing di bagian ujung, berukuran 2,7 ± 0,8 μm. Ukuran panjang pilar 400 – 500 μm. Deskripsi terhadap spora, basidium, sterigmata dan probasidium sesuai yang dipaparkan oleh Couch (1935; 1938).

Hasil pengukuran terhadap spora, basidium, sterigmata, pilar ternyata lebih kecil dibandingkan dengan yang dideskripsikan oleh Burt (1916) dan Couch (1935; 1938). Ukuran yang lebih kecil ini menandakan bahwa kemungkinan perbedaan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis tanaman inang dan lingkungan. Diskripsi terhadap S. pseudopedicellatum dilakukan pada beberapa pohon dan herba yang terdapat di Amerika Utara. Substrat yang dimanfaatkan cendawan sebagai sumber makanan menentukan pertumbuhannya, dan ini bisa dilihat dari ukuran bagian-bagaian dari tubuh buah.

(37)
[image:37.595.117.525.75.417.2]

17

Gambar 3. 2 Mikroskopik S. pseudopedicellatum Burt. (A) spora dan basidia, (B). Basidium yang dilengkapi sterigma, (C) probasidium yang sedang berkecambah, (D) sel basidium yang mengalami penyempitan. Dugaan awal yang didasarkan pada gejala yang ditemukan di lapangan, penyebab hawar beludru pada lada disebabkan oleh S. bogoriense. S. bogoriense diketahui banyak menyerang beberapa jenis pohon kayu-kayuan dan herba antara lain seperti kopi, kayu manis, jeruk, ubi kayu, ficus, mangga, Crotalaria, Tephrosia, lamtoro. Pada S. bogoriense sukar terlihat adanya sterigmata dan spora pada basidium, kalaupun terlihat sterigmata ukurannya pendek. Ciri lain yang bisa dijadikan dasar dalam menentukan spesies ini adalah pada bentuk pilar. Pilar pada S. bogoriense gemuk, pendek dengan lapisan atas sangat tebal, dan terkadang bercabang (Couch 1938).

Pertumbuhan tubuh buah yang cepat pada S. pseudopedicellatum juga terjadi pada S. mariani Bres. Pilar yang terbentuk banyak jumlahnya, rapat antara satu dengan lainnya, bercabang dan terkadang memberi kesan saling berbelit. Cendawan ini bisa membentuk rizomorf yang berwarna gelap, dan seringkali mempunyai lapisan tambahan antara subikulum dan himenium. Struktur reproduktif antara keduanya sama (Couch 1935).

Pada filogeni yang dibuat Henk dan Vilgalys (2007) pada Pucciniomycotina memperlihatkan kekerabatan yang dekat antara S. pseudopedicellatum dengan S. cokeri. S. cokeri mempunyai tubuh buah yang relatif lebih kecil (mencapai panjang 15 cm). Pilar yang terbentuk tunggal dan terkadang membentuk baris di bagian tepi. Masing-masing pilar membentuk jalinan seperti cincin dibagian dasar dan bisa berlapis-lapis. Pilar yang terbentuk juga tidak bercabang (Couch 1935).

A B

D C

(38)

18

Identifikasi molekuler yang dilakukan terhadap biakan murni S. psedopedicellatum memperlihatkan hasil bahwa penyebab hawar beludru adalah Botryosphaera rhodina. Jenis primer yang digunakan adalah spesifik untuk kelompok cendawan. Visualisasi hasil PCR pita yang tampak sesuai harapan yang menandakan bahwa potongan DNA menandakan dari kelompok cendawan. Pita yang terbentuk pada agarose mempunyai ukuran sekitar 600 - 650 bp. Ukuran tersebut merupakan dari kelompok cendawan (Lampiran 4). Menurut Toju et al. (2012) primer ITS cocok untuk digunakan dalam mengidentifikasi sample lapangan dari cendawan dari Ascomycetes dan Basidiomycetes berbasiskan pada untaian DNA. Tetapi yang didapat bahwa penggunaan primer ITS 4 dan ITS 5 lebih cenderung mengarah pada Ascomycetes.

B. rhodina termasuk dalam filum Ascomycotina, tubuh buah – askokarps berupa bola yang di dalamnya terdapat banyak askus dan askospora. Askus berbentuk seperti gada, sedang askospora berbentuk bulat lonjong. Pada tanaman berkayu B. rhodina menyebabkan kanker batang. Kenyataan ini jauh berbeda dengan S. pseudopedicellatum yang tergolong dalam filim Basidiomycotina. Atas dasar ini kecenderungan dalam identifikasi lebih menekankan pada pengamatan morfologi.

Postulat Koch

Pada pengujian penularan untuk membuktikan S. pseudopedicellatum sebagai patogen pada lada dilakukan postulat Koch. Hasil postulat Koch yang dilakukan tertera pada gambar 3.3. Hasil postulat Koch menunjukan hanya isolat Glg dan Sdr yang menimbulkan gejala dengan penularan menggunakan potongan miselia yang ditempelkan batang dan buku bibit lada. Pada isolat Plh, gejala awal yang terbentuk tidak berkembang walau gejala awal sudah terbentuk. Miselia yang sudah terbentuk berupa lapisan tipis seperti sarang laba-laba (Gambar 3.3 a) pada permukaan cabang bibit lada hilang. Tubuh buah (basidiokarp) yang terbentuk pada pengujian ini belum sampai fase memperlihatkan pembentukan pilar. Bercak yang terbentuk berwarna seperti abu rokok, dan hanya terdiri dari lapisan subikulum. Bila dilihat dari gejala yang terbentuk antara hasil pengujian postulat Koch dan spesimen dari lapangan memperlihatkan bentuk yang sama. Kedua gejala masih belum membentk pilar.

Penularan baru berhasil setelah bibit mendapat perlakuan pengeringan. Tidak dilakukan penyiraman pada media tanam dalam polibag sampai memperlihatkan tanah sudah mengering. Proses perlakuan pengeringan, tidak menyiram air pada media tanam berlangsung selama 2 minggu. Kondisi media tanam yang sudah mengering, keras dan menggumpal tidak sampai membuat tanaman layu. Saat diinokulasi bibit memperlihatkan daun yang hijau tetapi sedikit agak kusam, sebagai pertanda bahwa tanaman mulai mengalami gangguan akibat pengeringan.

(39)

19 pelukaan pada membran akibat diproduksinya radikal super oksid, hidrogen peroksida, radikal hidroksil. Akibat lain yang mungkin akan terjadi adalah berkurangnya sintesis protein dan denaturasi protein sehingga berdampak pada integritas membran (Lipiec et al. 2013).

Perkembangan akar secara komplek dipengaruhi oleh kondisi kesimbangan antara air, udara dan ketegaran tanah. Ketiga faktor ini membentuk struktur tanah. Pada komposisi yang baik akar akan tumbuh memanjang dan menyebar, sehingga hal ini akan terlihat pada pertumbuhan tanaman. Pada kondisi kekurangan air struktur tanah akan mengeras sehingga menghambat perkembangan akar dan fungsi akar dalam menyerap hara dan air. Ini tentunya berdampak pada pertumbuhan tanaman yang terhambat, meningkatnya eksudasi akar sehingga tanaman lemah (Whitmore and Whalley 2009). Pada kondisi tanaman lemah infeksi oleh patogen akan semakin besar dapat terjadi.

Pada kesempatan sebelumnya penularan yang dilakukan dengan metoda yang sama, yaitu menempelkan miselia pada cabang yang dilukai selalu mengalami kegagalan. Bibit lada sebelum digunakan untuk penularan, diberi perlakuan penyimpanan dalam ruang gelap selama seminggu. Perlakuan ini dimaksudkan agar jaringan cabang bibit lada menjadi lebih lunak sehingga akan lebih mempermudah di infeksi oleh patogen.

Prakondisi agar penularan berhasil juga dilakukan dengan memberikan pupuk N dosis tinggi. Tiap bibit diberi urea 100 g dengan cara menyebarkannya pada permukaan media di sekeliling batang bibit lada. Akibat pemakaian pupuk N tinggi, 400 g/tanaman menyebabkan pertumbuhan tanaman tertekan (Wahid 1980), menjadi lebih sukulen. Pada tanaman yang tumbuh kurang normal menjadikannya lebih rentan terhadap infeksi patogen.

Gambar 3.3 Gejala hawar beludru . (A) gejala awal, terbentuk lapisan miselia tipis terbentuk di atas dan bawah tempat penempelan miselia, (B) miselia mulai menebal di daerah inokulasi, (C) terbentuk bercak tubuh buah pada daerah buku.

Gejala serangan hasil postulat Koch jika timbul tidak pada tempat melekatkan miselia maka akan terbentuk bercak memanjang berwarna abu-abu tipis seperti percikan lumpur. Gejala ini akan terlihat pada minggu ke-5. Bila berkembang maka akan terjadi pembentukan basidiomata (lapisan miselia menebal) memasuki minggu ke-7, tetapi bila tidak berkembang bercak akan hilang. Hal ini menunjukkan infeksi tidak berlanjut.

(40)

20

Infeksi yang berhasil, gejala yang terbentuk di tempat miselia dilekatkan memperlihatkan pertumbuhan miselia berwarna abu-abu. Miselia berkembang, memperlihatkan penebalan di sekitar tempat inokulasi dilakukan. Perkembangan miselia lebih cepat bila penempelan dilakukan di atau dekat buku, terutama yang sudah terbentuk akar. Di tempat ini kondisi relatif lembab karena lebih lama mengandung air (lebih lama terdapat lapisan air). Penyakit kudis pada apel memperlihatkan kenaikan insiden serangan jika periode basah pada permukaan daun menjadi lebih lama (Hartman et al. 1999).

Kajian yang dilakukan sebelumnya pada Septobasidium yang ditemukan sebagai patogen pada tanaman hanya sebatas pada terbentuk asosiasi diantara keduanya, tanaman dan cendawan. Analisis mendalam kaitan Septobasidium, khususnya pada kasus S. pseudopedicellatum yang ditemukan pada lada, baru pertama kali dilakukan. Penularan patogen yang berhasil melalui postulat Koch membuktikan bahwa S. pseudopedicellatum bersifat sebagai patogen pada lada. Merujuk pada apa yang telah dilakukan dalam penularan menunjukan bahwa patogen diduga sebagai patogen lemah. Atas dasar ini pula kemungkinan S. pseudopedicellatum digolongkan sebagai penyakit minor. Tetapi untuk kondisi Kalimantan Barat penyakit ini sudah cukup mengkhawatirkan mengingat sebarannya sudah meluas. Kondisi iklim juga mendukung perkembangannya, curah hujan cukup tinggi dan relatif panas sepanjang tahun. Suhu rata-rata selama 4 tahun terakhir berkisar 280C, cukup baik menunjang perkembangan patogen hawar beludru.

Hasil penularan pada postulat Koch menunjukkan keberhasilan bahwa S. pseudopedicellatum adalah patogen penyakit hawar beludru pada lada. Gejala tubuh buah yang terbentuk pada daerah sekitar buku dan cabang bibit lada dari hasil postulat Koch menunjukkan persamaan dengan gejala awal yang diamati di lapangan. Miselia yang menebal berwarna seperti abu rokok merupakan jalinan subikulum tubuh buah. Pada fase ini pilar belum terbentuk (Gambar 3.4). Pada bercak tubuh buah berumur lanjut baru akan terbentuk pilar dan lapisan himenium, warna tubuh buahpun akan berubah menjadi coklat

Gambar 3.4 Gejala hawar beludru yang belum membentuk pilar. (A) gejala hasil postulat Koch, (B) gejala pada spesimen dari lapangan.

[image:40.595.95.411.509.717.2]
(41)

21 Hasil isolasi tubuh buah dan jaringan cabang dari hasil postulat Koch memperlihatkan hifa, probasidium dan houstorium yang sama dibandingkan hasil isolasi dari spesimen tubuh buah yang diambil dari lapangan. Hal ini menandakan bahwa patogen hasil postulat Koch sama dengan hasil isolasi spesimen dari lapang.

Simpulan

Berdasarkan hasil postulat Koch dan identifikasi morfologi diketahui penyebab penyakit hawar beludru adalah Septobasidium pseudopedicellatum Burt.

Istilah penyakit ganggang pirang yang diberikan oleh masyarakat Kalimantan Barat tidak tepat sehingga perlu diperbaiki. Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan penyebab penyakit adalah dari kelompok cendawan dan menghasilkan gejala awal berupa bercak tubuh buah seperti beludru pada permukaan cabang, ranting atau buah. Sehingga istilah yang benar untuk penyakit ini adalah hawar beludru.

Teknik inokulasi buatan S. pseudopedicellatum telah diperoleh. Inokulasi akan diikuti oleh fase infeksi dan menimbulkan gejala hawar beludru jika media tumbuh diberi perlakuan pengeringan. Inokulasi dilakukan menggunakan miselia pada bagian buku atau cabang yang dilukai. Inokulasi pada bagian buku tingkat keberhasilannya tinggi, terutama jika telah membentuk akar.

(42)

22

4 BIOEKOLOGI PATOGEN HAWAR BELUDRU PADA LADA

Abstrak

Pengendalian patogen penyebab sakit harus didasarkan pada pengetahuan tentang bioekologinya. Diharapkan dengan pengetahuan bioekologi bisa dijadikan dasar untuk bisa menghambat perkembangan atau menurunkan populasi inokulum di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh pH dan suhu in vitro, laju penurunan viabilitas akibat penyimpanan, menentukan kemungkinan adanya asosiasi hawar beludru dengan serangga. mengkaji mikroba tanah sebagai agens biokontrol. Kisaran pengaruh pH media meliputi 3, 4, 5, dan 6 dan pengaruh suhu meliputi 15, 20, 30, dan 350C. Penyimpanan tubuh buah dilakukan dalam wadah tanpa diberi tanah, diberi tanah steril dan tanah tidak steril. Pemeriksaan kehadiran serangga dilakukan dengan menguliti tubuh buah dari berbagai katagori serangan di lapangan. Isolasi mikroba tanah untuk mencari kemungkinan bisa digunakan sebagai antagonis menggunakan metoda pengenceran. Semakin rendah pH menyebabkan pertumbuhan miselia terhambat. Demikian juga pengaruh suhu, jika suhu diturunkan atau ditingkatkan dari 300C menyebabkan pertumbuhan miselia terganggu. Penurunan daya viabilitas tubuh buah tercepat jika disimpan dalam tanah yang tidak steril sebagai akibat pembusukan jaringan dan diserang oleh cendawan antagonis. Trichoderma sp. dan Penicellium sp. berpotensi menjadi antagonis. Jenis kutu sisik, Unaspis

Gambar

Gambar 1.1 Alur penelitian
Gambar 2.1 Bentuk himenium, pilar, basidia, probasidia dan spora  S.
Gambar 3. 1 Tubuh buah cendawan S. pseudopedicellatum Burt. Rizomorfa yg
Gambar 3. 2  Mikroskopik S. pseudopedicellatum Burt. (A) spora dan basidia, (B).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam komunitas skateboard, gaya hidup dapat dilihat dari cara berpenampilan (cara berpakaian dan aksesoris) seperti dalam Barnard (2011:52), bahwa busana dan bahkan setiap

Investasi yang berorientasi padat karya akan berakibat pada semakin besarnya penyerapan tenaga kerja dibandingkan dengan investasi padat modal (Icovoiu, 2012 : 38).

Dalam rangka memberikan arah dan sasaran yang jelas serta sebagai pedoman dan tolok ukur kinerja yang diselaraskan dengan arah kebijakan dan program pembangunan nasional,

Dari kutipan di atas terlihat adanya kekecewaan OT terhadap prilaku anaknya yang tidak peduli dengannya.Konflik-konflik batin yang dia terima terlalu membuat dia tersiksa

Salah satu cara untuk mengatasi kendala yang dialami oleh kaum difabel daksa adalah memodifikasi kendaraan roda dua (sepeda motor) menjadi kendaraan roda tiga

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan sosial ekonomi keluarga petani sawah tadah hujan di Desa Balinuraga Tahun 2016, titik kajian luas lahan, pekerjaan

Bagi Waka Hubungan Masyarakat SMK Muhammadiyah 1 Kepanjen Hubungan masyarakat sekolah adalah unit lembaga yang menjadi jembatan komunikasi sekolah yang menyampaikan informasi

Jo yksinkertainen kuntien väkilukujen vertailu kuitenkin osoittaa, että väestökehitys on hyvin epätasaista (ks. kuvio 1), jolloin myös väestön ja kunnan henkilöstön