• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS ARTRIHPI DALAM PERAWATAN ULKUS DIABETIKUM DITINJAU DARI JUMLAH KUMAN : STUDI RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS ARTRIHPI DALAM PERAWATAN ULKUS DIABETIKUM DITINJAU DARI JUMLAH KUMAN : STUDI RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

EFEKTIVITAS ARTRIHPI

DALAM PERAWATAN ULKUS DIABETIKUM

DITINJAU DARI JUMLAH KUMAN :

STUDI RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL

MANUSKRIP

RESTI YULIANTI SUTRISNO 1206195634

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN PEMINATAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

(2)

EFEKTIVITAS ARTRIHPI DALAM PERAWATAN ULKUS

DIABETIKUM DITINJAU DARI JUMLAH KUMAN :

STUDI RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL

Resti Yulianti Sutrisno1, Dewi Gayatri2, Agung Waluyo3

1. Departemen Keperawatan Medikal Bedah, Fakultas Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kampus FKIK UMY, Bantul Yogyakarta, 55183 Indonesia 2. Departemen Keilmuan Dasar Keperawatan dan Keperawatan Dasar, Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Depok Jawa Barat, 16424 Indonesia

3. Departemen Keperawatan Medikal Bedah, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Depok Jawa Barat, 16424 Indonesia

Email : restiyulianti@yahoo.com

Abstrak

Irigasi luka merupakan langkah penting dalam perawatan ulkus untuk menghindari perluasan infeksi. Studi sebelumnya menyebutkan irigasi luka dengan artrihpi efektif untuk penyembuhan ulkus diabetikum ditinjau dari skor penyembuhan ulkus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas artrihpi ditinjau dari jumlah kuman. Metode yang digunakan yaitu randomized controlled trial (RCT) dengan double blind menggunakan desain paralel. Dua puluh dua responden ulkus diabetikum yang masih infeksi di dua rumah sakit telah berpartisipasi. Responden dilakukan randomisasi kemudian mendapatkan perlakuan dengan alat irigasi artrihpi (tekanan 10-15psi) atau spuit 12 cc jarum nomor 22 (tekanan 13 psi). Swab ulkus untuk mengetahui jumlah kuman dilakukan sebelum dan sesudah irigasi luka. Analisa untuk melihat perbedaan jumlah kuman dilakukan uji Wilcoxon dan Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang bermakna jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi (p-value: 0,041) maupun kelompok kontrol (p-value:0,006). Tidak ada perbedaan yang bermakna jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p-value: 0,25) serta tidak ada perbedaan selisih jumlah kuman yang bermakna sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol dan intervensi (p-value:0,25). Rekomendasi penelitian ini adalah irigasi luka dengan artrihpi dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam perawatan ulkus diabetikum.

Kata kunci : ulkus diabetikum, jumlah kuman, irigasi luka, tekanan, artrihpi

Effectivity of Artrihpi in The Treatment Diabetic Foot Ulcer Evaluate Based On Bacterial Load: Studi Randomized Controlled Trial

Abstract

Irrigation is an important step management of diabetic foot ulcer to avoid the expansion of the infection. Previous studies have suggested irrigation the wound with artrihpi (pressure 10-15psi) effective for healing diabetic ulcers. This study aims to determine the effectiveness artrihpi based on the number of bacteri. The method used is the randomized controlled trial (RCT) by using a double-blind and parallel design. Twenty-two respondents diabetic ulcers are still infectious in two hospitals have participated. Respondents randomization then get treated with artrihpi (pressure 10-15psi) or 12 cc syringe needle number 22 (pressure 13 psi). Ulcer swab to determine the number of bacteria before and after irrigation the wound. Analysis to see the difference in the number of bacteri use Wilcoxon and Mann-Whitney test. The results showed significant difference bacteria count before and after treatment in the intervention group (p-value: 0.041) or the control group (p-value: 0.006). However, there was no significant difference in the number of bacteria after treatment intervention group and the control group (p-value: 0.25), and no differences were significant difference in the number of bacteria before and after treatment in the control and intervention group (p-value: 0 , 25). Recommendations in this study was irrigation the wound with artrihpi can be used as a nursing interventions used to clean wounds in the treatment of diabetic ulcers.

(3)

Pendahuluan

Kondisi hiperglikemi pada pasien DM yang tidak terkontrol secara terus menerus dan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Manurut Clayton & Elasy (2009), salah satu komplikasi jangka panjang dari diabetes melitus adalah ulkus diabetik (15%). Hal ini sejalan dengan penelitian klinik dari beberapa sentra di Indonesia pada tahun 2005 melaporkan prevalensi ulkus kaki diabetik berkisar antara 17,3% sampai 32,9% dari seluruh pasien diabetes yang dirawat di rumah sakit (Santosa, Lian, & Yudy, 2006).

Ulkus kaki diabetik ini jika tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi merupakan kontaminasi koloni bakteri yang dapat mengganggu proses penyembuhan luka. Bakteri akan berkolonisasi di dalam luka dan terus akan memperbanyak diri secara berlebihan, sehingga menyebabkan luka menjadi infeksi. Jika jumlah bakteri lebih dari 105 bakteria/gram dari jaringan maka penyembuhan luka akan terganggu (Steed, 2004).

Menurut penelitian Gadepalli et al. (2006), bakteri gram negatif aerob merupakan bakteri yang paling sering ditemukan (51,4%), kemudian diikuti bakteri gram positif aerob (33,3 %) dan bakteri anaerob (15,2%). Mereka dapat ditemukan sebagai infeksi monomikrobial (43,5%) maupun infeksi polimikrobial (35,5%) (Tiwari et al., 2010).

Infeksi ulkus kaki diabetik jika tidak ditangani dengan serius akan menjadi gangrene dan amputasi bahkan kematian apabila berkembang menjadi infeksi sistemik (American Diabetes Asssociation, 1999). Menurut Clayton (2009), ulkus diabetik ini merupakan 85% penyebab terjadinya amputasi pada pasien diabetes melitus.

Penatalaksanaan ulkus diabetik diperlukan agar fase penyembuhan ulkus dapat difasilitasi dengan baik. Terdapat tiga prinsip utama manajemen ulkus diabetik yaitu off-loading, debridement, dan kontrol infeksi (Jeffcoate, 2003; Delmas, 2006; Kruse & Steven, 2006).

Penanganan infeksi yang baik merupakan salah satu langkah penting dalam perawatan ulkus diabetikum untuk menghindari perluasan infeksi. Salah satu usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya perluasan infeksi adalah dengan melakukan pencucian luka secara optimal (Cutting, 2010). Tujuan dari pencucian luka adalah untuk membersihkan jaringan nekrotik, membuang dan mengurangi jumlah bakteri, membuang eksudat purulen dan untuk memelihara kebersihan jaringan kulit sekitar luka (Carville, 2007). Teknik pencucian luka yang benar dan tepat akan mempercepat dan memperbaiki jaringan luka yang rusak. Teknik pencucian luka yang sering dilakukan adalah swabbing, showering, bathing dan irigasi.

Metode pencucian luka yang efektif untuk mengurangi infeksi adalah irigasi yang dilakukan dengan tekanan. Menurut American College of Surgeon, irigasi tekanan tinggi yaitu untuk tekanan 35-70 psi, sedangkan irigasi tekanan rendah adalah 1-15 psi. Irigasi tekanan tinggi sering digunakan pada luka akut. Pada luka kronis, irigasi tekanan tinggi dapat

merusak granulasi dan menyebabkan

ketidaknyamanan pada pasien. Pada semua luka, irigasi tekanan tinggi juga dapat mendorong bakteri ke dalam kompartemen yang lebih dalam, sehingga menyebabkan peningkatan resiko infeksi. Agency for Health

Care Policy and Research (AHCPR)

(4)

ke dalam, sedangkan tekanan yang lebih rendah dari 4 psi terbukti tidak mampu menghilangkan patogen permukaan dan kotoran-kotoran (Gabriel, 2013).

Metode

Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol atau randomized controlled trial (RCT) dengan desain paralel. Jumlah sampel yang diambil adalah 22 orang, dengan kriteria inklusi : DM tipe 2, usia < 64 tahun, luka DM terinfeksi dengan grade 2,3 berdasarkan klasifikasi klinis infeksi kaki diabetes menurut Infectius Disease Society of America (IDSA). Responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian dilakukan randomisasi blok. Sebelum perawatan luka, dilakukan informed consent, pemberian kuesioner DASS, pengisian karakteristik responden, dan pemeriksaan ABI serta GDS. Kemudian responden dilakukan perawatan luka dengan alat irigas artrihpi sebagai kelompok intervensi atau dengan spuit 12 cc jarum nomor 22 sebagai kelompok kontrol. Sebelum irigasi dilakukan swab ulkus untuk kultur jumlah dan jenis kuman. Setelah irigasi luka dilakukan kultur kembali untuk pemeriksaan jumlah kuman. Alur penelitian dapat dilihat pada bagan 1.

Analisis untuk membuktikan hipotesa ada perbedaan jumlah kuman sebelum dan sesudah tindakan irigasi luka pada kelompok yang menggunakan artrihpi (intervensi) dan spuit 12cc jarum nomor 22 (kontrol) menggunakan uji statistic Wilcoxon test. Sedangkan uji statistik Mann Whitney Test dilakukan untuk membuktikan hipotesa ada perbedaan jumlah kuman sesudah tindakan irigasi luka antara kelompok intervensi dan kontrol, serta ada perbedaan selisih jumlah kuman sebelum dan sesudah tindakan irigasi luka antara kelompok intervensi dan kontrol.

Bagan 1. Alur Kerja Penelitian di RSUP Fatmawati dan RSUD Budhi Asih Tahun

2014

Hasil

Rata-rata usia responden 52,59 tahun dengan usia termuda 39 tahun dan paling tua 64 tahun. Sebagian besar responden adalah perempuan (72,7%). Hanya sebagian kecil responden yang memiliki riwayat merokok (27,3%). Responden yang mendapatkan antibiotik sistemik dan

Populasi

34 responden di RSUP Fatmawati dan RSUD Budhi Asih

Randomisasi (n=22) dengan alat irigasi artrihpi

(K.Intervensi) (n=11)

Alokasi untuk kelompok dengan alat irigasi spuit 12 cc jarum nomor 22 (K.Kontrol) (n=11)

(K.Intervensi) (n=11)

 Informed consent

 Memberikan kuesioner DASS

 Mengisi data karakteristik responden

 Memeriksa ABI dan GDS

 Informed consent

 Memberikan kuesioner DASS

 Mengisi data karakteristik responden

 Memeriksa ABI dan GDS

Perawatan Luka (n=11)

 Melakukan swab untuk kultur jumlah dan jenis kuman sebelum irigasi dengan artrihpi

 Melakukan perawatan luka dengan artrihpi

 Melakukan swab untuk kultur jumlah kuman sesudah irigasi dengan artrihpi

Perawatan Luka (n=11)

 Melakukan swab untuk kultur jumlah dan jenis kuman sebelum irigasi dengan spuit 12cc jarum nomor 22

 Melakukan perawatan luka dengan spuit 12cc

 Melakukan swab untuk kultur jumlah kuman sesudah irigasi dengan spuit 12 cc

Pengiriman sampel ke Labkesda dan RSCM (n=11)

Pengiriman sampel ke Labkesda dan RSCM (n=11)

(5)

topikal lebih banyak (54,5%) daripada responden yang mendapatkan antibiotik sistemik saja. Responden dengan tingkat stres normal 10 orang (45,5%), tingkat stress ringan 9 orang (40,9%), tingkat stress sedang 3 orang (13,6%). Rata-rata nilai albumin 2,64 g/dl dengan standar deviasi 2,6 g/dl. Nilai albumin terendah 2 g/dl sedangkan tertinggi 3,3 g/dl. Rata-rata nilai hemoglobin 9,36 g/dl dengan standar deviasi 1,4 g/dl. Nilai hemoglobin terendah 6,7 g/dl sedangkan tertinggi 11,7 g/dl. Rata-rata nilai GDS responden 202,27 mg/dl dengan standar deviasi 32,48 mg/dl. Nilai GDS terendah 144 mg/dl sedangkan tertinggi 266 mg/dl. Rata-rata nilai ABI 1,01 dengan standar deviasi 0,07 g/dl. Nilai ABI terendah 0,85 sedangkan tertinggi 1,08. Rata-rata nilai skor luka responden 47,55 dengan standar deviasi 5,33. Skor luka terendah 30 sedangkan tertinggi 53.

Rata-rata jumlah kuman sebelum perlakuan pada kelompok intervensi 2,5x107 CFU/ml dan sesudah perlakuan 0,83x107 CFU/ml, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata jumlah kuman sebelum perlakuan 2,7x107 CFU/ml dan sesudah perlakuan 1,7x107 CFU/ml. Grafik rata-rata penurunan jumlah kuman dapat dilihat pada grafik 1. Rata-rata selisih jumlah kuman pada responden 1,3x107 CFU/ml dengan standar deviasi 1,2x107 CFU/ml. Selisih jumlah kuman terendah pada penelitian ini 0,007x107 CFU/ml sedangkan tertinggi 3,9x107 CFU/ml. Rata-rata tekanan irigasi pada kelompok intervensi 13 psi dengan standar deviasi 1,6 psi. Tekanan irigasi terendah pada kelompok intervensi 10 psi sedangkan

tertinggi 15 psi. Rata-rata tekanan irigasi pada kelompok kontrol 13,36 psi dengan standar deviasi 6,68 psi. Tekanan irigasi terendah pada kelompok kontrol 3 psi sedangkan tertinggi 26 psi.

Pada penelitian ini ditemukan dua jenis kuman aerob gram positif yaitu Staphylococcus aureus (5%), Staphylococcus epidermidis (5%) dan terdapat tujuh jenis kuman aerob gram negatif monomikrobial (hanya satu jenis kuman) sedangkan tujuh sampel ditemukan secara polimikrobial (lebih dari satu jenis kuman).

0

Rata-Rata Jumlah Kuman Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUP Fatmawati

(6)

Tabel 1

Perbedaan Jumlah Kuman Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUP Fatmawati dan RSUD Budhi Asih Tahun 2014

Kelompok Variabel N Mean SD MD (95%CI)

Z p-value Intervensi Sebelum 11 2,5x107 2,5x107 0,79x107 ;

2,5x107

-2,045 0,041* Sesudah 11 0,83x107 1,4x107

Kontrol Sebelum 11 2,7x107 2,9x107 0,27x107 ; 1,6x107

-2,756 0,006* Sesudah 11 1,7x107 2,06x107

*bermakna pada α 0.05 dengan uji Wilcoxon

Tabel 2

Perbedaan Jumlah Kuman Sesudah Perlakuan dan Selisih Jumlah Kuman pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di RSUP Fatmawati dan RSUD Budhi Asih Tahun 2014

Variabel Kelompok N Mean SD MD (95%CI)

Z p-value Jumlah

sesudah

Intervensi 11 0,83x107 1,4x107 -2,5x107 ; 0,67x107

-1,149 0,250 Kontrol 11 1,7x107 2,05x107

Selisih jumlah

Intervensi 11 1,6x107 1,2x107 -0,29x107 ; 1,7x107

-1,149 0,250 Kontrol 11 0,92x107 097x107

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan perbedaan yang bermakna antara jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Walaupun secara statistik perbedaan jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol lebih bermakna daripada kelompok intervensi akan tetapi pada analisa univariat selisih jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol serta jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol.

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah kuman sesudah perlakuan maupun selisih jumlah kuman pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak memiliki perbedaan yang bermakna menurut statistik. Hal ini terlihat dari nilai p-value pada perbedaan jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi

dan kontrol yaitu 0,250. Hal ini juga tampak pada perbedaan selisih jumlah kuman pada kelompok intervensi dan kontrol dengan p-value 0,250.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ini, rata-rata jumlah kuman sebelum perlakuan pada

kelompok intervensi 2,5x107 CFU/ml dan sesudah perlakuan 0,83x107 CFU/ml, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata jumlah kuman sebelum perlakuan pada kelompok kontrol 2,7x107 CFU/ml dan sesudah perlakuan 1,7x107 CFU/ml.

(7)

dengan yang disampaikan oleh Australian Wound Management Association (2011) bahwa jumlah kuman yang dapat menyebabkan infeksi

apabila mencapai lebih dari 105

mikroorganisme/gr jaringan. Sedangkan jumlah kuman yang secara signifikan menyebabkan tertundanya penyembuhan luka yaitu saat jumlah kuman 106 CFU/ml. Penelitian jumlah kuman tersebut didapatkan dengan melakukan swab pada ulkus diabetikum (Bendy. et al, 1964).

Jumlah kuman yang terdapat pada ulkus diabetikum akan mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka. Berdasarkan penelitian Browne, Verancombe, Sibblad (2001) didapatkan bahwa pada ulkus diabetikum yang mengandung kuman lebih besar dari 106 maka kecepatan penyembuhan lukanya 0,055 cm/minggu, pada ulkus yang mengandung kuman 105 – 106 kecepatan penyembuhan luka menjadi 0,15 cm/minggu, sedangkan yang tidak ditemukan kuman kecepatan penyembuhan lukanya 0,2 cm/minggu.

Kuman yang terdapat pada ulkus diabetikum bisa ditemukan secara monomikrobial dan polimikrobial. Virulensi kuman akan lebih banyak apabila ditemukan kuman secara polimikrobial daripada monomikrobial. Pada luka yang terdapat kuman aerob dan anaerob, akan memiliki efek gabungan yang lebih parah yang tidak dicapai jika kuman hanya monomikrobial. Sinergi kuman dapat meningkatkan efek patogen dan tingkat keparahan infeksi dalam beberapa cara: (i) konsumsi oksigen oleh bakteri aerobik menginduksi hipoksia jaringan dan menurunkan potensi redoks, yang mendukung pertumbuhan bakteri anaerob; (ii) nutrisi tertentu yang diproduksi oleh salah satu bakteri dapat mendorong pertumbuhan kuman yang lain; dan (iii) beberapa anaerob dapat merusak fungsi sel

imun tubuh inang (Bowler, Duerden, and Armstrong, 2001).

Pada penelitian ini ditemukan dua jenis kuman aerob gram positif yaitu Staphylococcus aureus (5%), Staphylococcus epidermidis (5%) dan terdapat tujuh jenis kuman aerob gram negatif untuk pemeriksaan jenis kuman, enam sampel ditemukan kuman secara monomikrobial (hanya satu jenis kuman) sedangkan tujuh sampel ditemukan secara polimikrobial (lebih dari satu jenis kuman).

Berdasarkan penelitian Gadepalli et al. (2014) pada 183 responden ditemukan 84,7% kuman aeruginosa, Acinetobacter species, Klebsiella species, Citrobacter species, Enterebacter species. Kuman aerob gram positif yang ditemukan yaitu Staphylococcus aureus, Enterobacter species, Micrococcus species. Kuman anaerob gram negative yang ditemukan yaitu Veilonella species, Bacteroides species, Bacteroides fragilis, Bacteroides egerrthi, Bacteroides vulgaris, dan Bacteroides ovalus. Sedangkan kuman anaerob gram positif yang

ditemukan yaitu Peptostreptococus

assachrolytus, Clostiridium prefringens, Eubacterium lentum.

(8)

Prevotella melaninogenica dan P. Melaninogenica. Sedangkan Klebsiella pneumoniae berperan meningkatkan virulensi P. melaninogenica dengan menyediakan suksinat sebagai faktor pertumbuhan esensial. Suksinat adalah asam lemak rantai pendek yang penting (SCFA) yang dihasilkan oleh kedua bakteri aerobik dan anaerobik (misalnya, E. coli, K. pneumoniae, Bacteroides spp, dan Prevotella spp) terakumulasi pada area yang dominan terinfeksi anaerob dan menghambat kemotaksis dan fagositosis. Keberadaan S. aureus dan pigmenting gram negatif anaerob dalam luka cenderung lebih merugikan daripada kehadiran sejumlah yang sama dari S. aureus saja. Dengan tidak adanya bakteri fakultatif yang dapat memberikan faktor pertumbuhan yang diperlukan, gram-negatif anaerob berpigmen mungkin tidak dapat berkembang biak. Oleh karena itu, komposisi flora luka polimikrobial cenderung lebih penting daripada kehadiran patogen tertentu, karena ini akan menentukan apakah interaksi patogen yang mungkin terjadi (Bowler, Duerden, and Armstrong, 2001).

Hasil analisa perbedaan jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi didapatkan p-value 0,041 maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna antara jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol kesimpulan uji statistik yang sudah dilakukan juga sama dengan kelompok intervensi yaitu ada perbedaan yang bermakna antara jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol (p-value= 0,006). Walaupun secara statistik perbedaan jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol lebih bermakna daripada kelompok intervensi akan tetapi pada analisa univariat selisih jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok

intervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol dan jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol. Rata-rata selisih jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan kelompok intervensi yaitu 1,6x107 CFU/ml, sedangkan pada kelompok kontrol yaitu 0,92x107 CFU/ml. Rata-rata jumlah kuman sebelum perlakuan pada kelompok intervensi 2,5x107 CFU/ml sedangkan pada kelompok kontrol 2,7x107 CFU/ml. Rata-rata jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi 0,83x107 CFU/ml, sedangkan pada kelompok kontrol 1,7x107 CFU/ml.

Perbedaan jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi dan kontrol serta perbedaan selisih jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi dan kontrol diuji menggunakan mann-whitney didapatkan hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi dan kontrol (p-value=0,250) maupun selisih jumlah kuman sebelum dan sesudah tindakan pada kelompok intervensi dan kontrol (p-value= 0,250), akan tetapi menurut analisa univariat rata-rata jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol, yaitu 0,83x107 CFU/ml, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata jumlah kuman sesudah perlakuan 1,7x107 CFU/ml. Selisih jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol yaitu 1,6x107 CFU/ml, sedangkan pada kelompok kontrol yaitu 9,2x106 CFU/ml.

(9)

dan alat irigrasi spuit 12 cc abocet nomor 22 yang menghasilkan tekanan 13 psi efektif untuk menurunkan jumlah kuman pada ulkus diabetikum, dengan penurunan jumlah kuman pada kelompok intervensi (artrihpi) lebih banyak daripada kelompok kontrol (spuit 12 cc abocet 22), akan tetapi secara statistik tidak terdapat perbedaan penurunan jumlah kuman yang bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Rodehavear, Pettry, dan Thacker (1975) dalam Hoffman & Schafer (2000) mengenai efek irigasi tekanan 1, 5, 10, dan 15 psi untuk menghilangkan kuman Staphylococcus aureus dan soil particles pada luka terkontaminasi. Pada tekanan 1 dan 5 psi dapat menghilangkan 48,6% dan 50,3% kontaminan. akan tetapi tidak efekif untuk mencegah infeksi. Sedangkan pada tekanan 10 dan 15 psi dapat menghilangkan 75,7% dan 84,8% kontaminan. Rata-rata infeksi pada tekanan ini lebih rendah daripada kelompok yang mendapatkan irigasi dengan tekanan 1 psi.

Penelitian Stevenson, Thacker, Rhodevear (1976) membandingkan efektivitas irigasi tekanan rendah dengan bulb syringe yang menghasilkan tekanan 0,5 psi dan irigasi tekanan tinggi menggunakan piston 12 cc dan 35cc abocet nomor 19 (menghasilkan tekanan 20 dan 7 psi) didapatkan hasil penurunan jumlah kuman yang lebih besar pada irigasi dengan piston pada tekanan 20 dan 7 psi dibandingkan dengan bulb syringe.

Madden, Eddlich, Schauerharmer (1971) dalam Hoffman & Schafer (2000) melakukan penelitian efektivitas irigasi pada tekanan 0, 5, 10, dan 25 psi untuk membersihkan luka pada tikus yang terkontaminasi Staphylococcus

aureus dan Escherichia coli. Didapatkan hasil bahwa irigasi dengan tekanan 0,5,10 psi dapat mengurangi jumlah kuman akan tetapi tidak efektif untuk mencegah perkembangan infeksi klinis. Infeksi klinis terjadi apabila jumlah bakteri atau mikroorganisme lain mencapai 105 organisme per gram jaringan dan menghasilkan tanda-tanda infeksi (seperti eksudat yang purulen, bau, eritema, hangat, tenderness, edema, nyeri, pana, dan peningkatan sel darah putih), sedangkan irigasi dengan tekanan 25 psi rata-rata infeksi klinis nya lebih rendah.

Penelitian RCT yang dilakukan JBI (Joanna Brigs Institute) membandingkan irigasi untuk pencucian luka dengan tekanan 13 psi (spuit 12 cc, abocet 22) dan tekanan 0,5 psi (bulb syringe) pada pasien dengan laserasi, luka yang dalam, luka trauma dan ulkus didapatkan hasil irigasi dengan tekanan 13 psi mampu menurunkan infeksi (p=0.0017).

(10)

Simpulan

Artrihpi memberikan efek menurunkan jumlan kuman. Ada perbedaan yang bermakna jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok yang mendapatkan perawatan luka dengan alat irigasi artrihpi maupun dengan spuit 12cc jarum nomor 22. Akan tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol serta tidak ada perbedaan selisih jumlah kuman yang bermakna sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol dan intervensi.

Rata-rata usia responden 52,59 tahun dengan sebagian besar responden adalah perempuan. Hanya sebagian kecil responden yang memiliki

riwayat merokok. Responden yang

mendapatkan antibiotik sistemik dan topikal lebih banyak daripada responden yang mendapatkan antibiotik sistemik saja. Nilai albumin responden seluruhnya dibawah normal. Rata-rata responden mengalami hiperglikemi. Sebagian besar responden berada pada tingkat stres normal. Rata-rata jumlah kuman sebelum perlakuan pada kelompok intervensi dan kontrol hampir sama, sedangkan rata-rata jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol. Selisih jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi lebih besar daripada kelompok kontrol.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami ucapkan kepada

pembimbing penelitian kami Ibu Dewi Gayatri, S.Kp., M. Kes dan Bapak Agung Waluyo, S.Kp., M. Sc., Ph.D yang telah membimbing pelaksanaan penelitian ini dari awal sampai akhir. Terima kasih juga kami ucapkan kepada

responden kami pasien ulkus diabetikum di rawat inap penyakit dalam RSUP Fatmawati dan RSUD Budhi Asih. Terima kasih kepada Kemendikbud melalui dana BOPTN yang telah membantu biaya penelitian ini. Terima kasih kepada Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta, Direktur RSUP Fatmawati dan RSUD Budhi Asih yang telah memberikan izin penelitian. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Kepala ruang dan perawat di RSUP Fatmawati dan RSUD Budhi Asih, Kepala bagian mikrobiologi dan laboran mikrobiologi di Laboratorium Kesehatan Daerah Propinsi DKI dan Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo yang telah membantu

pelaksanaan penelitian ini.

Referensi

Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR). (1994). Treatment of Pressure Ulcers Guideline Panel. Treatment of Pressure Ulcers. Rockville (MD): Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR); 1994 Dec. (AHCPR Clinical Practice Guidelines, No. 15.) 4, Ulcer Care.

Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK63 906/

American Diabetes Association, -. (2013). Executive Summary: Standards of MedicalCareinDiabetesd 2013. Diabetes Care, 36(1 January). doi: 10.2337/dc13-S001.

(11)

Black, J., & Hawks, J. (2009). Surgical nursing: clinical management for positive outcome (8 ed.). United States of America: Elsevier.

Bowler, P.G., Duerden, B.I., Armstrong, D.G.

(2001). Wound Microbiology and

Associated Approaches to Wound

Management. Clinical Microbiology

Reviews, 14(2), 244-269. DOI:

10.1128/CMR.14.2.244–269.2001.

Retrieved from

http://cmr.asm.org/content/14/2/244.full.pdf +html

Brown, A. (2013). The role of debridement in the healing process. Proquest Public Health, 109(40).

Browne, A. C., Vearncombe, M., & Sibbald, R. G. (2001). High Bacterial Load in Asymptomatic Diabetic Patients with Neurotrophic Ulcers Retards Wound Healing after Application of Dermagraft ®. Ostomy Wound Management, 47(10),

44-49. Retrieved from

http://cawc.net/images/uploads/resources/Si bbald_bact.pdf.

Carville, K. (2007). Wound care manual (5 ed.). Western Australia: Silver Chain Foundation.

Clayton, W., & Elasy, T. A. (2009). A Review of the Pathophysiology, Classification, and Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Clinical Diabetes, 27(2), 52-58.

Retrieved from

http://clinical.diabetesjournals.org/content/2 7/2/52.full.pdf+html.

Cutting, K. F. (2010). Addressing the challenge of wound cleansing in the modern era.

British Journal of Nursing, 19(11).

Retrieved from

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q= &esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uac t=8&ved=0CCgQFjAA&url=http%3A%2F %2Fwww.researchgate.net%2Fpublication %2F45151746_Addressing_the_challenge_ of_wound_cleansing_in_the_modern_era% 2Ffile%2F9fcfd50c6f63cef535.pdf&ei=C51 FU665L82UrAffwIGACQ&usg=AFQjCN GPrd6nt0VNjfUyftbLlgW0AaaGPA&bvm =bv.64507335,d.bmk.

Delmas, L. (2006). Best practice in the assessment and management of diabetic foot ulcer. Rehabilitation Nursing, 31(6),

228-234. doi:

10.1002/j.2048-7940.2006.tb00018.x.

Demetriou, M., Papanas, N., Panopoulou, M., Papatheodorou, K., & Maltezos, E. (2013). Determinants of microbial load in infected diabetic foot ulcers : A pilot study. International Journal of Endocrinology. doi:

hhtp://dx.doi.org/10.1155/2013/858206.

Fernandez, R., Mn, R. N., & Candidate, C. (2006). Effectiveness of Solutions , Techniques and Pressure in Wound Cleansing Technical report. The Joanna Briggs Institute Adelaid, 2(2). Retrieved from

http://connect.jbiconnectplus.org/ViewSour ceFile.aspx?0=4406.

Gabriel, A. (2013). Wound Irrigation. Medscape.

http://emedicine.medscape.com/article/1895 071-overview

(12)

(2006). A Clinico-microbiological Study of Diabetic Foot Ulcers in an Indian Tertiary Care. Diabetes, 29(8). doi: 10.2337/dc06-0116.

Gardner, S. E., Frantz, R. A., Saltzman, C. L., Hillis, S. L., Park, H., Scherubel, M., et al. (2006). Diagnostic validity of three swab techniques for identifying chronic wound infection. Wound Repair and Regeneration,

548-557. doi:

10.1111/j.1743-6109.2006.00162.x.

Hefni, A. A., Ibrahim, A. R., Attia, K. M., Moawad, M. M., El-ramah, A. F., Shahin, M. M., et al. (2013). Bacteriological study of diabetic foot infection in Egypt. Journal of the Arab Society for Medical Research,

8, 26-32. doi:

10.7123/01.JASMR.0000429086.88718.bb.

Hobizal, K. B., & Wukich, D. K. (2012). Diabetic foot infections: current concept review. Diabetic Foot and Ankle, 3, 1-8. doi:

http://dx.doi.org/10.3402/dfa.v3i0.18409.

Hoffman, K. A., & Schafer, D. S. (2000). Pulsed Lavage in Wound Cleansing. Journal of American Physical Therapy Association, 80(3), 292-300. Retrieved from http://ptjournal.apta.org/content/80/3/292.

International Diabetes Federation. (2013). IDF Diabetes Atlas 6th Edition. IDF Diabetes

Atlas. Retrieved from

http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6 E_Atlas_Full_0.pdf.

Janice, & Bianchi. (2000). The cleansing of superficial traumatic wounds. British Journal of Nursing, 9(3), 28-38. Retrieved from

http://www.internurse.com/cgi-bin/go.pl/library/article.cgi?uid=12484;artic le=BJN_9_Sup3_S28_S38;format=pdf.

Jeffcoate, W. J., & Harding, K. G. (2003). Diabetic foot ulcers. The Lancet, 361(May 3), 1545-1552. Retrieved from http://e-resources.pnri.go.id:2138/ehost/detail?vid=

3&sid=c2e6e5cd-72d0-47a8-b032-4f8d720fafc1%40sessionmgr4001&hid=42 14&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ% 3d%3d#db=mnh&AN=12737879.

JBI. (2008). Solutions, techniques and pressure in wound cleansing. Nursing Standard,

22(27), 35-9. Retrieved from

http://search.proquest.com/docview/219860 988?accountid=17242

Pillen, H., Miller, H., J, T., Puckridge, P., Sandison, S., Spark, J., et al. (2009). Assessment of wound healing : validity , reliability and sensitivity of available instruments. Wound Practice and Research, 17(4), 208-217.

Santosa, M., Lian, S., & Yudy. (2006). Gambaran pola penyakit diabetes melitus di bagian rawat inap RSUD Koja 2000-2004. Cermin Dunia Kedokteran, (150). Retrieved from

http://www.kalbe.co.id/files/13_150_Polape nyakitdmrawatinap.pdf.

Tiwari, S., Pratyush, D. D., Dwivedi, A., Gupta, S. K., Rai, M., Singh, S. K., et al. (2012). Microbiological and clinical characteristics of diabetic foot infections in northern India. J Infect Dev Ctries, 6(4),

329-332. Retrieved from

(13)

Gambar

Tabel 2 Perbedaan Jumlah Kuman Sesudah Perlakuan dan Selisih Jumlah Kuman pada Kelompok

Referensi

Dokumen terkait

Smart School yang diterapkan dalam pengabdian ini berupa hasil penelitian yang terdiri dari Sistem Informasi Akademik (SIAK) Sekolah, Sistem Informasi Inventarisasi

Sedangkan untuk mengidentifikasi tingkatan prioritas aspek-aspek kualitas pelayanan yang memuaskan atau tidak maka penelitian ini menggunakan Diagram Cartesius yaitu suatu diagram

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah penerapan model pembelajaran tandur dapat meningkatkan hasil belajar dan minat belajar siswa kelas IX SMPN 2

Artinya, kalau guru yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran mempunyai kinerja yang baik, akan mampu meningkatkan sikap dan motivasi belajar siswa yang pada akhirnya akan

1) Pengembangan dan Kelengkapan pedoman,kebijakan, prosedur,pengawasan dan pengendalian kegiatan akademik,keuangan dan penjaminan mutu. 2) Pengembangan dan pengintegrasian

Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan, salah satunya adalah minyak goreng, serta proses penggorengan dapat mempengaruhi jumlah cemaran logam berat

Metode dan pendekatan yang digunakan oleh komunitas petani padi sehat Kampung Ciburuy ini merujuk pada prinsip pertanian organik, tetapi komunitas petani padi

Sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini yaitu (1) Menganalisis hubungan karakteristik individu dengan tingkat partisipasi dalam program pertanian perkotaan;