• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB KEPRIBADIAN SAMPAI EYSENCK COSTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB KEPRIBADIAN SAMPAI EYSENCK COSTA"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

TEORI INTERPERSONAL (SULLIVAN)

A. Sejarah Pribadi Harry Stack Sullivan

Harry Stack Sullivan lahir di sebuah kota peternakan di Norwich, New york pada Februari 21, 1982, satu-satunya anak yang hidup dari sebuah keluarga Irlandia Katolik miskin. Ibunya, Ella Stack Sullivan, berumur 32 tahun ketika menikahi Timothi Sullivan dan berumur 39 ketika Harry lahir. Dia telah melahirkan dua putra lainnya, tidak satupun yang hidup melampaui umur setahun. Sebagai akibatnya, dia memanjakan dan menjaga anak satu-satunya, yang mana keselamatannya dianggap sebagai kesempatan terakhir dari keibuannya. Ayah Harry, Timothy Sullivan, adalah seorang pria yang pemalu, suka menyendiri, pendiam yang tidak pernah membangun hubungan dekat dengan anaknya hingga setelah istrinya meninggal dan Sullivan menjadi dokter terkenal. Timothy Sullivan sudah menjadi pekerja peternakan dan pabrik yang tinggal bersama peternakan keluarga istrinya diluar desa Smyrna, 10 mil dari Norwich sebelum ulang tahun ketiga Harry. Pada waktu yang sama, Ella Stack Sullivan secara misterius tidak ada di rumah, dan Sullivan dipelihara oleh nenek dari ibunya, yang aksen Gaelicnya tidak bisa dimengerti oleh anak tersebut. Setelah berpisah lebih dari setahun, ibunya Harry - yang kemungkinan berada di rumah sakit jiwa - pulang ke rumah. Akibatnya, Sullivan kemudian punya dua ibu yang merawatnya. Bahkan setelah neneknya meninggal, dia terus memiliki dua ibu karena bibinya yang belum menikah kemudian tinggal bersamanya untuk membantu tugas membesarkan anak.

Walau kedua orang tuanya berasal dari keturunan Irlandia yang miskin, ibunya menganggap keluarga Stack lebih superior secara sosial dibandingkan keluarga Sullivan. Sullivan menerima supremasi sosial keluarga stack di atas keluarga Sullivan hingga ia menjadi seorang psikiater yang mengembangkan teori interpersonal yang menekankan kesamaan diantara orang dibandingkan perbedaannya. Dia kemudian menemukan kejelekan klaim ibunya.

Sebagai anak prasekolah, Sullivan tidak punya teman atau kenalan seumurnya. Setelah memulai sekolah, ia tetap merasa seperti orang luar, menjadi seorang anak Katolik Irlandia di sebuah komunitas Protestan. Aksen Irlandianya dan otaknya yang encer membuat dia tidak populer diantara teman sekelasnya selama dia bersekolah di Smyrna.

(2)

Clarence memiliki pengaruh yang besar pada hidup Sullivan. Relasi tersebut membangkitkan di dalamnya kekuatan intimasi, yaitu, kemampuan untuk mencintai orang lain yang mirip dengan dirinya. Dalam teori kepribadian Sullivan yang sudah rampung, dia menekankan kekuatan relasi intim yang sangat terapis dan memiliki kekuatan yang hampir magis pada umur-umur preadolescent. Kepercayaan ini bersama dengan hipotesis Sullivan lainnya, sepertinya tumbuh dari pengalamannya pada masa kecil.

Sullivan tertarik dengan buku dan sains, tapi tidak dengan peternakan. Walau dia adalah satu-satunya anak yang tumbuh di peternakan yang membutuhkan banyak kerja keras, Harry bisa menghindari banyak tugasnya dengan berpura-pura "lupa" untuk melakukannya. Taktik ini sangat sukses karena ibu yang memanjakannya kemudian menyelesaikan tugas-tugasnya sembari mengatakan bahwa Sullivan yang melakukannya.

Seorang murid yang pandai, Sullivan lulus dari SMA sebagai pembicara pada saat kelulusannya di umur 16 tahun. Dia kemudian masuk di Cornell University untuk menjadi seorang ahli fisika, walau dia juga tertarik dengan psikiatri. Performa akademisnya di Cornell adalah sebuah bencana, dan dia menerima suspensi setelah satu tahun. Suspensinya mungkin tidak hanya karena kekurangan akademisnya. Dia mendapat masalah dengan hukum di Cornell, mungkin karena penipuan surat. Dia kemungkinan menjadi kambing hitam dari murid yang lebih tua, lebih dewasa darinya yang menggunakan dia untuk mengambil beberapa bahan kimia yang dipesan melalui surat secara ilegal. Selama dua tahun kedepan, Sullivan menghilang dari peredaran. Perry (1982) melaporkan bahwa dia mungkin menderita breakdown schizophrenic pada masa ini dan harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Alexander (1990) memperkirakan bahwa Sullivan menghabiskan masa ini dibawah panduan seorang pria yang lebih dewasa darinya yang membangunay mengatasi kepanikan seksualnya dan yang membangkitkan ketertarikannya pada psikiatri. Apapun jawaban dari misteri kehilangan Sullivan dari 1909 hingga 1911, pengalamannya sepertinya membuat ia lebih dewasa secara akademis dan mungkin secara seksual.

Pada tahun 1911, Sullivan masuk di Chicago College of Medicine and Surgery, dimana nilainya, walau hanya biasa-biasa saja, adalah kemajuan yang besar dari yang dia dapat di Cornell. Dia menyelesaikan studi medisnya pada tahun 1915 tapi tidak mendapat gelarnya hingga 1917. Sullivan mengatakan bahwa penundaan ini adalah karena dia belum membayar uang kuliahnya, tapi Perry (1982) menemukan bukti bahwa dia belum menyelesaikan syarat akademisnya pada tahun 1915 dan juga membutuhkan sebuah internship. Bagaimanakah Sullivan bisa mendapat gelar kedokteran kalau dia kekurangan semua prasyaratnya? Tidak ada seorangpun biografer Sullivan yang memiliki jawaban yang memuaskan untuk

(3)

Setelah perang, Sullivan terus melayani sebagai perwira militer, pertama untuk Federal Board for Vocational Education dan kemudian untuk Public Health Service. Namun periode hidupnya pada masa itu masih membingungkan dan tidak stabil, dan dia tidak begitu

menjanjikan kehidupan dengan karier gemilang yang akan kemudian dijalaninya (Perry, 1982)

Tahun 1921, tanpa pelatihan formal di psikiatri, dia bergabung dengan St. Elizabeth di Washington, DC, dimana dia kenal dekat dengan William Alanson White, neuropsikiater paling terkenal di Amerika. di St. Elizabeth, Sullivan mendapat kesempatan pertamanya untuk bekerja dengan pasien schizophrenic dalam jumlah besar. Ketika tinggal di Washigton, dia mulai berhubungan dengan sekolah medis di University of Maryland dan dengan Shepard and Enoch Pratt Hospital di Towson, maryland. Pada periode Baltimore di hidupnya, dia mempelajari Schizophrenia secara intensif, yang memberikan dugaan-dugaan awal tentang pentingnya relasi interpersonal. Dalam mencoba mengambil makna dari perkataan pasien schizophrenic, Sullivan menyimpulkan bahwa penyakit mereka adlaah cara untuk

menyesuaikan diri dengan anxiety yang disebabkan lingkungan sosial dan interpersonal. Pengalamannya sebagai dokter klinis secara perlahan berubah menjadi awal mulanya teori psikiatri interpersonal.

Sullivan menghabiskan banyak waktu dan tenaga di Sheppard memilih dan melatih perawat rumah sakit. Walau dia hanya sedikit melakukan terapi, dia mengembangkan sebuah seistem diamana perawat pria non profesional yang simpatis merawat pasien schizophrenic dengan kepedulian dan rasa hormat yang manusiawi. Program inovaitif ini memberikan dia reputasi sebagai penyihir klinis. Tapi, dia menjadi tidak suka dengan iklim politis di Sheppard ketika dia tidak diangkat menjadi kepala pusat resepsi yang dia advokasikan. Pada bulan Maret 1930, dia mengundurkan diri dari sheppard.

Pada tahun itu juga, dia pindah ke New York City dan membuka praktik swasta, berharap untuk memperluas pengertiannya akan relasi interpersonal dengan menyelidiki kelainan non schizophrenic, terutama yang bersifat obsesif. (Perry, 1982). Waktu itu adalah masa sulit, dan klien kaya yang diharapkannya tidak datang dalam jumlah yang

diperlukannya untuk menutup pengeluarannya.

(4)

Pada saat ia tinggal di New York, Sullivan juga dipengaruhi beberapa ilmuwan sosial dari University of Chicago, yang merupakan pusat dari studi sosiologikal Amerika pada tahun 1920 dan 1930an. Disana ada psikolog sosial George Herbert Mead, sosiolog Robert Ezra Park, W.I. Thomas, antropolog Edward Sapir, dan ilmuwan politik Harold Lasswell. Sullivan, Sapir dan Lasswell terutama bertanggung jawab untuk mendirikan William Alanson White Psychiatric Foundation di Washington, DC, untuk menggabungkan psikiatri dan ilmu sosial lainnya. Sullivan kemudian menjabat sebagai presiden yayasan ini dan juga sebagai editor jurnal yayasan tersebut, Psychiatry. Dibawah panduan Sullivan, yayasan tersebut memulai institusi pelatihan yang dikenal sebagai Washington School of Psychiatry. Karena aktivitas ini, Sullivan menutup aktivitas praktik swastanya, yang lagipula tidak menguntungkan, dan pindah kembali ke Washington, DC, diana dia secara dekat berasosiasi dengan sekolah dan jurnal tersebut.

Pada bulan Januari 1949, Sullivan menghadiri pertemuan World Federation for Mental Health di Amsterdam. Dalam perjalanan kembali, pada Januari 14, 1949, dia wafat karena radang otak di kamar hotelnya di Paris, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ke 57. Sesuai dengan karakternya, dia sedang sendiri pada saat itu.

Di sisi personalnya, Sullivan tidak nyaman dengan seksualitasnya dan memiliki

perasaan ambivalen tentang perkawinan (Perry, 1982). Sebagai seorang dewasa, ia membawa ke rumahna seorang pria berumur 15 tahun yang mungkin adalah seorang bekas pasiennya (Alexander, 1990). Pria muda ini -James Inscoe- tinggal bersama Sullivan selama 22 tahun, mengurus keuangannya, mengetik manuskrip dan mengurus rumah tangganya. Walau

Sullivan tidak pernah mengadopsi jimmie secara resmi, dia menganggapnya sebagai seorang anak dan bahkan merubah namanya menjadi James I. Sullivan.

Sullivan juga memiliki sifat ambivalen tentang agamanya. Terlahir kepada orang tua Katolik yang menghadiri gereja secara tidak rutin, dia meninggalkan katolikisme pada awal hidupnya. Dalam kehidupan berikutnya, kawan dan kenalannya menganggap dia tidak religius bahkan anti katolik, tapi secara mengejutkan, Sullivan menulis di surat wasiatnya bahwa ia ingin menerima penguburan secara katolik. Secara kebetulan, permintaan ini dikabulkan walaupun tubuh Sullivan sudah dikremasi di Paris. Abunya kemudian

dikembalikan di Amerika Serikat, dimana abunya diletakkan di dalam peti dan menerima penguburan secara Katolik, lengkap dengan misa requiem.

Kontribusi utama Sullivan ke teori kepribadian adalah konsepsinya tentang tingkat perkembangan. Sebelum berbalik ke ide Sullivan tentang tahap-tahap perkembangan, kita akan menjelaskan beberapa terminologi uniknya.

Harry Stack Sullivan adalah pencipta segi pandangan baru yang terkenal dengan nama interpersonal theory of psychiatry. Ajaran pokok dari teori ini dalam hubungannya dengan teori kepribadian ialah bahwa kepribadian adalah “pola relatif menetap dari situasi-situasi antarpribadi yang berulang menjadi ciri kehidupan manusia. Kepribadian merupakan suatu entitas hipotesis yang tidak dapat dipisahkan dari situasi-situasi antarpribadi, dan tingkah laku antarpribadi merupakan satu-satunya segi yang dapat diamati sebagai

(5)

tentang individu sebagai objek penelitian karena individu sama sekali tidak terpisah dari hubungannya dengan orang lain. Sejak hari pertama kehidupan, bayi merupakan bagian dari situasi antarpribadi, dan dalam kehidupan selanjutnya, ia tetap menjadi anggota masyarakat. Bahkan seorang pertapa yang mengundurkan diri dari masyarakat ke dalam hutan belantara pun tetap memiliki ingatan-ingatan tentang hubungan-hubungan pribadi dimasa lampau yang tetap mempengaruhi pikiran dan perbuatannya.

Meskipun Sullivan tidak menyangkal pentingnya hereditas dan pematangan dalam membentuk dan membangun organisme, namun ia berpendapat bahwa apa yang khas manusiawi merupakan produk dari interaksi-interaksi sosial. Lagi pula,

pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dapat dan benar-benar merubah fungsinya yang semata-mata bersifat fisiologis sehingga organisme pun kehilangan statusnya sebagai kesatuan biologis dan menjadi organisme sosial dengan cara-caranya sendiri yang sudah disosialisasikan dalam hal pernapasan, pencernaan, eliminasi, sirkulasi, dan sebagainya.

Bagi Sullivan, ilmu psikiatri tak terpecahkan dengan psikologi sosial, dan teorinya tentang kepribadian menunjukkan perhatiannya yang besar pada konsep-konsep dan variabel-variael psikologi sosial. Sullivan menulis :

“ Ilmu umum tentang psikiatri tampak bagi saya mencakup bidang yang sangat serupa dengan yang dipelajari oleh psikologi sosial, karena psikiatri ilmiah harus didefinisikan sebagai studi tentang hubungan-hubungan antarpribadi, dan hal ini akhirnya menuntut pemakaian semacam kerangka konseptual yang sekarang kita sebut teori medan. Dari titik tolak tersebut, kepribadian dipakai sebagai hipotesis. Hal yang dapat dipelajari adalah pola dari proses-proses yang memberi ciri-ciri pada interaksi kepribadian-kepribadian dalam situasi-situasi tertentu yang berulang atau medan-medan yang “mencakup” si pengamat.”

B. BERBAGAI TENGGANGAN

Tegangan. Sullivan mulai dengan konsepsi umum tentang organisme, yakni suatu sistem tegangan yang secara teoritis dapat bervariasi antara batas pengendoran mutlak (absolute relaxation) atau euphoria (perasaan sangat bahagia dan gembira) sebagaimana Sullivan lebih suka menyebutnya, dan tegangan mutlak seperti halnya yang terjadi dalam perasaan takut yang luar biasa. Ada dua sumber tegangan, yaitu:

1. Tegangan-tegangan yang disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan organisme; 2. Tegangan-tegangan sebagai akibat dari kecemasan.

(6)

dianggap sebagai kebutuhan untuk mentransformasikan energi khusus yang akan menghilangkan tegangan, seringkali disertai dengan perubahan keadaan ‘jiwa’, yakni perubahan kesadaran, yang dapat kita sebut dengan menggunakan istilah umum, yakni kepuasan”. Akibat khas karena kegagalan yang berkepanjangan dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan adalah suatu perasaan apati yang menimbulkan peredaan tegangan-tegangan secara umum.

Kecemasan adalah penghayatan tegangan akibat adanya ancaman-ancaman nyata atau luarnya dibayangkan terhadap keamanan seseorang. Kecemasan yang hebat mereduksikan efisiensi individu-individu dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhannya, mengganggu hubungan-hubungan antarpribadi, mengacaukan pikiran. Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman dan efektivitas dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang. Kecemasan berat sama seperti hantaman pada kepala; tidak

menyampaikan informasi apa-apa pada orang yang bersangkutan, sebaliknya menimbulkan kekacauan luarbiasa dan bahkan amnesia. Bentuk-bentuk kecemasan yang lebih ringan dapat bersifat informatif. Pada kenyataannya, Sullivan yakin bahwa kecemasan merupakan

kekuatan edukatif pertama yang luarbiasa dalam kehidupan. Kecemasan ditransmisikan kepada bayi oleh “ibunya” dimana sang ibu sendiri menyatakan kecemasan itu lewat

pandangan, nada suara, dan tingkah lakunya secara keseluruhan. Sullivan mengakui bahwa ia tidak mengetahui bagaimana terjadinya transmisi ini, mungkin oleh semacam proses empati yang tak diketahui sifatnya. Sebagai akibat dari kecemasan yang ditransmisikan oleh ibu ini, benda-benda lain yang ada disekitarnya juga menjadi mencemaskan beroperasinya cara parataksik yang menghubungkan pengalaman-pengalaman yang berdekatan. Puting susu ibu, misalnya, berubah menjadi puting susu yang buruk yang menyebabkan bayi melakukan reaksi-reaksi menghindar. Bayi belajar menghindari aktivitas-aktivitas atau benda-benda yang menambah kecemasan. Apabila bayi tidak dapat melepaskan diri dari kecemasan, maka ia selalu ingin tidur. Dinamisme melepaskan diri dengan cara mengantuk ini, seperti dikatakan sullivan, merupakan pasangan apati, yakni dinamisme yang disebabkan karena kebutuhan-kebutuhan tidak dipuaskan. Sesungguhnya, kedua dinamisme ini tidak dapat dibedakan dengan jelas. Sullivan mengatakan bahwa salah satu tugas utama psikologi adalah menemukan kerawanan-kerawanan dasar bagi kecemasan dalam hubungan-hubungan antarpribadi dan bukan berusaha menangani simtom-simtom yang disebabkan oleh kecemasan

Adapula penjelasan 2 sumber tegangan menurut buku Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press (UPT. Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang, 2006) :

1. Kebutuhan (needs). Kebutuhan yang pertama muncul adalah tegangan yang timbul akibat ketidak seimbangan biologis dalam diri individu. Kebutuhan ini dipuaskan dengan mengembalikan keseimbangan. Kepuasannya bersifat episodik, sesudah memperoleh

(7)

kebutuhan oksigen, makan, dan air. Kebalikannya adalah kebutuhan khusus yang muncul dari bagian tubuh tertentu (oleh Freud disebut “erogenic zone”). Kebutuhan biologis juga dapat dipuaskan melalui transformasi energi yakni; kegiatan fisik-tingkahlaku, atau kegiatan mental mengamati, mengingat dan berpikir. Memuaskan kebutuhan dapat menghilangkan tension, sedangkan kegagalan memuaskan need yang berkepanjangan bisa menimbulkan

keadaan apathy (kelesuan), yaitu bentuk penundaan kebutuhan untuk meredakan ketegangan secara umum.

2. Kecemasan (anxiety). Menurut Sullivan, kecemasan merupakan pengaruh pendidikan terbesar sepanjang hayat, disalurkan mula-mula oleh pelaku keibuan kepada bayinya. Jika ibu mengalami kecemasan, akan dinyatakan pada wajah, irama kata, dan tingkahlakunya. Proses ini oleh Sullivan dinamakan empati. Biasanya bayi menangani kecemasannya dengan operasi keamanan, bisa pertahanan tidur atau somnolent detachment (bayi menolak berhubungan dengan pemicu kecemasan dengan cara tidur), menyesuaikan tingkahlakunya dengan kemauan dan tuntutan orang tua, dan atau dengan memilih mana yang harus tidak

diperhatikan (selective inattention)─menolak menyadari stimulus yang mengganggu. Tension karena kecemasan ini unik, berbeda dengan tension lain dalam hal kecenderungannya untuk bertahan tetap dalam kecemasan dengan segala kerusakan yang diakibatkannya. Kalau tegangan lain menghasilkan tingkahlaku untuk mengatasinya, kecemasan justru

menghasilkan tingkahlaku yang menghambat agar orang tidak belajar dari kesalahannya, terus-menerus menginginkan rasa aman yang kekanak-kanakan, dan membuat orang tidak belajar dari pengalamannya sendiri[7].

Transformasi Energi. Energi ditransformasikan dengan melakukan pekerjaan. Pekerja bisa berupa kegiatan-kegiatan yang melibatkan otot-otot badan atau berupa kegiatan-kegiatan mental, seperti persepsi, ingatan, berpikir. Kegiatan-kegiatan yang terbuka ataupun yang sembunyi ini bertujuan untuk mengurangi tegangan. Kegiatan-kegiatan ini pada umumnya ditentukan oleh masyarakat dimana orang dibesarkan. “apa yang dapat ditemukan oleh setiap ornag dari meneliti masa lampaunya adalah bahwa pola-pola tegangan dan transformasi-transformasi energi yang membentuk kehidupannya merupakan bahan-bahan pendidikan yang sungguh-sungguh mengagumkan untuk mempersiapkan hidup dalam suatu masyarakat tertentu.

Sullivan tidak yakin bahwa insting-insting merupakan sumber-sumber penting dari motivasi manusia, juga ia tidak menerima teori libido freud. Seorang individu belajar bertingkah laku dengan cara tertentu sebagai akibat dari interaksi dengan orang-orang, dan bukan karena ia memiliki imperatif-imperatif bawaan untuk melakukan jenis-jenis tingkah laku tertentu

C. Dinamisme

(8)

terbuka dan umum, seperti berbicara, atau juga tersembunyi, seperti dalam fikiran atau khayalan.[2]

Menurut Sullivan, pola adalah sampul yang menutupi perbedaan-perbedaan kecil yang tidak berarti. Ini berarti suatu ciri baru dapat ditambahkan pada suatu pola tanpa mengubah pola itu sejauh ciri itu dapat ditutupi, tidak nyata-nyata berbeda dengan ciri lainnya.

Dinamisme adalah pola yang spesifik dan berulang dari tingkah laku yang menjadi ciri khas seorang. Dinamisme yang melayani kebutuhan kepuasan organisme melibatkan bagian tubuh, yakni alat reseptor, efektor dan sistem syaraf. Misalnya, dinamisme makan melibatkan mulut dan otot leher, dinamisme seks melibatkan organisme genital.

Dinamisme yang menjadi pembeda antar manusia tidak berhubungan dengan bagian tubuh, tetapi menjadi ciri khas hubungan antarpribadi. Suatu kebiasaan bagaimana mereaksi orang lain, baik dalam bentuk perasaan, sikap, maupun tingkah laku terbuka. Dinamisme dengki (memusuhi orang atau kelompok orang tertentu); dinamisme nafsu (kecenderungan mencai hubungan birahi); dinamisme ketakutan (anak yang bersembunyi dibelakang ibunya setiap menghadapi ornag asing); dan dinamisme sistem self (diri).[3]

Sullivan yakin bahwa sistem diri merupakan produk dari aspek-aspek irasional

masyarakat. Maksudnya, anak kecil dibuat supaya merasa cemas dengan alasan-alasan yang tidak akan ditemukan dalam suatu masyarakat yang lebih rasional; ia terpaksa menggunakan cara-cara yang tak wajar dan tak realistik untuk mengatasi kecemasannya. Meskipun Sullivan mengakui bahwa perkembangan sistem diri mutlak penting untuk menghindari kecemasan dalam masyarakat modern, dan mungkin dalam setiap bentuk masyarakat yang dapat

diciptakan oleh manusia, namun ia juga mengakui bahwa sistem diri sebagaimana kita kenal dewasa ini merupakan “ganjalan penghalang utama bagi perubahan-perubahan yang

bermanfaat dalam kepribadian”. Mungkin dengan bergurau ia menulis, “Diri adalah isi dari kesadaran pada setiap saat ketika orang benar-benar puas dengan perasaan harga dirinya, prestise yang diperolehnya diantara sesamanya, serta penghargaan dan hormat yang diberikan mereka kepadanya”.

D. Personifikasi

Personifikasi adalah suatu gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri atau orang lain. Personifikasi adalah perasaan, sikap, dan konsepsi kompleks yang timbul karena mengalami kepuasan kebutuhan atau kecemasan. Misalnya bayi mengembangkan

personifikasi tentang ibu yang baik, karena ia menyusui dan memeliharanya. Setiap

(9)

Gambaran-gambaran yang ada dalam pikiran kita ini jarang merupakan gambaran-gambaran yang tepat tentang orang-orang yang bersangkutan. Gambaran-gambaran-gambaran itu dibentuk pertama-tama untuk menghadapi orang-orang dalam situasi-situasi antarpribadi yang agak terisolasi, tetapi sekali terbentuk maka gambaran-gambaran itu biasanya tetap ada dan mempengatuhi sikap kita terhadap orang-orang lain. Jadi, seseorang yang

mempersonifikasikan ayahnya sebagai pemberang dan diktaktor, mungkin memproyeksikan personifikasi yang sama ini kepada pria-pria lain yang lebih tua, misalnya, guru, polisi, dan majikan. Maka dari itu sesuatu yang berfungsi mereduksikan kecemasan pada awal

kehidupan mungkin mempengaruhi hubungan-hubungan antarpribadi seseorang dalam kehidupannya kemudian. Gambaran-gambaran yang penuh dengan kecemasan ini mengubah konsepsi-konsepsi seseorang tentang orang-orang yang penting sekarang ini. Personifikasi-personifikasi tentang diri, seperti saya seorang yang baik (the good-me) dan saya seorang yang buruk (the bad-me) mengikuti prinsip yang sama seperti personifikasi tentang orang-orang lain. Personifikasi ‘saya seorang-orang yang baik’ disebabkan oleh pengalaman-pengalaman antarpribadi yang menyenangkan, sedang personifikasi ‘saya seorang yang buruk’ disebabkan oleh situasi-situasi yang membangkitkan kecemasan. Dan seperti personifikasi tentang orang-orang lain, personifikasi-personifikasi diri ini cenderung menghalangi evaluasi diri yang objektif.

Personifikasi-personifikasi yang dimiliki oleh sejumlah orang disebut stereotipe. Inilah konsepsi-konsepsi yang diakui bersama, yakni ide-ide yang diterima secara luas diantara anggota-anggota masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Contoh dari stereotipe-stereotipe yang umum dalam kebudayaan kita adalah profesor yang linglung, seniman yang eksentrik, pemimping perusahaan yang keras kepala.

E. TINGKATAN KOGNISI

Sumbangan yang unik dari Sullivan tentang kognisi atau pengetahuan dalam hubungannya dengan kepribadian ialah klasifikasinya tentang pengalaman kedalam tiga golongan. Pengalaman, katanya, terjadi dalam tiga cara, yakni cara-caraprototaksis, parataksis, dan sintaksis.[4]

- Prototaksis (Prototaxis) adalah rangkaian pengalaman yang terpisah-pisah yang dialami pada masa bayi, dimana arus kesadaran (pengindraan, bayangan dan perasaan) mengalir kedalam jiwa tanpa pengertian “sebelum” dan “sesudah”. Semua pengetahuan bayi adalah pengetahuan saat itu, disini dan sekarang. Semua pengalaman berdiri sendiri-sendiri, sepotong-sepotong, tidak diintergrasikan kedalam urutan yang logis. Elemen pengalaman protaksis – sensasi sederhana – mungkin terus dan tetap menjadi bagian dari kehidupan mental orang dewasa, namun orang selalu menghubungkan elemen-elemen itu menjadi kesatuan pengalaman. Pada usia dewasa, dominasi pengalaman prototaksis hampir tidak ditemui.

- Parataksis (Parataxis). Kira-kira pada awal tahun kedua, bayi mulai mengenali

(10)

pengalaman asosiasi. Pada tahap ini, bayi mengembangkan cara berfikir melihat hubungan sebab akibat, asosiasional peristiwa yang terjadi pada saat yang bersamaan atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai detail yang sama, tetapi hubungan itu tidak harus logis. Misalnya, bayi yang diberi makan saus apel memakai sendok yang terlalu panas (karena disiram air panas) sehingga lidahnya menjadi sakit. Bayi itu menolak makan bukan karena rasa saus apel tetapi karena sendoknya panas. Parataksis ini dialami dan difikirkan, sehingga sering

dilakukan orang dewasa. Misalnya, orang yang masuk ke ruangan yang ada banyak orang didalamnya yang sedang berbicara. Orang-orang itu tiba-tiba berhenti berbicara sesudah melihatnya, ini menimbulkan perasaaan bahwa mereka membicarakan dirinya.

- Sintaksis (Syntaxis). Berfikir logik dan realistik, menggunakan lambang-lambang yang diterima bersama, khususnya bahasa - kata - bilangan. Ketika anak mulai belajar berbicara, mempelajari “kata” yang secara umum diterima sebagai wakil dari suatu peristiwa, saat itulah anak mulai berfikir sintaksis. Sintaksis menghasilkan hubungan logis antar pengalaman dan memungkinkan orang berkomunikasi satu dengan lainnya, melalui proses validasi konsensus (consensus validation); mencapai konsensus atau persetujuan dengan orang lain mengenai sesuatu dan kemudian meyakinkan kebenarannya melalui pengulangan pengalaman.

Tiga mode pengalaman kognitif itu terjadi sepanjang hayat. Normalnya, sintaksis mulai mendominasi sejak usia 4-10 tahun. Sullivan menekankan pentingnya tinjauan ke masa depan dalam fungsi kognitif. Manusia hidup di masa lampau, masa sekarang, dan masa depan yang semuanya jelas relevan dalam menerangkan fikiran dan perbuatannya. Tinjauan ke masa depan yang semuanya jelas relevan dalam menerangkan fikiran dan perbuatannya. Tinjauan ke masa depan tergantung kepada ingatan orang kepada masa lampau dan interpretasinya terhadap masa sekarang.

F. Tahap tahap perkembangan

Sullivan membagi usia manusia menjadi tujuh tahap perkembangan, masing-masing mempunyai sumbangan penting dalam bentuk kepribadian. Di setiap tahap perkembangan orang menghadapi masalah hubungan interpersonal yang berbeda-beda, sehingga bentuk bahaya yang berasal dari hubungan interpersonal itu juga berbeda-beda.

Perubahan kepribadian dapat terjadi kapan saja, tetapi yang paling sering terjadi pada masa transisi dari tahap satu ke tahap berikutnya. Garis batas antar tahap itu ditunjuk karena secara umum pada saat itu terjadi perubahan kepribadian yang signifikan, sehingga dalam kenyataan lebih penting daripada tahap itu sendiri. Pengalaman disosiasi dan inatensi selektif yang terjadi sepanjang periode tertentu, pada periode transisi mungkin masuk ke dalam sistem self, dan siap mempengaruhi perkembangan pada periode berikutnya. Paparan rinci dari setiap tahap perkembangan, akan diringkas dalam tabel berikut.

Periode Orang Penting

Proses

Interpersonal

Pencapaian Utama Perkembangan Negatif

Invancy 0 – 1;5

Pemeran keibuan

Kelembutan kasih sayang

Awal mengorganisasi pengalaman, belajar

(11)

Lahir-berbicara memuaskan beberapa kebutuhan diri. melalui apathy dan somnolent detachment. Childhood

1;5 – 4;0 Berbicara-hubungan sebaya

Orang tua Melindungi rasa aman melalui imaji teman sebaya

Belajar melalui identifikasi dengan orang tua; belajar sublimasi mengganti suatu kepuasan dengan kepuasan yang lain. Performansi as if; rasionalisasi prokupasi transformasi jahat. Juvenil 4;0 – 8/10 Hubungan sebaya-Chum Teman bermain seusia Orientasi menuju kehidupan sebaya

Belajar bekerja sama dan bersaing dengan orang lain, belajar berurusan dengan figur otoritas. Stereotip Ostrasisme Disparajemen Pra-Adolesen 8/10 – 12 Chum-Pubertas awal

Chum tunggal

Intimasi Belajar mencintai orang lain seperti atau melebihi mencintai diri sendiri.

Loneliness

Adolesen awal 12 – 16 Pubertas-Seks mantap Chum jamak Intimasi dan nafsu seks ke orang yang berbeda Integrasi kebutuhan intimasi dengan kepuasan seksual. Pola tingkah laku seksual yang tidak terpuaskan. Adolesen akhir 16 – 20 Seks mantap Tanggung jawab sosial Kekasih Menggabung intimasi dengan nafsu

Integrasi ke dalam masyarakat dewasa, self-respect

Personifikasi yang tidak tepat Keterbatasan hidup Maturity 20> Konsolidasi pencapaian setiap tahap sebelumnya

(12)

1. Bayi (Infancy); Lahir – Bisa Berbicara (0 – 18 bulan)

Perkembangan pada masa bayi sangat kompleks. Berikut enam ciri penting perkembangan menurut Sullivan :

 Timbulnya dinamisme apati, pertahanan tidur, disosiasi dan inatensi.  Peralihan dan prototaxis ke parataxis.

 Organisasi personifikasi-personifikasi, baik personifikasi ibu maupun personifikasi diri.  Organisasi pengalaman melalui belajar dan munculnya dasar-dasar sistem-diri.

 Diferensiasi tubuh bayi sendiri, mengenal dan memanipulasi tubuh.  Belajar bahasa, dimulai dengan bahasa autisme.

 Belajar melakukan gerakan yang terkoordinasi, melibatkan mata, tangan, mulut, telinga serta organ tubuh lainnya

2. Anak (Childhood); Bisa Mengucap Kata – Butuh Kawan Bermain (1;5 – 4 tahun) Tahap anak dimulai dengan perkembangan bicara dan belajar berpikir sintaksis, serta perluasan kebutuhan untuk bergaul dengan kelompok sebaya.

Anak mulai belajar menyembunyikan aspek tingkah laku yang diyakininya dapat menimbulkan kecemasan atau hukuman. Misalnya, mereke belajar melakukan rasionalisasi (memberi alasan palsu) mengenai segala hal yang sudah mereka kerjakan atau sedang mereka rencanakan. Mereka memiliki tampilan seolah-olah (as if performance) yakni:

 Dramatisasi (dramatization): permainan peran seolah-olah dewasa, belajar mengidentifikasikan diri dengan orang tuanya, bagaimana bertingkah laku yang dapat diterima.

 Bergaya sibuk (preoccupation): anak belajar konsentrasi pada satu kegiatan yang membuat mereka bisa menghindari sesuatu yang menekan dirinya.

 Transformasi jahat (malevolent transformation): perasaan bahwa dirinya hidup ditengah-tengah musuh, sehingga hidupnya penuh rasa kecurigaan dan ketidakpercayaan bahkan sampai tingkah laku yang paranoid.

 Sublimasi tak sadar (unwitting sublimation): mengganti sesuatu atau aktivitas tak sadar yang dapat menimbulkan kecemasan dengan aktivitas yang dapat diterima secara sosial.

Masa anak ditandai dengan emosi yang mulai timbal balik, anak disamping menerima juga bisa memberi kasih sayang. Hubungannya dengan ibu menjadi lebih pribadi dan tidak lagi searah. Masa anak juga ditandai dengan akulturasi yang cepat. Disamping menguasai bahasa, anak belajar pola kultural dalam kebersihan, latihan toilet, kebiasaan makan dan harapan peran seksual.

3. Remaja Awal (Juvenile); Usia Sekolah – Berkeinginan Bergaul Intim (4 – 10 tahun) Perkembangan penting dalam tahap ini adalah loncatan sosial kedepan, anak belajar kompetisi, kompromi, kerja sama dan memahami makna perasaan kelompok. Mereka mendapat pengalaman dengan otoritas di luar rumah. Tahap ini juga ditandai dengan munculnya konsepsi tentang orientasi hidup, suatu rumusan atau wawasan tentang:

 Kecenderungan atau kebutuhan untuk berintegrasi yang biasanya memberi ciri pada hubungan antar pribadinya.

(13)

 Tujuan-tujuan jangka panjang yang untuk mencapainya orang perlu menangguhkan kesempatan-kesempatan menikmati kepuasan jangka pendek.

Perkembangan negatif yang penting pada tahap ini adalah belajar stereotip, ostrasisme dan disparajemen (stereotype, ostracism dan disparagement):

 Prasangka atau stereotip adalah meniru atau memakai personifikasi mengenai orang atau kelompok orang yang yang diturunkan antar generasi.

 Pengasingan atau ostrasisme adalah pengalaman anak diisolasi secara paksa,

dikeluarkan/diasingkan dari kelompok sebaya karena perbedaan sifat individual dengan kelompok.

 Penghinaan atau disparajemen, berarti meremehkan atau menjatuhkan orang lain, yang akan berrpengaruh merusak hubungan interpersonal pada usia dewasa.

4. Preadolesen (preadolescence); Mulai Bergaul Akrab – Pubertas (8/10 – 12 tahun) Preadolesen ditandai oleh awal kemampuan bergaul akrab dengan orang lain bercirikan persamaan yang nyata dan saling memperhatikan. Mereka membutuhkan Chum (Chum): teman akrab dari jenis kelamin yang sama, teman yang dapat menjadi tempat mencurahkan isi hati, dan bersama-sama mencoba memahami dan memecahkan masalah hidup.

Tahap preadolesen ditandai oleh beberapa fenomena berikut:  Orang tua masih penting, tetapi mereka dinilai secara lebih realistik.

 Mengalami cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, dan belum dirumitkan oleh nafsu seks.  Terlibat dalam kerja sama untuk kebahagiaan bersama, tidak mementingkan diri sendiri.  Kolaborasi Chum, jika dipelajari dalam tahap ini, akan membuat perkembangan kepribadian

berikutnya akan terhambat.

 Hubungan chum dapat mengatasi/menghilangkan pengaruh buruk simptom salah suai yang diperoleh dari perkembangan tahap sebelumnya.

5. Adolesen Awal (Early Adolescence); Pubertas – Pola Aktivitas Seksual yang Mantap (12-16 tahun)

Pada tahap ini pola aktivitas seksual yang memuaskan seharusnya sudah dapat dimiliki. Banyak problem yang muncul pada periode ini merefleksikan konflik antar tiga kebutuhan dasar: Keamanan (bebas dari kecemasan), keintiman (pergaulan akrab dengan seks lain) dan kepuasan seksual.

(14)

 Banyak adolesen yang melakukan sublimasi terhadap dorongan genitalnya, untuk mencegah penggabungan dorongan seks dengan keintiman.

 Dorongan genital yang sangat kuat dapat dipuaskan melalui masturbasi atau hubungan sekd tanpa keintiman. Adolesen awal tidak mempunyai alasan yang mendesak untuk menggabung dorongan seks dengan intimasi.

 Masyarakat membagi objek seksual menjadi dua, “baik” dan “buruk”, sedang remaja selalu memandang “baik”.

 Alasan kultural, orang tua, guru dan otoritas lainnya melarang keintiman dengan seks yang sama karena takut menjadi homoseksualitas, tetapi mereka juga melarang intimasi dengan jenis kelamin yang berlainan karena takut dengan penyakit menular seksual, kehamilan dan kawin dini.

Sullivan berpendapat bahwa adolesen awal adalah titik balik dalam perkembangan kepribadian. Orang harus dapat mengatasi kebutuhan intimasi dan dorongan seksual tanpa terganggu rasa amannya. Kalau itu tidak dapat dilakukan, dia akan menghadapi kesulitan serius pada tahap perkembangan berikutnya. Walaupun penyesuaian seksual merupakan bagian yang penting dari perkembangan kepribadian, sullivan merasa bahwa masalah utamanya adalah bergaul bersama dengan orang lain.

6. Adolesen Akhir (Late Adolescense); Kemantapan Seks – Tanggung Jawab Sosial (16 – awal 20an)

Periode ini berakhir sampai pemuda mengenal kepuasan dan tanggung jawab dari kehidupan sosial dan warga negara dewasa. Selama periode ini, pengalaman semakin banyak terjadi pada tingkat berpikir sintaksis. Apakah orang bekerja atau melanjutkan kuliah, mereka harus memperluas pemahamannya mengenai sikap hidup orang lain, pemahamannya

mengenai tingkat saling ketergantungan dalam hidup, dan cara menangani berbagai jenis masalah interpersonal. Tahap ini ditandai dengan pemantapan hubungan cinta dengan satu pasangan. Namun menurut Sullivan perkembangan luar biasa tinggi dalam hubungan cinta dengan orang lain bukan tujuan utama kehidupan, tetapi sekedar sumber utama kepuasan hidup.

Pencapaian akhir periode ini adalah self-respect, yang menjadi syarat untuk

menghargai orang lain. Menurut Sullivan, umumnya orang menghina atau menjatuhkan orang lain, karena orang itu mempunyai kualitas yang mencemaskan atau memalukan diri sendiri. Jadi, kalau oramg dapat menghargai diri sendiri, dia akan menghargai orang lain.

7. Kemasakan (Maturity)

Setiap prestasi penting tahap yang terdahulu akan menjadi bagian penting dari

(15)

BAB II

TEORI POST FREUDIAN ERIKSON

A. Biografi Tokoh

Erik H. Erikson adalah salah satu tokoh psikoanalisa yang lahir di Frankurt, Jerman, 15 Juni 1902. Ayah kandung Erikson adalah seorang pria kebangsaan Denmark yang meninggalkan Erikson pada usia tiga tahun sehingga ibu Erikson yang bernama Karla Abrhamsen menikah lagi dengan Theodore Homberger yang menjadi ayah tiri Erikson dan nama Hamberger kini menjadi bagian dari nama Erikson. Setelah lulus SMA, Erikson menjadi seniman namun tidak mengambil kuliah seni dan memelih berkeliling Eropa untuk menikmati dan belajar seni.

Erikson menjadi guru pada sekolah yang dikelolah Dorothy Burlingham, teman Anna Freud yang direkomendasikan oleh Peter Blos pada usia 25 tahun. Tahun 1927 – 1933, Erikson belajar sebagai Child Analyst di Vienna Psycholoanalytic Institute bersama Anna Freud dan menikahi Joan Serson pada tahun 1930 serta memiliki tiga orang anak. Selama tahun tersebut, Erikson mendapat sertifikan dari Motessori Education dan Vienna Psychoanalityc Society. Tahun 1933 ketika Nazi berkuasa, Erikson Pindah ke Copenhagen, lalu pindah ke Denmark dan ke Boston, Amerika.

Erikson mengajar di Harvard Medical School dan membuka praktik psikoanalisis anak-anak. Di sinilah Erikson bertemu Henry Murray dan Kurt Lewin serta tokoh-tokoh besar lainnya. Selanjutnya, Erikson mengajar di University of California di Berkeley dan melakukan penelitian tentang kehidupan modern dalam suku Lakota dan Yurok. Tahun 1939, Erikson mengubah namanya dari Erik Homberger menjadi Erik H. Erikson. Pada tahun 1950, Erikson membuat Childhood and Society, analisis Maxim Gorky dan Adolph Hitler, diskusi “Kepribadian Amerika”, beberapa ringkasan teori Freudian, dan Gandhi’s Truth yang memenangkan Award dan National Book Award.

(16)

B. Struktur Kepribadian

Erikson (Alwisol, 2009:85-88) menyatakan bahwa struktur kepribadian manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Ego Kreatif

Ego kreatif adalah ego yang dapat menemukan pemecahan kreativitas atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Apabila menemukan hambatan atau konflik pada suatu fase, ego tidak menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego yg sempurna memiliki 3 dimensi, yaitu faktualisasi, universalitas dan aktualitas.

a. Faktualisasi adalah kumpulan sumber data dan fakta serta metode yang dapat dicocokkan atau diverifikasi dengan metode yang sedang digunakan pada suatu peristiwa. Dalam hal ini, ego berisikan kumpulan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang dikemas dalam bentuk data dan fakta.

b. Universalitas adalah dimensi yang mirip dengan prinsip realita yang dikemukakan oleh Freud. Dimensi ini berkaitan dengan sens of reality yang menggabungkan pandangan semesta/alam dengan sesuatu yang dianggap konkrit dan praktis.

c. Aktualitas adalah metode baru yang digunakan oleh individu untuk berhubungan dengan orang lain demi mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, ego merupakan realitas masa kini yang berusaha mengembangankan cara baru untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi, menjadi lebih efektif, progresif, dan prospektif.

Erikson (Alwisol, 2009:86) berpendapat bahwa sebagian ego yang ada pada individu bersifat tak sadar, mengorganisir pengalaman yang terjadi pada masa lalu dan pengalaman yang akan terjadi pada masa mendatang. Dalam hal ini, Erikson menemukan tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu body ego, ego ideal dan ego identity, yang umumnya akan mengalami perkembangan pesat pada masa dewasa meskipun ketiga aspek tersebut terjadi pada setiap fase kehidupan.

a. Body ego merupakan suatu pengalam individu terkait dengan tubuh atau fisiknya sendiri. Individu cenderung akan melihat fisiknya berbeda dengan fisik tubuh orang lain.

b. Ego ideal merupakan suatu gambaran terkait dengan konsep diri yang sempurna. Individu cenderung akan berimajinasi untuk memiliki konsep ego yang lebih ideal dibanding dengan orang lain.

c. Ego identity merupakan gambaran yang dimiliki individu terkait dengan diri yang melakukan peran sosial pada lingkungan tertentu.

2. Ego Otonomi Fungsional

Ego otonomi fungsional adalah ego yang berfokus pada penyesuaian ego terhadap realita. Contohnya yaitu hubungan ibu dan anak. Meskipun Erikson sependapat dengan Freud mengenai hubungan ibu dan anak mampu memengaruhi serta menjadi hal terpenting dari perkembangan kepribadian anak, tetapi Erikson tidak membatasi teori teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Erikson (Alwisol, 2009:86) menganggap bahwa proses pemberian makanan pada bayi merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan lingkungan sosialnya.

(17)

kontak dengan manusia dan dunia luar adalah hal yang sangat menyenangkan karena pada masa lalu (bayi) hubungan tersebut menimbulkan rasa aman dan menyenangkan terhadap dirinya

C. Tahap Perkembangan

Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap bergantung pada hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah pentingnya bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan yang berbeda untuk mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat (Berk, 2003). Berikut adalah delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson (Berk, 2003):

1. Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)

Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya.

2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)

Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Mereka melatih kehendak, tepatnya otonomi. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah resolusi yang diharapkan. Alwisol (2009:93) melanjutkan bahwa apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan akan mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya.

3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)

Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan-harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.

4. Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)

Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang diperoleh. Keterampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior.

5. Tahap V : Identity versus Identity Confusion (12-20 tahun)

(18)

tetapi di sisi lain dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Apabila anak tidak sukses pada fase ini, maka akan membuat anak mengalami krisis identitas, begitupun sebaliknya.

6. Tahap VI: Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda, 20-30 tahun)

Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis ini, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah cinta.

7. Tahap VII: Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah, 30-65 tahun)

Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian, sedangkan bila individu tidak sukses melewatinya maka akan merasa bahwa hidupnya tidak berarti.

8. Tahap VIII: Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir, 65 tahun ke atas)

Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama bertahun-tahun. Apabila individu sukses melewati faase ini maka akan timbul perasaan puas akan diri, sedangkan apabila mengalami kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa putus asa

Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :

1. Masa Bayi

Masa bayi adalah masa pembentukan, dimana bayi “menerima” bukan hanya melalui mulut, namun juga melalui organ indra yang lain. Sebagaimana mereka menerima makanan dan informasi sensori, bayi belajar untuk memercayai ataupu tidak memercayai dunia luar, keadaan yang memberikan harapan tidak nyata.

a. Gaya Sensori Oral

(19)

b. Trust Versus Mistrust (Rasa Percaya Dasar Vs Tidak Percaya Dasar)

Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan

kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan

menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya. Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.

Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.

Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat. Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan

(20)

sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.

Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain. c. Harapan (Kekuatan Dasar Bayi)

Harapan muncul dari konflik antara rasa percaya dan rasa tidak percaya. Jika bayi mengalami pengalaman yang tidak enak, bayi belajar untuk berharap bahwa gangguan mereka di masa depan akan diakhiri oleh hasil yang memuaskan.

Apabila bayi tidak mengembangkan harapan yang cukup pada masa ini, maka mereka akan menampilkan lawan dari harapan penarikan diri. Dengan hanya sedikit harapan, mereka akan menarik diri dari dunia luar dan memulai perjalanan menuju gangguan psikologis yang serius.

2. Masa Kanak-Kanak Awal

Tahapan psikososial kedua adalah kanak-kanak awal, periode yang pararel dengan tahap anal Freud berpendapat bahwa anus sebagai zona yang paling memberikan kepuasan seksual bila tersentuh (erogeneous) selama periode ini dan selama fase anak-sadsitis awal, anak-anak mendapat kesenangan dengan menghancurkan atau menghilangkan obyek dan nantinya mereka mendapat kesenangan dengan buang air besar.

Erickson berpandangan lebih luas. Baginya, anak-anak mendapat kesenangan bukan hanya karena menguasai otot sirkular yang dapat berkotraksi, tetapi juga menguasai fungsi tubuh lainnya, seperti buang air kecil, jalan, memegang, dan seterusnya.

a. Gaya Otot Uretral Anal

(21)

Kanak-kanak awal adalah masanya kontradiksi , masa pemberontakan yang bersikeras dan kepatuhan yang lembut, masa pengungkapan diri yang impulsif dan penyimpangan yang kompulsif.

b. Otonomi Versus Perasaan Malu Dan Ragu-Ragu

Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan

orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain. Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak

sendirian.

Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.

(22)

dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari

Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.

Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat

penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.

c. Keinginan (Kekuatan Dasar Kanak-Kanak Awal)

Kekuatan dasar akan keinginan dan kemauan berkemabang dari resolusi krisis otonomi vs rasa malu dan ragu. Kekuatan keinginan yang matang dan ukuran signifikan kehendak bebas tertahan hingga tahapan perkembangan selanjutnya, namun mereka berasal dari keinginan awal yang timbul pada masa kanak-kanak awal.

Anak-anak hanya akan berkembang jika lingkungan mereka membiarkan mereka memilki pengungkapan diri dalam kendali otot sphincter dan otot lain-lain. Ketika pengalaman mereka mengakibatkan rasa malu dan ragu yang terlalu besar, anak-anak tidak mampu

mengembangkan kekuatan dasar ini. 3. Usia Bermain

Tahap perkembangan ketiga erikson adalah usia bermain, periode yang meiliputi waktu yang sama dengan fase falik (phallic) sekitar usia 3-5 tahun. Sekali lagi perbedaan timbul antara pandangan freud dan erikson. Sementara menempatkan Oidipus Complex sebagai inti dari fase alat kelamin, erikson percaya bahwa Oedipus Complex hanya salah satu perkembangan penting selama usia bermain. Erikson (1982) menyatakan bahwa selain mengidentifikasi diri dengan orang tua mereka, anak-anak usia prasekolah mengembangkan daya gerak,

keterampilan berbicara, keingintahuaan, imajinasi, dan kemampuan untuk menentukan tujuan a. Gaya Lokomotor Genital

Erikson melihat situasi Oedipal sebagai prototipe “kekuatan seumur hidup akan keriangan manusia”. Dengan kata lain, Oedipus conplex adalah drama yang dimainkan dalam imajinasi anak-anak mencakup pengertian yang dimulai meningkat akan konsep dasar, seperti

reprodusi, pertumbuhan, masa depan, dan kematian.

Ketertarikan anak-anak usia bermain akan aktivitas genital diiringi dengan meningkatnya sarana daya gerak mereka. Mereka sekarang dengan mudahnya bergerak, berlari, melompat dan permainan mereka menunjukkan inisiatif serta imajinatif.

(23)

Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan

mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan. Ketidak pedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan

mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan. Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan

pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. c. Tujuan (Kekuatan Dasar Usia Bermain)

Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan, bersaing dalam permainan dengan tujuan menang atau mencapai puncak. Mereka menentukan sasaran dan mengejar sasaran itu dengan tujuan. Usia bermain juga merupakan tahpan dimana anak-anak mengembangkan hati nurani dan mulai meletakkan benar dan salah pada tingkah laku mereka. Hati nurani di masa muda ini menjadi landasan akan moralitas.

(24)

Konsep usia sekolah erikson meliputi perkembangan dari usia 6 tahun hingga sekitar usia 12-13 tahun dan cocok dengan tahun-tahun masa laten dalam teori freud. Pada usia ini, dunia sosial anak-anak meluas diluar keluarga, mencakup kelompok teman, guru, dan panutan dewasa lainnya. Untuk anak usia sekolah, keinginan mereka untuk mengetahui sesuatu menjadi lebih kuat dan terkait dengan usaha dasar dan kompetensi. Pada perkembangan normal, anak-anak berusaha dengan rajin untuk membaca dan menulis, berburu dan

memancing, atau untuk mempelajari keterampilan yang di butuhkan oleh kultur mereka. Usia sekolah tidak harus berarti sekolah formal. Dalam budaya pandai baca tulis kontenpoler, sekolah dan guru profesional memainkan peranan utama dalam pendidikan anak, sedangkan pada masyrakat yang belum bisa baca tulis, orang dewasa menggunakan metode efektif yang kurang formal, namun efektif untuk mengajarkan anak-anak mereka mengenai masyarakat. a. Latensi

Latensi seksual penting karena memungkinkan anak-anak mengalihkan energi mereka untuk mempelajari teknologi kultur mereka dan startegi akan interksi sosial mereka.

b. Kerajinan Versus Inferioritas

Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan

mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.

(25)

adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.

Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan

mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk

memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.

c. Kompetensi (Kekuatan Dasar Usia Sekolah)

Kekuatan dasar kompetensi adalah rasa percaya diri untuk menggunakan kemampuan fisik dan kognitif dalam menyelesaikan masalah yang mengiringi usia sekolah. Kompetensi diberikan landasan untuk partisipasi kooperatif dalam kehidupan dewasa yang produktif. 5. Remaja

Periode Remaja dari pubertas hingga masa dewasa muda, merupakan salah satu tahapan perkembangan yang paling krusial karena akhir periode ini, seseorang harus sudah

mendapatkan rasa ego identitas yang tetap. Walaupun ego identitas dimuali maupun di akhiri selama remaja, krisis antara identitas dan kebingungan identitas mencapai puncaknya selama tahap ini. Dari krisis antara identitas versus kebingungan identitas timbul kesetiaan, kekuatan dasar masa remaja.

a. Pubertas

Pubertas (puberty) adalah tahap kemasakan seksual. Menurut Erikson penting karena pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa yang akan datang.

b. Identitas Versus Kekacauan Identitas

Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti

mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya.

(26)

mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur

sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.

Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap

masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya. Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan

ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.

c. Kesetiaan (Kekuatan Dasar Remaja)

Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada tahap adolensen adalah kesetiaan (fidelity). Sisi patologis dari kesetiaan adalah penolakan (repudiation), menjadi bentuk yang malu-malu (diffedence) atau penyimpangan (deviance). Difiden adalah keadaan ekstrim tidak percaya diri, sementara devian adalah memberontak kepada otoritas secara terbuka.

6. Dewasa Muda

(27)

a. Genitalitas

Banyak dari aktivitas seksual selama masa remaja adalah ungkapan pencariaan akan identitas dan pada dasarnya harus disediakan oleh diri sendiri. Genetalitas sejati dapat berkembang hanya selama dewasa muda ketika ia dibedakan dengan rasa percaya yang sama dan berbagi secara stabil kepuasaan seksual dengan seseorang yang dicintai. Ia merupakan pencapaian utama psikoseksual terhadapa masa dewasa muda dan hanya di dapati dalam hubungan intim. Disebut perkelaminan (genitality). Aktivitas seksual selama tahap adolensen adalah ekspresi pencarian identitas yang biasanya dipuaskan sendiri. Ditandai dengan saling percaya dan berbagi kepuasan seksual secara permanen dengan orang yang dicintai.

b. Keintiman Versus Keterasiangan

Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk

mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.

Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti

kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup

hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.

Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi

menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.

(28)

Cinta adalah kesetiaan yang masak sebagai dampak dari perbedaan dasar antara pria dan wanita. Kebalikan dari cinta adalah kesendirian (exclusivity). Sedikit ekslusif dibutuhkan dalam intumasi, yakni bahwa orang harus bisa menolak orang tertentu, untuk

mengembangkan perasaan identitas diri yang kuat. Kesendirian menjadi patologis kalau kekuatannya sampai menghalangi kemampuan kerja sama.

Lawan dari cinta adalah ekskluasivitas, inti patalogi padadewasa muda. Bebrapa

ekskluasivitas, bagaimanapun juga, diperlukan untuk keintiman. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk mencegah ide, aktivitas, atau orang tertentu demi mengembangkan kepekaannya kepada identitas. Ekskluasivitas menjadi patologi ketika ia menghambat kemampuan seseorang dalam bekerja sama, bersaing, atau berkompromi semua hal yang mendasari keintiman dan cinta.

7. Dewasa

Masa dewasa yaitu masa deimana manusia mulai mengambil bagian dalam masyarakat dan menerima tanggung jawab dari apapun yang di berikan oleh masyarakat. Untuk sebagaian besar orang, dewasa muda adalah tahapan perkembangan yang paling lama, menghabiskan waktu dari usia 31-60 tahun. Masa dewasa ditandai oleh gaya psikoseksual prokreativitas, krisis psikososial generativitasversus stagnasi, dan kekuatan dasar rasa peduli.

a. Prokreativitas

Teori psikoseksual erikson beransumsi bahwa doronghan insting mempertahankan spesies, dorongan ini adalah lawan dari insting binatang orang dewasa terhadap prokreasi dan merupakan perpanjangan dari genitalitas yang menandai masa dewasa muda. Akan tetapi prokreativitas tak sekedar mengacu pada kontak genital dengan oasangan intim. Ia juga mencakup tanggung jawab untuk mengasuh keturunan yang merupakan hasil kontak seksual. Idealnya prokreasi datang dari keintimanyang matang dan cinta stabil selama tahapan

sebelumny. Kenyataannya, manusia mampu secara fisik untuk menghasilkan keturunan sebelum mereka siap secara psikologis untuk memikirkan kesejahteraaan anak-anak mereka. Dewasa yang matang menuntut lebih dari prokreasi keturunan. Ia juga mencakup merawat anak-anak sendiri dan juga anak-anak orang lain. Selain itu, ia juga meliputi bekerja secara produktif untuk menyamapaikan kultur dari satu generasi ke generasi lain.

b. Generativitas Versus Stagnasi

(29)

jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat diga

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian mutu tepung maupun teh lidah buaya setelah pengeringan dengan microwave menunjukkan bahwa tepung lidah buaya yang dihasilkan baik secara visual, maupun

Soliton kedua tidak selalu mengalami pergeseran fase karena selisih antara pergeseran fase sebelum dan setelah tumbukan dapat bernilai nol, tergantung pada bilangan

Berdasarkan hasil analisis data mengenai pengaruh kepuasan pelanggan, kualitas layanan, dan kepercayaan terhadap loyalitas pelanggan, maka dapat diambil kesimpulan (1)

4 tahun 2020 yang menetapkan Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat sebagai berikut: (1) Belajar dari Rumah (BDR) melalui pembelajaran daring/jarak

Orientasi dilakukan mulai dari pengajuan surat ijin penelitian, studi pendahuluan ke SD Negeri 2 Tanjungan Kecamatan Katibung Kabupaten Lampung Selatan dengan

Untuk mencari jumlah pekerja yang dibutuhkan dalam proses produksi pembuatan  beton tiang pancang bulat ( spunt piles) dapat dilakukan dengan membagi waktu proses  produksi

Ipteks bagi Masyarakat (IbM) yang dilakukan pada UMKM pembibitan dan penggemukan sapi potong di kecamatan Kedungpring kabupaten Lamongan untuk menjawab permasalahan belum

Sangat beruntung bagi orang-orang yang menggeluti bidang ini, karena hanya dengan bermodalkan skill mereka bisa menghasilkan uang yang banyak, tampa bermodalkan