TEKS PIDATO SOEKARNO TENTANG LAHIRNYA PANCASILA
TINJAUAN PRGAMATIK
SKRIPSI
OLEH
FORESTER K. P. MENDROFA NIM 080701017
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
▸ Baca selengkapnya: pidato tentang sholat adalah tiang agama untuk anak sd
(2)(3)PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
orang yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu
perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis
sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila
pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa
pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Maret 2012
TEKS PIDATO SOEKARNO TENTANG LAHIRNYA PANCASILA
TINJAUAN PRAGMATIK
FORESTER K. P. MENDROFA ABSTRAK
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas
kasih dan karunia-Nya yang senantiasa berlimpah kepada penulis dalam mengerjakan
skripsi ini dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada orang tua tercinta, Bapak Folata
Mendrofa, S.Pd dan Ibu Yasminta Harefa, karena telah memberikan dukungan moral,
material, kasih sayang yang tanpa batas, dan doa yang tidak pernah berhenti. Kiranya
kasih setia dan kemurahan Tuhan senantiasa bersama dengan kita semua.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan, akan
tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik berupa dorongan nasihat,
dukungan moral, dan petunjuk praktis maka penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu penulisan ini, yaitu:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Ikhwanuddin Nasution, M. Si., selaku ketua Departemen Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,
3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, SP, selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Drs. Asrul Siregar, M. Hum., selaku pembimbing I yang telah banyak
memberikan masukan dan saran kepada penulis, baik dalam perkuliahan maupun
5. Bapak Drs. T. Aiyub Sulaiman, selaku pembimbing II yang telah banyak memberi
dukungan dan membantu penulis dalam penyusunan proposal hingga penyelesaian
skripsi ini.
6. Bapak Drs. Amhar Kudadiri, M. Hum., sebagai Dosen Penasehat Akademik yang
turut memberikan nasihat dan dukungan selama proses perkuliahan sampai
pengerjaan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, yang telah membekali penulis dengan ilmu
pengetahuan, baik dalam bidang linguistik, sastra maupun bidang-bidang umum
lainnya, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
8. Adik penulis tercinta, Cahaya Ningsih Mendrofa, yang selalu menjadi
penyemangat dalam segala hal. (Terimakasih telah hadir ke dunia, menemaniku,
karena tanpamu, aku tidak pernah merasakan bahagianya menjadi seorang
kakak.)
9. Sahabat-sahabat penulis, yang tidak pernah lelah menjadi semangat penulis, untuk
menjadi yang lebih baik. (Nama kalian akan selalu ada dihatiku, selamanya).
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari
kekurangan-kekurangan. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima segala saran dan
kritik yang dapat menyempurnakan isi skripsi ini. Terima kasih.
Medan, Maret 2012
Penulis,
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ...i
ABSTRAK ...ii
PRAKATA ...iii
DAFTAR ISI ...v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah ...1
1.1.1 Latar Belakang ...1
1.2.1 Masalah ...6
1.2 Batasan Masalah ...6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7
1.3.1 Tujuan Penelitian ...7
1.3.2 Manfaat Penelitian ...7
1.3.2.1 Manfaat Teoretis ...7
1.3.2.2 Manfaat Praktis ...7
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ...8
2.1.1 Tinjauan ...8
2.1.2 Teks Pidato Soekarno ...8
2.1.3 Lahirnya Pancasila ...9
2.1.4 Pragmatik ...9
2.2 Landasan Teori ...9
2.2.1 Pragmatik ...9
2.2.3 Tindak Tutur ...14
2.2.4 Konteks ...17
2.3 Tinjauan Pustaka ...19
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...21
3.1.1 Lokasi Penelitian ...21
3.1.2 Waktu Penelitian...21
3.2 Populasi dan Sampel...21
3.2.1 Populasi ...21
3.2.2 Sampel ...21
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...22
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ...23
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Implikatur dan Tindak Tutur Pembukaan Teks Pidato Soekarno Lahirnya Pancasila ...29
4.2 Implikatur dan Tindak Tutur Isi Teks Pidato Soekarno Lahirnya Pancasila...35
4.3 Implikatur dan Tindak Tutur Penutup Teks Pidato Soekarno Lahirnya Pancasila...41
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ...47
5.2 Saran ...48
TEKS PIDATO SOEKARNO TENTANG LAHIRNYA PANCASILA
TINJAUAN PRAGMATIK
FORESTER K. P. MENDROFA ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah sebuah media komunikasi yang digunakan manusia dalam
berinteraksi. Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer digunakan oleh masyarakat
untuk berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri
(Harimurti Kridalaksana, 1994:24). Hidayat (dalam Sobur, 2004: 274) mengatakan
bahwa pengertian bahasa adalah percakapan, alat untuk melukiskan sesuatu pikiran,
perasaan, atau pengalaman; alat ini terdiri dari kata-kata yang merupakan penghubung
bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga
dapat saling mengerti.
Bahasa dan pikiran saling berkaitan erat. Sebuah uraian yang cukup menarik
mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran dinyatakan oleh Whorf dan Saphir.
Whorf dan Saphir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi
dari bahasa tertentu yang digunakan manusia.
Salah satu bentuk penggunaan bahasa dapat dilihat dalam wacana.
Kridaklaksana (dalam Tarigan, 1993: 25) mengatakan wacana (discourse) adalah
satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh
(novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang
membawa amanat yang lengkap.
Menurut Tarigan (1987: 23) istilah wacana mencakup komunikasi pikiran
kegiatan formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon. Salah satu bentuk
wacana berdasarkan media penyampaiannya adalah wacana lisan. Wacana lisan atau
spoken discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan
(Tarigan 1987: 55). Salah satu wacana yang disampaikan secara lisan adalah pidato.
Untuk menerima, memahami, atau menikmati sebuah wacana lisan maka penerima
harus menyimak dan mendengarkan wacana tersebut. Hal terpenting adalah
kemampuan penyimak atau pendengar untuk memahami maksud dan tujuan yang
disampaikan dengan tetap menggunakan daya nalar yang dimiliki.
Istilah penalaran sebagai terjemahan dari bahasa Inggris reasoning menurut
kamus The Random House Dictionary berarti the act or process of a person who
reasons (kegiatan atau proses menalar yang dilakukan oleh seseorang), sedangkan
reason berarti the mental powers concerned with forming conclusion, judgements or
inferences (kekuatan mental yang berkaitan dengan pembentukan simpulan dan
penilaian) (Effendy, 1990: 104). Dalam menganalisis wacana, pendengar atau
penyimak harus memiliki daya nalar yang baik sehingga pendengar atau penyimak
dapat membentuk suatu simpulan dan penilaiannya sendiri terhadap wacana yang
disampaikan. Dengan kata lain, pendengar atau penyimak dapat memahami makna
yang terkandung dalam wacana tersebut.
Pemahaman terhadap wacana lisan, dalam hal ini pidato jelas membutuhkan
pemikiran dan pengertian yang mendalam terhadap beberapa aspek yang mendukung
pendengar atau penyimak dalam menerima isi dan tujuan yang disampaikan oleh
pemberi pidato. Aspek tersebur antara lain adalah studi pragmatik yang bergelut pada
ranah pengambilan makna melalui hubungan bahasa dengan pemakainya.
Pragmatik menurut Levinson (dalam Siregar, 1997: 23) adalah penelitian di
wacana. Leech (1974: 22) berpendapat bahwa pragmatik mengkaji makna dalam
hubungannya dengan situasi ujar. Leech membatasi pragmatik umum pada kajian
komunikasi linguistik yang berkenaan dengan prinsip-prinsip percakapan, dan pada
suatu model pragmatik yang retoris.
Penggunaan istilah ‘retoris’ ini sangat tradisional dan mengacu pada kajian
mengenai pemakaian bahasa secara efektif di dalam komunikasi. Dalam tradisi-tradisi
historis tertentu, retorik diartikan sebagai seni keterampilan menggunakan bahasa
untuk tujuan-tujuan persuasi, sastra, atau berpidato. Istilah retorik memusatkan diri
pada situasi ujar yang berorientasi tujuan, dan di dalam situasi tersebut penutur
memakai bahasa dengan tujuan menghasilkan suatu efek tertentu pada pikiran petutur.
Jalan menuju pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Dijk
(dalam Lubis, 1993: 21) berpendapat bahwa teks sama dengan discourse, yaitu
kesatuan dari beberapa kalimat yang satu dengan yang lain saling terikat erat.
Pengertian satu kalimat harus dihubungkan dengan kalimat yang lain dan tidak dapat
ditafsirkan satu-satu kalimat. Dengan kata lain, teks adalah satu kesatuan semantik
bukan kesatuan gramatikal. Kesatuan yang bukan dikarenakan bentuknya (seperti
morfem, klausa, kalimat) tetapi kesatuan artinya.
Teks adalah suatu contoh proses dan hasil dari makna dalam konteks situasi
tertentu. Pemahaman terhadap teks tidak terlepas dari konteks yang menyertai teks
tersebut. Teks dan konteks merupakan aspek dari proses yang sama. Ada teks dan ada
teks lain yang menyertainya (yang disebut konteks). Pengertian mengenai konteks
tidak hanya meliputi hal-hal tertulis melainkan juga hal-hal yang tanpa kata atau
nonverbal (Halliday dan Hasan, 1992:6). Teks dan konteks dapat muncul
Pidato adalah mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan
kepada orang banyak atau wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak
(KBBI, 2003: 871). Pidato merupakan salah satu bentuk retorika. Retorika atau dalam
bahasa Inggris rhetoric bersumber dari perkataan Latin rhetorica yang berarti ilmu
bicara (Effendy, 1990: 53). Cleanth Brooks dan Robert Penn Waren (dalam Effendy,
1990: 53) dalam bukunya, Modern Rhetoric, mendefenisikan retorika sebagai the art
of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif.
Pemahaman terhadap sebuah pidato tidak dapat dipisahkan dari struktur yang
membangun pidato tersebut. Seperti pada teks pidato lahirnya pancasila, Soekarno
sebagai seorang yang terampil dalam berpidato terlihat dengan sangat jelas
membangun pidatonya dengan struktur yang sangat terperinci. (Wisanggeni, 2011 :
71) dalam bukunya, Cara Instan Jago MC & Berpidato Dalam Bahasa Indonesia,
mengatakan bahwa secara garis besar, kerangka pidato dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu sebagai berikut,
1. Pendahuluan atau Pembuka
Pendahuluan atau pembuka bertujuan untuk mempersiapkan pendengar pada
pokok permasalahan yang hendak dikemukakan. Pendahuluan berisi sapaan
kepada pendengar, ucapan syukur, dan latar belakang masalah.
2. Isi
Bagian isi berisi gagasan pokok atau materi yang hendak disampaikan.
3. Penutup
Berisi rangkuman, seruan, maupun penegasan kembali. Penutup berupa
kesimpulan, saran dan ucapan terimakasih.
Soekarno yang lebih dikenal dengan sapaan Bung Karno merupakan tokoh
Surabaya pada tangal 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1970
dalam umur yang ke-69 tahun.
Soekarno memilki peranan yang sangat penting dalam memproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Soekarno tidak hanya
sebagai proklamator kemerdekaan tetapi juga sebagai pemikir dan pencetus dasar
negara Republik Indonesia yang sekarang kita kenal sebagai pancasila.
Tim Redaksi Nera Pustaka (2011 :254) mengatakan bahwa Soekarno dikenal
dunia internsional sebagai pejuang dan konseptor kemerdekaan RI yang handal.
Banyak konsepnya sangat dikagumi oleh dunia karena itu ia sering kali diundang oleh
banyak negara. Undangan itu ia manfaatkan untuk mengungkapkan konsepnya
tentang pembangunan dan perjuangan yang disampaikannya dengan menarik yang
membuat orang terkagum padanya. Soekarno dikenal sebagai pejuang dan peletak
dasar RI yang punya kemampuan berpidato yang baik yang dapat ditunjukkan di level
internasional dan dalam negara Indonesia. Pidato yang mengesankan dari Soekarno
adalah pidato hari lahirnya Pancasila dan hari kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau dalam bahasa
Dokuritsu Junbi Cosakai atau dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai adalah
sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara
tanggal
dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan bangsa
menjanjikan bahwa
beranggotakan 63 orang yang diketuai ole
Rapat pertama diadakan di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta
yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada zaman Belanda, gedung
tersebut merupakan gedung
Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan
harinya 29 Mei 1945 dengan tema dasar negara. Pada sidang pertama ini terdapat 3
orang yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara. Pada tanggal 29 Mei
1945, Mr
tanggal 1 Juni
yaitu:
a. Kebangsaan Indonesia
b. Internasionalisme dan peri kemanusiaan
c. Mufakat atau demokrasi
d. Kesejahteraan sosial
e. Ketuhanan yang Maha Esa
Kelima asas dari Soekarno disebut pancasila yang menurut beliau bilamana
diperlukan dapat diperas menjadi Trisila atau Tiga Sila yaitu:
a. Sosionasionalisme
b. Sosiodemokrasi
c. Ketuhanan yang berkebudayaan
Bahkan masih menurut Soekarno, Trisila tersebut di atas bila diperas kembali
disebutnya sebagai Ekasila yaitu merupakan sila gotong royong yang merupakan
upaya
kesatuan. Selanjutnya lima asas tersebut kini dikenal dengan istila
konsep tersebut pada akhirnya disetujui dengan urutan serta redaksi yang sedikit
Lahirnya Pancasila merupakan buah dari pidato Bung Karno yang diucapkan
dengan tidak tertulis pada masa dahulu dalam sidang pertama BPUPKI pada tanggal 1
Juni 1945 (hari ke empat) ketika sidang membicarakan Dasar (Beginsel) Negara
Indonesia, sebagai wujud dari keinginan bung Karno. Pidato yang disampaikan
langsung tanpa naskah ini, sangatlah luar biasa isinya, hingga mampu mencetuskan
kelangsungan hidup bangsa Indonesia hingga saat ini.
Teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila ini menarik dan
penting untuk diteliti karena menunjukkan suatu kekuatan bahasa berkaitan dengan
makna bahasa dan pemakai bahasa tersebut dalam menghasilkan sesuatu yang
merupakan landasan berlangsungnya kehidupan suatu bangsa yang besar yaitu bangsa
Indonesia. Hal tersebut menjadi alasan utama peneliti melakukan penelitian yang
lebih mendalam terhadap teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya Pancasila.
Adapun judul penelitian ini adalah Teks Pidato Soekarno Tentang Lahirnya
Pancasila, Tinjauan Pragmatik.
1.1.1 Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, masalah yang
diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Implikatur apakah yang terdapat dalam teks pidato Soekarno tentang lahirnya
pancasila?
2. Tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam teks pidato Soekarno tentang
1.2 Batasan Masalah
Sebuah penelitian sangat membutuhkan batasan masalah agar penelitian
tersebut terarah dan tidak terlalu luas sehingga tujuan penelitian dapat tercapai.
Adapun yang menjadi batasan dalam penelitian ini terbatas pada analisis pragmatik
yang meliputi implikatur dan tindak tutur yang terdapat pada teks pidato Presiden
Soekarno tentang lahirnya pancasila, pada tanggal 1 Juni 1945.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang dirumuskan, adapun tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut di bawah ini.
1. Menentukan implikatur yang terdapat dalam teks pidato Soekarno tentang
lahirnya pancasila.
2. Menemukan dan menganalisis jenis-jenis tindak tutur yang terdapat dalam teks
pidato Soekarno tentang lahirnya pancasila.
1.3.2 Manfaat penelitian 1.3.2.1Manfaat Teoretis
Secara teoretis, manfaat hasil penelitian tinjauan pragmatik terhadap teks
pidato lahirnya pancasia Presiden Soekarno adalah:
(1) menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai pidato lahirnya
pancasila Presiden Soekarno yang membuahkan tercetusnya dasar negara kita.
(2) menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan tentang teks
1.3.2.2Manfaat Praktis
Hasil penelitian tinjauan pragmatik terhadap teks pidato lahirnya pancasila
Presiden Soekarno secara praktis dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran
kepada calon-calon pemimpin bangsa agar memiliki kemampuan retorik yang baik,
sehingga mampu menyebarluaskan dan menanamkan nilai-nilai nasional dan rasa
kecintaan akan kesatuan dan persatuan bangsa kepada masyarakat, demi tercapainya
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang
ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi,
dkk 2003: 588).
2.1.1 Tinjauan
Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah menyelidiki,
mempelajari dan sebagainya) atau perbuatan meninjau (KBBI, 2007: 1198).
2.1.2 Teks Pidato Soekarno
Pidato adalah mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan
kepada orang banyak atau wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak
(KBBI, 2003: 871). Berikut ini merupakan sebagian dari pidato Soekarno pada sidang
BPUPKI yang pertama tanggal 1 Juni 1945.
Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda "philosofische grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka".
Merdeka buat saya ialah: "political independen-ce", politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan di dalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - "zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil "zwaarwichtig" sampai kata orang Jawa "jelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toh Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur!
(Tepuk tangan riuh).
2.1.3 Lahirnya Pancasila
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau dalam bahasa
Dokuritsu Junbi Cosakai atau dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai adalah
sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan bala tentar
tanggal
menjanjikan bahwa
beranggotakan 63 orang yang diketuai ole
ketua Hibangase Yosio (perwakilan Jepang) dan R.P. Soeroso.
2.1.4 Pragmatik
Pragmatik menurut levinson (dalam Siregar, 1997:23) adalah penelitian di
dalam bidang deiksis, implikatur, praanggapan, pertuturan (tindak ujar) dan struktur
wacana. Leech (1974:22) berpendapat bahwa pragmatik mengkaji makna dalam
hubungannya dengan situasi ujar.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pragmatik
Teori pragmatik merupakan disiplin ilmu yang relevan untuk penelitian ini.
Istilah pragmatik lahir dari pemikiran seorang filosof yang bernama Charles Morris
(1983) yang mengolah kembali pemikiran filosof-filosof pendahulunya (Locke dan
Pierce) mengenai semiotik. Oleh Morris, semiotik dibedakan menjadi sintaksis,
pragmatik, dan semantik. Kajian mengenai hubungan antartanda disebut dengan
sintaksis; telaah mengenai hubungan antara tanda-tanda dengan denotatanya disebut
semantik; dan telaah mengenai hubungan antara tanda dengan pemakai tanda disebut
pragmatik (Siregar 1997: 3).
Di dalam “Kamus Linguistik” Harimurti Kridaklaksana (1982) disebutkan,
pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa
dalam komunikasi; pragmatika adalah 1. Cabang semiotika yang mempelajari
asal-usul, pemakaian dan akibat lambang dan tanda; 2. Ilmu yang menyelidiki pertuturan
Dalam penelitian ini, pembicaraan mengenai kajian pragmatik lebih dibatasi
pada implikatur dan tindak tutur yang merupakan bagian dari suatu tuturan dan
konteks yang mempunyai peranan penting dalam situasi tuturan.
2.2.2 Implikatur
Menurut Gunpers (dalam Lubis 1991:68), inferensi (implikatur) adalah proses
interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Selalu benar apa yang dimaksud
oleh si pembicara tidak sama dengan apa yang ditanggap oleh si pendengar sehingga
terkadang jawaban si pendengar tidak dapat atau sering juga terjadi si pembicara
mengulangi kembali ucapannya mungkin dengan cara atau kalimat yang lain supaya
dapat ditanggapi oleh si pendengar.
Hal yang memungkinkan berlangsungnya situasi percakapan seperti di atas
dikuasai oleh satu hukum atau kaidah pragmatik umum yang menurut H. Paul Grice
(1967 dalam Soemarmo 1988:171) disebut kaidah penggunaan bahasa. Kaidah ini
mencakup peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan secara efektif
dan efisien. Kaidah ini terdiri dari dua pokok, yaitu: (1) prinsip koperatif yang
menyatakan “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan
memegang tujuan dari percakapan itu.” (2) empat maksim percakapan yang terdiri
dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang
sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti
yang memadai. Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa Jakarta adalah ibukota
Indonesia, bukan kota-kota yang lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan
tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
Contoh:
(4) Tetangga saya hamil.
(5) Tetangga saya yang perempuan hamil.
Ujaran (4) di atas lebih ringkas, juga tidak menyimpang nilai kebenarannya
(truth value). Setiap orang tentu mengetahui bahwa wanitalah yang mungkin hamil.
Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (5) sifatnya berlebihan.
Kata hamil dalam (4) sudah menjelaskan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan
dalam (5) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan
maksim kuantitas.
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.
Contoh:
(6) + Ani, ada telepon untuk kamu.
- Saya lagi di belakang, Bu!
Jawaban (-) pada (6) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila diamati,
hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban (-) pada (6)
mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu. Fenomena (6)
mengisyaratkan bahwa fenomena relevansi tindak ujar peserta yang kontribusinya
tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa yang
diimplikasikan ujaran itu.
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak takabur, tidak taksa, dan tidak belebihan serta runtut.
(7) + let’s stop and get something to eat!
- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S!
Dalam (7) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara langsung, yakni dengan
mengeja satu per satu kata Mc Donalds. Penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak
menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui
maksudnya.
Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya
menganggap bahwa pembicaraanya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas.
Apabila terdapat tanda-tanda bahwa salah satu dasar atau maksim tersebut tidak
diikuti maka ucapan itu mempunyai implikatur (Siregar 1997:30)
Contoh:
A. Nasinya sudah masak. Implikaturnya adalah silakan dimakan.
B. Saya punya sepeda. Implikaturnya adalah sepeda saya boleh Anda pakai.
Kalimat-kalimat di atas mempunyai implikatur karena keduanya tidak sesuai
dengan maksim kuantitas (sesuatu yang jelas masih dinyatakan). Jadi, pendengarnya
harus memutuskan bahwa ada makna lain di balik ucapan itu dan karena pada setiap
percakapan kita harus menganggap bahwa prinsip kooperatifnya selalu diikuti maka
tugas pendengarnya adalah menetapkan atau mengolah ucapan itu untuk menentukan
makna di baliknya dengan mempergunakan kaidah-kaidah yang ada.
2.2.3 Tindak Tutur
Menurut Searle, (dalam Rani 2004:158) komunikasi bahasa terdapat tindak
kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata,
atau kalimat yang berwujud perilaku atau tindak tutur. Lebih tegasnya, tindak tutur
adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan
kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang
dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur dapat pula
berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah.
Teori tindak tutur dikemukakan oleh John R. Searle (1983) dalam bukunya
Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language. Ia membagi praktik
penggunaan bahasa menjadi tiga macam tindak tutur, yaitu:
1. Tindak “lokusi” yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam
ungkapan, serupa dengan hubungan “pokok” dengan “predikat” atau “topic” dan
penjelasan dalam sintaksis. Dalam tindak ini tidak dipermasalahkan maksud dan
fungsi tuturan yang disampaikan si penutur, tetapi bermaksud untuk memberi tahu
petutur (dalam Lubis 1991:9)
Contoh: Saya lapar, seseorang mengartikan Saya sebagai orang pertama tunggal
(si penutur), dan lapar mengacu ke “perut yang kosong dan perlu diisi”, tanpa
bermaksud untuk meminta makanan.
2. Tindak “ilokusi” yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi
tertentu. Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat tidak dimaksudkan
untuk memberi tahu penutur saja, tetapi ada keinginan petutur melakukan
tindakan di balik tuturan tersebut.
Contoh: Saya lapar yang maksudnya adalah meminta makanan merupakan suatu
tindak ilokusi. Begitu juga kalimat “ Saya mohon bantuan Anda” tidak hanya
suatu pernyataan saja, tetapi maksudnya adalah si penutur benar-benar meminta
3. Tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada
pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu (Nababan
1989:18, dalam Lubis 1993:9)
Contoh: dari kalimat Saya lapar yang dituturkan oleh si penutur menimbulkan
efek kepada pendengar yaitu dengan memberikan atau menawarkan makanan
kepada penutur. Dalam ilmu bahasa dapat kita samakan tindak lokusi itu dengan
“predikasi”, tindak ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan
‘akibat suatu ungkapan’ atau dengan kata lain dapat kita katakan bahwa lokusi
adalah makna dasar atau referensi kalimat itu. Ilokusi sebagai daya yang
ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan
lain-lain. Perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya
Kalimat: Nilai raportmu bagus sekali!
Dari segi lokusi, ini hanya sebuah pernyataan bahwa nilai raport itu bagus
(makna dasar). Dari segi ilokusi, dapat berupa pujian atau ejekan. Pujian kalau
nilai raportnya memang bagus, dan ejekan kalau nilainya tidak bagus. Dari segi
perlokusi dapat membuat pendengar itu menjadi sedih (muram) dan sebaliknya
dapat mengucapkan terima kasih.
Ucapan yang tidak langsung itu tidak menyatakan pujian atau ejekan,
tetapi mengharuskan si pedengar mengolahnya sehingga makna yang sebenarnya
dapat ditentukannya. Jadi, kalimat: nilai raportmu bagus sekali bermakna dasar
sebuah raport bernilai bagus. Prinsip kooperatifnya di sini dijalankan karena si
pembicara menyatakan sesuai dengan tujuan pembicara itu. Dari segi evaluatifnya
dapat dikatakan sebagai berikut: si pembicara menyatakan sesuatu dengan terang
Dalam hal ini, konteks dan penuturnya memegang peranan untuk
menyatakan nilai evaluatifnya. Jika yang menyatakan itu adalah orang tua kepada
anaknya yang menunjukkan raportnya dan air muka orang tua itu tidak jernih,
maka jelas daya ilokusi pernyataan itu adalah kekesalan. Simpulan ini
menentukan bagaimana respon si pendengar atau anak yang mempunyai raport
tersebut. Ia mungkin akan menyatakan bahwa guru-gurunya tidak jujur atau juga
mungkin hanya merasa sedih atau mungkin juga dapat menangis atau ia
menyatakan akan berusaha sekuat mungkin. Dan inilah nilai perlokusi.
Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam
lima kategori, yakni:
1. Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan,
mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan.
2. Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan
yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon,
menuntut, memberi nasihat
3. Komisif yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan pada masa depan,
misalnya menjanjikan, menawarkan.
4. Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan
sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi,
misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf,
mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan sebagainya.
5. Deklaratif yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan,
misalnya mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama,
menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai),
2.2.4 Konteks
Konteks berasal dari bahasa latin ‘contexere’ yang berarti ‘menjalin bersama’.
Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang
berhubungan dengan dirinya, yang terjalin bersama.
Hymes (1972, dalam Chaer, 1995:62), sorang pakar linguistik terkenal
mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang
bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan
komponen itu adalah:
1. S (Setting and Scane).
2. P (Participants).
3. E (Ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.
4. A (Act sguence), mengacu kepada bentuk ujaran dan isi ujaran.
5. K (Keys), mengacu pada nada, cara dan semangat bahwa suatu pesan disampaikan
dengan senang hati, serius, mengejek, bergurau.
6. I (Instrumentalities).
7. N (Norm of interaction and interpretation), mengacu pada tingkah laku yang
khas dan sikap yang berkaitan dengan peristiwa tutur.
8. G (Genres), mengacu pada jenis penyampaian.
Setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung sedangkan
scane mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.
Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan
variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada
pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan
Di lapangan sepak bola kita boleh bericara keras-keras, tetapi di ruang perpustakaan
harus seperlahan mungkin.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).
Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan
pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah
sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat
menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan
menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda apabila berbicara dengan orang
tua atau gurunya bila dibandingkan kalau ia berbicara dengan teman sebayanya.
Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi
di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun para
partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin
membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa
tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam
peristiwa tutur di ruang kajian linguistik, dosen yang cantik itu berusaha menjelaskan
materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya namun mungkin ada diantara para
mahasiswa datang hanya untuk memandang wajah ibu dosen yang cantik itu.
Act Sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan apa
hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam
kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga
dengan isi yang dibicarakan.
Keys mengacu pada nada, cara dan semangat bahwa suatu pesan disampaikan:
mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan
isyarat.
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur
lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentatalities ini juga mengacu pada
kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek atau register.
Norms of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya
dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan
bicara.
Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, dan pendapat (sesudah
menyelidiki atau mempelajari). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (Alwi, dkk
2003: 912).
Wijana (2001) meneliti implikatur dalam wacana pojok. Dia menyimpulkan
tentang fakta bahwa sebuah tuturan khususnya tuturan yang diutarakan untuk maksud
mengritik, mengecam, memberikan cara-cara dengan sopan, seperti halnya wacana
pojok dikreasikan sedemikian rupa dengan tuturan-tuturan yang berimplikatur. Dalam
hal ini kajian pragmatik harus memberikan kepastian konteks agar semakin sempit
atau terbatas kemungkinan implikatur yang dapat ditimbulkan oleh sebuah tuturan.
Dewana (2001), dalam skripsinya Pasangan Bersesuaian dalam Wacana
Persidangan (Analisis Implikatur Percakapan). Dia menyimpulkan tentang penerapan
terdapat pada analisis implikatur percakapan dalam wacana persidangan adalah pola
panggilan-jawaban, pola permintaan pemersilahan-penerimaan, pola permintaan
informasi-pemberian, pola penawaran-penerimaan, pola penawaran-penolakan.
Dari uraian di atas, penelitian terhadap implikatur dalam wacana khususnya
wacana teks pidato masih sedikit. Oleh karena itu, pada kesempatan ini akan diteliti
bagaimana bentuk implikatur dalam teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1 Lokasi Penelitian
Lokasi adalah letak atau tempat (Alwi, dkk 2003: 680). Adapun lokasi
penelitian ini adalah perpustakaan-perpustakaan yang menyimpan bukti-bukti tertulis
tentang pidato Presiden Soekarno pada waktu lahirnya pancasila.
3.1.2 Waktu Penelitian
Penulis melakukan penelitian terhadap objek selama dua minggu.
3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi
Populasi adalah sekelompok orang, benda, atau hal yang menjadi sumber
pengambilan sampel; suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang berkaitan
dengan masalah penelitian (Alwi, dkk 2003: 889).
Berdasarkan pengertian di atas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian
ini adalah teks pidato Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila yang disampaikan
beliau pada rapat BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.
3.2.2 Sampel
Menurut Arikunto (1998: 117) sampel penelitian adalah sebagian atau wakil
populasi yang diteliti. Sampel penelitian ini ditentukan dengan menggunakan
purposive sampling (Bungin, 2003: 53). Sebuah sampel dari populasi ditentukan
secara sengaja oleh peneliti yang dinilai mampu mewakili populasi. Dari teks pidato
Presiden Soekarno tentang lahirnya pancasila ditentukan tiga bagian yang dinilai
rangkaian paragraf yang mengandung satu atau beberapa ide pokok yang
berkesinambungan.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode adalah cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan
suatu fenomena (Kridalaksana, 2001:136). Data sangat diperlukan dalam penelitian
untuk dianalisis. Oleh karena itu, untuk memperoleh data penelitian ini penulis
menggunakan metode simak. Disebut metode simak atau penyimakan karena memang
berupa penyimakan: dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan
bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Metode ini digunakan karena penulis hanya
menyimak pemakaian bahasa pada pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang
BPUPKI yang pertama yang terdapat pada buku Lahirnya Pancasila. Pada dasarnya,
penyimakan itu diwujudkan dengan penyadapan. Kegiatan menyadap itu dapat
dipandang sebagai teknik dasarnya dan dapat disebut “teknik sadap”. Sebagai teknik
lanjutannya, penulis menggunakan teknik simak bebas libat cakap. Hal ini disebabkan
penulis tidak terlibat dalam dialog, melainkan penulis berkedudukan sebagai
pemerhati bahasa. Dalam hal ini, konsep “dialog” digunakan dalam arti yang
seluas-luasnya, yang pada pokoknya melibatkan dua pihak yang berlaku sebagai pembicara
dan mitra wicara, baik secara berganti-ganti maupun tidak, baik yang lebih bersifat
komunikasi (dua arah dan timbal balik, sehingga bersifat imbal wicara) maupun yang
lebih bersifat kontak (satu arah), (Sudaryanto 1993:134). Mengingat objek penelitian
ini adalah teks pidato Presiden soekarno lahirnya pancasila, maka penulis mengambil
data tentang pidato tersebut dari sumber yang mendukung baik buku maupun internet.
Selanjutnya, data yang dijadikan bahan untuk penelitian ini adalah data yang bersifat
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan penulis dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap
analisis data adalah metode padan. Metode padan adalah metode penelitian yang alat
penentunya berada di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (language)
yang bersangkutan (Sudaryanto 1993:13). Teknik merupakan jabaran metode yang
ditentukan oleh alat yang dipakai. Fakta itu menunjukkan bahwa dalam berbicara
tentang teknik, ihwal alat yang dipakai sangat penting untuk dibahas. Peneliti sendiri
menggunakan teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP sebagai teknik dasar di
dalam penelitian ini. Adapun alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang
dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 1993:21). Sesuai dengan jenis penentu yang
akan dipisah-pisahkan atau dibagi menjadi berbagai unsur itu maka daya pilah itu
dapat disebut daya pilah referensial.
Contoh :
Paragraf 1 dan 2 pidato Soekarno (data 1)
Paduka Tuan Ketua yang Mulia!
“Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.”
Contoh data (1) dianalisis dengan menggunakan teori implikatur dan tindak
tutur yang dijadikan landasan teori pada penelitian ini. Tuturan pada data (1) akan
dianalisis sebagai berikut:
Langkah pertama untuk menganalisis implikaturnya adalah menentukan
makna dasarnya. Dalam menentukan makna dasar data (1) di atas, akan dijelaskan
berdasarkan paragrafnya. Paragraf 1 dan 2 pidato di atas merupakan pembukaan dari
pidato Soekarno, yang bermakna semua pendapat sebelumnya tentang pembahasan
dasar Negara Indonesia belum tepat, dan beliau akan menyampaikan bahwa pidato
beliau sudah tepat, sesuai dengan permintaan Paduka Yang Mulia/Saikoo Sikikan.
Langkah berikutnya adalah menentukan implikaturnya. Dan untuk dapat
menentukan implikatur tuturan pada data (1), terlebih dahulu harus diketahui apakah
tuturan pada data (1) mematuhi empat maksim percakapan yang dikemukakan Grice
atau tidak. Nantinya akan dapat diputuskan bahwa apabila tuturan pada data (1)
terbukti telah melanggar salah satu dari empat maksim Grice, maka tuturan pada data
(1) memiliki implikatur.
Empat maksim percakapan tersebut adalah:
1. Maksim kuantitas mewajibkan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi
yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Tuturan
pada data (1) bersifat kooperatif karena participants yang dalam hal ini Presiden
Soekarno sebagai pembicara, telah memberikan kontribusi yang secara kuantitas
memadai atau mencukupi.
2. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta pertuturan mengatakan hal yang
sebenarnya dan berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Tuturan pada data (1)
tidak bersifat kooperatif karena tidak menuturkan hal yang sebenarnya dan
Soekarno dalam pembukaan pidatonya adalah, ingin menyatakan bahwa anggota
yang telah berpidato sebelumnya, belum mengutarakan hal-hal yang sebenarnya
diminta oleh Paduka Tuan ketua tentang dasar negara Indonesia. Hal ini,
merupakan pendapat Soekarno, dan belum ada bukti yang jelas, apakah benar
bahwa pidato sebelumnya sudah atau belum tepat menurut Paduka Tuan Ketua.
3. Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi
yang relevan dengan masalah pembicaraan. Tuturan pada data (1) memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah. Paragraf 1 dan 2 pidato di atas pastinya
membicarakan hal yang sesuai dengan pembahasan pada waktu pidato tersebut
disampaikan sehubungan dengan pembahasan dasar Negara Indonesia.
4. Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara
langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta
runtut. Tuturan pada data (1) diungkapkan secara berlebih-lebihan. Dapat
dipahami melihat penggunaan kata maaf beribu maaf, yang seharusnya cukup
dengan mengucapkan kata maaf, sudah menjelaskan makna yang hendak beliau
sampaikan.
Berdasarkan empat maksim percakapan di atas, maka dapat diputuskan
bahwa tuturan pada data (1) memiliki implikatur karena terbukti telah melanggar
dua dari empat maksim percakapan tersebut,yaitu maksim kualitas dan maksim
pelaksanaan.
Selanjutnya, setelah diketahui bahwa tuturan pada data (1) memiliki
implikatur maka penentuan implikatur dapat dilanjutkan dengan melihat
penganutan prinsip kooperatifnya. Dalam membicarakan dasar Negara Indonesia
pada sidang BPUPKI tersebut, ternyata Soekarno melihat bahwa pidato-pidato
pihak Paduka Yang Mulia, sehingga ia menyampaikan apa yang dianggapnya
sesuai dengan bahasan pada rapat tersebut. Dengan demikian, tuturan pada data
(1) menganut prinsip kooperatif.
Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Untuk
menentukan nilai evaluatif tuturan pada data (1), dibutuhkan pengetahuan konteks
dan nilai kultural.
Konteks:
Pada paragraph 1 dan 2 pidato soekarno di atas, dapat disimpulkan bahwa
Soekarno sangat yakin bahwa pendapat-pendapat sebelumnya belum memberikan
kontribusi tentang dasar Negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sidang
pertama BPUPKI yang sudah dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut, dari
tanggal 29 Mei sampai tanggal 1 Juni, belum membuahkan hasil atau kesepakatan
tentang dasar negara Indonesia. Situasi psikologis pembicara (scene) dalam hal ini
Presiden Soekarno pada hari ke empat dari sidang pertama BPUPKI tersebut,
menginginkan kesatuan pikiran dari seluruh peserta rapat, untuk melahirkan dasar
negara Indonesia. Setelah Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya, dengan
keys yang berkobar-kobar, dan menyampaiakan pendapatnya dengan act sequence
yang berkenaan dengan pembahasan dalam sidang tersbut, maka tercetuslah dasar
negara Indonesia yaitu pancasila, yang disetujui oleh seluruh peserta rapat yang
redaksi dan urutannya sedikit berbeda, sesuai dengan kesepakatan anggota sidang
tersebut.
Pertimbangan nilai evaluatifnya adalah bahwa pidato-pidato sebelum
Soekarno dianggap tidak berbobot atau isinya tidak jelas. Simpulannya, impilkatur
dari paragraf di atas adalah, bahwa Soekarno secara tidak langsung ingin
merumuskan dasar Negara Indonesia, yang pada saat itu merupakan hal yang
sangat penting demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Austin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara
bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu: (1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu
topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’
dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. (2) tindak ‘ilokusi’
yaitu suatu pengucapan atau suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan, dan
sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang
mewujudkan suatu ungkapan. (3) tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang
ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi
pengucapan kalimat itu.
Demikian pula halnya dengan data (1), dalam tuturan ini telah terjadi
secara serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin.
Lokusinya adalah suatu pernyataan yang menyatakan akan memberikan hal apa
yang seharusnya disampaikan dalam sidang BPUPKI yang berkenaan dengan
pembentukan dasar Negara Indonesia. Secara kultural, tuturan pada data (1)
mempunyai daya ilokusi sindiran. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya
merupakan sindiran, maka daya perlokusinya adalah kesadaran. Dengan demikian,
setelah seluruh anggota sidang mendengarkan tuturan pada data (1) anggota
sidang yang lain akan menyadari bahwa mereka belum memberikan kontribusi
yang jelas untuk pembentukan dasar Negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
respon anggota sidang pada saat Soekarno berpidato dan hasil akhir yang
menunjukkan bahwa konsep dasar negara yang disampaikan oleh Presiden
Searle (dalam Rani, 2004: 158) mengklasifikasikan tindak ilokusi
berdasarkan maksud ke dalam lima kategori, yakni: (1) Representatif atau assertif
yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh,
mengemukakan pendapat, melaporkan. (2) Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan
menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya
memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. (3) Komisif yaitu
ilokusi yang terikat pada suatu tindakan pada masa depan, misalnya menjanjikan,
menawarkan. (4) Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau
mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam
ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi
maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan
sebagainya. (5) Deklaratif yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan
hubungan, misalnya mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama,
menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan
sebagainya.
Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat
dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data (1) termasuk ke
dalam ilokusi ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau
mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam
ilokusi yang dalam hal ini berupa sindiran kepada anggota sidang lainnya, karena
pendapat yang mereka sampaikan sebelumnya tentang dasar negara Indonesia,
belum dapat disetujui dan diputuskan sebagai dasar negara Indonesia.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Implikatur dan Tindak Tutur Pembukaan Teks Pidato Soekarno Lahirnya Pancasila
Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda
"philosofische grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag
itulah pundamen, filsafat, pikiran yang dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka".
Merdeka buat saya ialah: "political independen-ce", politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan di dalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - "zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil "zwaarwichtig" sampai kata orang Jawa "jelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai
jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toh Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Kutipan di atas adalah beberapa paragraf pada bagian pembukaan teks pidato
Presiden Soekarno yang merupakan data dari penelitian ini. Selanjutnya data ini akan
dianalisis secara keseluruhan.
Data tersebut akan dianalisis berdasarkan kaidah pertuturan yang dikemukakan
Grace, yaitu menentukan implikatur yang terdiri dari penganutan prinsip koperatifnya
dan empat maksim percakapan serta menentukan tindak tutur yang terdapat dalam
tuturan tersebut.
Penentuan implikatur dalam pembukaan teks pidato Soekarno tentang lahirnya
pancasila ini menggunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada
landasan teori, yaitu penentuan prinsip kooperatif dan empat maksim percakapan.
Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah “katakan apa yang diperlukan pada
saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu”.
Bagian pembukaan teks pidato Soekarno di atas berisikan tentang pernyataan
Soekarno bahwa akan mengutarakan pendapatnya tentang dasar negara namun sebelum
itu beliau juga memberitahukan pendapatnya tentang arti kata “merdeka”. Kemudian
dilanjutkan dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari
empat maksim tersebut dilanggar maka tuturan tersebut memiliki implikatur.
Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace dapat diputuskan
tiga dari empat maksim tersebut yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas dan maksim
pelaksanaan. Maksim kuantitas mewajibkan setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
Dalam pembukaan pidatonya, Soekarno sudah melanggar maksim kuantitas, karena
telah menyatakan sangat banyak hal-hal yang sesungguhnya tidak dibutuhkan oleh
anggota sidang pada waktu itu. Soekarno dalam pidatonya mengemukakan bagaimana
negara-negara lain merdeka, dan bagaimana tokoh-tokoh negara tersebut
memperjuangkan keberlangsungan kehidupan negaranya, misalnya Ibn Saud ketika
mendirikan Saudi Arabia dan Lenin mendirikan negara Soviet. Sidang BPUPKI yang
pertama ini adalah sidang yang akan membicarakan dasar negara secara langsung,
sehingga Soekarno dalam pidatonya, tidaklah perlu menyampaikan terlalu banyak
contoh-contoh negara yang juga pernah merumuskan kemerdekaan dan berdiri pada
satu dasar negara, karena yang dibutuhkan oleh seluruh hadirin pada sidang tersebut
adalah dasar negara Indonesia yang disampaikan oleh Soekarno secara langsung.
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta pertuturan mengatakan hal yang
sebenarnya dan berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Dalam pembukaan pidatonya,
Soekarno menyatakan bahwa pendapat tentang dasar negara yang telah disampaikan
sebelumnya belum sesuai dengan apa yang diinginkan oleh P.Y.M Saikoo Sikikan. Hal
ini merupakan pendapat Soekarno sendiri tanpa ada bukti yang jelas bahwa P.Y.M
Saikoo Sikikan telah mengatakan bahwa pendapat sebelumnya belum sesuai dengan
permintaannya.
Selanjutnya, tuturan dari data penelitian ini juga melanggar maksim
pelaksanaan yang mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung,
tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Pada
langsung. Beliau tidak langsung menyampaikan dasar negara, melainkan menjelaskan
pendapatnya tentang arti merdeka atau apa itu kemerdekaan. Selanjutnya, beliau juga
membukakan banyak sejarah-sejarah lahirnya negara-negara lain, misalnya Saudi
Arabia, Jerman, Rusia dan sebagainya, tanpa langsung menyampaikan akan dasar
negara yang hendak beliau kemukakan. Soekarno juga mengungkapan permohononan
maaf secara berlebih-lebihan, dengan menggunakan kata maaf beribu maaf yang dapat
dilihat pada paragraf 2 yang seharusnya cukup dengan menggunakan kata maaf saja,
sudah menjelaskan maksud dari beliau. Dengan demikian, tuturan pada data penelitian
ini tidak menganut prinsip kooperatif.
Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan nilai
evaluatif data penelitian dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Konteks merujuk
pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan
diri yang terjalin bersamanya. Situasi dan latar belakang yang menggambarkan data
penelitian, merupakan sebuah suasana sidang penentuan dasar sebuah negara yang
sedang mengupayakan kemerdekaan. Sidang ini sangat menentukan keberlangsungan
suatu negara yang akan memperoleh kemerdekaannya. Sidang BPUPKI yang pertama
ini dilaksanakan hingga empat hari berturut-turut, hingga mencapai suatu kesepakan
tentang dasar negara Indonesia ialah pancasila. Hal ini tentunya sangat lekat dengan
bagaimana tokoh-tokoh pada masa itu berpikir keras untuk merumuskan dasar negara
yang menurut pendapat mereka terbaik, dan dapat diterima dan disetujui oleh pihak
Jepang, dan juga pihak bangsa Indonesia sendiri. Presiden Soekarno dalam hal ini,
sangat yakin bahwa pendapat-pendapat sebelumnya belum memberikan kontribusi yang
tepat tentang dasar negara Indonesia, sehingga belum ada keputusan atau kesepakatan
Pertimbangan nilai evaluatifnya adalah, sidang pembahasan tentang dasar
negara oleh BPUPKI yang anggota-anggota sidang yang lain juga telah menyampaikan
pendapatnya, yaitu Mr. Muhammad Yamin dan Prof. Dr. Mr. Soepomo, oleh Soekaro
dianggap belum tepat. Simpulannya, implikatur dari pembukaan pidato Soekarno ini,
menyatakan bahwa pidato-pidato sebelumnya tidak bermanfaat untuk merumuskan
dasar negara Indonesia, yang pada saat itu merupakan hal yang sangat penting demi
kelangsungan hidup bangsa Indonesia, dan peserta rapat tersebut, belum memahami
secara benar apa itu kemerdekaan, sehingga mereka tidak mampu merumuskan dasar
negara Indonesia.
Austin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara
bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu: (1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu topik
dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan
‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. (2) tindak ‘ilokusi’ yaitu suatu
pengucapan atau suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan, dan sebagainya. Ini erat
hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan. (3)
tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada
pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Dapat dikatakan,
bahwa di dalam setiap tuturan sudah dapat dipastikan adanya lokusi, ilokusi, dan
perlokusi. Lokusi berupa tuturan, ilokusi berupa maksud si penutur, dan perlokusi
berupa reaksi dari lawan tutur.
Dalam analisis teks pidato Soekarno ini, kita akan fokus melihat ilokusi yang
terkandung di dalam teks pidato tersebut. Hal ini disebabkan karena lokusinya adalah
keseluruhan dari tuturan dalam teks, dan perlokusinya berada pada lawan tutur, yang
pertuturan tersebut. Perlokusi yang dapat dipastikan adalah, bahwa seluruh anggota
sidang dapat menerima usulan “Pancasila” sebagai dasar negara Indonesia.
Dalam tuturan pembukaan teks pidato Soekarno ini telah terjadi secara serentak
tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin. Lokusinya adalah suatu
pernyataan yang menyatakan akan memberikan hal apa yang seharusnya disampaikan
dalam sidang BPUPKI yang berkenaan dengan pembentukan dasar negara Indonesia
namun sebelumnya terlebih dahulu menjelaskan arti kemerdekaan. Secara kultural,
tuturan pada pidato Soekarno ini mempunyai daya ilokusi sindiran. Oleh sebab itu,
apabila daya ilokusinya merupakan sindiran, maka daya perlokusinya adalah kesadaran
dari seluruh anggota sidang bahwa mereka belum memberikan kontribusi yang tepat
tentang dasar negara, dan kesadaran bahwa pemahaman mereka yang kurang tepat
tentang arti kemerdekaan. Dengan demikian, setelah mendengarkan tuturan dari
pembukaan pidato Soekarno tersebut, anggota sidang BPUPKI dapat memahami
maksud dan tujuan Soekarno tentang dasar negara Indonesia dan menyetujui Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia, yang sebelumnya diadakan perundingan sehingga
terjadi perubahan redaksi dan urutan dari apa yang disampaikan Soekarno dalam
pidatonya. Namun, meskipun redaksi dan urutannya berbeda, nama Pancasila dan
maksud-maksud dari isinya, merupakan buah dari pemikiran Soekarno yang
disampaikan dalam pidatonya.
...Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam
lima kategori, yakni: (1) Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan
menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat,
melaporkan. (2) Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa
tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon,
di masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan. (4) Ekspresif yaitu ilokusi yang
bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap
keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih,
mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan
belasungkawa dan sebagainya. (5) Deklaratif yaitu menggambarkan perubahan dalam
suatu keadaan hubungan, misalnya mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi
nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai),
dan sebagainya.
Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat dikatakan
bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan pada pembukaan teks pidato
Soekarno tersebut, mencakup tindak ilokusi ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan
mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang
tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat,
memberi maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan
sebagainya, yang dalam pembukaan pidatonya, beliau mengungkapkan sikap
psikologisnya dalam bentuk sindiran.
4.2 Implikatur dan Tindak Tutur Isi Teks Pidato Soekarno Lahirnya Pancasila
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan - macam-macam - tetapi alangkah benarnya perkataan Dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari persatuan
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya - tetapi "semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1981. 25 tahun yang lebih ialah dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Kutipan di atas adalah beberapa paragraf pada bagian isi teks pidato Presiden
Soekarno yang merupakan data dari penelitian ini. Selanjutnya data ini akan dianalisis
secara keseluruhan.
Data tersebut akan dianalisis berdasarkan kaidah pertuturan yang dikemukakan
Grace, yaitu menentukan implikatur yang terdiri dari penganutan prinsip koperatifnya
dan empat maksim percakapan serta menentukan tindak tutur yang terdapat dalam
tuturan tersebut.
Penentuan implikatur dalam isi teks pidato Soekarno tentang lahirnya pancasila
ini menggunakan kaidah pertuturan seperti yang sudah dijelaskan pada landasan teori,
yaitu penentuan prinsip kooperatif dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif
yang dikemukakan Grace adalah “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya
percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu”.
Bagian isi teks pidato Soekarno di atas berisikan tentang pendapat Soekarno
tentang dasar negara yang pertama yang akan disampaikannya, dengan terlebih dahulu
menekankan bahwa negara yang akan dibangun adalah suatu negara “satu buat semua”.
Dan dasar negara itu adalah “kebangsaan”. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan
empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar
maka tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan