• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia (Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia (Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012)"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

(ANALISIS KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI

NO. 12 TAHUN 2012)

Disusun Oleh:

Yossi Hagaita Tarigan

(090906082)

Dosen Pembimbing : Indra Fauzan, SHI. M.Soc.Sc

Dosen Pembaca : Prof. Subilhar, Ph.D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

YOSSI HAGAITA TARIGAN (090906082)

KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

(Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012)

Rincian isi Skripsi, 121 halaman, 6 diagram, 6 tabel, 34 buku, dan 6 internet. (Kisaran buku dari tahun 1981-2012)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis tentang pendidikan tinggi di Indonesia dengan fokus analisis Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012. Paradigma baru tentang pendidikan nasional pasca reformasi mengedepankan otonomi pendidikan khususnya pendidikan tinggi berdampak pada mahalnya akses memperoleh pendidikan. Hal ini disebabkan oleh minimnya alokasi anggaran pemerintah untuk pendidikan sehingga salah satu jalan keluarnya adalah dengan memberikan payung hukum terhadap otonomi pendidikan tinggi. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pemerintah sebagai penanggung jawab tunggal atas pendidikan di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis Undang-Undang No.12 Tahun 2012 dengan memaparkan fakta-fakta untuk mempertegas dan mempertajam analisis kebijakan tersebut. Dengan demikian, akan diperoleh benang merah apakah dengan menerapkan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia mampu menciptakan pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 31 atau hanya memberi sekedar otonomi palsu yang berdampak pada peningkatan biaya kuliah dan membagi tanggung jawab pendidikan kepada masyarakat.

Dalam penelitian ini juga digunakan teori kebijakan dan model-model analisis kebijakan pendidikan, efektifitas kinerja sistem pendidikan dan teori analisis Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 sehingga memudahkan peneliti untuk mendeskripsikan analisis kebijakan yang dianggap efektif dalam menciptakan pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

(3)

NORTH SUMATERA UNIVERSITY

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT

YOSSI HAGAITA TARIGAN (090906082)

HIGHER EDUCATION POLICY IN INDONESIA (Policy Analysis of Higher Education Act 12 of 2012)

Details of the contents Undergraduate Program, 121 pages, 6 diagrams, 6 tables, 34 books, and 6 the internet. (Range of years from 1981 to 2012 books)

ABSTRACT

This study is a analysis descriptive of the higher education in Indonesia with a focus on analysis of the Higher Education Act 12 of 2012. A new paradigm of education post reform emphasizes autonomy in education, especially higher education have an impact on the high cost of access to education. This is caused by the lack of government budget allocation for education so that one of solution is to provide legal protection to the autonomy of higher education. Whereas the Act of 1945 has mandated the government as solely responsible for the education in Indonesia.

The purpose of this study was to analyze the Act 12 of 2012 to explain the facts to reinforce and sharpen the policy analysis. So, we have a conclusion on whether to implement the Higher Education Act 12 of 2012 in the higher education system of Indonesia is able to create the education in accordance with the Act of 1945 specifically article 31 or will it just gives false autonomy which increased tuition fees and share the responsibility for education to the public.

In this study also used theoretical models of policy, effectiveness of education system performance and theory analysis Act 1945 section 31 and education policy analysis making it easier for researchers to describe the policy analysis that are considered effective in creating education as mandated by the Constitution of 1945.

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Yossi Hagaita Tarigan

NIM : 090906082 Departemen : Ilmu Politik

Judul : Kebijakan Pendidikan Tinggi di Indonesia

(Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012)

Menyetujui : Ketua

Departemen Ilmu Politik,

Dra. T. Irmayani, M.Si NIP. 196806301994032001

Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,

(Indra Fauzan, S.HI., M.Sc.Sc) (Prof. Subhilhar, Ph.D)

NIP. 198102182008121002 NIP. 196107181967101001

Mengetahui: Dekan FISIP USU

(5)

KATA PENGANTAR

Dengan iringan doa dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan karena izin-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah : KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA (ANALISIS KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI NO. 12 TAHUN 2012)

Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan moril, masukan dan saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus khususnya penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Indra Fauzan. SHI.M.Soc.Sc sebagai dosen pembimbing dan Bapak Prof. Subilhar, Ph,D sebagai dosen pembaca atas kesediannya membantu dalam rangka memberikan bimbingan dan petunjuk serta arahan kepada penulis demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga telah diperoleh hasil yang maksimal.

Tidak semua nama penulis bisa sebutkan, namun penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Yang tercinta Ibu Ringet Sitepu dan yang tersayang Bapak Josep Tarigan juga kepada saudara-saudara saya Johannes Tarigan, Amd, Lydia Frisca br Tarigan, SH, Lenni Selly br Tarigan yang selalu setia memberi bantuan dan motivasi untuk menjadi lebih baik.

2. Bapak Prof.Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

4. Bapak/Ibu Dosen pengajar pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa menyumbangkan ilmunya

yang sangat berarti bagi masa depan saya, dan juga ucapan terima kasih kepada Staf

Administrasi Program Studi Ilmu Politik yang telah memberikan bantuan administrasi,

informasi mengenai perkuliahan, dan jadwal ujian.

(6)

6. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan saran, pendapat serta pandangannya sehingga penulisan

skripsi ini terselesaikan.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pihak-pihak yang telah membaca skripsi ini. Pada dasarnya kritik tersebut sangat berguna untuk mengevaluasi dan memotivasi penulis untuk dapat lebih baik kedepannya.

Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih.

Medan, Juli 2013

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 10

1.3Pembatasan Masalah ... 11

1.4Tujuan Penelitian ... 15

1.5Manfaat Penelitian ... 16

1.6Kerangka Teori ... 16

1.6.1 Pengertian Kebijakan Pendidikan ... 17

1.6.2 Model Analisis Kebijakan Publik ... 19

1.6.3 Pendidikan Tinggi ... 23

1.6.4 Efektifitas Kinerja Sistem Pendidikan ... 25

1.6.5 Teori Analisis Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ... 26

1.7Metodologi Penelitian ... 28

1.7.1 Jenis Penelitian ... 29

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ... 30

1.7.3 Teknik Analisa Data ... 30

1.8Sistematika Penulisan ... 31

BAB 2 PROSES TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI NO. 12 TAHUN 2012 ... 33

2.1 Transformasi Kebijakan Pendidikan Pada Masa Orde Baru Menuju Reformasi ... 34

(8)

2.3 Lahirnya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan ... 47 2.4 Otonomi Pendidikan Tinggi Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang

Pendidikan Tinggi ... 56 2.5 Keadaan Umum Peserta Didik di Indonesia ... 62 2.6 Anggaran Pendidikan di Indonesia ... 65

BAB 3 ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI

UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI ... 73

3.1 Pasal 64 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28 C Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 31 Ayat (3) ... 77 3.2 Pasal 65 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan

Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 31 Ayat (3) ... 89 3.3 Pasal 73 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan

Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28 C Ayat (1), Pasal 28 I butir (2), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 31 ayat (3) ... 92 3.4 Pasal 74 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan

Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28 C Ayat (1), Pasal 28 I Ayat (2),dan Pasal 31 ayat (1) ... 98 3.5 Pasal 85 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan

Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 Ayat (1), dan pasal 31 ayat (3) ... 101 3.6 Pasal 86 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan

Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 Ayat (3) .. 104 3.7 Pasal 90 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan

Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 ... 107 3.8 Dampak Sosiologis Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun

2012 ... 111

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

(9)

4.2 Saran ... 115

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Perkembangan Jumlah Siswa Negeri dan Swasta ... 62

Tabel 2 Perkembangan Angka Kelulusan ... 63

Tabel 3 Angka Pertisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Tahun 2005-2011 ... 65

Tabel 4 Perbandingan Alokasi Pendanaan Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2011-2012 ... 68-69 Tabel 5 Penerimaan Dana dari APBN dan Non-APBN Universitas Indonesia Tahun 2002-2006 ... 85

Tabel 6 Niaya Kuliah 7 Badan Hukum Milik Negara Tahun Ajaran 2011/2012 ... 85

Tabel 7 Aksebilitas Pendidikan Tinggi ... 112

DAFTAR DIAGRAM Halaman Diagram 1 Anatomi Peraturan Perundang-Undangan Perguruan Tinggi ... 5

Diagram 2 Kebijakan Sebagai Turunan Ideologi/Politik ... 18

Diagram 3 Kerangka Analisis Kebijakan Publik ... 20

Diagram 4 Perkembangan Angka Malanjut Perguruan Tinggi ... 64

Diagram 5 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2000-2010 ... 66

(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

YOSSI HAGAITA TARIGAN (090906082)

KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

(Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012)

Rincian isi Skripsi, 121 halaman, 6 diagram, 6 tabel, 34 buku, dan 6 internet. (Kisaran buku dari tahun 1981-2012)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis tentang pendidikan tinggi di Indonesia dengan fokus analisis Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012. Paradigma baru tentang pendidikan nasional pasca reformasi mengedepankan otonomi pendidikan khususnya pendidikan tinggi berdampak pada mahalnya akses memperoleh pendidikan. Hal ini disebabkan oleh minimnya alokasi anggaran pemerintah untuk pendidikan sehingga salah satu jalan keluarnya adalah dengan memberikan payung hukum terhadap otonomi pendidikan tinggi. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pemerintah sebagai penanggung jawab tunggal atas pendidikan di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis Undang-Undang No.12 Tahun 2012 dengan memaparkan fakta-fakta untuk mempertegas dan mempertajam analisis kebijakan tersebut. Dengan demikian, akan diperoleh benang merah apakah dengan menerapkan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia mampu menciptakan pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 31 atau hanya memberi sekedar otonomi palsu yang berdampak pada peningkatan biaya kuliah dan membagi tanggung jawab pendidikan kepada masyarakat.

Dalam penelitian ini juga digunakan teori kebijakan dan model-model analisis kebijakan pendidikan, efektifitas kinerja sistem pendidikan dan teori analisis Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 sehingga memudahkan peneliti untuk mendeskripsikan analisis kebijakan yang dianggap efektif dalam menciptakan pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

(12)

NORTH SUMATERA UNIVERSITY

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT

YOSSI HAGAITA TARIGAN (090906082)

HIGHER EDUCATION POLICY IN INDONESIA (Policy Analysis of Higher Education Act 12 of 2012)

Details of the contents Undergraduate Program, 121 pages, 6 diagrams, 6 tables, 34 books, and 6 the internet. (Range of years from 1981 to 2012 books)

ABSTRACT

This study is a analysis descriptive of the higher education in Indonesia with a focus on analysis of the Higher Education Act 12 of 2012. A new paradigm of education post reform emphasizes autonomy in education, especially higher education have an impact on the high cost of access to education. This is caused by the lack of government budget allocation for education so that one of solution is to provide legal protection to the autonomy of higher education. Whereas the Act of 1945 has mandated the government as solely responsible for the education in Indonesia.

The purpose of this study was to analyze the Act 12 of 2012 to explain the facts to reinforce and sharpen the policy analysis. So, we have a conclusion on whether to implement the Higher Education Act 12 of 2012 in the higher education system of Indonesia is able to create the education in accordance with the Act of 1945 specifically article 31 or will it just gives false autonomy which increased tuition fees and share the responsibility for education to the public.

In this study also used theoretical models of policy, effectiveness of education system performance and theory analysis Act 1945 section 31 and education policy analysis making it easier for researchers to describe the policy analysis that are considered effective in creating education as mandated by the Constitution of 1945.

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pendidikan berperan penting dalam pembangunan manusia seutuhnya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Pendidikan menjadi interaksi manusiawi antara pendidik dengan subjek didik yang dapat menunjang pengembangan manusia yang berorientasi pada nilai-nilai serta pengembangan kebudayaan yang berhubungan dengan usaha-usaha pengembangan manusia tersebut. Hanya dengan pendidikan yang ilmiah, setiap orang akan mengetahui hak dan tanggung jawabnya sebagai individu. Oleh karena itu, pendidikan merupakan hal fundamental dalam totaritas kehidupan manusia.

Pendidikan merupakan kegiatan yang esensial di dalam kehidupan masyarakat. Pada zaman Plato, pendidikan diartikan sebagai pendidikan untuk negara sebagaimana yang dinyatakan di dalam bukunya, The State. Pendidikan warga negara merupakan alat untuk mempertahankan negara yang kuat sehingga dengan sendirinya kebudayaan tercipta di dalam pendidikan warga negara tersebut. Pendidikan memperkenalkan peserta didik terhadap nilai-nilai budaya dan memungkinkan untuk menciptakan nilai-nilai budaya baru. Orientasi pendidikan yang dikemukakan Plato tersebut kemudian diwujudkan dalam konsep-konsep John Dewney dalam bukunya Democracy and Education 1985 yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah meneruskan cita-cita demokrasi. Pendidikan berhadapan dengan berbagai jenis kekuasaan yang membatasi perkembangan individu dan masyarakat. Ilmu pengetahuan, seni, kehidupan politik, ekonomi dan sebagainya berada dibawah bayang-bayang kekuasaan. Pendidikan berfungsi untuk membebaskan manusia dari berbagai jenis ikatan. Hasil pendidikan yang demikian adalah manusia yang kreatif yang menjadi pendukung kebudayaan yang dinamis. Pendidikan adalah proses pemerdekaan atau kesadaran manusia yang memiliki potensi-potensi tertentu di dalam hidupnya berhadapan dengan alam dan sekitarnya.1

Para pakar ekonomi pemegang hadiah nobel seperti Schultz, Becker dan Amartya Sen, menunjukkan keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi serta perkembangan demokrasi. Betapa besar peranan pendidikan dalam

(14)

transformasi sosial sebenarnya telah ditunjukkan oleh pakar-pakar pemegang hadiah Nobel Ekonomi seperti Theodore Schultz yang menentukan keterkaitan antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi.2 Becker menunjukkan keterkaitan antara investasi pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia yang merupakan motor utama dalam pengembangan ekonomi suatu masyarakat.3 Selanjutnya Amartya Sen menunjukkan kaitan yang erat antara pendidikan dengan pengembangan demokrasi.4

Visi pendidikan di Indonesia adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sesuai dengan visi tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jeffrey Sachs menunjukkan betapa pendidikan merupakan pemutus lingkaran kemiskinan didunia.

5

Misi pendidikan nasional adalah menuju masyarakat madani. Dalam bidang pendidikan penyelenggaraan organisasi pelaksanaan pendidikan yang otonom, luas namun adaptif dan fleksibel, bersifat terbuka dan berorientasi pada keperluan dan kepentingan bangsa. Perimbangan wewenang dan partisipasi masyarakat telah berkembang secara alamiah. Pendidikan telah menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang berwawasan global, memiliki komitmen nasional dan bertindak secara lokal menuju pada keunggulan serta menjadikan lembaga pendidikan sebagai pusat peradaban.6

Tujuan diselenggarakannya pendidikan tersebut juga dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV Pasal 31, dinyatakan bahwa:

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

2 Theodore Schultz. 1981. Investing in People. University of California Press. Barkeley. 3 Gary S. Becker. 1993. Human Capital. The University of Chicago Press. Chicago. 4 Amartya Sen. 1998. Inequality Reexamined. Harvard University Press. Cambridge. 5 Atmadi, A. 2000.

Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta; Kanisinus. hal. 3.

(15)

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi

nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia.

Pendidikan nasional merupakan pilar tegaknya keutuhan bangsa Indonesia. Melalui pendidikan bangsa mampu menjaga harkat dan martabat di dunia internasional. Hanya dengan pendidikan ilmiah dan demokratislah yang dapat menciptakan generasi-generasi inovatif, mandiri dan berkarakter. Amandemen UUD 1945 menunjukkan, pemerintah seharusnya mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari dana APBN dan APBD untuk pendidikan. Ternyata, hingga sekarang komitmen untuk memajukan kualitas pendidikan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dengan dana yang minim pendidikan nasional tidak akan berjalan dengan sukses sesuai dengan visi misi pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.

Pada tahun 2011, anggaran pendidikan masih menggunakan pola yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan UU 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa persentase anggaran pendidikan sebesar 20,2% dari total anggaran yang disediakan atau sebesar Rp 289.957.815.783.800,00 (dua ratus delapan puluh sembilan triliun sembilan ratus lima puluh tujuh miliar delapan ratus lima belas juta tujuh ratus delapan puluh tiga ribu delapan ratus rupiah). Tetapi jika dihitung anggaran untuk pendidikan murni hanya mencapai 10% dari APBN dan itu artinya setiap tahunnya tingkat partisipasi peserta didik akan terus berkurang akibatnya jumlah putus sekolah dan penyandang buta aksara akan meningkat seiring dengan konsep komersialisasi didunia pendidikan.

(16)

dalam kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan lembaganya termasuk pencarian dana bagi biaya perasionalnya. Akibatnya muncul tempat tempat pendidikan dengan biaya mahal dan tidak terjangkau oleh golongan ekonomi lemah, sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan hak yang sama memperoleh pendidikan jauh dari kenyataan.

Diagram 1

Anatomi Peraturan Perundang-Undangan Perguruan Tinggi

PP No. 61 Tahun 1999 telah memberi kesempatan kepada perguruan tinggi yang dianggap memenuhi kriteria seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Tekniknologi Bandung (ITB). Perubahan ini merupakan momen untuk melakukan transformasi mendasar pada kelembagaan guna menciptakan suatu sistem organisasi sehingga mampu berperan secara nyata dalam menjawab tantangab global. Universitas-universitas di Indonesia diharuskan menyusun visi dan misi baru untuk menyongsong kehidupan era global yang semakin kompetitif.7

Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 pada bab XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membiayai

(17)

pendidikan nasional, khususnya pendidikan tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak 75% dan 25% lagi berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP. Namun subsidi 75% dicabut dan kemudian pemerintah memberikan status BHMN (Badan Hukum Milik Negara) kepada beberapa perguruan tinggi negeri agar mengelola keuangannya masing-masing.

Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi setelah dikeluarkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang berlaku pada tanggal 16 Januari 2009. Penguatan kebijakan privatisasi pendidikan itu dapat dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. UU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan.

Konsep Badan Hukum Pendidikan sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, sehingga peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah peran serta masyarakat itu cenderung disalah artikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha.

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah upaya penyeragaman bentuk lembaga pendidikan dan pengalihan tanggung jawab negara terhadap pendidikan serta munculnya liberalisasi dan komersialisasi dunia pendidikan. Sehingga masyarakat ekonomi menengah kebawah tidak mampu mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Pendidikan tinggi yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Padahal, dalam prinsip Badan Hukum Pendidikan dengan jelas mengatakan bahwa non-diskriminasi, yaitu memberikan pelayanan pendidikan kepada calon peserta didik dan peserta didik secara berkeadilan, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonomi.

Pada 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/20098

8 Habib Adjie. 2010.

Pasca Putusan MKRI: Penyelenggaraan Pendidikan Formal oleh Swasta Kembali ke Yayasan. Jakarta; Renvoi. hlm.67.

(18)

Hukum Pendidikan. Putusan Mahkamah Kostitusi dengan jelas menyatakan bahwa Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan merupakan produk hukum yang inkonstitusional sehingga perlu di batalkan karena tidak sesuai dengan konstitusi yang ada di Indonesia. Pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi menutup eksistensi atau riwayat segala hal mengenai badan hukum pendidikan sebagai Badan Hukum Pendidikan yang dikonstruksikan sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal.

Menteri Pendidikan Nasional menjelaskan, solusi untuk mengusulkan undang-undang baru sebagai pengganti undang-undang-undang-undang Badan Hukum Pendidikan bisa saja dilakukan, namun untuk jangka pendek pihaknya akan mencari payung hukum dalam menyelenggarakan pendidikan. Membuat undang-undang baru cukup lama, sekarang yang dipikirkan adalah penyelenggaraan pendidikan memiliki payung hukum yang jelas. Kepastian payung hukum itu harus cepat sehingga ada kejelasan status hukum bagi perguruan tinggi negeri yang menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional harus berjalan.

Setelah mengalami tujuh kali revisi dan penundaan akibat adanya kontrofersi dari berbagai kalangan, tepatnya pada 13 Juli 2012 pukul 11.00 WIB mengesahkan RUU Pendidikan Tinggi menjadi Undang-Undang Pendidikan Tinggi no. 12 Tahun 2012. Pengesahan Undang-Undang Pendidikan tinggi ini sebagai upaya penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia melalui payung hukum yang jelas.

Dengan minimnya anggaran untuk pendidikan tinggi dalam ranah penelitian. Perguruan tinggi juga memiliki otonomi untuk melakukan kerjasama dan kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan usaha dan industri. Tentunya dari hasil kerjasama dan kemitraan tersebut, perguruan tinggi mendapatkan dana untuk melakukan penelitian dan menjual hasil penelitiannya kepada dunia usaha/industri.

(19)

pendidik menunjukkan kondisi pendidikan di Indonesia.

Masalah perluasan kesempatan merupakan dampak nyata dalam memberikan tempat pada demokratis pendidikan (pendidikan untuk semua) sebagai pendidikan nasional yang selalu dihadapkan pada masalah kualitas dan kuantitas. Masalah kualitas terdesak oleh masalah kuantitas terlebih pada permasalahan ekonomi dimana daya dukung ekonomi peserta didik semakin lemah akibatnya banyak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan kejenjang pendidikan lebih tinggi.

Dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan merupakan upaya pengurangan tanggung jawab pemerintah untuk mengembangkan pendidikan khususnya dalam pendidikan tinggi. Lihat saja dalam pernyataan Rektor Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa sesudah Universitas Indonesia menjadi Badan Hukum Milik Negara sejak tahun 2000, kucuran dana APBN hanya dapat memenuhi kebutuhan 1/5 dari total yang diperlukan, sedangkan negara lain memberikan 80-90 persen dari total kebutuhan9

Untuk menyeimbangkan neraca keuangan maka salah satu jalan yang ditempuh dengan membuka jalur penerimaan mahasiswa reguler mandiri. Peserta didik dengan tingkat ekonomi menengah keatas akan membantu menopang biaya keuangan universitas karena pada umumnya biaya kuliah reguler mandiri lebih besar daripada mahasiswa dengan status reguler.

. Implikasi pelaksanaan UU Badan Hukum Pendidikan tersebut memberatkan mahasiswa dengan tingkat perekonomian rendah.

Sementara itu realisasi anggaran pendidikan yang diamanatkan dalam UUD 1945 minimal 20% dari APBN-APBD hanya menjadi sebuah janji dan wacana semata. Pemerintah sendiri menyatakan alokasi anggaran pendidikan nasional mencapai 20,2% ternyata bukan sepenuhnya untuk pendidikan riil, akan tetapi dalam pendistribusiannya angka tersebut termasuk alokasi untuk gaji guru dan dosen dan belum dibagi dalam anggaran pendidikan kedinasan dan lembaga lainnya.

Penulis mengambil benang merah bahwa dari total anggaran pendidikan sebesar 20,2% bukanlah sepenuhnya untuk pendidikan, akan tetapi telah dibagi kedalam beberapa lembaga dan kementerian. Padahal lembaga dan kementerian tersebut seharusnya memiliki anggaran sendiri diluar dari anggaran pendidikan. Pendanaan pendidikan nasional tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (4) yang berbunyi:

(20)

“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 ini adalah sepenuhnya perjuangan rakyat untuk terselenggaranya pendidikan yang ilmiah dan demokratis. Karena itu setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan bahkan setiap warga wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Pendidikan merupakan aspek fundamental untuk mewujutkan masyarakat yang adil dan makmur. Jika aspek fundamental tersebut keropos, tidak mungkin dibangun suatu bangunan bangsa dan masyarakat yang kokoh diatasnya. Pendidikan merupakan tuntutan konstitusi. Pasal 31 UUD mewajibkan kepada negara untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan dan pengajaran sehingga pendidikan itu menjadi hak dari setiap warga negara. Hak memperoleh pendidikan yang semakin baik untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penulis mengangkat penelitian dengan judul Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia (Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No 12. Tahun 2012) sebagai suatu bentuk analisis kebijakan publik yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Selain itu, penulis juga sependapat dengan Schultz, Becker, Amartya Sen, dan John Dewney dalam bukunya Democracy and Education 1985 yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah meneruskan cita-cita demokrasi. Melalui pendidikan yang ilmiah dan demokratis maka akan mendukung terciptanya sistem demokrasi yang baik sehingga akan terbentuk negara yang adil dan makmur.

1.2Rumusan Masalah

Pendidikan tinggi merupakan salah satu jenjang dalam penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan untuk membangun taraf kebudayaan rakyat baik dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi yang melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentunya dapat dimanfaatkan oleh rakyat untuk mendayagunakan segala macam potensi alam yang ada disekitarnya baik untuk pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, perindustrian dan pertambangan. Selain itu, kemajuan tersebut juga dapat dipergunakan untuk pengembangan telekomunkasi dan transportasi yang bisa dimanfaatkan rakyat dalam kehidupan sehari-hari.

(21)

ditanggung oleh masyarakat, tidak ilmiah dan demokratisnya sistem pendidikan yang dijalankan menunjukkan permasalahan utama sistem pendidikan nasional. Sampai saat ini angka putus sekolah dan kuliah, angka anak usia sekolah yang tidak sekolah, angka buta aksara dan angka pengangguran terus meningkat. Kenyataan akan rendahnya anggaran dan mahalnya biaya pendidikan yang tidak sebanding dengan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia, ditambah lagi dengan tidak adanya jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi serta masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik menunjukkan kondisi pendidikan di Indonesia.

Dengan melihat persoalan-persoalan yang timbul setelah dikeluarkannya berbagai kebijakan dalam pendidikan tinggi, penulis menetapkan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana proses terbentuknya Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012?

2. Bagaimana analisis kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 terhadap pendidikan tinggi di Indonesia?

1.3Pembatasan Masalah

Hal yang dibatasi dalam penulisan penelitian ini adalah analisis kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dengan fokus kajian pada analisis kebijakan pendidikan pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 secara khusus pada:

1. Pasal 64

(1) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.

(3) Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. organisasi;

(22)

2. Pasal 65

(1) Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.

(2) PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:

a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;

c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;

e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;

f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program

Studi.

(4) Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat. (5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Penerimaan Mahasiswa Baru Pasal 73

(1) Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional dan bentuk lain.

(2) Pemerintah menanggung biaya calon mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru secara nasional.

(23)

(4) Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum Mahasiswa dalam setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.

(5) Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.

(6) Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap Program Studi diatur oleh PTS masing-masing atau dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional diatur dalam Peraturan Menteri.

4. Pasal 74

(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.

(2) Program Studi yang menerima calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.

5. Pasal 85

(1) Perguruan Tinggi dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi melalui kerja sama pelaksanaan Tridharma.

(2) Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya Pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

6. Pasal 86

(24)

(2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota Masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Oleh Lembaga Negara Lain Pasal 90 ayat (1)

(1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.

(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

a. memperoleh izin Pemerintah; b. berprinsip nirlaba;

c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan d. mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia. (5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib mendukung kepentingan nasional.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.

1.4Tujuan Penelitian

(25)

tinggi di Indonesia? Sehingga dapat dianalisis lebih lanjut apakah kebijakan tersebut tepat diimplementasikan dalam sistem pendidikan di Indonesia.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Bagi penulis, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir serta kemampuan menulis karya ilmiah yang baik sesuai dengan kaedah ilmiah yang berlaku, serta dapat menyelesaikan pendidikan Strata Satu di Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bagi Akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian ilmu politik dibidang analisis kebijakan yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan di Indonesia sehingga dapat menjadi rujukan penelitian berikutnya.

1.6Kerangka Teori

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, definisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistemati dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.10 Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. Peneliti akan menggunakan teori yang berkaitan dengan analisis kebijakan dan teori pendidikan yang kemudian digunakan sebagai instrumen analisis.

1.6.1 Pengertian Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik dibidang pendidikan. Kebijakan pendidikan adalah kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara-negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapat prioritas utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan. Olsen mengatakan bahwa:

(26)

“... education policy in the twenty-first century is the key to global security, sustainability and survival...education policies are central to such global mission...a deep and robust democracy at national level requires strong civil society based on norms of trust and active response citizenship and the education is central to such a goal. Thus, the strong education state is necessary to sustain democracy at the national level so that strong democractic nation-state can buttress forms od international govermence and ensure that globalization becomes a force for global sustainability and survival...”11

Dengan demikian, kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebijakan publik. Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa dibidang pendidikan, salah satu bagian dari tujuan pembangunan negara bangsa secara keseluruhan. Kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik atau kebijakan pembangunan, sebagaimana digambarkan sebagai berikut:12

Diagram 2

Kebijakan sebagai Turunan Ideologi/Politik

Kebijakan publik adalah semua perundang-undangan atau keputusan-keputusan yang bersifat mengikat kepada semua warga masyarakat atau negara. Suatu keputusan dikatakan mengikat apabila anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka harus

11 Mark Olsen, Jhon Codd dkk. 2000.

Education Policy: Globalization, Citizenship and Democracy. hal. 1-2.

(27)

menaati kewanangan yang ada.13

Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara khususnya pemerintah sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantarkan masyarakat pada awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.

Ramlan Surbakti mengatakan secara implisit bahwa kebijakan publik dengan keputusan politik dihasilkan melalui proses politik.

14

Kebijakan merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengacu pengelolaan, pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yaitu rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi dan kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.15

1.6.2 Model Analisis Kebijakan Publik

Analisis kebijakan publik merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode kebijakan publik dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

Model analisis kebijakan publik merupakan representasi teori yang disederhanakan tentang dunia nyata. Ia lebih merujuk pada sebuah konsep atau bagan untuk menyederhanakan realitas. Berbeda dengan teori yang dibuktikan melalui pengujian empiris, model didasarkan pada isomorphism, yaitu kesamaan-kesamaan antara kenyataan dengan kenyataan yang lainnya. Model analisis tersebut digunakan sebagai pedoman yang sangat bermanfaat dalam penelitian, terutama penelitian yang mengkaji tentang penggalian atau penemuan-penemuan baru. Model analisis akan digunakan menjadi pedoman untuk menemukan dan mengusulkan hubungan antara konsep-konsep yang digunakan untuk mengamati gejala sosial. Dalam ilmu, model merupakan representasi dari sebuah realitas.

Menurut William Dunn, proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan

13 Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. hal 17. 14 Riant Nugroho. 2008.

Public Policy. Jakarta: Alex Media Komputindo. hal 55.

(28)

sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yaitu:

1. Penyusunan agenda 2. Formulasi kebijakan 3. Adopsi kebijakan 4. Implementasi kebijakan 5. Penilaian kebijakan16

Thomas Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai landasan peneliti dalam menganalisis kebijakan publik. Pertama, model harus dapat mengkalasifikasikan variabel-variabel yang ada sehingga lebih sederhana untuk diteliti. Kedua, model harus dapat mengidentifikasikan aspek-aspek yang penting dalam kebijakan

publik. Ketiga, model harus kongruen dengan realitas yang diteliti. Keempat, model harus dapat mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang kita mengerti. Kelima, model harus mampu mengarahkan menyelidikan dan penelitian kebijakan publik.

Keenam¸ model harus dapat menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik.

Diagram 3

Kerangka Analisis Kebijakan Publik

Berdasarkan bagan/kerangka pemikiran dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti adalah:

1. Public Policy

(29)

Merupakan rangkaian pilihan yang harus saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintahan, diformulasikan dalam bidang-bidang isu seperti pertahanan,energi, kesehatan dan pendidikan.

2. Policy Stakeholder

Para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Pelaku kebijakan misalnya kelompok warga negara, perserikatan birokrasi, partai politik, agen-agen pemerintah, pimpinan terpilih dan para analis kebijakan.

3. Policy Enviroment

Konteks khusus dimana kejadian-kejadian disekeliling isu kebijakan terjadi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik oleh karena itu sistem kebijakan berisi proses yang bersifat dialektis yang berarti bahwa dimensi objektif dan subjektif dari pembuat kebijakan tidak dapat terpisahkan di dalam prakteknya. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Sistem kebijakan adalah realitas objektif yang dimanifestasikan dalam tindakan-tindakan yang teramati berikut konsekuensinya.17

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang dikaji. Oleh karena itu, untuk mengkaji kebijakan publik dilakukan dengan cara membagi proses-proses penyusunan kebijakan kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian itu adalah untuk memudahkan peneliti dalam mengkaji kebijakan publik.18

1. Tahap Penyusunan Agenda

Tahap-tahap kebijakan publik adalah:

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya, masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan.

2. Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang masuk ke agenda kebijakan dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah ini didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah

17 Thomas R Dye. 1981.

Understanding Public Policy, 3th (Englewood Cliffs, NJ); Prentice Hall.

(30)

terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Pada tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif saling bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan bermain untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

3. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang diambil sebagai alternatif dari pemecahan masalah harus diimplementasikan oleh badan-badan administrasi atau agen-agen pemerintah tingkat bawah. Kebijakan yang diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing.

5. Tahap Penilaian Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai dan dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang manjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

Secara teoritis, analisis kebijakan pendidikan dirancang dan dirumuskan untuk selanjutnya dapat diimplementasikan. Kebijakan pendidikan yang dirumuskan secara hati-hati yang menyangkut persoalan krusial atau persoalan makro dilandasi oleh suatu teori tertentu. Dalam hal perumusannya, pada pemegang wewenang dalam pengambilan keputusan terlebih dahulu mempertimbangkan secara matang rasionalitas, proses, hasil, serta efek samping yang ada.

(31)

pandanng (perspective), sikap (attitude), dan perilaku (behavior) yang tersembunyi maupun yang nyata dari aktor-aktor yang bertanggungjawab.19

1.6.3 Pendidikan Tinggi

Secara filosofis pendidikan bertujuan untuk mendorong kebebasan pemikiran terhadap apa yang disebut sebagai kebenaran, berdimensi moral dan mendorong seseorang menemukan jati diri kemanusiaannya. Secara sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.20

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang merupakan program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas yang berkewajiban menyelanggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dan dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan vokasi.

Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dinyatakan berhak menyelengarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan. Gelar akademik, profesi atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya digunakan oleh lulusan akademik, provesi dan vokasi, dan bagi yang memiliki program gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan

jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan atau seni.

Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta

19 Abdul Wahab. 2007. Analisis Keebijakan:dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

hal.45.

(32)

otonomi keilmuan, serta memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah dan pengabdian kepada masyarakat.

Didalam masyarakat industri modern, pendidikan tinggi akan semakin otonom dalam arti mempunyai program pendidikan yang fleksibel sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Otonomi tersebut dapat berupa program akademik, perekrutan tenaga dosen dari masyarakat dan dunia industri maupun dari dunia internasional. Peranan pendidikan tinggi sebagai pusat penelitian dalam masyarakat industri modern memang sangat relevan karena spesifikasinya serta dengan dukungan penuh industri serta pusat-pusat penelitian lain.

1.6.4 Efektifitas Kinerja Sistem Pendidikan

Pendidikan merupakan sarana paling strategis untuk meningkatkan kualitas manusia. Artinya, melalui pendidikan, kualitas manusia dapat ditingkatkan. Dengan kualitas yang meningkat, produktivitas individual manusia akan meningkat pula. Selanjutnya, jika secara individual produktivitas manusia meningkat maka secara komunal produktivitas bangsa akan meningkat. Bahwa untuk meningkatkan produktivitas bangsa, diperlukan dana besar memang demikian hukum ekonominya.

Pembiayaan pendidikan suatu negara terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja pendidikan nasional dinegara bersangkutan. Hal ini berarti semakin tinggi pembiayaan pendidikan di suatu negara semakin baik kinerja pendidikan nasionalnya. Sebaliknya semakin rendah pembiayaan pendidikan suatu bangsa semakin rendah pula kinerja pendidikan nasionalnya.21

Alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan suatu negara amat menentukan kinerja pendidikan nasional yang bersangkutan. Kinerja pendidikan nasional inilah yang secara langsung maupun tidak langsung membawa kemajuan bagi bangsa dan negara bersangkutan. Ini berarti, pembiayaan pendidikan secara tidak langsung amat menentukan kemajuan bangsa dan negara.22

1.6.5 Teori Analisis Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31

21

Tonny D Widiastono. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. hal. 419. 22

(33)

Bunyi Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 adalah penegasan tentang kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan. Kata “hak” merupakan penegasan tentang kebutuhan dasar (basic need).23

Bunyi pada Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 merupakan penjelasan mengenai hak warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dan penegasan bagi Pemerintah untuk membiayainya. Ayat ini bukan berarti menghilangkan beban pembiayaan pemerintah pada pendidikan ditingkat lainnya, sebab ayat ini hanya menjelaskan wajib belajar dibiayai oleh pemerintah. Jika kembali pada bunyi pasal sebelum perubahan UUD 1945, justru ayat (2) bentuk penegasan bagi pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan di Indonesia. Penegasan ini sebagai bentuk menjelaskan bunyi Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 agar setiap warga negara mendapatkan pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi.

Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan dasar ini, negara melalui pemerintahlah yang harus memenuhi segala hal yang dibutuhkan oleh warga negaranya.

24

Pasal 31 ayat (3) menjadi pasal penegas bahwa Pemerintah juga harus membiayai dan memberikan perhatian pada pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Ayat (3) ini adalah ayat yang diambil dari ayat (2) sebelum UUD 1945 di amandemen. Artinya, kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan tetap harus dipenuhi oleh pemerintah dengan merumuskannya dalam sebuah Undang-Undang. Adanya kata "mengusahakan" yang artinya mencarikan daya upaya dengan segala kekuatan tenaga, pikiran untuk mencapai sebuah tujuan dan kata "menyelenggarakan" berarti "mengurus" dan "mengusahakan sesuatu". Jadi pada ayat (3), daya upaya dan usaha terus menerus bukan berarti pendidikan semata-mata hanya pendidikan dasar, tetapi daya upaya dan usaha juga harus pada jenjang pendidikan Iainnya sebagaimana terwakili dalam kata-kata "..sistem pendidikan nasional.., " artinya ada proses atau jenjang dalam dunia pendidikan di Indonesia.25

23

Jimly Asshiddique. 2009. Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika. hal. 135.

Bahwa Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bentuk tanggung jawab negara melalui Pemerintah untuk memenuhi perintah dalam Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Keinginan dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa salah satunya terurai dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dimana keinginan negara untuk menjadi sumber dana bagi penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kata ”memprioritaskan anggaran” berarti dalam pembahasan APBN yang harus dibahas terlebih dahulu adalah kebutuhan anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang

24

Ibid., hal. 135.

25

(34)

dinyatakan paling sedikit atau dalam UUD disebutkan "sekurang-kurangnya" dua puluh persen dari APBN dan APBD. 26

Kepentingan ini berkaitan dengan pemajuan peradaban manusia dan kesejahteraan umat manusia. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui suatu sistem pendidikan, maka telah diyakini peradaban manusia akan jauh lebih maju dan kesejahteraan setiap warga negara pun akan terjamin. Kata ”memajukan” berarti Pemerintah melakukan tindakan aktif untuk meningkatkan pendidikan lebih dari sebelumnya. Bahwa berdasarkan uraian dalam Pasal 31 UUD 1945, maka sudahlah tepat adanya peran Pemerintah untuk aktif memberikan jaminan kebutuhan dasar pendidikan kepada setiap warga negaranya. Kebutuhan dasar pendidikan tidak hanya sebatas pendidikan dasar tetapi meliputi pula pendidikan menengah dan tinggi. Kebutuhan dasar yang juga didukung dengan anggaran pendidikan dan Pemerintah menjadi sumber dana pendidikan untuk membiayai sistem pendidikan nasional di Indonesia. Oleh karena sudah disadari pendidikan akan membawa kemajuan peradaban dan kesejahteraan, maka penerapannya harus dilaksanakan secara konsisten dalam ketentuan perundang-undangan di bawah UUD 1945. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa:

Bahwa untuk menyimpulkan seluruh ayat dalam Pasal 31 UUD 1945, pada ayat (5) adalah penegasan kepada Pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

1. UUD 1945 menempatkan norma pendidikan sebagai norma yang sangat tinggi. Pendidikan bahkan merupakan salah satu dari tujuan berdirinya negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya, eksistensi atau keberadaan negara Indonesia sesuai dengan tujuannya bergantung pada apakah negara ini mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. 2. Maksud dari mencerdaskan kehidupan bangsa tidak semata-mata memfasilitasi

tersedianya sarana pendidikan saja. Namun lebih dari itu, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negara Indonesia menjadi cerdas yang salah satunya ditandai dengan membuat suatu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga negara tanpa terkecuali. Akses ini dapat terbuka apabila sistem yang dibangun diarahkan untuk seluruh warga negara dengan mempertimbangkan bebagai keterbatasan yang dimiliki oleh warga negara.

26

(35)

3. UUD 1945 juga mengakui bahwa pendidikan adalah hak warga negara yang merupakan hak asasi manusia. Secara khusus UUD 1945 mengatur persoalan pendidikan ini dalam Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) serta Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.

1.7Metodologi Penelitian

Adapun definisi metode penelitian adalah sebagaimana ajaran mengenai cara-cara yang digunakan dalam memproses penelitian.27 Metodologi penelitian pada dasarnya merupakan cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan penelitian yang dilakukan. Tujuan umum dari penelitian adalah untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan.28 Pemecahan masalah adalah elemen kunci dalam metodologi analisis kebijakan. Sama pentingnya dengan metodologi, analisis kebijakan adalah untuk merumuskan masalah sebagai bagian dari pencarian solusi. Dengan didukung oleh penguasaan teori dan konseptualisasi terhadap metodologi penelitian, penulis memilih alternatif metode penelitian yang kemudian ditentukan secara spesifik yang paling sesuai untuk memecahkan masalah penelitian.

1.7.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Metode penelitian deskriptif analitis dilakukan dengan menganalisis data dan fakta sebagai suatu cara untuk memecahkan masalah yang diteliti dengan menerangkan keadaan sebuah objek penelitian berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya.29

Metode ini merupakan langkah-langkah melakukan representasi objek tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang diteliti. Ciri-ciri pokok penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif adalah:30

1. Memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah-masalah yang bersifat faktual.

27 Kartono Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: CV. Mandar Maju. hal 17.

28 Hadari Nawawi. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal.65. 29 Hadari Nawawi. 2006.

Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press. hal 63.

(36)

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpletasi yang memadai.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam suatu penelitian, disamping menggunakan metode juga harus memperhatikan teknik pengumpulan data untuk menghasilkan penelitian yang objektif. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpul data sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Penulis menggunakan data-data yang daianggap mendukung dan menjawab permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library search).31 Data yang digunakan berupa buku yang berkaitan dengan analisis kebijakan seperti Kaleidoskop Pendidikan Nasional, Manajemen

Pendidikan Nasional, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Spektrum Problema Pendidikan di

Indonesia, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi

Daerah dan implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, serta jurnal-jurnal

penelitian ataupun penelitian yang berkaitan tentang pendidikan tinggi di Indonesia ataupun sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.3 Teknik Analisa Data

Tahap selanjutnya dalam penelitian ini adalah menganalisis data yang diperoleh dari sumber-sumber yang digunakan dalam teknik pengumpulan data, adapun teknik analisis data yaitu dengan menggunakan teknik analisis kualitatif yang menekankan analisis pada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif dan deduktif serta analisis pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan metode ilmiah.32

31 Hadari Nawawi.

op.cit. hal.67.

Seluruh data yang telah diperoleh dieksplorasi menggunakan teori-teori yang memadai dan dipilih untuk memberi gambaran yang tepat terhadap kajian yang diteliti sehingga dapat menghasilkan sebuah kesimpulan yang menjadi penjelasan dalam permasalahan yang diteliti.

(37)

Setelah data-data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Teknik analisis desktriptif kemudian untuk memberikan gambaran mengenai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berupa UU Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012 kemudian dianalisis berdasarkan variabel-variabel yang ada. Data-data yang terkumpul tersebut dianalisis secara mendalam dan selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

1.8 Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan terperinci, serta mempermudah isi dari skripsi ini, maka penulis membagi penulisan skripsi ini dalam empat bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II :PROSES TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI NO 12 TAHUN 2012

Bab ini berfokus pada deskripsi proses terbentuknya undang-undang pendidikan tinggi serta keadaan pendidikan tinggi di Indonesia dalam berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan. Penulis juga menguraikan fakta-fakta umum pendidikan tinggi di Indonesia untuk memperkuat analisis kebijakan pendidikan tinggi.

BAB III :ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI

Bab ini akan menganalisis kebijakan pendidikan tinggi yang terkandung dalam Undang-Undang no 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta mengelaborasi undang-undang tersebut dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga ditemukan pokok permasalahan kebijakan pendidikan tersebut.

BAB IV : PENUTUP

(38)

BAB 2

PROSES TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI NO 12 TAHUN 2012

Makna dan tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan, membudayakan dan memanusiakan manusia termasuk didalamnya proses sosialisasi nilai-nilai dan kultural yang diharapkan dapat membantu manusia menjadi manusia (on the process of becoming human). Pendidikan adalah suatu proses mendidik seseorang manusia menjadi manusia

yang dapat menghargai martabat setiap manusia baik perempuan maupun laki-laki. Implikasinya adalah seorang manusia terdidik akan berusaha untuk memperluas cakrawala wawasannya, memperdalam pengetahuannya untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.33

Pendidikan di Indonesia akan berhasil jika setiap proses dan pelaksanaan sistem pendidikannya dilaksanakan sesuai dengan cita-cita Undang-Undang Dasar 1945. Terutama dalam menangani permasalahan alokasi pembiayaan pendidikan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Diperlukan komitmen dalam merealisasikan 20% APBN dan APBD untuk pendidikan serta inovasi yang brilian untuk mengelola dana pendidikan agar dapat bermanfaat untuk pembiayaan sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan menjadi fokus utama untuk kemajuan suatu bangsa. Jika pendidikan suatu bangsa baik maka kemajuan bangsa tersebut akan baik.

Jika melihat negara-negara maju yang mengalokasikan dana pendidikan secara memadai seperti Swedia (8.3 %), Swiss (7.3%), Kanada (7,0%), Australia (5.6%), Inggris (5.4%) terbukti kinerja pendidikan nasionalnya memadai. Sekolah-sekolah dinegara tersebut, apalagi perguruan tinggi banyak diminati siswa dan mahasiswa dari manca negara. 34 Apabila negara-negara maju rata-rata sudah mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar 5.1 % dari GNP maka angka untuk negara-negara berkembang hanya 3.8%. Rendahnya GNP pada negara-negara berkembang masih harus didistribusikan dalam banyak prioritas. Banyaknya prioritas pembangunan sudah menjadi ciri khusus negara-negara berkembang. Alhasil, dana yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan menjadi problem utama karena alokasinya sangat terbatas.35

33 Mochtar Buchori. Spektrum Problema Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Tiarawacana. hal. 33.

34

Tonny D Widiastono. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. hal. 421. 35

(39)

Jika diukur dari GNP, pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Indonesia hanya mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 % dari GNP. Dalam mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan Indoneisa termasuk negara yang pelit. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Swedia, Kanada dan Australia yang mengalokasikan dana pendidikan relatif sangat tinggi dari GNP-nya, dibanding negara-negara tetangga saja kita tidak mampu menandinginya. Malaysia mengalokasikan dana pendidikan sebesar (5,2%) dan Thailand sebesar (4,1%).36

Pada bab ini, penulis akan memaparkan proses terbentuknya undang-undang pendidikan tinggi serta alokasi anggaran pendidikan di Indonesia sebagai upaya menganalisis permasalahan-permasalahan pendidikan sehingga kemudian memudahkan analisis kebijakan khususnya Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012.

2.1Transformasi Kebijakan Pendidikan pada Masa Orde Baru Menuju Reformasi

Berselimutkan otonomi pendidikan tinggi, pemerintah memberi kesempatan leluasa kepada beberapa pendidikan tinggi untuk mengatur dan mencari dana sendiri didalam penyelenggaraan pendidikannya. Hal itu disebabkan karena pemerintah kekurangan dana untuk pendidikan sehingga memberikan kesempatan kepada universitas-universitas yang telah maju untuk mencari dana tambahan selain dana yang diberikan oleh pemerintah.37

Badan Hukum Milik Negara (BHMN) adalah salah satu bentuk badan hukum di Indonesia yang awalnya dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan khusus dalam rangka “privatisasi”

Kita mengetahui betapa konsekuensi dari kebijakan tersebut antara lain ialah naiknya SPP dan masuknya universitas-universitas dalam dunia bisnis. Dengan demikian ilmu pengetahuan telah menjadi komoditas. Hal itu memang dapat dimaklumi, tetapi pengaruh selanjutnya adalah akses untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut terbatas bagi masyarakat yang mampu. Universitas-universitas BHMN secara tidak sadar menjadi universitas elit yang hanya dapat dimasuki oleh golongan atas.

38

36

Ibid., hal. 427.

lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat non-profit meski berstatus badan usaha.

37 H.A.R Tilaar. 2012. Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas. hal 266.

38 Privatisasi dalam literatur ekonomi, artinya adalah pengalihan kepemilikan pemerintah atas suatu perusahaan kepada

Gambar

Tabel 1
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian diperlukan adanya perubahan terhadap undang- undang kearsipan yang mengatur mengenai kedudukan lembaga kearsipan perguruan tinggi serta aturan

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 ini pemerintah membuka kemungkinan secara selektif kepada perguruan tinggi negeri yang dinilai sudah memiliki kemampuan

Biaya Tugas Belajar yang bersumber dari anggaran KESDM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a untuk Pendidikan Tinggi Doktor dan sandwich-like program

Semangat itu merupakan bagian penting yang menjiwai lahirnya UU Pendidikan Tinggi, yakni mengatur agar tidak terjadi komersialisasi pendidikan tinggi, menjamin hak akses

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 174/P/2012 tentang Anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Badan Akreditasi Nasional

Sekretariat Ditjen Dikti Badan Standar Nasional Pendidikan Tinggi Perguruan Tinggi Negeri/Swasta Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi M Peraturan Perundang- undangan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2012 tentang Badan Akreditasi

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaal Republik Indonesia Nomor l74lPl20l2 tentang Anggota Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Badan Akreditasi Nasional