• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pemerintah Daerah Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove Pasca Tsunami Di Kecamatan Baitussalam Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Pemerintah Daerah Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove Pasca Tsunami Di Kecamatan Baitussalam Tahun 2008"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN

MANGROVE PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN

BAITUSSALAM TAHUN 2008

TESIS

Oleh

BAHAGIA

067004005/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA N

(2)

PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN

MANGROVE PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN

BAITUSSALAM TAHUN 2008

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

BAHAGIA

067004005/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN MANGROVE PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN BAITUSSALAM TAHUN 2008

Nama Mahasiswa : Bahagia

Nomor Pokok : 067004005

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc) Ketua

(Dr. Delvian, SP, M.Si) Anggota

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B. M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 14 Oktober 2009

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc

Anggota : 1. Dr. Delvian, SP, M.Si

2. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si

3. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc

(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui peran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove pascatsunami di Kecamatan Baitussalam. Penelitian dilakukan melalui perangkat kuisioner dan observasi lapangan.

Diperoleh data masyarakat pada Kecamatan Baitusalam, bahwa peranan pemerintah pada program rehabilitasi hutan mangrove sebagai upaya penanggulangan bencana alam gempa dan tsunami yang lebih besar didukung oleh lembaga donor yang mengalokasikan dana di wilayah penelitian. Partisipasi masyarakat pada Kecamatan Baitussalam dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami sangat tinggi dengan adanya trauma mendalam pada bencana alam gempa dan tsunami yang menimpa wilayah penelitian.

Dari perhitungan analisis regresi, adanya hubungan sosial ekonomi dan pemahaman terhadap partisipasi masyarakat yang signifikan. Perolehan nilai R2 sebesar 0.34, artinya korelasi kedua variabel (sosio ekonomi dan pemahaman) memiliki korelasi yang rendah terhadap besarnya partisipasi masyarakat. Hal ini mengisyaratkan bahwa besarnya tingkat partisipasi masyarakat untuk program rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam disebabkan oleh kebutuhan yang mendasar terhadap penanggulangan kerusakan hutan mangrove akibat bencana alam gempa dan tsunami.

(6)

ABSTRACT

This research is intented to know the region of government act and the participation of society in rehabilitation mangrove forest pasca tsunami at Baitussalam Subdistrict. Research is done by set of quistioner and field of observation.

Society data is gotten at Baitusalam Subdistrict the government act at the rehabilitation mangrove forest program as prevention effort of earthquake disaster and tsunami is more carried on by the donor institute which allocates the fund in research area. The society participation at Baitussalam Subdistrict in doing the activity of rehabilitation mangrove forest pasca tsunami is high with deeply traumatic at the earthquake disaster and tsunami with befell in research area.

From the analisis regression has relationship social economic and understanding to society participation which significant. The value gotten R2 = 0.34, its means the second correlation variable (sosio economy and understanding) have a low correlation to the big of society participation. In the case to sign the higher level of society participation is caused the need of basic as the prevention effort of earthquake and tsunami.

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan ucapan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya yang telah dilimpahkan kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis di Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar sebagai wilayah pesisir yang telah dilaksanakannya program rehabilitasi hutan mangrove.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Ketua Program S2 PSL yang membimbing dan memberikan motivasi selama penulis menyelesaikan perkuliahan.

2. Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penulisan dan penyempurnaan tesis.

3. Dr. Delvian, SP, M.Si, selaku Pembimbing Kedua yang membimbing penulis dalam penyempurnaan tesis.

4. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Pembimbing Ketiga yang membimbing penulis dalam penyempurnaan tesis dan selalu memberikan motivasi untuk penyelesaian perkuliahan.

(8)

6. Prof. Dr. Ramli, MS, selaku Dosen Penguji yang memberikan masukan kepada penulis untuk penyempurnaan tesis.

7. Orangtuaku Alm. Idris dan Ibunda Almh. Maimunnah yang telah membimbing dan membesarkan penulis.

8. Mertuaku Alm. Abdurrahman dan Almh Halimah yang telah memberikan do’a yang tulus kepada penulis.

9. Istriku tercinta Nurfaridah, SP serta ananda tersayang Arinal Rifki, Arissa Sabilla, Arreza Giffari dan Adinda Sabrina yang dengan sabar memberi dorongan dan doa yang dipanjatkan kehadirat Allah SWT serta mendampingi selama pendidikan demi keberhasilan penulis.

10.Kakanda Darma, Rohanna, Amir S. Sos, Jamilah, Lukman, SE serta ipar dan keponakan-keponakan yang telah mendorong dan mendoakan penulis dalam penyelesaian studi.

11.Drh. Asnawi M. Yusuf, sebagai Ketua STPP NAD yang telah memberi kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana USU. 12.Kepala Dinas Kehutanan Tk. II Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

13.Camat Baitussalam Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 14.Kepala Desa se Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar, Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

(9)

16.Rekan-rekan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan angkatan 2006.

Medan, Oktober 2009

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

BAHAGIA, lahir di Juli Bireun, pada tanggal 8 Januari 1966 anak ke 6 (enam) dari 6 (enam) bersaudara, putra dari Alm Idris dan Almh Maimunnah. Pada tahun 1996 Penulis menikah dengan Nurfaridah, SP dan dikaruniai 4 (empat) orang anak yaitu 2 orang putra dan 2 orang putri yang bernama Arinal Rifki, Arissa Sabilla, Arreza Giffari dan Adinda Sabrina, saat ini bertempat tinggal di Kompleks STPP Aceh Jl. Banda Aceh – Medan KM &70 Saree Aceh Besar.

(11)

DAFTAR ISI

2.2. Pengertian Partisipasi Masyarakat ... 13

2.2.1. Pentingnya Partisipasi ... 16

2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi ... 17

2.3. Hutan Mangrove ... 19

2.3.1. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Mangrove ... 22

2.3.2. Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 23

2.4. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Hutan Mangrove di Aceh ... 25

3.5. Definisi Operasionalisasi Variabel Penelitian ... 33

(12)

BAB IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN... 36

5.2.2. Peran Pemerintah dalam Pemetaan Lokasi Penanaman 53 5.2.3. Peran Pemerintah dalam Pendanaan ... 54

5.2.4. Peran Pemerintah dalam Penyuluhan ... 59

5.2.5. Peran Pemerintah dalam Kegiatan Monitoring, Control dan Evaluation ... 61

5.3. Karakteristik Responden Penelitian ... 64

5.3.1. Data Pribadi Responden ... 64

5.3.2. Sosio Ekonomi ... 66

5.3.3. Pemahaman Responden terhadap Rehabilitasi Hutan Mangrove ... ... 73

5.3.4. Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 79

5.5. Evaluasi Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Baitussalam ... 98

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 106

6.1. Kesimpulan ... 106

6.2. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Penelitian Terdahulu ... 6

2.1. Kecamatan-kecamatan yang Telah Dilakukan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kabupaten Aceh Besar ... 27

3.1. Jumlah Kepala Keluarga yang Diambil Menjadi Populasi ... 29

3.2. Jumlah Sampel Penelitian ... 31

3.3. Batasan Skor Muatan untuk Analisis Persentase ... 35

4.1. Luas Desa Dirinci Menurut Mukim di Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 36

4.2. Geografis Desa/Kelurahan dan Tinggi di Atas Permukaan Laut Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 37

4.3. Jumlah Penduduk dan Rata-Rata Penduduk Per Rumah Tangga Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 38

4.4. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Per Desa Berdasarkan Luas Wilayah Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 39

4.5. Perkembangan Penduduk Dirinci Menurut Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2004-2007 ... 40

4.6. Jenis Penggunaan Lahan ... 41

4.7. Jumlah Keluarga Menurut Status Pendidikan Kepala Keluarga Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 42

4.8. Jumlah Sarana Kesehatan di Masing-Masing Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007 ... 43

4.9. Rata-Rata Curah Hujan dan Hari Hujan Kecamatan Baitussalam ... 44

4.10. Rata-Rata Kecepatan Angin di Wilayah Pesisir Kecamatan Baitussalam ... 45

5.1. Lembaga Pendukung Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kecamatan Baitussalam ... 52

5.2. Distribusi Responden Menurut Umur ... 65

5.3. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin ... 66

5.4. Distribusi Responden Menurut Pendidikan ... 67

(14)

5.6. Distribusi Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga ... 69 5.7. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan ... 71 5.8. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendapatan ... 72 5.9. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Fungsi dan Manfaat

Hutan Mangrove ... 73 5.10. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Kerusakan

Ekosistem Hutan Mangrove ... 74 5.11. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Penyebab Terjadinya

Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove ... 75 5.12. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Kerusakan

Ekosistem Hutan Mangrove Sebelum Tsunami ... 76 5.13. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Program

Rehabilitasi Hutan Mangrove yang Dicanangkan Pemerintah ... 76 5.14. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Daerah

Pelaksanakan Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 77 5.15. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Pelaksanaan Survei

Lokasi ... 78 5.16. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Lembaga Non

Pemerintah yang Membantu Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove 79 5.17. Distribusi Responden Menurut Aktivitas yang Pernah Dilakukan

di Wilayah Penelitian ... 80 5.18. Distribusi Responden Menurut Dasar Kegiatan Dilakukan ... 80 5.19. Distribusi Responden Menurut Harapan pada Kondisi Pengelolaan

Kawasan Hutan Mangrove ... 82 5.20. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan

Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 83 5.21. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan dalam Penyusunan

Rancangan Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 84 5.22. Distribusi Responden Menurut Peranan Penyusunan Rancangan

Anggaran Biaya Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 85 5.23. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan Survey

Lokasi Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 86 5.24. Distribusi Responden Menurut Peranan Keterlibatan dalam

(15)

5.25. Distribusi Responden Menurut Peranan Pelepasan Kepemilikan

Lahan Menjadi Lokasi Penanaman Mangrove ... 88 5.26. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Memberikan

Dukungan terhadap LSM atau Lembaga Donor pada Kegiatan

Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 89 5.27. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan

Penyuluhan dan Sosialisasi Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi

Hutan Mangrove ... 90 5.28. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan Sosial dan

Gotong Royong Menunjang Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi

Hutan Mangrove ... 91 5.29. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Menanam Mangrove

atas Swadaya Sendiri ... 92 5.30. Distribusi Responden Menurut Peranan dalam Kegiatan

Monitoring, Control dan Evaluation pada Pelaksanaan Program

Rehabilitasi Hutan Mangrove ... 93 5.31. Distribusi Responden Menurut Pelaksanaan Musyawarah

Berdasarkan Hasil Kegiatan Monitoring, Control dan Evaluation .. 94 5.32. Distribusi Responden Menurut Peranan Kegiatan Pemeliharaan

Hutan Mangrove yang Direhabilitasi ... 96 5.33. Distribusi Responden Menurut Respon terhadap Pemeliharaan

Hutan Mangrove di Daerah yang Sudah Direhabilitasi ... 97 5.34. Ringkasan Hasil Perhitungan Korelasi Antarvariabel ... 103 5.35. Ringkasan Hasil Perhitungan Korelasi Analisis Regresi Prediksi

Partisipasi Masyarakat dari Sosial Ekonomi dan Pemahaman

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Wawancara untuk Pemerintah Daerah ... 115

2. Kuisioner untuk Masyarakat ... 117

3. Rekapitulasi Hasil Angket Penelitian ... 124

4. Peta Lokasi Penelitian ... 128

5. Foto Lokasi Penelitian ... 130

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan mangrove juga dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Anonimous, 2005).

Luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan. Sementara itu, berdasarkan kondisi diperkirakan bahwa 1,7 juta ha (44.73 %) hutan mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87.50 %) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak (Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2002).

(19)

eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perikanan yang memberikan kontribusi terbesar bagi kerusakan hutan mangrove dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.

Menurut Kusmana (1994), ada tiga faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu: (1) Pencemaran, yang meliputi pencemaran minyak dan pencemaran logam berat, (2) Konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan, meliputi: budidaya perikanan, pertanian, jalan raya, industri serta jalur dan pembangkit listrik, produksi garam, perkotaan, pertambangan dan penggalian pasir, (3) Penebangan yang berlebihan.

(20)

Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, gelombang Tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004 dengan ketinggian rata-rata 10 s/d 15 meter telah menghancurkan hutan mangrove dalam hitungan detik. Kerusakan hutan mangrove karena hantaman gelombang Tsunami terjadi hampir di seluruh pesisir barat dan sebagian pesisir timur Aceh (Wibisono, et al, 2006).

Berdasarkan kondisi hutan mangrove tersebut, perlu dilaksanakan suatu upaya rehabilitasi hutan mangrove oleh Pemerintah Daerah yang didukung dengan partisipasi masyarakat. Keberhasilan maupun kegagalan dalam rehabilitasi hutan mangrove tidak terlepas dari peran Pemerintah khususnya di daerah melalui instansi yang berwenang, lebih dominan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove.

(21)

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam sudah pernah dilaksanakan pada tahun 2005 setelah terjadi musibah Tsunami, banyak lembaga Pemerintah dan lembaga swasta (NGO/LSM) yang melaksanakan kegiatan tersebut. Salah satunya dilaksanakan di Kecamatan Baitussalam dengan luas 100 ha, kegiatan yang dilakukan berupa penanaman dan pengayaan di dalam kawasan pesisir dengan anakan bakau (Rhizophora spp.) setelah penanaman, dilanjutkan dengan tahap pemeliharaan. Demi keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove tersebut, maka peran Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat sangat diharapkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan analisis terhadap peran Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove di sepanjang pesisir Kecamatan Baitussalam yang kondisinya rusak parah akibat hantaman gelombang Tsunami. Sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu pedoman bagi Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam upaya mewujudkan tema Moratorium Logging di Aceh yaitu “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

(22)

2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Kecamatan Baitussalam?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui peran Pemerintah Daerah dalam rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Kecamatan Baitussalam.

2. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Kecamatan Baitussalam.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Umum

Sebagai bahan masukan dan bahan kajian dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang rehabilitasi hutan mangrove.

1.4.2. Manfaat Khusus

i. Sebagai bahan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah, dan instansi terkait dalam mengambil kebijakan rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam khususnya dan Indonesia pada umumnya.

(23)

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul “Peran Pemerintah Daerah dan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove Pasca tsunami di Kecamatan

Baitussalam Tahun 2008” belum pernah diteliti sehingga peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai perbandingan, peneliti mengutarakan beberapa penelitian yang berhubungan dengan peran Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove, terdapat pada Tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu

No Nama, Tahun, Judul Penelitian

Tujuan & Metode Penelitian Hasil yang Diperoleh

1. Martha Amba, 1998,

(24)

No Nama, Tahun, Judul Penelitian

Tujuan & Metode Penelitian Hasil yang Diperoleh

2. Amrani S. Suhaeb, 4. Menganalisis fungsi dan

kewenangan dari setiap

1. Telah terjadi perubahan penggunaan lahan pada kawasan konservasi jalur hijau sebesar 83,8%. 2. Kegiatan pembukaan lahan

secara drastis diawali oleh

3. Tingkat peran serta

1. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pelaksanaan dan manfaat penghijauan termasuk dalam kategori tinggi.

(25)

No Nama, Tahun, Judul Penelitian

Tujuan & Metode Penelitian Hasil yang Diperoleh

masyarakat dalam

1. Peran Pemerintah dalam rehabilitasi hutan mangrove

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).

(26)

Hutan mangrove sering kali disebut dengan hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Bakau sebenarnya hanya salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu jenis Rhizophora spp. Dengan demikian, pemberian istilah hutan bakau dinilai kurang tepat. Oleh sebab itu, ditetapkanlah istilah hutan mangrove sebagai nama baku untuk mangrove forest (Dahuri, 2003).

Dilaksanakannya rehabilitasi hutan mangrove disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Degradasi hutan mangrove, 2. Gempa bumi,

3. Pencemaran,

4. Konversi hutan mangrove,

5. Penebangan yang berlebihan dan lain-lain.

Oleh karena itu, peran Pemerintah Daerah dan partisipasi masyarakat sangat diharapkan, dalam penelitian ini peran Pemerintah Daerah yang akan diteliti adalah:

1. Inventarisasi dan identifikasi lahan hutan mangrove, 2. Penyiapan dana rehabilitasi,

3. Melakukan penyuluhan.

4. Melakukan monitoring, controlling dan evaluating terhadap rehabilitasi hutan mangrove.

Sedangkan partisipasi masyarakat yang akan diteliti meliputi: 1. Mengizinkan lahannya untuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. 2. Partisipasi dalam penanaman, pengayaan dan pemeliharaan.

(27)

4. Membentuk kelompok tani dan nelayan yang peduli terhadap kelestarian hutan mangrove.

Kesemuanya diharapkan dapat mencapai tujuan yaitu terciptanya ekosistem hutan yang lestari. Kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1, berikut ini.

Gambar 1.1. Kerangka Berpikir

Partisipasi Masyarakat Peran Pemerintah Daerah

TSUNAMI

Kerusakan Hutan Mangrove

Rehabilitasi Hutan Mangrove

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peran Pemerintah Daerah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “peran” berarti seperangkat tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat, dan dalam kata jadinya (peranan) berarti tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa (Amba, 1998). Selanjutnya Amba (1998) Peranan adalah suatu konsep yang dipakai sosiologi untuk mengetahui pola tingkah laku yang teratur dan relatif bebas dari orang-orang tertentu yang kebetulan menduduki berbagai posisi dan menunjukkan tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan peranan yang dilakukannya.

Levinson dalam Soekanto (1981), menyatakan bahwa peranan mencakup paling sedikit 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Peranan adalah norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti menempatkan rangkaian peraturan yang mendukung seseorang dalam kehidupan masyarakat.

2. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

(29)

Menurut Glasbergen dalam Baiquni (2002), kebijakan pembangunan dan lingkungan sering kali terjadi kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dan hasil yang terjadi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa persoalan fisik (obyek) semata tetapi ada dimensi kepentingan (subyek) yang perlu diperhitungkan.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang disebut dengan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Peranan Pemerintah Daerah dalam mendukung suatu kebijakan pembangunan bersifat partisipatif adalah sangat penting. Ini karena Pemerintah Daerah adalah instansi pemerintah yang paling mengenal potensi daerah dan juga mengenal kebutuhan rakyat setempat (Soetrisno, 1995).

Dalam program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, Pemerintah lebih berperan sebagai mediator dan fasilisator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana diharapkan mampu mengambil inisiatif (Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2002).

(30)

Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa dana reboisasi digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU No. 33/2004), penggunaan dana reboisasi sebesar 40 % dialokasikan kepada daerah penghasil untuk kegiatan reboisasi penghijauan dan sebesar 60 % dikelola oleh Pemerintah Pusat untuk kegiatan reboisasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan (PP No. 104/2000), bahwa dana reboisasi sebesar 40 % dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi hutan dan lahan di daerah penghasil (Kabupaten/ Kota), termasuk rehabilitasi hutan mangrove.

2.2. Pengertian Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang melibatkan masyarakat. Canter dalam Arimbi (1993), mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses di mana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab. Secara sederhana didefinisikannya sebagai feed forward information (komunikasi dari Pemerintah kepada masyarakat tentang suatu

kebijakan) dan feed back information (komunikasi dari masyarakat ke Pemerintah atas kebijakan).

(31)

dikaitkan dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan kesejahteraan manusia.

Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering disebut partisipasi adalah sangat menentukan dalam rangka keberhasilan mencapai tujuan pembangunan termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. Hal ini senada dengan Tjokroamidjojo (1996), bahwa berhasilnya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat pada umumnya. Tidak saja dari pengambilan kebijakan tertinggi, para perencana, pegawai pelaksana operasional, tetapi juga dari petani-petani, nelayan, buruh, pedagang kecil, pengusaha, dan lain-lain, keterlibatan aktif ini disebut partisipasi.

Menurut Soetrisno (1995), partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Partisipasi rakyat dalam pembangunan adalah kerja sama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan dan membiayai pembangunan.

Cohen dan Uphoff dalam Sagrim (1997), menyatakan bahwa ada 9 (sembilan) tipe partisipasi yang dapat terjadi dalam pembangunan di daerah. Kesembilan tipe partisipasi itu adalah sebagai berikut:

a. Partisipasi tipe sukarela dengan inisiatif dari bawah.

b. Partisipasi dengan imbalan yang inisiatifnya datang dari bawah.

c. Partisipasi desakan atau paksaan (enforced) dengan inisiatif dari bawah. d. Partisipasi sukarela (volutered) dengan inisiatif dari atas.

(32)

f. Partisipasi paksaan dengan inisiatif dari atas.

g. Partisipasi sukarela dengan inisiatif bersama (through shared initiative). h. Partisipasi imbalan dengan inisiatif bersama, dan

i. Partisipasi paksaan dengan inisiatif bersama (dari atas dan dari bawah).

Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti adanya tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya pengendalian dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 23/1997 berbunyi: “setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup”. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:

i. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan. ii. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.

iii. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial.

iv. Memberikan saran dan pendapat, dan

(33)

Tjokroamidjojo (1996), mengemukakan 3 (tiga) bentuk partisipasi masyarakat, yaitu:

1. Partisipasi dalam perencanaan,

2. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan, dan 3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil.

2.2.1. Pentingnya Partisipasi

Partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam pembangunan, sehingga hampir semua negara mengakui adanya kebutuhan akan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep pembangunan dari bawah yang melibatkan peran serta masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi modus konsep pembangunan dari atas (top down) (Zulkarnain dan Dodo, 1989).

Partisipasi masyarakat memiliki arti yang penting dan strategis dalam perencanaan pembangunan. Menurut Soetrisno (1995), keterlibatan masyarakat menjadi penting, artinya dalam perencanaan pembangunan sebagai berikut:

1. Berupaya memadukan atau mengawinkan model top down dan bottom up agar program pembangunan tersebut dapat diterima sepenuh hati.

2. Memotivasi rakyat untuk menumbuhkan rasa meluhandarbeni terhadap hasil pembangunan. Kesadaran dalam berpartisipasi ini sangat penting artinya, terutama bila dikaitkan dengan perawatan atau pengelolaan hasil pembangunan.

(34)

pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Sentosa dalam Atmanto (1995), mengemukakan beberapa unsur penting dari partisipasi sebagai berikut:

1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif.

2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran.

3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan.

4. Enthousiasme atau spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain, dan

5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama. 2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan mempengaruhi besar kecilnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sastropoetro (1988), mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat:

(35)

2. Faktor lain adalah penginterpretasian yang dangkal terhadap agama.

3. Kecenderungan untuk menyalah artikan motivasi, tujuan dan kepentingan organisasi penduduk yang biasanya mengarah pada timbulnya persepsi yang salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk seperti halnya di beberapa negara.

4. Tersedianya kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan, dan

5. Tidak terdapatnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan.

Selain itu Tjokroamidjojo (1996), mengungkapkan faktor-faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam partisipasi masyarakat adalah:

a. Faktor kepemimpinan, dalam menggerakkan partisipasi sangat diperlukan adanya pimpinan dan kualitas.

b. Faktor komunikasi, gagasan-gagasan, ide, kebijaksanaan dan rencana-rencana baru akan mendapat dukungan bila diketahui dan dimengerti oleh masyarakat. c. Faktor pendidikan, dengan tingkat pendidikan yang memadai, individu/

masyarakat akan dapat memberikan partisipasi yang diharapkan.

Hubeis et al, (1990), mengatakan bahwa bentuk peran serta masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang masyarakat, mencakup karakteristik sosial ekonomi, dan lingkungan budaya di mana masyarakat bertempat tinggal. Semua ini erat pula kaitannya dengan tipe dan jenis proyek pembangunan yang akan diintroduksikan kepada masyarakat.

(36)

2.3. Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera,

Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2002).

(37)

disajikan pada Gambar 2.1, yaitu 1) hutan delta (over wash forest); 2) hutan tepi pantai (fringe forest); 3) hutan tepi sungai (riverin forest); 4) hutan daratan (basin forest); 5) hammock forest; dan 6) hutan semak (scrub forest). Namun

Soemodihardjo, et al, (1986) mengklasifikasikan hutan mangrove Indonesia menjadi 4 (empat) kelas, yaitu 1) delta, terbentuk di muara sungai yang berkisaran pasang surut rendah, 2) dataran lumpur, terletak di pinggiran pantai, 3) dataran pulau, berbentuk sebuah pulau kecil yang pada waktu surut rendah muncul di atas permukaan air, dan 4) dataran pantai, habitat mangrove yang merupakan jalur sempit memanjang sejajar garis pantai.

Sumber: Lugo dan Snedaker dalam Day et.al, 1989 dan Tomascik et.al. 1997 dalam Dahuri, 2003.

Gambar 2.1. Enam Tipe Komunitas Mangrove

(38)

1. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas:

a. Bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya: Avecennia spp, Xylocarpus, dan Sonerratia spp) untuk mengambil oksigen dari udara. b. Bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora

spp).

2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi:

a. Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. b. Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur

keseimbangan garam.

c. Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dengan cara

mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sediment.

(39)

Bengen (2002), menyatakan bahwa penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia:

1. Daerah yang paling dekat dengan laut dengan subtrak agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguziera spp.

3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguziera spp, dan

4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypafrutican, dan beberapa spesies palem lainnya.

2.3.1. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Mangrove

Gelombang tsunami setinggi 10-15 m dengan kecepatan lebih dari 40 km perjam yang menghantam pesisir Aceh telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah. Kerusakan paling parah melanda sepanjang pesisir barat Aceh termasuk Kecamatan Baitussalam (Wibisono et al, 2006).

Wibisono et al, (2006) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem pesisir yang ditimbulkan oleh tsunami setidaknya terjadi melalui dua mekanisme, yaitu:

(40)

hantaman gelombang tsunami berjalan sangat cepat. Tanaman yang rusak karena hantaman energi gelombang umumnya dalam keadaan rusak atau telah tidak utuh lagi. Bahkan di lokasi yang hantamannya sangat kuat, banyak sekali pohon bakau yang tercabut dari substaratnya.

(b). Mekanisme kedua yaitu genangan air laut yang terbawa oleh gelombang tsunami. Genangan air laut yang salinitasnya tinggi membuat vegetasi yang ada dipesisir stres, kering dan mati. Kematian tanaman yang diakibatkan oleh genangan air asin selalu terjadi secara perlahan-lahan. Berbeda dengan kerusakan karena hantaman ombak yang dalam kondisi hancur, tanaman yang mati karena genangan umumnya dalam kondisi utuh namun mati berdiri.

2.3.2. Rehabilitasi Hutan Mangrove

Rehabilitasi hutan mangrove adalah penanaman kembali hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan. Agar rehabilitasi dapat berjalan secara efektif dan efisien perlu didahului survei untuk menetapkan kawasan yang potensial untuk rehabilitasi berdasarkan penilaian kondisi fisik dan vegetasinya.

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan berdasarkan pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No. 41/1999) menyatakan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:

1. Reboisasi, 2. Penghijauan, 3. Pemeliharaan,

(41)

5. Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.

Selanjutnya Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.

Model pengembangan rehabilitasi hutan mangrove disusun dengan pendekatan Participatory Rural Apprasial (PRA), pendekatan ini memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat sebagai pelaku pembangunan untuk berperan aktif dalam pembangunan. Proses penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi selalu melibatkan masyarakat (Rawana, 2002).

Kegiatan rehabilitasi dilakukan untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang telah rusak agar ekosistem mangrove dapat menjalankan kembali fungsinya dengan baik. Upaya rehabilitasi harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berhubungan dengan kawasan mangrove. Rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan sesuai dengan manfaat dan fungsi yang seharusnya berkembang, serta aspirasi masyarakat (Anonimous, 2005).

(42)

sebagainya) untuk mengurangi energi gelombang laut yang mengenai bibir pantai. Pendekatan biologi merupakan upaya vegetatif (penanaman pohon mangrove) untuk memperkuat bibir pantai dan mencegah terjadinya erosi. Sedangkan pendekatan sosial merupakan upaya meningkatkan dan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan di kawasan pantai (Anonimous, 2005).

2.4. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Hutan Mangrove di Aceh

Gelombang Tsunami setinggi 10-15 m dengan kecepatan lebih dari 40 km/jam yang menghantam pesisir Aceh telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah. Kerusakan paling parah sepanjang pesisir barat Aceh (meliputi Aceh Barat dan Nagan Raya), Kabupaten Banda Aceh, Aceh Jaya dan Aceh Besar (Wibisono, et al, 2006).

Dari analisis yang dilakukan LAPAN, dari 21 kabupaten/kota di Provinsi NAD sekurang-kurangnya 15 kabupaten/kota yang wilayahnya terpengaruh bencana gempa dan Tsunami. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa total luas wilayah yang terkena pengaruh seluas 649.582 ha, diantaranya sawah seluas 131.810 ha, rawa seluas 9448.5 ha dan hutan mangrove/pantai seluas 32.004 ha. (Wibisono, et al, 2006).

(43)

1. Energi gelombang Tsunami secara langsung menghantam pesisir sehingga menghancurkan hutan mangrove, tegakan cemara, kebun kelapa dan berbagai vegetasi lainnya. Dalam hal ini, kerusakan sebagai akibat hantaman gelombang Tsunami berjalan sangat cepat. Tanaman yang rusak karena hantaman energi gelombang umumnya dalam keadaan rusak atau telah tidak utuh lagi. Bahkan di lokasi yang hantamannya sangat kuat, banyak sekali pohon bakau yang tercabut dari substratnya.

2. Genangan air laut yang terbawa oleh gelombang Tsunami. Genangan air laut yang salinitasnya tinggi membuat vegetasi yang ada di pesisir menjadi stres, kering dan mati. Kematian tanaman yang diakibatkan oleh genangan air asin selalu terjadi secara perlahan-lahan. Berbeda dengan kerusakan karena hantaman ombak yang dalam kondisi hancur, tanaman yang mati karena genangan umumnya dalam kondisi utuh namun mati berdiri (Wibisono, et al, 2006).

Hampir seluruh formasi dan tipe vegetasi yang berada di pesisir Aceh mengalami kerusakan parah. Lebih dari 60.000 ha areal persawahan rusak total karena tergenang oleh air laut. Hingga saat ini, hanya 21,6 % dari total persawahan yang direhabilitasi, sementara sebagian besar sisanya dibiarkan dalam kondisi terlantar. Hutan mangrove, hutan pantai, pantai cemara, rawa dan tipe vegetasi lain di kawasan pesisir tidak luput dari kerusakan ini.

(44)

tergenangi lagi oleh pasang surut air laut. Fenomena ini banyak sekali di jumpai di Pulau Simeulue dan sebagian pesisir Pulau Nias (Wibisono, et al, 2006).

Kabupaten Aceh Besar memiliki kawasan hutan mangrove seluas 16.000 ha (Peta BP DAS, 2005) akan tetapi luas kawasan hutan mangrove yang telah dilakukan rehabilitasi di beberapa kecamatan pada Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Kecamatan-kecamatan yang Telah Dilakukan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kabupaten Aceh Besar

No. Kecamatan Luas (ha)

1. Baitussalam 303,00

2. Lhoong 179,51

3. Lhoknga 28,00

4. Leupung 53,00

5. Mesjid Raya 204,00

6. Peukan Bada 175,00

7. Pulo Aceh 100,00

Jumlah 1.042,51

Sumber: BPS, Kabupaten Aceh Besar dalam Angka, 2007

(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ditetapkan pada 4 (empat) Desa yang memiliki hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar yang memperoleh bantuan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat melalui fasilitator pemerintah. Penetapan Kecamatan Baitussalam sebagai lokasi penelitian berdasarkan pada pertimbangan bahwa Kecamatan Baitussalam telah pernah dilakukan rehabilitasi hutan mangrove oleh Pemerintah Daerah dan LSM pasca tsunami, akan tetapi kondisinya pada saat sekarang ini sangat memprihatinkan. Adapun lokasi Desa di Kecamatan Baitussalam yang menjadi objek penelitian adalah: Desa Lam Ujong, Desa Lambada Lhok, Desa Cot paya dan Desa Kajhu.

Penelitian ini dilakukan mulai dari persiapan penelitian pada bulan Agustus s/d Nopember 2008 yang dilanjutkan dengan tahap pengerjaan tesis sampai bulan Mei 2009 sambil melengkapi data lapangan yang masih kurang untuk dijadikan bahan penulisan.

3.2. Populasi dan Sampel

1. Populasi

(46)

penelitian dan aparat pemerintahan dari Kecamatan Baitussalam. Kelompok kedua adalah seluruh kepala keluarga di 4 (empat) desa yang memiliki pantai atau hutan mangrove pada Kecamatan Baitussalam, yaitu sebanyak 4.001 kepala keluarga, dapat dilihat pada Tabel 3.1 di bawah ini:

Tabel 3.1. Jumlah Kepala Keluarga yang Diambil Menjadi Populasi

Nama Desa Jumlah Penduduk (Jiwa)

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah proportional stratified random sampling. Jumlah sampel penelitian untuk kelompok pemerintahan

(47)

d = derajat kebebasan (10% = 0,1) dengan perhitungan sampel sebagai berikut:

1

(48)

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut: Tabel 3.2. Jumlah Sampel Penelitian

Nama Desa Jumlah Kepala Keluarga (KK)

Jumlah Responden (KK)

(1) (2) (3)

1. Lam Ujong 117 3

2. Lambada Lhok 309 8

3. Cot Paya 125 3

4. K a j h u 3.450 84

Jumlah 4.001 98

3.3. Metode Pengumpulan Data

1. Observasi

Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung ke lokasi penelitian dengan mengunjungi daerah-daerah menjadi obyek penelitian dan meninjau langsung kondisi alam serta melakukan pertemuan dengan masyarakat setempat. Observasi juga dilakukan secara langsung ke lokasi rehabilitasi hutan mangrove pada keempat Desa yang diteliti untuk mengetahui kondisi wilayah dengan melakukan dokumentasi lahan yang telah direhabilitasi.

2. Kuisioner

(49)

3. Wawancara

Selain observasi dan kuisioner, dilakukan wawancara mendalam (depth interview) yang dilakukan dengan cara bertatap muka langsung dengan pemerintah

daerah setempat.

3.4. Instrumen Penelitian

Untuk mendapatkan data penelitian, peneliti menggunakan instrumen yang ditujukan kepada responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok pertama dilakukan kepada aparat pemerintah dengan menggunakan teknik wawancara. Untuk memperkuat data penelitian yang dilakukan pemerintah, maka isi dari wawancara yang dilakukan menyangkut peranan pemerintah terhadap kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Instrumen kedua digunakan kepada responden yang terdiri masyarakat melalui pengisian kuisioner yang diberikan kepada responden. Adapun isi dari kuisioner yang diberikan kepada responden terdiri dari 3 bagian, yaitu sosial ekonomi, pemahaman dan partisipasi responden. Tiap butir instrumen disediakan lima alternatif jawaban dengan membuat simbol angka pada pilihan jawaban responden bersifat positif memiliki urutan skor a = 1, b = 2, c = 3, d = 4 dan e =5.

(50)

menilai partisipasi masyarakat. Penilaian ini digunakan untuk melihat bagaimana besar kecilnya ukuran baik tidaknya ketiga varibel tersebut.

3.5. Definisi Operasionalisasi Variabel Penelitian

Adapun definisi operasionalisasi variabel penelitian pada penelitian ini terdiri dari:

a. Peran adalah tingkah laku yang penting dalam struktur sosial atau tindakan yang dilakukan dalam suatu peristiwa.

b. Pemerintah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah sebagai badan eksekutif daerah.

c. Partisipasi adalah peran serta atau keterlibatan individu ataupun kelompok. d. Masyarakat adalah kumpulan orang atau penduduk yang mendiami suatu

wilayah.

e. Rehabilitasi adalah usaha untuk memperbaiki kembali suatu kondisi ke arah yang lebih baik.

f. Hutan mangrove adalah sekumpulan tumbuhan yang hidup disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut.

(51)

pelaksanaan penyuluhan dan (e) peran dalam kegiatan monitoring, control dan evaluation.

Pada penelitian ini, partisipasi masyarakat dikaitkan dengan sosial ekonomi dan pemahaman masyarakat mengenai program rehabilitasi hutan mangrove. Penelitian ini menjelaskan adanya hubungan partisipasi dengan sosial ekonomi dan pemahaman tersebut. Penelitian yang dilakukan untuk melihat partisipasi masyarakat dalam bentuk angket atau kuisioner yang berisikan: (a) kegiatan yang pernah dilakukan menyangkut program rehabilitasi hutan mangrove, (b) harapan terhadap pengelolaan hutan mangrove, (c) keikutsertaan dalam kegiatan rehabiltiasi hutan mangrove, (d) peranan dalam perencanaan program rehabilitasi hutan mangove, (e) partisipasi dalam pelaksanaan program rehabilitasi hutan mangove, (f) partisipasi pada monitoring, control dan evaluation dan (g) partisipasi pada pemeliharaan hutan mangrove.

Definisi rehabilitasi hutan mangrove adalah kegiatan pembibitan dan penanaman kembali hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan setelah terjadinya gempa dan tsunami di wilayah Kecamatan Baitussalam.

3.6. Analisa Data

(52)

Untuk melihat besarnya hubungan sosial ekonomi dan pemahaman masyarakat terhadap partisipasi masyarakat melalui analisis regresi ganda (Sugiyono, 2001). Sedangkan analisa data juga dilakukan melalui analisis persentase. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3. Batasan Skor Muatan untuk Analisis Persentase

Skor Muatan Validitas Konstruk

< 20 Sangat rendah

21 – 40 Rendah

40 – 60 Cukup

60 – 80 Baik

(53)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis

Kecamatan Baitussalam merupakan salah satu kecamatan yang terdapat pada Kabupaten Aceh Besar Provinsi NAD. Ibukota Kecamatan Baitussalam adalah Lambada Lhok, dengan luas kecamatan 36,52 Km2. Kecamatan Baitussalam terdiri dari 2 (dua) kemukiman dan 13 (tiga belas) desa.

Tabel 4.1. Luas Desa Dirinci Menurut Mukim di Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

(54)

Sebelah Utara : Kecamatan Mesjid Raya Sebelah Selatan : Kecamatan Darussalam

Sebelah Barat : Kota Banda Aceh & Selat Malaka Sebelah Timur : Kecamatan Darussalam

Tabel 4.2. Geografis Desa/Kelurahan dan Tinggi di Atas Permukaan Laut Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Geografis Letak di atas Permukaan Laut Nama Desa

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

(55)

4.2. Penduduk

Jumlah penduduk, kepala keluarga dan rata-rata penduduk per kepala keluarga dirinci per desa dalam Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk dan Rata-Rata Penduduk Per Rumah Tangga Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Nama desa

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

(56)

dari keluarga yang ditinggal menjadi kepala keluarga bahkan dalam satu keluarga terdapat hanya 1 (satu) anggota keluarga di dalamnya yang sekaligus menjadi kepala keluarga.

Sedangkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk dirinci per desa berdasarkan luas wilayah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Per Desa Berdasarkan Luas Wilayah Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Nama Desa Luas Desa

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

(57)

Tabel 4.5. Perkembangan Penduduk Dirinci Menurut Desa dalam Kecamatan

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar, Baitussalam dalam Angka 2007 (olahan)

(58)

4.3. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan pada masyarakat di Kecamatan Baitussalam lebih banyak diperuntukkan untuk ladang masyarakat, selanjutnya diperuntukkan untuk perkebunan seperti kopi, kelapa dan lain sebagainya. Untuk penggunaan lahan di Kecamatan Baitussalam dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6. Jenis Penggunaan Lahan

Jenis Penggunaan Lahan (Ha)

Nama Desa

Sawah Ladang Perkebunan

(59)

Berdasarkan perolehan data pada Tabel 4.6 Luas desa paling luas terdapat pada Desa Lam Ujong dengan luas Desa 640 Ha, sedangkan luasan kedua terdapat pada Desa Kajhu dengan luas 600 Ha. Peruntukan terluas pada Desa Lam Ujong untuk kegiatan persawahan sedangkan pada Desa Kajhu diperuntukkan untuk perkebunan.

4.4. Pendidikan

Pendidikan kepala keluarga pada Kecamatan Baitussalam tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut:

Tabel 4.7. Jumlah Keluarga Menurut Status Pendidikan Kepala Keluarga Dirinci Per Desa dalam Kecamatan Baitussalam Tahun 2007

Status Pendidikan Kepala Keluarga

(60)

Pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa kepala keluarga yang mengenyam sekolah lebih tinggi dibandingkan kepala keluarga yang tidak sekolah. Pada Desa Cot Paya yang merupakan salah satu daerah penelitian, kepala keluarganya tidak ada yang tidak sekolah dan memiliki pendidikan tamatan SMA keatas lebih tinggi jumlahnya dibandingkan tamatan SD-SMP.

4.5. Sarana Kesehatan

Tingkat produktivitas penduduk selain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki, juga dipengaruhi oleh kondisi kesehatan. Banyaknya sarana kesehatan pada Kecamatan Baitussalam tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut: Tabel 4.8. Jumlah Sarana Kesehatan di Masing-masing Desa dalam Kecamatan

Baitussalam Tahun 2007

Nama Desa Poliklinik Puskesmas *Pustu RS

Bersalin Polindes Pos KB

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

(61)

4.6. Keadaan Iklim

Sebagaimana halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Kecamatan Baitussalam mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim penghujan. Musim penghujan terjadi bulan Oktober hingga Mei, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni hingga September. Pada daerah ini mempunyai suhu rata-rata 270C.

Tabel 4.9. Rata-rata Curah Hujan dan Hari Hujan Kecamatan Baitussalam

No. Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan

Sumber: Data Monografi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tahun 2005

(62)

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konservasi hutan mangrove. Menurut Hartono dalam Fitriadi (2004), bahwa iklim yang mempunyai pengaruh terhadap konservasi mangrove yaitu curah hujan tahunan, jumlah bulan kering, jumlah hari hujan per tahun, rerata temperatur tahunan dan fluktuasi temperatur tahunan. Hal ini mengindikasi bahwa daerah ini digolongkan sesuai dengan konservasi hutan mangrove.

Sumber: Data Monografi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tahun 2005

(63)

sekitarnya, menunjukkan kecepatan angin rata-rata antara 5-10 knots, seperti terlihat pada Tabel 4.10.

4.7. Hidrologi

Konservasi hutan mangrove dipengaruhi kualitas air suatu daerah Hartono dalam Fitriadi (2004). Perairan di sepanjang pesisir NAD, merupakan hutan

(64)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hutan Mangrove

5.1.1. Kondisi Hutan Mangrove di Kecamatan Baitussalam

Hutan mangrove di Aceh telah mengalami puncak alih fungsi menjadi tambak sejak merebaknya bisnis udang di Indonesia pada Tahun 1980-an. Tapi untuk lokasi tertentu, alih fungsi ini bahkan telah berlangsung jauh lebih awal misalnya di Desa Lam Ujong Kecamatan Baitussalam telah berlangsung sejak tahun 1960-an. Kondisi demikian telah menyebabkan lanskap kawasan pesisir di wilayah tersebut menjadi rentan terhadap bencana dan hal ini diperlihatkan saat terjadinya tsunami pada bulan Desember 2004 yaitu banyak tanggul/pematang tambak rusak/hancur terancam gelombang tsunami dan kolam tambaknya terisi oleh endapan lumpur. Seandainya keberadaan hutan mangrove di kawasan tersebut dan di wilayah pesisir pantai di NAD masih memadai, diduga hantaman gelombang tsunami yang terjadi tidak meluas hantamannya kedaratan.

(65)

Sementara hancurnya sebahagian besar habitat mangrove berarti menurunnya luasan areal yang sesuai untuk ditanami mangrove kembali.

Berdasarkan kajian peta sistem lahan pada kawasan pesisir/pantai di Provinsi NAD, luas areal yang berpotensi ditumbuhi vegetasi mangrove di Kabupaten Aceh Besar sekitar 17.254 hektar yang tersebar. Luas dan penyebaran mangrove menurut jenis penutupan lahan di Kecamatan Baitussalam dalam kategori mangrove campuran 3.315 hektar dan kategori areal tidak bervegetasi mangrove sebesar 294 hektar dengan jumlah keseluruhannya sebesar 3.609 hektar. Lokasi penanaman lahan mangrove dilakukan pada kawasan sempadan pantai dan pematang-pematang tambak. Jenis tanaman mangrove yang ditanam terdiri atas: Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera

cylindrica, Avicennia marina dan Sonneratia alba (Wibisono, et al, 2006).

Ketahanan tanah terhadap abrasi yang dapat diidentifikasi dari Peta land System yang dibagi dalam tiga kategori yaitu:

a) Skor 3 : Jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung). b) Skor 2 : Jenis tanah peka erosi (tekstur campuran). c) Skor 1 : Jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir).

(66)

Berdasarkan tingkat kerusakan mangrove di wilayah Kecamatan Baitussalam tahun 2006, luas lahan pada tingkat kerusakan dengan kategori rusak berat sebanyak 1,342 Ha dan kategori rusak sebanyak 2.267 Ha, sedangkan kondisi lahan pada kategori tidak rusak tidak ditemui (BP DAS Krueng Aceh, 2007).

5.1.2. Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Baitussalam

Kegiatan rehabilitasi harus selalu memperhatikan daya dukung lahan. Kesalahan dalam memilih lokasi sangat beresiko terhadap kegagalan yang berarti hilangnya uang, tenaga dan waktu. Kegiatan penanaman harus selalu diawali dengan penilaian (assement) terhadap lokasi yang akan ditanami. Apabila daya dukung di suatu lokasi di nilai rendah dan tidak sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan bibit maka sebaiknya dilakukan pencarian lahan pelaksanaan program rehabilitasi yang lebih mendukung.

Areal yang terkena dampak tsunami tidak seluruhnya memiliki daya dukung yang sesuai untuk direhabilitasi. Sebagian diantaranya telah rusak berat sehingga tidak sesuai lagi bagi tumbuhan yang pernah hidup sebelumnya. Namun, banyak sekali areal yang daya dukungnya sesuai untuk direhabilitasi. Berdasarkan kondisi lahan Kecamatan Baitussalam terdiri atas tanah lempung dan pasir sehingga yang baik untuk jenis tanaman mangrove adalah Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba dan Bruguiera spp. (Wibisono, dkk,

(67)

Rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan di Kecamatan Baitussalam telah dilakukan sejak diberlakukannya penanggulangan bencana tsunami pada wilayah NAD. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini tidak saja dilakukan pemerintah daerah secara mandiri, melainkan pemerintah bekerjasama dengan NGO yang memberikan bantuan pada pelaksanaan program rehabilitasi hutan mangrove.

Penanaman mangrove dilakukan diberbagai lokasi pesisir pantai terutama di areal tambak, bekas habitat mangrove yang telah rusak baik akibat aktivitas manusia maupun yang diakibatkan gelombang tsunami di sepanjang tepi sungai yang bermuara ke laut. Rehabilitasi ini dilakukan untuk menghijaukan kembali kawasan mangrove yang telah rusak dan memperkecil intrusi air laut kedaratan serta memperkecil terjadinya abrasi pantai.

5.2. Peran Pemerintah dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove

(68)

pelaksanaan kegiatan teknis di lapangan (misalnya penyiapan lahan, penanaman, dll) pemerintah umumnya merangkul pihak swasta atau masyarakat sebagai tenaga kerja. Kondisi di Kecamatan Baitussalam, rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan pemerintah melalui program kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional dan Nasional (NGO).

Dalam hal ini, lembaga LSM nasional yang terdapat di wilayah penelitian bukan hanya LSM yang berkedudukan di Aceh saja, melainkan juga LSM-LSM lain yang berkedudukan di daerah lain di Indonesia namun memiliki kegiatan baru (setelah tsunami) atau kegiatan lama (sebelum tsunami) di Aceh. Umumnya, LSM lokal telah memiliki hubungan dengan beberapa LSM Internasional bahkan langsung kepada lembaga donor. Melalui link tersebut, beberapa LSM lokal berhasil mendapatkan kepercayaan dari LSM Internasional atau lembaga donor untuk mengelola pelaksanaan kegiatan rehabilitasi di Aceh dengan pertimbangan antara lain memahami kondisi lapangan di Aceh, memiliki akses yang lebih kepada pemerintah daerah dan beberapa instansi terkait lainnya. Melalui akses tersebut pemerintah memiliki peranan sebagai fasilitator pelaksanaan kegiatan di wilayah kedudukan pemerintahan lokal.

5.2.1. Peran Pemerintah Sebagai Fasilitator Kepada NGO

(69)

Penanaman mangrove umumnya dilakukan di beberapa lokasi, terutama di daerah tambak, bekas habitat mangrove yang telah rusak dan sepanjang tepi sungai. Namun demikian, dijumpai pula penanaman mangrove yang dilakukan di lokasi yang tidak tepat yaitu di pantai berpasir tebal dan kering. Dari kedua kegiatan yang berbeda tersebut, tingkat keberhasilan penanaman yang dilakukan di areal berlumpur (tambak dan tepi sungai) jauh lebih tinggi dibandingkan penanaman di pantai berpasir. Hampir seluruh penanaman mangrove yang dilakukan di areal berpasir gagal total. Hal ini dikarenakan memang jenis tanaman mangrove tidak sesuai ditanam di daerah kering dan berpasir. Kenyataan ini sesuai dengan teknik rehabilitasi mangrove (Anonimous, 2005) yang menyatakan bahwa tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi hulu sungai di mana mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur.

Tabel 5.1. Lembaga Pendukung Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kecamatan Baitussalam

No. Pelaksana Kegiatan Desa Luas

(Ha)

Kelompok Masyarakat Dusun Junglong Kelompok Masyarakat Dusun Deungah

(70)

Tabel 5.1 menunjukkan jumlah luasan hektar lahan hutan mangrove yang direhabilitasi kembali sejak terjadinya tsunami pada tahun 2004 sampai tahun 2007 sebanyak 693.5 Ha. Berdasarkan data tersebut diperoleh data yang paling banyak memperoleh bantuan rehabilitasi hutan mangrove terdapat pada Desa Lam Ujong. Hal ini disebabkan Desa Lam Ujong merupakan wilayah hutan mangrove yang terluas kerusakannya. Peranan pemerintah yang mendukung lembaga swadaya masyarakat nasional atau NGO Internasional yang memberikan bantuan kepada daerah terhadap upaya rehabilitasi hutan mangrove melalui pendampingan pelaksanaan proyek yang dilakukan untuk sampai ke wilayah yang direhabilitasi.

5.2.2. Peran Pemerintah dalam Pemetaan Lokasi Penanaman

Sebelum pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan, dibutuhkan perencanaan awal terhadap identifikasi lahan yang akan direhabilitasi. Pemerintah dalam melakukan rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam terlebih dahulu melakukan inventarisasi dan identifikasi lahan. Umumnya, lahan yang direhabilitasi di Kecamatan Baitussalam merupakan bekas lahan pertambakan intensif sebelum terjadinya tsunami. Karena terjadinya tsunami masyarakat pemilik tambak tersebut banyak yang menjadi korban tsunami, sehingga banyak lahan yang terlantar dan tidak terurus.

(71)

mangrove yang akan ditanam setiap bibitnya dengan ukuran penanaman antara 1 x 2 meter dengan 1 x 3 meter.

Rancangan yang dilakukan pemerintah dalam memetakan lahan yang akan direhabilitasi berdasarkan tata letak penanaman antara lain: luas dan letak calon lokasi penanaman, pembagian petak tanaman, luas dan letak calon lokasi persemaian, luas dan letak calon lokasi base camp dan letak saluran air. Pemetaan lokasi ini sangat penting untuk menunjang kegiatan rehabilitasi dilakukan, di samping untuk menghindari konflik di masyarakat oleh penggunaan lahan yang digunakan untuk persiapan sampai selesainya kegiatan rehabilitasi, juga dilakukan untuk menginformasikan lahan-lahan yang telah direhabilitasi. Hal ini telah disesuaikan dengan panduan IPB (2005) yang menyatakan bahwa pemetaan lokasi dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi lahan merupakan tahap awal yang dilakukan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sebelum dilakukannya rancangan teknis kegiatan.

5.2.3. Peran Pemerintah dalam Pendanaan

(72)

diinformasikan termasuk dana bantuan NGO terhadap rehabilitasi hutan mangrove yang merupakan kerjasama NGO dengan pemerintah pada pelaksanaan sebelumnya. Padahal informasi penggunaan dana sangat penting terhadap pengukuran peranan pemerintah dalam pengalokasian dana untuk rehabilitasi hutan mangrove.

Berdasarkan wawancara dengan responden dari salah satu instansi pemerintahan, biasanya bentuk pendanaan yang dilakukan pemerintah adalah dengan melibatkan masyarakat dalam pengadaan bibit dengan hitungan nilai uangnya dalam satuan bibit. Jumlah harga satuan bibit tidak dapat disamakan pada setiap proyek yang dijalankan. Biaya tersebut tergantung jumlah dana yang ada dan kondisi lahan yang dikerjakan. Jika dana yang ada dalam jumlah besar, maka bibit mangrove tersebut akan dilakukan melalui program tender kepada pengusaha. Namun jika sebaliknya, maka pengadaan bibit dari masyarakat akan dihitung persatuannya. Demikian juga dengan NGO, pendanaan untuk rehabilitasi diberikan langsung kepada masyarakat sebagai pekerja dengan upah harian bervariasi antara Rp. 25.000 sampai dengan Rp. 40.000,- perhari dengan cakupan kerja antara lain pengisian polibag, penyemaian bibit, pembuatan lubang tanaman, pengangkutan bibit dan penanaman.

Gambar

Gambar 2.1. Enam Tipe Komunitas Mangrove
Tabel 2.1. Kecamatan-kecamatan yang Telah Dilakukan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kabupaten Aceh Besar
Tabel 3.2. Jumlah Sampel Penelitian
Tabel 3.3. Batasan Skor Muatan untuk Analisis Persentase
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab terjadi perubahan perilaku beragama alumni Pesantren di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry adalah karena faktor lingkungan dan budaya baru, yang

Dari hasil sintesis dan karakterisasi minyak kelapa sawit curah dapat disimpulkan bahwa minyak kelapa sawit curah dapat disintesis menggunakan 25% H 2 SO 4 dengan

Adapun bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik ini yaitu bakteri hidrolitik yang memecah bahan organik menjadi gula dan asam amino, bakteri fermentatif yang

1. Kedua orangtua saya Bapak H. Mukhlis dan umi munawwaroh serta adek saya alaika nasrulla, serta seluruh keluarga besarku yang menjadi pembimbing dan pendidik hidup

Alat yang digunakan adalah oven untuk mengoven daun kersen, seperangkat alat analisis proksimat, plastik untuk alas menjemur daun kersen, loyang kecil untuk tempat

memungkinkan termasuk kegunaan dari tugas tersebut. Peserta didik tipe guardian sangat patuh kepada guru. Segala pekerjaan yang diberikan kepada guardian dikerjakan

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah perkembangan, fungsi, dan bentuk penyajian musik Tanjidor di Kecamatan Pemangkat yang dipaparkan oleh

U nastavku završnog rada dan je matematički model hidrauličkog cilindra i matematički model elektro – hidrauličkog servo ventila koji su najvažniji elementi u