DI WILAYAH PERBATASAN NEGARA
(STUDI KASUS KABUPATEN NUNUKAN KALIMANTAN TIMUR)
B U D I Y O N O
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Desain Kebijakan
Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Di Wilayah Perbatasan
Negara (Studi Kasus Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, September 2010
Budiyono
Budiyono. 2010. Desain Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara (Studi Kasus Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur). Di bawah bimbingan Supiandi Sabiham sebagai ketua komisi pembimbing, Etty Riani dan Ruchyat Deni Djakapermana sebagai anggota komisi.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), maka program pengembangan wilayahnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) disebutkan bahwa KSN perbatasan negara kegiatan penataan ruang wilayahnya diprioritaskan dan didorong percepatan pertumbuhan ekonominya melalui pembangunan di berbagai sektor. Salah satu sektor yang harus dikembangkan untuk terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan nrgara yaitu sektor permukiman.
Pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman disebutkan sebagai pengembangan kawasan permukiman khusus. Kawasan permukiman khusus menjadi salah satu program pembangunan yang diprioritaskan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kawasan permukiman khusus di wilayah perbatasan negara dikembangkan dengan basis potensi sumber daya alam (SDA) wilayah. Untuk mengetahui kondisi permukiman dan potensi SDA di wilayah perbatasan digunakan data dan informasi profil wilayah perbatasan. Hal ini dimaksudkan agar permasalahan dan arah kecenderungan perkembangan kondisi permukiman serta potensi sumber daya alam di wilayah perbatasan dapat diketahui. Adapun data dan informasi profil di wilayah perbatasan meliputi kondisi fisik, pola perkembangan dan persebaran permukiman, potensi sumber daya alam dan lingkungan, serta sosial-ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan.
Kabupaten Nunukan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang berada di wilayah perbatasan negara dan telah ditetapkan sebagai KSN. Konsekuensi dari penetapan tersebut, pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab untuk mendorong percepatan kegiatan pembangunan di berbagai sektor. Wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan selama ini belum mendapatkan perhatian yang serius, khususnya dalam peningkatan anggaran pembangunan infrastruktur wilayah, permukiman, dan fasos/fasum sebagai prasyarat untuk mewujudkan pusat pertumbuhan baru (bounder city).
operasional, khususnya di tingkat kabupaten. Pendekatan pengembangan dilakukan melalui pembentukan klaster-klaster permukiman berbasis potensi SDA wilayah. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru (bounder city) wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan dapat segera terwujud.
Penelitian disertasi ini terdiri dari empat tahapan analisis. Tahap pertama yaitu analisis kondisi permukiman perbatasan di Kabupaten Nunukan untuk mengetahui kondisi saat ini (existing condition). Kondisi wilayah yang dianalisis meliputi aspek-aspek persebaran penduduk, pola pengembangan dan persebaran permukiman, kondisi fisik permukiman termasuk tingkat kekumuhan (slum area), serta ketersediaan prasarana, sarana, fasos, dan fasum. Hasil analisis menunjukkan kondisi kawasan permukiman yang pada umumnya berkelompok, berpencar, Lingkungan permukiman yang kumuh (slum area),tidak tertata, minim prasarana, fasos, dan fasum. Hal tersebut merupakan dampak dari kawasan permukiman yang tidak dikelola dengan baik dan kurangnya kegiatan yang terkait dengan program pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara.
Kedua, analisis potensi SDA wilayah dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Hasil analisis sektor unggulan yang potensial digunakan untuk mendukung pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan Kluster I (Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan) yaitu sektor pertambangan, Kluster II (Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat) sektor perkebunan, dan Kluster III (Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sebatik) sektor perikanan.
Ketiga, analisis Interpretative Structural Modelling (ISM) yang menghasilkan faktor-faktor penting sebagai pengungkit serta analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk mengkaji komponen kunci yang dominan digunakan sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan. Hasil analisis struktur AHP yaitu (1) komponen faktor menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan pendanaan pembangunan menjadi prioritas utama, (2) komponen stakeholder menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah mempunyai peran utama dalam pengembangan kawasan permukiman, (3) komponen tujuan menunjukkan bahwa pengembangan dan penataan kawasan serta peningkatan kesejahteraan mendapat prioritas utama, dan (4) komponen sasaran menunjukkan bahwa strategi pengembangan kawasan permukiman menjadi prioritas utama untuk mendorong percepatan pembangunan di wilayah perbatasan negara.
Keempat, penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan menggunakan rekomendasi hasil analisis dan kajian. Arah kebijakan dan strategi pengembangan permukiman berkelanjutan dibangun melalui dua skenario yaitu:
terminal-terminal berbasis sektor unggulan wilayah sebagai showroom yang mudah diakses, dan (7) pembangunan terpadu infrastruktur kawasan dan permukiman. Untuk pengembangan pembiayaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: (1) peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) pembangunan wilayah perbatasan, (2) kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan, dan (3) evaluasi anggaran dana khusus untuk pembangunan wilayah perbatasan baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Untuk pengembangan kelembagaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: (1) pengawasan dan penegakan hukum, (2) pelatihan keterampilan dan penyuluhan masyarakat, dan (3) evaluasi dan pembuatan kebijakan terkait pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan.
2. Skenario kedua dibangun atas dasar keadaan masa depan yang mungkin terjadi. Hal ini dapat dipertimbangkan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumber daya wilayah yang dimiliki sebagai rekomendasi dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yang seimbang antara kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk pengembangan kawasan permukiman direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) pembuatan informasi terpadu untuk promosi berkala hasil-hasil sektor unggulan, (2) penguatan kerja sama antara pemda, swasta/investor, (3) peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat, (4) pembangunan terminal-terminal berbasis sektor unggulan sebagai
showroom yang mudah diakses, (5) pembangunan terpadu infrastruktur dan permukiman, dan (6) pemeliharaan fasum dan fasos oleh pemda dengan melibatkan masyarakat. Untuk pengembangan pembiayaan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan dan (2) evaluasi penganggaran dana alokasi khusus untuk pembangunan permukiman di wilayah perbatasan baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Untuk pengembangan kelembagaan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) pengawasan dan penegakan hukum serta (2) pelatihan dan penyuluhan sumber daya masyarakat oleh pemda bekerja sama dengan lembaga-lembaga diklat untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja.
Rekomendasi kebijakan pengembangan permukiman berkelanjutan berbasis potensi SDA wilayah dapat menjadi pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan negara. Kondisi tersebut mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keamanan secara seimbang sehingga wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara (show window) semakin baik, tertata, tertib, maju, dan berkelanjutan. Dalam mempertahankan keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara, pemerintah perlu merumuskan kebijakan strategis seperti: (1) penataan kawasan, (2) pembuatan kriteria lokasi, perencanaan kawasan, pola pengembangan pembiayaan dan kelembagaan, serta (3) pengembangan investasi permukiman dan sektor pembangunan lainnya.
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB
Assalamualaikum wr. wb.
Puji syukur kepada Allah swt. karena berkat rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini saya susun sejalan dengan tugas dan
fungsi saya sebagai pegawai Kedeputian Bidang Pengembangan Kawasan
Kementerian Perumahan Rakyat Republik Indonesia. Judul dan substansi materi
disertasi ini dipilih karena adanya dukunngan dari ketersediaan sebagian informasi
dan data yang sudah saya miliki. Selain itu, ada pula harapan yang besar dari
pemerintah dan masyarakat agar pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan
permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, khususnya di Kabupaten
Nunukan, dapat segera terwujud.
Wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan
Timur berfungsi sebagai beranda depan negara. Akan tetapi, kondisi permukiman
yang ada di wilayah tersebut pada umumnya masih tertinggal, tidak tertata, dan
tidak dikelola dengan baik. Perlu adanya upaya yang harus dilakukan agar
pengembangan permukiman wilayah perbatasan negara dapat tertata dan terkelola
dengan baik. Oleh karena itu, setiap program pembangunan yang akan
dilaksanakan harus tertuang dalam kebijakan dan strategi pengembangan yang
dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah.
Dalam penelitian disertasi ini, saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam
pelaksanaan kebijakan bidang permukiman sering kali mengalami kesulitan di
daerah, khususnya di wilayah perbatasan negara yang kurang mendapatkan
perhatian pemerintah karena jauh dari pusat pemerintahan. Oleh karena itu, saya
memilih topik penelitian ini. Akan tetapi, saya pun menyadari pula bahwa
penelitian disertasi ini masih jauh dari sempurna.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Bapak Prof.
Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir.
Etty Riani, MS, dan Bapak Dr. Ir. Ruchyat Deni Dj, M. Eng., sebagai anggota
perhatian dan dorongan semangat yang telah diberikan. Terima kasih juga saya
sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS dan Bapak Prof.
Dr. Ir. Bambang Pramudya, M. Eng. sebagai penguji luar ujian tertutup. Ucapan
terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA dan
Bapak Dr. Ir. Tito Murbaintoro, MM sebagai penguji luar ujian terbuka. Akhirnya
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan
perhatian dalam penyelesaian disertasi ini.
Wassalamualaikum wr. wb.
Bogor, September 2010
Budiyono
Penulis dengan nama lengkap Budiyono lahir di Kebumen pada tanggal 12 Oktober 1959. Penulis menyelesaiakan pendidikan SDN tahun 1970, SMP
tahun 1973, dan STM Jurusan Sipil tahun 1976 di Kabupaten Kebumen, Provinsi
Jawa Tengah. Selanjutnya, penulis mengikuti dinas pendidikan di Lembaga
Politeknik PU-ITB Jurusan Pembangunan Kota di Bandung (1988), S1 pada
jurusan Teknik Planologi di Universitas Krisnadwipayana (UN-ITB) Jakarta
(1996), pendidikan S2 pada Jurusan Kebijakan Publik di Universitas
Krisnadwipayana Jakarta (2001), dan pendidikan S3 pada Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di IPB (2006--Sekarang).
Selain itu, penulis juga mengikuti pendidikan informal/diklat antara lain:
Kursus Manajemen Proyek Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu
(P3KT) Regional Sulawesi dan Irian Jaya (1988), Kursus Pelatihan Tenaga
Pelaksanaan Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS)
(1999), Kursus Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia Badan Pengelola
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP-KAPET) (2002), Kursus
Peningkatan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Bidang Hukum (2003),
ADUM/PIM-1 (2006), Kursus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) atau AMDAL-A (Plus) (2007). Seminar, workshop, dan kongres yang
pernah diikuti antara lain di Jakarta, Kongres Nasional Ikatan Ahli Perencanaan
(IAP) ( 1994), Jakarta, Konferensi Energi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
(1997), Jakarta, Semiloka Nasional Pembangunan Wilayah dalam Perspektif
Otonomi Daerah dan Wacana Federasi (2000), Balikpapan, Convention, Seminar
7th Construction Show of The 11th BIMP-EAGA Working Group Meeting on
Construction Materials (2003). Jakarta, Pembahas pada Pembahasan Rancangan
Undang-Undang Tentang Penataan Ruang pengganti Undang-Undang No.24/1992
tentang Penataan Ruang Versi Perguruan Tinggi (Round Table Meeting
Perguruan Tinggi, Juni-Desember 2006) (2006); Jakarta, Seminar dan Lokakarya
RUU Penataan Ruang (Penyelenggara: REI, HKTI, DMI, IAI, IAP, ASSPI,
dan sebagai Staf Profesional (1990), Dit. Bina Pelaksanaan Wilayah Barat, Ditjen
Cipta Karya, Dep. PU sebagai Staf Profesional (1995), Dit. Pengembangan
Kawasan Khusus, Ditjen Penataan Ruang, Dep. PU sebagai Plt. Kepala Seksi,
Subdit Promosi dan Investasi Kawasan (2003), Asdep Pengembangan Kawasan
Khusus Deputi Pengembangan Kawasan, Kementerian Perumahan Rakyat sebagai
Kepala Sub. Bidang Kawasan Ekonomi, Bidang Penataan Kawasan
(2006--sekatang).
Penulis juga sebagai pengajar/dosen luar biasa di berbagai perguruan
tinggi antara lain asisten dosen bidang Perencanaan Kota pada Jurusan Planologi,
Universitas Krisnadwipayana (1995), dosen di Jurusan Perencanaan Wilayah dan
Kota, Universitas Krisnadwipayana (1997--sekarang), dosen Pascasarjana S-2
Jurusan Kajian Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Krisnadwipayana
(2008--sekarang), dosen di jurusan Perencanaan Kota dan Real Estate, Universitas
Tarumanagara (2000--sekarang), dosen pembimbing kerja praktik mahasiswa
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Trisakti (2007--2009).
Karya ilmiah berbentuk diktat telah ditulis untuk mahasiswa dan praktisi
yang berjudul (1) “Prasarana Wilayah dan Kota”, edisi-3 (2003), (2) diktat
“Penerapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kota dan Bentuk Penanganan
Pembangunan Permukiman Perkotaan” (2004). Tanda jasa kehormatan yang
diperoleh dari Presiden RI yaitu Satyalancana Karya Satya 10 Tahun (2001) dan
Satyalancana Karya Satya 20 Tahun ( 2003 ).
Penulis menikah dengan Novi Prasinta tanggal 08 November 1991.
kemudian dikaruniai satu orang putri bernama Emy Mutia Zahrina serta dua orang
putra yaitu Muhammad Nugroho Ramadhan dan Muhammad Mashuri
Adinugroho.
Bogor, September 2010
Budiyono
xv
Halaman
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xxi
I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Kerangka Pemikiran ... 7
1.6 Kebaruan (Novelty) ... 10
1.7 Istilah dan Definsi ... 12
II TINJAUAN PUSTAKA ... 15
2.1 Pembangunan Berkelanjutan ... 15
2.2 Penataan Ruang Wilayah ... 18
2.3 Pengembangan Permukiman ... 20
2.4 Pengembangan Wilayah Perbatasan ... 22
2.5 Konsep Kebijakan ... 29
III METODOLOGI PENELITIAN ... 38
3.1 Metode Penelitian ... 38
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 39
3.3 Rancangan Penelitian ... 39
3.3.1 Pengumpulan dan Analisis Data Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman ... 40
3.3.2 Analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ... 40
3.3.3 Analisis Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 42
3.3.4 Analytical Hierarchy Process (AHP)... 45
3.3.5 Skenario Kebijakan dan Strategi Pengembangan ... 47
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
4.1 Tinjauan Umum Kabupaten Nunukan ... 48
4.1.1 Administrasi dan Geografi ... 48
4.1.2 Ketinggian dan Kemiringan ... 51
xvi
4.1.4.3 Perkebunan ... 56
4.1.4.4 Perikanan ... 56
4.1.4.5 Pertambangan... 57
4.1.4.6 Permukiman ... 58
4.1.5 Kondisi Penduduk Kabupaten Nunukan ... 61
4.1.6 Kondisi Prasarana dan Sarana ... 63
4.1.6.1 Jalan dan Angkutan Sungai ... 63
4.1.6.2 Angkutan Udara ... 67
4.1.6.3 Air Bersih ... 67
4.1.6.4 Listrik dan Telekomunikasi ... 70
4.1.7 Kondisi Ekonomi Daerah ... 70
4.1.8 Kebijakan Pembangunan Kabupaten Nunukan ... 72
4.1.9 Potensi Sumberdaya Alam dan Wilayah ... 74
4.1.9.1 Kehutanan ... 74
4.1.9.2 Pertanian ... 75
4.1.9.3 Perkebunan ... 76
4.1.9.4 Perikanan ... 76
4.1.9.5 Pertambangan ... 77
4.1.9.6 Permukiman ... 78
4.2 Analisis Kondisi Permukiman Perbatasan ... 82
4.2.1 Kondisi dan Permasalahan Permukiman Perbatasan... 82
4.2.2 Pengembangan Lahan Permukiman ... 85
4.2.3 Kemampuan Pembiayaan Pembangunan Permukiman... 88
4.3 Analisis Komparatif Sektor Unggulan Kawasan ... 89
4.3.1 Sektor Unggulan Sub Kawasan Klaster I ... 91
4.3.2 Sektor Unggulan Sub Kawasan Klaster II ... 93
4.3.3 Sektor Unggulan Sub Kawasan Klaster III ... 96
4.4 Analisis Strukturisasi Permasalahan dan Komponen Dominan Kebijakan ... 101
4.4.1 Elemen Permasalahan dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 102
4.4.2 Elemen Tolak Ukur dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 108
xvii
4.4.4.1. Penyusunan Strategi Pengembangan ... 131
4.5 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 138
4.5.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 139
4.5.1.1 Desain Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman... ... 139
4.5.1.2 Desain Strategi Pengembangan Pembiayaan ... 145
4.5.1.3 Desain Strategi Pengembangan Kelembagaan ... 146
4.5.1.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan ... 149
4.5.2 Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 153
V PEMBAHASAN UMUM ... 158
VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 163
DAFTAR PUSTAKA ... 165
DAFTAR ISTILAH (GLOSSARY) ... 171
xviii
Halaman
1. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk
tahun 2008 di Kabupaten Nunukan ... 5
2. Jumlah KK, jumlah rumah dan kebutuhan rumah tahun 2008 ... 6
3. Structural self interaction matrix(SSIM) awal elemen... 43
4. Hasil reachability matrix (RM) final elemen ... 43
5. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk tahun 2007 ... 62
6. Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata jiwa per rumah tangga tahun 2007 ... 63
7. Banyaknya pelanggan air minum menurut jenis pelanggan 2007 ... 69
8. Struktur perekonomian menurut lapangan usaha tahun 2003 - 2007 ... 71
9. Daftar daerah berdasarkan indeks fiskal dan kemiskinan daerah di Kalimantan Timur………. 80
10. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor pendukung klaster I ... 90
11. Nilai sektor unggulan kluster I ... 91
12. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor pendukung klaster II ... 94
13. Nilai sektor unggulan kluster II... 94
14. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor pendukung klaster III ... 96
15. Nilai sektor pendukung klaster III... 97
16. Perhitungan kebutuhan lahan sawah (RTRW Kabupaten Nunukan 2004-2014) ... 100
17. Elemen permasalahan pengembangan kawasan permukiman perbatasan ... 103
18. Elemen tolok ukur pengembangan kawasan permukiman perbatasan ... 109
19. Kebutuhan rumah di Kabupaten Nunukan tahun 2009 dan 2014... ... 120
20. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan kawasan pada kondisi masa yang akan datang ... 132
21. Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan kawasan... 133
22. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan kelembagaan pada kondisi masa yang akan datang ... 134
23. Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan pembiayaan... 135
24. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan pembiayaan pada kondisi masa yang akan datang ... 136
xix
Halaman
1. Diagram kerangka pemikiran penelitian ... 10
2. Diagram paradigma pembangunan berkelanjutan ... 16
3. Lokasi penelitian ... 39
4. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor ... 45
5. Hirarki kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 46
6. Persentase luas wilayah per kecamatan... 49
7. Administrasi Kabupaten Nunukan ... 50
8. Peta fisiografis Kabupaten Nunukan ... 50
9. Persentase penyebaran dan luas ketinggian daerah Kabupaten Nunukan ... 51
10. Peta jenis tanah Kabupaten Nunukan ... 52
11. Peta pola penggunaan lahan ... 54
12. Peta kesesuaian lahan untuk hutan lindung ... 55
13. Peta kesesuaian lahan untuk pertanian ... 56
14. Peta kesesuaian lahan untuk permukiman... 58
15. Distribusi penduduk Kabupaten Nunukan menurut kecamatan 2007 ... 62
16. Persentase panjang jalan menurut jenis permukaan 2007 (km) ... 65
17. Peta kesesuaian lahan untuk keterlintasan jalan... 66
18. Banyaknya pelanggan pada PDAM Nunukan 2002 - 2007... 68
19. Banyaknya air minum yang disalurkan 2002 - 2007 (m3) ... 69
20. Banyaknya tenaga listrik yang diproduksi 2004 – 2007 ... 70
21. Luas kawasan hutan menurut tata hutan kesepakatan 2007 (ha) ... 74
22. Persentase produksi padi menurut kecamatan 2007... 75
23. Produksi komoditi kakao dan kelapa 2006-2007 ... 76
24. Persentase produksi perikanan menurut kecamatan 2007 ... 77
25. Produksi pertambangan batubara dan minyak bumi 2006-2007 ... 77
26. Kawasan tambang batubara dan minyak bumi... 78
27. Kawasan permukiman yang berkelompok dan terpencar ... 84
28. Kawasan permukiman yang berada di atas batas wilayah perbatasan ... 84
29. Kawasan permukiman yang berada di muara sungai dan kumuh ... 85
30. Peta pengembangan permukiman di setiap kluster ... 87
31. Pembagian kluster di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan ... 90
32. Produksi minyak bumi (MMSTB) 2000 - 2007 (BBL) ... 92
33. Kesesuaian lahan untuk pertambangan ... 93
34. Peta kesesuaian lahan untuk perkebunan ... 95
35. Produksi komoditi tanaman perkebunan 2002-2007 (ton) ... 96
xx
kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 106 40. Matriks DP-D untuk subelemen masalah dalam pengembangan
kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 107 41. Peringkat elemen tolok ukur berdasarkan nilai driver power... 110 42. Diagram hierarki dari subelemen tolok ukur dalam pengembangan
kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbataan negara ... 111 43. Matriks DP-D untuk subelemen tolok ukur dalam pengembangan
kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 112 44. Diagram hirarki AHP pada pengembangan kawasan
permukiman perbatasan negara ... 113 45. Urutan prioritas faktor dalam pengembangan kawasan
permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 114 46. Urutan prioritas stakeholder dalam pengembangan kawasan
permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara... 117 47. Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan kawasan
permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 119 48. Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan kawasan
xxi
Halaman
1 Kebutuhan data MPE, kriteria dan deskripsi ... 173
2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 174
3. Analisis ISM faktor kunci elemen masalah ... 193
4. Analisis ISM faktor kunci elemen tolok ukur ... 194
5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses) ... 195
6. Daftar responden ... 228
1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan
dengan garis pantai kurang lebih 81.900 km dan memiliki kawasan yang
berbatasan dengan sepuluh negara, baik perbatasan darat maupun laut. Wilayah
darat Republik Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua Nugini
dan Timor Leste. Wilayah laut ZEE Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara,
yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau,
Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Wilayah laut teritorial Indonesia
berbatasan dengan tujuh negara, yaitu Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina,
Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini (Bappenas 2004).
Wilayah perbatasan darat Indonesia berada di tiga pulau, yaitu Pulau
Kalimantan, Papua, dan Pulau Timor. Perbatasan tersebut tersebar di empat
provinsi dan lima belas kabupaten/kota yang masing-masing wilayah memiliki
karakteristik kawasan yang berbeda-beda. Sebagian besar wilayah perbatasan di
Indonesia masih merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana
sosial serta ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan pada masa lalu
bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat
karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak, telah menjadikan
paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan
keamanan daripada kesejahteraan. Akibatnya wilayah perbatasan menjadi daerah
yang tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan dan masyarakatnya menjadi
miskin sehingga secara ekonomi wilayah ini lebih berorientasi kepada negara
tetangga. Sebagai contoh, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia. Malaysia
telah membangun pusat-pusat pertumbuhan di koridor perbatasannya melalui
berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan
bagi pemerintah maupun masyarakatnya.
Dengan pemerlakuan perdagangan bebas internasional dan kesepakatan serta
kerjasama ekonomi, regional maupun bilateral, peluang ekonomi di beberapa
wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi
subregional antara Indonesia dengan negara tetangga ASEAN pada khususnya dan
negara Kawasan Asia Pasifik pada umumnya perlu dimanfaatkan secara optimal
sehingga memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak secara seimbang. Untuk
melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan subregional
tersebut, Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta
program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga tidak tertinggal
dengan negara-negara tetangga.
Prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan
kerjasama bilateral dan subregional perlu disiapkan. Penyediaan prasarana dan
sarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu,
penentuan prioritas diperlukan baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.
GBHN 1999 telah mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan merupakan
kawasan tertinggal yang harus mendapat prioritas dalam pembangunan. Amanat
GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 - 2004 yang memuat
program-program prioritas selama lima tahun. Komitmen pemerintah melalui kedua produk
perundang-undangan tersebut pada kenyataannya belum dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari segi
politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan
bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN) menetapkan bahwa penataan ruang wilayah perbatasan
negara akan diprioritaskan dan percepatan pertumbuhannya didorong melalui
pembangunan di berbagai sektor, antara lain sektor permukiman agar dapat
terwujud pusat-pusat petumbuhan baru di wilayah perbatasan.
Sektor permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
mempunyai peran strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia
Indonesia. UUD 1945 pasal 28 h ayat 1 mengamanatkan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup baik dan dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 40. Oleh karena
itu, permukiman sebagai wadah tempat tinggal perseorangan maupun dalam
entitas sosial baik dalam bentuk keluarga atau lainnya merupakan hak setiap
orang.
Pengembangan permukiman di wilayah perbatasan dalam Undang-Undang No.
4 Tahun 1992, diamanatkan sebagai pengembangan permukiman khusus.
Pengembangan permukiman khusus menjadi salah satu program prioritas
pembangunan wilayah perbatasan dalam upaya pengembangan potensi ekonomi
dan sumber daya alam. Masih terbatasnya infrastruktur dan kurang
berkembangnya permukiman di wilayah perbatasan baik yang berada dalam
kawasan perkotaan maupun perdesaan menyebabkan aktivitas sosio-ekonomi
banyak berorientasi ke negara tetangga. Selain menyebabkan ketergantungan
negara tetangga, hal ini juga menyangkut keamanan, kehormatan, dan kesadaran
masyarakat perbatasan akan identitas nasional.
Dalam rangka mewujudkan keterpaduan dalam pembangunan di wilayah
perbatasan khususnya dalam sektor permukiman, perlu dipahami profil
karakteristik dan kebutuhan pengembangan permukiman. Hal ini dimaksudkan
agar diketahui arah kecenderungan pengembanganya yang meliputi aspek-aspek
keselarasan antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung, keterkaitan antara
pusat-pusat pertumbuhan baru dengan pusat-pusat kegiatan (kota), penguatan pola
interaksi orientasi ekonomi yang berbasis potensi sumber daya alam wilayah.
Oleh karena itu, diperlukan penyiapan perangkat kebijakan pengembangan
kawasan pemukiman di tingkat kabupaten, kawasan pusat pertumbuhan maupun
pada kawasan yang sangat terinci di wilayah perbatasan negara.
Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah
perbatasan terdapat enam kategori yaitu: (1) melindungi ruang terbuka
hijau/konservasi dan sumber daya alam, (2) dapat mengoptimalkan penggunaan
lahan, (3) mengurangi dan efisiensi pembiayaan pembangunan infrastruktur, (4)
mendorong sinergitas hubungan kota dan desa, (5) memastikan transisi penggunan
lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Cho
Dinamika kegiatan ekonomi perkotaan di wilayah perbatasan merupakan
kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan
baru) perbatasan negara. Namun, apabila tidak terkendali, hal ini akan dapat
menjadi penghambat dalam pengembangan potensi pertumbuhan sebagai
penggerak pengembangan sosial, kependudukan, ekonomi, dan peningkatan
kesejahteraan secara berkelanjutan di wilayahnya (Canales 1999). Berdasarkan hal
tersebut kiranya perlu dibuat desain kebijakan pengembangan kawasan
permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara.
1.2 Perumusan Masalah
Kabupaten Nunukan yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Kalimantan Timur yang berada pada wilayah perbatasan negara dalam PP Nomor
26 Tahun 2008 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) ditetapkan
sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) wilayah perbatasan negara.
Konsekuensi penetapan sebagai KSN adalah bahwa pemerintah pusat dan
pemerintah daerah harus memprioritaskan kegiatan penataan ruangnya dan semua
sektor pembangunan terkait di kawasan tersebut. Sementara kondisi wilayah
perbatasan di Kabupaten Nunukan belum mendapatkan perhatian serius dalam
pembangunan bidang sosial, ekonomi, maupun fisik seperti prasarana kawasan
permukiman untuk mendorong tumbuhnya pusat pertumbuhan baru (border city).
Kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan pembangunan dengan wilayah
perbatasan negara tetangga yang kemudian menyebabkan banyaknya pelintas
batas antarnegara. Hal ini akan lebih menguntungkan ekonomi negara tetangga
dan mengurangi kesadaran masyarakat akan identitas nasional.
Kondisi Kabupaten Nunukan seperti halnya kota-kota kecil di wilayah
perbatasan yang masih kurang berkembang. Padahal, kota-kota kecil tersebut
seharusnya dapat berfungsi sebagai pusat-pusat permukiman untuk aktivitas
penduduk di wilayah perbatasan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang
Tabel 1. Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk tahun 2008 di Kabupaten Nunukan
Kecamatan Luas Wilayah (km2)
Jumlah Penduduk (jiwa)
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
Krayan 1837,45 8438 5
Krayan Selatan 1756,46 2271 1
Lumbis 3645,50 9380 3
Sembakung 2055,90 8503 4
Nunukan 1596,77 53951 34
Sebuku 3124,90 11731 4
Sebatik 104,42 20283 194
Sebatik Barat 142,19 11028 78
Jumlah 14263,68 125585 9
Sumber : Badan Pusat Statistik, Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Permasalahan lainnya adalah permukiman di wilayah perbatasan Kabupaten
Nunukan kondisi lingkungannya tidak tertata, terpencar, kumuh, dan tidak
dikelola dengan baik. Selain itu, belum ada koordinasi pembangunan permukiman
antara stakeholders terkait secara efisien dan efektif di wilayah perbatasan
sehingga diperlukan adanya perangkat kebijakan untuk meningkatkan koordinasi
pelaksanaan di daerah. Wilayah perbatasan Pulau Kalimantan seperti Kota
Nunukan di Kabupaten Nunukan juga merupakan salah satu pintu gerbang dan
transit dengan Malaysia. Kawasan tersebut sering menyebabkan terjadinya
kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dengan pendatang yang bekerja di
Malaysia.
Dalam lingkup Kabupaten Nunukan sebagai salah satu wilayah perbatasan di
Pulau Kalimantan, pembangunan yang dilaksanakan masih menyisakan persoalan
yang cukup menonjol, yakni ketimpangan pembangunan antara wilayah daratan di
Pulau Kalimantan dengan wilayah kepulauan, seperti Pulau Nunukan sebagai
ibukota kabupaten. Hal ini dapat dilihat dari ketimpangan jumlah rumah dengan
Tabel 2. Jumlah KK, jumlah rumah, dan kebutuhan rumah tahun 2008
Kecamatan Jumlah KK Jumlah Rumah Kebutuhan Rumah
Krayan 1917 1150 767
Krayan Selatan 545 382 164
Lumbis 2366 1538 828
Sembakung 2230 1561 669
Nunukan 14653 10990 3663
Sebuku 2593 1556 1037
Sebatik 5163 2840 2323
Sebatik Barat 3235 2265 971
Jumlah 32702 22280 10422
Sumber : Badan Pusat Statistik, Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Pada kawasan permukiman yang berbatasan langsung dengan wilayah
Malaysia seperti Kabupaten Nunukan diperlukan adanya pengembangan dan
penataan terkait dengan rencana Pemerintah Malaysia untuk melakukan
pemagaran pada wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan banyaknya perumahan
yang berada persis di batas wilayah Indonesia dengan Malaysia.
Kondisi ini membutuhkan strategi kebijakan pengembangan wilayah yang
menjamin tercapainya keterpaduan dan keseimbangan dalam pembangunan
seluruh kawasan secara lebih sinergi. Pengembangan wilayah perbatasan darat di
Pulau Kalimantan secara umum dan Kabupaten Nunukan secara khusus pada
masa datang diharapkan dapat lebih diarahkan sebagai pengembangan kawasan
khusus dengan pola pemanfaatan ruang yang spesifik, sesuai dengan dinamika
wilayah perbatasan.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, muncul
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menjadi landasan pelaksanaan kegiatan yaitu sebagai
berikut:
a. Bagaimana kondisi permukiman yang ada di wilayah perbatasan Kabupaten
Nunukan?
b. Bagaimana potensi SDA yang terkait dalam mendukung pengembangan
c. Bagaimana pengaruh-pengaruh faktor-faktor penting permasalahan perbatasan
dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan permukiman
berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan.?
d. Bagaimana kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman
berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan untuk
mendukung fungsi wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain kebijakan pengembangan
kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten
Nunukan. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi permukiman yang ada (existing
condition) di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan.
2. Mengindentifikasi dan menganalisis potensi SDA yang terkait dan mendukung
pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan
negara di Kabupaten Nunukan.
3. Menganalisis dan merumuskan faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam
penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman
berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan.
4. Menyusun kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman
berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai masukan
kebijakan dalam mengembangkan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah
perbatasan negara secara terpadu di Indonesia. Selain itu, dari aspek
pengembangan keilmuan ke depan diharapkan bermanfaat bagi pembelajaran
dalam sistem pengambilan keputusan dalam pengembangan permukiman
1.5 Kerangka Pemikiran
Kondisi perbatasan di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut, berbeda
satu dengan lainnya. Demikian pula dengan negara-negara tetangga yang
berbatasan, setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa negara
tetangga memiliki kondisi sosial dan ekonomi yang lebih baik. Namun, sebagian
kondisinya relatif sama, bahkan ada pula yang kondisi sosial ekonominya lebih
terbelakang. Adanya kondisi tersebut, mengakibatkan masing-masing wilayah
perbatasan memerlukan pendekatan yang berbeda. Walaupun demikian, perlu ada
suatu kebijakan dasar sebagai payung dari seluruh kebijakan dan strategi khusus
termasuk di dalamnya berlaku untuk pengembangan permukiman.
Secara umum, pengembangan kawasan permukiman perbatasan memerlukan
suatu pola atau kerangka penanganan pengembangan yang menyeluruh dan
terpadu, meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan
kerjasama yang efektif mulai dari pemerintah pusat hingga tingkat
kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan
kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro dan disusun berdasarkan
proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan
pemerintah daerah. Adapun jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai
dengan operasional.
Kebijakan umum pengembangan kawasan permukiman perbatasan antarnegara
terdiri dari kebijakan-kebijakan seperti peningkatan keberpihakan terhadap
wilayah perbatasan sebagai wilayah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan
pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang melalui kebijakan
pengembangan permukiman yang berkelanjutan.
Selama ini, pengelolaan wilayah perbatasan berbeda dengan paradigma saat
ini. Pada masa lalu pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan pada aspek
keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional
relatif stabil sehingga pengembangan wilayah perbatasan perlu pula menekankan
kepada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah
perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat
diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat,
pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan
wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan sekaligus pendekatan
keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai
program dan kegiatan termasuk kawasan permukiman dan infrastruktur secara
terpadu, tertata, dan berkelanjutan.
Paradigma masa lalu yang menjadikan wilayah perbatasan sebagai ”halaman
belakang” merupakan pandangan yang keliru sebab wilayah perbatasan di
Indonesia memiliki nilai politik, ekonomi, dan keamanan yang sangat strategis,
tidak saja bagi bangsa Indonesia melainkan juga bagi negara-negara lainnya,
terutama negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Hal ini disebabkan posisi
geografis Indonesia yang berada di titik silang Benua Eropa-Asia, Asia-Australia,
dan Australia-Eropa.
Dengan posisi strategis ini, Indonesia berpeluang sangat besar di Kawasan Asia
dan Pasifik pada masa yang akan datang. Akselerasi pembangunan wilayah
perbatasan melalui pengembangan kawasan permukiman sebagai pusat
pertumbuhan baru dan sekaligus sebagai embrio kegiatan ekonomi merupakan
upaya yang logis. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur dan sektor
strategis membutuhkan biaya dan investasi yang besar. Dalam rangka mendukung
kegiatan tersebut diperlukan upaya penataan ruang, pembangunan infrastruktur
kawasan, kebijakan investasi, SDM, serta kelembagaan yang mendukung
pengembangan pusat pertumbuhan. Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan yang
telah diterapkan oleh beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Percepatan pembangunan wilayah perbatasan dengan menggunakan
pendekatan kesejahteraan kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat dapat
dimulai dengan mengembangkan terlebih dahulu mengembankan kawasan
permukiman perbatasan. Hal ini menyebabkan minimnya infrastruktur wilayah,
terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat.
Keterbatasan pelayanan publik di wilayah perbatasan menyebabkan orientasi
aktivitas sosial ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga. Dalam rangka
memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh
pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah,
menggunakan pendekatan kesejahteraan. Untuk lebih jelasnya, kerangka
pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran penelitian
1.6 Kebaruan (Novelty)
Dalam mewujudkan pengembangan kawasan permukiman di wilayah
perbatasan negara, pada pelaksanaannya sering terjadi kesenjangan koordinasi
Pendekatan Lingkungan dan Hankam Aktivitas Kegiatan Perdagangan Sumber Daya Alam Potensi Permasalaha Kesenjangan Ekonomi dan Kemiskinan Kawasan Tidak Tertata dan Kumuh Ancaman Kehilangan SDA & Wilayah
Sektor Potensial Kws Untuk Diinvestasikan
Pengembangan Kawasan Perkim Perbatasan Negara
Formulasi Kebijakan dan Strategi Pengembangan Perkim Perbatasan Negara
Prioritas Kebijakan dan Strategi Pengembangan
Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah
Perbatasan Negara SDA dan Lingkungan Kesenjangan Prasarana dan Sarana Pembanding
Wilayah perbatasan Negara
antara stakeholders terkait di pusat maupun di daerah. Hal ini mengakibatkan,
tidak terwujudmya kondisi kawasan permukiman yang tertata, terarah, dan
berkelanjutan. Untuk pelaksanaan ke depan, diperlukan suatu instrumen
pengaturan berupa kebijakan dan strategi pengembangan. Kajian dan penelitian
yang memberikan pembuktian pentingnya instrumen pengaturan tersebut adalah
bentuk arahan-arahan kebijakan dan strategi untuk pelaksanaan pengembangan
kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara selama ini
belum ada.
Terkait dengan pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman
berkelanjutan, belum pernah ada penelitian atau upaya mendesain suatu kebijakan
dan strategi dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan khususnya
di wilayah perbatasan negara yang bersifat komprehensif dan terpadu. Kalaupun
ada, masih terbatas pada kegiatan stimulan pengembangan sarana dan prasarana
lingkungan permukiman yang bersifat sektoral.
Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Konsepsi dan pemikiran baru bahwa pengembangan kawasan permukiman di
wilayah perbatasan negara, berdasarkan faktor pengungkit yang menjadi
permasalahan utama di wilayah perbatasan negara sebagai dasar pembuatan
kebijakan dan strategi pelaksanaan sebagai instrumen petunjuk pelaksanaan
kepada para pelaku pembangunan dalam pengembangan kawasan permukiman
yang berkelanjutan.
2. Memperkuat konsepsi dan pemikiran pengembangan kawasan permukiman
yang terpadu berbasis SDA sektor unggulan agar kawasan permukiman yang
dikembangkan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat mendorong
percepatan pembangunan permukiman di wilayah perbatasan negara (sebagai
beranda depan negara) yang lebih baik (terarah, tertata), dan berkelanjutan.
3. Membuat desain kebijakan dalam pelaksanaan pengembangan kawasan
permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara sebagai suatu model
decision support system melalui tahapan: identifikasi faktor dominan,
menetapkan SDA sektor unggulan kawasan, merumuskan kebijakan, dan
menyusun strategi pelaksanaannya dengan menggunakan analisis terpadu yang
methodology/SSM) dengan alat analisis metode perbandingan eksponensial
(MPE), interpretative structural modelling (ISM), dan analytical hierarchy
process (AHP).
1.7 Istilah dan Definisi
Beberapa istilah atau definisi yang dipakai meliputi:
1. Wilayah
Adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait yang batas-batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan
Umum).
2. Kawasan
Adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).
3. Kawasan Khusus
Adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang
ditetapkan oleh pemerintah (pusat dan/atau daerah) untuk menyelenggarakan
kegiatan dengan fungsi khusus seperti industri, perbatasan, nelayan,
pertambangan, pertanian, pariwisata, pelabuhan, cagar budaya, dan rawan
bencana (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perumahan Kawasan
Khusus, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).
4. Wilayah Perbatasan
Adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang
berbatasan dengan negara lain, baik terletak perbatasan darat maupun
perbatasan laut (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Wilayah Perbatasan, Pasal 1 Bab
Ketentuan).
Adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).
6. Kawasan Perkotaan
Adalah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi(Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1
Bab Ketentuan Umum)
7. Rumah
Adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum)
8. Perumahan
Adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992
tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum)
9. Permukiman
Adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang
berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan (Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan
Umum).
10.Kawasan Permukiman
Adalah kawasan budidaya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dengan
fungsi utama untuk permukiman (Peraturan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
11.Perumahan Wilayah Perbatasan
Adalah perumahan kawasan khusus untuk menunjang kegiatan berbagai
fungsi di wilayah perbatasan negara (Peraturan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Wilayah perbatasan,
Pasal 1 Bab Ketentuan).
12. Persyaratan Ekologis
Adalah persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik
antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan
sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan
(Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).
13. Prasarana Lingkungan
Kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan
permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab
Ketentuan Umum).
14. Penyelenggaraan Pengembangan Kawasan Permukiman
Upaya pengembangan permukiman yang diselenggarakan melalui kegiatan
penetapan lokasi dan perencanaan kawasan termasuk untuk mitigasi bencana;
penyediaan tanah; penyiapan lahan; penyediaan prasarana dan sarana
kawasan; dan pengendalian pelaksanaan pengembangan kawasan (Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2006 tentang Pengembangan Perumahan Kawasan Khusus, Pasal 1 Bab
Ketentuan).
15. Masyarakat di Perbatasan Negara
Adalah orang atau sekelompok orang yang bekerja dan bertempat tinggal di
kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara (Peraturan Menteri
Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Wilayah
2.1 Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan
sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation's
Conference on The Human Environment di Stockholm tahun 1972.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan
datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (World Commission on Environment
and Development (WCED) 1987). Komisi Brundland menyatakan bahwa
pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai
keselarasan, tetapi merupakan suatu proses perubahan di mana eksploitasi
sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan
institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini.
Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh
membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.
Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial, dan politik.
Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat.
Tujuan tersebut merupakan atribut yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh
masyarakat. Atribut tersebut dapat mencakup kenaikan pendapatan per kapita,
perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumber daya,
distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsep
berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum di mana karakter sektor
pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce and Tannis
1999).
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, telah disepakati secara global
mengenai bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola agar berkelanjutan.
Hal ini digunakan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan
kegiatan ekonomi. Berdasarkan kesepakatan ini, dijelaskan bahwa pengelolaan
sumber daya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yaitu
konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk
mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan
sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan
yang akan datang. Sehubungan dengan konsep pelaksanaan paradigma
pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan dalam bentuk
[image:34.612.140.490.206.433.2]kerangka segitiga.
Gambar 2. Diagram pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993 atau Djakapermana 2010)
Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk
pengelolaan sumber daya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan
berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat
berkelanjutan (Serageldin 1996).
Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan
harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan
penggunaan sumber daya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara
ekologi berarti kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas
ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan mengonservasi sumberdaya
alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan
bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan
hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat,
EKOLOGI Sumber Daya Alam Wilayah Perbatasan)
SOSIAL Keadilan Pemerataan Kesejahteraan
• Nilai-nilai budaya
• Partisipasi
pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.
Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan
berkelanjutan ini dapat tercapai, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi, diperlukan
kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah,
pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi
kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Kedua, dalam konteks hubungan
antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi
masyarakat, swasta, dan konsultasi.
Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan di banyak
negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator
keberlanjutan. Sebagai contoh, Centre for International Forestry Research
(CIFOR) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan
mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles
(2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan
memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial,
dan keberlanjutan kelembagaan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan
untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial,
kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.
Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan pengelolaan
lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup (UU No. 23 Tahun 1997). Definisi ini
menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang
luas karena tidak hanya meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga
mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses
penataan lingkungan. Dengan demikian, perlu disadari bahwa upaya-upaya
pengelolaan wilayah tidak akan tercapai. Bahkan, yang akan terjadi justru
kerusakan lingkungan (baik "renewable" maupun yang "non renewable")
yang justru akan menjadi "cost" yang "never ending". Sebaliknya bila ada
rekayasa pengaturan pemanfaatan ruang dengan baik terhadap berbagai
akan dihasilkan suatu usulan optimasi ruang yang optimal.
Adanya pengalokasian ruang-ruang kegiatan produksi setelah melalui
proses optimasi pemanfaatan ruang, diharapkan terjadi peningkatan
pertumbuhan ekonomi masyarakat di wilayah tersebut. Arahan pengaturan
berbentuk rencana tata ruang melalui optimasi kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam yang ada harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung
wilayah serta memprediksi pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan
datang. Dengan demikian, tercapai sinergi antara berbagai jenis kegiatan
pengelolaan sumber daya alami dengan fungsi lokasi, kualitas lingkungan, dan
estetika wilayah.
2.2 Penataan Ruang Wilayah
Penataan ruang adalah proses mengoptimalkan sumber daya alam bagi
kepentingan manusia dan mahkluk hidup lainnya yang didasarkan pada daya
dukung alam dengan didukung tekonologi yang sesuai, serasi, selaras, dan
seimbang dengan ekosistem lainnya serta memberikan manfaat bagi
pengembangan wilayah (UU 26/2007). Untuk mencapai tujuan penataan ruang
tersebut, proses penataan ruang harus melalui tahapan perencanaan, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah.
Menurut Rustiadi et al. (2004), dalam proses penataan ruang wilayah, harus
dipahami terlebih dahulu konsep-konsep mengenai wilayah. Ada beberapa
pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih
dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep
ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang
wilayah ekologi, dan ruang wilayah politik. Semua unsur yang terkait konsep
ruang wilayah ini harus sinergi, terpadu, dan saling memengaruhi secara sistem
dengan memberikan manfaat optimal. Wilayah itu sendiri adalah batasan
geografis (delineasi yang dibatasi oleh koordinat geografis) yang mempunyai
pengertian/maksud tertentu atau sesuai fungsi pengamatan tertentu.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah
terkait yang yang dibatasi oleh koordinat tertentu untuk maksud dan tujuan
tertentu. Menurut Rustiadi (2004), pengertian ini akan selalu terkait aspek
kepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan, maupun pertahanan.
Beberapa literatur pada umumnya juga memberikan batasan pengertian
wilayah yang terkait dengan aspek lingkungan, ekonomi, kondisi fisik sumber
daya alam, karakteristik sosial budaya, dan wilayah batas administrasi yang rigid.
Secara umum, beberapa pengertian wilayah ini dapat dikelompokan sebagai
berikut.
1) Ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai
kehidupan alam dan buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur
hubungan yang hierarkis antara ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS)
dengan sub-DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan struktur bagian hutan
tropisnya.
2) Ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yang berorientasi
menggambarkan maksud fungsi (manfaat-manfaat) ekonomi, seperti wilayah
produksi, konsumsi, perdagangan, serta aliran barang dan jasa. Biasanya hal
ini juga terkait dengan satuan fungsi tingkat pertumbuhan ekonomi, wilayah
pasar, pendapatan daerah, dan struktur pusat pelayanan ekonomi serta
transportasi. Ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yang
terkait dengan budaya adat dan berbagai perilaku masyarakatnya.
Dalam konteks pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor pembangunan,
pemahaman terhadap konsep ruang wilayah yang disusun berdasarkan klaster ini
menjadi penting. Hal ini ditujukan agar dapat secara rinci dan mudah menetapkan
variabel dan komponen dominan yang memengaruhi proses pengembangan
permukiman di wilayah perbatasan negara sebagai pusat pertumbuhan baru.
Memahami kecenderungan pertumbuhan kota (pusat pertumbuhan baru)
sangat terkait dengan empat faktor, yaitu kebijakan, stakeholders, perilaku
masyarakat, dan proses serta pola pertumbuhan. (1) Kebijakan merupakan faktor
paling penting untuk mengontrol pertumbuhan suatu kota pada skala makro. (2)
Pola merupakan tingkat paling rendah di mana pola dapat dilihat secara langsung
hasilnya. (3) Proses dapat mengindikasikan dinamika pertumbuhan kota. (4)
model seperti sebuah tingkatan, dari pola secara bertahap meningkat ke
kebijakan. Dalam aturan teori hierarki, memahami tiap tingkat harus
mempertimbangkan tingkat yang paling atas dan paling bawah sebagai
perbandingan hubungan yang paling dekat. Untuk memahami proses,
konsekuensinya adalah harus melihat pola dan perilaku yang terkandung di
dalamnya. Pola merupakan gambaran sementara dari proses dan perilaku yang
merupakan sumber dari proses pengambilan keputusan (Cheng 1999).
2.3 Pengembangan Permukiman
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Permukiman disebutkan pengertian dasar istilah permukiman. Perumahan adalah
suatu kelompok rumah yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Permukiman adalah bagian
dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan serta
penghidupan.
Kebijakan perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000—2020 antara
lain pengembangan lokasi perumahan dengan memperhatikan jumlah penduduk
dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, serta tersedianya
fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kantor Menteri Negara
Perumahan Rakyat 1999).
Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa permukiman
merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan
budidaya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan
ketersediaan sumber daya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain.
Dalam kenyataannya, hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi
secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan suatu kawasan/kota.
Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan,
serta pembangunan permukiman yang kontributif terhadap rencana tata ruang.
Berdasarkan pengertian dasar tersebut, tampak bahwa batasan aspek
Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan
ukuran dengan penataan ruang dan prasarana serta sarana lingkungan yang
terstruktur. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) adalah terjadinya :
(i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat; (ii) ketimpangan pelayanan
infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan; (iii) konflik kepentingan
dalam penentuan lokasi perumahan; (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi
sumber daya alam; dan (v) komunitas lokal tersisih, di mana orientasi
pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu serta menguntungkan.
Tantangan pengembangan kawasan permukiman yang akan datang antara lain
(i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk
berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (ii) perkembangan tak terkendali di
daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh; (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh
sektor nasional dan global; serta (iv) kegagalan implementasi dan kebijakan
penentuan lokasi perumahan (Kirmanto 2005).
Lokasi kawasan permukiman ditentukan berdasarkan pilihan yang optimal,
selanjutnya perlu dibuat rencana tapak (site planning) agar dalam jangka panjang
perumahan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif dalam arti luas. Rencana
tapak ini penting karena akan menentukan bentuk suatu kawasan/kota. Selain itu,
rencana tapak dapat menciptakan kemudahan atau kesukaran bagi para penghuni,
serta dapat mempengaruhi tingkah laku penghuni di mana pun kawasan
permukiman tersebut berada, termasuk di wilayah perbatasan negara.
Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak
langsung terhadap kualitas lingkungan. Sebagai contoh, fakta adanya kawasan
permukiman liar dan tidak tertata yang keberadaannya juga dapat mengganggu
ekosistem air tanah. Di lain pihak, masyarakat dan pekerja di wilayah perbatasan
banyak kekurangan rumah sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumahnya, para
pekerja menyewa dengan tarif setengah dari gajinya. Apabila para pekerja dapat
dipenuhi kebutuhan perumahannya oleh para stakeholders terkait, pembelanjaan
gaji untuk kebutuhan kesejahteraan akan lebih besar sehingga etos kerja para
Penanganan pengembangan kawasan permukiman disesuaikan dengan UU No.
4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Pada pasal 2, dijelaskan
bahwa lingkup pengaturan, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang
menyangkut penataan perumahan, meliputi kegiatan pembangunan baru,
pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaataannya. Adapun
yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru,
perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.
Konsep penataan dan pengembangan permukiman di Malaysia termasuk di
wilayah perbatasan dengan Indonesia menggunakan pola cascade (ditarik ke
dalam tidak linier di sepanjang jalan). Hal tersebut dimaksudkan untuk
menghindari perkembangan permukiman berpola linier (ribbon development)
(Departemen PU 2002).
2.4 Pengembangan Wilayah Perbatasan
Kondisi perbatasan di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut, berbeda
satu dengan yang lain. Demikian pula dengan negara-negara tetangga yang
berbatasan. Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa negara
tetangga memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Namun, sebagian
kondisinya relatif sama akibat dari lemahnya hubungan kegiatan sosial ekonomi
masyarakat di wilayah perbatasan. Bahkan, adapula yang kondisinya jauh lebih
terbelakang (Combes 2002). Kondisi tersebut mengakibatkan masing-masing
wilayah perbatasan memerlukan pendekatan yang berbeda. Walaupun demikian,
perlu ada suatu kebijakan dasar sebagai payung dari seluruh kebijakan dan strategi
khusus yang berlaku secara umum bagi seluruh wilayah perbatasan, baik darat
maupun laut.
Secara umum, pengembangan wilayah perbatasan memerlukan suatu pola atau
kerangka penanganan wilayah perbatasan yang menyeluruh meliputi berbagai
sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang efektif
dari mulai pemerintah pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan
tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro
sampai tingkat mikro. Penyusunannya berdasarkan proses yang partisipatif baik
secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah. Jangkauan
Kebijakan umum pengembangan wilayah perbatasan antarnegara terdiri dari
beberapa kebijakan sebagai berikut. Peningkatan keberpihakan terhadap wilayah
perbatasan sebagai wilayah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan
pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang.
Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan pada masa lampau berbeda dengan
paradigma saat ini. Pada masa lalu, pengelolaan wilayah perbatasan