• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat)"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN KETERKAITANNYA DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

(Studi Kasus : Provinsi Kalimantan Barat)

HANNA ADITYA JANUARISKY A14070066

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

HANNA ADITYA JANUARISKY. Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat). Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan M. ARDIANSYAH

Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari aktivitas manusia pada suatu lahan. Penggunaan lahan sangat dinamis karena mengalami perubahan dari suatu penggunaan lahan menjadi penggunaan lahan lainnya. Teknik tebang bakar merupakan metode umum yang telah lama diaplikasikan dalam pembukaan lahan terutama dalam membuka hutan. Sedangkan dalam lahan pertanian, pembakaran biasanya dilakukan dalam penyiapan lahan sebelum tanam. Permasalahan yang muncul adalah penggunaan api dalam aktivitas membuka hutan dan penyiapan lahan seringkali tidak terkendali sehingga justru menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang meluas.

Indikator kebakaran hutan/lahan yang telah banyak digunakan di berbagai negara adalah dengan mendeteksi titik panas yang berasal dari pantauan satelit NOAA-AVHRR. Titik panas hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Provinsi Kalimantan Barat adalah salah satu wilayah dengan kemunculan titik panas terbanyak selain Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan. Melalui rilis yang disebar pertengahan Agustus 2011 lalu, Kemenhut menetapkan target pengurangan hotspot sebesar 20% per tahun dari rata-rata tahun 2005-2009 hingga tahun 2014 di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.

(3)

satelit NOAA mencapai jumlah maksimum ketika memasuki musim kemarau dengan curah hujan yang rendah seperti bulan Juli dan bulan Agustus. Kemunculan titik panas tersebut akan semakin banyak jumlahnya ketika terjadinya fenomena iklim El-Nino seperti yang terjadi pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009.

Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat TM yang diakuisisi tahun 2000, 2005 dan 2010 diperoleh 13 jenis penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005 sebesar 1,89% dimana yang paling banyak terjadi adalah perubahan penggunaan lahan terbuka menjadi semak belukar. Sedangkan selama rentang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,99% dimana yang paling mendominasi adalah perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi perkebunan yaitu sebesar 19,82% dari total perubahan penggunaan lahan yang terjadi.

Terdapat keterkaitan antara kemunculan titik panas yang kontinyu dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kemunculan titik panas yang kontinyu bisa terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan jangka waktu yang relatif singkat. Tetapi kemunculannya yang terus menerus selama rentang waktu tertentu menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Dalam hal ini terjadi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan perkebunan.

(4)

SUMMARY

HANNA ADITYA JANUARISKY. The Distribution Pattern of Heat Points (hotspots) and its Association with Land Use Change (A Case Study of West Kalimantan Province). Supervised by KOMARSA GANDASASMITA and M. ARDIANSYAH

Land use is a real form of human activities on a land. The using of land is very dynamic because it changes from one current land use to another land use. Slash and burn is a method that has long been applied to open the forest. Whereas in agriculture, burning is usually done in the land preparation before planting. The problem that occurred is the use of fire in the activities of clearing and preparing land often uncontroll, so that it caused forest fire expanded.

The indicator of forest or land fire that has been widely used is many countries is to detect hotspot which come from NOAA-AVHRR satellite. The hotspot only gives a little information if its not supported by analysis and interpretation. West Kalimantan province is the region with the highest appearance of hotspot. With release on half Agustus 2011, Kemenhut says that decreasing hotspot must be 20% from average 2005-2009 to 2014 in Kalimantan, Sumatera and Sulawesi.

Based on the analysis of hotspot distribution is known that Sintang and Ketapang district are region which has the largest hotspot, while in Pontianak and Singkawang City almost rare appearance of hotspot. Mixed garden is landuse which have many hotspot due to land preparation before planting activity. Based on temporal distribution of hotspot analysis, its known that the hotspot has same pattern in every year. The number of hotspot which is monitored by NOAA satellite reach the maximum number when entering dry season with low rainfall such as July and August. The appearance of hotspot will increase when the climate phenomenon such as El-Nino happened in the year 2002, 2004, 2006 and 2009.

(5)

the bush for about 1,89% during 2000-2005. While during 2005-2010, change from bush to the plantation mostly happened for about1,99%.

There are relationship between hotspot which is continued with land use change. Appearance of hotspot which is continued could happened in long or short periode and it will cause the change of forest to become plantation.

(6)

POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN KETERKAITANNYA DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

(Studi Kasus : Provinsi Kalimantan Barat)

HANNA ADITYA JANUARISKY A14070066

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Penelitian : Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan

(Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat) Nama : Hanna Aditya Januarisky

NRP : A14070066

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Komarsa Gandasasmita, M. Sc NIP. 19550111 197603 1 001

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah NIP . 19630604 198811 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Januari 1990. Penulis merupakan putri kedua dari pasangan Bapak Wahyu dan ibu Nelwati. Penulis memulai pendidikan formal pertama di Taman Kanak-Kanak (TK) Mesra Bogor yang diselesaikan pada tahun 1995. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri Bangka IV Bogor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 3 Bogor dan berhasil menyelesaikan pendidikan pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 6 Bogor. Pada tahun 2007, penulis berhasil diterima sebagai mahasiswi Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

skripsi ini. Penelitian ini berjudul “Pola Sebaran Titik Panas (hotspot) dan

Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat)”

Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah kekayaan ilmu pengetahuan pembacanya.

Penulis menyadari bahwa dalam meyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr.Ir. Komarsa Gandasamita, M.Sc selaku Pembimbing Akademik dan juga Pembimbing Skripsi Utama yang telah memberikan perhatian, bimbingan, saran, dan dukungannya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Selaku pembimbing II yang memberikan motivasi dan masukan bagi penulis dalam kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Khursatul Munibah, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi.

4. Mamah tersayang , Ayah tersayang, Kakakku tersayang yang senantiasa selalu memberikan do’a, kasih sayang, perhatian, dukungan moral dan spiritual yang sangat sangat berlimpah kepada penulis.

5. Sodara-sodara SOIL 44!!! kalian yang terhebat!!! bangga menjadi bagian kalian. Terima kasih telah menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan. 6. Wanita wanita tidak penting (Astria hernisa, Setia Wahyu Cahyaningsih,

(10)

dukungan, canda tawa, tolong menolong, bahu membahu selama masa perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini.

7. Sodara-sodara bagian penginderaan jauh dan informasi spasial : Aulia Bahadhori, Kriswindya Tasha, Farid Ridwan, Melinda R, Ika Puspitasari, Herdian Priambodo, Rhoma Purnanto, Herdianto Eka, Adi Yudha, Savitri Agrianti.

8. Kaka Manda, Ajeng Septianti, Andri Firmansyah , Ka Ivong, Ka Linda, Riska, Chisi, Mbak Nurul dan mereka mereka yang saya repotkan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Semua pihak yang turut membantu kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bogor, Maret 2012

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..………... xi

DAFTAR TABEL……….... xiii

DAFTAR GAMBAR……….... xiv

BAB I PENDAHULUAN………. 1.1 Latar Belakang………. 1

1.2 Tujuan Penelitian………. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….. 4

2.1 Titik Panas………... 4

2.2 Peran Satelit NOAA-AVHRR dalam Mengindikasi Kebakaran Hutan……… 5 2.3 Mekanisme Penentuan Titik Panas 6 2.3.1 Metode Sederhana………... 6

2.3.2 Metode Algoritme Kontekstual………... 7

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan... 8

2.4.1 Bahan Bakar……… 8

2.4.2 Cuaca………... 9

2.4.3 Waktu……….. 10

2.5 Citra Satelit Landsat TM…….………. 10

2.6 Interpretasi Citra……….. 11

2.7 Penggunaan Lahan………... 13

2.8 Perubahan Penggunaan Lahan………. 14

2.9 Sistem Informasi Geografis (SIG)………... 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 17

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 17

3.2 Jenis dan Sumber Data………. 18

3.3 Metode Penelitian……… 19

(12)

3.3.2 Tahap Pengolahan dan Pemrosesan Awal Data.………. 19

3.3.3 Tahap Analisis Data Spasial..………. 21

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN………. 23

4.1 Letak Geografis Wilayah……… 23

4.2 Topografi Wilayah………... 24

4.3 Kondisi Iklim dan Cuaca……….. 25

4.4 Kependudukan………. 25

4.5 Jenis Tanah……….. 26

4.6 Anggaran dan Pendapatan Daerah………... 26

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………... 27

5.1Kepadatan Titik Panas ………. ……….. 27

5.2Distribusi Spasial Jumlah Titik Panas Berdasarkan Wilayah Kabupaten/kota……… 28 5.3 Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan….. 31

5.4 Distribusi Temporal Titik Panas……….. 32

5.5 Hubungan Antara Titik Panas dengan Curah Hujan……… 34

5.6 Penggunaan Lahan Tahun 2000, Tahun 2005 dan Tahun 2010…... 36

5.7 Perubahan Penggunaan Lahan Provinsi pada Periode Tahun 2000-2005 dan Tahun 2000-2005-2010………. 40 5.8 Inkonsistensi Penggunaan Lahan Tahun 2010 dengan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan………. 44 5.9 Keterkaitan Titik Panas dengan Perubahan Penggunaan Lahan….. 50

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………. 53

6.1 Kesimpulan……….. 53

6.2 Saran………... 53

(13)

DAFTAR TABEL No.

Teks

Halaman

1. Karakteristik Masing-Masing Band pada Citra Landsat TM………... 11

2. Unsur-unsur dalam Interpretasi Citra………... 12

3. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian………….. 18

4. Jumlah Titik Panas Masing-masing Wilayah Kabupaten………….... 30

Lampiran 1. Data Penggunaan Lahan Tahun 2000………... 58

2. Data Penggunaan Lahan Tahun 2005………... 59

3. Data Penggunaan Lahan Tahun 2010………... 60

4. Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000-2005………... 61

5. Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2005-2010………... 63

6. Data Sebaran Titik Panas pada Masing-masing Penggunaan Lahan... 65

7. Data Curah Hujan Provinsi Kalimantan Barat………. 66

(14)

DAFTAR GAMBAR No.

Teks

Halaman

1. Satelit NOAA-AVHRR……… 6

2. Metode Deteksi Titik Panas dengan Algoritme Kontekstual... 8

3. Peta Lokasi Penelitian……….. 17

4. Diagram Alir Penelitian……… 22

5. Peta Batas Administrasi……… 23

6. Jumlah Titik Panas Tahun 2000-2011……….. 27

7. Titik Panas Pada Masing-masing Penggunaan Lahan Selama Tahun 2000 hingga Tahun 2010………... 31 8. Sebaran Titik Panas Bulanan……… 33

9. Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas……….. 35

10.Penggunaan Lahan Tahun 2000, Tahun 2005 dan Tahun 2010……….. 37 11.Peta Penggunaan Lahan Tahun 2000……… 38

12.Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005……… 39

13.Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010……… 39

14.Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun 2000 - 2005…. 40 15.Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun 2005 - 2010….. 42

16.Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000 - 2005………….. 43

17.Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2005 - 2010………….. 44

18.Peta Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan……… 45

19.Persentase Luas Fungsi Kawasan Hutan……….. 46 20.Persentase Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Eksisting

dengan Peruntukan Kawasan Cagar Alam, Taman Nasional Taman Wisata Alam, Suaka Alam………...

(15)

21.Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan

Lindung (HL) dengan Penggunaan Lahan Eksisting…………

49

22.Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Produksi dengan Penggunaan Lahan

Eksisting………

49

Lampiran

10.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2000……….. 69

11.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2001……….. 69

12.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2002……….. 70

13.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2003……….. 70

14.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2004……….. 71

15.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2005……….. 71

16.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2006……….. 72

17.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2007……….. 72

18.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2008……….. 73

19.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2009……….. 73

20.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2010……… 74

21.Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2011……….. 74 22.Kemunculan Titik Panas yang Kontinyu dan Penambahan

Luas Areal Perkebunan (a)………...

75

23.Kemunculan Titik Panas yang Kontinyu dan Penambahan Luas Areal Perkebunan (b)………...

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Dalam penggunaan lahan ini manusia berperan sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen-komponen yang dianggapnya tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya (Mather, 1986; Gandasasmita, 2001). Dengan kata lain penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari aktivitas manusia pada suatu lahan dan penggunaan lahan bersifat dinamis tergantung dari kondisi sekitar lahan tersebut berada.

Berbagai metode pembukaan lahan telah dipraktekkan. Teknik tebang bakar (slash and burn) merupakan metode yang umum dan telah lama diaplikasikan dalam pembukaan lahan (Van Noordwijk, 2001). Alasan utama penggunaan teknik slash and burn karena dianggap lebih murah, cepat dan praktis dibandingkan dengan teknik tanpa bakar. Selain itu, masyarakat masih menilai bahwa abu sisa pembakaran dapat meningkatkan kesuburan tanah. Di lahan pertanian, pembakaran seringkali dilakukan terutama dalam aktivitas penyiapan lahan. Tetapi permasalahan yang terjadi apabila pembakaran dilakukan tidak terkendali dapat menyebabkan kebakaran hutan/ lahan yang luas.

(17)

(SIG). Menurut Chuvieco and Salas (1996) SIG merupakan alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan/lahan. SIG dapat juga memadukan secara spasial beberapa variabel bahaya seperti vegetasi, topografi, dan sejarah kebakaran.

Kalimantan Barat adalah salah satu wilayah dengan kemunculan titik panas tertinggi selain Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan. Kemunculan titik panas yang tinggi ini mengindikasikan tingginya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat. Setiap tahun sebagian besar wilayah Kalimantan Barat selalu diselimuti kabut asap tebal yang berasal dari kegiatan pembakaran lahan atau kebakaran hutan dan lahan. Aktivitas pembakaran ini dilakukan oleh masyarakat setempat dalam penyiapan lahan untuk kegiatan pertanian. Kabut asap yang ditimbulkan akibat kegiatan pembakaran lahan ini tidak hanya menurunkan kualitas udara di tingkat lokal tetapi turut andil dalam menurunkan kualitas udara di tingkat nasional bahkan regional ASEAN. Seperti yang dikatakan Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya bahwa kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat menghasilkan asap dan sering mendapat komplain dari negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura, sehingga perlunya dilakukan pengendalian kebakaran hutan/lahan secara efektif agar kemunculan titik panas dapat dikurangi (Wartapedia, 2011).

(18)

1.2 Tujuan Penelitian

a. Mendeskripsikan distribusi spasial dan distribusi temporal titik panas b. Menganalisis perubahan penggunaan lahan selama rentang tahun 2000

hingga tahun 2010

c. Menganalisis keterkaitan sebaran titik panas dengan perubahan penggunaan lahan

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Titik Panas

Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi tersebut tertulis dalam pasal 1 angka 9 Permenhut No.P 12//P Menhut-II/2009. Titik panas dapat dideteksi dengan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) yang dilengkapi sensor AVHRR (Advanced Very Hight Resulation Radiometer). Sensor AVHRR bekerja berdasarkan pancaran energi thermal dari objek yang diamati dari suatu areal yang bersuhu 42°C. Satelit ini sering digunakan untuk pendeteksian wilayah tersebut karena salah satu sensornya yang dapat membedakan suhu permukaan di darat atau di laut. Kelebihan lain adalah seringnya satelit-satelit tersebut mengunjungi tempat yang sama dua kali sehari siang dan malam, keuntungan lainnya adalah harga yang murah (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004).

Sebuah titik panas dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya karena itu tidak menunjukkan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah titik panas dapat sangat bervariasi dari suatu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas) (Fire Fight South East Asia,2002 dalam Wardani, 2004).

(20)

2.2Peran Satelit NOAA-AVHRR dalam Mengindikasi Kebakaran Hutan Pemanfaatan data satelit ini merupakan sarana yang potensial untuk mendeteksi atau memantau terjadinya kebakaran hutan karena selain memiliki sensor yang peka terhadap wilayah dengan temperatur yang tinggi, juga dapat meliput daerah yang sangat luas 92.600 x 1500 km2 serta dapat mengirimkan data minimal satu kali dalam sehari (Departemen Kehutanan, 1989).

NOAA AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer) adalah satelit cuaca milik Amerika Serikat yang di desain untuk memperoleh informasi tentang hidrologi, kelautan dan studi studi iklim untuk kepentingan meteologi, yang mampu merekam tempat yang sama 2 kali per hari. Dengan kata lain perekaman dilakukan dalam 12 jam sekali. Pada sensor AVHRR, CH 3 (3,55-3,93 µm) terletak dekat maksimum spektral untuk emisi radiatif suatu objek pada suhu ±800°K (suhu tipikal dari kebakaran alang-alang). Sementara CH 4 (10,3-11,3) dan CH 5 (11,5 – 12,5) terletak dengan maksimum spektral untuk suhu lingkungan yang normal. Sebagai akibatnya kebakaran alang-alang dengan suhu ±800°K, CH 3 akan menerima energi yang lebih banyak dibandingkan CH 4. Suatu pixel yang mempunyai permukaan suhu yang uniform 300°K, rata-rata energi pada CH 3 dan 4 adalah 0,442 x 9,68 W m-2 µm-1 sr-1 dengan asumsi emisifitas = 1. Untuk pixel yang mempunyai suhu berbeda, misal 800°K dan 300°K, energi pada CH 3 dan 4 adalah 670,0 dan 49,92 W m-2 µm-1 sr-1. (Purbawaseso, 2004).

(21)

Gambar 1. Satelit NOAA-AVHRR

2.3Mekanisme Penentuan Titik Panas

Titik panas di permukaan bumi ditentukan dengan menghitung temperature pada kanal 3 (l= 3.8m) dan kanal 4 (l= 10.8m). Konversi suhu yang disebut temperature brightness dari fluxs radiance yang diterima sensor satelit didasarkan oleh formulasi Planck dengan mempertimbangkan nilai Lj yaitu radiance pada kanal ke j dengan satuan Wm-3 sr –1 . Karena data yang dipancarkan satelit dalam bentuk digital yang disebut radiometer count, maka konversi Lj dari radiometer count dapat dilakukan melalui persamaan linier sebagai berikut :

Lj = Gj DNj + Ij

Keterangan : Gj = koefisien Gain DNj = radiometer count

Ij = Intercept untuk kanal j=3 dan kanal j= 4

Oleh Singh (1984) konversi temperatur kecerahan dari radiasi yang dikembangkan dengan persamaan sebagai berikut :

Tbj =

Dengan a dan b adalah suatu konstanta (Musawijaya et al., 2001). Data inilah yang kemudian mengalami proses ekstraksi infomasi, untuk menghasilkan kordinat titik panas. Untuk penentuan kordinat titik panas dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu metode sederhana dan metode algoritme kontekstual

2.3.1 Metode Sederhana

(22)

matriks citra tersebut. Jika nilai suhu kecerahan suatu pixel yang ada pada citra tersebut lebih besar atau sama dengan nilai ambang, maka pixel tersebut merupakan titik panas, dan sebaliknya jika nilai suhu kecerahan pada pixel tersebut kurang dari nilai ambang, maka pixel tersebut bukan merupakan titik panas. Dalam bentuk Logika Boolean pernyataan diatas dinyatakan dengan :

IF nilai citra > α

THEN nilai citra = titik panas ELSE nilai citra= bukan titik panas

dimana : nilai citra = suhu kecerahan saluran yang digunakan α = nilai ambang (310°K, 315°K, 321°K dll)

Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Kelebihan cara ini adalah pada kesederhanaan proses perhitungannya, sehingga waktu pemrosesannya bisa lebih singkat. Kelemahannya adalah tidak bisa mengeliminasi efek kilau surya. Karena saluran 3 pada sensor AVHRR pada kondisi-kondisi tertentu dapat menimbulkan efek kilau surya, misalnya jika sudut perekamannya terlalu rendah dan mengenai objek air.

2.3.2 Metode Algoritme Kontekstual

Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan yang terjadi pada deteksi dengan menggunakan metode sederhana. Jika pada metode sederhana yang digunakan hanya satu saluran saja, maka pada metode algoritme kontekstual ini digunakan semua saluran NOAA-AVHRR. Secara garis besar metode titik panas adalah seperti yang tersaji pada Gambar 2.

(23)

air, awan dan tanah kering panas. Disamping penggunaan nilai ambang pada proses bagian akhir diterapkan algoritme kontekstual (spasial). Hal ini dikarenakan walaupun titik panas yang terdeteksi sudah di eleminasi dari pengaruh air, awan, dan tanah kering panas. Namun terkadang titik panas yang terdeteksi meliputi areal yang sangat luas. Dalam kenyataan hal ini sulit sekali terjadi peristiwa kebakaran hutan dalam satu areal yang luas dan terbakar sekaligus, karena kecenderungan dari kebakaran hutan adalah jika sudah mencapai luasan yang cukup luas, maka bagian tengah hutan yang terbakar sudah padam. Tujuan dari penerapan algoritme ini adalah untuk mendeteksi titik panas dalam luasan yang masuk akal, untuk dianggap sebagai kebakaran hutan (Hiroki dan Dwi, 1999).

Gambar 2. Metode Deteksi Titik Panas dengan Algoritme Kontekstual

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

Purbawaseso (2004) memaparkan faktor-faktor yang dapat menimbulkan kebakaran hutan sebagai berikut :

2.4.1 Bahan Bakar 1. Ukuran Bahan Bakar

(24)

lebih mudah dalam menyerap air akibat dari luas permukaan yang besar. Sehingga, dari sifat tersebut dapat diketahui bahwa apabila nyala api mengenai bahan bakar yang halus maka api akan terbakar dengan cepat tetapi cepat pula padam.

2. Susunan Bahan Bakar

Bahan bakar yang terdapat di alam dapat tersusun secara horizontal maupun vertikal. Susunan horizontal akan berpengaruh terhadap luasan penyebaran kebakaran. Sedangkan susunan vertikal akan mempengaruhi ukuran dan kemampuan nyala api.

3. Volume Bahan Bakar

Volume bahan bakar akan menunjukkan intensitas besarnya kebakaran sehingga dapat pula digunakan untuk memprediksi kerusakan yang terjadi.

4. Jenis Bahan Bakar

Beberapa jenis bahan bakar yang terdapat di hutan adalah serasah lantai hutan, serasah tebangan tumbuhan bawah, kanopi, rumputan, semak, alang-alang, gelagah, gambut, resam, batang melapuk tergeletak, batang melapuk berdiri

5. Kandungan Air Bahan Bakar

Kandungan air akan berpengaruh terhadap kemudahan bahan bakar menyala serta kecepatan menyebarnya api.

2.4.2 Cuaca

1. Angin

Angin akan menurunkan kelembapan udara sehingga mempercepat pengeringan bahan bakar serta memperbesar ketersediaan oksigen sehingga api dapat berkobar dan merambat cepat.

2. Suhu

Suhu yang tinggi akan mempercepat bahan bakar mengering sehingga lebih rentan terhadap kebakaran.

3. Curah Hujan

(25)

4. Keadaan Air Tanah

Faktor air tanah akan terlihat pengaruhnya pada kebakaran lahan gambut. Pada musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun sehingga menyebabkan permukaan air tanah juga menurun sehingga menyebabkan lapisan atas gambut menjadi kering.

5. Kelembapan Nisbi

Kelembapan udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan bakar, dimana bahan bakar tersebut akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut sehingga bahan bakar menjadi sulit untuk terbakar.

2.4.3 Waktu

Dalam hal ini, waktu terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Pada waktu siang hari, umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembapan udara yang rendah, suhu udara tinggi dan angin bertiup kencang, sedangkan pada waktu malam hari kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu kelembapan udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup lebih kencang.

Menurut Hamzah (1985) dalam Triani (1995), faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luasnya areal yang terbakar adalah masa kemarau yang terlalu panjang. Sebagian besar hujan yang dihasilkan oleh penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal.

2.5 Citra Satelit Landsat TM

(26)

masing-masing saluran panjang gelombang pada Citra Landsat dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Karakteristik Masing-masing Band pada Citra Landsat TM Band Panjang Gelombang (µm) Karakteristik

1 0.45-0.52 Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai,

pembeda vegetasi-tanah dan analisis penggunaan lahan

2 0.52-0.60 Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan

3 0.63-0.69 Untuk penyerapan klorofil, memperkuat

kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi dan membantu dalam penentuan spesies tumbuhan

4 0.76-0.90 Berguna untuk menentukan tipe vegetasi, dan biomassa vegetasi, dan memperkuat kontras antara tanaman tanah dan tubuh air dan pembeda kelembapan tanah

5 1.55-1.75 Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air vegetasi dan kondisi kelembapan tanah

6 10.4-12.5 Sensitif terhadap gangguan vegetasi,

pemisahan kelembapan tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas

7 2.08-2.35 Sangat berguna sebagai pembeda tipe

mineral dan batuan (Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997)

2.6 Interpretasi Citra

(27)

Tabel 2. Unsur-unsur dalam Interpretasi Citra

Unsur Interpretasi

Keterangan

Rona Menunjukkan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada foto udara hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas cara logaritmik antara hitam dan putih, dengan berpedoman pada skala keabuan.

Warna Warna dapat dipresentasikan terhadap 3 unsur (hue, value, chroma), dan mengelompokkannya dalam berbagai kelas. Perbedaan warna pada kertas cetakan atau transparansi lebih mudah dikenali daripada perbedaan rona pada foto udara hitam putih

Ukuran Memiliki dua aspek dan biasanya memerlukan sebuah streoskop untuk pengamatan tiga dimensional. Ukuran objek bermanfaat dalam pengenalan objek tertentu seperti pohon tua, dewasa, muda, pohon anakan, dan semak

Bentuk Bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk menunjuk pada konfigurasi umum suatu objek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh

Tekstur Perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara dengan resolusi spasial citra satelit yang semakin satelit. Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra foto udara

Bayangan Berasosiasi dengan bentuk dan tinggi objek

(28)

Tabel 2 lanjutan.

Situs Menjelaskan tentang posisi muka bumi dari citra yang diamati dalam kaitannya dengan kenampakkan disekitarnya atau berkonotasi terhadap gabungan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi karakteristik makro objek

Asosiasi Menunjuk suatu komunitas objek yang memiliki keseragaman tertentu atau beberapa objek yang berdekatan secara erat dimana masing-masing membentuk keberadaan yang lainnya

Tinggi Unsur pengenalan objek yang paling penting pada foto udara

2.7 Penggunaan Lahan

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, yang dimaksud dengan lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Sedangkan menurut Perda Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, lahan adalah suatu areal diluar kawasan hutan, baik yang bervegetasi (alang-alang, semak belukar, tanaman budidaya dan lain-lain) maupun yang tidak bervegetasi yang diperuntukan bagi pembangunan dibidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Transmigrasi, Pertambangan dan lain-lain.

Lahan adalah suatu konsep yang dinamis. Lahan merupakan tempat bagi berbagai ekosistem tetapi lahan juga merupakan bagian dari ekosistem-ekosistem tersebut. Lahan juga merupakan konsep geografis karena dalam pemanfaatannya selalu terkait dengan ruang atau lokasi tertentu, sehingga karakteristiknya juga akan sangat berbeda tergantung lokasinya. Dengan demikian kemampuan atau daya dukung lahan akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. (Vink, 1975; Gandasasmita, 2001)

(29)

sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen-komponen yang dianggapnya tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya (Mather, 1986; Gandasasmita, 2001).

2.8 Perubahan Penggunaan Lahan

Rustiadi et al (2006) mengemukakan bahwa alih fungsi lahan seringkali memiliki permasalahan-permasalahan yang terkait satu sama lain, sehingga tidak bersifat independent dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang integrative. Permasalahan-permasalahan tersebut berupa: (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, dan (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Tipe penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor manusia, dan lingkungan fisik lahan tersebut.

a) Faktor Manusia

Dalam hal ini terkait pada kualitas dan kuantitas manusianya. Kualitas manusia dapat dinilai dari umur, kepribadian, dan pendidikan serta segala sesuatu yang menentukan kualitas diri manusia tersebut dalam menentukan keputusan (Mather, 1986). Sedangkan kuantitas manusia terkait dengan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi, berdampak pada tekanan populasi yang semakin besar, dan hal ini merupakan pendorong utama terhadap perubahan lahan pertanian di negara berkembang.

b) Faktor Fisik Lingkungan

(30)

berhubungan dengan fungsinya sebagai sumber hara, yang paling sering dimodifikasi agar penggunaan lahan yang diterapkan mendapatkan hasil yang maksimal (Gandasasmita, 2001).

2.9. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Komponen utama SIG dapat dibagi dalam tiga komponen, yaitu : 1) komponen keras, meliputi peralatan pemasukan data, peralatan untuk menyimpan dan pengolahan, dan peralatan mencetak hasil, 2) komponen perangkat lunak, meliputi persiapan dan pemasukan data, manajemen, penyimpanan, dan pemanggilan data, manipulasi data dan analisis, dan pembuatan produk SIG, dan 3) komponen organisasi. Keuntungan memakai SIG adalah kemampuannya dalam memelihara data dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta, cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dengan dipakainya sistem komputer maka bila diperlukan, data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per unit yang lebih rendah dari cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Dalam hal pengintegrasian data penginderaan jauh ke dalam SIG, hal yang perlu dipahami adalah SIG dapat bekerja dengan dua model data yaitu data raster berupa grid atau pixel (picture element) contohnya citra satelit atau gambar/ citra hasil scanning, dan vektor berupa titik, garis, polygon yang biasanya merupakan hasil digitasi.

Sistem Informasi Geografis (SIG) menyajikan informasi keruangan beserta atributnya terdiri dari beberapa komponen utama yaitu (Susanto, 1995) :

(31)

penginderaan jauh (data hasil pengolahan citra digital penginderaan jauh), dan lain-lain.

2) Penyiapan data dan pemanggilan kembali ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat (penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan/ cetak pada kertas).

3) Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat melakukan berbagai macam perintah (misalnya overlay antara dua tema peta, dan sebagainya).

(32)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis 2°08’ LU dan 3°02’ LS serta di antara 108°30’ BT dan 114°10’ BT. Provinsi Kalimantan Barat terbagi menjadi 14 wilayah Kabupaten/kota yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong utara, Kabupaten kubu Raya, Kota Pontianak, Kota Singkawang.

[image:32.612.106.503.397.684.2]

Persiapan data dan pengolahan citra secara digital dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2011 sampai bulan Desember 2011.

(33)

3.2 Jenis dan Sumber data

[image:33.612.104.523.162.631.2]

Data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini disebutkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 3 . Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian

No Jenis Data Sumber Data

1 Citra Landsat path/row : 119/60, 120/61, 120/62, 122/61, 120/59, 120/60, 121/59, 121/60, 121/61, 121/62, 122/59, 122/60 yang diakuisisi tahun 2000, 2005, 2010

Usgs.glovis.gov

2 Data Titik Panas (hotspot) Badan Kementrian

Lingkungan Hidup yang bersumber dari citra satelit NOAA

3 Data Curah Hujan tahun 2000 hingga tahun 2010 Provinsi Kalimantan dari 5 stasiun meteorologi yaitu Sta. meteorologi Supadio Pontianak, Sta. meteorologi Susilo Sintang, Sta. meteorologi Nangapinoh, Sta. meteorologi Paloh, Sta. meteorologi Putussibau

Badan Meteorologi dan Geofisika Pusat

4 Peta Fungsi Kawasan Hutan Badan Pembangunan

Daerah (Bappeda)

5 Data Jumlah Penduduk Kalimantan Barat dalam

Angka Tahun 2010

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak Erdas Imagine 9.2, ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, Microsoft Office Word, Microsoft

(34)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan SIG. Secara garis besar penelitian ini terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu : (1) tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) tahap pengolahan dan pemrosesan awal data, (3) tahap analisis data. Secara ringkas tahapan penelitian disajikan pada Gambar 4.

3.3.1 Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data

Tahap ini meliputi kegiatan mempersiapkan penelitian, dengan melakukan studi literatur untuk mendapatkan teori yang mendukung kegiatan penelitian. Langkah ini dilakukan dengan mencari dan membaca buku-buku, jurnal, maupun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan obyek penelitian. Selain studi literatur, tahap ini juga merupakan tahap pengumpulan data-data penunjang penelitian seperti pengumpulan data titik panas, citra satelit Landsat, batas administratif, data curah hujan, data peruntukkan fungsi kawasan hutan, data jumlah penduduk.

3.3.2 Tahap Pengolahan dan Pemrosesan Awal Data

Tahap pengolahan data dari citra Landsat TM mencakup mengunduh citra untuk wilayah penelitian, penggabungan band (layer stacking), pembuatan mosaic citra, pemotongan citra (cropping), koreksi geometrik, dan interpretasi visual. Sementara pemrosesan data meliputi pengolahan data titik panas.

1. Proses mengunduh citra

Pengunduhan citra Landsat dilakukan di URL www.glovis.usgs. Seluruh Provinsi Kalimantan Barat dicakup oleh 12 scene dan diunduh scene per scene. Citra Landsat yang diunduh adalah citra dengan path/row: 119/60, 120/61, 120/62, 122/61, 120/59, 120/60, 121/59, 121/60, 121/61, 121/62, 122/59, 122/60.

2. Penggabungan band (layer stacking)

Proses menggabungkan masing masing band pada citra Landsat kecuali band 6 agar dapat dilakukan kombinasi band sehingga mempermudah dalam melakukan interpretasi penggunaan lahan.

3. Penggabungan citra (mosaic)

(35)

4. Pemotongan citra (subset )

Pemotongan citra dilakukan agar hanya diperoleh cakupan wilayah lokasi penelitian dengan memotong citra terhadap batas administrasi wilayah, sehingga citra Landsat yang digunakan hanya terbatas pada wilayah provinsi Kalimantan Barat.

5. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik atau rektifikasi bertujuan untuk mengurangi distorsi geometrik citra seperti pengaruh rotasi bumi, kelengkungan bumi, kecepatan scanning dari beberapa sensor yang tidak normal. Hal ini menyebabkan posisi citra tidak sama dengan posisi geografis yang sebenarnya. Untuk ini diperlukan koreksi geometrik agar antara citra yang digunakan memiliki kordinat yang sama dengan kordinat sesungguhnya di permukaan bumi.

6. Interpretasi Visual

Interpretasi citra visual dapat didefinisikan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya. Tahapan dalam melakukan interpretasi visual yaitu deteksi dan digitasi. Pengenalan obyek dalam tahapan interpretasi visual dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dari kenampakan obyek di citra. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur interpretasi yaitu rona/warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, site, asosiasi.

Tahap pemrosesan data berikutnya adalah pengolahan data titik panas. Data titik panas berupa data tabular hasil pantauan satelit NOAA-AVHRR diubah kedalam bentuk vektor sehingga dapat ditampilkan dan dianalisis secara spasial. Proses pengubahan data titik panas tersebut dilakukan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Transformasi data tabular menjadi data vektor tersebut dilakukan dengan memetakan data titik panas sesuai dengan koordinat letak geografisnya, sehingga didapatkan distribusi spasial sebaran titik panas. Jumlah titik panas dalam masing-masing bulan diperoleh dengan melakukan pengolahan data titik panas menggunakan perangkat lunak Microsoft excel.

(36)

3.3.3 Tahap Analisis Data Spasial

(37)
[image:37.612.97.517.74.648.2]
(38)

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis Wilayah

[image:38.612.107.504.332.655.2]

Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau diantara garis 2° 08’ LU dan 3° 02’ LS serta diantara 108°30’ BT dan 114°10’BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini, maka daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh garis khatulistiwa (garis lintang 0°) tepatnya di atas Kota Pontianak. Karena pengaruh letak ini pula, maka Kalimantan Barat adalah salah satu daerah tropik dengan suhu udara cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang tinggi. Pembagian wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Barat tergambar dibawah ini :

(39)

Ciri-ciri spesifik lainnya adalah bahwa wilayah Kalimantan Barat termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara asing, yaitu dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia Timur. Bahkan dengan posisi ini, maka daerah Kalimantan Barat ini merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara resmi telah mempunyai akses jalan darat untuk masuk dan keluar dari negara asing. Hal ini dapat terjadi karena antara Kalimantan Barat dan Sarawak telah terbuka jalan darat antar negara dari Pontianak-Entikong-Kuching (Sarawak, Malaysia) sepanjang sekitar 400 km dan dapat ditempuh sekitar enam sampai delapan jam perjalanan. Batas-Batas wilayah selengkapnya adalah : Utara (Sarawak, Malaysia) Selatan (Laut Jawa dan Kalimantan Tengah) Timur (Kalimantan Timur) Barat (Laut Natuna dan Selat Karimata). Terdapat lima kabupaten yang langsung berhadapan dengan negara jiran yaitu : Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Kapuas Hulu yang membujur sepanjang pegunungan Kalingkang-Kapuas Hulu.

4.2 Topografi Wilayah

Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat adalah merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 146.807 km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur. Dilihat dari besarnya wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk provinsi terbesar keempat di Indonesia.

(40)

4.3 Kondisi Iklim dan Cuaca

Faktor yang merupakan ciri umum bagi suatu daerah dataran rendah di daerah tropis adalah suhu udara yang relatif panas atau tinggi, sedangkan khusus daerah Kalimantan Barat suhu yang tinggi ini diikuti pula dengan kelembapan udara yang tinggi. Berdasarkan catatan empiris dari Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak yang meliputi Stasiun Meteorologi (SM) Supadio Pontianak, SM Pangsuma Putussibau, SM Paloh Sambas, SM Susilo Sintang, SM Nanga Pinoh Melawi dan Stasiun Klimatologi Siantan Kabupaten Pontianak, umumnya suhu udara di daerah Kalbar cukup normal namun bervariasi, yaitu rata-rata sekitar 26°C sampai dengan 28°C.

4.4 Kependudukan

Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat tahun 2009 diperkirakan berjumlah sekitar 4,32 juta jiwa (angka proyeksi), dimana sekitar 2,18 juta jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 2,14 juta jiwa adalah perempuan. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat sebesar 146.807 Km2 atau lebih besar dari Pulau Jawa, maka kepadatan penduduk Kalimantan Barat baru sekitar 29 Jiwa per kilometer persegi. Kondisi ini tentunya kurang menguntungkan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah khususnya menyangkut pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dengan segala potensi dan keragamannya.

(41)

yang luasnya kurang dari satu persen (107,80 km2) dihuni oleh rata-rata sekitar 1.648 jiwa per kilometer persegi.

4.5 Jenis tanah

Dilihat dari tekstur tanahnya, maka sebagian besar daerah Kalimantan Barat terdiri dari jenis tanah PMK (Podsolik Merah Kuning) yang meliputi areal sekitar 10,5 juta hektar atau 17,28 persen dari luas daerah yang 14,7 juta hektar. Berikutnya tanah organosol, gley, humus dan tanah alluvial sekitar 2,0 juta hektar atau 10,29 persen yang terhampar di seluruh Dati II, namun sebagian besar terdapat di Kabupaten daerah pantai.

4.6 Anggaran dan Pendapatan Daerah

Perubahan penerimaan daerah, tentunya akan membawa dampak pada bergeraknya roda perekonomian. Hal ini terjadi karena ada besar-kecilnya angaran pendapatan dan belanja daerah amat berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian masyarakat. Anggaran yang berimbang dapat menjamin stabilitas perekonomian, dibanding anggaran defisit atau surplus. Karena itu realisasi penerimaan dan pengeluaran Propinsi dan Kabupaten/Kota perlu dipantau dan dievaluasi.

(42)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Kepadatan Titik Panas

[image:42.612.175.452.228.432.2]

Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada daerah Kalimantan Barat selalu dijumpai kemunculan titik panas dengan kepadatan yang tidak sama setiap tahunnya seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Jumlah Titik Panas Tahun 2000-2011

Jumlah titik panas tahunan pada tahun 2000 hingga tahun 2011 yaitu tahun 2000 (972 titik), tahun 2001 (1.617 titik), tahun 2002 (4.043 titik), tahun 2003 (1.522 titik), tahun 2004 (2.366 titik), tahun 2005 (1.505 titik), tahun 2006 (6.521 titik), tahun 2007 (394 titik), tahun 2008 (1.584 titik), tahun 2009 (7.291 titik), tahun 2010 (1.763 titik), tahun 2011 (1.222 titik). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 titik panas yang terpantau oleh satelit NOAA pada wilayah Kalimantan Barat mencapai jumlah diatas 2.000 titik per tahun atau dapat dikatakan tinggi jika dibandingkan dengan kemunculan titik panas pada tahun lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan fenomena anomali iklim yaitu El-Nino yang menyebabkan kekeringan. Intensitas kebakaran akan semakin tinggi apabila terjadi peristiwa El Nino Southern Oscillation/ENSO seperti yang terjadi pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2009 (Suwarsono et.al,

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

T

ahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 201

(43)

2010). Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu di waspadai peningkatan jumlah kemunculan titik panas pada waktu yang diprediksi akan terjadinya fenomena El-Nino.

5.2Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Wilayah Kabupaten/kota Sebaran titik panas yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2000 hingga tahun 2010 menunjukkan bahwa Wilayah yang memiliki titik panas terbanyak setiap tahunnya adalah tahun 2000 (Kabupaten Sintang), tahun 2001 (Kabupaten Sintang), tahun 2002 (Kabupaten Ketapang), tahun 2003 (Kabupaten Ketapang), tahun 2004 (Kabupaten Ketapang), tahun 2005 (Kabupaten Sambas), tahun 2006 (Kabupaten Ketapang), tahun 2007 (Kabupaten Sambas), tahun 2008 (Kabupaten Sanggau), tahun 2009 (Kabupaten Ketapang), tahun 2010 (Kabupaten Sintang), tahun 2011 (Kabupaten Ketapang).

Tabel 4 menyajikan jumlah titik panas masing-masing wilayah kabupaten. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang merupakan wilayah yang menyumbangkan jumlah titik panas terbanyak. Hal ini ditandai dengan jumlah titik panas yang terjadi pada kedua wilayah tersebut seringkali berada di peringkat 3 besar. Sedangkan Kota Pontianak dan Kota Singkawang adalah wilayah dengan kemunculan titik panas terendah bahkan jarang sekali ditemukan kemunculan titik panas. Hal ini dapat disebabkan karena kedua wilayah tersebut merupakan wilayah perkotaan yang berkembang, sehingga aktivitas masyarakat yang dapat memicu kemunculan titik panas dapat dihindari.

(44)

dibandingkan wilayah lainnya yaitu sebanyak 1364 titik (18,70%). Di tahun 2010 diketahui terdapat 195 titik (11,06%) dan di tahun 2011 terdapat 215 titik (17,59%).

Wilayah lainnya yang juga memiliki kemunculan titik panas terbanyak adalah Kabupaten Sintang. Pada tahun 2000 terdapat kemunculan titik panas sebanyak 242 titik atau 24,89% dari jumlah total titik panas yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2000. Tahun berikutnya yaitu pada tahun 2001, Kabupaten Sintang masih menempati peringkat 1 wilayah dengan kemunculan titik panas paling banyak yaitu sebesar 390 titik (24,11%). Pada tahun 2002 ditemukan sebanyak 575 titik (14,22%) dan di tahun 2003 sebanyak 364 titik (23,91%). Selama tahun 2002 hingga tahun 2007, wilayah ini menempati peringkat kedua dalam kemunculan titik panas. Untuk tahun 2004 terdapat 497 titik (21%), tahun 2005 terdapat 306 titik (20,33%), tahun 2006 terdapat 1013 titik (15,53%), dan tahun 2007 terdapat 24 titik (18,78%). Pada tahun 2008 dan tahun 2009, wilayah ini tidak menempati peringkat 3 besar dalam kemunculan titik panas. Pada tahun 2008 terdapat 807 titik (5,61%) dan di tahun 2009 terdapat 324 titik (11,06%). Di tahun 2011 terdapat 93 titik (7,61%).

(45)

Kabupaten Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Jumlah Titik Panas

Kabupaten Bengkayang 7 20 59 8 63 125 105 13 84 471 130 64

Kabupaten Kapuas Hulu 72 214 181 104 81 64 388 31 228 844 252 209

Kabupaten Kayong Utara 14 12 66 10 71 18 242 15 93 385 40 20

Kabupaten Ketapang 138 240 1699 511 911 148 2325 32 218 1364 195 215

Kabupaten Kubu Raya 175 113 265 154 89 119 575 57 165 696 93 176

Kabupaten Landak 30 100 184 35 69 68 216 4 91 309 86 19

Kabupaten Melawi 31 104 238 121 230 122 330 25 49 302 84 43

Kabupaten Pontianak 13 10 76 7 13 23 78 13 92 273 58 66

Kabupaten Sambas 78 36 43 15 69 308 316 98 194 523 88 186

Kabupaten Sanggau 123 281 472 126 127 126 592 27 247 1008 288 110

Kabupaten Sekadau 49 95 181 63 146 76 326 5 25 291 121 17

Kabupaten Sintang 242 390 575 364 497 306 1013 74 89 807 324 93

Kota Singkawang 2 4 4 2 15 9 18 3 2

Kota Pontianak 1 2

[image:45.792.92.697.126.475.2]

Grand Total 972 1617 4043 1522 2366 1505 6521 394 1584 7291 1763 1222 Tabel 4. Jumlah Titik Panas Masing-masing Wilayah Kabupaten Keterangan Peringkat 1

Peringkat 2 Peringkat 3

(46)

5.3Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan

Kemunculan titik panas pada Provinsi Kalimantan Barat terdapat pada penggunaan lahan berupa hutan, kebun campuran, mangrove, pemukiman, perkebunan, pertambangan, rawa, sawah, semak belukar, tanah terbuka, dan tubuh air. Selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2010 diketahui bahwa jumlah titik panas paling banyak ditemukan pada penggunaan lahan berupa kebun campuran. Sebaran titik panas pada masing-masing penggunaan lahan secara lengkap tersaji pada Gambar 7.

Gambar 7. Titik Panas Pada Masing-masing Penggunaan Lahan Selama Tahun 2000 hingga Tahun 2010

Secara keseluruhan selama tahun 2000 hingga tahun 2010, kemunculan titik panas paling banyak ditemukan pada penggunaan lahan kebun campuran yaitu sebanyak 15.366 titik. Kebun campuran merupakan penggunaan lahan kebun yang terdiri atas campuran vegetasi antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim. Kemunculan titik panas pada penggunaan lahan kebun campuran terjadi diakibatkan dari aktivitas penyiapan lahan.

Penggunaan lahan lainnya yang juga ditemukan kemunculan titik panas terbanyak adalah pada penggunaan lahan berupa rawa. Pada penggunaan lahan rawa ditemukan sebanyak 3.768 titik. Hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dan berkembang pada tempat yang selalu tergenang air tawar atau secara musiman

(47)

tergenang air tawar. Berkembangnya sektor perkebunan dan pertanian di Provinsi Kalimantan Barat mengakibatkan sulitnya mencari lahan untuk kegiatan perladangan. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat mulai beralih memanfaatkan hutan rawa untuk areal pertanian, terutama lahan gambut. Masalah yang timbul adalah sebagian masyarakat masih menggunakan teknik pembakaran untuk membuka areal pertanian, sehingga mengakibatkan terjadinya kemunculan titik panas.

Pada semak belukar ditemukan adanya kemunculan titik panas sebanyak 2.950 titik. Semak belukar adalah tumbuhan perdu yang mempunyai cabang kayu kecil dan rendah. Kemunculan titik panas sangat rawan terjadi pada semak belukar terutama di musim kemarau. Hal ini dikarenakan menumpuknya serasah gulma terutama pakis-pakisan sehingga apabila ada api sedikit saja dapat menimbulkan kebakaran hebat. Peristiwa ini tentunya akan memicu kemunculan titik panas.

Hal yang menarik adalah ditemukannya kemunculan titik panas pada penggunaan lahan tubuh air/sungai. Pada kenyataannya titik panas yang biasanya diindikasikan sebagai peristiwa kebakaran hutan/lahan, tidak mungkin dapat ditemukan pada tubuh air. Kondisi ini menunjukkan kelemahan dari penggunaan data titik panas pada Citra NOAA. Menurut Hiroki dan Dwi (1999), hal ini dikarenakan adanya efek kilau matahari misalnya dikarenakan sudut perekaman yang terlalu rendah dan mengenai obyek air sehingga menyebabkan nilai pantulan menjadi tinggi hampir sama dengan nilai pancaran. Apabila penentuan titik panas menggunakan metode sederhana, maka energi pantulan air menjadi tinggi sehingga akan terekam oleh sensor AVHRR sebagai nilai pancaran dan terklasifikasikan sebagai titik panas.

5.4 Distribusi Temporal Titik Panas

(48)

sehingga menyebabkan titik panas yang terpantau mencapai angka yang maksimal. Selanjutnya, pada bulan berikutnya yakni di bulan September jumlah titik panas mengalami penurunan dikarenakan kondisi iklim mulai memasuki musim penghujan kembali. Pola semacam ini terus berulang di setiap tahunnya.

[image:48.612.122.499.369.616.2]

Selain hal tersebut, kemunculan titik panas yang tinggi di bulan Agustus terkait dengan aktivitas pertanian tanaman semusim masyarakat Kalimantan Barat. Berdasarkan hasil penelitian Sunanto tahun 2008 di Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya menyebutkan bahwa sistem pertanian yang diterapkan di wilayah ini adalah sistem pertanian ekstensif, termasuk masih digunakannya penyiapan lahan dengan cara dibakar untuk tanaman padi. Tanaman padi biasa dilakukan pada saat menjelang musim hujan sekitar bulan September, sedangkan penyiapan lahan dilakukan satu bulan sebelumnya yakni bulan Agustus. Aktivitas penyiapan lahan tersebut dapat memicu kemunculan titik panas sebagai indikasi adanya aktivitas pembakaran hutan/lahan.

(49)

5.5 Hubungan Antara Titik Panas dengan Curah Hujan

Analisis dilakukan menggunakan data curah hujan rata-rata bulanan pada 5 titik stasiun meteorologi. Agar mewakili keterkaitan antara titik panas dengan curah hujan maka dilakukan buffer sejauh 100 km dari stasiun meteorologi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemunculan titik panas paling banyak terjadi pada bulan Agustus. Curah hujan yang terjadi pada bulan Agustus merupakan curah hujan paling rendah dibanding dengan curah hujan yang terjadi di bulan lainnya. Pada pemaparan berikut akan disampaikan kondisi curah hujan dengan banyaknya titik panas yang terjadi selama 5 periode pengamatan yaitu tahun 2005 hingga tahun 2010

Pada tahun 2005, titik panas paling sering muncul di bulan Agustus dengan kondisi curah hujan intensitas rendah. Titik panas yang muncul sebanyak 583 titik dengan curah hujan sebesar 172.7 mm/bulan. Ketika intensitas curah hujan meningkat menjadi 191.66 mm/bulan mengakibatkan kepadatan titik panas yang muncul mengalami penurunan menjadi 400 titik. Pada tahun 2006, terjadi pola yang serupa. Titik panas paling banyak ditemukan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 2061 titik dengan kondisi curah hujan paling rendah sebesar 79.8 mm/bulan. Ketika bulan berikutnya terjadi kenaikan curah hujan menjadi 195.9 mm/bulan, titik panas yang terpantau hanya sebesar 621 titik.

Pada tahun 2007, titik panas di bulan Agustus sebanyak 128 titik dengan kondisi curah hujan 257.88 mm/bulan. Bulan berikutnya terjadi peningkatan curah hujan dan penurunan titik panas hingga akhir tahun 2007. Hal yang serupa terjadi pula di tahun 2008, titik panas terbanyak ditemukan di bulan Agustus yaitu 502 titik dengan kondisi curah hujan rendah yaitu 286.46 mm/bulan. Pada tahun 2009, titik panas yang terlihat di bulan Agustus sebanyak 2602 titik dengan kondisi curah hujan 176mm/bulan. Curah hujan yang terjadi sepanjang tahun 2009 cukup rendah, hal ini terkait dengan fenomena El-Nino yang terjadi.

(50)

kemunculan titik panas terendah pula. Untuk data yang lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8.

[image:50.612.107.512.421.688.2]

Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara kemunculan titik panas dengan curah hujan. Seperti yang terlihat pada Gambar 9, titik panas mengalami kemunculan yang maksimum ketika kondisi curah hujan yang rendah dan mulai memasuki musim kemarau seperti pada bulan Agustus. Intensitas kemunculan titik panas mulai mengalami penurunan ketika memasuki musim penghujan dengan curah hujan yang meningkat. Menurut Pasaribu dan Friyatno tahun 2006, kebakaran hutan selalu terjadi di bulan Agustus dikarenakan masyarakat Kalimantan Barat sudah selesai menebas semak yang biasanya dilakukan selama sekitar 40 hari, yaitu sekitar bulan April dan Mei dan sejak bulan Juni semak yang di tebas mulai mengering. Pada periode tersebut sedang terjadi musim kemarau yang sangat terik dan panas, sehingga mendorong masyarakat untuk membakar semak belukar atau rumput/serasah yang sudah ditebas sebelumnya. Jika pembakaran sudah dimulai, maka terjadilah rentetan kebakaran yang tidak diharapkan dan seringkali tidak terkendali terutama pada lahan-lahan tidur yang kepemilikannya tidak terdata.

Gambar 9. Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 0 200 400 600 800 1000 1200 1400

2005 2006 2007 2008 2009 2010

(51)

5.6Penggunaan Lahan Tahun 2000, Tahun 2005, dan Tahun 2010

Pada tahun 2000, penggunaan lahan yang dominan di provinsi Kalimantan Barat adalah kebun campuran yang mencakup luasan 39,03 % atau 5.725.820 ha dan penggunaan lahan hutan yang mencakup luasan 33,46% atau 4.909.200 ha. Penggunaan lahan yang mendominasi lainnya adalah rawa sebesar 13,67% atau sebesar 2.004.944 ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luas penggunaan lahan yaitu mangrove (0,99 %), pemukiman (0,10%), perkebunan (2,89%), pertambangan (0,08%), sawah (1,96%), semak belukar (5,39%), tambak (0,04%), tanah terbuka (1,12%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%).

Pada tahun 2005, penggunaan lahan kebun campuran masih mendominasi wilayah penelitian sebesar 38,87% atau 5.703.016 ha dan penggunaan lahan hutan 33,36% atau sebesar 4.894.315 ha. Penggunaan lahan yang mendominasi lainnya adalah rawa sebesar 13,46% atau sebesar 1.974.091 ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luasan penggunaan lahan yaitu mangrove (0,96%), pemukiman (0,10%), perkebunan (3,50%), pertambangan (0,08%), sawah (1,98%), semak belukar (5,31%), tambak (0,05%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%).

Pada tahun 2010, penggunaan lahan kebun campuran masih mendominasi wilayah penelitian sebesar 38,94% atau 5.713.407 ha dan penggunaan lahan hutan 32,98% atau sebesar 4.838.413 ha. Kemudian penggunaan lahan rawa sebesar 12,74% atau sebesar 1.869.335 ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luasan penggunaan lahan yaitu mangrove (0,96%), pemukiman (0,10%), perkebunan (4.86%), pertambangan (0,08%), sawah (2.09%), semak belukar (4,95%), tambak (0,06%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%).

(52)

memiliki kawasan hutan yang luas setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Dari ke 14 kabupaten yang terdapat di cakupan wilayah penelitian, penggunaan lahan hutan paling banyak ditemukan di Kabupaten Kapuas Hulu yaitu sebesar 45,23% dari total luasan hutan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan pada wilayah Kapuas Hulu banyak areal yang ditetapkan peruntukkannya sebagai hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi. Bahkan di bagian timur batas provinsi Kalimantan Barat terdapat Taman Nasional Betung Kehirun. Kenampakan Taman Nasional pada citra satelit Landsat akan terklasifikasi sebagai penggunaan lahan hutan. Hal sebaliknya terjadi di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, pada wilayah perkotaan seperti ini justru tidak ditemukan penggunaan lahan hutan.

Gambar 10. Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2005 dan 2010

Penggunaan lahan pemukiman hanya terdapat di beberapa wilayah yaitu Kabupaten Kubu Raya, Kota Singkawang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sintang, Kota Singkawang. Penggunaan lahan pemukiman hanya 0,09% dari total luasan wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Penggunaan lahan pemukiman yang sedikit tersebut dapat mengindikasikan bahwa jumlah penduduk yang mendiami Provinsi Kalimantan Barat pun berada pada angka yang rendah. Hal ini sesuai dengan data yang

33.46 39.03

0.99 0.10

2.89 0.08

13.67

1.96 5.39 0.04

1.12 0.04 1.24

33.36 38.87

0.96 0.10 3.50 0.08

13.46

1.98 5.31

0.05 1.05 0.04

1.24 32.98 38.94

0.96 0.10 4.86 0.08

12.74

2.09 4.95

0.06 0.96

0.04 1.24

Penggunaan Lahan Provinsi Kalimantan Barat

(53)

diperoleh dari BPS tahun 2010 bahwa jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat hanya sekitar 4,32 juta jiwa dengan luas provinsi sebesar 146.807 Km2. Berdasarkan informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk Kalimantan Barat hanya sekitar 29 Jiwa/km2. Kondisi ini kurang menguntungkan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah khususnya menyangkut pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dengan segala potensi dan keragamannya.

Penggunaan lahan semak belukar, tanah terbuka, rawa merupakan penggunaan lahan yang ditemukan menyebar hampir di keseluruhan Kabupaten. Berbeda dengan mangrove dan tambak yang hanya dapat ditemukan di daerah pinggiran pantai yaitu Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Sambas, Kabupaten Kubu Raya. Badan air/sungai merupakan penggunaan lahan dengan luasan yang dianggap tetap meski memiliki luasan yang berbeda pada masing masing tahun pengamatan. Hal ini dikarenakan volume badan air/sungai sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan sebagai sumber utama ketersedian airnya. Peta penggunaan lahan pada tahun 2000, 2005 dan 2010 dapat dilihat pada gambar berikut :

(54)
[image:54.612.132.503.85.368.2]

Gambar 12. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005

(55)

5.7 Perubahan Penggunaan Lahan pada Periode Tahun 2000-2005 dan Tahun 2005-2010

Pada penelitian ini dilakukan pemantauan terhadap penggunaan lahan provinsi Kalimantan barat selama rentang waktu 10 tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2010. Interpretasi visual dilakukan menggunakan citra landsat tahun 2000, 2005 dan 2010. Hasil interpretasi dapat menghasilkan peta penggunaan lahan masing-masing tahun, setelah dilakukan tumpang tindih antara ketiga tahun tersebut dapat diperoleh hasil perubahan penggunaan lahan.

Selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005, luasan penggunaan lahan perkebunan mengalami peningkatan sebesar 89.790 ha. Hal ini pun terjadi kembali pada rentang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010, areal perkebunan luasannya bertambah sebesar 199.640 ha. Hal ini dapat dikarenakan semakin berkembangnya perkebunan di Kalimantan Barat sehingga masyarakat cenderung melakukan alih fungsi lahan menjadi perkebunan. Gubernur Kalimantan Barat Drs.Cornelius, MH mengatakan bahwa pemerintah daerah provinsi Kalimantan Barat memang mendorong perkembangan sektor perkebunan terutama pengembangan komoditi unggul seperti sawit, karet, kakao, lada, kopi dan lainnya. Berkembangnya sektor perkebunan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Humasprov, 2011). Penambahan masing-masing luasan penggunaan pada tahun 2000 hingga tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun 2000-2005 -40000

(56)
(57)

Gambar 15. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun 2005-2010

Gambar 16 menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama tahun 2000 hingga tahun 2005. Pada tahun 2000 hingga tahun 2005 hanya terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,89% dari luas total provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa perubahan lahan yang paling banyak terjadi adalah penggunaan lahan dari tanah terbuka menjadi semak belukar sebesar 50.540 ha atau 18,19% dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan terbesar lainnya adalah semak belukar menjadi tanah terbuka yaitu sebesar 32.200 ha atau sebesar 11,59% dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan ini tidak sengaja dilakukan oleh masyarakat, hanya saja perubahan penggunaan lahan terjadi akibat banyak lahan yang dibiarkan terlantar. Selain itu, terdapat pula perubahan penggunaan lahan kebun campuran yang mengalami konversi lahan menjadi perkebunan yaitu sebesar 26.480 ha atau 9,53%. Perubahan penggunaan lahan yang selanjutnya banyak terjadi dari tahun 2000 hingga tahun 2005 adalah perubahan penggunaan lahan dari semak belukar menjadi perkebunan yaitu sebesar 25.010 ha atau sebesar 9%.

(58)

Gambar 16. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000-2005

Gambar 17 menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama tahun 2005 hingga tahun 2010. Pada tahun 2005 hingga tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,99% dari total luas Provinsi Kalimantan Barat. Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak terjadi adalah perubahan penggunaan lahan rawa menjadi perkebunan yaitu seluas 63.210 ha atau 21,64% dari total luasan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi perkebunan dan hutan menjadi perkebunan mendominasi pula selama tahun 2005 hingga tahun 2010 dengan persentase masing-masing sebesar 19,82% dan 17,31%. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa selama rentang tahun 2005 hingga tahun 2010, sektor perkebunan berkembang cukup pesat di Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini dapat terlihat dari besarnya luasan penggunaan lahan yang mengalami konversi lahan menjadi penggunaan lahan berupa perkebunan. Penggunaan lahan perkebunan bertambah dengan disertai penurunan luas penggunaan lahan kebun campuran, rawa, semak belukar, hutan.

(59)

Gambar 17. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2005-2010

5.8 Inkonsistensi Penggunaan Lahan Tahun 2010 dengan Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan

Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih memiliki luasan hutan cukup besar. Disebutkan dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 10 Tahun 2010 bahwa kawasan hutan meliputi kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Peta peruntukkan fungsi kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 18.

Kawasan hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasaan pengawetan keanekaragaman meliputi kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, taman buru). Berdasarkan peta peruntukan fungsi kawasan hutan, provinsi Kalimantan Barat menetapkan seluas 9,39 % dari total luasan provinsi Kalimantan Barat sebagai taman nasional, taman wisata alam, cagar alam dan suaka margasatwa.

Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara

(60)

kesuburan tanah. Sebesar 16% luasan provinsi Kalimantan Barat ditetapkan sebagai hutan lindung. Areal yang ditetapkan sebagai hutan lindung tidak diperbolehkan untuk di konversi menjadi penggunaan lahan lainnya.

Gambar 18. Peta Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan

(61)

kegiatan kehutanan. Sebesar masing-masing 16% areal ditetapkan peruntukannya sebagai HPT dan HPK.

Gambar 19 menunjukkan persentase luas fungsi kawasan hutan. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa fungsi kawasan Area penggunaan lain (APL) ditetapkan sebesar 39%. Hal ini dikarenakan wilayah Kalimantan Barat memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkannya penggunaan lahan berupa perkebunan, lahan pertanian, tambak bahkan pertambangan. Sedangkan sebesar 61% luas areal provinsi Kalimantan Barat masih ditetapkan sebagai kawasan hutan baik berupa hutan lindung, hutan produksi, taman nasional, suaka alam, taman wisata alam, cagar

Gambar

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Tabel 3 . Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian
Gambar 5. Peta Batas Administrasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suatu perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, ini mengandung arti, bahwa menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kawasan mandiri Citraland Surabaya belum mencapai sistem sirkulasi berkelanjutan, yaitu sistem sirkulasi yang dapat mendorong penggunaan

Oleh karena itu permohonan kami dalam petitum adalah kami mohonkan intinya bahwa dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif tersebut penulis melakukan penelitian untuk menghasilkan data deskriptif terkait dengan strategi rekrutmen kader yang diterapkan

Kriteria ke empat di kelurahan Banjar Sengon dan desa Wringin Telu tidak memenuhi syarat karena tidak terdapat mekanisme monitoring umum yang dibuat oleh

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul: ”Liberalisme Islam di Indonesia, Suatu Tinjauan Historis Tahun 1970-2005” adalah benar-benar hasil

Pencatatan Aset, Kewajiban, dan Kekayaan Bersih Pemerintah Desa Pada kelompok ini dilakukan pencatatan yang mempengaruhi posisi aset, kewajiban, dan kekayaan bersih pemerintah

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada MTs Muhammadiyah Metro dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil dari analisa, Sistem Informasi Geografis siswa berbasis