• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kemampuan Lahan terhadap Penggunaan/ Penutupan Lahan dan RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kemampuan Lahan terhadap Penggunaan/ Penutupan Lahan dan RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu)"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN TERHADAP PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN RTRW

(Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu)

ASTRIA HERNISA A14070007

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

ASTRIA HERNISA. Evaluasi Kemampuan Lahan terhadap Penggunaan/ Penutupan Lahan dan RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu). Di bawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan LA ODE SYAMSUL IMAN.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, alokasi pemanfaatan ruang pada rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan (Rustiadi et al., 2010). Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan lahan pada Kawasan Puncak, Sub DAS Ciliwung Hulu untuk mewadahi berbagai aktivitas manusia dalam melangsungkan kehidupannya. Di sisi lain, ketersediaan lahan relatif terbatas. Sehingga tidak mustahil jika banyak terjadi konversi lahan menjadi kawasan terbangun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi inkonsistensi penggunaan lahan eksisting terhadap peruntukan lahan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, mengevaluasi ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan wilayah, serta mengevaluasi ketidaksesuaian peruntukan lahan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 terhadap kemampuan lahan wilayah.

Dalam penelitian ini, penentuan peta kemampuan lahan dilakukan menggunakan teknik Boolean yang selanjutnya dioverlay sesuai kombinasi parameter dan dianalisis secara deskriptif. Luas penggunaan lahan yang inkonsisten terhadap peruntukan lahan sebesar 3608,05 Ha (24,70 % dari total luas wilayah). Inkonsistensi peruntukan lahan tertinggi pada hutan produksi, sedangkan penggunaan lahan yang inkonsisten tertinggi adalah semak belukar. Luas penggunaan lahan yang tidak sesuai terhadap kemampuan lahan sebesar 4863,18 Ha (33,34 % dari total luas wilayah). Ketidaksesuaian kemampuan lahan tertinggi pada lahan kelas III, sedangkan penggunaan lahan yang tidak sesuai tertinggi adalah pemukiman dan rumput/tanah kosong. Luas peruntukan lahan yang tidak sesuai terhadap kemampuan lahan sebesar 3985 Ha (27,32 % dari total luas wilayah). Ketidaksesuaian kemampuan lahan tertinggi pada lahan kelas II dan III, sedangkan peruntukan lahan yang tidak sesuai tertinggi terjadi untuk kawasan permukiman.

(3)

SUMMARY

ASTRIA HERNISA. Evaluation of Land Capability to Land Use/Cover and Local Spatial Plan (Case Study Sub-Watershed Upstream Ciliwung). Under the guidance of ERNAN RUSTIADI and LA ODE SYAMSUL IMAN.

In Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning, allocation of space utilization at regional Provincial and District/City Spatial Plan must consider the supportive and carrying capacity of the environment (Rustiadi et al., 2010). An increasing number of population has implications in the increasing land demand on the Puncak Area, Sub watershed Upstream Ciliwung to accommodate a variety of human activities. Therefore there are many conversion of land into a developed region. This study aims to evaluate the inconsistencies of existing land use against the allotment of land according to Bogor District Spatial Planning (RTRW) Year 2005-2025, to evaluate the incompatibility of existing land use against the land capability, and to evaluate the mismatch of allotment of land according to Bogor District Spatial Plan Year 2005-2025 against the land capability.

In this study, the determination of land capability map is conducted using

Boolean techniques which later overlayed according to the combination of parameters and analyzed descriptively. Area of land use that is inconsistent with allotment land of 3608.05 ha (24.70% of the total land area). The highest inconsistency on land allotment are in production forest area, while the land use which most inconsistent is shrubs. Area of land use that is not appropriate to land capability are in wide of 4863.18 ha (33.34% of the total land area). The widest incompatibility of land capability are on the land class III, while the use type with highest level of inconsistency to land capability are settlement and grass/bare land. Area of allotment land that is not appropriate to land capability are in wide of 3985 ha (27.32% of the total land area). Land capability class with highest level of inconsistency rate are the land classes II and III, while the allotment of land with highest rate of unsuitability is settlement area.

(4)

EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN TERHADAP PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN RTRW

(Studi Kasus Sub DAS CIliwung Hulu)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

OLEH : ASTRIA HERNISA

A14070007

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Evaluasi Kemampuan Lahan terhadap Penggunaan/ Penutupan Lahan dan RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu)

Nama Mahasiswa : Astria Hernisa Nomor Pokok : A14070007

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr) (Ir. La Ode Syamsul Iman, M.Si) NIP. 19651011 199002 1 002

Mengetahui :

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc) NIP. 19621113 198703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor tepatnya di Cimanggu pada tanggal 13

September 1990, putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Ibu Herawati dan

Bapak Husni Kasim.

Pendidikan yang ditempuh penulis antara lain, Sekolah Dasar tahun

1996-2002 di SD Negeri Panaragan 1 Kota Bogor. Sekolah Menengah Pertama pada

tahun 2002-2005 di SMP Insan Kamil Kota Bogor. Sekolah Menengah Atas tahun

2005-2007 dengan mengikuti program akselerasi di SMA Insan Kamil Kota

Bogor. Setelah lulus pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah

dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan,

diantaranya sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) Divisi

Informasi dan Komunikasi periode 2009-2011 dan pengurus Koperasi Mahasiswa

(Kopma) IPB Divisi Komunikasi dan Informasi periode 2009-2011. Pada tahun

2011 penulis menjadi asisten mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabbil’aalamiin, puji syukur saya panjatkan kepada Allah

SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan-Nya. Terutama saat menyelesaikan

penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret

2011 hingga November 2011 dengan judul Evaluasi Kemampuan Lahan terhadap

Penggunaan/Penutupan Lahan dan RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung

Hulu).

Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap

skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah kekayaan ilmu pengetahuan

pembacanya.

Penulis menyadari bahwa dalam meyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari

bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan

terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Ir. La Ode Syamsul Iman, M.Si atas

perhatian, bimbingan, saran, dan dukungannya selama penyusunan skripsi

ini.

2. Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan

masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi.

3. Dosen Departemen Manajemen Sumber Daya Lahan atas ilmu yang telah

diberikan selama ini.

4. Andrea Emma Pravitasari, SP, M.Si dan Mbak Dian, serta Dosen dan staf

bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah.

5. Ibu Rohmah staf perpustakaan Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian

atas bantuannya dalam memperoleh data.

6. Papa, Mama, Abang (Azhary Husni, SE, M.Si) dan Adik (Astari

Khaerunnisa) atas segala kasih sayang, doa, motivasi, semangat dan

inspirasi yang telah diberikan selama ini.

7. Saudara Soilscaper 44 yang telah menjadi semangat selama kurang lebih 4

(8)

8. Keluarga kecilku yang selalu mengisi hariku dengan senyuman (Hanna

Aditya Januarisky, Setia Wahyu Cahyaningsih, Reyna Prachmayandini,

dan Juniska Muria Sariningpuri).

9. Arga Pandiwijaya, S.Hut dan kakak-kakak asisten praktikum mata kuliah

Analisis Spasial Lingkungan atas ilmu dan bantuannya pada tahap awal

membangun data penelitian.

10.Sahabat terbaikku, Siti Nurholipah SP, Harwan Susetio, SP, M.

Paturrohman, S.Si, Gilar Cahya Nirmaya, S.Si, Hairul, Try Asrini, SE,

Nova Prasetyanto, S.Pt, dan Andri Susanti, S.Gz, serta Kopmers.

11.Syahroji, SP atas pelajaran dan kasih sayangnya selama ini.

12.Semua pihak yang turut membantu kegiatan penelitian dan penyusunan

skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bogor, Februari 2012

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……… ix

DAFTAR TABEL……… xi

DAFTAR GAMBAR………... xii

DAFTAR LAMPIRAN………... xiv

I. PENDAHULUAN……….. 1

1.1. Latar Belakang………... 1

1.2. Permasalahan………. 2

1.3. Batasan Penelitian……….. 3

1.4. Tujuan……… 3

II. TINJAUAN PUSTAKA………. 4

2.1. Kemampuan Lahan……… 4

2.2. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan……… 7

2.3. Penataan Ruang……….. 8

2.4. Tata Ruang Kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu……… 9

2.5. DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung………. 11

2.6. Evaluasi Lahan………... 12

2.7. Sistem Informasi Geografi (SIG)………... 13

III. METODOLOGI………. 14

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian………. 14

3.2. Data, Sumber Data dan Alat……….……. 15

3.3. Metode Penelitian……….. 16

3.3.1. Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data……….. 16

3.3.2. Pengolahan Data Digital dan Analisis Spasial………….. 17

3.3.3. Pengecekan Lapang………... 21

3.3.4. Tahap Analisis Data……….. 22

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN……….. 23

4.1. Letak dan Lokasi Penelitian………... 23

4.2. Iklim………... 24

4.3. Geologi dan Geomorfologi……… 25

(10)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 27

5.1. Penggunaan / Penutupan Lahan Eksisting………. 27

5.2. Klasifikasi Kemampuan Lahan……….. 28

5.3. Peruntukkan Penggunaan Lahan menurut RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005 –2025………... 32

5.4. Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW……….. 34

5.4.1. Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peruntukan Penggunaan Lahan………...….. 40

5.4.2. Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peggunaan/Penutupan Lahan Eksisting……… 42

5.5. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan Wilayah………... 43

5.5.1. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan Wilayah…... 48

5.5.2. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting……. 50

5.6. Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Wilayah……….. 52

5.6.1. Ketidaksesuaian Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Wilayah menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan………...…….. 57

5.6.2. Ketidaksesuaian Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Peruntukan Penggunaan Lahan………... 59

5.7. Analisis Penggunaan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan dan RTRW……….. 61

VI. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 64

6.1. Kesimpulan……… 64

6.2. Saran……….. 65

DAFTAR PUSTAKA……….. 66

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan………. 6

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian……… 15 Tabel 3. Contoh Identifikasi Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan…… 20 Tabel 4. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kecamatan dan Desa di Daerah

Penelitian………. 24 Tabel 5. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Penggunaan/Penutupan Lahan

di Sub DAS Ciliwung Hulu……… 27 Tabel 6. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kelas dan Subkelas Kemampuan

Lahan……… 31 Tabel 7. Faktor Pembatas Setiap Kelas Kemampuan Lahan yang

Dianalisis……… 32 Tabel 8. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Peruntukan Lahan Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) Kab. Bogor tahun 2005-2025………… 34 Tabel 9. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi

Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap

Peruntukan Lahan RTRW……….. 36 Tabel 10. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Desa Terbesar

Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan

Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW………... 39 Tabel 11. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kombinasi

Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting

terhadap Kemampuan Lahan……….. 44 Tabel 12. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Desa Terbesar

Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan

Eksisting terhadap Kemampuan Lahan……….. 46 Tabel 13. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi

Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap

Kemampuan Lahan……… 52 Tabel 14. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Desa yang Tidak

Sesuai antara Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan

Lahan………... 55 Tabel 15. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) 15 Besar Kombinasi

Ketidaksesuaian RTRW terhadap Kemampuan Lahan pada

masing-masing Kecamatan………. 56

Tabel 16. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi 3

Parameter………... 62

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Wilayah Penelitian……….………. 14

Gambar 2. Bagan Alur Metode I………..………. 16

Gambar 3. Bagan Alur Metode II……….……… 22

Gambar 4. Peta Administrasi Wilayah Penelitian………..……... 23

Gambar 5. Peta Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting tahun 2009 di Sub DAS Ciliwung Hulu………..…... 28

Gambar 6. Peta Penyebaran Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan…….. 30

Gambar 7. Peta Peruntukan Lahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-2025……… 33

Gambar 8. Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW………... 36

Gambar 9. Peta Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW……… 37

Gambar 10. Urutan 10 Besar Luas Rata-Rata Poligon Terbesar Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW (Ha)………... 38

Gambar 11. Urutan 10 Besar Desa dengan Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksistingterhadap Peruntukan Lahan RTRW……… 39

Gambar 12. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan………... 40

Gambar 13. Urutan 5 Besar Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap Peruntukan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan (%)………. 41

Gambar 14. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan……… 42

Gambar 15. Urutan 5 Besar Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap Peruntukan Lahan RTRW menurut klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan……… 43

Gambar 16. Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan………... 45

Gambar 17. Urutan 10 Besar Luas Rata-Rata Poligon Terbesar Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan (Ha)……….. 46

(13)

Gambar 19. Urutan 10 Besar Desa dengan Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan

Eksisting terhadap Kemampuan Lahan………... 48 Gambar 20. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Ketidaksesuaian

Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting tahun 2010 terhadap

Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan… 49 Gambar 21. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan

Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi

Kemampuan Lahan (%)……… 49 Gambar 22. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Ketidaksesuaian

Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan

Eksisting……….. 51 Gambar 23. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan

Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi

Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting (%)………. 51 Gambar 24. Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi

Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap

Kemampuan Lahan………. 53 Gambar 25. Peta Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap

Kemampuan Lahan Wilayah……….. 54 Gambar 26. Urutan 10 Besar Luas Rata-rata Poligon Peruntukan Lahan

RTRW Terluas yang Tidak Sesuai dengan Kemampuan Lahan

(Ha)………. 55 Gambar 27. Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Desa Terbanyak yang Tidak

Sesuai antara Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan

Lahan……….. 57 Gambar 28. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Ketidaksesuaian

Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan

menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan………. 58 Gambar 29. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan terhadap

Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan… 58 Gambar 30. (a) Luas dan (b) Proporsi Ketidaksesuaian Peruntukan

Penggunaan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan

menurut Klasifikasi Peruntukan Penggunaan Lahan………… 60 Gambar 31. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan terhadap

Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Matriks Logik Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan

terhadap RTRW……… 69 Lampiran 2. Matriks Logik Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan

terhadap Kemampuan Lahan……… 70 Lampiran 3. Matriks Logik Inkonsistensi Peruntukan Lahan RTRW

terhadap Kemampuan Lahan……… 71 Lampiran 4. Luas Penyebaran Tanah di Sub DAS Ciliwung Hulu……….. 72 Lampiran 5. Gambar Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting……… 73 Lampiran 6. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting

terhadap Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005 - 2025

menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan……… 75 Lampiran 7. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting

terhadap Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005 - 2025

menurut Klasifikasi Penggunaan Lahan………... 78 Lampiran 8. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting

terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi

Kemampuan Lahan……….. 81 Lampiran 9. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting

terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi

Kemampuan Lahan……….. 83 Lampiran 10. Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005

- 2025 terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi

Kemampuan Lahan……….. 85

Lampiran 11. Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005 - 2025 terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi

(15)

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

alokasi pemanfaatan ruang pada rencana tata ruang wilayah provinsi dan

kabupaten/kota harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Hal tersebut dikarenakan suatu lahan yang dipergunakan tidak sesuai dengan

kemampuan akan mencapai batas kritis setelah waktu tertentu. Daya dukung lahan

bersifat terbatas, sehingga untuk mensejahterakan kehidupannya maka manusia

dituntut untuk membuat daya dukung lingkungan tersebut berkelanjutan (Rustiadi

et al., 2010).

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah disusun oleh pemerintah

dimaksudkan untuk mendukung perbaikan ataupun mempertahankan kondisi

lingkungan yang ada. Menurut Rusdiana (1995), pengaturan tata guna lahan di

DAS Ciliwung bagian hulu (kawasan puncak, Bogor), bagian tengah (Bogor,

Depok), sampai hilir (DKI Jakarta) mempunyai pengaruh langsung terhadap

kinerja sistem hidrologi dalam ekosistem DAS dan secara tidak langsung terhadap

kelestarian sumberdaya alamnya. Oleh karena itu, perencanaan dan pemanfaatan

sumberdaya alam dalam DAS harus dilakukan secara lestari dan dalam kegiatan

tersebut harus saling menunjang dan terintegrasi. Namun berdasarkan data hasil

review lahan kritis BPDAS Citarum Ciliwung tahun 2009, kerusakan lahan DAS

Ciliwung di Kabupaten Bogor menempati urutan ketiga. Dari total lahan DAS

Ciliwung 20.280,00 Ha, seluas 9.350,98 Ha sudah rusak atau 46,11 % dalam

keadaan kritis. Hal tersebut menunjukkan pemanfaatan sumberdaya alam dalam

wilayah DAS, khususnya Sub DAS Ciliwung Hulu, telah mengalami perubahan

kondisi lingkungan yang sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan

aktifitas pembangunan. Dikarenakan penataan ruang yang umumnya terjadi akibat

adanya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan lahan, sehingga terjadi

perubahan pengelolaan maupun perubahan keadaan.

Kawasan puncak yang masuk ke dalam wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu

ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah karena bernilai strategis

(16)

Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan lahan

untuk mewadahi berbagai aktivitas manusia melangsungkan kehidupannya.

Misalnya, berkembangnya kawasan terbangun baik untuk pemukiman penduduk

ataupun vila dan tempat wisata lainnya di kawasan puncak. Di sisi lain,

ketersediaan lahan tersebut relatif terbatas. Sehingga tidak mustahil jika banyak

terjadi konversi lahan dari kawasan budidaya pertanian ataupun kawasan lindung

menjadi kawasan terbangun. Menurut Denny (2004), bentuk-bentuk

penyimpangan penggunaan/penutupan lahan terhadap peruntukan lahan RTRW

umumnya didominasi oleh pemukiman pada sepanjang bantaran sungai-sungai

dan pada wilayah retensi air, seperti rawa-rawa dan lahan basah. Jika dalam

perkembangannya antara kebutuhan dan ketersediaan lahan tidak diatur dengan

baik, maka akan terjadi berbagai benturan kepentingan antar aktivitas yang

berdampak pada persaingan dalam penggunaan lahan. Hal ini akan

mengakibatkan terjadinya pergeseran pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan

arahan penataan ruang dan daya dukung lahannya.

Penelitian inkonsistensi antara RTRW dengan pemanfaatan ruang sudah

dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun evaluasi RTRW yang tidak

sesuai dengan kemampuan lahan belum banyak dilakukan. Beberapa bentuk

degradasi lahan di kawasan Puncak terjadi karena inkonsistensi pemanfaatan

ruang dengan RTRW, dan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dan RTRW dengan

kemampuan lahan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana

konsistensi pemanfaatan ruang dengan RTRW dan sejauh mana RTRW sesuai

dengan kemampuan lahannya.

I.2. Permasalahan

Wilayah DAS Ciliwung merupakan salah satu sungai dengan kondisi

sangat kritis di Jawa Barat. Kabupaten Bogor, khususnya Kawasan Puncak

memiliki peranan penting sebagai kawasan konservasi tanah dan air karena

merupakan hulu dari DAS Ciliwung. Kawasan Puncak adalah kawasan yang

memiliki potensi dan karakteristik yang khas untuk dikembangkan. Selain itu pula

(17)

Jawa Barat (Bandung-Jakarta) dan merupakan bagian dari pusat kegiatan jasa,

industri dan pariwisata.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rusdiana (1995), pola penggunaan

lahan di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah mengarah pada buruknya kondisi DAS

tersebut. Dimana lahan yang meresapkan air dan bak tampungan mengalami

penurunan, sedangkan lahan yang sedikit dan tidak meresapkan air semakin

bertambah tiap tahunnya. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan yang sangat

pesat dan pembangunan kawasan terbangun (pemukiman, hotel, vila, jalan,

industri, dan lainnya) di DAS Ciliwung Hulu yang seringkali tidak mengikuti

arahan penataan ruang dan tidak jarang penataan ruang suatu kawasan tidak

menyesuaikan dengan daya dukung lahan kawasan tersebut.

I.3. Batasan Penelitian

1. Penentuan klasifikasi kemampuan lahan tanpa memperhatikan aspek

teknik konservasi lahan di wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu.

2. Penggunaan/penutupan lahan eksisting wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu tidak memperhitungkan luas poligon minimum atau poligon yang lebih

kecil dari unit satuan lahan terkecil.

I.4. Tujuan

1. Mengevaluasi inkonsistensi penggunaan lahan eksisting terhadap peruntukan lahan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025.

2. Mengevaluasi ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan wilayah.

3. Mengevaluasi ketidaksesuaian peruntukan lahan menurut Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 terhadap

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemampuan Lahan

Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi

lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa

menjelaskan peruntukkan untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakan-tindakan

pengelolaannya. Tujuannya adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat

diusahakan bagi pertanian (arable land) berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan. Klasifikasi penggunaan lahan

merupakan sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Hockensmith dan Steele

pada tahun 1943 yang kemudian dimodifikasi oleh Klingebel dan Montgomery

(1961; 2002), seperti yang tertuang dalam Agriculture Handbook No. 210. Dalam sistem klasifikasi ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu kelas,

subkelas, dan satuan (unit) kemampuan atau pengelolaan (Rayes, 2007).

Kemampuan lahan merupakan pencerminan kapasitas fisik lingkungan

yang dicerminkan oleh keadaan topografi, tanah, hidrologi, dan iklim, serta

dinamika yang terjadi khususnya erosi, banjir dan lainnya. Kombinasi karakter

sifat fisik statis dan dinamik dipakai untuk menentukan kelas kemampuan lahan,

yang dibagi menjadi 8 kelas. Kelas I mempunyai pilihan penggunaan yang banyak

karena dapat diperuntukan untuk berbagai penggunaan, mulai untuk budidaya

intensif hingga tidak intensif, sedangkan kelas VIII, pilihan peruntukannya sangat

terbatas, yang dalam hal ini cenderung diperuntukan untuk kawasan lindung atau

sejenisnya (Rustiadi et al., 2010).

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dalam tingkat kelas,

kemampuan lahan menunjukkan kesamaan dari besarnya faktor-faktor

penghambat. Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin buruk, berarti

resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan

penggunaan lahan yang diterapkan semakin terbatas.

Kelas I

Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan

tindakan pengawetan tanah yang khusus. Lahannya datar, solumnya dalam,

(19)

terhadap pemupukan. Lahan kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman

kerusakan, sehingga dapat digarap untuk usaha tani tanaman semusim dengan

aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur tanah yang

baik diperlukan guna menjaga kesuburan dan mempertinggi produktivitas.

Kelas II

Lahan kelas II mempunyai beberapa penghambat yang dapat mengurangi pilihan

jenis tanaman yang diusahakan atau memerlukan usaha pengawetan tanah yang

tingkatnya sedang.

Kelas III

Lahan kelas III mempunyai penghambat yang agak berat, yang mengurangi

pilihan jenis tanaman yang dapat diusahakan, atau memerlukan usaha pengawetan

tanah yang khusus, atau keduanya.

Kelas IV

Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat untuk membatasi pilihan

tanaman yang dapat diusahakan, memerlukan pengelolaan yang sangat

berhati-hati, atau kedua-duanya. Penggunaan lahan kelas IV sangat terbatas.

Kelas V

Lahan kelas V mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai

penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi

penggunaan lahan ini. Akibatnya, lahan ini hanya cocok untuk tanaman rumput

ternak secara permanen atau dihutankan.

Kelas VI

Lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai

untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan.

Penggunaan untuk padang rumput harus dijaga agar rumputnya selalu menutup

dengan baik. Bila dihutankan, penebangan kayu harus lebih selektif. Bila

dipaksakan untuk tanaman semusim, harus dibuat teras bangku. Lahan ini

mempunyai penghambat yang sulit sekali diperbaiki.

Kelas VII

Lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan

(20)

Kelas VIII

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk produksi pertanian, dan hanya dibiarkan

dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi hutan. Lahan ini dapat digunakan

untuk daerah rekreasi cagar alam atau hutan lindung.

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan

Faktor Penghambat Kelas Kemampuan

I II III IV V VI VII VIII

1 Tekstur tanah (t)

Lapisan atas (40 cm) ah-s h-ak h-ak (+) (+) (+) (+) k

2 Lereng permukaan (%) 0-3 3-8 8-15 15-30 (+) 30-45 45-65 >65

3 Drainase b-ab Aj j Sj (++) (+) (+) (+)

4 Kedalaman efektif >90 >90 90-50 50-25 (+) <25 (+) (+)

5 Keadaan erosi t R r S (+) b sb (+)

6 Kerikil/batuan (%

volume) 0-15 0-15 0-15 15-50 50-90 (+) (+) >90

7 Banjir Oo Oi Oii Oii Oiv (+) (+) (+)

Keterangan : (+) : dapat mempunyai sebarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah

(++) : permukaan tanah selalu tergenang air

Tekstur : ah = agak halus; h = halus; ak = agak kasar; k = kasar; s = sedang Erosi : t = tidak ada; r = ringan; s = sedang; b = berat; sb = sangat berat Drainase : b = baik; ab = agak baik; aj = agak jelek; j = jelek; sj = sangat jelek Sumber : Konservasi Tanah dan Air (Arsyad, 2000).

Pengelompokan tanah ke dalam satuan pengelolaan, subkelas, dan kelas

kemampuan dilakukan terutama berdasarkan kemampuan lahan tersebut untuk

menghasilkan produksi tanaman umum dan tanaman makanan ternak (pasture plants) tanpa kerusakan tanah di dalam periode waktu yang lama. Meskipun sistem ini telah dirancang untuk klasifikasi lahan detil di daerah yang telah

berkembang namun sistem ini mempunyai beberapa keuntungan sehingga dapat

juga digunakan pada penilaian permulaan secara umum bagi sumberdaya lahan di

daerah-daerah yang belum berkembang, dengan alasan-alasan sebagai berikut

(Sitorus, 1985). Pertama, karena sistem ini didasarkan atas evaluasi dari keadaan

dan tingkat penghambat sifat-sifat fisik, maka sistem ini berguna untuk penilaian

obyektif, penilaian perbandingan, dan menghindarkan bias pengaruh subjektif

(21)

didasarkan atas sifat-sifat fisik lahan, dan faktor ekonomis tidak dipertimbangkan

kecuali dalam asumsi untuk tindakan pengelolaan tertentu yang digunakan.

Ketiga, sistem ini menujukkan macam penggunaan lahan yang sesuai untuk lahan

dengan faktor-faktor penghambat tertentu, sekaligus dengan tindakan pengelolaan

yang dibutuhkan untuk dapat mengatasi faktor penghambat tersebut.

2.2. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan

Penggunaan lahan adalah bentuk perwujudan usaha manusia dalam

menggunakan sumberdaya alam/lahan, yang di dalamnya terdapat komponen

usaha, sedangkan penutupan lahan adalah bentuk perwujudan fisik dari

penggunaan yang direncanakan ataupun tidak (Rustiadi et al., 2010). Sedangkan menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan

manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan (land use) juga diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam

rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spirituil (Arsyad,

2000).

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) penggunaan lahan dapat

dibedakan menjadi penggunaan lahan pedesaan (rural land use) dan penggunaan lahan perkotaan (urban land use). Penggunaan lahan pedesaan dititik beratkan pada produksi pertanian, sedangkan penggunaan lahan perkotaan dititik beratkan

pada tujuan untuk tempat tinggal. Selanjutnya penggunaan lahan berdasarkan

Arsyad (2006) dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu

penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan

lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang

diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang

terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan

lahan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada lahan tidak

beririgasi), sawah, kebun, kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi,

hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan

bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman),

(22)

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 1992 tentang

Penataan Ruang tertulis: pemanfaatan ruang meliputi kawasan perdesaan,

kawasan perkotaan, kawasan lindung serta kawasan budidaya. Kawasan lindung

adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian

lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.

Sedangkan kawasan budidaya merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,

sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan menurut Sandy

(1977) diantaranya jenis-jenis bahan induk yang menentukan tingkat kesuburan

lahan dan selanjutnya menentukan pola penggunaan lahan dan pemusatan

penduduk. Faktor lereng dan ketinggian tempat juga memiliki peranan penting.

Selain itu, yang erat pula hubungannya dengan bahan induk dan lereng adalah

faktor kedalaman efektif tanah. Selain itu jumlah penduduk, penyebaran penduduk

dan profesi terbesar dari penduduknya, dan tingkat penggunaan lahan juga ikut

menentukan pola penggunaan lahan dan pemusatan penduduk.

2.3. Penataan Ruang

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan (tanah) ruang lautan, dan

ruang udara sebagai suatu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya

hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Karena

tanah (daratan) merupakan salah satu bagian (unsur) dari ruang maka

penatagunaan lahan tidak dapat dilepaskan dari penataan ruang wilayah.

Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang

meliputi tataguna lahan, tataguna air, tataguna udara, tataguna sumberdaya

lainnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Tujuan dari diwujudkannya penataan ruang adalah untuk mewujudkan

ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan

berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional agar terwujud

keharmionisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, keterpaduan dalam

penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan

(23)

dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Rustiadi et al., 2010).

Dalam kaitannya dengan tujuan tersebut, maka Rustiadi et al. (2011) menyatakan tiga hal yang membuat unsur fisik menjadi peran penting dalam

penataan ruang. Pertama, efisiensi dan produktivitas dapat dipenuhi dengan

adanya alokasi sumberdaya fisik wilayah dilakukan secara tepat, sehingga

peruntukan berbagai kawasan dapat sesuai dengan kemampuan dan

kesesuaiannya. Kedua, unsur fisik dapat memenuhi tujuan keadilan dan

keberimbangan hanya jika alokasi sumberdaya fisik dapat bermanfaat bagi

wilayah yang bersangkutan dan memberikan dampak positif bagi wilayah di

sekitarnya. Ketiga, tujuan untuk menjaga keberlanjutan (sustainability), hanya mungkin dicapai bila alokasi sumberdaya fisik wilayah dilakukan dengan cara

bijaksana sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena

itu, unsur fisik penataan ruang harus diperlakukan sesuai dengan daya dukung,

daya tampung, dan potensi wilayah.

2.4. Tata Ruang Kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu

Menurut Denny (2004), tujuan penataan ruang Kawasan

Jabodetabek-Punjur adalah untuk:

1. Keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antar daerah Kabupaten dan

Kota sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan;

2. Mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan

kawasan, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan serta

penanggulangan banjir;

3. Mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien

berdasarkan karakteristik wilayah, bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat

yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Adapun sasaran penyelenggaraan penataan ruang Kawasan

Jabodetabek-Punjur adalah:

1. Terwujudnya kerjasama penataan ruang antar Pemerintah Kabupaten dan Kota

(24)

a. Sinkronisasi pemanfaatan kawasan lindung dan budidaya untuk

meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup yang penduduk;

b. Sinkronisasi pengembangan prasarana dan sarana wilayah secara terpadu;

c. Kesepakatan antar daerah untuk mengembangkan sektor-sektor prioritas

dan kawasan-kawasan prioritas menurut tingkat kepentingan bersama.

2. Terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan

fauna dengan ketentuan:

a. Tingkat erosi yang tidak mengganggu;

b. Tingkat peresapan air hujan dan air permukaan yang menjamin

tercegahnya bencana banjir dan ketersediaan air sepanjang tahun;

c. Kualitas air yang menjamin kesehatan lingkungan;

d. Situ yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sumber air baku, dan

sistem irigasi;

e. Pelestarian flora dan fauna yang menjamin pengawetan keanekaragaman

jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

f. Tingkat perubahan suhu dan kualitas udara tetap menjamin kenyamanan

kehidupan lingkungan hidup.

3. Terciptanya optimalisasi fungsi budidaya, dengan ketentuan:

a. Kegiatan budidaya yang tidak melampaui daya dukung dan ketersediaan

sumber daya alam dan energi;

b. Kegiatan usaha pertanian yang memperhatikan konservasi air dan tanah;

c. Daya tampung bagi penduduk yang selaras dengan kemampuan

penyediaan prasarana dan sarana lingkungan yang bersih dan sehat serta

dapat mewujudkan jasa pelayanan yang optimal;

d. Pengembangan kegiatan industri yang menunjang pengembangan kegiatan

ekonomi lainnya;

e. Kegiatan pariwisata yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan

masyarakat, serasi dengan lingkungan, serta dapat meningkatkan

kesejahteraan penduduk;

f. Tingkat gangguan pencemaran lingkungan serendah-rendahnya dari

kegiatan transportasi, industri, dan pemukiman melalui penerapan baku

(25)

4. Tercapainya keseimbangan antara fungsi lindung dan budidaya.

2.5. DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan lahan total dan permukaan air

yang dibatasi oleh suatu batas air topografi dan yang dengan salah satu cara

memberikan sumbangan terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang

tertentu. Dinyatakan bahwa di Indonesia pada tahun 1989 terdapat 36 Daerah

Aliran Sungai (DAS) menderita erosi berat, 13 diantaranya terdapat di Pulau

Jawa. Luas lahan kritis pada saat itu adalah sekitar 10,63 juta hektar, dimana

42,81 persen dan 57,19 persen dari luasan itu berturut-turut dijumpai di dalam

kawasan hutan dan di luar kawasan hutan (Rayes, 2007).

Salah satu dari beberapa DAS yang tergolong kritis dan termasuk ke dalam

DAS super prioritas adalah DAS Ciliwung. Pada dekade ini DAS Ciliwung

mengalami perubahan-perubahan kearah yang merugikan, dimana

penggunaan/konversi lahan bagian hulu bertambah besar, meningkatnya

permukiman penduduk/ industri sepanjang sungai, dan fluktuasi debit yang tinggi.

Pada dasarnya, DAS Ciliwung mempunyai karakteristik yang hampir sama

dengan DAS kritis lainnya, akan tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan DAS

Ciliwung mendapat sorotan yang lebih banyak dibandingkan DAS lainnya, antara

lain karena:

a. Wilayah hilir DAS Ciliwung mencakup daerah ibukota Negara (DKI

Jakarta) yang sangat kaya akan aset-aset nasional dan pemukiman

penduduk,

b. Kerusakan wilayah hulu DAS Ciliwung diakibatkan oleh tumbuh dan

berkembangnya perumahan, industri, pariwisata/agrowisata, dan prasarana

lainnya yang tidak berwawasan lingkungan, dan

c. Wilayah hulu DAS Ciliwung merupakan kawasan wisata yang terus

berkembang mengakibatkan tekanan terhadap sumberdaya ait terus

berlanjut sehingga membutuhkan perencanaan yang dapat mengakomodasi

perkembangan tersebut.

Berdasarkan data yang bersumber dari hasil review lahan kritis BPDAS

(26)

40 persen. Dari total luas DAS Ciliwung yang mencapai 39.017,12 hektar, seluas

12.036,81 hektar atau 30,85 persennya mengalami kritis. Di lahan DAS Ciliwung

yang rusak 100 persen adalah Sukabumi. Dari total luas DAS Ciliwung di

Sukabumi 52,58 hektar, seluruhnya saat ini rusak. Dan Cianjur menempati urutan

kedua yang lahan DAS-nya rusak akibat tedegradasi yakni dari total luas lahan

349,15 hektar, seluas 265,26 hektar atau 75,97 persen dalam keadaan kritis.

Sedangkan di urutan ketiga ditempati Kabupaten Bogor. Dari total lahan DAS

Ciliwung 20.280,00 hektar, seluas 9.350,98 hektar sudah rusak atau 46,11

persennya kritis (Harian Pos Kota, 19 Juni 2010).

2.6. Evaluasi Lahan

Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan.

Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe

penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan

yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan

diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe

penggunaan lahan tersebut. Tujuan evaluasi lahan (Land Evaluation atau Land Assessement) adalah menentukan nilai suatu lahan untuk tujuan tertentu. Menurut FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), evaluasi lahan perlu

juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan yang berkaitan

dengan perencanaan tataguna lahan.

Menurut Sitorus (1985), fungsi evaluasi sumberdaya lahan untuk

memberikan pengertian tentang hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan

penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan

alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil. Dengan demikian

manfaat yang mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai

kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan lahan yang akan dilakukan. Hal ini

penting terutama apabila perubahan penggunaan lahan tersebut diharapkan akan

menyebabkan perubahan-perubahan besar terhadap keadaan lingkungannya.

Informasi mengenai sumberdaya fisik wilayah sangat diperlukan untuk

(27)

sumberdaya fisik wilayah meliputi sumberdaya alam seperti lahan, hutan, mineral,

perairan, pesisir dan laut, potensi bencana alam, dan lain-lain. Evaluasi

sumberdaya fisik wilayah akan sangat terkait dengan daya dukung dan

sumberdaya yang terkandung dalam ruang (Rustiadi et al., 2011).

2.7. Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem komputer untuk

menangkap, mengatur, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisis, dan

menyajikan data yang bereferensi ke bumi (Barus, 2005). Dengan kata lain,

menurut Barus dan Wiradisatra (2000) SIG adalah suatu sistem basis data dengan

kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan

seperangkat operasi kerja. Komponen utama dalam Sistem Informasi Geografis

dibagi kedalam empat komponen utama, yaitu: perangkat keras, perangkat lunak,

organisasi/manajemen dan pemakai. Kombinasi yang benar antara keempat

komponen utama tersebut akan menentukan suatu proses pengembangan Sistem

Informasi Geografi.

Menurut Buchori (2010), SIG seringkali didefinisikan sebagai sistem

komputer yang dapat dipergunakan untuk mengelola data keruangan, baik berupa

gambar/peta ataupun tabel, sekaligus memahami keterkaitan di antara keduanya.

SIG dikenal memiliki berbagai kemampuan terkait dengan pengelolaan basis data,

analisis keruangan, dan penampilan hasil-hasil analisis keruangan. Dengan sistem

ini, berbagai analisis keruangan berbasis peta (map analysis) dan tabel (tabular analysis) dapat dilakukan dengan cepat, mudah, dan akurat. Sistem ini juga mampu mengintegrasikan kedua format data tersebut sehingga mempermudah

para pengambil keputusan/pelaku pembangunan untuk mengambil

(28)

III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai

dengan November 2011 dengan cakupan wilayah penelitian Sub DAS CIliwung

Hulu yang secara geografis terletak pada 6o37’ 48’’ – 6o46’ 12’’ Lintang Selatan (LS) dan 106o 49’ 48’’ – 107o 00’ 00’’ Bujur Timur (BT). Wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu meliputi Kabupaten Bogor dan khususnya di beberapa kecamatan

yaitu: Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung, dan

Kecamatan Sukaraja.

Pengolahan peta analog dan peta digital serta analisis data dilakukan di

Laboratorium Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Pusat

Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB. Pengecekan

lapang dilakukan di daerah penelitian yaitu kawasan sekitar Sub DAS Ciliwung

Hulu. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

(29)

3.2. Data, Sumber Data, dan Alat

Data yang digunakan untuk mendukung dan sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini ditujukan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian

No. Jenis Data Sumber Data

1 Citra ALOS Avnir yang

Diakuisisi pada 17 Juli 2009

Bagian Perencanaan Pengembangan

Wilayah, Departemen ITSL, IPB, Pusat

Pengkajian Perencanaan Pengembangan

Wilayah (P4W) LPPM IPB 2010

2 Peta Administrasi Desa

Provinsi Jawa Barat

Bapeda Provinsi Jawa Barat, Hasil

Update

3 Peta Rupa Bumi Indonesia Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan

Nasional (Bakosurtanal) (diperoleh dari

Bagian Penginderaan Jauh, Departemen

ITSL, IPB 1996)

4

5

Peta Tanah Semidetil DAS

Ciliwung Hulu skala 1:50.000

Peta Land System with Land Suitability and Environmental Hazard, Lembar: Jakarta skala 1:250.000

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat

1992

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat

1992, dimodifikasi sesuai kedalaman

yang digunakan pada penelitian ini

dengan skala hasil modifikasi 1:50.000

6 Peta Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Kabupaten

Bogor Tahun 2005-2025

Bappeda (diperoleh dari P4W-LPPM IPB

hasil digitasi ulang oleh Afifah (2010))

(30)

3.3. Metode Penelitian

Secara garis besar penelitian ini terdiri dari empat tahap kegiatan, yaitu:

(1) tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) tahap analisis spasial dan data, (3)

tahap pengecekan lapang, (4) tahap analisis data, dan (5) tahap penyusunan

[image:30.595.108.509.205.606.2]

laporan akhir.

Gambar 2. Bagan Alur Metode I

3.3.1. Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data

Tahap persiapan diawali dengan pengumpulan studi pustaka yang

berhubungan dengan kemampuan lahan, penataan ruang, penggunaan/penutupan

lahan eksisting kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu, dan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu juga pengumpulan data-data penunjang

(31)

citra ALOS. Setelah data terkumpul kemudian dilanjutkan dengan penyeragaman

atau kalibrasi data sehingga proses pengolahan dapat dilakukan.

3.3.2. Pengolahan Data Digital dan Analisis Spasial

Pada tahap yang kedua ini digunakan metode kombinasi teknik

penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk menganalisis peta.

Pengolahan citra digital dan analisis spasial dilakukan dengan menggunakan

perangkat lunak ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, dan Erdas Imagine 9.1. Peta yang berbentuk raster dilakukan registrasi dan koreksi geometrik terlebih dahulu

sehingga menghasilkan peta yang siap untuk di digitasi.

1. Koreksi Geometrik

Tahap koreksi geometrik (georeferencing) bertujuan untuk menyamakan koordinat peta dengan koordinat sesungguhnya di lapangan atau merupakan

proses penempatan objek berupa raster atau image yang belum mempunyai acuan

sistem koordinat dan proyeksi tertentu. Peta yang dilakukan koreksi geometrik

adalah Peta Tanah Semidetil dan Peta Land System. Metode georeferencing

menggunakan koordinat yang tercantum pada peta analog. Koordinat yang

tercantum pada Peta Tanah Semidetil tersebut berupa decimal degree, maka

coordinate system yang digunakan adalah World Geographic System (WGS). Jika koordinat berupa Universal Transverse Mercator (UTM), maka yang dugunakan adalah Projected Coordinate System dengan zona wilayah 48 UTM. Tambahkan titik ikat atau GCP (Ground Control Point) pada garis perpotongan koordinat. Titik yang berwarna hijau merupakan source (koordinat gambar, sedangkan titik berwarna merah merupakan destination (koordinat yang sebenarnya). Titik ikat yang dibuat minimal berjumlah empat buah yang berseberangan untuk

mempermudah koreksi. Untuk hasil koreksi peta yang baik syarat besarnya RMS Erorrtiap titik harus ≤ 1.

2. Proses Digitasi

(32)

analog menjadi peta digital. Peta Tanah Semidetil dan Peta Land System yang sudah di digitasi dengan koordinat decimal degree di convert menjadi koordinat UTM zona 48 S. Citra ALOS yang sudah terkoreksi di potong (subset image) pada software Erdas Imagine 9.1 sesuai batas wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu.

Digitasi citra ALOS dilakukan dengan batas administratif Sub DAS CIliwung

Hulu.

3. Interpretasi Visual

Analisis visual (interpretasi secara visual) merupakan suatu kegiatan untuk

mendeteksi obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi yang tampak pada citra

dengan mengenalinya atas dasar karakteristik citra. Pendekatan ini melibatkan

analisis/interpreter untuk mendapatkan informasi yang terekam pada citra dengan

cara interpretasi visual. Elemen-elemen diagnostik dalam analisi visual yang

digunakan adalah rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan

asosiasi. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum tampak.

Ukuran adalah atribut obyek yang berkaitan dengan jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Bentuk adalah variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual.

Pola adalah susunan keruangan obyek yang merupakan ciri yang memadai bagi beberapa obyek alamiah. Bayangan, dapat membantu memberikan gambaran profil suatu obyek, atau bahkan menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya

cahaya sehingga sukar diamati pada foto udara. Situs adalah lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek lain yang sangat berguna untuk membantu

pengenalan suatu obyek. Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain.

Dari interpretasi peta penggunaan/penutupan lahan wilayah Sub DAS

Ciliwung Hulu, diperoleh delapan bentuk penggunaan/penutupan lahan, yaitu

hutan, semak/belukar, kebun/perkebunan, tegalan/ladang, sawah tadah hujan,

(33)

4. Ekstraksi Landform

Tahap ekstraksi ini bertujuan untuk menghasilkan beberapa parameter peta

dari suatu peta dari data atribut peta tersebut. Peta Tanah Semidetil diekstrak

menjadi peta kemiringan lereng, peta drainase tanah dan peta tekstur tanah,

sedangkan Peta Land System diekstrak menjadi peta kedalaman tanah dengan modifikasi skala menggunakan bantuan dari DEM SRTM dan Peta Tanah

Semidetil.

5. Tumpang Tindih (Overlay)

Pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan metode overlay peta digital. Peta kelas erosi diperoleh dari hasil overlay antara peta penggunaan/penutupan lahan dan peta tanah. Lima faktor pembatas yang

ditumpangtindihkan, yaitu peta kemiringan lereng, peta erosi, peta kedalaman

tanah, peta tekstur tanah, dan peta drainase tanah.

6. Penetapan Kemampuan Fisik Lahan

Pada tahap ini, penentuan kemampuan fisik lahan yang dikategorikan ke

dalam bentuk kelas dan subkelas. Besarnya hambatan yang ada untuk

masing-masing parameter menentukan masuk ke dalam kelas dan subkelas mana lahan

tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 tahun

2009, penentuan kelas dan subkelas kemampuan lahan dilakukan dengan teknik

Boolean. Kemampuan fisik lahan dikelaskan ke dalam 8 (delapan) kelas, yaitu kelas I sampai dengan kelas VIII. Kemampuan lahan kategori kelas dapat dibagi

ke dalam kategori subkelas yang didasarkan pada jenis faktor penghambat atau

ancaman dalam penggunaannya. Kategori subkelas hanya berlaku untuk kelas II

sampai dengan kelas VIII, karena lahan kelas I tidak mempunyai faktor

penghambat. Kelas kemampuan lahan dapat dirinci ke dalam subkelas

berdasarkan empat faktor penghambat, yaitu kemiringan lereng (t), penghambat

terhadap perakaran tanaman (s), tingkat erosi/bahaya erosi (e), dan genangan air

(34)

Dari hasil overlay peta, diperoleh kombinasi kelima faktor pembatas, yaitu kemiringan lereng, tingkat kelas erosi, kedalaman tanah, drainase tanah, dan

tekstur tanah, sehingga dapat dilakukan identifikasi kelas kemampuan lahan.

Besarnya faktor pembatas yang ada menentukan masuk ke dalam kelas dan

subkelas mana lahan tersebut. Sebagai contoh, lahan yang memiliki kemiringan

lereng datar dan tidak mempunyai faktor pembatas dari parameter lainnya masuk

ke dalam kelas I. Contoh yang lebih rinci untuk mengidentifikasi kelas dan

subkelas lahan dijabarkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Contoh Identifikasi Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan

No. No. Sampel 1 Kode Kemampuan

Lahan

Faktor Pembatas Data

1 Kemiringan Lereng > 3 - 8 % B II

2 Tingkat Erosi Erosi Ringan e1 II

3 Kedalaman Tanah Dalam k0 I

4 Tekstur Tanah Halus t1 I

5 Drainase Tanah Baik d0 I

Kelas II

Subkelas II t, e

Dari penjabaran pada Tabel 3, maka lahan dengan unit karakteristik

tersebut masuk ke dalam kategori kelas II dengan faktor pembatas kemiringan

lereng (t) dan tingkat erosi (e).

Setelah peta penggunaan/penutupan lahan didigitasi dan diinterpretasi dan

setelah ditentukan kelas kemampuan lahan beserta faktor-faktor pembatasnya,

selanjutnya dilakukan tumpang tindih (overlay). Kombinasi peta yang ditumpangtindihkan, yaitu peta penggunaan/penutupan lahan eksisting dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025,

peta penggunaan/penutupan lahan eksisting dengan peta kemampuan lahan, dan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025

dengan peta kemampuan lahan. Masing-masing kombinasi peta yang

ditumpangtindihkan tersebut dioverlay dengan peta administrasi Sub DAS Ciliwung Hulu. Kemudian dilakukan penghitungan luas masing-masing poligon

dalam satuan meter. Kemudian peta hasil kombinasi tumpang tindih di-query

(35)

logika ketidaksesuaian terhadap kemampuan lahan (Lampiran 2 dan 3) yang

menghasilkan 3 kombinasi peta tersebut.

3.3.3. Pengecekan Lapang

Data untuk pengecekan lapang (ground checking) mengacu pada kombinasi peta inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 dan kombinasi peta ketidaksesuaian

penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random) agar keterwakilan data baik. Menurut Nasution (2003), pada pengambilan sampel secara random, setiap unit populasi,

mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel. Dengan cara

random, bias pemilihan dapat diperkecil, sekecil mungkin. Ini merupakan salah

satu usaha untuk mendapatkan sampel yang representatif.

Sampel pengecekan lapang dilakukan pada poligon terluas yang mewakili

setiap kombinasi menurut kelas penggunaan/penutupan lahan dan menurut kelas

peruntukan lahan RTRW untuk peta inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan

eksisting terhadap RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, serta pada poligon terluas yang mewakili setiap kombinasi menurut kelas penggunaan/penutupan

lahan dan menurut kelas kemampuan lahan untuk peta ketidaksesuaian

penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan.

Pengecekan data lapang dilakukan untuk mengamati kondisi aktual

penggunaan lahan. Urgensi dari pengecekan data lapang adalah untuk

memperkuat hasil analisis interpretasi, terutama dalam kaitannya dengan

pengkoreksian peta penggunaan lahan, sehingga hasil akhir data yang di dapat

memiliki tingkat akurasi dan keterwakilan yang tinggi. Data lapang yang

diperoleh kembali dicocokkan dengan data hasil analisis yang pertama.

Pengecekan lapang dilaksanakan selama tiga hari pada minggu pertama

(36)

3.3.4. Tahap Analisis Data

Data untuk keperluan analisis selanjutnya diektrak dari data atribut dari 3

kombinasi peta, dengan menggunakan MS Office Excell pada format file dbase

(.dbf). Kemudian luas yang dalam satuan meter persegi (m2) di konversi ke dalam

satuan hektar (Ha). Analisis data kombinasi menggunakan pivot table untuk melihat luas poligon (Ha) dan jumlah poligon masing-masing kombinasi.

(37)

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Letak dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kawasan Puncak, Sub DAS CIliwung Hulu,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kawasan ini merupakan daerah dataran tinggi

karena berada pada daerah pegunungan. Secara astronomis daerah ini terletak

pada kedudukan 6o37’ 48’’ – 6o46’ 12’’ Lintang Selatan (LS) dan 106o49’ 48’’

– 107o 00’ 00’’ Bujur Timur (BT). Sub DAS Ciliwung Hulu di Kabupaten Bogor mencakup 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cisarua,

Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Sukaraja.

Lokasi penelitian memiliki luas 14.587,06 Ha yang meliputi 27 desa untuk

4 kecamatan. Untuk lebih rinci luas setiap kecamatan dan desa yang terdapat di

[image:37.595.106.514.190.753.2]

wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Tabel 4.

(38)

Tabel 4. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kecamatan dan Desa di Daerah Penelitian

No Kode Kecamatan Desa Luas Total Luas

Ha % Ha %

1 3201100004 Ciawi Bojong Murni 905.80 6.21 1412.70 9.68 2 3201100006 Banjar Sari 37.41 0.26

3 3201100010 Banjar Waru 31.98 0.22

4 3201100011 Ciawi 55.92 0.38

5 3201100012 Bendungan 149.37 1.02

6 3201100013 Pandansari 232.21 1.59 7 3201110001 Cisarua Citeko 584.07 4.00 7098.50 48.66 8 3201110002 Cibeureum 1118.12 7.67

9 3201110003 Tugu Selatan 2428.47 16.65 10 3201110004 Tugu Utara 1133.51 7.77 11 3201110005 Batu Layang 272.29 1.87 12 3201110006 Cisarua 240.52 1.65

13 3201110007 Kopo 652.85 4.48

14 3201110008 Leuwimalang 135.93 0.93 15 3201110009 Jogjogan 236.73 1.62 16 3201110010 Cilember 296.01 2.03

17 3201120001 Megamendung Sukaresmi 229.91 1.58 5911.93 40.53 18 3201120002 Sukagalih 408.92 2.80

19 3201120003 Kuta 548.52 3.76

20 3201120004 Sukakarya 435.20 2.98 21 3201120005 Sukamanah 104.42 0.72 22 3201120006 Sukamaju 212.79 1.46

23 3201120008 Gadog 441.10 3.02

24 3201120009 Cipayung Datar 963.43 6.60 25 3201120010 Cipayung Girang 197.67 1.36 26 3201120011 Megamendung 2369.97 16.25

27 3201130001 Sukaraja Cibanon 163.92 1.12 163.92 1.12

Total Luas 14587.06 100

Sumber : Hasil Analisis 2011, dari Peta Administrasi Desa Provinsi Jawa Barat

4.2. Iklim

Sub DAS Ciliwung Hulu terletak di ketinggian 1.530 mdpl, topografi

bergelombang dan berbukit, kelas lereng 2,7%-74,3% dengan panjang lereng

500-700 m. Curah hujan rata-rata di daerah Sub DAS Ciliwung Hulu sebesar 2.929 – 4.956 mm/tahun. Perbedaan bulan basah dan bulan kering sangat mencolok, yaitu

10,9 Bulan basah per tahun dan hanya 0,6 Bulan kering per tahun. Tipe iklim

menurut sistem klasifikasi Smith dan Ferguson (1951) dalam Aditama (2007) yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan Basah (> 200 mm) dan

[image:38.595.111.511.115.515.2]
(39)

4.3. Geologi dan Geomorfologi

Formasi batuan yang menutupi wilayah sekitar Bogor terdapat 4 satuan,

yaitu bahan volkan, aluvial sungai, breksi bersusunan andesit dan bahan napal

(LPT, 1986 dalam Aditama, 2007).

Jurusan Tanah IPB (1990) menyatakan bahwa kondisi geologi daerah

penelitian dapat dibagi atas 4 formasi geologi, yaitu Formasi Qvu: Terletak pada

bagian atas dari Sub DAS yang mempunyai lereng rata-rata di atas 40%. Formasi

ini merupakan endapan lahar, aliran lava, breksi gunung api, batu pasir tufa.

Formasi Qvba: Terletak pada bagian atas Sub DAS, formasi ini merupakan aliran

basal dari Geger Bentang. Formasi Qvb: Terdiri dari breksi gunung api, lahar.

Formasi Qv: Formasi ini terletak pada outlet dengan luasan yang kecil, merupakan

lempeng tufa, pasir tufa, konglomerat, dan endapan lahar.

Geomorfologi Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh dataran volkanik

tua dengan bentuk wilayah bergunung, hanya sebagian kecil yang merupakan

dataran alluvial. Geomorfologi daerah ini dibentuk oleh dua gunung api muda,

yaitu Gunung Salak (2.211 m) dan Gunung Gede Pangrango (3.019 m).

Rangkaian pegunungan api tua yang terdiri dari Gunung Malang (1.262 m),

Gunung Limo, Gunung Kencana, dan Gunung Gendongan (Riyadi dalam

Janudianto, 2004).

4.4. Tanah

Tanah-tanah yang terbentuk umumnya berasal dari bahan induk abu

volkan dan batuan piroklastik. Pada Peta Tanah Semidetil Tahun 1992 skala

1:50.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, jenis

tanah yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu meliputi order Andisol, Ultisol,

Inceptisol, dan Entisol yang masing-masing sebesar 38%, 11%, 48%, dan 2,1%

(Janudianto, 2004).

Inceptisol adalah tanah yang mulai berkembang tetapi belum matang yang

ditandai oleh perkembangan profil yang lemah dan masih banyak menyerupai

sifat bahan induknya (Rachim dan Suwardi, 2002). Inceptisol di daerah penelitian

(40)

Konsosiasi Typic Dystropepts, dan Konsosiasi Typic Eutropepts. Umumnya

ditemukan di daerah lereng tengah hingga lereng bawah dari area penelitian.

Andisol terbentuk dari pelapukan bahan induk volkan yang menghasilkan bahan

amorf. Bahan amorf terdiri dari alofan, ferrihidrit, dan senyawa kompleks

humus-aluminium. Tanah ini berwarna hitam kelam, berbobot isi rendah (<0,85g/cm3),

dan dikenal terasa berminyak (smeary) bila diremas karena mengandung bahan organik antara 8% hingga 30%.

Andisol banyak ditemukan di daerah berelevasi tinggi seperti lereng atas

dan sekitar puncak Gunung Mandalawangi, Gunung Joglog, Gunung Sumbul, dan

Gunung Mas. Umumnya Andisol berada dalam bentuk konsosiasi Typic

Hapludands, dan Asosiasi Typic Hapludands dan Typic Tropopsamments. Ultisol

merupakan tanah yang memiliki horison argilik dengan kejenuhan basa kurang

dari 35%. Ultisol terbentuk di daerah dengan bahan induk yang berumur lebih tua,

akibatkan oleh proses liksiviasi lebih lanjut yang akan membentuk horizon argilik.

Di daerah penelitian, Ultisol berada dalam bentuk konsosiasi Typic Hapludults,

ditemukan di bagian utara daerah penelitian. Entisol merupakan tanah-tanah yang

tingkat perkembangannya relatif baru. Di daerah penelitian, Entisol menyebar di

sepanjang bantaran Sungai Ciliwung dalam bentuk kompleks Typic Troporthents-

Typic Fluvaquents. Luas penyebaran tanah di setiap kecamatan di Sub DAS

(41)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penggunaan / Penutupan Lahan Eksisting

Penggunaan/penutupan lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu hasil digitasi

citra ALOS tahun 2009 memiliki 9 tipe penggunaan/penutupan lahan, yaitu hutan,

pemukiman, kebun/perkebunan, tegalan/ladang, sawah tadah hujan, sawah irigasi,

semak/belukar, air tawar, dan rumput/tanah kosong, seperti yang terlihat pada peta

(Gambar 5). Penggunaan/penutupan lahan terluas di daerah penelitian adalah

penggunaan/penutupan lahan hutan sebesar 5.269,80 Ha atau 36,13% dari total

luas daerah penelitian. Hal tersebut karena daerah penelitian merupakan daerah

konservasi air yang berfungsi memberikan perlindungan bagi daerah di bawahnya,

yaitu Kota Bogor dan DKI Jakarta. Pemukiman memiliki luasan terluas kedua,

yaitu sebesar 3.446,78 Ha atau 23,63% dari total luas daerah penelitian. Luas

pemukiman yang cukup tinggi dapat memungkinkan terjadinya penyimpangan

penggunaan/penutupan lahan baik dari peruntukan lahan RTRW, maupun

kemampuan lahan di daerah penelitian yang seharusnya seb

Gambar

Gambar 2. Bagan Alur Metode I
Gambar 4. Peta Administrasi Wilayah Penelitian
Tabel 4. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kecamatan dan Desa di Daerah Penelitian
Gambar 5. Peta Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting tahun 2009 di Sub DAS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kode Barang Asal-usul Cara Nomor Bahan Nomor Register Merk / Type Ukuran /cc Nama Barang /.

1) Warga Negara Indonesia (WNI).. 2) Badan Hukum yang berdiri di Indonesia dan didirikan menurut Hukum Indonesia. 3) Departemen, lembaga pemerintahan non-departemen dan

Kesimpulan dari analisis di atas adalah tipe Difusi Penampungan (Relocation diffusion), yang merupakan proses yang sama dengan persebaran keruangan dimana informasi

Beban kognitif intrinsic yang muncul dalam belajar geometri berhubungan dengan kesulitan siswa dalam membayangkan kedudukan titik, garis, dan bidang dalam bangun

16.00 Rapat pemeiksaan notaris kota yogyakarta Ruang Rapat Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Tidak Pemeriksaan notaris atas pengaduan masyarakat 118 14.00 - 16.00. Penelitian

Potensi ekonomi dari komoditi hutan mangrove Desa Merak Belantung dapat diketahui dengan melakukan kajian mendalam dari berbagai aspek, sehingga diperlukan penelitian

Akan tetapi, untuk penggunaan yang lebih efisien, VoIP server yang dibangun dapat diintegrasikan dengan VoIP server lainnya termasuk di luar negeri dengan pengaturan

Dengan hand gesture recognition dan menggunakan metode convexhull algorithm pengenalan tangan akan lebih mudah hanya dengan menggunakan kamera, hanya dengan hitungan detik aksi