• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Politik Perempuan Dalam Partai Kabangkitan Bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Politik Perempuan Dalam Partai Kabangkitan Bangsa"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)

Oleh

YULITA NIM. 204033203123

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 18 Desember 2008

(3)

PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)

Oleh

Yulita NIM. 204033203123

Di Bawah Bimbingan

Dr. Shobahussurur, MA NIP. 150 289 244

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi berjudul “PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI

KEBANGKITAN BANGSA”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Desember 2008. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 18 Desember 2008 Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Drs. Agus Nugraha, M. Si Dr. Masri Mansoer, M.A NIP. 150 299 478 NIP. 150 244 493

Pembimbing,

(5)

ABSTRAKSI

Penindasan terhadap kaum perempuan mungkin sama tuanya dengan sejarah kehidupan umat manusia, hingga kini perempuan di banyak tempat senantiasa berada posisi marginal. Kondisi tersebut terbangun oleh sebab faktor sosial, kultur, politik, regulasi dan kesalahpahaman terhadap doktrin agama. Dalam konteks Indonesia, kultur patriarki yang melekat erat dalam mindset rakyat Indonesia membuat langkah perempuan untuk turut serta dalam ranah publik mengalami banyak tantangan dan cibiran dari banyak kalangan.

Tebalnya tembok penghalang yang menyekat kaum perempuan tidak menjadikan gerakan perempuan kemudian menjadi mati suri, persoalan di atas coba dijawab dengan aksi nyata perempuan dalam dalam membangun bangsa. Mereka dalam beberapa hal mampu menjawab persoalan yang hadir dalam masyarakat, seperti yang dilakukan oleh kalangan lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan (NU dan Muhamaddiyah) dan beberapa partai politik.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang tak henti-hentinya memberikan kita karunia kenikmatan, baik nikmat iman maupun Islam. Dan sungguh, hanya dengan segala rahmat dan pertolongan-Nya, ketulusan hati dan keikhlasan niat serta motivasi dari berbagai pihak sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul: “Peran Politik Perempuan Dalam Partai Kebangkitan Bangsa”, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya. Dan semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya di hari akhir.

Dalam kesempatan ini penulis bermaksud untuk menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Sembah sujud dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya ananda haturkan kepada orang tua yang tercinta, Ebak H. Usman Gumanti dan Umak Hj. Wertan (Almh) dan Umak Hj. Eryani yang tiada henti-hentinya memanjatkan doa ke hadirat Ilahi Robbi untuk memohon keberkahan hidup ananda. Limpahan kasih sayang mereka adalah motivasi terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini. Semoga Allah SWT meridhoi kehidupan mereka.

2. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

(7)

4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A. Selaku ketua Program Non Reguler dan bapak Rifqi Mukhtar, M.A. Selaku sekretaris Program Non Reguler yang telah memberikan pelayanan akademik serta membina penulis selama melaksanakan pendidikan di program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Shobahussurur, M.A selaku Dosen Pembimbing, terima kasih atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukkan, arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis.

6. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang dengan ketulusan dan kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama menjalani perkuliahan. 7. Seluruh jajaran, staff dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Iman Jama’, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiarjo (FISIP UI), Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan DPR RI, yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia.

(8)

selaku sekretaris pribadi Ibu Badriyah, terima kasih atas kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam merampungkan skripsi ini, dan seluruh aktifis perempuan yang tergabung di PKB penulis sampaikan “selamat berjuang: kita ambil alih kekuasaan dan akan kita atur dunia menjadi lebih baik”

9. Kepada keluarga besar penulis tercinta: Jaik dan Nyaik, Cik Murod, Uju Sarminah, Cik Ida, Cik Iba dan keluarga serta seluruh paman-paman dan bibi penulis yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Kepada kakak dan adik-adik penulis: kak Dedi, kak Nopi, kak Rafe’i (Mi’ik), kak Mamat, kak Muslim dan keluarga, yuk Tima, Man dan keluarga, Dayat, Saleh, Dalima, Rozak, serta ponakan-ponakan penulis yang menjadi inspirasi dan semangat bagi penulis.

10.Secara khusus penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kakak tercinta Yusuf Fadli dan keluarga besar, yang telah memberikan dukungan secara penuh dalam menyelesaikan program studi penulis. Terima kasih banyak atas semuanya ya k… Semoga Allah SWT. selalu meridhoi perjalanan hidup kk.

(9)

bersama kalian tak kan terlupakan.

12.Keluargaku seperjuangan di UIN, kak Supri dan keluarga, “teteh” (Kak Dian) dan keluarga, Zein, kak Ridwan, Rei, Isti, kak Lulu, yang dengan tulus dan ikhlas memberikan motivasi dan semangat untuk penulis. Untuk semuanya penulis hanya bisa mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena tanpa kalian semua mustahil bagi penulis untuk bisa melewati hambatan dan tantangan dalam penyusunan Skripsi ini. Semoga Allah akan selalu melindungi, meridhoi dan memberikan balasan yang lebih besar kepada kalian semua. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang dimiliki, penulis ingin mempersembahkan skripsi ini bagi semua pihak yang menaruh perhatian bagi perkembangan ilmu pengetahuan dengan harapan akan bermanfaat bagi kita semua.

Ciputat, 18 Desember 2008

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 14

D. Studi Kepustakaan ... 15

E. Metode Penelitian ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. PEREMPUAN DAN POLITIK ... 18

A. Perspektif Islam ... 19

B. Perspektif Barat ... 25

C. Politik Perempuan di Indonesia... 34

1. Pra Kemerdekaan ... 35

2. Pasca Kemerdekaan ... 38

3. Era Reformasi ... 42

BAB III. SEKILAS TENTANG PKB... 45

A. PKB dalam Lintasan Sejarah... 45

(11)

BAB IV. POLITIK PEREMPUAN DAN PKB... 55

A. Hak Politik Perempuan: Akomodasi Dalam PKB ... 58

B. PKB dan Kuota 30%... 65

C. Peranan Perempuan PKB di Parlemen... 71

BAB V. PENUTUP... 78

A. Kesimpulan... 78

B. Saran-saran ... 79

(12)

DAFTAR TABEL

A. Tabel 1: Jumlah Perempuan di DPR RI (1950-2004) ... 73 B. Tabel 2 : Jumlah Anggota DPR RI Laki-laki dan Perempuan

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Isu mengenai keterlibatan perempuan dalam politik merupakan soal yang akan terus mewarnai percaturan politik di belahan dunia manapun. Di banyak negara yang sistem demokrasinya telah mapan sekalipun, permasalahan perempuan dan politik menjadi topik penting dalam setiap perhelatan demokrasi. Terlebih di negara-negara berkembang, di mana budaya patriarki1 masih sangat kental, tema peranan perempuan dan politik selalu memicu perdebatan sengit. Politik yang sering diidentikkan dengan dunia penuh intrik dan licik, menjadi wilayah yang diharamkan dan harus disterilkan dari tangan-tangan lembut kaum

hawa, karena dianggap hanya keperkasaan kaum adam saja yang mampu survive menjelajahi keliaran belantara politik tersebut. Dengan perkataan yang lain, saat ini terdapat disparitas yang begitu dalam antara kewenangan laki-laki dan perempuan dalam menjalani proses kehidupan.

Entah apa sebenarnya yang menjadi inti persoalan perempuan, mengingat begitu banyak dan kompleksnya masalah yang dihadapi kaum perempuan. Semua

1

(14)

itu sudah menjadi realitas objektif yang tak terbantahkan. Kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan/diskriminasi sering disebut-sebut sebagai persoalan krusial yang dialami kaum perempuan dari masa ke masa. Wajar jika muncul semacam prejudice di sebagian kalangan perempuan bahwa pada zaman apapun, kaum perempuan akan selalu berada pada pihak yang tidak diuntungkan dan tersubordinasi2 kaum laki-laki.3

Sinyalemen ini tentu bukan tanpa bukti, berbagai macam fakta sering dipakai sebagai alat analisis untuk melihat seberapa parah persoalan yang mengungkung kehidupan kaum perempuan. Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 1996, misalnya menyebutkan bahwa 20% dari 1,3 miliar penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah kaum perempuan. Fakta itu tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, jika dilihat dari komposisi penduduk miskin yang ada. Dilaporkan pula bahwa sekitar 67% dari total penduduk dunia yang buta huruf (sekitar 600 juta jiwa) juga dari kalangan perempuan. Di Indonesia sendiri, perempuan menempati sekitar 70% dari penduduk yang buta huruf.4

Begitu banyaknya persoalan yang mengepung kehidupan perempuan, kemudian memunculkan simpati yang sangat besar pada sebagian kalangan.

2

Subordinasi adalah kedudukan bawahan, kelas kedua (perempuan) terhadap pihak yang dominan (laki-laki). Subordinasi perempuan umumnya tercipta akibat streotipe yang dikaitkan dengan pembagian kerja secara seksual. Akibat posisi subrodinat itu, peranan dan hasil kerja perempuan selalu dinilai lebih rendah dengan peran dan hasil kerja laki-laki yang menempati posisi dominan. Bustamin Basyir, “Kesetaraan Gender: Studi Atas Pemikiran Qasim Amin,” Dalam Kusmana, ed., Islam dan Gender: Wacana dan Praktis (Buku Ajar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 4.

3

Najmah Sa’idah dan Husnul Khatimah, Arief B. Iskandar, ed., Revisi Politik Perempuan: Bercermin Pada Shahabiyat (Bogor: CV. IdeA Pustaka Utama, 2003), h. 25.

4

(15)

Simpati ini kemudian terkristalisasi menjadi sebuah ‘kesadaran’ kolektif untuk memperjuangkan nasib mereka dengan cara-cara atau metode tertentu. Terdapat dua pendekatan dalam meneropong keterlibatan perempuan pada ranah sosial-politik. Yang pertama adalah gerakan ‘kesadaran’ perempuan5 yang kita kenal dengan istilah feminisme.6

Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.7 Meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama mengenai ketidakadilan gender,8 akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangan

5

Gerakan menurut teori sosial digambarkan sebagai reaksi kolektif dari suatu kelompok masyarakat yang tersubdordinasi. Sedangkan gerakan perempuan adalah gerakan segelintir atau kelompok perempuan yang muncul sebagai respon terhadap situasi yang berimplikasi terhadap ketidakadilan gender sehingga memotivasi segelintir atau sekelompok perempuan tersebut sebagai warga negara untuk melakukan sebuah perlawanan. Lihat Tati Harminah dan Mu’min Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” dalam Pengantar Kajian Gender Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 11-12.

6

Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat kerja dan dalam keluarga serta tingkatan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Euis Amalia, “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya”, dalam Pengantar Kajian Gender (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003), h. 86 dan Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995), h. 5.

7

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 79.

8

(16)

mereka.9 Perbedaan perspektif inilah yang kemudian melahirkan empat aliran utama feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal dan feminisme sosialis.10

Di abad globalisasi seperti saat ini, gelombang feminisme terus berupaya mendobrak sekat-sekat konstruksi sosial –yang sebenarnya dibuat oleh kaum pria– yang menjadi penyebab utama dari ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Akhir dari tuntutan feminisme adalah terbebasnya kaum perempuan dari berbagai macam belenggu, diskriminasi, keterbelakangan, dan terakomodirnya kepentingan perempuan dalam kontek kehidupan real dari sebuah sistem kenegaraan.

Pisau analisa kedua yang dapat memotret keberadaan perempuan dalam dunia politik adalah melalui teori partisipasi politik.11 Dalam teori ini, perempuan melakukan gerakan untuk mendesak dan memengaruhi sebuah realitas sosial-politik atau suatu putusan kebijakan melalui lembaga-lembaga formal atau sistem yang berlaku. Tujuan dari dilakukannya partisipasi politik perempuan tersebut

9

Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 46-53.

10

Feminisme Liberal diarahkan pada perubahan/pembaharuan undang-undang dan hukum, yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, peraturan dan politik secara setara dengan lelaki. Feminisme Marxis lebih diarahkan untuk menghilangkan penindasan ekonomi perempuan dengan menghapus sistem pemilikan pribadi, yang ditempuh dengan cara mengajak perempuan untuk memasuki sektor publik, sehingga perempuan menjadi produktif (menghasilkan materi/uang). Feminisme Radikal berpendapat bahwa sumber penindasan perempuan bersumber dari system patriarki, yang menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga dan merupakan figur dominan dalam keluarga. Feminisme Sosialis, merupakan sistesis dari Feminisme Marxis dan Feminisme Radikal. Feminisme Sosialis lebih menfokuskan diri pada penyadaran perempuan akan kondisinya yang mengalami penindasan sistem patriarki dan penindasan ekonomi. Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), h. 55.

11

(17)

adalah agar semua pihak khususnya penguasa politik lebih memperhatikan kepentingan-kepentingan perempuan, dan pesan yang terpenting dari gerakan perempuan yakni bahwa perempuan dan pria memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam setiap proses kehidupan di dunia ini.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa keterlibatan perempuan dalam kegiatan politik menjadi penting? Ada beberapa isu penting yang patut untuk dicatat terkait dengan jawaban atas pertanyaan tersebut. Isu-isu mengenai kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, kepedulian terhadap anak, dan kekerasan seksual12 merupakan beberapa soal yang terus membayangi dan menjadi bagian dalam kehidupan perempuan. Oleh karena dunia perempuan juga sangat kental dengan problem di atas, maka secara otomatis perempuan yang tercatat sebagai penghuni terbanyak dalam jagad raya ini menjadi sangat dirugikan dan kelangsungan hidup perempuan terancam apabila permasalahan itu tidak segera ditangani. Tidak bisa tidak, untuk mengatasi berbagai problematika yang membelit tersebut, partisipasi politik perempuan harus di posisikan secara istimewa, asumsi dasarnya adalah yang paling memahami persoalan-persoalan perempuan adalah perempuan itu sendiri.

Peranan perempuan pada ranah politik dalam konteks Indonesia telah melalui proses panjang. Gerakan perempuan Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat di mana ada perasaan cemas dan ada keinginan-keinginan individu-individu yang menghendaki perubahan dan kemudian terakumulasi dalam suatu tindakan bersama-sama. Dari

12

(18)

masa ke masa, gerakan perempuan Indonesia terus melakukan kontekstualisasi gerakan agar berkesesuaian dengan kondisi zaman.

Perempuan dan politik dalam wacana keindonesiaan telah telah dimulai sejak zaman Indonesia klasik, yakni era kekuasaan dari kerajaan-kerajaan di sepanjang kepualauan Nusantara. Ada beberapa bukti yang menguatkan temuan tersebut, yang pertama, sesuai catatan orang Cina yang mengatakan bahwa pada tahun 674 M, terdapat seorang pempimpin wanita di Kerajaan Holing (kerajaan Kalinga di Jawa Tengah). Ratu perempuan itu bernama –yang dalam dialek Cina– disebut Ratu Hsi-Mo (Ratu Sima).13 Dan menurut kabar orang-orang Cina itu, kerajaan yang dipimpin oleh Ratu Sima sangatlah baik dan adil. Fakta selanjutnya yang tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan pada abad silam juga pernah mengukir kanvas sejarah kepemimpinan, dengan terpilihnya Ratu Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardhani sebagai raja putri dari kerajaan Majapahit pada tahun 1328.14 Ratu Tribuanatunggadewi menjadi raja Majapahit pada usia 22 tahun menggantikan ayahnya yang mangkat dan tidak meninggalkan putra mahkota.

Pada era selanjutnya, ketika angkara kolonialisme mencengkeram bumi pertiwi Indonesia, wanita-wanita Indonesia tak pernah lelah dan gentar menggemakan pekik perlawanan terhadap penindasan imperialisme. Ciri dari gerakan perempuan pada era penjajahan adalah mereka terjun langsung memimpin rakyatnya untuk melawan kesewenang-wenangan para penjajah dan kaki tangannya. Pada masa ini kita mengenal keberanian Cut Nyak Dien (wafat

13

Poesponegoro D. Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984), h. 94.

14

(19)

1908) di ujung barat pulau Indonesiam yakni Aceh. Dia dengan gagah perkasa berperang melawan Belanda. Selain Cut Nyak Dien, kita juga mengenal Martha Chrsitina Tiahahu (wafat 1818), Cut Meutia (wafat 1910), Nyi Ageng Serang (wafat 1928),15 dan lain-lain. Kesemuanya memberikan sumbangsih yang sangat signifikan dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan.

Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan struktur peranan wanita Indonesia. Ide atau pemikiran dari Barat masuk bersamaan dengan diperkenalkan dan disebarluaskan pendidikan cara Barat (ini terkait dengan politik etis16 yang diterapkan pemerintahan Hindia Belanda). Kesempatan mendapat pendidikan yang layak dari pemerintahan Belanda kemudian menjadi setitik asa bagi para putra-putri bangsa untuk memberikan yang terbaik bagi tumpah darahnya, yaitu Indonesia. Melalui media pendidikan inilah muncul keinginan untuk bisa bergerak bebas dan menjadi tuan di rumah sendiri, berbagai macam organisasi didirikan untuk mewujudkan impian tersebut. Pada era ini dikenal nama-nama seperti R.A Kartini dari Jawa Tengah, Dewi Sartika (Jawa Barat), Walanda Maramis (Sulawesi), dan Rohana Kudus (Sumatera).17 Isu utama dari pergerakan wanita pada era ini adalah tentang kebangkitan nasionalisme Indonesia.

15

Sukanti Suryochondro, “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” dalam T. O. Ihromi (Penyunting), Kajian Wanita dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. 39.

16

Politik etis ini didorong oleh rasa hutang budi kaum penjajah kepada negeri yang dijajahnya, karena sudah sekian lama mereka mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari tanah jajahan tersebut. Namun, di tengah-tengah gelimang harta hasil rampasan tersebut, ternyata di sudut yang lain, penduduk pribumi hidup dalam kemelaratan dan penuh siksaan. Dan untuk menebus kesalahan para penjajah, pemerintahan Hindia Belanda menggulirkan politik etis, yang diwujudkan dalam bentuk pemberian pendidikan yang layak bagi penduduk pribumi. Dalam Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 40.

17

(20)

Pada masa Orde Baru, perempuan lebih ditempatkan sebagai penggembira dengan wilayah garapan yang sangat terbatas, lazim disebut wilayah domestik. Perempuan di bawah kekuasaan militeristik Soeharto hanya dijadikan warga negara kelas dua, di mana haknya di batasi oleh sekat-sekat yang membuai. Dan kini gerakan perempuan memasuki babak baru dari sekian banyak episode kehidupan global yang sedang bergulir.

Desah kegelisahan gerakan perempuan masih dalam hembusan nafas yang sama, yakni melakukan perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan atas sosok perempuan dan seluruh sisi kehidupan yang melingkupinya. Gerakan perempuan telah tampil ke permukaan dengan wajah yang jauh lebih baik, di bandingkan pada masa-masa silam. Karena secara kuantitas dan kualitas, perempuan di beberapa tempat berhasil mengungguli kaum laki-laki. Dapat dikatakan, –walaupun masih jauh dari sempurna– bahwa di masa kini perempuan sukses melakukan gerakan struktural maupun kultural untuk turut mengubah wajah dunia.18

Agenda-agenda krusial perempuan telah memasuki ruang-ruang rapat kabinet pemerintahan, perdebatan di parlemen, pembahasan lembaga-lembaga internasional, hingga menjadi obrolan di tengah rakyat jelata. Mata setiap orang Masyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun Program Studi Kajian Wanita (Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2000), h. 84.

18

(21)

dibuat terbelalak dengan banyaknya perempuan yang merambah sektor publik. Namun demikian bukan berarti kepentingan perempuan telah terakomodir secara maksimal, karena ternyata wacana keterlibatan perempuan dalam ranah sosial-politik seringkali menemui batu sandungan. Hambatan tersebut bisa berbentuk penolakan budaya, kesalahpahaman atas tafsir teks agama, dan kalkulasi politik belaka.

Upaya perempuan untuk melepaskan jeratan terali besi kultural kaum laki-laki telah memasuki tahapan yang paling menentukan. Tuntutan tradisional yang hanya sebatas menuntut kesetaraan dalam status sosial ekonomi, telah berubah menjadi tuntutan yang lebih modern. Tuntutan moderen dimanifestasikan ke dalam bentuk kesetaraan dalam hal pengambilan keputusan stratejik dalam bidang politik.

(22)

perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.19 Kuota 30 persen tersebut diakui merupakan langkah awal bagi partisipasi politik perempuan di Indonesia.20 Aturan ini kemudian menjadi salah satu jalan bagi hadirnya perbaikan nasib perempuan melalui mekanisme legislasi parlemen.

Masuknya perempuan dalam lembaga legislatif diharapkan dapat menjadi kekuatan penekan sekaligus eksekutor dalam isu-isu publik khususnya yang menyangkut hajat hidup perempuan. Partisipasi perempuan di parlemen juga membersitkan secercah harapan, di mana perempuan dapat mengeliminasi kebijakan publik yang selama ini cenderung bercorak maskulin.

Yang perlu ditekankan adalah kaum perempuan ingin 'bermain' dalam bidang politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa melalui bidang politiklah segala kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik (baca: wanita) dapat dibuat secara proporsional. Secara implisit bermakna, perempuan harus merubah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik. Suatu kesadaran baru yang merupakan akumulasi dari serentetan perjuangan yang pernah dilakukan kaum perempuan.

Dalam setiap negara demokrasi, peranan partai politik menempati posisi sentral sebagai salah satu pilar tegaknya demokrasi. Di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru, partai politik kembali memainkan peranan penting dalam menentukan arah pengambilan keputusan dari suatu kebijakan pemerintahan. Dari sekian banyak partai politik yang berdiri di Indonesia, di sana

19

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana (Jakarta: Kompas, 2005), h. 42-43.

20

(23)

terdapat Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan K.H. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur.

Partai Kebangkitan Bangsa adalah partai politik dengan basis dukungan berasal dari kalangan tradisionalis khususnya warga NU. Namun, walaupun demikian dalam Mabda Siyasi partai, PKB menegaskan diri sebagai partai terbuka dalam pengertian lintas agama, suku, ras dan lintas golongan yang dimanifestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan. Artinya, keterbukaan PKB tidak hanya disimbolkan dalam kehadiran kepengurusan atau keanggotaan yang pluralistik namun yang lebih subtansial lagi adalah keterbukaan dalam sikap dan perilaku politik serta rumusan cita-cita partai tersebut. Lebih jauh lagi PKB menempatkan diri sebagai partai terbuka sebagai implementasi dari keyakinan terhadap pluralisme, demokrasi dan humanisme.

Pada kerangka itulah PKB menjadi partai yang banyak mengakomodir isu-isu politik kontemporer yang tengah berkembang pada ranah politik global, termasuk salahsatunya peranan politik perempuan. PKB yang memiliki keterkaitan erat dengan para ulama-ulama pondok pesantren tradisional melakukan tafsir ulang terhadap nash-nash al-Qur’an dan kitab-kitab fiqh yang pada masa lalu menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua.21

Pada era selanjutnya kegiatan-kegiatan tersebut memicu munculnya wacana-wacana tafsir fiqh baru terhadap perempuan yang dilakukan intelektual muda Islam. Kondisi ini memunculkan kesadaran untuk menggagas kembali beberapa

21

(24)

tafsir kaidah Fiqh Al-Nisa yang dianggap kurang memberikan keadilan bagi perempuan. Dan terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasan para penganut paham fiqh moderat tersebut, tradisi baru ini juga menjadi pemicu menguatnya wacana kesetaraan gender dalam masyarakat. Dan Partai Kebangkitan Bangsa berada pada baris terdepan dalam mempromosikan gagasan tersebut. Untuk merealisasikan ide pemberdayaan perempuan, PKB kemudian membentuk sayap perempuan yang dinamai Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB).

Pada titik ini dapat kita simpulkan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa adalah salah satu partai politik yang menyambut baik keterlibatan aktif kaum perempuan dalam dunia politik. Hal ini ditegaskan dalam garis besar program kerja yang ditetapkan dalam Muswil PKB Jawa Tengah, di sini sangat jelas menunjukkan adanya amanat yang diemban dalam menegakkan keadilan, kesetaraan dan keberpihakan pada perempuan. Dalam rumusan dijelaskan problem kesetaraan atau keadilan gender merupakan satu problem populis, yang mau tidak mau harus diakomodasi oleh PKB. Apalagi di tengah kenyataan, jumlah pemilih sebagian besar perempuan. Dalam hal ini, PKB perlu mendorong tumbuhnya percepatan kesetaraan gender dalam masyarakat, baik melalui organisasi, kajian ilmiah, pelatihan, maupun forum-forum dan kesempatan lainnya.

(25)

perempuan yang menduduki jabatan ketua fraksi di DPR.22 Dan yang berita teranyar dari PKB adalah penunjukkan Yenni Wahid menjadi pejabat teras partai dalam Munaslub yang diadakan di Parung pada awal bulan Mei 2008, walaupun kemudian Yenny harus rela tergusur dari jabatannya karena PKB kemudian dilanda konflik internal, yang melibatkan kubu Gus Dur (termasuk Yenny di dalamnya) dengan kubu Muhaimin Iskandar.23

Berlandaskan keterangan-keterangan yang diungkapkan di atas, di mana pergerakan politik kaum perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa menjadi satu hal yang fenomenal –di tengah minimnya dukungan terhadap perempuan– menjadikan penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam sebuah penelitian skripsi. Penyusunan skripsi ini akan menelusuri geliat politik perempuan di PKB dengan judul “Peranan Politik Perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Peliknya masalah yang membelit kaum perempuan pada saat ini menjadikan persoalan perempuan begitu kompleks, sehingga untuk mensiasati permasalahan itu penulis mencoba membuat suatu batasan

22

www.gp-ansor.org.

23

(26)

masalah terhadap penulisan skripsi ini agar pembahasannya lebih fokus dan tidak terlalu melebar. Pembahasan masalah dalam skripsi ini akan dibatasi hanya pada persoalan peranan perempuan dalam wilayah politik, dan secara lebih mendalam membicarakan peranannya di Partai Kebangkitan Bangsa.

2. Perumusan Masalah

Berangkat dari persoalan-persoalan di atas, maka penulisan skripsi ini akan dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah PKB mengakomodir kepentingan perempuan? b. Bagaimanakan sepakterjang politik perempuan PKB di parlemen? c. Bagaimanakah dampak dan pengaruhnya terhadap dinamika politik

partai khususnya dan negara pada umumnya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Melihat sejauh mana keseriusan PKB dalam mengakomodir kepentingan-kepentingan perempuan.

b. Mengetahui strategi politik kalangan perempuan Partai Kebangkitan Bangsa yang terjun langsung di parlemen dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

(27)

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan secara keseluruhan manfaat dari penulisan skripsi24 ini adalah:

a. Secara akademis, diharapkan dapat memperkaya khazanah kepustakaan perpolitikan, khususnya mengenai wacana perempuan dan politik.

b. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi partai politik dan politisi perempuan dalam mengarungi arena politik di tanah air.

D. Studi Kepustakaan

Penulis mengakui bahwa penelitian tentang peranan perempuan dalam wilayah politik bukanlah satu hal yang baru dilakukan. Telah banyak penelitian yang dilakukan dalam hal ini, tentunya juga melalui ragam pendekatan atau teori. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri telah ada beberapa skripsi yang menyoroti perihal permasalahan peranan politik perempuan, namun dari beberapa skripsi yang sudah ada tersebut, penulis belum mendapati penelitian yang secara khusus membahas peranan politik perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa.

Berangkat dari situlah kemudian penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam penelitian skripsi ini. Dengan harapan dapat mengisi kekosongan kepustakaan tersebut. Penulis juga meyakini, bahwa politik perempuan di PKB

24

(28)

merupakan satu hal yang fenomenal dan merupakan persoalan yang masih relevan untuk dibicarakan.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan datanya dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.25 Analisa data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat eksploratif dengan menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah konklusi.26

F. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan skripsi ini, agar lebih sistematis dan mudah dipahami maka penulis menyusunnya terdiri dari lima bab dan beberapa sub bab. Yang tersusun dari:

1. Bab 1: Pendahuluan. Bab ini merupakan pembukaan dari skripsi ini, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, studi kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab 2: fokus pembahasan dalam bab ini adalah berupa kajian teori terhadap perempuan dan politik. Pendekatan teori yang dibicarakan di sini adalah dalam perspektif Islam dan barat, dan sejarah keterlibatan perempuan di Indonesia.

25

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 206.

26

(29)

3. Bab 3: bab ini akan banyak berbicara mengenai sikap PKB sebagai partai politik dalam merespon isu politik perempuan.

4. Bab 4: bab ini adalah inti dari penelitian dalam skripsi ini, karena di sini akan dibicarakan mengenai dinamika politik perempuan di PKB, baik dalam upaya memenuhi kuota tiga puluh persen suara perempuan, aktifitas politik perempuan PKB di parlemen, ataupun ketika di amanahi menduduki jabatan publik.

(30)

BAB II

PEREMPUAN DAN POLITIK

Salah satu agenda penting dari tiap kerangka kerja demokrasi dan good governance adalah prinsip penegakan hak asasi manusia (HAM), termasuk di dalamnya hak-hak partisipasi politik bagi laki-laki dan perempuan yang sama. Isu gender kini telah menjadi isu yang mendunia. Pengembangan setiap agenda politik yang tidak memasukkan unsur perspektif, pandangan dan pengalaman dari pihak laki-laki dan perempuan yang akan terkena dampak dari agenda tersebut kini tidak lagi dapat diterima. Namun, lepas dari segala upaya yang dirintis selama sekian abad oleh tokoh-tokoh perempuan terkemuka di dunia, pengakuan dan pelaksanaan hak-hak politik dan sosial-ekonomi antara laki-laki dan perempuan

masih saja belum seimbang. Padahal, kaum perempuan adalah separuh populasi dunia, 50 persen dari total tenaga kerja, namun mereka juga adalah sekitar satu milyar manusia yang hidup dalam belenggu kemiskinan. Pengambilan keputusan dan penyusunan prioritas tetap saja berada di tangan kaum laki-laki. Struktur yang dibangun masih timpang, perempuan masih cenderung dalam posisi marginal atau penggembira saja.

Banyak yang sepakat bahwa gerakan perempuan untuk memulihkan hak-hak politiknya ini erat kaitannya dengan proses transformasi sosial yang identik dengan transformasi demokrasi. Alasannya, tujuan gerakan perempuan adalah menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih

(31)

dan wewenang, serta memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui berbagai aksi bersama, diskusi, sharing, dalam prinsip kesetaraan dan keadilan. Politik adalah salah satu sarana yang dapat mendorong perempuan untuk mencurahkan semua kecemasannya.

Keterlibatan perempuan politik dapat pula kita tinjau dari beberapa pendekatan teori. Dan di bawah ini akan dijabarkan mengenai relasi antara perempuan dan politik dalam beberapa perspektif.

A. Perspektif Islam

Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Alah SWT di tanah Arab pada abad VII, termasuk agama-agama Semitik/ Abrahamis Religion (Yahudi, Kristen, dan Islam).27 Dalam tradisi bangsa-bangsa Semit, kaum lelaki selalu dianggap

sebagai mahluk superior, bahkan Tuhan-pun dibayangkan dalam wujud lelaki, sehingga menjadikan budaya patriarkal sangatlah kuat. Padahal jika ditelaah lebih dalam, sesungguhnya tradisi tersebut sangatlah bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Jadi dapat dikatakan bahwa mengenai persoalan boleh-tidaknya perempuan beraktifitas dalam sektor publik, sepenuhnya merupakan perbedaan dalam tafsir terhadap teks-teks keagamaan.

Menurut buku Argumentasi Kesetaraan Gender karangan Dr. Nasarrudin Umar menyebutkan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki hanya sebatas dalam ajaran yang bersifat ibadah (ubudiyah), bukan dalam hal pergaulan sosial

27

(32)

kemasyarakatan (muamalah).28 Lebih lanjut, menurut Islam, politik (al siyasah) dirumuskan sebagai cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat. Jadi politik adalah ruang maha luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tapi penyebutan politik dalam pikiran banyak orang telah menyempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang panjang.29

Ditegaskan pula bahwa bidang politik merupakan bagian dari pergaulan sosial kemasyarakatan, maka perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki, tidak terdapat pengistimewaan yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Sangatlah jelas bahwa dalam Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi, dan eksistensi yang sama di mata Allah SWT. Dan posisi pria dan wanita juga sama dalam bidang publik, tidak ada peraturan dalam Islam yang secara tekstual menempatkan perempuan sebagai second person.30

Senafas dengan argumentasi di atas, Imam Khomeini mengatakan bahwa wanita dalam Islam memiliki peranan penting dalam pembangunan masyarakat Islam, sehingga menurutnya kaum wanita juga mempunyai tanggung jawab yang

28

Nasarrudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender …

29

Husein Muhammad, “Partisipas Politik Perempuan,” dimuat pada tanggal 14/06/2004 yang diakses dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=605.

30

(33)

sama beratnya dengan laki-laki dalam mengatasi problematika di pemerintahan Islam.31

Wacana di atas diperkuat dengan tidak ditemukannya ayat al-Qur’an yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Bahkan sebaliknya, Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut. Perempuan berhak menduduki jabatan politik dengan syarat menaati hukum syari’at Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas melarangnya. Betapa Allah menganggap pentingnya persoalan wanita, Allah menurunkan langsung surat yang diberi nama Surah An-Nisaa’.32

Bahkan dalam teks al-Qur’an terungkap, bahwa Allah telah menciptakan manusia dua jenis, laki-laki dan perempuan, dan keduanya ditakdirkan untuk hidup bersama dalam suatu masyarakat. Keduanya diberi potensi yang sama dari sisi insaniahnya, yakni berupa potensi akal dan potensi hidup (naluri dan kebutuhan jasmani). Potensi-potensi inilah yang mendorong manusia untuk terjun dalam kancah kehidupan. Keduanya diciptakan oleh Allah tidak lain untuk bekerjasama dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan bersama di antara mereka, sebagaimana firman-Nya :

! "#

$

%& ' ()* +

, - . /

. +

01 2- 3

%& 45 +

6 $ 6789

%& : +

31

Imam Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini (Jakarta: Lentera, 2004), h. 79-98.

32

(34)

6 $ ;<=>

%& ? +

@

AB ! C D

$

.EGH * I!

K; LM-.C

N 3 = /5 @

O>+P Q ,3.R

0STU

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan shalat menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. At- Taubah [9]:71).

Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktivitas politik, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Ayat ini lebih mempertegas lagi bahwa sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk berpolitik dan mempunyai hak kepemimpinan publik. Terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.33

Walaupun dalam Islam tidak ada larangan –dalam teks Al-Qur’an dan riwayat hadits– bagi perempuan untuk menjadi seseorang kepala negara, tetapi semasa hidup Rosulullah dan Khulafa’ur Rasyidin memang belum pernah ada seorang perempuan yang memimpin kaum muslimin. Namun ini bukan berarti perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin, karena pada masa rasulullah

33

(35)

semua urusan agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik –dalam beberapa hal tertentu terjadi kompromi– terpusat di bawah kendali Nabi Muhammad SAW. Dan menjadi satu hal yang wajar jika seluruh potensi yang dimiliki kaum muslimin –termasuk perempuan– berada dalam arahan rasulullah SAW.

Ketiadaan pemimpin politik dari kalangan muslimah pada era Nabi dan Khulafaur Rasyidin menimbulkan polemik tersendiri di kalangan internal ulama Islam, khususnya mengenai boleh atau tidaknya perempuan menjadi seorang pemimpin negara. Hampir sebagian besar ulama klasik menjadikan dalil "Tidak akan berjaya satu kaum jika menjadikan wanita sebagai pemimpin",34 hal ini kemudian menjadikan wanita diharamkan untuk memimpin suatu negara.

Kondisi ini coba ditengahi oleh Nasaruddin Umar dengan melakukan pendekatan sejarah (historic approuch). Di mana ia mencoba melihat wacana kepemimpinan perempuan melalui fakta-fakta sejarah yang telah terbentang sepanjang sejarah umat manusia dan kaum muslimin. Sebagaimana al-Qur’an telah mendokumentasikan secara baik –dalam Surat An Naml– mengenai kehebatan Ratu Balqis yang memimpin negeri Saba’ pada masa Nabi Sulaiman. Kemudian terdapat pula fakta sejarah yang mengakui kepemimpinan Sajaratud Durr –putri keturunan Salahuddin Al Ayyubi– yang menjadi kepala negara pada Dinasti Mamalik.

Terlepas dari boleh tidaknya perempuan menjadi seorang kepala negara, dalam sektor lainnya kiprah perempuan telah banyak menghiasi langit-langit

34

(36)

sejarah peradaban kaum muslimin. Perempuan-perempuan muslimah sangat banyak memberikan andil dalam membangun peradaban Islam. Kondisi ini tercipta karena Nabi Muhammad saw dapat digolongkan sebagai aktivis gerakan perempuan. Beliau adalah pemimpin revolusioner yang mengangkat derajat perempuan dan menempatkannya pada posisi yang sangat tinggi dengan melawan mainstream kultur pada masanya.35 Sejarah mencatat bahwa sebagian besar perempuan muslimah juga turut ikut memainkan peran-peran penting bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit).36

Perempuan Islam di masa Rasulullah juga tidak segan pula bertindak terhadap pemimpin negara sekali pun. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengeluarkan keputusan hukum yang melarang perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal, serta menentukan batas-batasnya. Seorang wanita protes dan mengingatkan Umar tentang satu ayat dalam al-Quran: “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 20). Umar mencabut kembali peraturan itu sambil berkata, “Perempuan itu benar, dan Umar salah”. Kisah ini menunjukkan kebebasan perempuan untuk melakukan protes politik, dan betapa Islam sebagai sebuah ajaran agama –dalam hal muamallah– tidak membeda-bedakan seseorang berlandaskan jenis kelamin.37

35

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Agama (Bandung: Mizan, 2005), h. 515.

36

Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan.

37

(37)

Dari pemaparan beberapa catatan sejarah dan teks hadits ini, terlihat bahwa para perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang cukup penting. Apalagi jika melihat pada latar belakang sosial mereka, yang awalnya tidak diperhitungkan sama sekali oleh masyarakat Arab jahiliyah. Memang kiprah mereka masih sangat sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran dan politik perempuan adalah bukan barang haram dalam Islam. Dengan melihat peran para perempuan awal Islam ini, banyak pihak pada akhirnya mengakui bahwa kiprah politik bukan persoalan jenis kelamin. Tetapi persoalan tanggung jawab bersama untuk memperbaiki kehidupan sosial.

B. Persfektif Barat

Membicarakan peranan politik peranan perempuan di abad modern sekarang

ini, kita tidak bisa melepaskan sepenuhnya dari apa yang telah terjadi dalam dialektika kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat Barat. Karena memang gerakan kesadaran perempuan baik secara konsep dan implementasi mendapat momentum ketika dunia belahan barat dihantam gelombang pencerahan.

Pada bab terdahulu telah disinggung, bahwa ketika kita ingin melihat keterlibatan perempuan dalam dunia politik maka setidaknya ada dua pendekatan yang dapat meneropong fenomena tersebut. Pertama adalah pendekatan feminisme dan pendekatan kedua adalah melalui teori partisipasi politik. Di bawah ini akan dijabarkan kedua teori tersebut secara singkat.

1. Teori Feminisme

(38)

Enlightenment),38 yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu & Marquis de Condorcet.39 Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg40 sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.

Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis Sosialis utopis Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill (1869) di dataran Inggris.41 Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama dalam sejarah gerakan perempuan. Kemudian dapat disimpulkan bahwa perjuangan feminis gelombang pertama (first wave feminism)42 dimulai pada abad 18 sampai

38

Bersamaan pula dengan dimulainya ekspansi Kolonialisme Eropa ke berbagai belahan dunia; baca: Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda ke Indonesia dalam kurun waktu lebih dari tiga setengah abad; baca: abad 17/18/19).

39

Di akses pada tanggal 22-09-2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Fat_feminism" title="Fat feminism".

40

Sebuah kota yang menjadi salah satu anggota chamber/kammers/kamar dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didirikan pada 20 Maret 1602. Kerajaan Belanda memberikan hak monopoli untuk melaksankan kolonialisasi di Asia (baca: East Indies/Indonesia). VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia yang mencetuskan ide stock. VOC terdiri dari enam kamar dagang, yaitu Amsterdam, Middelburg, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi ini dikenal sebagai Heeren XVII (the Lord Seventeen).

41

Dalam bukunya pada tahun 1869, The Subjection of Women (kitab suci kaum feminis), Mill yang orang Inggris menghubungkan gerakan wanita dengan pemikiran liberalisme. Mill juga berpendapat bahwa persamaan dalam hukum bagi pria dan wanita adalah syarat utama untuk mencapai masyarakat yang adil.

42

(39)

ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960,43 dan bahkan dunia dihantam dengan gelombang susulan, yaitu timbulnya gelombang ketiga atau Post Feminism.44

Feminisme, sebagai ruh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian sebagai Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.45 Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, adalah seorang feminis.46

Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata gender dan seks secara bahasa memang mempunyai makna

ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Suryochondro, “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 31-32.

43 Gelombang kedua berlangsung setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan

lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis). Dalam The Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik Logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Secara lengkap dapat dilihat tulisan Judy Lattas, “Feminisme Prancis,” dalam Peter Beilharz, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 59-162.

44

Ide Posmo -menurut anggapan mereka- ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

45

Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 5.

46

(40)

yang sama, yaitu jenis kelamin.47 Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak.

Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi.48

Dalam konteks kekinian ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975-1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali Amerika Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan –seperti forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985, dan di Beijing

47

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1990), Cetakan XVIII, h. 265 dan 517.

48

(41)

tahun 1995– maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi Kependudukan.49

Hingar bingarnya isu-isu feminisme tersebut melahirkan beraneka respon dari berbagai pihak di Dunia Islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para propogandis feminisme baik secara individual maupun kelompok, dari lembaga pemerintah maupun LSM-LSM. Feminisme yang aslinya merupakan derivat ide sekularisme atau sosialisme itu, akhirnya menginfiltrasi ke dalam Dunia Islam. Maka tersohorlah kemudian nama-nama feminis muslim semisal Fatima Mernissi (Maroko), Taslima Nasreen (Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali Engineer (India), Amina Wadud Muhsin (Malaysia), serta Didin Syafrudin, Wardah Hafizah, Gadis Arivia, dan Myra Diarsi (Indonesia). Secara kelompok, di Indonesia khususnya dapat disebut beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme, seperti Yayasan Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan sebagainya.50

Tuntutan dari kelompok feminisme tersebut nyaris sama dengan gema feminisme di berbagai penjuru dunia, yaitu terangkatnya harkat dan martabat perempuan setara dengan laki-laki. Dan gerakan kelompok ini mendapat respon dari pemerintah Indonesia dengan dicanangkannya Program Pengarusutamaan

49

Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Kontemporer, Wacana Keperempuanan Mutakhir, di Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 14 Desember 1995.

50

(42)

Gender51 dalam setiap kebijakan pemerintah. Ini dapat diartikan bahwa dalam setiap departemen pemerintah dalam setiap menggulirkan program-programnya harus senantiasa berwawasan feminisme.

2. Partisipasi Politik Perempuan

Dalam menganalisa suatu sistem politik, maka soal partisipasi politik menjadi salah satu indikator yang dapat mengukur kemajuan dari proses yang berlangsung di negara tententu. Menurut Samuel Huntington meluasnya partisipasi politik di sebuah negara merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Masyarakat modern akan selalu berfikir dan aktif bergerak bagaimana ia dan juga kelompoknya dapat memberikan pengaruh dan tekanan kepada pemerintah dalam setiap kebijakan yang akan diputuskannya. Proses memberikan pengaruh inilah yang kemudian disebut sebagai bentuk partisipasi politik.

Samuel Huntington dan Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.52

Sedangkan Herbert Mc Closky yang dikutip Miriam Budiardjo mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga

51

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 19 Desember 2000.

52

(43)

negara masyarakat melalui cara mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembuatan atau pembentukan kebijakan umum.53

Ramlan Surbakti yang dikutip dalam buku Sosiologi Politik mengatakan bahwa partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak memiliki kewenangan) dalam memengaruhi proses pembuatan keputusan politik pemerintah yang di mana keputusan itu menyangkut atau berdampak pada hidup mereka.54

Dari beberapa pendapat-pendapat di atas ada beberapa kata kunci dalam memahami partisipasi politik, di mana partisipasi politik merupakan kegiatan-kegiatan nyata (ikut pemilu, lobi, kegiatan-kegiatan organisasi, mencari koneksi, tindak kekerasan), bersifat sukarela, dilakukan oleh warga negara baik secara individu atau kelompok (masyarakat kelas,55 komunal,56 lingkungan,57 partai,58 dan golongan59), memiliki tujuan-tujuan, berupaya memengaruhi atau mengubah kebijakan, dan mempunyai tingkatan-tingkatan partisipasi.

Munculnya partisipasi politik yang lebih luas dari masyarakat disebabkan oleh beberapa hal:

53

Miriam Budiardjo, “Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam Miriam Budiardjo (penyunting), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 2.

54

A. A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h. 92.

55

Perorangan dengan status sosial, pendapatan pekerjaan yang sama.

56

Perorangan dari ras, agama, bahasa, atau gender yang sama.

57

Perorangan yang secara geografis bertempat tinggal berdekatan satu sama lain.

58

Perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan control atas bidang-bidang eksekutif dan legislative pemerintahan.

59

(44)

1. Adanya modernisasi di semua bidang yang menyebabkan masyarakat banyak berpartisipasi dalam politik.

2. Perubahan-perubahan struktur kelas sehingga timbul pertanyaan mengenai siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik yang mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik. 3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. Ide

demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi secara matang. 4. Konflik antar kelompok pemimpin politik. Bila muncul konflik antar

relit, maka yang dicari adalah rakyat.

5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Hal ini sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.60

Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pemikiran yang melandasi konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan juga untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan implementasi dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui pemberian suara atau kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau minimal diperhatikan, dan dengan berpartisipasinya mereka juga dapat memengaruhi atau implikasi kepada para pembuat kebijakan.

Dalam konteks gerakan perempuan yang tengah menggeliat menjadi isu global, tentunya teori partisipasi politik bisa memberikan gambaran awal tentang mengapa gerakan perempuan terus berupaya memasuki secara kaffah wilayah-wilayah yang selama ini tidak pernah terjamah oleh perempuan. Dan tujuan akhir

60

(45)

dari perempuan adalah memberikan tekanan kepada para pembuat keputusan dan sekaligus melakukan perubahan-perubahan pada sistem dunia agar lebih memahami dan menghargai posisi kaum perempuan.

Keinginan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik berkaitan dengan sejumlah faktor, termasuk kian luasnya kesempatan bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi serta menjadi bagian dari angkatan kerja berupah, sehingga muncul kesenjangan kian lebar antara cita-cita kaum perempuan itu sendiri dan representasi peranan mereka yang dominan sebagai ibu dan istri belaka. Di samping itu, politisasi perempuan dalam gerakan-gerakan ideologis serta menguatnya perjuangan tentang hak-hak sipil, dan pada akhirnya mendorong mereka untuk membuat suatu gerakan pembebasan yang otonom. Jadi, gerakan partisipasi politik perempuan tidak hadir dalam keadaan terisolir namun merupakan bagian dari suatu gerakan sosial yang menentang penindasan atas kaum perempuan dan inilah yang kemudian mendorong penyebarannya secara luas dan beragam.

Di Indonesia partisipasi perempuan dalam kegiatan politik serta kesempatan dan kemampuan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan pada tingkat nasional dapat diukur dari dua indikator. Pertama, keikutsertaan mereka sebagai anggota dalam lembaga DPR maupun MPR. Dan kedua, kehadiran perempuan dalam kabinet dan dalam Eselon I sampai II dalam jajaran pegawai negeri yang merupakan kedudukan pengambilan keputusan.61

61

(46)

Budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan, masih menjadi tembok penghalang yang kokoh dalam partisipasi politik perempuan. Makanya, dibutuhkan sebuah usaha yang lebih strategis agar dapat mengubah kondisi-kondisi tersebut. Memasuki wilayah strategis berarti memasuki wilayah pengambilan kebijakan alternatif yang bersahabat dengan perempuan. Salah satu cara yang dapat dipilih adalah perempuan masuk dalam tataran kekuasaan dan legislasi atau dengan memperkuat kontrol dan akses perempuan di wilayah tersebut.62 Mengapa demikian? Karena kekuasaan dan legislasi adalah aspek yang sangat menonjol dalam menentukan corak ideologi masyarakat dan pengaturan sumber daya pembangunan. Jika kita menginginkan keadilan pengaturan sumber daya bagi laki-laki dan perempuan secara adil, satu-satunya jalan adalah terlibat langsung dalam setiap tahapan pengaturan tersebut.

C. Politik perempuan Di Indonesia

Pada pembahasan ini kita mengungkap tentang gerakan wanita Indonesia dalam perspektif historis. Dari fakta-fakta sejarah kita peroleh gambaran yang menarik, karena ternyata wanita-wanita Indonesia ternyata bisa memperoleh kedudukan, wewenang dan kekuasaan tertinggi sebagai kepala negara. Di samping itu, mereka juga telah berkiprah di berbagai bidang yang sering dianggap sebagai domain lelaki. Sebagai contoh kecil saja, di Aceh pada lampau pernah memiliki 4

62

(47)

orang ratu (sultanah) yaitu Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah (1641), Sultanah Nurul Alam Naqiyyatuddin Syah (1641), Sultanah Zakiyatuddin Inayah Syah (1678), dan Sultanah Kamalatuddin Syah (1688-1699) yang berkuasa selama 60 tahun dan mereka sukses melakukan berbagai terobosan baik sosial, ekonomi, maupun politik.63

Pada sisi yang lain, realitas sejarah pergerakan perempuan di Indonesia memiliki beberapa persamaan arah tujuannya dengan gerakan-gerakan perempuan di belahan dunia lain, yaitu bertumpu pada usaha aktualisasi diri sebagai warga yang tersubordinasi. Mereka bangkit dari dominasi sosial yang membelenggu eksistensi dirinya. Namun, gerakan-gerakan perempuan yang muncul itupun mempunyai bentuk dan arah yang bervariasi, karena pola gerakan perempuan sangat dipengaruhi oleh situasi politik nasional yang tengah berkembang.

1. Pra kemerdekaan

Pada umumnya gerakan perempuan sebagai gerakan sosial tidak muncul tiba-tiba melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat di mana ada perasaan cemas dan ada keinginan-keinginan individu yang menghendaki perubahan. Di Indonesia, proses itu sudah menjelma pada abad ke-19 dalam bentuk peperangan di banyak daerah yang dipimpin langsung oleh para raja atau tokoh lain melawan masuknya dan meluasnya penjajahan Belanda, misalnya perlawanan para raja wanita terjadi di Banten, Yogyakarta, Rembang, Maluku, Palembang, Minangkabau, Banyumas, Kalimantan Barat, Bali, Lombok, dan Aceh.64

63

Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” h. 106.

64

(48)

Pada permulaan abad ke-20 terjadi perubahan dari pola gerakan kaum perempuan di Indonesia, karena pada waktu itu segelintir wanita Indonesia telah mengenyam pendidikan yang lebih baik. Salah satu ikon penting dari pergerakan perempuan Indonesia pada periode itu adalah Kartini. Keinginan Kartini –yang lahir pada 1879– adalah membebaskan perempuan dari belenggu budaya feodal Jawa dan ingin mengangkat martabat perempuan melalui bidang pendidikan.65 Keinginan untuk maju itulah yang menjadi landasan bagi nasionalisme Indonesia. Semangat nasionalisme ini juga mendorong terbentuknya berbagai organisasi-organisasi yang menggemakan nasionalisme Indonesia.66

Nasionalisme yang diperjuangkan Kartini dalam beberapa hal menjiwai berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pada era selanjutnya, Boedi Oetomo pada tahun 191267 mendirikan Poetri Mardika sebagai sayap perempuan, dengan harapan kaum perempuan juga turut serta dalam perjuangan. Selain itu, perempuan mulai bergerak dalam gerakan-gerakan sosial dan agama. Pada tahun 1914 berdiri sebuah perkumpulan perempuan yang dipimpin oleh istri pendiri Muhammadiyah, Nyai Ahmad Dahlan bernama “Sopo Tresno” (siapa suka), yang kemudian pada tahun 1917 berganti nama menjadi “Aisyiah”. Selang berapa lama, pada tahun 1918 Siti Fatimah mendirikan bagian Sarekat Islam di Garut, di Yogyakarta ada Wanoedya Oetomo (Wanita Utama) pada tahun 1920, kemudian organisasi-organisasi ini berfusi ke dalam Sarekat Puteri Islam atau sarekat Perempuan Islam Indonesia. Dari sekian banyak organisasi perempuan yang lahir

65

Marlita dan Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” h. 83.

66

Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 42.

67

(49)

semasa ini beberapa di antaranya bersifat lokal atau kedaerahan. Organisasi tersebut antara lain, “Wanita Soesilo” di Pemalang (1918), “Wanita Hadi” di Jepara (1919), “Poetri Boedi Sedjati” di Surabaya (1919), “Wanito Moeljo” di Jogjakarta (1920), “Serikat Kaoem Ibu Soematra” di Bukit Tinggi (1920), dan lain-lain.

Organisasi-organisasi tersebut bersinergi memprogandakan tujuan mereka dalam usahanya memperjuangkan masyarakat dari berbagai masalah yang menimpanya. Adapun sarana yang digunakan dalam mempropagandakan perjuangan adalah melalui penerbitan berkala. Di antara majalah yang cukup terkenal adalah “Wanita Swara” (Pacitan, 1913), “Poetri Mardika” (Jakarta, 1914), “Penoentoen Isteri” (Bandung, 1918), “Isteri Oetomo” (Sala, 1918), dan “Soeara Perempoean Bergerak” (Medan).68

Ketika Sumpah Pemuda pada 28 Oktober tahun 1928 dikumandangkan sebagai pertanda persatuan Indonesia, maka untuk mewujudkan cita-cita tersebut para perempuan Indonesia melakukan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta.69 Acara tersebut dihadiri oleh tiga puluh perkumpulan wanita, kemudian tanggal ini dikukuhkan sebagai Hari Ibu. Hasil dari kongres tersebut sepakat melebur semua organisasi perempuan ke dalam satu wadah perjuangan dengan nama “Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia” yang kemudian berganti nama menjadi “Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia”

68

Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 21-22.

69

(50)

pada tahun 1929 di Jakarta.70 Perserikatan Perempuan ini sampai sekarang masih tetap eksis dengan nama Kowani sebagai hasil dari keputusan kongres pada tanggal 14-16 Juni 1946.71

2. Pasca kemerdekaan

Dalam periode yang merupakan masa perang kemerdekaan melawan penjajahan kembali ini organisasi-organisasi wanita timbul sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu mempunyai tujuan ikut serta dalam usaha membela dan menegakkan kemerdekaan negara. Dalam tahun-tahun ini ada kegiatan yang luar biasa, ditandai oleh semangat persatuan dan semangat perjuangan. Dibentuklah “Persatuan Wanita Indonesia” (Perwani) di seluruh tanah air yang menjalankan tugas di garis belakang dan membantu mereka yang bertempur. Di Jakarta, kota yang di bawah pendudukan Belanda dengan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA) tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, didirikan “Wanita Indonesia” (WANI) dengan tujuan yang serupa. “Perwani” dan “WANI” kemudian dilebur menjadi “Persatuan Wanita Republik Indonesia” (Perwari) di Yogyakarta, 17 Desember 1945. laskar-laskar wanita dibentuk untuk membantu garis depan ya

Referensi

Dokumen terkait

Gleason score merupakan penjumlahan dari primary grade (sebagian besar yang terlihat pada tumor) dengan secondary grade (sebagian kecil yang terlihat).. Gleason score

Saya selaku Pengerusi Anggota Lembaga Koperasi dengan rasa rendah hati dan sukacitanya membentangkan Laporan Koperasi Kakitangan Bank Simpanan Nasional Berhad

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan tokoh masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi kader dalam sosialisasi kelas ibu hamil.. Responden yang memiliki

Indonesia yang ingin memasarkan produknya ke pasar Korea Selatan khususnya untuk komoditas cassava atau singkong serta membantu meningkatkan daya saing produk

Kecepatan tempuh dalam (MKJI, 1997) didefinisikan sebagai kecepatan rata- rata (km/jam) arus lalulintas dari panjang ruas jalan dibagi waktu tempuh rata-rata.. kendaraan yang lewat

Terkait Penyelundupan Narkotika melalui barang kiriman dari luar negeri kendala yang ditemui ketika pengamatan dilapangan yakni keseluruhan barang kiriman yang berada di dalam

Hasil yang dicapai: (1) melalui pembinaan disiplin menjadikan guru dan karyawan termasuk siswa memiliki disiplin (tertib waktu) yang tinggi (hasil angket guru 4.44, hasil