UNTUK PREDIKSI KUALITAS GULA KRISTAL PUTIH
DI INDONESIA
EVANILA SILVIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
UNTUK PREDIKSI KUALITAS GULA KRISTAL
EVANILA SILVIA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Disain Jaringan Syaraf Tiruan
untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih” adalah karya saya sendiri dengan
arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
Evanila Silvia
In this research, an Artificial Neural Network (ANN) based expert system for sugar’s quality prediction was developed by two learning’s methods, backpropagation (BP) and Learning Vector Quantization (LVQ). This system was designed and developed using the software of Matlab 7.0.1 in a menu of simple interface called “SQP”. The constructing of the data’s input for ANN based on the fundamental parameters of sugar’s processing by using some expert’s advices and QFD’s method, consisting of the product’s attribute quality and the relevant process characteristics, so this system be able to assess of sugar’s quality with more effective and efficient. The SPC‘s method is used as a monitoring tool for variety of the process that had been carried out so that the users could use the result as a reference to take action in process improvement.
Based on the “trial and error” test of ANN’s training process, the best network performance for BP and LVQ learning’s method obtained. The best network performance for BP was showed by the MSE score of 0.0098684 at the second epoch and the regression’s coefficient was 1.0, when the system used linear’s activation function, Levenberg-Marquadt’s algorithm training, the momentum score was 0.05 and the minimum error was 0.01 with the network architecture of [35 20 1], that is, 35 neurons in an input layer, 20 neurons in a hidden layer dan 1 neuron in an output layer. The architecture network of LVQ that gave the best performance is the system with the MSE score was 0 at the second epoh and the regression’s coefficient 1.0, where’s the LVQ1 training algorithm, the learning rate score 0.1 and the minimum error 0.0001 with the network architecture [35 10 3], that is, 35 neurons in an input layer, 10 neurons in a competitive layer dan 3 neurons in an output layer were used in this system.
The implementation of this system was carried out using actual data obtained from PT.PG.Subang which started from 31 Mei 2005 until 8 Agustus 2005. The result of SQP assessment either based on BP and LVQ prediction showed that most of the sugar in the PT. PG. Subang production are in the first quality although in some observation periods there are some sugar in the second quality. Based on BP prediction, there are 61 periods showed the first quality’s sugar and 9 periods showed the second quality’s sugar from all 70 observation periods, whereas in LVQ prediction there are 62 periods showed the first quality’s sugar and 8 periods showed the second quality’s sugar from all 70 observation periods.
EVANILA SILVIA. Disain Jaringan Syaraf Tiruan untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih. Dibimbing oleh MARIMIN, MACHFUD dan MUHAMMAD ZEIN NASUTION.
Tingginya tingkat persaingan di dunia industri menuntut setiap perusahaan termasuk industri gula untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas produknya. Salah satu penyebab rendahnya kualitas gula nasional adalah pengawasan dan pengujian kualitas di pabrik gula belum efektif dan efisien. Selama ini jumlah parameter yang diamati dalam analisa kualitas gula terlalu banyak karena dilakukan hampir disetiap tahap produksi. Selain itu pabrik gula juga tidak dapat dengan cepat menentukan tingkat kualitas gula yang dihasilkan karena pabrik gula harus mengirimkan sampel produk untuk diuji kualitasnya ke Laboratorium Pengujian Mutu Gula dan Bahan Pembantu Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (LPMGBP-P3GI) di Pasuruan – Jawa Timur, sehingga tindakan perbaikan tidak dapat dilakukan dengan segera. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan sistem prediksi kualitas gula kristal putih berdasarkan pengamatan pada beberapa aktivitas proses inti agar dapat menjamin kualitas produk selalu terjaga dan tindakan perbaikan proses dapat segera dilakukan. Sistem ini dibangun dengan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dalam sebuah interface yang mudah dipahami yang disebut Sugar Quality Prediction (SQP). Algoritma pembelajaran JST yang digunakan adalah Backpropagation (BP) dan Learning Vector Quantization (LVQ).
Klasifikasi kualitas gula mengacu pada SNI Gula Kristal Putih (GKP) 01-3140.3-2001 yang menyatakan bahwa GKP terbagi atas 3 kelas yaitu GKP I, GKP II dan GKP III. Atribut-atribut yang menentukan kualitas gula menurut SNI tersebut, yaitu : (1) warna; (2) berat jenis butir/BJB; (3) susut pengeringan; (4) polarisasi; (5) gula pereduksi; (6) abu konduktiviti; (7) kandungan bahan asing tidak larut/kotoran; (8) bahan tambahan makanan/SO2 dan (9) kandungan cemaran logam.
Lima atribut kualitas utama berdasarkan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) gabungan pendapat pakar adalah polarisasi (0.253), warna (0.231), susut pengeringan (0.115), besar jenis butir (0.102), kandungan bahan asing tidak larut (0.081) dan kandungan SO2 (0.081). Lima karakteristik proses yang memiliki hubungan keterkaitan paling besar dengan atribut kualitas menurut pendapat pakar adalah stasiun gilingan (0.103), pemurnian (0.225), penguapan (0.248), masakan (0.219) dan putaran (0.114). Berdasarkan lima atribut utama dan lima karakteristik proses terpilih maka proses-proses inti yang dijadikan variabel data input JST adalah : HK NPP, HK NM, % brix NPP, % pol NPP, sabut % tebu, imbibisi % tebu, tekanan hidrolik gilingan 1, tekanan hidrolik gilingan 2, tekanan hidrolik gilingan 3, tekanan hidrolik gilingan 4, nira mentah % tebu, suhu nira keluar (juice heater I), suhu nira keluar (juice heater II), pH nira keluar defekator I, pH nira keluar defekator II, pH nira mentah tersulfitir, pH nira kental tersulfitir, dosis kapur tohor, dosis belerang, suhu nira keluar (juice heater III), brix nira kental penguapan, suhu uap pemanas dan vacuum badan akhir, lama masakan A, lama masakan C, lama masakan D, HK masakan A, HK masakan C, HK masakan D, tekanan vacuumpan, tekanan exhaust steam, HK gula C, HK gula DI, HK gula DII dan HK gula A.
Sistem SQP menggunakan disain JST dengan arsitektur jaringan BP dan LVQ yang terbaik berdasarkan trial and error pada proses pelatihan. Arsitektur jaringan BP terbaik adalah dengan konfigurasi 35 neuron pada lapisan input, 20 neuron pada hidden layer dan 1 neuron pada lapisan output atau [35 20 1], fungsi aktivasi purelin, algoritma trainingtrainlm, momentum 0.05, setgoalerror 0.01 dan set jumlah epoh 1000 dimana nilai MSEnya 0.0098684 pada epoh ke-2 dan R bernilai 1.000. Arsitektur jaringan LVQ terbaik adalah dengan konfigurasi 35 neuron pada lapisan input, 10 neuron pada competitive layer dan 3 neuron pada lapisan output, algoritma training yang dipilih adalah learnlv1, learning rate 0.1, set goalerror 0.0001 dan set jumlah epoh 1000, dimana nilai MSEnya adalah 0 pada epoh ke-2 dan R bernilai 1.000. Proses pengujian sistem SQP menunjukkan hasil output memiliki kesesuaian yang tinggi terhadap target yang telah ditentukan. Implementasi SQP menggunakan data aktual periode 2005 menunjukkan bahwa berdasarkan prediksi BP selama 70 periode terdapat 61 periode yang dihasilkan GKP berkualitas 1 dan sebanyak 9 periode berkualitas 2, sedangkan prediksi dengan LVQ menunjukkan bahwa selama 70 periode terdapat 62 periode dimana GKP yang dihasilkan berkualitas 1 dan sebanyak 8 periode berkualitas 2. Hal ini menunjukkan sistem dapat mengelompokkan ke dalam kelas-kelas kualitas GKP.
Pemantauan proses dilakukan pada proses-proses yang mempengaruhi atribut polarisasi karena polarisasi memiliki bobot yang paling besar sehingga perlu diprioritaskan. Hasil pemantauan proses produksi menggunakan bagan kendali Individual – Moving Range (I-MR) menunjukkan bahwa beberapa periode pada HK NPP, HK NM, % brix NPP, % pol NPP, tekanan hidrolik gilingan 1, tekanan hidrolik gilingan 2, tekanan hidrolik gilingan 3, tekanan hidrolik gilingan 4, lama masakan A, lama masakan C, lama masakan D, tekanan vacuum pan, HK gula DII dan HK gula A berada diluar batas kendali 3-Sigma. Ketidakterkendalian proses akan mempengaruhi kesinambungan kualitas GKP yang dihasil. Ketidakterkendalian proses dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) variasi bahan baku, (2) lemahnya prosedur, (3) operator yang tidak terlatih dan (4) pemeliharaan alat dan mesin.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
Alhamdulillahirobbil’ alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan penelitian yang berjudul
”Disain Jaringan Syaraf Tiruan untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih” ini
berhasil diselesaikan.
Selama proses penulisan penelitian ini penulis banyak mendapat bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu penulis bermaksud menyampaikan ungkapan terima kasih kepada :
• Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc; Bapak Dr. Ir. Machfud, MS dan Bapak Ir. Muhammad Zein Nasution, M.App.Sc, atas bimbingan dan
arahannya.
• Bapak Harsono, Bapak Indaryanto, Bapak Sudarsono, Bapak Priyatno,
Bapak Dudung, Bapak Jumadi, Bapak Kaprawi dan seluruh staf
PT. PG. Rajawali II Unit Pabrik Gula Subang yang telah banyak membantu
memberikan informasi dan masukan yang berharga.
• Mama, papa dan Lia atas segala doa, pengorbanan dan kasih sayang yang berlimpah.
• Sahabatku Wiwid, Hilda, Evy, Elvi dan Zendi yang banyak memberikan bantuan, motivasi dan semangat juang selama ini.
• Kak Supri, Mas Tarno, Uni, Mbak Nunung, Teh Iph, Winnie, Ibu Nurul, Mas Fajar, Fitri, Mbak Jum, Ratna, Fitria, Yeni, Titin, Budi, Umi, Tini, Selly
dan Tamaria yang telah banyak memberi bantuan.
• Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian ini masih banyak
terdapat kekurangan tetapi semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Agustus 2007
Evanila Silvia
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 26 Oktober 1977 dari ayah
Elfian Sab’i S.Sos dan ibu Suryati Mukti, S.Sos. Penulis merupakan putri kedua
dari tiga bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik Pertanian, Jurusan
Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, lulus pada tahun
2001. Pada tahun 2003, penulis diterima di Program Studi Teknologi Industri
Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis pernah bekerja di Perkebunan Kelapa Sawit Cipta Futura pada
tahun 2002 dan ditempatkan di Desa Muara Enim, Sumatera Selatan.
Halaman
DAFTAR TABEL... vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN... ix
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Tujuan Penelitian ... 3
C. Ruang Lingkup Penelitian... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
II. LANDASAN TEORI ... 5
A. Konsep Kualitas... 5
B. Quality Function Deployment (QFD)... 7
1. Pengertian QFD ... 7
2. Tahapan QFD ... 7
3. Keuntungan QFD ... 8
4. Matrik House ofQuality... 8
C. Gula ... 10
1. Kriteria Kualitas Gula ... 11
2. Proses Pengolahan Gula ... 13
a. Stasiun Gilingan... 13
b. Stasiun Pemurnian... 13
c. Stasiun Penguapan... 19
d. Stasiun Masakan (Kristalisasi)... 21
e. Stasiun Putaran ... 24
f. Stasiun Penyelesaian ... 24
D. Jaringan Syaraf Tiruan ... 25
1. Perkembangan Jaringan Syaraf ... 25
2. Jaringan Syaraf Biologi ... 25
3. Struktur Dasar Jaringan Syaraf Tiruan ... 26
4. Metode Pembelajaran JST ... 29
1. Backpropagation... 29
E. Pengendalian Proses Statistika ... 30
1. Diagram Sebab Akibat (Fishbone Diagram) ... 30
2. Lembar Pemeriksaan (Check Sheet)... 30
3. Diagram Pareto... 31
4. Diagram Skater ... 31
5. Histogram ... 31
6. Stratifikasi ... 31
7. Run Chart dan Control Chart... 32
F. Penelitian Terdahulu... 32
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 35
A. Kerangka Pemikiran ... 35
B. Tahapan Penelitian... 38
1. Persiapan Penelitian dan Studi Pendahuluan ... 38
2. Pemilihan Pakar... 39
3. Pengumpulan dan Pemilihan Data ... 39
4. Pembentukan Data Input JST... 40
5. Disain JST ... 40
6. Implementasi JST ... 41
7. Pemantauan Proses Produksi ... 41
8. Analisa dan Interpretasi ... 42
9. Rekomendasi Perbaikan Proses ... 42
10. Implikasi Kebijakan dan Penerapan Sistem... 42
C. Tata Cara Penelitian ... 42
1. Sumber Data, Informasi dan Pengetahuan ... 42
2. Metode Pengumpulan Data ... 42
3. Pengolahan dan Analisis Data... 42
4. Pembentukan Matrik House of Quality (HOQ)... 43
5. Penerapan Jaringan Syaraf Tiruan ... 45
a. Perancangan Arsitektur Jaringan... 45
b. Pemilihan Metode Pembelajaran ... 47
1. Backpropagation... 47
2. Learning Vector Quantization... 48
6. Analisis Control Chart (Bagan Kendali) ... 48
IV. KUALITAS GULA KRISTAL PUTIH... 51
A. Atribut Kualitas Produk ... 51
B. Karakteristik Proses... 53
C. House of Quality (HOQ)... 57
V. DISAIN JARINGAN SYARAF TIRUAN... 59
A. Penentuan Input JST ... 59
B. Penentuan Output JST ... 62
C. Perancangan Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan... 62
1. Backpropagation (BP)... 62
2. Learning Vector Quantization (LVQ)... 66
D. Proses Pelatihan... 68
1. Backpropagation... 68
2. Learning Vector Quantization ... 75
E. Proses Pengujian... 80
F. Implementasi dan Analisis ... 80
1. Implementasi Sistem ... 80
a. Input Sistem ... 80
b. Rancangan Arsitektur Jaringan... 81
c. Output Sistem ... 81
2. Analisa ... 82
VI. PEMANTAUAN PROSES PRODUKSI ... 84
VII. IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENERAPAN SISTEM ... 90
A. Syarat Spesifikasi Sistem ... 90
B. Penerapan Sistem pada Kasus Lain ... 92
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93
A. Kesimpulan ... 93
B. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA... 95
LAMPIRAN ... 99
Halaman
1. Perkembangan Impor Gula di Indonesia ... 1
2. Komposisi Nira ... 11
3. Syarat Kualitas Gula Kristal Putih (SNI 01-3140.3-2001) ... 12
4. Keuntungan dan Kerugian dari 3 Metode Pemurnian ... 18
5. Perbedaan Jaringan Syaraf Biologis dengan JST ... 26
6. Rumus Batasan Bagan Kendali I-MR ... 49
7. Analisa dari Bagan Individual dan Moving Range... 49
8. Hasil Penilaian Tingkat Kepentingan Atribut Kualitas Produk Gula Kristal Putih ... 53
9. Hasil Penilaian Tingkat Kepuasan terhadap Atribut Kualitas Produk Gula Kristal Putih PG. Subang ... 53
10. Penilaian Karakteristik Proses Produksi PG. Subang ... 5
11. Hubungan Keterkaitan antara Atribut Kualitas Produk dengan Aktivitas Proses ... 55
12. Hubungan Keterkaitan antar Karakteristik Proses... 56
13. Data Input untuk JST... 61
14. Beberapa Alternatif Rancangan Arsitektur Jaringan BP... 63
15. Beberapa Alternatif Rancangan Arsitektur Jaringan LVQ ... 66
16. Pemilihan Fungsi Aktivasi dan Algoritma Training pada BP... 69
17. Pemilihan Nilai Momentum pada Fungsi Aktivasi Purelin dan Algoritma TrainingTrainlm pada BP... 69
18. Pemilihan Nilai Toleransi Error pada BP ... 70
19. Pemilihan Jumlah Neuron dalam 1 Hidden Layer pada BP ... 70
20. Pemilihan Jumlah Neuron dalam 2 Hidden Layer pada BP ... 71
21. Pemilihan Jumlah Neuron dalam 3 Hidden Layer pada BP ... 71
22. Rancangan Arsitektur JST yang Digunakan pada BP ... 72
23. Pemilihan Algoritma Training pada LVQ ... 75
24. Pemilihan Toleransi Error pada LVQ ... 75
25. Pemilihan Learning Rate pada LVQ ... 76
26. Pemilihan Jumlah NeuronCompetitive Layer pada LVQ ... 76
27. Rancangan Arsitektur JST yang Digunakan pada LVQ ... 77
28. Hasil Prediksi Implementasi Sistem SQP ... 82
29. Perbandingan Hasil Pemantauan Proses Produksi Gula Kristal Putih menggunakan SPC dengan Hasil Prediksi JST ... 88
Halaman
1. House ofQuality... 10
2. Struktur dari Sukrosa... 10
3. Susunan Neuron Biologis ... 26
4. Gambaran JST ... 27
5. Kerangka Pemikiran ... 36
6. Diagram Alir Deskriptif dari Disain JST ... 38
7. Arsitektur JST Backpropagation... 46
8. Arsitektur Jaringan LVQ ... 46
9. Matrik House of Quality (HOQ) PT. PG. Subang ... 58
10. Aritektur Jaringan BP yang Digunakan... 72
11. Tampilan Nilai MSE pada Arsitektur Jaringan BP yang Digunakan ... 73
12. Tampilan Error pada Arsitektur Jaringan BP yang Digunakan ... 73
13. Tampilan Data-Fitting Perbandingan Output dan Target pada Arsitektur Jaringan BP yang Digunakan ... 74
14. Perbandingan Output dan Target pada Arsitektur Jaringan BP ... 74
15. Arsitektur Jaringan LVQ yang Digunakan ... 77
16. Tampilan MSE pada Arsitektur Jaringan LVQ yang Digunakan... 78
17. Tampilan Error pada Arsitektur Jaringan LVQ yang Digunakan... 78
18. Tampilan Data-Fitting Perbandingan Output dan Target pada Arsitektur Jaringan LVQ yang Digunakan... 79
19. Perbandingan Output dan Target pada Arsitektur Jaringan LVQ ... 79
20. Tampilan Menu Utama Sistem Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih ... 91
Halaman
1. Cara Memperoleh dan Mengolah Data Penelitian... 99
2. Tahapan Proses Produksi Gula Kristal Putih ... 101
3. Bagan Proses pada Stasiun Gilingan ... 101
4. Bagan Proses pada Stasiun Pemurnian... 102
5. Bagan Proses pada Stasiun Penguapan... 102
6. Bagan Proses pada Stasiun Masakan dan Putaran ... 103
7. Bagan Proses pada Stasiun Penyelesaian ... 104
8. Kuesioner Quality Function Deployment (QFD) ... 105
9. Perbandingan Berpasangan (Pairwise Comparison) Gabungan Pendapat Pakar... 110
10. Angka Standar Proses Produksi Gula Kristal Putih ... 111
11. Batasan Standarisasi Proses Produksi Gula Kristal Putih Berdasarkan Pendapat Pakar... 118
12. Data Pelatihan JST... 119
13. Data Pengujian JST dan Hasil Proses Pengujian ... 120
14. Data Aktual dan Hasil Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih... 121
15. Prosedur Pengoperasian Sistem Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih... 122
16. Listing Program untuk Desain JST untuk Prediksi Kualitas Gula Kristal Putih ... 128
17. Hasil Pemantauan Proses dengan menggunakan Bagan Kendali I-MR . 132 18. Daftar Istilah ... 143
A. Latar Belakang
Menurut Isro’ah (2002) saat ini ada berbagai permasalahan gula
nasional yang sedang kita hadapi, salah satunya adalah rendahnya kualitas
gula lokal dibandingkan gula impor. Hal ini menjadi salah satu penyebab
meningkatnya impor gula baik berupa gula rafinasi, white sugar maupun raw
sugar. Pada Tabel 1 disajikan impor gula di Indonesia.
Tabel 1. Perkembangan Impor Gula di Indonesia
TAHUN IMPOR (TON)
1995 687.963,00 1996 975.830,00 1997 1.364.563,00 1998 1.730.473,00 1999 1.500.000,00 2000 1.500.000,00 2001 1.500.000,00 2002 1.500.000,00 2003 1.500.000,00 2004 1.348.349,00 Sumber : Thoha, 2005
Saat ini memang kualitas belum menjadi permasalahan utama di Pabrik
Gula, akan tetapi atas dasar alasan untuk melindungi konsumen dan
menjaga kualitas produk gula nasional agar dapat bersaing dengan gula
impor di masa yang akan datang maka topik kualitas perlu diperhatikan
sejalan dengan usaha peningkatan produksinya. Hal ini didukung oleh
Deperindag dan P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) yang
telah menyusun SNI Gula 2001, dimana saat ini mulai ada tuntutan dari
berbagai pihak untuk memberlakukan wajib SNI Gula Kristal Putih (GKP)
pada PG nasional. Tuntutan ini cukup beralasan dan serius karena
banyaknya GKP hasil pabrik gula dalam negeri yang kualitasnya setara dan
secara visual sama dengan Gula Kristal Mentah (GKM), padahal GKM
sebenarnya tidak boleh dikonsumsi langsung oleh konsumen (P3GI, 2003).
Menurut Achyadi dan Maulidah (2004) sebagian besar industri makanan
dan minuman berskala besar yang selama ini banyak menggunakan gula
gula impor secara langsung daripada gula lokal karena harga lebih murah
dan kualitas lebih baik dan terjaga.
Kekalahan kualitas juga menyebabkan daya saing gula nasional rendah
terhadap gula impor. Padahal kualitas suatu produk merupakan faktor
penunjang keberhasilan perusahaan atau industri. Wiryastuti (2002)
menyatakan bahwa salah satu faktor internal yang menjadi penentu daya
saing produk gula kristal putih adalah kualitas produk oleh sebab itu industri
gula nasional harus mampu memproduksi sesuai dengan keinginan
konsumen dan menumbuhkan kepercayaan konsumen terhadap produknya.
Indeswari (1986) menyatakan bahwa pertambahan produksi hendaknya
dibarengi dengan peningkatan kualitas hasil produksi dan salah satu tahap
produksi yang mempengaruhi kualitas gula adalah proses pemurnian nira.
Menurut Hafsah (2003) untuk menempatkan posisi Indonesia sebagai
produsen gula terkemuka di dunia maka diperlukan rumusan kebijaksanaan
menyangkut seluruh aspek sosial ekonomi dan teknis pergulaan. Salah satu
kebijaksanaan yang relevan, strategis dan dapat diimplementasikan adalah
kebijaksanaan investasi dan permodalan yang ditujukan untuk membangun
dan mendirikan pabrik baru, merenovasi pabrik serta membiayai penelitian
untuk menghasilkan teknologi baru guna meningkatkan produksi dan kualitas
gula. Oleh sebab itulah permasalahan kualitas gula juga perlu diperhatikan
sejalan dengan masalah produktivitas.
Penelitian mengenai kualitas gula kristal putih yang telah dilakukan
lebih banyak menggunakan pendekatan statistik. Achyadi dan Maulidah
(2004) menyatakan bahwa jumlah pemakaian air pencuci dan ketebalan
masakan pada proses sentrifugal yang tidak tepat dapat mempengaruhi
warna dan kualitas gula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya air
pencuci dan ketebalan masakan berpengaruh nyata terhadap kadar sedimen,
warna, kadar sukrosa dan ukuran kristal gula dengan hasil terbaik pada
banyaknya air pencuci 1,49% dan ketebalan masakan 2 cm, serta terhadap
rendemen gula dengan hasil terbaik pada banyaknya air pencuci 0,58% dan
ketebalan masakan 4 cm. Sedangkan berdasarkan metode uji skoring
menunjukkan bahwa sampel terbaik adalah banyaknya air pencuci 1,04%
dan ketebalan masakan 2 cm. Indeswari (1986) berusaha mencari dosis
optimum dari pemberian kapur dan belerang agar didapat kemurnian yang
dosis kapur optimum yang diberikan pada proses pemurnian nira di Pabrik
Gula Mini Lawang adalah 344,049 gram dan belerang 258,037 gram tiap 100
liter nira dengan harkat kemurnian yang dihasilkan 85,2037%.
Rendahnya kualitas gula nasional salah satunya disebabkan pengawasan
dan pengujian kualitas yang dilakukan pabrik belum efektif dan efisien. Selama
ini jumlah parameter yang diamati dalam analisa kualitas gula sangat banyak
karena pengamatan dan pengujian dilakukan hampir disetiap aktivitas proses
produksi akan tetapi pabrik gula tetap tidak dapat dengan cepat menentukan
tingkat kualitas gula yang dihasilkan karena pabrik gula harus mengirimkan
sampel produk untuk dilakukan analisis kualitas ke Laboratorium Pengujian Mutu
Gula dan Bahan Pembantu Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
(LPMGBP-P3GI) di Pasuruan – Jawa Timur, sehingga tindakan perbaikan tidak
dapat segera dilakukan. Untuk itu perlu diupayakan pengembangan sistem
prediksi kualitas gula kristal putih (GKP) berdasarkan pengamatan beberapa
aktivitas proses inti agar dapat menjamin kualitas produk selalu terjaga dan
tindakan perbaikan proses dapat segera dilakukan.
Sistem dibangun dengan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (JST).
JST merupakan suatu sistem pemrosesan atau pengolah informasi dengan
kemampuan belajar, mengingat dan menyelesaikan masalah berdasarkan
proses belajar yang diberikan dan mengambil keputusan seperti yang
dilakukan oleh otak manusia (pakar atau ahli). Metode pembelajaran yang
digunakan pada JST ini adalah Backpropagation (BP) dan Learning Vector
Quantization (LVQ).
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memilih atribut kualitas GKP dan menentukan tingkat kepentingannya.
2. Menentukan karakteristik proses produksi GKP dan tingkat kepentingan
hubungan keterkaitannya dengan atribut kualitas produk yang dibentuknya.
3. Mendisain Jaringan Syaraf Tiruan untuk memprediksi kualitas GKP.
4. Memantau proses produksi gula kristal putih dan memberikan
C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian Disain Jaringan Syaraf Tiruan untuk Prediksi
Kualitas Gula Kristal Putih dengan batasan-batasan sebagai berikut :
1. Prediksi kualitas dilakukan pada gula kristal putih (GKP) untuk jenis SHS
(Superieure Hoofd Suiker).
2. Penilaian kualitas gula kristal putih dilakukan pada tahapan pabrikasi
yang dimulai dari tebu masuk stasiun penggilingan hingga stasiun
penyelesaian.
3. Penilaian tingkat kepentingan antar atribut kualitas gula kristal putih
ditentukan dengan teknik pairwise comparison pendapat pakar dan
penilaian tingkat kepentingan hubungan keterkaitan antara karakteristik
proses produksi dengan atribut kualitas ditentukan dengan menggunakan
metode QFD (Quality Function Deployment).
4. Prediksi kualitas gula kristal pada JST menggunakan metode
pembelajaran BPdan LVQ. Metode pembelajaran ini dipilih karena dapat
diaplikasikan untuk penentuan klasifikasi.
5. Pemantauan proses produksi gula menggunakan metode Statistical
Process Control (SPC). Pemantauan proses produksi gula hanya
dilakukan pada tahapan proses yang sangat signifikan mempengaruhi
kualitas gula kristal putih.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan adalah disain JST dapat dijadikan sebagai
bahan informasi bagi pabrik gula khususnya divisi quality control dan pihak
lain yang terkait dalam pengambilan keputusan untuk membantu dalam
memprediksi, menjaga dan meningkatkan kualitas gula kristal putih untuk
A. Konsep Kualitas
Ada banyak sekali definisi kualitas, tetapi sebenarnya definisi yang satu
hampir sama dengan yang lain. Pada SNI 19-8402-1991 definisi kualitas
adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh barang atau jasa yang
menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan
atau yang tersirat. Pengertian kualitas menurut Feigenbaum dalam Ariani
(2002) merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi
marketing, engineering, manufacture dan maintenance dimana dalam
pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.
Crosby dalam Ariani (2002) mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian
dengan kebutuhan yang meliputi availability, delivery, reliability,
maintanability dan cost effectiveness. Menurut Marimin (2004) kualitas
adalah ukuran seberapa dekat suatu barang atau jasa sesuai dengan standar
tertentu. Tjiptono (1997) mengacu kualitas kepada pengertian pokok sebagai
berikut :
1) Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan
langsung maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan
pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas
penggunaan produk itu.
2) Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau
kerusakan.
Assauri (1980) membagi kualitas menjadi dua sisi yaitu : (1) sisi
konsumen sebagai pemakai akhir dan (2) sisi produsen sebagai pemilik
teknologi produksi. Konsumen sebagai pemakai akhir produk mempunyai
keinginan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan karena
kebiasaan hidup, tingkat sosial, etnik, karakteristik daerah, dan lain-lain.
Keanekaragaman perbedaan keinginan tersebut menyebabkan produsen
sulit untuk menentukan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
memproduksi suatu produk agar sesuai dengan keinginan konsumen. Oleh
sebab itu produsen harus mampu menterjemahkan seluruh keinginan
konsumen yang bersifat subyektif menjadi besaran terukur (spesifikasi
Russel dalam Ariani (2002) mengidentifikasi enam peran pentingnya
kualitas, yaitu :
(1) Meningkatkan reputasi perusahaan
Perusahaan yang menghasilkan produk yang berkualitas akan dikenal
masyarakat luas dan mendapat nilai lebih di mata konsumen.
(2) Menurunkan biaya
Pada paradigma lama untuk menghasilkan produk berkualitas identik
dengan peningkatan biaya, tetapi sekarang tidak. Hal ini disebabkan
karena perusahaan berorientasi pada customer satisfaction, yaitu dengan
mendasarkan jenis, tipe, waktu dan jumlah produk yang dihasilkan sesuai
dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.
(3) Meningkatkan pangsa pasar
Pangsa pasar akan meningkat bila minimasi biaya tercapai dan produk
yang dihasilkan pun tetap berkualitas.
(4) Dampak internasional
Bila mampu menghasilkan produk yang berkualitas, maka selain dapat
bersaing di pasar lokal juga akan dapat diterima di pasar internasional.
(5) Adanya pertanggungjawaban produk
Semakin meningkatnya persaingan kualitas produk yang dihasilkan akan
menyebabkan perusahaan semakin dituntut bertanggung jawab pada
disain, proses dan pendistribusian produk untuk memenuhi kebutuhan
dan harapan pelanggan.
(6) Untuk penampilan produk atau jasa
Kualitas akan membuat perusahaan, produk atau jasa dipercaya
masyarakat luas. Hal ini akan menimbulkan fanatisme konsumen
terhadap produk apapun yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut.
(7) Mewujudkan kualitas yang dirasakan penting
Persaingan saat ini bukan hanya masalah harga melainkan kualitas
produk. Sebagai produsen, dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan
dan harapan pelanggan dan mampu menterjemahkan apa yang menjadi
kebutuhan dan harapan mereka.
Menurut Gaspersz (1997) peningkatan dan pengendalian kualitas
dapat membantu perusahaan meningkatkan keuntungan dengan cara, yaitu :
(1) meningkatkan penjualan sehingga berdampak terhadap pendapatan atau
kesesuaian yang tinggi terhadap standar sehingga produk yang dihasilkan
sesuai dengan yang diinginkan.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas diartikan sebagai
segala sesuatu yang dituju pada standar yang telah ditetapkan sehingga
memenuhi keinginan dan kepuasan konsumen serta upaya perubahan ke
arah perbaikan terus menerus.
B. Quality Function Deployment (QFD)
1. Pengertian QFD
Quality Function Deployment merupakan suatu cara untuk
meningkatkan kualitas barang atau jasa dengan memahami kebutuhan
konsumen, lalu menghubungkannya dengan ketentuan teknis untuk
menghasilkan barang atau jasa di tiap tahap pembuatan barang atau jasa
yang dihasilkan.
Menurut Gaspersz (2001), QFD didefinisikan sebagai suatu proses
atau mekanisme terstruktur untuk menentukan kebutuhan pelanggan dan
menterjemahkan kebutuhan-kebutuhan itu kedalam kebutuhan teknis
yang relevan, dimana masing-masing area fungsional dan level
organisasi dapat mengerti dan bertindak. QFD mencakup juga monitor
dan pengendalian yang tepat dari proses operasional menuju sasaran.
2. Tahapan QFD
Tahapan penggunaan QFD menurut Subagyo (2000) adalah :
a. Mengidentifikasi kemauan pelanggan. Dalam hal ini, pelanggan atau
konsumen ditanya mengenai sifat yang diinginkan dari suatu produk.
b. Mempelajari ketentuan teknis dalam menghasilkan barang atau jasa.
Hal ini didasarkan data yang tersedia, aktivitas dan sasaran yang
digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa, dalam rangka
menentukan kualitas pemenuhan kebutuhan pelanggan.
c. Hubungan antara keinginan pelanggan dengan ketentuan teknis.
Hubungan ini dapat berpengaruh kuat, sedang atau lemah. Setiap
aspek dari konsumen diberi bobot, untuk membedakan pengaruhnya
d. Perbandingan kinerja pelayanan. Tahap ini membandingkan kinerja
perusahaan dengan pesaing. Nilai yang digunakan untuk kinerja
terbaik nilai 5 dan yang terburuk nilai 1.
e. Evaluasi pelanggan untuk membandingkan pendapat pelanggan
tentang kualitas produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan
produk pesaing. Nilai yang digunakan antara 1 sampai 5, kemudian
dibuat rasio antara target degan kualitas setiap kategori.
f. Trade off untuk memberikan penilaian pengaruh antar aktivitas atau
sarana yang satu dengan yang lainnya.
3. Keuntungan QFD
Keuntungan utama metode QFD menurut Gaspersz (2001) adalah
sebagai berikut :
a. Memperjelas area dimana tim pengembangan produk perlu untuk
memenuhi informasi dalam mendefenisikan produk atau jasa yang
akan memenuhi kebutuhan konsumen.
b. Mempunyai bentuk yang jelas dan teratur serta kemampuan untuk
penelusuran kembali kebutuhan konsumen dari seluruh data atau
informasi yang tim produk butuhkan untuk membuat keputusan yang
tepat dalam hal defenisi, disain, produksi dan penyediaan produk atau
jasa.
c. Menyediakan forum untuk analisis masalah yang timbul dari data
yang tersedia mengenai kepuasan konsumen dan kemampuan
kompetisi produk atau jasa.
d. Menyimpan perencanaan untuk produk sebagai hasil keputusan
bersama.
e. Dapat digunakan untuk mengkomunikasikan rencana terhadap produk
untuk mendukung manajemen dari pihak lainnya yang bertanggung
jawab terhadap implemantasi dari rencana tersebut.
4. Matrik House of Quality (QFD)
Matrik House of Quality (HOQ) atau rumah mutu/kualitas adalah
bentuk yang paling dikenal dari QFD. Matriks ini terdiri dari dua bagian
utama, yaitu bagian horizontal dari matriks berisi informasi yang
bagian vertikal dari matriks berisi informasi teknis sebagai respon bagi
input konsumen dan disebut technical table (Gaspersz, 2001).
Menurut Gaspersz (2001) dan Cohen (1995) bentuk umum dari
matriks ini terdiri dari enam komponen utama, yaitu :
a. Voice of customer (WHATs) – daftar persyaratan terstruktur yang
berasal dari pesyaratan kosumen.
b. Voice of Organization (HOWs) – daftar karakteristik produk terstruktur
yang relevan dengan persyaratan konsumen dan terukur.
c. Relationship Matrix – matrik ini menggambarkan persepsi tim QFD
mengenai keterkaitan antara technical dan customer requirement.
Skala yang cocok diterapkan dan digambarkan dengan menggunakan
simbol berikut :
= melambangkan hubungan kuat
= melambangkan hubungan sedang
= melambangkan hubungan lemah
d. Planning matrix (WHYs) menggambarkan persepsi konsumen yang
diamati dalam survei pasar, termasuk didalamnya kepentingan relatif
dari persyaratan konsumen, perusahaan, kinerja perusahaan dan
pesaing dalam memenuhi persyaratan tersebut.
e. Technical Corelation (ROOF) matrix digunakan untuk
mengidentifikasikan, dimana technical requirement saling mendukung
atau saling mengganggu satu dengan lainnya didalam disain produk.
Matrik ini dapat mengetengahkan kesempatan untuk inovasi.
f. Competitive Analysis (Technical Priorities, benchmarks and targets)
digunakan untuk mencatat prioritas yang ada pada matrik technical
requirement, mengukur kinerja teknik yang diperoleh oleh produk
pesaing dan tingkat kesulitan yang timbul dalam mengembangkan
requirement. Output akhir dari matrik ini adalah nilai target untuk
O CH2OH
CH2OH
CH2OH
OH OH OH OH OH H H H H H H O H H O
Unit Glukosa Unit Fruktosa
2.
Voice of Organization
(Design Requirements)
1.
Voice of Customer
(Customer Requirements
Prioritized in Descending Order of
Importance)
3.
Relationship Matrix
(Impact of Design Requirements on Customer Requirements) 6. Competitive Analysis (Benchmarking and Strategic Planning) 4. Design Targets
(Quality Matrix, Competitive Benchmarks, Target Values, Cost, etc)
5.
Corelation Matrix
Gambar 1. House of Quality ( Cox, 1992 dan Cohen, 1995)
C. Gula
Gula merupakan senyawaan yang termasuk dalam kelompok
karbohidrat (Jackson, 1995). Gula sering digunakan sebagai bahan
makanan, mempunyai rasa manis, larut dalam air dan mudah dicerna dalam
tubuh. Selain sebagai bahan makanan, gula juga dipergunakan sebagai
bahan pengawet makanan, bahan baku alkohol, pencampur obat-obatan dan
mentega.
Gula yang paling sering digunakan atau diperdagangkan adalah
sukrosa (saccharose) yang berbentuk kristal putih dan jernih. Struktur dari
sukrosa dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber gula yang digunakan biasanya berasal dari tanaman, salah
satunya adalah tebu (Saccharum officinarum). Menurut Santoso (1985) di
dalam batang tebu terdapat sukrosa sebanyak 8% – 15% dari berat tebu dan
menurut Pyke (1981) tanaman tebu di daerah tropis mengandung 14% – 17%
gula (sukrosa). Jumlah gula dalam batang tergantung pada varietas, umur
panen, iklim dan keadaan tanah.
Nira adalah cairan berbuih, keruh dan berwarna kecoklatan hasil
perahan dari stasiun gilingan yang kemudian diolah lebih lanjut untuk
memperoleh kristal gula. Nira yang diperoleh dari batang tebu umumnya
mempunyai pH 5 – 5,6 dan densitasnya 10o – 18o brix pada suhu 70o – 150oF
sehingga mudah terserang mikroorganisme. Nira terdiri dari campuran
komponen yang komplek. Komposisi nira tebu disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Nira
BAGIAN – BAGIAN NIRA PADATAN TERLARUT (%)
Gula
Glukosa Fruktosa Sukrosa
72.0 – 91.0
2.0 – 4.0
2.0 – 4.0
70.0 – 88.0
Garam
Anorganik Organik
3.0 – 4.5
1.5 – 4.5
1.0 – 3.0
Asam Organik Asam Karbonat Asam Amino
1.5 – 5.5
1.1 – 3.0
0.5 – 2.5
Organik selain Gula Protein Getah
Lilin, Lemak, Fosfat Pati
0.5 – 0.6
0.3 – 0.6
0.05 – 0.15
0.001 – 0.05
Lain-lain 3.0 – 5.0
Sumber : Meade-chen, Cane Sugar Handbook
1. Kriteria Kualitas Gula
Standarisasi kualitas gula bertujuan untuk melindungi konsumen
dari penggunaan makanan yang tidak sesuai standar sedangkan
manfaatnya bagi produsen adalah dapat membuat sasaran kualitas
produknya dengan jelas dan sesuai keinginan konsumen serta
meningkatkan daya saing gula nasional sehingga tuntutan konsumen
terhadap peningkatan kualitas dan pelayanan terpenuhi.
Kriteria kualitas gula antara satu negara dengan negara lain tidak
sama. Hal ini tergantung pada tuntutan konsumen setempat. Biasanya
semakin maju negara kriteria kualitas semakin ketat karena berhubungan
Pada awalnya kriteria kualitas gula yang berlaku di Indonesia
mengacu pada kriteria lama yang dikenal dengan SHS (Superieure Hoofd
Suiker) dan pada perkembangannya mengalami modifikasi. Kemudian
pada masa Bulog, ada 2 macam kualitas gula yaitu SHS I yang lebih putih
dengan nilai remisi di atas 60 dan SHS II yang kurang putih dengan nilai
remisi 58 – 60. Kemudian gula SHS I diklasifikasikan lagi menjadi SHS
IA, IB, IC dan standar.
Sejak adanya perubahan tata niaga gula tahun 1998 sebagai
dampak era perdagangan bebas maka penjualan gula tidak lagi melalui
Bulog tetapi langsung dipasarkan sendiri oleh petani atau pabrik. Hal ini
menyebabkan kriteria kualitas SHS tidak digunakan lagi dan di pasaran
beredar gula impor. Oleh karena itu atas dasar untuk melindungi
konsumen dan menjaga kualitas produk gula nasional maka pada tahun
2001 dibuat standar kualitas gula nasional yang lebih komprehensif yaitu
Standar Nasional Indonesia (SNI). Ada 3 macam SNI gula yaitu : 1) GKP
(Gula Kristal Putih); 2) Gula rafinasi dan 3) GKM (Gula Kristal Mentah).
Kriteria kualitas gula yang digunakan adalah SNI Gula Kristal Putih
(GKP). Gula Kristal Putih berdasarkan SNI 01-3140.3-2001 terbagi atas 3
grade atau kelas yaitu GKP 1, GKP 2 dan GKP 3. Spesifikasi
persyaratan kualitas Gula Kristal Putih berdasarkan SNI disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Syarat Kualitas Gula Kristal Putih (SNI 01-3140.3-2001)
PERSYARATAN
NO. KRITERIA UJI SATUAN
GKP 1 GKP 2 GKP 3
1. Warna
1. Warna kristal % Min 70 Min 65 Min. 60 2. Warna larutan (ICUMSA) IU Maks. 250 Maks. 350 Maks. 450 2. Besar jenis butir mm 0,80 – 1,20 0,80 – 1,20 0,80 – 1,20 3. Susut pengeringan % b/b Maks. 0,10 Maks. 0,15 Maks. 0,20 4. Polarisasi (oZ, 20oC) “Z” Min 99,60 Min 99,50 Min. 99,40 5. Gula pereduksi % b/b Maks. 0,10 Maks. 0,15 Maks. 0,20 6. Abu konduktiviti % b/b Maks. 0,10 Maks. 0,15 Maks. 0,20 7. Bahan asing tidak larut derajat Maks. 5 Maks. 5 Maks. 5 8. Bahan tambahan makanan :
• Belerang dioksida (SO2) mg/kg Maks. 30 Maks. 30 Maks. 30
9. Cemaran Logam :
1. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,00 Maks. 2,00 Maks. 2,00 2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 2,00 Maks. 2,00 Maks. 2,00 3. Arsen (As) mg/kg Maks. 1,00 Maks. 1,00 Maks. 1,00
2. Proses Pengolahan Gula
Proses pengolahan gula kristal dari tanaman tebu bertujuan untuk
mendapatkan kadar sukrosa yang tinggi dengan mutu yang baik sehingga
diperoleh gula kristal yang mempunyai nilai komersial yang tinggi dengan
biaya yang rendah.
Tahapan-tahapan pembuatan gula dari tebu sampai menjadi gula
kristal yang siap dipasarkan sebagai berikut : ekstraksi nira (gilingan),
membuang atau menghilangkan zat bukan gula dari nira yang disebut
pemurnian (purifikasi), penguapan (evaporasi), kristalisasi (masakan),
pemisahan kristal dan molase (putaran), pengeringan dan sortasi.
Diagram alir proses produksi gula kristal putih disajikan pada Lampiran 2.
Bagian dari pabrik gula yang bertugas mengubah nira tebu menjadi
gula kristal adalah bagian pabrikasi. Bagian pabrikasi ini terbagi atas lima
stasiun yaitu:
a. Stasiun Gilingan
Stasiun gilingan adalah unit yang berfungsi mengekstrak nira dari
tebu, memisahkan ampas dari nira agar diperoleh nira mentah
sebanyak-banyaknya sehingga diperoleh kandungan gula yang
maksimal dengan menekan kehilangan gula yang terbawa bersama
ampas. Untuk menyempurnakan ekstraksi nira diperlukan
penambahan air imbibisi pada ampas (bagasse) sebelum rol gilingan
terakhir sehingga sukrosa yang terkandung dalam ampas kurang dari
2% dan nira yang terekstraksi dari tebu mencapai 96 – 98% gula.
Air yang ditambahkan sebagai air imbibisi umumnya sebanyak 15 –
30% dari berat tebu. Air imbibisi adalah air panas yang berasal dari
air jatuhan kondensor dengan suhu 60 – 70OC. Bagan alir proses
stasiun gilingan disajikan pada Lampiran 3.
b. Stasiun Pemurnian
Nira yang diperoleh dari hasil pengilingan berupa cairan yang
berwarna coklat kehijauan, merupakan suatu larutan yang
mengandung gula dan air sebagai komponen utamanya, disamping
juga mengandung zat lain penyusun tebu (kotoran). Tujuan dari
pemurnian adalah untuk menghilangkan kotoran yang terkandung
kerusakan sekecil-kecilnya. Bagan alir proses pada stasiun
pemurnian disajikan pada Lampiran 4.
Tahap-tahap perlakuan terhadap nira kotor dalam pemurnian nira
adalah:
1) Penyaringan
Penyaringan bertujuan untuk memisahkan partikel-partikel padat
dari nira. Untuk menyaring nira dari penggilingan digunakan
saringan datar (flat screen). Jumlah kotoran yang tersaring
tergantung hasil penggilingan dan jenis tebu yang umumnya
berkisar antara 1 – 10 mg/liter nira. Kotoran sebagai hasil
pengendapan dengan bahan kimia disaring dengan filter press.
Bahan yang disaring ialah serat halus, tanah liat, pasir yang
tersuspensi dan bahan bukan gula yang mengandung nitrogen.
2) Pemanasan
Pemanasan nira bertujuan untuk menggumpalkan zat-zat bukan
gula sehingga dapat dibuang dari nira dengan cara penyaringan
atau sentrifuse. Suhu pemanasan berkisar 75 – 100OC selama
beberapa menit. Bila terlalu lama akan terjadi hidrolisa sukrosa
menjadi gula invert sehingga kadar sukrosa menurun. Bahan
bukan gula yang menggumpal akibat pemanasan terdiri dari
bahan nitrogen bukan gula, sedikit Iipida, sesquioksida dan asam
silika.
3) Klarifikasi atau penambahan zat kimia
Tujuannya untuk memurnikan nira, mencegah terjadi inversi,
menghilangkan koloid dan bukan gula serta menghasilkan nira
jernih. Untuk mendapatkan sukrosa yang murni pada prinsipnya
dikenal tiga cara yang digunakan yaitu:
a) Cara Defekasi
Menurut Lyle (1957), Jenkins (1966), Rosidah (1995) dan
Soejardi (2006) pemurnian dilakukan dengan menambahkan
kapur tohor yang diperoleh dengan cara mencampurkan
kapur tohor dengan air panas sehingga terbentuk susu
kapur. CaO + H2O Ca (OH)2 ...(1)
Penambahan susu kapur yang bersifat basa sebanyak 5 – 10
7.3 – 7.8 sehingga semua zat bukan gula yang bersifat asam
yang terdapat dalam nira akan dinetralkan dan membentuk
garam.
Cara pemberian kapur pada proses defekasi terdiri dari :
¾ Cold Liming
Nira mentah disaring kemudian dimasukkan ke tangki
pengapuran dan ditambah susu kapur 15O Be sampai
mencapai pH 7.2 – 8.6 selanjutnya dipanaskan sampai
suhu 100 – 102OC dalam tangki pemanas dan
diendapkan dalam tangki pengendap (1 – 1.5 jam)
¾ Hot Liming
Nira mentah disaring kemudian dimasukkan ke juice
heater dan dipanaskan hingga mencapai suhu 100 –
200OC selanjutnya dimasukkan ke tangki pengapuran
dan ditambah susu kapur 15O Be sampai mencapai pH
7.2 – 8.6. Jumlah kapur yang digunakan pada hot liming
lebih sedikit jika dibandingkan pada cold liming tetapi
jumlah endapan yang dihasilkan akan lebih banyak.
¾ Fraktional Liming
Nira mentah ditambah susu kapur sampai mencapai
pH 6 – 6.4 untuk mencegah terjadi inversi, kemudian
dipanaskan hingga mencapai suhu 100 – 200OC dan
ditambah susu kapur hingga mencapai pH 7.6 – 7.8 dan
akhirnya diendapkan.
¾ Fraktional Liming dan Double Heating
Nira mentah ditambah susu kapur mencapai pH 6 – 6.4
kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 93OC dan
ditambah susu kapur hingga mencapai pH 7.6 – 7.8.
Kemudian dipanaskan lagi hingga mencapai suhu 100 –
102OC dan akhirnya diendapkan.
¾ Heat Lime Heat Methods
Nira mentah dipanaskan sampai mendidih kemudian
ditambah susu kapur, selanjutnya diendapkan dan
b) Cara Sulfitasi
Pada proses ini dilakukan penambahan susu kapur dalam
jumlah yang besar sekaligus gas SO2 ke dalam nira sehingga
membentuk endapan yang tidak larut. Penambahan gas SO2
dilakukan untuk menetralkan pH akibat kelebihan susu kapur.
Gula yang dihasilkan adalah gula yang putih. Reaksi kimia
yang terjadi secara umum sebagai berikut :
SO2 + H2O (dalam nira) H2SO3 ...(2)
H2SO3 H+ + HSO3-...(3)
Ca2+ + 2HSO3- Ca(HSO3)2...(4)
Ca(HSO3)2 adalah Ca Sulfit primer, pH 4.5
HSO3- H+ + SO3-...(5)
Ca2+ + SO3- CaSO3 ...(6)
CaSO3 adalah Ca Sulfit sekunder, pH 7.2
Suhu terbaik untuk proses sulfitasi adalah 65 – 85OC, karena
jika lebih dari 90OC kelarutan CaSO3 meningkat sehingga pH
akan mengalami penurunan dan apabila mencapai kondisi
asam maka gula akan berubah menjadi gula invert.
Jenis-jenis proses sulfitasi :
¾ Sulfitasi dengan sistem alkalis/basa
• Penambahan susu kapur dan gas SO2 diberikan bersamaan.
• Pada waktu akhir diperbanyak susu kapur sampai pH 9.5 –10.
• Pemberian gas SO2 diteruskan sampai reaksi akhir mempunyai pH 7.4.
¾ Sulfitasi dengan sistem netral
Pada waktu akhir, pemberian susu kapur hingga
mencapai pH 8.5.
¾ Sulfitasi dengan sistem asam
• Nira mentah ditambah SO2 sampai mencapai pH 4 kemudian ditambah susu kapur, sedangkan SO2 tetap
mengalir.
c) Cara Karbonatasi
Menurut Lyle (1957), Pancoast dan Junk (1980) proses ini
dilakukan dengan pemberian susu kapur dan gas CO2.
Pemberian CO2 atau asam H2CO3 digunakan untuk
menetralkan susu kapur yang berlebih dan gula yang
dihasilkan ialah gula putih. Secara umum proses kimia yang
terjadi yaitu :
CO2 + H2O (dalam nira) H2CO3 ...(7)
H2CO3 H+ + HCO3-...(8)
Ca2+ + 2HCO3- Ca(HCO3)2 ...(9)
HCO3- H+ + CO3- ...(10)
Ca2+ + CO3 CaCO3 ...(11)
Dalam proses karbonatasi ini penyaringan bisa langsung
dilakukan tanpa diendapkan terlebih dahulu. Proses-proses
karbonatasi :
¾ Single Carbonatasi
Nira pada tangki karbonatasi ditambah susu kapur dan
gas CO2 sampai terbentuk endapan kemudian
diendapkan dan disaring (pada suhu 55OC, berhenti pada
pH 8.3 – 8.6).
¾ Double Carbonatasi
Nira mengalami 2 kali pemberian CO2 sehingga
diperlukan 2 kali penyaringan. Nira dipanaskan sampai
dengan suhu 50 – 55OC dan ditambah susu kapur 100 –
120 ltr/1000 nira kemudian ditambah CO2 sehingga reaksi
dalam tangki karbonatasi berjalan pada pH 9.5 tetapi
akhir reaksi dihentikan pada pH 10.5. Nira yang masih
kotor disaring sehingga menghasilkan filtrat I dan blotong
I. Blotong I dibuang dan filtrat I dimasukkan ke bak
karbonatasi II. Tujuan utama karbonatasi II adalah
mengendap sisa kapur yang masih dapat diendapkan
(CaCO3) dengan cara mengalirkan gas CO2.
Penambahan gas CO2 dilakukan sampai pH 8.2 – 8.7,
nira dipompakan melalui alat pemanas dengan suhu
kedua yang menghasilkan filtrat II dan blotong II. Untuk
mencegah kerusakan filtrat II maka pHnya diturunkan
sampai netral atau kurang lebih 6.8 dengan mengalirkan
gas SO2. Karbonatasi dilakukan pada suhu 55OC agar
penghilangan bukan gula optimum, kerusakan gula yang
rendah, senyawa komplek dari
sukrosa-kalsium-karbonat-CaO tidak terbentuk serta dapat mengurangi
terbentuknya busa.
¾ Middle Carbonatasi
Dilakukan pada nira setengah kental. Nira mentah (brix
15) dipanaskan sampai suhu 100 – 102OC dan kemudian
ditambah susu kapur sampai pH 7.0 – 7.2. Nira
dikentalkan ke evaporator sampai brix 30 – 40 dan suhu
akhir 55OC. Setelah itu dimasukkan ke tangki karbonatasi
I dan ditambahkan susu kapur dan gas CO2 sampai pH
9.8 – 10.3. Nira lalu disaring dan nira jernih dimasukkan
ke karbonatasi II untuk menghilangkan sisa CaO yang
dirubah menjadi CaCO3 sampai pH 8.2 – 8.5. Nira
dipanaskan sampai suhu 75 – 80OC kemudian disaring.
Dari ketiga cara diatas masing-masing mempunyai keuntungan dan
kerugian, yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Keuntungan dan kerugian dari 3 Metode Pemurnian
PROSES KEUNTUNGAN KERUGIAN
Defekasi • Biaya produksi murah
• Kehilangan gula akibat reaksi kimia kecil (1,3%pol)
• Korosi peralatan praktis nol • Proses pabrikasi cepat dan mudah
• Hasil gula kurang putih (berwarna kekuningan)
• Pemasaran terbatas
Sulfitasi • Biaya produksi masih lebih murah dibandingkan karbonatasi
• Gula kristal yang dihasilkan termasuk SHS I berwarna putih • Penanganan proses lebih
sederhana dibandingkan karbonatasi
• Banyak membuang bahan bukan gula (anorganik dan koloid)
• Korosi peralatan
banyak ditemui
• Kehilangan gula akibat reaksi kimia lebih besar dari defekasi (1,5% pol) nira mentah • SO2 dalam gula cukup
tinggi, tidak disukai untuk industri gula Karbonatasi • Gula kristal yang dihasilkan SHS I
mutu tinggi
• Korosi peralatan praktis tidak ada • Kehilangan gula akibat reaksi
kimia rendah (1,4% pol) NM • Kemurnian gula tinggi sehingga
cocok untuk industri
• Biaya produksi tinggi (peralatan)
• Pelaksanaan proses ekstra teliti
[image:34.595.169.510.506.758.2]c. Stasiun Penguapan
Proses penguapan bertujuan untuk : (1) mengubah nira jernih
menjadi nira kental atau menguapkan air yang terkandung didalam
nira sehingga tercapai konsentrasi mendekati jenuh atau hingga
mencapai batas kekentalan 30 - 32°Be dan Brix 60 – 64 sebelum
diproses di dalam vacuum pan untuk dikristalkan; (2) memudahkan
proses pengkristalan pada stasiun kristalisasi. Bagan alir proses
pada stasiun penguapan disajikan pada Lampiran 5.
Untuk menguapkan air yang masih terdapat dalam nira encer tersebut
maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:
a. Kecepatan penguapan tinggi (waktunya pendek).
b. Tidak terjadi kerusakan gula (karamelisasi).
c. Tidak akan menimbulkan kerusakan baru dalam pengerjaan
selanjutnya.
Menurut Baikow (1982) proses penguapan dilakukan dalam satu
rangkaian beberapa evaporator dan disebut “penguapan bertahap”.
Nira jernih diproses dari evaporator satu ke evaporator berikutnya
karena peningkatan bertahap pada vacuum evaporator. Evaporator
terakhir dari penguapan bertahap tersebut memiliki vacuum maximum
yaitu 0.86 – 0.93 kgcm-2. Uap pemanas dihasilkan di dalam setiap
evaporator untuk memanaskan nira dan untuk menguapkan air di
dalam evaporator berikutnya. Penguapan bertahap yang terdiri dari 3
evaporator disebut triple effect, empat evaporator disebut quadruple
effect dan lima badan evaporator disebut quintupleeffect.
Proses-proses yang terjadi dalam quadruple effect sebagai berikut :
¾ NonVacuum
• Proses di Evaporator I
Nira encer yang telah dipanaskan hingga suhu 105OC pada
tahap sebelumnya, dimasukkan ke dalam evaporator I untuk
menguapkan sebagian besar kandungan airnya. Proses
penguapan di evaporator I akan menghasilkan uap nira I (UNI
I) dan nira I. Uap pemanas dengan temperatur 120OC yang
semula masuk dalam bentuk uap (steam) akan keluar dalam
bentuk cairan berupa kondensat dengan suhu yang sama.
lagi sebagai air umpan boiler. Nira yang dihasilkan dari
evaporator I memiliki brix = 15 dan belum cukup kental
sehingga harus diuapkan kembali pada evaporator II
sedangkan uap nira I yang dihasilkan digunakan sebagai uap
pemanas pada evaporator II.
• Proses di Evaporator II
Nira dari evaporator I mengalir ke evaporator II karena
adanya perbedaan tekanan. Pada evaporator II ini dihasilkan
uap nira II (UNI II) dan nira II. Nira II memiliki brix 21 dan
masih perlu dipekatkan lagi di evaporator III sedangkan UNI II
akan digunakan sebagai uap pemanas pada proses
penguapan di evaporator III.
¾ Vacuum
• Proses di Evaporator III
Nira II dengan brix 21 dipekatkan lagi di evaporator III dan
uap pemanas yang digunakan adalah UNI II hingga
mencapai nilai brix 35. Dari evaporator III akan dihasilkan
nira III dan uap nira III (UNI III). Nira ini akan dipekatkan
kembali pada badan penguap IV.
Evaporator III memakai tekanan vacuum sehingga
kondensatnya tidak dapat digunakan sebagai air umpan
boiler karena mengandung zat gula. Air umpan boiler tidak
boleh mengandung zat gula karena dapat mengakibatkan
kerak pada pipa-pipa boiler dan hal ini akan sangat
berbahaya.
• Proses di Evaporator IV
Nira III (brix 35) dipekatkan lagi di evaporator IV. Penguapan
dilakukan dengan proses vacuum dengan tujuan diperoleh
nira kental dengan kandungan air sekecil mungkin. Uap
pemanas yang digunakan adalah UNI III. Dari evaporator IV
akan dihasilkan nira dengan brix 60 dan suhu 61.5OC. UNI IV
akan diembunkan menggunakan kondensor sehingga akan
keluar sebagai air jatuhan. Nira kental yang keluar dari
evaporator IV akan dialirkan ke sulfitor II untuk mengalami
d. Stasiun Masakan (Kristalisasi)
Menurut Hugot (1986) proses kristalisasi merupakan proses untuk
mendapatkan bahan murni dalam bentuk padat (kristal) yang sesuai
dengan ukuran yang diinginkan (0.9 – 1 mm), teratur dan tingkat
kejenuhan yang merata.
Menurut Soejardi (2006) kandungan air di dalam nira kental sengaja
diatur mendekati jenuh agar proses kristalisasi dapat diatur saat mulai
terbentuknya kristal. Terbentuknya kristal terjadi pada kondisi di atas
jenuh (1.20). Tingkat kejenuhan gula tergantung pada :
• Suhu.
Semakin tinggi suhu larutan maka semakin tinggi tingkat
kejenuhannya sehingga semakin banyak gula yang dapat
dilarutkan.
• Kandungan bahan bukan gula.
Bahan bukan gula dapat menurunkan tingkat kejenuhan larutan
gula maka makin banyak bahan ini akan memperendah tingkat
kejenuhan gula dibandingkan larutan murni.
Ukuran atau tingkat kejenuhan biasanya dinyatakan dengan Koefisien
Kejenuhan (KK), yang dihitung dengan rumus :
Tingkat kejenuhan larutan berdasarkan nilai KK terbagi atas :
C t suhu R kemurnian dengan jenuh laru air Sukrosa C t suhu R kemurnian dengan laru air Sukrosa KK o o , tan % , tan % =
• Larutan dengan KK < 1.00 menunjukkan bahwa larutan encer (belum jenuh). Pada daerah ini masih dapat melarutkan
kristal-kristal gula.
• Larutan dengan KK = 1.00 menunjukkan bahwa larutan tepat jenuh. Pada daerah ini terjadi keseimbangan antara jumlah
sukrosa yang mengkristal dengan jumlah sukrosa yang larut
sehingga tidak akan terjadi pelarutan kristal sukrosa.
• Larutan dengan KK > 1.00 menunjukkan bahwa larutan tersebut di atas jenuh. Daerah ini meliputi :
¾ Daerah metastabil, merupakan daerah lewat jenuh yang paling dekat dengan daerah tetap jenuh. Pada daerah ini
molekul-molekul sukrosa hanya dapat menempelkan diri
besar tetapi tidak mampu membentuk kristal baru.
¾ Daerah intermediate (pertengahan), merupakan daerah dimana molekul sukrosa dapat membentuk inti kristal baru
apabila dalam larutan telah terdapat inti kristal.
¾ Daerah labil/goyah, merupakan daerah dimana molekul sukrosa dapat membentuk inti kristal sendiri tanpa adanya
penambahan inti kristal.
Cara kerja stasiun masakan hampir sama dengan stasiun penguapan
yaitu menggunakan sistem vacuum agar mempercepat pencapaian
suhu yang diinginkan (tidak terlalu tinggi) tetapi mampu untuk
menguapkan sisa air dalam nira kental hingga mencapai tingkat
kejenuhan tertentu. Jika digunakan suhu terlalu tinggi maka akan
menyebabkan nira kental menjadi rusak (karamelisasi). Bagan alir
proses pada stasiun masakan atau kristalisasi disajikan pada
Lampiran 6. Proses pengkristalan dilakukan dengan tahap-tahap
sebagai berikut:
• Menarik Hampa
Awal proses kristalisasi dimulai dengan membuat kondisi hampa
pada pan masakan dengan cara menutup semua katup yang
berhubungan dengan udara luar kemudian dibuka katup
pancingan yang menghubungkan pan masakan dengan pompa
vacuum sehingga pan masakan menjadi hampa. Jika kondisi
hampa tercapai (60 cmHg) maka katup induk yang
menghubungkan pan masakan dengan pompa vacuum dibuka
penuh diikuti dengan dibukanya katup uap pemanas untuk
pemanasan tangki.
• Menarik Larutan
Larutan sukrosa yang akan digunakan sebagai bahan dasar
pembuat kristal disimpan dalam peti-peti larutan yaitu peti nira
kental, peti stroop, peti klare. Larutan dalam peti dipanasi
kemudian diencerkan. Pemanasan bertujuan agar larutan
memiliki suhu yang sama dengan pan masakan dan pengenceran
bertujuan untuk menurunkan kejenuhan larutan sehingga
kristal-kristal palsu yang terbentuk dapat berubah. Penarikan larutan
tertentu. Kejenuhan larutan yang ditarik untuk digunakan sebagai
inti kristal berkisar pada daerah metastabil.
• Membuat Inti Kristal
Beberapa cara untuk membuat inti kristal antara lain :
¾ Pembibitan cara spontan yaitu dengan cara memekatkan larutan gula hingga sampai pada daerah stabil sehingga
terbentuk inti-inti kristal secara serentak.
¾ Pembibitan kejutan yaitu dengan cara membawa larutan ke
daerah pertengahan kemudian inti kristal dimasukkan
sehingga dalam larutan akan terbentuk kristal.
¾ Pembibitan dengan inti penuh yaitu dengan memekatkan larutan gula sampai ke daerah metastabil kemudian bubuk
gula yang berupa fondan atau gula D2 dimasukkan, kristal
palsu dibersihkan dan selanjutnya diuapkan pada daerah
metastabil
• Membesarkan Kristal
Jika daerah yang digunakan pada pembuatan inti kristal adalah
daerah metastabil maka inti kristal dapat dibesarkan dengan
menempelkan molekul-molekul sukrosa yang terdapat dalam
larutan. Usaha ini dilakukan dengan tetap menjaga kejenuhan
larutan dalam daerah pembesaran kristal. Hal ini biasanya
dilakukan dengan menggantikan sukrosa yang telah mengkristal
dengan yang baru (menambahkan larutan baru). Penarikan
larutan untuk pembesaran kristal akan dihentikan jika besarnya
kristal sudah mencapai standar. Hal penting dilakukan adalah
mengawasi terjadinya kenaikan kejenuhan karena penguapan.
• Memasak Tua
Memasak tua adalah melanjutkan penguapan dalam pan tanpa
menambah larutan baru. Pada langkah ini diusahakan agar
kepekatan seoptimum mungkin dan air yang tertinggal sedikit
serta sukrosa yang terlarut rendah.
• Menurunkan Masakan dan Pendinginan
Masakan yang telah tua memiliki diameter 0.9 – 1.1 mm akan
diturunkan ke palung pendingin yang terdapat di bawah pan
e. Stasiun Putaran
Tujuan dari stasiun putaran untuk memisahkan kristal gula dari
molasse melalui gaya sentrifugal. Bagan alir proses pada stasiun
putaran disajikan pada Lampiran 6.
f. Stasiun Penyelesaian.
Bagan alir proses pada stasiun penyelesaian disajikan pada Lampiran
7. Stasiun penyelesaian merupakan tahapan akhir untuk
mendapatkan kristal gula, yang terdiri dari :
1) Tahap Pengeringan
Gula yang keluar dari stasiun putaran masih agak basah, lengket
dan menggumpal dengan suhu sekitar 70oC dan kadar air antara
0,5 - 1,5 %. Untuk menguapkan air yang masih terikut dalam
kristal gula dilakukan pemanasan dengan menggunakan udara
panas bersuhu 80 – 100oCdan tekanan 3 kg/cm2. Kemudian gula
didinginkan kembali dengan udara dingin hingga suhu gula yang
dihasilkan sekitar 37 – 40oCdankandungan air maksimal 0,1 %.
2) Tahap Penyaringan
KristaI gula hasil pengeringan tidak mempunyai ukuran yang
seragam sehingga diperlukan penyaringan. Penyaringan ini
bertujuan untuk memisahkan gula produk dari gula kasar dan gula
halus. Saringan gula yang digunakan yaitu Vibrating Screen
(saringan getar) yang terdiri dari tiga tingkat susunan saringan.
Gula yang tidak lolos dari saringan pertama merupakan kristal
kasar yang melampaui ukuran kristal standar sedangkan yang
lolos dari saringan pertama akan tersaring pada saringan kedua
merupakan gula kualitas utama (gula produk). Gula yang lolos
dari saringan kedua dan saringan ketiga adalah gula halus,
dicampur dengan gula kasar lalu dilebur untuk dijadikan bahan
masakan.
3) Tahap Pengemasan
Gula produk yang dihasilkan dikemas dalam karung yang dilapisi
dengan plastic (inner bag) dengan berat @ 50 kg. Setelah
4) Tahap Penyimpanan.
Produk gula yang telah dikemas sebelum dipasarkan, disimpan
daIam gudang produk. Sebagai tempat penyimpanan gula,
gudang harus memenuhi syarat antara lain ventilasi cukup, atap
tidak bocor, lantai kering dan bebas hama. Kondisi penyimpanan
dengan kelembaban udara yang tinggi dapat menjadi media yang
baik bagi pertumbuhan mikroorganisme.
D. Jaringan Syaraf Tiruan
1. Perkembangan Jaringan Syaraf
Semakin berkembangnya teknologi komputer menyebabkan
pemanfaatan teknologi jaringan syaraf untuk mempermudah manusia
dalam memecahkan masalah tertentu semakin banyak diterapkan. Tetapi
banyak masalah yang kelihatan mudah bagi manusia cukup sulit
dilakukan oleh komputer, misalnya dalam pengenalan suatu tanda
tangan yang telah dikenal sebelumnya. Kemudahan yang dirasakan oleh
manusia tersebut disebabkan otak manusia memproses informasi yang
didapat dengan menggunakan elemen-elemen yang saling terkoneksi
dalam suatu jaringan yang disebut neuron. Sebaliknya jika
masalah-masalah tersebut dipecahkan komputer, maka menimbulkan berbagai
kesulitan (Marimin, 2002).
Didasarkan pada kemudahan otak manusia melakukan hal-hal
tersebut, para ahli merancang suatu jaringan yang memiliki konsep
menyerupai jaringan otak manusia dengan neuron-neuron dan
hubungan-hubungannya. Jaringan tersebut dapat dilatih sehingga dapat berpikir
dan mengambil keputusan seperti yang dilakukan oleh otak manusia.
Jaringan tersebut disebut jaringan syaraf tiruan (JST).
2. Jaringan Syaraf Biologi
Menurut Fausett (1994), Setiawan (2003) dan Siang (2005) jaringan
syaraf manusia terdiri atas sel-sel yang disebut neuron. Ada tiga
komponen utama neuron yang fungsinya dapat dianalogikan dengan
yang terjadi pada jaringan syaraf tiruan yaitu dendrit, soma dan akson.
Dendrit akan menerima sinyal-sinyal dari neuron lain. Sinyal tersebut
proses kimia. Sinyal tersebut dimodifikasi (diperkuat atau diperlemah) di
synaptic gap. Kemudian soma atau badan sel akan menjumlahkan
sinyal-sinyal input yang masuk. Jika ada input yang masuk maka sel
akan aktif dan mengirimkan sinyal ke sel lain melalui akson dan synaptic
gap. Untuk lebih jelasnya, susunan neuron biologis ini dapat dilihat pada
Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Susunan Neuron Biologis
Menurut Medsker dan Liebowitz dalam Septiani (2005) perbedaan
terminologis antara jaringan syaraf biologis dan tiruan disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Perbedaan Jaringan Syaraf Biologis dengan JST
JARINGAN SYARAF BIOLOGIS JARINGAN SYARAF TIRUAN
Soma Node atau neuron
Dendrit Input
Axon Output
Synapse Weight ataubobot
Kecepatan rendah Kecepatan tinggi
Neuron banyak (109) Neuron beberapa (± 100) Sumber : Septiani (2005)
3. Struktur Dasar Jaringan Syaraf Tiruan
Menurut Marimin (2002), Setiawan (2003), Setiyawan (2003) dan
Hermawan (2006) JST merupaka