• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

MODIFIKASI ASAM AMPAS SAGU DAN PENGARUHNYA

TERHADAP SIFAT FISIK MEKANIK BIOFOAM

AHMAD TAUFIQURRAHMAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Ahmad Taufiqurrahman

(4)

ABSTRAK

AHMAD TAUFIQURRAHMAN. Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam. Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI.

Styrofoam merupakan bahan baku kemasan yang banyak digunakan, padahal bahan baku kemasan tersebut berasal dari sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Bahan polimer alami seperti pati dan serat dapat digunakan sebagai bahan baku kemasan alternatif biofoam. Ampas sagu mengandung pati dan serat dalam jumlah yang besar, namun secara alami pati dan serat memiliki kelemahan karena bersifat hidrofobik, karena itu perlu dimodifikasi untuk meningkatkan hidrofobisitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh modifikasi asam terhadap karakteristik ampas sagu yang dihasilkan, dan karakteristik fisik mekanik biofoam yang dihasilkan. Modifikasi asam dilakukan dengan perendaman ampas sagu dalam larutan HCl 0.144% dalam methanol selama 0, 60, 120, 180 dan 240 jam. Biofoam dihasilkan dengan metode thermopressing dengan mencampurkan ampas sagu dengan pati sagu, polimer sintetik PVA, dan aditif lainnya. Hasil memperlihatkan bahwa semakin lama perendaman terbukti menyebabkan kerusakan pada pati. Dibandingkan ampas sagu alami, perendaman juga menyebabkan penurunan kristalinitas, bahkan pola kristalinitasnya berubah setelah perendaman 60 jam. Hal ini mempengaruhi karakteristik biofoam yang dihasilkan. Pencucian tanpa perendaman (perlakuan 0 jam) menghasilkan biofoam

dengan karakteristik fisik mekanik yang lebih dibandingkan ampas sagu alami, berupa penurunan daya serap air (57.13%), peningkatkan kuat tarik (19.14 MPa), kuat lentur (358.21 MPa) dan kuat patah (7.25 MPa). Jika dibandingkan dengan

styrofoam, maka biofoam yang dihasilkan ampas sagu termodifikasi memiliki keunggulan dalam kuat patah (1.61-7.25 MPa) dan kuat lenturnya (104.62-358.21 MPa).

Kata kunci: ampas sagu, metanol asam, modifikasi asam.

ABSTRACT

AHMAD TAUFIQURRAHMAN. Acid modified of sago hampas and its effect to the physical mechanic properties of biofoam. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI.

(5)

is conducted by soaking the sago hampas in 0.144% of HCl solution in methanol for 0, 60, 120, 180 and 240 hours. Biofoam was produced from the mixture of sago hampas, sago starch, synthetic polymer (polyvinyl alcohol), and additives; and then molded by thermopressing method. The results showed that the longer soaking time proved to cause the damage of the starch. Compared to native sago hampas, acid soaking also caused a decreasing in crystallinity, even crystallinity pattern changed after 60 hours of soaking time. This affected to the characteristics of the biofoam produced. Washing the sago hampas without soaking (treatment 0 hours) resulted biofoam with better physical mechanical characteristics compared to native sago hampas, as decreasing in water absorption (57.13%); increasing the tensile strength (19.14 MPa), modulus of elasticity (358.21 MPa) and modulus of rupture (7.25 MPa). Compared to styrofoam, the biofoam which produced from modified sago hampas has better mechanical properties in modulus of rupture (1.61-7.25 MPa) and modulus of elasticity (104.62-358.21 MPa).

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

MODIFIKASI ASAM AMPAS SAGU DAN PENGARUHNYA

TERHADAP SIFAT FISIK MEKANIK BIOFOAM

AHMAD TAUFIQURRAHMAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam

Nama : Ahmad Taufiqurrahman NIM : F34090094

Disetujui oleh

Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul “Modifikasi Asam Ampas Sagu dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Mekanik Biofoam

dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi selaku dosen pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Ayahanda Akhmad Jazuli, Ibunda Iis Aisyah, adik-adik beserta keluarga besar atas doa dan dukungannya.

3. Laboran TIN atas kesediaannya membantu penulis selama penelitian. 4. Keluarga besar TIN 46 atas kebersamaannya serta semua pihak yang telah

memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian sampai penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

5. Kepada Rojali, Jadda, Castro penulis mengucapkan banyak terimakasih atas semangat dan inspirasinya selama penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang teknologi pertanian.

Bogor, Februari 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Bahan 2

Alat 2

Metode Penelitian 2

Proses Produksi Biofoam 3

Prosedur Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Karakteristik Ampas Sagu 5

Modifikasi Asam Ampas Sagu 6

Karakteristik Ampas Sagu Termodifikasi 8

Produksi Biofoam 11

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 13

(12)

DAFTAR TABEL

1 Formulasi biofoam dalam 69.5 g bahan kering 3

2 Komposisi ampas sagu (basis kering) 6

3 Karakteristik ampas sagu hasil hidrolisis asam 8 4 Pengaruh modifikasi asam terhadap derajat kristalinitas ampas sagu 10

5 Karakteristik fisik dan mekanik biofoam 12

6 Karakteristik sifat fisik dan mekanis biofoam dan styrofoam 13

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir proses modifikasi asam 4

2 Diagram alir proses pembuatan biofoam 5

3 Pengaruh lama perendaman terhadap rendemen ampas sagu termodifikasi dan total gula yang terlarut dalam cairan 7 4 Bentuk granula pati (Δ) dan serat (□) ampas sagu hasil pengujian

SEM untuk (a) ampas sagu alami; ampas sagu hasil hidrolisis asam (b) 0 jam; (c) 60 jam; (d) 120 jam; (e) 180 jam; dan (f) 240 jam. 9 5 Profil kristal ampas sagu hasil (Lai et al. 2013) 11 6 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD hasil hidrolisis asam 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur analisis karakterisasi bahan baku 17

2 Prosedur analisa karakterisasi ampas sagu termodifikasi 20

3 Prosedur analisa karakterisasi biofoam 22

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dewasa ini styrofoam berbahan baku minyak bumi sudah menjadi hal yang lumrah. Padahal bahan baku dari kemasan tersebut termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbarui yang saat ini produksinya pun terbatas. Di Indonesia saja menurut Ditjen Migas (2012) cadangan minyak mentah hanya 3.6 milyar barrel dengan tingkat produksi 314,666 ribu barrel per hari diperkirakan akan habis dalam kurun waktu tiga belas tahun. Styrofoam yang dikenal dengan nama dagang polistirena diketahui menyimpan bahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia. Bahan utama styrofoam yakni polistirena apabila terpapar dapat menyebabkan gangguan syaraf dan penurunan kadar hemoglobin (Dowly et al. 1976). Disisi lain, penggunaan styrofoam sebenarnya kurang tepat untuk mengemas makanan karena dapat terjadi migrasi bahan kimia (Lickly et al. 1995). Masalah lain yang ditimbulkan dari styforoam ini yaitu limbah hasil penggunaan

styrofoam yang berdampak buruk terhadap lingkungan karena sulit terurai di alam sehingga dapat menyebabkan penumpukan yang memperparah kondisi alam.

Betapa besarnya dampak buruk dari penggunaan styrofoam, oleh karena itu harus ada upaya untuk mencari kemasan alternatif pengganti styrofoam. Bahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biopolimer yang berasal dari limbah pertanian seperti pati dan selulosa yang memilki keistimewaan yaitu dapat diperbaharui, tersedia melimpah, dan harganya murah (Davis et al. 2006). Salah satu sumber bahan yang potensial adalah ampas sagu yang merupakan limbah dari pengolahan pati sagu. Ampas sagu dipilih karena komposisinya yang terdiri dari 58% pati, 23% selulosa, 9.2% hemiselulosa, dan 3.9% lignin (Linggang et al. 2012). Kandungan pati pada ampas sagu berpengaruh pada pencetakan biofoam baik pada proses gelatinisasi maupun proses ekspansinya. Sedangkan serat berfungsi sebagai penguat (reinforcement) yang berpengaruh besar pada sifat mekanik biofoam (Lawton et al. 2004).

Pada umumnya pemilihan bahan baku untuk pembuatan biofoam

menimbang dari segi sifat fisik dan mekanis biofoam yang tidak jauh berbeda dari

styrofoam komersial. Penelitian mengenai modifikasi pada bahan baku biofoam

menjadi tema objek penelitian yang menarik. Penggunaan modifikasi khususnya hidrolisis asam akan mendegradasi daerah amorf pada granula pati hingga amilosa menjadi berantai pendek dan bobot molekulnya rendah yang diharapkan dapat meningkatkan daya ikat dan menurunkan viskositas (Bloembergen et al. 2005). Menurut Buleon et al. (1998), struktur granula pati terdiri dari daerah amorf dan daerah kristalin. Kedua daerah tersebut letaknya berselang-seling pada granula pati. Daerah amorf sendiri merupakan daerah yang sebagian besar tersusun atas amilosa dan titik-titik percabangan amilopektin. Lain hal dengan daerah kristalin yang sebagian besar tersusun dari ikatan-ikatan pendek dari amilopektin yang membentuk klaster. Sedangkan pada serat ampas sagu pengaruh hidrolisis asam akan mendegradasi hemiselulosa dan bagian amorf selulosa sehingga hanya tersusun bagian selulosa nanokristalin yang memiliki nilai modulus elastisitas tinggi sekitar 150 GPa sehingga diharapkan mampu meningkatkan sifat mekanik

(14)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan ampas sagu untuk menghasilkan biofoam sebagai pensubstitusi kemasan styrofoam, selain itu untuk mengetahui pengaruh perlakukan hidrolisis asam metanol terhadap karakteristik

biofoam yang dihasilkan, dan untuk mengetahui pengaruh perbedaan waktu perendaman terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah penggunaan ampas sagu yang berasal dari industri rumah di Bogor. Pembuatan biofoam menggunakan teknik

thermopressing dan juga penggunaan PVA sebagai polimer sintetik.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan dan Laboratorium Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selain itu beberapa analisa juga dilakukan di Badan Teknologi Atom Nasional (BATAN), Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas sagu kering yang diperoleh dari rumah industri di Bogor. Bahan lain yang digunakan pada pembuatan biofoam seperti pektin, polivinil alkohol (PVA), magnesium stearat (MgSt), dan pati sagu. Bahan yang digunakan untuk hidrolisis asam diantaranya HCl, metanol, NaHCO3, dan akuades. Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain, H2SO4 pekat, fenol 5%, NaOH, dan indikator pp.

Alat

Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat molding untuk mencetak biofoam. Alat yang digunakan untuk hidrolisis asam adalah wadah plastik bertutup, pompa plastik, dan timbangan. Alat yang digunakan untuk analisis yaitu peralatan gelas, spektrofotometer, pH meter, Scanning Electron Microscop (SEM), Texture Analyzer, cawan aluminium, oven, dan penangas air.

Metode Penelitian

(15)

3

Penyiapan dan Karakterisasi Bahan Baku

Penyiapan bahan baku dilakukan dengan penjemuran, penggilingan, dan pengayakan 40 mesh ampas sagu dan pati sagu. Karakterisasi bahan baku utama yaitu ampas sagu meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, analisa komponen serat, dan kadar pati. Prosedur analisa untuk karakterisasi bahan ini disajikan pada Lampiran 1.

Modifikasi Asam Ampas Sagu

Modifikasi asam ampas sagu dilakukan dengan metode rekomendasi Lin et al. (2003). Ampas sagu sebanyak 100 g (basis kering) direndam dengan 1000 ml metanol dengan penambahan 4 ml larutan HCl (0.144%) dengan rentang lima waktu berbeda yaitu 0 (pencucian tanpa perendaman atau perendaman dengan waktu singkat), 60, 120, 180, dan 240 jam pada suhu 25ºC. Kemudian dinetralisasi dengan larutan NaHCO3 1 M dan dicuci dengan larutan etanol. Setelah itu dilakukan pengeringan dengan suhu 40ᴼC. Setelah kering ampas sagu digiling dan diayak dengan ukuran 40 mesh, kemudian disimpan dalam plastik sampai digunakan. Diagram alir proses modifikasi asam disajikan pada Gambar 1. Filtrat yang dihasilkan dari proses penyaringan pada produksi ampas sagu termodifikasi dianalisa total gula sebagai penduga tingkat hidrolisis asam terhadap pati. Analisa total gula dilakukan dengan metode fenol-asam sulfat yang disajikan pada Lampiran 2.

Karakterisasi Ampas Sagu Termodifikasi

Karakterisasi ampas sagu termodifikasi meliputi kadar pati, analisa komponen serat, dan kadar air. Prosedur karakterisasi ampas sagu termodifikasi disajikan pada Lampiran 2.

Proses Produksi Biofoam

Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan metode rekomendasi dari Iriani et al. (2012). Pertama terlebih dahulu dilakukan dengan mencampurkan ampas sagu, pati sagu, polivinil alkohol (PVA), pektin, magnesium stearat, dan air sehingga membentuk adonan. Kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan

mixer selama 10 menit hingga bahan tercampur merata. Selanjutnya adonan dicetak dengan alat thermopressing selama 4 menit dengan suhu 150ºC. Formulasi seluruh bahan tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Formulasi biofoam dalam 69.5 g bahan kering

(16)

4

Karakterisasi Biofoam

Karakterisasi biofoam meliputi sifat fisik yang terdiri dari ketebalan, daya serap air, dan densitas kamba, sedangkan sifat mekanik diantaranya kuat tarik, kuat lentur, dan kuat patah. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 3, sementara itu proses pembuatan biofoam disajikan pada Gambar 2.

Gambar 1 Diagram alir proses modifikasi asam

Prosedur Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan percobaan acak lengkap dengan faktor yaitu lama hidrolisis asam. Pada rancangan percobaan ini akan dilihat pengaruh faktor tersebut terhadap karakteristik residu hidrolisis asam serta karakteristik fisik dan mekanik biofoam. Taraf untuk faktor lama hidrolisis asam yaitu 0, 60, 120, 180, dan 240 jam. Bentuk hipotesis yang akan diuji ialah:

H0 : semua τi = 0 (i = 1, 2, ..., t) H1 : tidak semua τi = 0 (i = 1, 2, ..., t)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis ragam (ANOVA). Jika pengujian ANOVA menghasilkan penolakan terhadap H0 maka dilakukan uji lanjut. Uji lanjut yang digunakan adalah Duncan’s Multiple Range Test.

Ampas Sagu Alami

Perendaman (T = 25ᴼC)

Penetralan

Penyaringan

Pengeringan (T=40ᴼC)

Metanol-HCl (0.144%)

NaHCO3 1N

Filtrat

(17)

5

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan biofoam

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Ampas Sagu

Karakteristik bahan baku sangat mempengaruhi kemampuan ekspansi

biofoam. Karakteristik bahan baku yang meliputi kadar air, pati, lemak, protein, serat dan rasio amilosa terhadap amilopektin akan berpengaruh pada aliran dan kekentalan dari pati atau tepung (Chinnaswamy dan Hanna 1988). Ampas sagu yang digunakan pada penelitian ini terlebih dahulu dilakukan proses pengeringan dan pengecilan hingga 40 mesh. Proses pengeringan dimaksudkan menurunkan kadar air ampas sagu sehingga mempermudah proses pengecilan dan juga menghindari tumbuhnya mikroorganisme selama penyimpanan. Proses pengecilan yang dilakukan juga berguna untuk memperluas bidang kontak permukaan antara ampas sagu dengan bahan-bahan lainnya sehingga pada saat pembuatan adonan seluruh ampas sagu tercampur merata. Komposisi ampas sagu disajikan pada Tabel 2.

Berdasarkan pada Tabel 2, komposisi ampas sagu hasil penelitian dengan pustaka memiliki perbedaan terutama pada kadar pati dan kadar serat. Perbedaan pada kadar serat hasil penelitian dapat disebabkan pada proses penyaringan ampas sagu banyak serat yang terbuang sehingga mengurangi rendemen serat. Pada hasil pengujian kadar pati perbedaan yang terjadi kemungkinan karena adanya zat-zat ekstraktif pada ampas sagu yang termasuk dalam penghitungan kadar pati.

Bahan Baku Ampas Sagu

Pencampuran bahan kering

Pembuatan adonan dengan mixer 10 menit

Pencetakkan menggunakan

thermopressing machine

Pendinginan

Air ( 1:1.8)

(18)

6

Pertimbangan ampas sagu sebagai bahan baku pembuatan biofoam yaitu ketersediannya memadai dan harganya terbilang sangat murah mengingat ampas sagu merupakan limbah hasil pengolahan pati sagu. Dilihat dari komposisinya yang terdiri dari kadar protein dan kadar lemak yang relatif rendah yang berpengaruh terhadap kemampuan ekspansinya untuk produksi biofoam.

Tabel 2 Komposisi ampas sagu (basis kering) Komposisi Sumber

Komponen protein juga berperan untuk membantu memperkuat matriks polimer yang dihasilkan pati. Namun kandungan protein sebaiknya tidak tinggi agar biofoam mudah dilepaskan dari alat cetak akibat kerak dari protein yang terdenaturasi. Lemak memiliki pengaruh baik pada proses pembuatan biofoam

yang berguna untuk membantu pelepasan biofoam dari alat cetak. Selain itu yang dilaporkan Poovarodom (2006) bahwa lemak juga dapat berfungsi sebagai

plasticizer dan untuk meningkatkan hidrofobisitas biofoam karena sifatnya yang hidrofobik. Komponen lemak sebaiknya tidak tinggi agar biofoam yang dihasilkan tidak tengik karena mudah dihidrolisis.

Komponen serat pada ampas sagu berperan meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan biofoam (Andersen dan Hodson 1996). Serat juga menurut Lawton et al.

(2004) dan Salgado et al. (2008) mampu meningkatkan hidrofobisitas biofoam. Penambahan serat juga dapat berpengaruh pada proses ekspansi biofoam.

Pati merupakan polimer glukosa yang terdiri dari amilosa yang berantai lurus dan amilopektin yang memiliki rantai bercabang. Struktur amilosa yang berantai lurus ini yang menyebabkan pati memiliki kedekatan karakteristik dengan polimer sintetis sehingga peneliti membuat biofoam dengan bahan baku dari pati. Namun ternyata biofoam yang dihasilkan memiliki nilai sifat fisik dan mekanik yang rendah. Hal ini disebabkan pati yang mudah sekali menyerap air (Glenn et al. 2001). Amilosa dan amilopektin pada pati akan menyebabkan perbedaan sifat fungsional pati seperti kemampuan membentuk gel dan kekentalannya sehingga akan berpengaruh pada kelarutan dan derajat gelatinisasi pati pada biofoam yang dihasilkan Rapaille dan Vanhemelrijck (1994).

Modifikasi Asam Ampas Sagu

(19)

7 memperlihatkan pola yang cenderung menurun pada rendemen ampas sagu termodifikasi. Namun, grafik total gula cenderung meningkat. Hal ini dapat dipahami bahwa semakin lama perendaman ampas sagu nilai rendemen semakin rendah. Penurunan ini karena adanya degradasi yang dilakukan oleh hidrolisis asam pada polisakarida ampas sagu menjadi gula sederhana yang tampak pada meningkatnya nilai total gula pada filtrat. Berdasarkan analisa statistik pada Lampiran 2, pengaruh modifikasi asam signifikan tiap perlakuan jam sedangkan pada rendemen penurunan signifikan pada jam ke-120. Hal ini menandakan banyaknya polisakarida yang dilepaskan yang terhitung dalam total gula yang menyebabkan terjadinya penurunan rendemen ampas sagu.

Gambar 3 Pengaruh lama perendaman terhadap rendemen ampas sagu termodifikasi dan total gula yang terlarut dalam cairan

Modifikasi asam yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan konsentrasi rendah dan pada suhu ruang. Perlakuan asam menyebabkan bagian amorf pada pati terdegradasi sehingga menghasilkan pati kristalin. Penggunaan pelarut metanol dimaksudkan agar mempengaruhi permukaan dan struktur granula pati pada saat degradasi sehingga granula menjadi kasar, berlubang dan ukurannya mengecil (Lin et al. 2003). Perubahan struktur pada granula ini diharapkan mampu memperkuat biofoam karena daya ikatnya yang tinggi. Pada umumnya granula pati terdiri dari daerah amorf dan daerah kristalin yang tersusun atas amilosa dan amilopektin. Asam kuat yang digunakan pada hidrolisis akan memotong rantai-rantai amilosa rantai panjang dan percabangan amilopektin yang terdapat pada daerah amorf hingga menjadi amilosa rantai pendek dengan bobot molekul yang rendah Ma et al. (2008). Modifikasi asam menghasilkan pati yang memiliki daya ikat yang tinggi dan viskositas yang rendah (Bloembergen et al.

(20)

8

Karakteristik Ampas Sagu Termodifikasi

Kandungan pati pada bahan baku biofoam mempengaruhi kemampuan ekspansinya pada saat proses pencetakan. Hal ini karena rasio amilosa dan amilopektin yang dikandungnya. Amilosa menurut Fritz (1994), berekspansi secara maksimal pada suhu 225 ᴼC sedangkan amilopektin pada suhu 135 ᴼC. Dengan demikian pati yang memiliki kadar amilosa yang tinggi membutuhkan suhu yang tinggi. Selain itu, pengembangan amilosa cenderung memanjang sedangkan amilopektin radial. Menurut Iriani et al. (2012), semakin banyaknya amilosa yang dikandung pati maka semakin besar daya serapnya terhadap air karena pada struktur amilosa masih bersifat amorf yang tingkat sensitifitas terhadap airnya tinggi pada gugus hidroksilnya. Hal inilah yang menjadi alasan dilakukannya modifikasi asam. Berdasarkan analisa statistik, kadar pati ampas sagu termodifikasi signifikan pada tiap jam perlakuan. Terlihat pada Tabel 3, kadar pati dari ampas sagu alami dengan ampas sagu yang telah dilakukan perendaman pada jam ke-0 terjadi penurunan. Hal ini disebabkan karena terlarutnya sejumlah zat ekstraktif pada ampas sagu oleh HCl-metanol.

Tabel 3 Karakteristik ampas sagu hasil hidrolisis asam

Parameter Waktu (jam)

(21)

9 Hemiselulosa merupakan heteropolimer kompleks yang memiliki kandungan utama xilosa dan juga sejumlah arabinosa, manosa, glukosa dan galaktosa (Burchardt dan Ingram 1992). Fengel dan Wegener (1995) menyebutkan bahwa selain arabinosa, manosa dan glukosa, beberapa hemiselulosa juga mengandung galaktosa dan senyawa tambahan yaitu asam uronat. Analisis kandungan hemiselulosa disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan analisa statistik, pengaruh hidrolisis asam tidak signifikan terhadap kadar hemiselulosa yang dihasilkan.

Lignin merupakan bahan organik bukan karbohidrat yang berbentuk amorf dan tersusun atas satuan-satuan fenol (Chang et al. 1981). Pada tanaman, lignin yang membungkus selulosa dan hemiselulosa. Kandungan lignin disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan analisa statistik, pengaruh hidrolisis asam tidak signifikan terhadap kadar lignin yang dihasilkan.

Gambar 4 Bentuk granula pati (Δ) dan serat (□) ampas sagu hasil pengujian SEM untuk (a) ampas sagu alami; ampas sagu hasil hidrolisis asam (b) 0 jam; (c) 60 jam; (d) 120 jam; (e) 180 jam; dan (f) 240 jam, dengan perbesaran 500×.

a

f d c

e

(22)

10

Pengaruh hidrolisis asam terhadap morfologi granula ampas sagu dapat dilihat menggunakan mikroskop, yakni SEM. Granula pati pada ampas sagu memiliki ukuran diameter 29.41 μm hampir sama dengan ukuran granula pati sagu yang memiliki ukuran 28.43 μm (Lai et al. 2013). Berdasarkan hasil analisa SEM, granula pati ampas sagu yang telah dihidrolisis asam masih memilki bentuk dan ukuran yang sama dengan ampas sagu alami. Ini mengindikasikan bahwa proses hidrolisis asam merusak daerah amorf pada granula tanpa mempengaruhi bentuk dan ukurannya.

Lama waktu hidirolisis asam dapat berpengaruh terhadap derajat kristalinitas ampas sagu. Ini terlihat dari Tabel 4 bahwa kristalinitas ampas sagu alami adalah 80.73% sedangkan setelah dihidrolisis nilai kristalinitas ampas sagu menurun. Hal ini menunjukkan bahwa hidrolisis asam turut juga mendegradasi daerah kristalin pada ampas sagu. Perusakan daerah kristalinitas oleh asam terlihat signifikan ini mengacu dari analisa filtrat total gula yang telah dilakukan sebelumnya, dimana total gula dalam filtrat meningkat tiap jam perlakuan.

Tabel 4 Pengaruh modifikasi asam terhadap derajat kristalinitas ampas sagu

Sampel Derajat kristalinitas (%)

(23)

11

Gambar 5 Profil kristal ampas sagu hasil (Lai et al. 2013)

Gambar 6 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD hasil hidrolisis asam

Produksi Biofoam

Teknologi pembuatan biofoam yang digunakan pada penelitian ini adalah

thermopressing karena dapat dibentuk sesuai yang diinginkan. Alat yang digunakan berupa dua cetakan besi atau baja yang kemudian dipanaskan di bagian atas dan bawahnya. Bagian atasnya akan menekan adonan sehingga akan terbentuk biofoam yang sesuai cetakan. Pada proses ini pati tergelatinisasi, air perlahan-lahan berimbibisi ke dalam granula bolak-balik, setelah itu terjadi pengembangan granula dengan cepat karena penyerapan air cepat sehingga kehilangan sifat birefrigent. Sifat birefrigent adalah sifat dari granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna kuning dan biru. Ketika suhu terus naik molekul yang terdapat pada amilosa terdifusi keluar (McCready 1970). Proses gelatinisasi menyebabkan pengerusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan ini bertanggung jawab mempertahankan struktur granula. Pembengkakan yang terjadi

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34

Intensit

as

Ampas biasa 0 jam 60 jam 120 jam 180 jam 240 jam 23.4ᴼ

17.8ᴼ 17.2ᴼ

15.1ᴼ

(24)

12

pada granula saat gelatinisasi dikarenakan adanya gugus hidroksil bebas yang akan menyerap air.

Pada pembuatan biofoam penggunaan suhu 150ºC dilakukan mengingat titik leleh polivinil alkohol 148ºC (Iriani et al. 2012) dan titik leleh sagu tertinggi 120ºC (Maaruf et al 2001). Dengan mempertimbangkan masing-masing titik leleh bahan serta titik leleh pektin tertinggi sekitar 153ºC, maka suhu proses pembuatan

biofoam sekitar 150ºC. Penggunaan bahan pektin berperan sebagai pengikat air bebas dan menjaga kekompakan biofoam. Sementara magnesium stearat berguna sebagai demolding agent. Tekanan yang diberikan pada pembuatan biofoam

memang tidak dikontrol namun tekanan pada alat thermopressing sekitar 155-600 Bar.

Hasil pengukuran densitas kamba biofoam ini berkisar antara 0.0126-0.0207 g/cm3. Bila dibandingkan dengan styrofoam yang sebesar 0.035 g/cm3 densitas

biofoam penelitian ini lebih rendah. Tentu sebagai produk kemasan, biofoam

sebaiknya memiliki densitas yang rendah karena akan berpengaruh pada bobot produk, daya serap air, dan sifat mekanisnya (Iriani et al. 2012). Berdasarkan analisa statistik, pengaruh perlakuan asam tidak berpengaruh nyata pada densitas

biofoam yang dihasilkan. Namun, pada Tabel 5 densitas biofoam cenderung meningkat seiring bertambahnya waktu perendaman.

Tingginya densitas suatu biofoam akan berpengaruh pada rendahnya daya serap air. Proses ekspansi pada pembuatan biofoam menghasilkan struktur yang berongga. Rongga-rongga ini dapat terisi oleh air. Apabila serat ditambahkan ke dalam adonan biofoam akan membuat rongga-rongga tersebut mengecil karena proses ekspansi terhambat oleh serat. Jika rongga kecil air yang mengisi pun sedikit sehingga nilai daya serap air pun berkurang (Iriani et al. 2012).

Tabel 5 Karakteristik fisik dan mekanik biofoam

(25)

13 lebih padat dan viskositas yang cenderung kental (Iriani et al. 2012). Sedangkan penurunan daya serap air dapat terjadi karena pada pati yang telah dirusak bagian amorfnya oleh hidrolisis asam cenderung menurun sensitifitasnya terhadap air.

Pengujian kuat lentur pada biofoam ini berkisar antara 104 MPa sampai 358 MPa. Sementara nilai kuat lentur styrofoam komersial berkisar antara 105 MPa sampai 280 MPa. Biofoam pada penelitian ini memiliki nilai kuat lentur pada selang nilai kuat lentur styrofoam komersial. Berdasarkan analisa statistik, penurunan nilai kuat lentur biofoam signifikan pada 0 jam, 60 jam dan 240 jam. Menurut Glenn et al. (2001) bahwa kekuatan dan fleksibilitas pati biofoam dapat ditingkatkan dengan penambahan serat. Namun penambahan serat yang tidak rata pada adonan biofoam akan mengurangi elastisitas karena bagian yang tidak terisi oleh serat pada biofoam akan menjadi titik lemah untuk elastisitas biofoam.

Nilai kuat patah pada biofoam berkisar antara 1.6 MPa sampai 7.2 MPa. Nilai kuat patah pada biofoam ini lebih tinggi dibanding nilai kuat patah

styrofoam komersial yang berkisar antara 1.3 MPa sampai 1.39 MPa. Ini berarti

biofoam pada penelitian ini mampu sebagai pensubstitusi styrofoam komersial sebagai bahan pengemas berkadar air rendah. Berdasarkan analisa statistik, nilai kuat patah biofoam signifikan pada tiap perlakuan.

Tingginya nilai kuat patah pada biofoam ini tidak terlepas dari adanya serat yang ditambahkan. Penambahan serat yang tepat menurut Lawton et al. (2004) menyebabkan serat terdistribusi merata dan melekat sempurna pada matriks pati

biofoam sehingga meningkatkan kekuatan biofoam. Begitu pula menurut Andersen et al. (1999) bahwa serat dapat digunakan sebagai bahan pengisi

biofoam yang berfungsi untuk meningkatkan kekuatan biofoam. Adanya penurunan nilai patah dapat disebabkan serat tidak terdistribusi merata pada

biofoam. Tidak meratanya serat dikarenakan terjadi penggumpalan serat pada adonan biofoam akibat pencampuran yang tidak baik (Lawton et al. 2004).

Tabel 6 Karakteristik sifat fisik dan mekanis biofoam dan styrofoam

Parameter Uji Biofoam Styrofoam

Kuat lentur (MPa) 105-280cd 358

Kuat Patah (MPa) 1.3-1.39c 7.2

(26)

14

serat memungkinkan menurunnya kemampuan ekspansi biofoam sehingga

biofoam tidak memiliki rongga-rongga yang cukup. Hal ini akan menyebabkan

biofoam akan lebih mudah dipatahkan atau dibengkokkan (Cinelli et al. 2006).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ampas sagu mengandung komponen terbesar pati dan serat sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan baku biofoam. Semakin lama perendaman terbukti menyebabkan kerusakan pada pati. Dibandingkan ampas sagu alami, perendaman juga menyebabkan penurunan kristalinitas, bahkan pola kristalinitasnya berubah setelah perendaman 60 jam. Hal ini mempengaruhi karakteristik biofoam yang dihasilkan. Pencucian tanpa perendaman (perlakuan 0 jam) menghasilkan biofoam dengan karakteristik fisik mekanik yang lebih dibandingkan ampas sagu alami, berupa penurunan daya serap air, peningkatkan kuat tarik, kuat lentur, dan kuat patah. Jika dibandingkan dengan styrofoam, maka

biofoam yang dihasilkan ampas sagu termodifikasi memiliki keunggulan dalam kuat patah dan kuat lenturnya.

Saran

Biofoam pada penelitian ini dapat diaplikasikan sebagai pengganti

styrofoam komersial namun ada beberapa karakteristik yang harus diperbaiki, terutama nilai sifat fisik. Pengurangan daya serap air pada biofoam ini dapat dilakukan dengan mengganti plasticizer yang hidrofobik. Penentuan waktu pencampuran juga diperhatikan supaya bahan-bahan pada adonan tercampur merata. Dibutuhkan juga penelitian suhu penyimpanan biofoam yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Adeni DSA, Janggu U, Abd-Aziz S, Bujang KB, Yee PL . 2009. Glucose Recovery from Sago Hampas for Ethanol Fermentation. Di dalam: Iskandar ZS, Tahlim S, Hiroshi E, Suwardi Iskandar L, Sintho WA, editor.

Proceedings of the 10th International Sago Symposium; 2011 Oct 29-30; Bogor. Indonesia (ID): IPB Pr. hlm 27.

Ahmad FB, Williams PA. 1999. Effect of salts on the gelatinization and rheological properties of sago starch. J Agric Food Chem. 47(8):3359–3366. Andersen P, Kumar A, Hodson S. 1999. Inorganically filled starch ased reinforced

composite foam materials for food packaging. Res Innovation. 3:2-8.

Andersen PJ, Hodson SK. 1996. Molded articles having in inorganically filled organic polymer matrix. US Patent 5545450.

[AOAC] The Association Official Analytical Chemists. 2006. Washington (USA): Official Methods of Analysis.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.

(27)

15

[ASTM] American Society for Testing and Materials. Standard Test Methods for

Flexural Properties of Unreinforced and Reinforced Plastics and Electrical Insulating Material. Philadelpia, USA, ASTM (Annual Book of ASTM Standards).

Bloembergen S, Kappen F, Beelen B. 2005. Environmentally friendly biopolymer adhesives and applications based thereon. US Patent 6921430 B2.

Buleon A, Colonna P, Planchot V, Ball S. 1998. Starch granules: structure and biosynthesis. Int J Biol Macromol. 23:85-112.

Burchardt G, Ingram LO. 1992. Conversion of Xylan to Ethanol by Ethalogenic Strains of Escherichia coli and Klebsiella oxytoca. Appl Environ Microbiol. 58:1128-1133.

Buzarovska A, Gaceva B, Grozdanov A, Avella M, Gentile G, Errico M. 2008. Potential use of rice straw as filler in ecocomposite materials. Aust J Crop Sci. 1(2): 37-45.

Chang M, Chon TC, Tsao GT. 1981. Structure Pretreatment and Hydrolysis Cellulose. Adv Biochem Eng. 20: 14-25.

Chinnaswamy R, Hanna MA. 1988. Relationship between amylose content and extrusion-expansion properties of corn starches. Cereal Chem. 65:138-143. Cinelli P, Chiellini E, Lawton JW. 2006. Foamed articles based on potato starch,

cornfibers and polyvinyl alcohol. J Polym Degrad Stabil. 91:1147-1155. Cowd MA. 1991. Kimia Polimer. Bandung (ID): ITB Pr.

Davis G, Song JH. 2006. Biodegradable packaging based on raw material from crops and their impact on waste management. J Ind Crops Prod. 23:147-161.

Dowly BJ, Laseter JL, Storet J. 1976. Transplacental migration and accumulation in blood of volatile organic constituents. J Pediatr Res.10: 696–701.

Dubat A. 2004. The Importance and Impact of Starch Damage and Evolution of Measuring Methods. New York (USA): CRC Pr.

Fengel D, Wegener D. 1995. Kimia Kayu, Reaksi Ultrastruktur: Terjemahan S. Hardjono. Yogyakarta (ID): UGM Pr.

Fritz HG, Seidenstucker T, Bolz U, Juza M. 1994. Study On Production of Thermoplastics and Fibres Based Mainly on Biological Materials., German (GE): University Stuttgrat. hlm 350.

Glenn GM, Orts WJ. 2000. Properties of starch-based foam formed by compression: explosion processing. J Ind Crops Prod. 13:135-143.

Glenn GM, Orts WJ, Nobes GAR. 2001. Starch, fiber, CaCO3 effect on the physical properties of foams made by a baking process. J Ind Crops Prod.

14:201-212.

Holtzapple MT. 1993. Cellulose. In: Encyclopedia of Food Science, Food Technology and Nutrition. London (UK): Academic Pr. hlm 2731-2738. Iriani ES, TT Irawadi, TC Sunarti, N Richana, I Yuliasih. 2012. Effect of

polyvinyl alcohol and corn hominy on improvement of physical and mechanical properties of cassava starch based foam. Eur J Sci Res. 81(1): 83-87.

Kusuma AH. 2012. Proses Hidrolisis Asam Senyawa Polisakarida Rumput Laut

Caulerpa racemosa, Sargassum crassifolium, dan Gracilia salicornia.

(28)

16

Maaruf AG, YB Che Man, BA Asbi, AH Junainah, JF Kennedy. 2001. Effect of water content on the gelatinisation temperature of sago starch. Carbohydr polym. 46:331-337.

Ma X, Jian R, Chang PR, Ju Y. 2008. Fabrication and characterization of citric acid-modified starch nanoparticles/ plasticized-starch composites.

Biomacromolecular. 9(11):3314-3320.

McCready RM. 1970. Starch and dextrin method in food analysis. New York (USA): M. A. Joslyn Academic Pr.

Lai JC, Rahman WAWA, Toh WY.2013. Characterisation of sago pith waste and its composites. J Ind Crops and Prod. 45: 319-326.

Lawton JW, Shogren RL, Tiefenbacher KF. 2004. Aspen fiber addition improves the mechanical properties of baked cornstarch foams. J Ind Crops Prod.19:41-48.

Lickly TD, Lehr KM, Welsh GC. 1995. Migration of styrene from polystyrene foam food-contact articles. Food Chem Toxic. 33(6):475-481.

Linggang S, Phang LY, Wasoh MH, Abd-Aziz S. 2012. Sago Pith Residue as an Alternative Cheap Substrate for Fermentable Sugars Production. Appl Biochem Bioetanol. 167:122-131.

Lin JH, Lee SY, Chang YH. 2003. Effect of acid–alcohol treatment on the molecular structure and physicochemical properties of maize and potato starches. Carbohydr Polym. 53: 475–482.

Poovarodom N. 2006. Non-synthetic biodegradable starch-based composition for production of shaped bodies.US Patent 7067651.

Pukkahuta C, Varavinit S. 2007. Structural transformation of sago starch by heatmoisture and osmotic-pressure treatment. Starch-Starke. 59(12): 624– 631. Biodegradable foams based on cassava starch, sunflower proteins and cellulose fibers obtained by baking process. J Food Eng. 85: 435-443. Samir M, Alloin F, Paillet M, Dufresne A .2004. Tangling effect in fibrillated

cellulose reinforced nanocomposites. Macromolecules. 37:4313–4316 Shogren RL, Lawton JW, Tiefenbacher KF, Chen L. 1998. Starch-poly(vinyl

alcohol) foamed articles prepared by a baking process. J Appl Polym Sci.

68:2129-2140.

Tien R, Muchtadi, dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor (ID): IPB Pr.

Vercelheze AES, Fakhouri FM, Antonia LHD, Urbano A, Youssef EY, Yamashita F, Mali S. 2011. Properties of baked foams based on cassava starch, sugarcane bagasse, fibers and montmorillonite. Carbohydr Polym.

(29)

17

Lampiran 1 Prosedur analisis karakterisasi bahan baku

1. Kadar air metode oven (AOAC 2006)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (a). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (b) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (c). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

2. Kadar abu metode tanur (AOAC 2006)

Cawan porcelen dibakar dalam tanur (550 oC) selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (a). Sampel sebanyak 2–3 g (w) ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan pada suhu 550 oC selama 6 jam. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik (x). Kadar abu diukur dengan cara sebagai berikut:

adar abu % = x a x 100%

3. Kadar protein kasar metode mikro Kjeldahl (AOAC 2006)

Sebanyak 0.1 g sampel ditimbang kemudian ditambahkan katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dengan perbandingan 5:6 dan 2.5 H2SO4 pekat. Setelah itu didestruksi sampai bening (hijau). Didinginkan dan dicuci dengan aquades secukupnya. Selanjutnya didestilasi dengan penambahan NaOH 50% sebanyak 15 mL. Hasil destilasi ditampung dengan HCl 0.02 N. Proses destilasi dihentikan apabila volume destilat telah mencapai dua kali volume sebelum destilasi. Hasil destilasi dititrasi dengan NaOH 0.02 N dan indikator mensel (campuran metil merahdan metil biru). Kadar protein kasar dapat dihitung dengan cara berikut :

adar protein kasar % = b s n 14 f(m 1000) x 100%

dimana, b = volume titrasi blanko (ml)

s = volume titrasi sampel (ml)

n = normalitas NaOH

m = berat sampel (g)

(30)

18

4. Kadar lemak kasar metode soxhlet (AOAC 2006)

Sampel ditimbang 3 g lalu dimasukkan ke kertas saring berbentuk tabung (selongsong). Labu lemak/soxhlet dimasukkan ke dalam oven, lalu ditambahkan batu didih dan ditimbang sebagai bobot kosong. Selongsong dimasukkan ke dalam soxhlet, kemudian labu lemak dihubungkan dengan soxhlet dan ditambahkan pelarut heksan 150 mL melewati soxhlet. Labu lemak dan soxhlet

dihubungkan dengan penangas dan diekstrak selama 4 jam. Setelah ekstraksi selesai, labu lemak dievaporasi untuk menghilangkan pelarut. Selanjutnya labu lemak dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC selama 1 jam. Setelah dingin ditimbang sebagai bobot akhir (bobot labu dan lemak). Kadar lemak kasar dapat dihitung dengan cara berikut :

adar lemak kasar % = c ba x 100%

dimana, a = bobot sampel (g)

b = bobot labu lemak dan batu didih (g)

c = bobot labu lemak, batu didih, dan lemak (g) 5. Kadar serat kasar (AOAC 2006)

Sebanyak 0.5 g sampel yang telah digunakan pada penetapan lemak ditimbang lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan 100 mL asam sulfat 1.25% dan dipanaskan sampai mendidih. Setelah 1 jam ditambahkan 100 mL NaOH 3.25%, dipanaskan kembali sampai mendidih selama 1 jam, kemudian didinginkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Endapan dicuci dengan asam sulfat encer dan alkohol, lalu kertas saring dan endapan dikeringkan dalam oven dan ditimbang. Kadar serat kasar dapat dihitung dengan cara berikut :

(31)

19 adar pati % = c 250 fp 0. x 100%

dimana, c = konsentrasi pati sampel dari kurva standar fenol sulfat (mg/ml)

w = bobot residu sampel (g)

(32)

20

Lampiran 2 Prosedur analisa karakterisasi ampas sagu termodifikasi

1. Penetapan ADF (Apriyanto et al. 1989)

Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan kedalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 100 ml larutan ADF, didihkan pada pendingin tegak selama 60 menit. Lalu saring dengan filter gelas 2-G-3, endapan yang diperoleh dicuci dengan aquades panas beberapa kali. Endapan dicuci kembali dengan aseton beberapa kali. Kemudian endapan beserta filter gelas di oven 100 ᴼC selama 8 jam . Setelah itu ditimbang. Endapan kemudian diabukan dengan tanur pada suhu 450-500 ᴼC selama 3 jam kemudian ditimbang. Kadar ADF dihitung dengan rumus :

adar A F % = (a b) x 100%

dimana, a = bobot filter dan endapan setelah dikeringkan (g)

b = bobot filter dan endapan setelah diabukan (g)

w = bobot awal sampel (g) 2. Penetapan NDF (Apriyanto et al. 1989)

Sebanyak 0.5 gram sampel dimasukkan kedalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 30 ml larutan α-amilase dan inkubasi pada suhu 40 ᴼC selama 16 jam. Setelah itu, tambahkan 200 ml larutan NDF dan 0.5 gram Na2SO3. Kemudian direfluks pada pendingin tegak selama 60 menit. Saring campuran melalui filter gelas 2-G-3 dan cuci dengan dengan aquades panas beberapa kali. Endapan dicuci kembali dengan aseton beberapa kali. Kemudian endapan beserta filter gelas di oven 100 ᴼC selama 8 jam . Setelah itu ditimbang. Endapan kemudian diabukan dengan tanur pada suhu 450-500 ᴼC selama 3 jam kemudian ditimbang. Kadar NDF dihitung dengan rumus :

adar A F % = (a b) x 100%

dimana, a = bobot filter dan endapan setelah dikeringkan (g)

b = bobot filter dan endapan setelah diabukan (g)

w = bobot awal sampel (g)

3. Penetapan Lignin (Apriyanto et al. 1989)

(33)

21

adar Lignin % = (a b) x 100%

dimana, a = bobot filter dan endapan setelah dikeringkan (g)

b = bobot filter dan endapan setelah diabukan (g)

w = bobot awal sampel (g)

4. Total Gula pada Filtrat dengan Metode Fenol-Sulfat

Sampel sebanyak ml (mengandung ≤ 100 μg karbohidrat) ditambahkan dengan 0.5 ml larutan fenol 5% kemudian dikocok-kocok dengan vortex agar homogen. Dilakukan penambahan 2.5 ml H2SO4 secara langsung pada bagian permukaan (tanpa menyentuh dinding tabung reaksi). Reaksi pencampuran didiamkan tanpa gangguan selama 10 menit. Pembacaan nilai absorbansi dilakukan minimal 30 menit setelah pengocokan pada panjang gelombang 490 nm.

Pembacaan pada spektrofotometer memberikan nilai dalam satuan absorbansi sehingga untuk mengetahui jumlah total gula dalam sample tesebut, terlebih dahulu dibuat kuva standar glukosa. Untuk pembuatan kuva standar glukosa digunakan glukosa standar (0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 ppm). Masing-masing diambil 1 ml sesuai dengan prosedur pengukuran total gula. Hasil pembacaan pada spektrofotometer dikumpulkan dan dicari persamaannya, dari persamaan inilah dapat diketahui jumlah total gula yang terdapat di dalam sampel.

R² = 0,9935 y = 0,0157x + 0,0105

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2

0 10 20 30 40 50 60 70

Absor

ba

nsi

(34)

22

Lampiran 3 Prosedur analisa karakterisasi biofoam 3.1 Analisa Sifat Fisik Biofoam

1. Uji Ketebalan (Vercelheze et al. 2011)

Produk Biofoam dilakukan pengujian ketebalan dengan menggunakan alat ukur ketebalan digital. Pengujian ketebalan dilakukan pada enam titik berbeda tiap sampel.

2. Densitas Kamba (Tien 1992)

Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menyiapkan sampel kering (kerupuk beras goreng) dan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur (a) kemudian sampel dimasukkan dalam gelas ukur 50 ml. Gelas ukur yang telah berisi sampel diketuk-ketukkan ke meja hingga tidak ada lagi rongga ketika sampel ditepatkan menjadi 50 ml kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b). Nilai densitas kamba dapat diperoleh dari perhitungan berikut :

ensitas kamba g mL = b a g80 ml

3. Uji Daya Serap Air

Pengujian daya serap air diawali dengan memotong sampel berukuran 2.5 x 2.5 cm. Contoh uji (D1) ditimbang kemudian direndam dalam air dingin selama 3 menit, 5 menit, 10 menit, dan 15 menit.Contoh uji ditimbang kembali (D2) dan dihitung daya serap air dengan menggunakan rumus :

A % = ( 2 1) 1 x 100%

dimana, WA = water absorption (%)

D1 = bobot awal (g)

D2 = bobot setelah perendaman (g)

3.2 Analisa Sifat Mekanik

1. Uji Kuat Lentur (D790M-91 ASTM 1991)

Pengujian diawali dengan menyiapkan sampel berukuran 2.5 x 10 cm dalam kondisi kering. Uji MOE ini dilakukan dengan menggunakan alat Universal Testing Macine (UTM). Nilai MOE papan partikel dapat dihitung menggunakan rumus:

(35)

23 Keterangan:

P = Perubahan beban yang digunakan (kgf) L = Panjang bentang (cm)

y = Perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm) b = Lebar sampel (cm)

h = Tebal sampel (cm)

2. Uji Kuat Patah (D790M-91 ASTM 1991)

Pengujian diawali dengan menyiapkan sampel berukuran 2.5 x 10 cm dalam kondisi kering. Uji MOR ini dilakukan dengan menggunakan alat Universal Testing Macine (UTM). Nilai MOR papan partikel dapat dihitung menggunakan rumus:

MO (kgf cm2) =3PL 2bh2

Keterangan:

P = Beban maksimum (kgf) L = Panjang bentang (cm) b = Lebar sampel (cm) h = Tebal sampel (cm) 3. Uji Kuat Tarik

Disiapkan sebanyak 2 lembar sampel dan dihitung rata-rata tebalnya. Pengujian dilakukan dengan cara kedua ujung sampel dijepit mesin penguji. Tombol ‘start’ dinyalakan dan alat akan menarik sampel hingga putus dan dicatat gaya kuat tarik (F) serta panjang setelah putus. Selanjutnya dilakukan pengujian lembar berikutnya.

(36)

24

Lampiran 4 Analisa statistik ampas sagu dan biofoam

a. Rendemen ampas sagu

SS df MS F Sig.

Perlakuan 12.127 4 3.03176 10.6542* 0.01157

Galat 1.4228 5 0.28456

Total 13.5498 9

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

240 jam 2 91.345

120 jam 2 91.5

180 jam 2 91.685

60 jam 2 93.145

0 jam 2 94.155

Sig. 0.561 0.117

b. Total gula

SS df MS F Sig.

Perlakuan 29465.8 4 7366.442 220.176* 0

Galat 836.427 25 33.457

Total 30302.2 29

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

0 jam 6 0.3917

60 jam 6 51.6967

120 jam 6 72.21

180 jam 6 79.6183

240 jam 6 87.7283

Sig. 1 1 1 1 1

c. Kadar pati

SS df MS F Sig.

Perlakuan 1177.701 4 294.425 383.456* 0

Galat 3.839 5 0.768

(37)

25

Waktu N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

0 jam 2 48.07

60 jam 2 42.95

120 jam 2 40.02

180 jam 2 25.73

240 jam 2 19.38

Sig. 1 1 1 0.859

d. Kadar air

SS df MS F Sig.

Perlakuan 11.146 4 2.786 43.027* 0

Galat 0.324 5 0.065

Total 11.469 9

Waktu N Subset for alpha = 0.05

1 2

120 jam 2 5.42

240 jam 2 5.585

180 jam 2 5.755

0 jam 2 7.685

60 jam 2 7.775

Sig. 0.256 0.738

e. Selulosa

SS df MS F Sig.

Perlakuan 17.435 4 4.359 3.146* 0.120 Galat 6.928 5 1.386

Total 24.363 9

N Subset for alpha = 0.05

Waktu 1 2

120 jam 2 11.37

180 jam 2 13.04 13.04

60 jam 2 14.00 14.00

240 jam 2 14.20 14.20

0 jam 2 15.31

(38)

26

f. Hemiselulosa

SS df MS F Sig.

Perlakuan 2.765 4 0.691 0.890* 0.532

Galat 3.884 5 0.777

Total 6.649 9

Waktu N

Subset for alpha = 0.05

1

60 jam 2 4.98

240 jam 2 5.91

120 jam 2 4.58

0 jam 2 5.87

180 jam 2 5.04

Sig. 0.204

g. Lignin

SS df MS F Sig.

Perlakuan 7..118 4 1.780 0.898* 0.528

Galat 9.912 5 0.395

Total 17.031 9

Waktu N Subset for alpha = 0.05 1

240 jam 2 31.150

0 jam 2 43.200

60 jam 2 47.050

120 jam 2 48.300

180 jam 2 57.100

Sig. .136

h. Moe

SS df MS F Sig.

Perlakuan 77991.1 4 19497.786 39.799* 0.001

Galat 2449.55 5 489.91

Total 80440.7 9

(39)

27

Waktu N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

240 jam 2 111.60619

180 jam 2 182.09983

60 jam 2 230.85352

120 jam 2 312.528

0 jam 2 357.558

Sig. 1 0.079 0.098

i. Mor

SS df MS F Sig.

Perlakuan 42.045 4 10.511 168.475* 0

Galat 0.312 5 0.062

Total 42.357 9

Waktu N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

240 jam 2 1.28645

180 jam 2 2.40494

120 jam 2 4.57091

60 jam 2 5.59429

0 jam 2 6.8912

Sig. 1 1 1 1 1

j. Ketebalan

SS df MS F Sig.

Perlakuan 1.288 4 0.322 59.475* 0

Galat 0.054 10 0.005

Total 1.342 14

Waktu N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

240 jam 3 2.34333

180 jam 3 2.56333

120 jam 3 2.76333

60 jam 3 2.99333

0 jam 3 3.16333

(40)

28

k. Densitas kamba

SS df MS F Sig.

Perlakuan 0 4 0 1.144* 0.432

Galat 0 5 0

Total 0 9

Waktu N

Subset for alpha = 0.05

1

0 jam 2 0.01262

60 jam 2 0.01271

120 jam 2 0.01451

240 jam 2 0.02078

180 jam 2 0.02138

Sig. 0.2

l. Daya Serap air menit ke-3

SS df MS F Sig.

Perlakuan 633.78 4 158.445 0.376 0.818

Galat 2109.06 5 421.812

Total 2742.84 9

Waktu N

Subset for alpha = 0.05

1

120 jam 2 36.99353

180 jam 2 40.58515

240 jam 2 43.13943

60 jam 2 54.68739

0 jam 2 57.13978

Sig. 0.382

m. Daya serap air menit ke-5

SS df MS F Sig.

Perlakuan 2541.16 4 635.291 0.832* 0.558

Galat 3816.34 5 763.267

(41)

29

Waktu N

Subset for alpha = 0.05

1

240 jam 2 94.28428

60 jam 2 108.66237

180 jam 2 127.20042

0 jam 2 131.9693

120 jam 2 136.90627

Sig. 0.196

n. Kuat tarik

SS df MS F Sig.

Perlakuan 75.366 4 18.842 0.572 0.696

Galat 164.8 5 32.96

Total 240.166 9

Waktu N Subset for alpha = 0.05 1

240 jam 2 13.71123

180 jam 2 16.92299

0 jam 2 19.14623

60 jam 2 20.34439

(42)

30

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 28 Oktober 1991 dari Bapak Akhmad Jazuli dan Ibu Iis Aisyah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA N 1 Kota Serang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Gambar

Tabel 1 Formulasi biofoam dalam 69.5 g bahan kering
Gambar 1 Diagram alir  proses modifikasi asam
Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan biofoam
Gambar 3 Pengaruh lama perendaman terhadap rendemen ampas sagu termodifikasi dan total gula yang terlarut dalam cairan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik, kandungan zat gizi (kadar abu, lemak, protein dan karbohi- drat), serat kasar dan komponen serat makanan (kadar selu-

Diduga, kadar amilosa dan amilopektin pada pati ubi kayu lokasi B umur 9 dan 10 bulan dominant yang bersifat kristalin sehingga menyebabkan pengurangan penetrasi pelarut

Hal ini tidak terjadi pada pati komposit karena masing-masing granula amilosa dan amilopektin telah mengalami suatu proses pemasakan yang menyebabkan sebagian

dengan tepung tempe dan konsentrasi maltodekstrin tidak berpengaruh nyata terhadap kecepatan melarut, kadar serat, kadar pati, kadar protein, warna, aroma, rasa dan

Kadar lemak di dalam pati dapat mengganggu proses gelatinisasi karena lemak dapat membentuk kompleks dengan amilosa sehingga dapat menghambat keluarnya amilosa dari

Analisis yang dilakukan meliputi: analisis kimia bahan baku talas blok yakni kadar air, abu, pati, amilosa, amilopektin dan protein dan uji organoleptik warna, aroma,

Pada penelitian ini menggunakan pati sagu komposit yaitu pati sagu alami ditambah pati sagu modifikasi fosfat (50 : 50) dan rasio pati sagu komposit sebagai bahan pengisi

Kesimpulan Peningkatan waktu fermentasi menyebabkan kadar air, kadar protein, kadar amilosa serta daya cerna pati meningkat, diikuti penurunan pada kadar abu, kadar lemak, kadar