• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Lanskap Untuk Pelestarian Kawasan Budaya Kampung Lengkong Kyai, Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Lanskap Untuk Pelestarian Kawasan Budaya Kampung Lengkong Kyai, Tangerang"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN LANSKAP UNTUK PELESTARIAN KAWASAN

BUDAYA KAMPUNG LENGKONG KYAI, TANGERANG

ROBBY CHANDRA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap untuk Pelestarian Kawasan Budaya Kampung Lengkong Kyai, Tangerang adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ROBBY CHANDRA. Perencanaan Lanskap untuk Pelestarian Kawasan Budaya Kampung Lengkong Kyai, Tangerang. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO.

Kampung Lengkong Kyai merupakan suatu lanskap budaya yang menyimpan nilai-nilai sejarah di dalamnya. Keberadaan kampung ini di tengah-tengah pengembangan kota mengancam kelestarian nilai-nilai sejarah tersebut. Tujuan umum penelitian ini adalah merencanakan lanskap untuk pelestarian Kampung Lengkong Kyai berdasarkan karakteristik dan signifikansi lanskap budaya. Tahapan penelitian terdiri atas persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan. Analisis dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan signifikansi dari lanskap budaya, sehingga dapat ditentukan zona-zona yang menyusun kesatuan unit lanskap Kampung Lengkong Kyai. Kemudian dilakukan evaluasi untuk menghasilkan rekomendasi tindakan pelestarian yang akan diterapkan pada lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai. Hasil evaluasi digunakan sebagai arahan dalam tahap perencanaan lanskap. Konsep dasar perencanaan yaitu membuat Kampung Lengkong Kyai sebagai kampung dengan identitas karakteristik lanskap budaya yang kuat dan berkelanjutan melalui tindakan konservasi. Hasil akhir penelitian ini dituangkan dalam bentuk gambar rencana lanskap pelestarian Kampung Lengkong Kyai.

Kata kunci: lanskap budaya, karakteristik lanskap, signifikansi, perencanaan lanskap

ABSTRACT

ROBBY CHANDRA.Landscape Planning for the Preservation of Cultural Areas in Lengkong Kyai Village, Tangerang. Supervised by QODARIAN PRAMUKANTO.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

PERENCANAAN LANSKAP UNTUK PELESTARIAN KAWASAN

BUDAYA KAMPUNG LENGKONG KYAI, TANGERANG

ROBBY CHANDRA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

#. .

#&+$.$ %$. -. $'$.

%-. $'.

()++. %!.

'. '#+ $)%. .

%($. ##$.

)+.%!.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Adapun skripsi ini berjudul “Perencanaan Lanskap untuk Pelestarian Kawasan Budaya Kampung

Lengkong Kyai, Tangerang” dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan skripsi ini dibantu dan didukung oleh berbagai pihak, oleh karena itu penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi 2. Ibu Vera Dian Damayanti, S.P., MSLA. dan Ibu Dr. Ir. Indung Sitti

Fatimah, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik

3. Ibu Dr. Ir. Nurhayati, M.Sc. dan Ibu Fitriyah Nurul H. Utami S.T., M.T. selaku dosen penguji skripsi

4. Orang tua atas dukungan dan doa-doanya selama ini

5. Bapak H. Mukri Mian selaku narasumber terkait informasi sejarah dan budaya Kampung Lengkong Kyai

6. Instansi-instansi terkait yang membantu perizinan dan menyediakan data-data pendukung penelitian: Kesbangpol Provinsi Banten, Kesbangpol Kabupaten Tangerang, Bappeda Kabupaten Tangerang, Disporabudpar Kabupaten Tangerang, BMKG, Kecamatan Pagedangan dan Desa Lengkong Kulon

7. Penduduk Kampung Lengkong Kyai, atas penerimaannya saat melakukan penelitian

8. Teman-teman yang membantu penyusunan skripsi dan survei lapang 9. Harkyo Hutri Baskoro, Aditya Pratama, Irma Tri Yuliandari, Rezza Mien

Nugraha dan Nurul Fauziah Dabibah selaku teman dan senior satu bimbingan skripsi

10.Seluruh teman-teman Arsitektur Lanskap IPB angkatan 47 dan 48

11.Serta seluruh pihak yang telah membantu selama proses penyusunan skripsi ini.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat di masa yang akan datang baik secara langsung maupun tidak langsung bagi semua pihak, khususnya penduduk Kampung Lengkong Kyai.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2

Kerangka Pikir 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Lanskap 3

Kebudayaan 4

Lanskap Budaya dan Sejarah 4

Perencanaan Pelestarian Lanskap Budaya dan Sejarah 4

Pola Perkampungan Sunda 5

Pola Kampung Lengkong Kyai 7

Karakteristik Lanskap Budaya 8

Signifikansi Budaya 8

METODE 9

Lokasi dan Waktu Penelitian 9

Data dan Informasi 10

Alat 12

Metode dan Tahapan Penelitian 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Kondisi Umum 17

Data Aspek Biofisik 19

a. Topografi dan Kemiringan Lahan 19

b. Geologi dan Tanah 19

c. Iklim 24

d. Hidrologi 26

e. Penggunaan dan Penutupan Lahan 26

f. Vegetasi 31

Data Aspek Budaya 32

a. Sejarah Kawasan 32

b. Adat Istiadat 32

c. Pola Permukiman dan Arsitektur Rumah Adat 34

d. Kebudayaan Naratif 36

Identifikasi Karakteristik Lanskap Budaya 38

1. Landuse dan Aktivitas 38

2. Pola Organisasi Ruang 40

(10)

4. Tradisi Budaya 44

5. Jejaring Sirkulasi 47

6. Batas Pemisah 51

7. Vegetasi Terkait dengan Landuse 51

8. Bangunan, Struktur dan Objek 54

9. Kelompok-kelompok (Clusters) 56

10. Situs Arkeologi 58

11. Elemen Skala Kecil 58

Analisis Signifikansi Lanskap Budaya 60

Nilai Penting Estetika 62

Nilai Penting Sejarah 65

Nilai Penting Sosial dan Spiritual 65

Nilai Penting Ilmiah 67

Pembobotan Nilai Penting 68

Sintesis 71

Konsep dan Pengembangan 73

Konsep Ruang 75

Konsep Sirkulasi 75

Konsep Tata Hijau 76

Rencana Lanskap 76

Rencana Ruang 76

Rencana Sirkulasi 77

Rencana Tata Hijau 77

SIMPULAN DAN SARAN 82

Simpulan 82

Saran 82

DAFTAR PUSTAKA 83

RIWAYAT HIDUP 85

DAFTAR TABEL

1 Konsep dasar tata ruang Sunda 5

2 Data dan informasi penelitian 10

3 Karakteristik lanskap budaya 14

4 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya 15

5 Luas kelas lereng Kampung Lengkong Kyai 19

6 Hasil perhitungan analisis air Sungai Cisadane 26 7 Kriteria interpretasi citra satelit untuk kelas penutupan lahan 27 8 Perubahan luas penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai dari tahun

(11)

9 Persentase perubahan luas penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai

dari tahun 2004 hingga 2014 30

10 Perkembangan landuse dan aktivitas di Kampung Lengkong Kyai

berdasarkan periode 40

11 Karakteristik-karakteristik lanskap pembentuk zona 60 12 Karakteristik yang digunakan dalam penilaian signifikansi lanskap budaya 62

13 Hasil pembobotan nilai penting 68

14 Evaluasi lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai 71 15 Rekomendasi vegetasi untuk rencana tata hijau 77

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 3

2 Pola perkembangan permukiman Sunda secara umum 6

3 Ilustrasi konsep elemen 7

4 Ilustrasi konsep orientasi dan mitos 7

5 Peta lokasi penelitian 9

6 Diagram tahapan penelitian 13

7 Peta orientasi kawasan penelitian 18

8 Peta elevasi Kampung Lengkong Kyai 20

9 Peta kemiringan lahan Kampung Lengkong Kyai 21

10 Peta geologi Kecamatan Pagedangan 22

11 Peta jenis tanah Kampung Lengkong Kyai 23

12 Grafik suhu udara rata-rata, kelembaban udara rata-rata dan jumlah curah

hujan rata-rata bulanan tahun 2005 – 2014 24

13 Peta lokasi stasiun BMKG 25

14 Peta penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai tahun 2004 28 15 Peta penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai tahun 2014 29 16 (a) Kebun sayur; (b) hutan bambu yang tersisa 31

17 Pola permukiman Kampung Lengkong Kyai 35

18 Bentuk rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai 36 19 Denah rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai 36

20 Silsilah Raden Arya Wangsakara 37

21 Pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 17-18 41 22 Pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20 42 23 Pola organisasi ruang Kampung Lengkong Kyai pada masa sekarang 43 24 Konsep tata ruang Kampung Lengkong Kyai berdasarkan konsep

patempatan dalam kebudayaan Sunda menurut Salura (2007) 46

(12)

26 Pemanfaatan sungai sebagai jalur transportasi oleh penduduk Kampung

Lengkong Kyai pada masa lalu 47

27 Sirkulasi Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20 48 28 Sirkulasi Kampung Lengkong Kyai pada masa sekarang 49 29 (a) Akses masuk kampung dari Jalan BSD Boulevard Utara (bagian Timur

kampung); (b) akses masuk kampung dari Jalan BSD Raya Barat (bagian

Barat kampung) 49

30 (a) Sirkulasi jalan besar; (b) sirkulasi jalan setapak 50

31 Sirkulasi di area pemakaman 50

32 Gerbang besar area pemakaman 50

33 Gerbang kecil area pemakaman 51

34 (a) (b) Ragam vegetasi di area pemakaman; (c) ragam vegetasi di area

pemakaman sebelah masjid 52

35 (a) Ragam vegetasi pada pekarangan samping rumah (pipir); (b) ragam

vegetasi pada teras 53

36 Rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai 54

37 (a) Masjid Jami Al Muttaqin tempo dulu; (b) Masjid Jami Al Muttaqin

saat ini 55

38 Musala Al Azhari 56

39 (a) Bangunan makam Raden Arya Wangsakara tempo dulu; (b) bangunan

makam Raden Arya Wangsakara saat ini 56

40 Kelompok-kelompok (clusters) di Kampung Lengkong Kyai 57 41 (a) (b) Batu menhir; (c) papan nisan pada makam leluhur Kampung

Lengkong Kyai 58

42 Pagar bambu pada rumah warga Kampung Lengkong Kyai 59 43 Peta zonasi analisis signifikansi lanskap budaya 61 44 Rumah bergaya arsitektur semi tradisional pada zona I 63

45 Rumah bergaya arsitektur modern pada zona II 63

46 Aktivitas melukis kaligrafi di Kampung Lengkong Kyai 67 47 Peta hasil analisis signifikansi lanskap budaya 70

48 Block plan 74

49 Konsep ruang 75

50 Konsep sirkulasi 75

51 Fungsi vegetasi pada masing-masing ruang 77

52 Rencana lanskap pelestarian Kampung Lengkong Kyai 79

53 Gambar potongan A – A' 80

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia telah melalui banyak peristiwa bersejarah yang menjadi bagian dari perjalanan bangsa. Mulai dari zaman kerajaan-kerajaan bercorak Hindu, Buddha dan Islam, hingga zaman penjajahan bangsa-bangsa Eropa, telah banyak meninggalkan situs dan kawasan bernilai budaya dan sejarah. Situs dan kawasan bersejarah tersebut merupakan suatu aset berharga yang menggambarkan kehidupan masyarakat di masa lalu. Berkembangnya suatu perkotaan tidak menutup kemungkinan dapat pula menggerus keberadaan dari situs dan kawasan bernilai sejarah tersebut. Hal ini dapat menghilangkan bukti sejarah yang pernah terjadi di masa lampau.

Berkembangnya berbagai macam agama dan kepercayaan di Indonesia seperti Hindu, Buddha, dan Islam pada zaman kerajaan, turut mempengaruhi terbentuknya tatanan lanskap pekampungan yang khas. Seperti halnya menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) bahwa lanskap sejarah dinyatakan sebagai suatu kawasan geografis yang merupakan objek atau susunan (setting) atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia. Dengan demikian pengaruh dari adanya interaksi agama yang dibawa oleh bangsa asing terhadap masyarakat lokal pada zaman kerajaan telah memperkaya pola-pola perkampungan di Indonesia.

Kampung Lengkong Kyai merupakan kampung yang berada di Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Letak kampung ini berdampingan dengan kawasan pengembangan Kota Bumi Serpong Damai (BSD). Kata Lengkong diambil dari nama daerah asal pendiri kampung, Raden Arya Wangsa Di Kara dibesarkan yaitu Kampung Lengkong di Kecamatan Panjalu, Ciamis Utara (Mian 1983). Raden Arya Wangsa Di Kara, atau Raden Arya Wangsakara adalah seorang ulama dan dapat dipastikan adalah Pangeran Arya Wiraraja II yang berasal dari Kerajaan Islam Sumedang Larang, yang pindah dari Sumedang ke Banten untuk menghindar dari tekanan Kerajaan Mataram dan pemberontakan Dipati Ukur (Tjandrasasmita 2009).

Khamdevi (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pola Kampung Lengkong Kyai mengikuti posisi arah kiblat dan secara unik terletak pada bibir sungai yang juga mengikuti posisi arah kiblat. Selain itu, penempatan makam pendiri kampung ini di atas bukit memiliki benang merah dengan kebiasaan yang terjadi pada masyarakat dan kerajaan-kerajaan Jawa pada umumnya mengenai dunia dan akhirat. Selanjutnya dari sudut pandang sejarah, Kampung Lengkong Kyai telah dilalui oleh banyak peristiwa bersejarah, terutama yang mewarnai sejarah Tangerang. Beberapa peristiwa sejarah berlangsung semenjak zaman Kerajaan Mataram, lalu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC Belanda (Tjandrasasmita 2009), hingga pada masa kemerdekaan, terutama menjadi salah satu basis Masyumi (Mian 1983, dalam Khamdevi 2012) dan juga menjadi area pertempuran Mayor Daan Mogot, yang dikenal sebagai pertempuran lengkong (Seno 2011, dalam Khamdevi 2012).

(14)

wilayah kota tersebut, yang lambat laun bukan tidak mungkin akan menggerus keberadaan Kampung Lengkong Kyai. Terlebih lagi wilayah perkampungan di sekitar Kampung Lengkong Kyai mulai pudar tergantikan perumahan dan fungsi baru. Hal ini tentunya akan berdampak hilangnya nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah lama menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat setempat. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan perencanaan lanskap untuk pelestarian kawasan budaya Kampung Lengkong Kyai, di mana fungsi-fungsi ruang yang ada dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat menjadi perhatian dalam menentukan perencanaan yang sesuai.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. mengidentifikasi karakteristik lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai; 2. menganalisis signifikansi lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai;

3. menyusun perencanaan lanskap untuk pelestarian kawasan budaya Kampung Lengkong Kyai.

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah dalam melestarikan lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai;

2. mempertahankan nilai-nilai sejarah dan budaya dari lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai.

Kerangka Pikir

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap

Menurut Starke dan Simonds (2006), lanskap adalah suatu bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indera yang dimiliki manusia. Lanskap juga dinyatakan sebagai suatu lahan yang memiliki elemen pembentuk, komposisi dan karakteristik tertentu sebagai pembedanya. Dikenal adanya lanskap alami (natural landscape) dan lanskap binaan (man made landscape) sebagai dua bentuk lanskap utama yang dipilah berdasarkan intensitas intervensi manusia ke dalam lanskap tersebut. Lanskap binaan merupakan suatu betukan lanskap yang menerima campur tangan, masukan atau binaan, pengelolaan dari manusia dari tingkatan intensitas yang kecil sampai yang tinggi sekali.

(16)

Kebudayaan

Menurut Taylor (1897) dalam Sulaeman (2012) menyatakan kebudayaan ataupun yang disebut peradaban, mengandung pengertian yang luas meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. Selanjutnya Kroeber dan Klukhohn (1950) dalam Sulaeman (2012) mengajukan konsep kebudayaan sebagai kupasan kritis dari definisi-definisi kebudayaan (konsensus) yang mendekati. Definisinya adalah: kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi, cita-cita atau paham, terutama keterkaitan terhadap nilai-nilai.

Lanskap Budaya dan Sejarah

Lanskap budaya didefinisikan sebagai suatu area geografis, meliputi baik budaya dan sumber daya alami dan cagar alam, berasosiasi dengan kejadian historis, kegiatan, atau seseorang atau memperlihatkan nilai budaya atau keindahan lainnya (Birnbaum 1994). Selanjutnya Tisler (1979) dalam Nurisyah dan Pramukanto (2001) mendefinisikan lanskap budaya ini sebagai suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu pola kebudayaan tertentu. Lanskap ini memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya dan juga nilai dan tingkat estetika, termasuk kejadian-kejadian kesejarahan yang dimiliki oleh kelompok tersebut.

Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), lanskap sejarah (historical landscape) yang secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu (landscape of the past), merupakan bagian dari bentuk suatu lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu di dalamnya. Lanskap sejarah memiliki karakter yang terdiri atas atau yang dapat diamati dari karakter utama kawasan, situs atau tapak tersebut dan hubungan-hubungannya terhadap tapak. Kedua hal ini, terutama, dibentuk oleh 2 (dua) faktor, yaitu:

1. historic/prehistoric feature, yaitu feature yang terletak di atas atau di bawah permukaan tanah (seperti lanskap), dan

2. informasi-informasi sejarah yang berhubungan dengan tapak tersebut (seperti cerita rakyat, legenda, atau catatan sejarah proses terjadinya suatu tapak).

Perencanaan Pelestarian Lanskap Budaya dan Sejarah

(17)

yang terdapat atau tersedia di kawasan yang akan dilestarikan. Perencanaan kawasan harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya: mempelajari hubungan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar, memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan yang akan direncanakan, dan merencanakan kawasan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu kawasan yang dapat menampilkan masa lalunya (Nurisyah dan Pramukanto 2001).

Menurut Harris dan Dines (1988) beberapa tujuan dari perencanaan lanskap sejarah adalah:

1. mempreservasi karakter keindahan dari bangunan atau area: a. menekankan pada keberlanjutan masa dahulu dan saat ini, b. melengkapi suatu struktur sejarah,

c. menahan penurunan karakter pada lingkungan,

d. menginterpretasikan kehidupan sejarah seseorang, kejadian, maupun tempat.

2. mengkonservasi sumber daya:

a. melindungi pepohonan, semak, dan berbagai macam material tanaman, b. memperpanjang kehidupan pada elemen tapak,

c. memperbaiki dan merehabilitasi elemen yang sudah tidak berfungsi lagi, d. mengurangi pemeliharaan.

3. memfasilitasi pendidikan lingkungan:

a. mengilustrasikan selera, proses, teknologi pada masa lalu,

b. mengevaluasi penerapan penggunaan teknologi pada masa lalu dan saat ini.

4. mengakomodasi kebutuhan akibat perubahan pada kawasan permukiman baik di perkotaan, sub-urban atau perdesaan.

Pola Perkampungan Sunda

Menurut Salura (2007) dalam kebudayaan Sunda konsep tentang perkembangan tempat (patempatan) terjadi dalam tiga tahap, yaitu tahap awal yang terdiri dari satu hingga tiga rumah dan disebut dengan umbalan. Kemudian berkembang menjadi babakan yang terdiri dari empat hingga enam rumah dan berkembang menjadi kawasan yang lebih besar dengan jumlah rumah lebih dari enam dan disebut dengan kampung (Gambar 2).

Di samping itu, dalam kebudayaan masyarakat Sunda diterapkan beberapa aturan dalam penataan ruang yang menjadi ciri khas bagi permukiman Sunda, Aturan tersebut berdasarkan informasi yang bersumber dari literatur Sunda (pantun bogor) dalam cerita Sanghyang Siksa Kandang Karesian bahwa terdapat tiga konsep patempatan dalam kebudayaan Sunda (Salura 2007). Tiga konsep tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Konsep dasar tata ruang Sunda

No. Konsep Uraian

1 Elemen Cai nyusu, imah, pipir dan buruan

2 Orientasi Sanghyang wuku, luhur, tengah dan handap 3 Mitos Alam (jagat) padanan tubuh manusia

(18)

Sumber: Dahlan (2009)

Gambar 2 Pola perkembangan permukiman Sunda secara umum

Konsep elemen merupakan tata ruang mikro dalam permukiman Sunda di mana dalam sebuah ruang kecil dibentuk oleh elemen sumber air (cai nyusu), rumah (imah), pekarangan samping rumah (pipir) dan pekarangan depan rumah (buruan) (Gambar 3). Adapun untuk konsep orientasi saat ini lebih dikenal dengan konsep lemah-cai, luhur handap dan kaca-kaca. Di samping itu terdapat mitos dalam konsep ruang masyarakat Sunda yang menerangkan bahwa ruang merupakan manifestasi dari alam yang dipadankan dengan manusia yang memiliki wadah (tubuh) dan isi (jiwa).

Ruang harus berfungsi sebagai wadah bagi seluruh aktivitas dari masyarakat dan juga harus memiliki isi atau menjadi sumber kekuatan dalam menjaga stabilitas dalam kehidupan. Dalam hal ini isi dapat berupa bentuk fisik maupun non-fisik. Bentuk fisik biasa disimbolkan dengan batu, makam, pohon atau benda lainnya yang dianggap keramat oleh masyarakat. Sedangkan bentuk non-fisik biasa disimbolkan dengan kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau dikenal dengan istilah karuhun (Salura 2007). Gambar 4 mengilustasikan konsep orientasi tata ruang Sunda dan konsep mitos ruang yang merupakan manisfestasi dari alam yang dipandankan sebagai tubuh (wadah) dan jiwa (isi) manusia.

(19)

pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan berjalan harmonis baik secara vertikal maupun horizontal (Salura 2007).

Sumber: Dahlan (2009)

Gambar 3 Ilustrasi konsep elemen

Sumber: Dahlan (2009)

Gambar 4 Ilustrasi konsep orientasi dan mitos

Pola Kampung Lengkong Kyai

(20)

Lebih jauh lagi Khamdevi (2012) menjelaskan bahwa kampung lama dari Kampung Lengkong Kyai berada pada lapis pertama yang dekat dengan bibir Sungai Cisadane. Pola dan posisi bangunan kampung ini berpola linear dan terpusat, di mana hampir 100% mengikuti posisi arah kiblat. Bagian yang memanjang dari bangunannya menghadap bukit dan sungai. Bukit, makam dan sungai serta masjid merepresentasikan hubungan timeline sejarah dan juga hubungan analogi dunia akhirat dalam kaitannya dengan Ketuhanan yang berlaku umum pada masyarakat Jawa.

Karakteristik Lanskap Budaya

Menurut McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999), karakteristik lanskap adalah bukti nyata kegiatan dan kebiasaan masyarakat yang menduduki, mengembangkan, menggunakan dan membentuk lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia. McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999) menyebutkan terdapat sebelas karakteristik lanskap perdesaan, antara lain: landuse dan aktivitas; pola organisasi ruang; respon terhadap lingkungan alam; tradisi budaya; jejaring sirkulasi; batas pemisah; vegetasi terkait dengan landuse; bangunan, struktur dan objek; kelompok-kelompok (clusters); situs arkeologi dan elemen skala kecil. Empat karakteristik pertama merupakan proses yang merupakan instrumen pembentuk lahan, sedangkan tujuh karakteristik lainnya merupakan elemen fisik yang terlihat di lapang. Sistem klasifikasi terhadap sebelas karakteristik ini dikembangkan untuk membaca lanskap perdesaan dan memahami kekuatan alam dan budaya yang membentuknya.

Sistem klasifikasi karakteristik lanskap ini adalah alat untuk mengumpulkan dan mengorganisir informasi. Karakteristik proses mendefinisikan tema tertentu dari suatu lanskap. Sedangkan karakteristik elemen fisik mendefinisikan fitur bersejarah dari suatu lanskap.

Signifikansi Budaya

(21)

Menurut Tanudirjo (2004) dalam Supriadi (2010), sebuah cagar budaya memiliki nilai penting sejarah apabila cagar budaya tersebut menjadi bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam bidang tertentu. Sementara memiliki nilai penting ilmu pengetahuan apabila cagar budaya tersebut berpotensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam berbagai bidang seperti arkeologi, antropologi, arsitektur, dan bidang ilmu lainnya. Nilai penting kebudayaan apabila cagar budaya tersebut dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau menjadi jati diri bangsa atau komunitas tertentu.

Pearson dan Sullivan (1995) dalam Awat (2011) menyatakan lima nilai penting yang dimiliki oleh suatu sumber daya budaya atau cagar budaya yaitu nilai penting estetika, arsitektural, sejarah, ilmu pengetahuan dan sosial. Nilai penting estetika didasarkan pada kemampuan untuk menyajikan pemandangan yang mengesankan, membangkitkan perasaan khusus dan makna tertentu bagi masyarakat, rasa ketertarikan, dan paduan serasi antara alam dan budaya manusia. Nilai penting arsitektural didasarkan pada kemampuan untuk mencerminkan keindahan seni rancang bangun yang khas, penggunaan bahan, gaya rancang bangun, serta teknologi. Nilai penting ilmu pengetahuan berdasarkan pada ketersediaan data atau informasi untuk melakukan penelitian sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Sementara nilai penting sosial meliputi kemampuan untuk menumbuhkan perasaan rohaniah (spiritual dan kebanggaan) dan perasaan budaya lainnya bagi kelompok tertentu.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Lengkong Kyai, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

(22)

Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung selama 6 (enam) bulan yang dimulai dari bulan April tahun 2015 hingga September tahun 2015.

Data dan Informasi

Data dan informasi yang diperlukan berupa aspek biofisik dan budaya Kampung Lengkong Kyai yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Berikut ini merupakan tabel data dan informasi yang dikumpulkan selama penelitian.

Tabel 2 Data dan informasi penelitian

No. Aspek Jenis data Interpretasi Sumber data

 Penggunaan lahan √ √ Penggunaan

(23)

Tabel 2 Data dan informasi penelitian (lanjutan)

No. Aspek Jenis data Interpretasi Sumber

data

Keterangan: Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Kab. Tangerang) BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

Aspek Biofisik  Topografi

Peta topografi memuat informasi garis kontur pada tapak yang berfungsi untuk delineasi kelas kemiringan lahan (slope) dan elevasi kawasan studi.  Geologi dan Tanah

Data geologi dan tanah berguna untuk mengetahui jenis pemanfaatan lahan yang sesuai berdasarkan jenis tanah yang dihasilkan melalui proses mineralisasi dari bahan induk (batuan). Berdasarkan jenis tanah juga dapat diindikasikan kepekaan erosinya.

 Iklim

Data yang dikumpulkan antara lain suhu udara rata-rata, kelembaban udara rata-rata serta curah hujan bulanan rata-rata. Data ini digunakan untuk menginterpretasikan kondisi iklim wilayah yang dapat menentukan kesesuaian lahan untuk kenyamanan dalam pemanfaatan lahan tertentu.  Vegetasi

Data vegetasi dikumpulkan untuk mengetahui jenis vegetasi yang digunakan oleh warga Kampung Lengkong Kyai dalam kehidupan sehari-hari seperti sebagai bahan pengobatan tradisional, bahan bangunan, perkakas rumah tangga dan pertanian, bahan untuk membuat kerajinan tangan dan sebagainya. Data vegetasi yang dikumpulkan terdiri dari jenis dan bagian vegetasi yang dimanfaatkan, serta cara penggunaan dan kegunaannya.

 Penggunaan Lahan

Data penggunaan lahan berfungsi sebagai informasi untuk mengetahui lokasi-lokasi penggunaan lahan seperti pertanian, perkebunan, permukiman dan sebagainya, serta lokasi-lokasi yang memiliki nilai pada kawasan tersebut.  Penutupan Lahan

Data penutupan lahan diperoleh dengan mendelineasi jenis penutupan lahan pada citra satelit. Data klasifikasi penutupan lahan digunakan untuk mengetahui tipe penggunaan lahan dan pola pemanfaatan lahan serta elemen fisik yang membentuknya.

 Hidrologi

Data hidrologi yang digunakan berupa data Sungai Cisadane. Data ini digunakan untuk mengetahui kondisi sungai dan pemanfaatan sungai yang dilakukan oleh warga Kampung Lengkong Kyai.

Aspek Budaya  Sejarah

(24)

terjadi dalam proses pembentukkan kampung tersebut. Selain itu keberadaan benda-benda bersejarah seperti artefak, makam, bangunan dan lain-lain menjadi suatu pertimbangan tersendiri dalam perencanaan lanskap.

 Adat Istiadat

Informasi adat istiadat masyarakat diperoleh untuk menginterpretasikan nilai-nilai adat istiadat yang ada pada masyarakat setempat baik yang teraga maupun tidak teraga, sehingga dapat diketahui adanya fungsi ruang sebagai wadah aktivitas adat masyarakat.

 Pola Permukiman

Informasi mengenai pola permukiman diperoleh untuk mengiterpretasikan bentuk atau pola dari susunan struktur bangunan dan fasilitas-fasilitas yang ada, di mana pola tersebut merupakan suatu nilai budaya yang penting untuk dilestarikan.

 Arsitektur Rumah

Informasi mengenai arsitektur rumah diperoleh untuk menginterpretasikan bentukan rumah masyarakat asli Kampung Lengkong Kyai yang masih terjaga dengan berbagai keunikan yang ada.

 Kebudayaan Naratif

Informasi mengenai kebudayaan naratif diperoleh untuk menginterpretasikan hasil krativitas masyarakat dalam bentuk pantun, puisi, cerita, tembang, naskah sejarah dan sebagainya, sehingga dapat diketahui karakteristik bentang alam dan sejarah yang tersirat pada karya tersebut.

Alat

Kegiatan penelitian ini menggunakan beberapa alat pada saat survei lapang dan pengolahan data. Pada saat survei lapang alat-alat yang digunakan antara lain kamera digital, alat Global Positioning System (GPS), voice recorder dan alat tulis. Sedangkan pada saat pengolahan data alat yang digunakan yaitu komputer dengan beberapa software penunjang, antara lain: Microsoft Office, ArcGIS, Google Earth, AutoCAD dan Adobe Photoshop.

Metode dan Tahapan Penelitian

Metode yang digunakan secara umum dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Tahapan penelitian meliputi persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan. Diagram tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Detail tahapan penelitian adalah sebagai berikut.

1. Persiapan

(25)

2. Inventarisasi

Tahap inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data dan informasi. Metode pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan dua cara, yaitu survei lapang yang bertujuan untuk mendapatkan data primer dan studi pustaka untuk mendapatkan data sekunder. Survei lapang dilakukan dengan cara pengamatan langsung di mana pengamatan dan pengambilan data difokuskan pada aspek-aspek biofisik dan budaya yang akan dianalisis. Untuk pengambilan data fisik dilakukan pemetaan dengan melakukan tracking menggunakan GPS yang selanjutnya dikompilasi dengan base map. Selain itu, dilakukan juga wawancara terhadap key informant (H. Mukri Mian) untuk memperoleh informasi terkait aspek budaya. Bahan-bahan studi pustaka untuk memperoleh data sekunder mengenai informasi topografi, geologi dan tanah, iklim, penggunaan lahan, penutupan lahan dan hidrologi dikumpulkan dari data-data yang dimiliki dinas dan instansi terkait serta literatur dari berbagai sumber.

3. Analisis

Analisis dilakukan berdasarkan data dan informasi yang telah dikumpulkan. Tahap ini meliputi identifikasi karakteristik lanskap budaya dan analisis signifikansi/nilai penting dari lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai.

(26)

a. Identifikasi Karakteristik Lanskap Budaya

Identifikasi karakteristik lanskap budaya merujuk pada sebelas karakteristik lanskap perdesaan yang dikemukakan oleh McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999). Deskripsi masing-masing karakter dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik lanskap budaya

No. Karakteristik Deskripsi

1 Landuse dan aktivitas

Landuse dengan aktivitas yang melatarbelakanginya merupakan kekuatan manusia yang berpengaruh dalam membentuk dan mengorganisasi masyarakat perdesaan.

2 Pola organisasi

ruang

Hubungan antara komponen fisik utama (politik, ekonomi, teknologi dan lingkungan alam) dalam mempengaruhi organisasi masyarakat dalam pola permukiman, kedekatan terhadap pasar dan ketersediaan transportasi.

3 Respon terhadap

lingkungan alam

Respon masyarakat terhadap sumber daya utama (gunung, padang rumput, sungai, danau dan hutan) dalam menentukan lokasi dan organisasi ruang masyarakat; iklim dalam menentukan posisi bangunan, material konstruksi, lokasi klaster bangunan dan struktur;

fisiografi dan ekologi dalam menentukan tradisi landuse, metode

konstruksi dan adat sosial.

4 Tradisi budaya Tradisi mempengaruhi cara menggunakan, mengokupasi dan

membentuk lahan.

5 Jejaring

sirkulasi

Sistem transportasi manusia, barang dan bahan mentah dari satu tempat ke tempat lain baik itu akses internal masyarakat desa maupun akses regional di sekitarnya.

6 Batas pemisah Batas pemisah merupakan delineasi kepemilikan lahan dan

penggunaan lahan, seperti pemisahan area dengan fungsi khusus dengan pagar atau tembok batu tertutup.

7 Vegetasi terkait

dengan landuse

Keberagaman vegetasi berhubungan langsung dengan pola

penggunaan lahan, baik itu vegetasi indigenous, naturalized maupun

introduksi.

8 Bangunan,

struktur dan objek

Keberadaan bangunan, struktur dan objek untuk melayani kebutuhan manusia berkenaan dengan penguasaan dan penggunaan lahan.

9

Kelompok-kelompok (clusters)

Pengelompokan/grouping bangunan, pagar dan elemen lain sebagai

resultan dari fungsi, tradisi sosial, iklim dan pengaruh lain baik budaya dan alam.

10 Situs arkeologi Keberadaan situs prasejarah maupun sejarah seperti fondasi

bangunan, perubahan vegetasi dan permukaan lahan yang masih tersisa.

11 Elemen skala

kecil

Keberadaan elemen skala kecil seperti jembatan kecil, rambu, pagar,

gerbang, tugu triangulasi dan sebagainya yang melengkapi setting

lanskap perdesaan.

Sumber: McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999)

Empat karakteristik pertama merupakan proses yang menjadi instrumen pembentuk lanskap budaya. Sedangkan tujuh karakteristik lainnya merupakan elemen fisik pembentuk lanskap yang terlihat di lapang. Keluaran dari tahapan ini yaitu deskripsi karakteristik lanskap dan identifikasi karakteristik kunci lanskap (key characteristics) Kampung Lengkong Kyai.

b. Analisis Signifikansi Lanskap Budaya

(27)

Selanjutnya dilakukan pembobotan pada masing-masing zona. Mengacu pada Piagam Burra (Australia ICOMOS 1999), maka ada empat kriteria utama yang harus diidentifikasi dan dinilai untuk signifikansi lanskap budaya yaitu estetika, sejarah, sosial atau spiritual dan ilmiah. Skor hasil pembobotan lalu dijumlahkan dan dibuat interval kelas untuk mengetahui tingkat signifikansinya. Tingkat signifikansi dibagi menjadi tiga yaitu signifikansi rendah, sedang dan tinggi. Langkah terakhir yaitu mendeskripsikan nilai penting (significant) lanskap budaya tersebut berdasarkan hasil pembobotan dari setiap kriteria. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan interval kelas menurut Selamet (1983) dalam Anggraeni (2011) adalah sebagai berikut.

Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori

Signifikansi Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa Signifikansi Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) Signifikansi Rendah = SMi sampai SMi + IK

Tabel 4 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya

No. Kriteria Skor

Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3)

1 Estetikab

a. Landusea 1) Terjadi perubahan penggunaan lahan

b. Arsitektur rumah2) Didominasi >50%

oleh rumah

c. Elemen lanskap3) Keaslian elemen

baik bentuk,

d. Integritas/unitya 4) Lanskap tidak

memiliki

a. Elemen lanskapa Tidak terdapat

elemen bersejarah

b. Area/ruanga Tidak terdapat area

(28)

8) Mengacu pada aktivitas masyarakat Kampung Lengkong Kyai yang bernilai pendidikan pada abad ke 19-20.

Tabel 4 Kriteria penilaian signifikansi lanskap budaya (lanjutan)

No. Kriteria Skor

Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3)

3 Sosial/Spiritualb

a. Area/ruang5) Area/ruang dan

aktivitas sosial

c. Tradisi budaya7) Masyarakat sudah

sepenuhnya

a. Aktivitas8) Aktivitas yang

bernilai pendidikan

b. Elemen lanskap Tidak ada elemen

yang memiliki nilai

1) Mengacu pada landuse Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20.

2) Mengacu pada bentuk arsitektur rumah khas Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20 yang menyerupai rumah adat betawi.

3) Mengacu pada kondisi elemen lanskap Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20. 4) Mengacu pada konsep tata ruang Kampung Lengkong Kyai berdasarkan konsep

patempatan dalam kebudayaan Sunda menurut Salura (2007).

5) Mengacu pada aktivitas sosial budaya masyarakat Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20.

6) Mengacu pada norma/aturan adat yang dianut masyarakat Kampung Lengkong Kyai pada abad ke 19-20.

(29)

4. Sintesis

Hasil dari analisis terhadap karakteristik dan signifikansi lanskap budaya ini kemudian disintesis untuk menghasilkan rekomendasi tindakan pelestarian yang akan diterapkan pada lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai sesuai dengan tingkat signifikansinya. Bentuk tindakan pelestarian tersebut mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu perlindungan yang meliputi penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan dan pemugaran; pengembangan yang meliputi penelitian, revitalisasi dan adaptasi; serta pemanfaatan.

5. Perencanaan

Pada tahap awal perencanaan dilakukan penetapan konsep perencanaan lanskap budaya Kampung Lengkong Kyai. Kemudian dilakukan pengembangan konsep perencanaan berupa konsep ruang, konsep sirkulasi dan konsep tata hijau. Selanjutnya dibuat hasil akhir berupa rencana lanskap (landscape plan) yang dituangkan dalam bentuk rencana ruang, rencana sirkulasi dan rencana tata hijau.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Kampung Lengkong Kyai atau disebut juga Kampung Lengkong Ulama merupakan salah satu kampung yang terletak di wilayah Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten (Gambar 7). Secara geografis Kampung Lengkong Kyai terletak pada 6˚171,10 LS - 6˚1718,30 LS dan 106˚38 54,60 BT - 106˚39 14,30 BT. Batas wilayah Kampung Lengkong Kyai saat ini yaitu sebelah Timur berbatasan dengan Jalan BSD Boulevard Utara, sebelah Barat berbatasan dengan Jalan BSD Raya Barat, sebelah Selatan berbatasan dengan Jakarta Nanyang School dan sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Cisadane. Kampung Lengkong Kyai memiliki luas sebesar 15,7 ha. Lokasi Kampung Lengkong Kyai berada di tepi Sungai Cisadane yang memisahkan Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

(30)

Ga

mbar

7

P

eta

o

rie

ntasi

ka

wa

sa

n p

ene

li

ti

(31)

Data Aspek Biofisik

a. Topografi dan Kemiringan Lahan

Topografi Kampung Lengkong Kyai memiliki elevasi 20 sampai 45 meter di atas permukaan laut. Peta elevasi Kampung Lengkong Kyai dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8, Kampung Lengkong Kyai memiliki topografi berbukit, semakin ke Tenggara memiliki kontur yang semakin tinggi.

Berdasarkan peta elevasi dapat dibuat peta kemiringan lahan. Tabel 5 dan Gambar 9 merupakan tabel luas kelas lereng dan peta kemiringan lahan. Kelas lereng ditentukan menjadi lima kelas berdasarkan kriteria penentuan kawasan lindung (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980) yaitu 0-8% (datar), 8-15% (landai), 15-25% (agak curam), 25-40% (curam) dan >40% (sangat curam).

Tabel 5 Luas kelas lereng Kampung Lengkong Kyai

Kelas lereng Klasifikasi Luas (m2) Persentase luas (%)

0-8% Datar 55.915,49 35,63

8-15% Landai 21.407,68 13,64

15-25% Agak curam 16.728,25 10,66

25-40% Curam 27.429,61 17,48

>40% Sangat curam 35.434,11 22,58

Total 156.915,14 100,00

Persentase luas dari tertinggi sampai terendah yaitu lahan dengan kelas lereng 0-8% yang diklasifikasikan sebagai lahan datar menunjukkan persentase luas tertinggi sebesar 35,63% dari total area penelitian. Kelas lereng >40% yang diklasifikasikan sebagai lahan sangat curam menunjukkan persentase luas sebasar 22,58%. Kelas lereng 25-40% yang diklasifikasikan sebagai lahan curam menunjukkan persentase luas sebesar 17,48%. Kelas lereng 8-15% yang diklasifikasikan sebagai lahan landai menunjukkan persentase luas sebesar 13,64%. Kelas lereng 15-25% yang diklasifikasikan sebagai lahan agak curam menunjukkan persentase luas terendah yaitu 10,66% dari total area penelitian. b. Geologi dan Tanah

Formasi geologi di Kecamatan Pagedangan tersusun dari beberapa satuan batuan, di antaranya batuan gunung api tuf banten (QTvb), endapan permukaan aluvium (Qa), batuan gunung api endapan gunung api muda (Qv) dan batuan sedimen formasi genteng (Tpg). Peta geologi Kecamatan Pagedangan dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10, Kampung Lengkong Kyai termasuk dalam bagian satuan batuan endapan permukaan aluvium (Qa). Satuan batuan ini terdiri dari lempung, pasir, kerikil, kerakal dan bongkahan.

(32)

Ga

mbar

8 P

eta

eleva

si K

ampung Le

ngkong Kya

(33)

Ga

mbar

9 P

eta k

emi

ringa

n laha

n K

ampung Le

ng

kong Kya

(34)

Ga

mbar

10 P

eta g

eologi

Ke

ca

m

atan

P

age

d

anga

(35)

Ga

mbar

11 P

eta je

nis t

an

ah Ka

mpung Le

ngkong

Kya

(36)

tidak memuaskan. Berdasarkan kriteria penentuan kawasan lindung (SK Mentan No.837/Kpts/Um/II/1980) menurut kepekaannya terhadap erosi, tanah latosol masuk dalam kriteria agak peka.

c. Iklim

Data iklim diperoleh dari tiga stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terdekat dengan lokasi penelitian (Gambar 13). Stasiun BMKG tersebut yaitu, Stasiun Geofisika Kelas I Tangerang yang terletak pada 6˚6 0 LS dan 106˚22 48 BT dengan elevasi 14 mdpl, Stasiun Klimatologi Kelas II Pondok Betung yang terletak pada 6˚15 36 LS dan 106˚45 0 BT dengan elevasi 26 mdpl, dan Stasiun Meteorologi Kelas III Budiarto-Curug yang terletak pada 6˚16 12 LS dan 106˚3412 BT dengan elevasi 46 mdpl. Data yang diperoleh terhitung selama 10 tahun yaitu dari tahun 2005 hingga tahun 2014 (Gambar 12).

Sumber: BMKG

Gambar 12 Grafik suhu udara rata-rata, kelembaban udara rata-rata dan jumlah curah hujan rata-rata bulanan tahun 2005 – 2014

Suhu Udara Rata-rata

(37)

Ga

mbar

13 P

eta loka

si s

ta

siun B

(38)

Berdasarkan data dari tiga stasiun terdekat BMKG diketahui suhu rata-rata Kampung Lengkong Kyai yaitu 27,28 ˚C, dengan suhu minimum terjadi pada bulan Januari dan Februari yaitu 26,66 ˚C dan suhu maksimum terjadi pada bulan Oktober yaitu 27,9 ˚C. Kelembaban udara rata-rata Kampung Lengkong Kyai yaitu 79,14%, dengan kelembaban udara terendah terjadi pada bulan September yaitu 73,3% dan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 84,26%. Curah hujan rata-rata bulanan Kampung Lengkong Kyai yaitu 174,60 mm dan termasuk dalam kategori curah hujan sedang. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu 324,16 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan September yaitu 70,16 mm.

d. Hidrologi

Kualitas air sungai di kawasan studi diketahui berdasarkan hasil pantauan tahun 2013 dan 2014 mengenai tingkat pencemaran tiga sungai di Tangerang Selatan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Tangerang Selatan. Hasil analisis air Sungai Cisadane dihitung dengan metode STORET dan standar baku mutu kelas II sesuai PP No. 82 tahun 2001 yang disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis STORET kelas II menghasilkan kesimpulan bahwa seluruh bagian sungai (lokasi pantau) dalam kondisi tercemar berat dengan skor STORET lebih kecil dari sama dengan minus 30. Lokasi titik pantau terdekat dengan Kampung Lengkong Kyai yaitu Cilenggang menunjukkan nilai rekap STORET kelas II pada tahun 2013 dan 2014 masing-masing sebesar minus 78 dan minus 102.

Tabel 6 Hasil perhitungan analisis air Sungai Cisadane

Titik pantau Rekap storet kelas II

Klasifikasi Nama

sungai Lokasi 2013 2014

Cisadane Kranggan -110 -126 Tercemar berat

Cisauk -116 -122 Tercemar berat

Cilenggang -78 -102 Tercemar berat

Cihuni -84 -92 Tercemar berat

Gading Serpong -114 -122 Tercemar berat

Sumber: BLHD Kota Tangerang Selatan

Saat ini air Sungai Cisadane dimanfaatkan masyarakat kampung untuk kebutuhan rumah tangga seperti mandi, cuci dan kakus (MCK). Dalam cakupan yang lebih luas Sungai Cisadane yang mengalir di Kabupaten Tangerang berfungsi sebagai sumber air baik untuk pengairan lahan pertanian maupun untuk keperluan rumah tangga. Di samping itu, Sungai Cisadane juga berfungsi sebagai pengendali banjir pada musim hujan, sumber penghasil ikan dan sumber penghasil pasir untuk bahan bangunan. Dalam sejarah, dahulu Sungai Cisadane juga difungsikan sebagai prasarana lalu lintas orang dan barang (Ekadjati, Hardjasaputra dan Mulyadi 2004).

e. Penggunaan dan Penutupan Lahan

(39)

waktu yang berbeda yaitu tahun 2004 dan 2014 (Gambar 14 dan Gambar 15). Hal ini dilakukan untuk membandingkan perubahan penutupan lahan yang terjadi pada selang waktu tersebut di Kampung Lengkong Kyai. Interpretasi visual penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan kunci interpretasi yang dilihat dari warna, bentuk, ukuran, bayangan, pola dan tekstur (Tabel 7). Terdapat lima kelas penutupan lahan yang diinterpretasikan yaitu permukiman, vegetasi (pohon), vegetasi (semak dan groundcover), lahan pertanian dan perkerasan.

Tabel 7 Kriteria interpretasi citra satelit untuk kelas penutupan lahan Penutupan

lahan Warna Bentuk Ukuran Bayangan Pola Tekstur Citra

Permukiman Coklat

muda Geometris Sedang Ada Terkonsentrasi

Halus –

besar Tidak ada Terkonsentrasi Halus

Perkerasan Abu-abu

putih Geometris

Kecil –

besar Tidak ada Terkonsentrasi Halus

(40)

Ga

mbar

14 P

eta p

enutupan la

ha

n K

ampung Le

ng

kong Kya

i t

(41)

29

(42)

Tabel 8 Perubahan luas penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai dari tahun 2004 hingga 2014

Tabel 9 Persentase perubahan luas penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai dari tahun 2004 hingga 2014

Jenis penutupan lahan

Tahun 2014 (%)

Total

Permukiman Vegetasi

(pohon)

Vegetasi (semak dan groundcover)

Lahan

pertanian Perkerasan

T

ahu

n 2004

(%)

Permukiman 100 0 0 0 0 100

Vegetasi (pohon) 18,57 45,42 34,46 0 1,55 100

Vegetasi (semak

dan groundcover) 1,85 28,07 62,55 0 7,53 100

Lahan pertanian 25,32 35,45 39,23 0 0 100

Perkerasan - - - -

Jenis penutupan lahan

Tahun 2014 (m2)

Total

Permukiman Vegetasi

(pohon)

Vegetasi (semak dan groundcover)

Lahan

pertanian Perkerasan

T

ahu

n 2004

(m

2 )

Permukiman 50.686,95 0 0 0 0 50.686,95

Vegetasi (pohon) 15.492,67 37.898,97 28.752,40 0 1.295,01 83.439,05

Vegetasi (semak

dan groundcover) 310,91 4.718,85 10.514,77 0 1.265,05 16.809,58

Lahan pertanian 1.514,04 2.119,50 2.346,02 0 0 5.979,56

Perkerasan 0 0 0 0 0 0

Total 68.004,57 44.737,32 41.613,19 0 2.560,06 156.915,14

(43)

Berdasarkan peta penutupan lahan tahun 2004 dan wawancara dengan penduduk setempat diketahui penggunaan lahan di Kampung Lengkong Kyai pada tahun 2004 dibagi menjadi empat jenis yaitu permukiman, pertanian, area pemakaman dan hutan bambu. Sedangkan pada saat ini, berdasarkan peta penutupan lahan Kampung Lengkong Kyai tahun 2014 dan survei lapang, penggunaan lahan di Kampung Lengkong Kyai terdegradasi karena dampak dari pembangunan menjadi hanya dua jenis yaitu permukiman dan area pemakaman. Perubahan penggunaan lahan terjadi cukup signifikan, terutama pada jenis penggunaan lahan pertanian dan hutan bambu yang berubah fungsi menjadi permukiman relokasi untuk menampung penduduk kampung lain di sekitar Kampung Lengkong Kyai yang terkena penggusuran proyek pembangunan kota baru.

f. Vegetasi

Mata pencaharian penduduk Kampung Lengkong Kyai sudah beralih dari sektor pertanian ke sektor-sektor lain di luar aktivitas pertanian seperti perdagangan dan jasa. Hanya segelintir orang yang masih bertahan di sektor pertanian tersebut dengan memanfaatkan bidang-bidang lahan yang ada (Gambar 16) dengan cara berkebun. Tanaman-tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman-tanaman yang biasa dikonsumsi warga sehari-hari antara lain mentimun (Cucumis sativus), gambas atau oyong (Luffa acutangula), singkong (Manihot utilissima), pisang (Musa acuminata) dan pepaya (Carica papaya). Hasil panen dari semua tanaman budidaya tersebut tidak dipasarkan ke luar kampung, melainkan dijual kepada penduduk Kampung Lengkong Kyai. Dengan begitu harga jual komoditas-komoditas tersebut tidak terlalu mengikuti standar pasar, melainkan berdasarkan kesepakatan tawar menawar antara petani dengan pembeli. Selain itu di Kampung Lengkong Kyai terdapat hutan bambu (Gigantochloa apus) (Gambar 16) yang batangnya dimanfaatkan penduduk sebagai bahan bangunan, membuat alat transportasi (getek), membuat pagar dan bahan kerajinan rumah tangga. Menurut jaro Kampung Lengkong Kyai, populasi bambu yang ada sudah sangat berkurang. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan relokasi permukiman penduduk dari kampung lain ke Kampung Lengkong Kyai, sehingga dilakukan alih fungsi lahan dari hutan bambu menjadi permukiman.

(a) (b)

(44)

Data Aspek Budaya

a. Sejarah Kawasan

Kampung Lengkong Kyai juga dikenal masyarakat dengan nama-nama lain seperti Lengkong Ulama, Lengkong Santri dan Lengkong Sumedang. Disebut demikian karena kampung ini pada masa lampau ditempati oleh seorang ulama atau kyai yang berasal dari Sumedang yang dikenal dengan nama Raden Arya Wangsakara (Tjandrasasmita 2009). Raden Arya Wangsakara adalah seorang pangeran Kerajaan Sumedang Larang yang bergelar Pangeran Wiraraja II, atau terkenal dengan julukan Imam Haji Wangsakara atau Kiayi Lenyep. Beliau merupakan putra dari Pangeran Wiraraja I atau bergelar Pangeran Lemah Beureum Ratu Sumedang Larang dan Putri Dewi Cipta anak dari Raden Kidang Palakaran cucu Pucuk Umun Banten (Mian 1983). Jika dilihat dari silsilah yang ada, ayah beliau berasal dari Sumedang dan Cirebon, sedangkan pihak ibu berasal dari Banten.

Pada tahun 1633 M, Raden Arya Wangsakara direstui oleh Sultan Banten untuk membangun kembali daerah bekas kekuasaan Pucuk Umun yang ditinggalkan ketika menderita kekalahan dalam menghadapi serangan Banten dibawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf putra dari Maulana Hasanuddin. Adapun peresmian dan penobatan tersebut dilakukan di suatu tempat bekas petilasan Pucuk Umun yaitu Kadu Agung Tigaraksa. Hal ini menjadi asal muasal daerah tersebut dinamai Tigaraksa, yaitu karena terdapat tiga raksaan (penguasa) yakni Pucuk Umun, Sultan Banten dan Raden Arya Wangsakara. Batas daerah tersebut di sebelah Timur yaitu Sungai Cipamungkas (Cisadane) dan di sebelah Barat yaitu Sungai Cidurian. Setelah peresmian itu Raden Arya Wangsakara membangun dan menggarap daerah tersebut dengan mengambil tempat petilasan/kedudukan di tepian Sungai Cisadane yang kemudian beliau namakan Lengkong (Mian 1983).

Menurut salah seorang tokoh masyarakat Kampung Lengkong Kyai, H. Mukri Mian, terdapat dua versi asal muasal kawasan tersebut disebut Lengkong. Pertama, kata lengkong diambil dari nama daerah asal leluhur Raden Arya Wangsakara di Panjalu, Ciamis Utara, di mana di daerah ini terdapat salah satu kampung bernama Kampung Lengkong. Kedua, nama lengkong berasal dari kata lingkung atau dilingkung kali yang bermakna dikelilingi sungai. Terlihat dari kondisi geografis Kampung Lengkong Kyai yang diapit oleh dua sungai, yaitu satu sungai besar, Sungai Cisadane dan satu sungai kecil, Sungai Cipicung.

b. Adat Istiadat

(45)

lokal sehingga menambah unsur-unsur budaya lokal, seperti pemberian nama yang menggunakan marga Arab. Terhitung kurang lebih terdapat 24 marga Arab yang ada di Kampung Lengkong Kyai antara lain, Al Athos, Al Amri, Al Kaf, Aulagi, Banhar, Badeges, Abri, Al Wini, Maskati, Asiri, Mas’id, Anggawi, Bazeber, Sungkar, Al Habsyi, Abd. Aziz, Balpas, Bin Pariz, Hamdun, Al Jabri, Al Idrus, Biamin, Basawat dan Audoh. Selain itu, jenis kebudayaan Arab yang berkembang di Kampung Lengkong Kyai antara lain seni kaligrafi dan musik gambus. Seni kaligrafi atau yang juga dikenal sebagai seni menulis indah amat diminati dan ditekuni oleh masyarakat Kampung Lengkong Kyai. Bahkan karena keistimewaan dan keunikan seni kaligrafi Lengkong, banyak santri dari penjuru Tangerang sengaja datang dan menimba ilmu seni kaligrafi di Kampung Lengkong Kyai. Musik gambus merupakan hiburan favorit penduduk Kampung Lengkong Kyai yang sering ditampilkan dalam acara-acara perayaan pernikahan.

Kebudayaan Kampung Lengkong Kyai menjadi suatu identitas lokal bagi masyarakatnya. Terdapat beragam jenis aktivitas budaya yang masih terus dilestarikan hingga kini. Aktivitas budaya tersebut meliputi tradisi keagamaan, budaya komunikasi, hingga budaya berpakaian. Beberapa jenis aktivitas budaya tersebut antara lain marhabaan, make samping, nabuh bedug dan haul Raden Arya Wangsakara.

1. Marhabaan

Tradisi marhabaan adalah tradisi membaca manakib (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Kegiatan ini dilakukan ketika sedang diadakannya acara aqiqah dan acara maulidan. Biasanya dalam kegiatan marhabaan dibacakan manakib Nabi secara bergiliran. Karena buku sejarah Nabi yang dibaca cukup banyak, maka ditunjuklah beberapa kokolot kampung untuk membacakan manakib tersebut. Pemuda Kampung Lengkong Kyai terkadang juga berperan sebagai pembaca manakib apabila para kokolot yang hadir kurang atau sedang berhalangan. Biasanya pemuda yang ditunjuk untuk membaca manakib adalah pemuda yang sudah terlatih sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar ketika marhabaan, pemuda tersebut lancar membacanya.

Ketika kegiatan marhabaan berlangsung, selain pembaca manakib, turut hadir juga masyarakat Kampung Lengkong Kyai mulai dari orang tua hingga anak-anak. Mereka aktif dalam kegiatan marhabaan sebagai orang yang menjawab dan mempertegas pembacaan manakib. Ketika seorang pembaca manakib membacakan kata “Nabi Muhammad” maka semua yang hadir serentak menjawab “shollu alaih atau shollallahi alaihi wa sallam”.

2. Make Samping

(46)

3. Nabuh Bedug

Kegiatan tradisi nabuh bedug biasa dilakukan pada awal hingga akhir bulan Ramadhan di halaman masjid. Pada malam bulan Ramadhan selepas melaksanakan ibadah salat tarawih, para kokolot dan pemuda Kampung Lengkong Kyai beramai-ramai menabuh bedug. Mereka bergantian memukul bedug yang jumlahnya sebanyak empat buah. Acara puncak nabuh bedug yaitu pada malam takbiran. Pada malam takbiran di dalam masjid beberapa orang melantunkan takbir, sedangkan di luar beberapa orang lainnya menabuh bedug. Acara ini berlangsung hingga datangnya waktu subuh. Acara nabuh bedug juga biasa dilakukan ketika malam takbiran pada perayaan hari raya Idhul Adha. Biasanya acara nabuh bedug tersebut dilakukan dari mulai tanggal 9 sampai 13 Dzulhijjah atau sampai habis hari tasrik.

4. Haul Raden Arya Wangsakara

Haul Raden Arya Wangsakara merupakan acara peringatan hari lahirnya Raden Arya Wangsakara. Acara ini rutin diperingati oleh masyarakat Kampung Lengkong Kyai setiap tanggal 1 Syaban dalam kalender Hijriah. Hingga peringatan pada tahun 2015, haul Raden Arya Wangsakara sudah mencapai haul yang ke-399. Acara ini kerap dihadiri oleh tokoh penting seperti tokoh-tokoh masyarakat di Kampung Lengkong Kyai, Kepala Desa Lengkong Kulon hingga Bupati Kabupaten Tangerang.

Selain kebudayaan-kebudayaan yang tersebut di atas terdapat suatu keuikan dalam penyebutan arah pada masyarakat Kampung Lengkong Kyai. Letak Kampung Lengkong Kyai memanjang mengikuti alur Sungai Cisadane di sebelah Utara, yang pada posisinya mengalir dari Timur ke Barat. Seperti diketahui, Sungai Cisadane merupakan sungai yang mengalir dari Gunung Salak di sebelah Selatan hingga bermuara di Laut Jawa di sebelah Utara Kampung Lengkong Kyai. Berdasarkan perspektif tersebut masyarakat Kampung Lengkong Kyai biasa menyebut arah aliran Sungai Cisadane yang melewati kampung dengan sebutan girang ka hilir yang merupakan istilah dalam bahasa Sunda yang berarti Selatan ke Utara. Sedangkan apabila dilihat di peta, arah aliran Sungai Cisadane yang melewati Kampung Lengkong Kyai adalah dari Timur ke Barat. Hal ini menjadi suatu kekhasan tersendiri bagi masyarakat Kampung Lengkong Kyai.

c. Pola Permukiman dan Arsitektur Rumah Adat

Kampung Lengkong Kyai pada awal berdirinya merupakan sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa pondok dan sebuah musala yang hingga kini masih berdiri dan telah mengalami beberapa kali pemugaran. Seiring ramainya santri yang hendak belajar agama Islam maka dibangunlah Masjid yang kini bernama Masjid Jami Al Muttaqin untuk menampung santri-santri tersebut. Berdirinya masjid turut diikuti dengan berdirinya pondok-pondok di sekitar masjid yang posisinya mengikuti posisi masjid. Akhirnya, lambat laun banyak santri yang bermukim dan menetap di sana. Gubuk-gubuk santri yang bertipe panggung dengan atap julang ngapak berubah menjadi rumah-rumah hingga membentuk sebuah permukiman kampung (Mian 1983, dalam Khamdevi 2012).

(47)

bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah salat. Posisi arah kiblat ini sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Arah Kiblat, yang menyebutkan kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke Barat Laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan masing-masing. Selanjutnya, berdasarkan analisis figure ground yang dilakukan oleh Khamdevi (2012), diketahui bahwa pola kampung ini memiliki pola linear dan terpusat ke masjid. Namun pola linear ini justru tidak umum seperti pola desa yang ada di Indonesia umumnya. Seharusnya dengan kampung ini berada di sisi sungai, maka ia harus mengikuti pola alur sungainya. Namun ini tidak, justru ia menentang pola lingkungan alaminya. Lebih jauh Khamdevi (2012) menjelaskan bahwa pola-pola bangunan secara umum, selain masjid, sepertinya memang mengikuti posisi kiblat, dengan sisi yang memanjang menghadap ke arah Utara (sungai) dan Selatan (bukit/makam) (Gambar 17).

Sumber: Khamdevi (2012)

Rumah-rumah penduduk yang ada di Kampung Lengkong Kyai hampir seluruhnya sudah berubah mengikuti gaya arsitektur modern. Hanya tersisa satu unit rumah berarsitektur lokal yang dilestarikan menjadi cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten (Gambar 18). Rumah berukuran sekitar 5×6 meter persegi ini sebagian besar masih berbahan dasar kayu dan satu-satunya bangunan yang masih menunjukkan kekunoannya dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Rumah ini berdiri di atas pondasi yang masif. Sekilas ornamen yang ada, seperti daun jendela dan daun pintu serta kusen kayu menampakkan kemiripan dengan rumah-rumah betawi tempo dulu. Jendela dan daun pintu memiliki daun pintu ganda. Lantai berwarna merah hati yang terbuat dari tanah liat. Bagian dalam rumah ini sebagian besar masih belum mengalami perubahan dan masih tampak terurus. Pilar-pilar penopang atap beranda rumah

(48)

terbuat dari susunan bata dan ditambah besi tempa sebagai hiasan penunjang. Rumah ini memiliki tujuh ruang, yang terdiri dari teras, ruang tengah, tiga kamar tidur, dapur dan kamar mandi (Gambar 19). Ruang-ruang pada rumah tersebut berfungsi sebagaimana rumah-rumah pada umumnya.

Gambar 18 Bentuk rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai

Sumber: hasil survei di lapang

Gambar 19 Denah rumah tradisional di Kampung Lengkong Kyai

d. Kebudayaan Naratif

(49)

keturunan Raden Arya Wangsakara khususnya, dan umumnya bangsa Indonesia (Mian 1983, dalam Tjandrasasmita 2009). Menurut penuturan H. Mukri Mian, naskah tersebut disusun berdasarkan naskah kuno peninggalan leluhur Kampung Lengkong Kyai yang ditulis dengan bahasa Sunda dan Jawa, huruf Arab serta menggunakan tinta cina. Naskah kuno tersebut beliau terjemahkan dalam bahasa Indonesia agar mudah dimengerti.

Sumber: Mian (1983)

(50)

Identifikasi Karakteristik Lanskap Budaya

Karakteristik suatu lanskap budaya dapat dinilai dari dua hal, yaitu elemen fisik (tangible) dan elemen non-fisik (intangible). Menurut McClelland, Keller, Keller dan Melnick (1999), karakteristik lanskap budaya terbentuk dari sebelas elemen lanskap. Empat elemen pertama merupakan proses yang menjadi instrumen pembentuk lanskap budaya dan bersifat intangible yang terdiri atas landuse dan aktivitas, pola organisasi ruang, respon terhadap lingkungan alam, dan tradisi budaya. Sedangkan tujuh elemen lainnya merupakan elemen tangible sebagai komponen fisik pembentuk lanskap yaitu jejaring sirkulasi, batas wilayah, vegetasi terkait dengan landuse, bangunan, struktur dan objek, kelompok-kelompok (clusters), situs arkeologi dan elemen skala kecil.

1. Landuse dan Aktivitas

Pola penggunaan lahan di Kampung Lengkong Kyai berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan aktivitas penduduk kampung yang bergerak dinamis. Menurut sejarah, Kampung Lengkong Kyai pada masa lalu merupakan sebuah pesantren tempat ulama-ulama di wilayah Tangerang menuntut ilmu agama Islam pada masa Kesultanan Banten (sekitar abad ke 17-18). Pemilihan lokasi pesantren di wilayah tersebut disebabkan letaknya yang strategis tersembunyi dan terlindungi oleh alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil yang juga merupakan upaya Raden Arya Wangsakara untuk menghidar dari ancaman VOC (Khamdevi 2012). Pembentukan pesantren diawali pada tahun 1633 dengan pembangunan musala serta beberapa pondok-pondok santri (Mian 1983). Pada tahun 1640 perkembangan agama Islam di Lengkong amat pesat yang ditandai dengan banyaknya ulama Banten dan santri dari luar daerah yang berorientasi ke Lengkong. Selanjutnya pada masa itu dibangun sebuah masjid untuk menampung jamaah yang lebih banyak dan sebagai tempat berdakwah dalam menyiarkan agama Islam. Kemudian pada tahun 1720 Raden Arya Wangsakara wafat dalam pertempuran melawan VOC dan dimakamkan di Kampung Lengkong Kyai. Makam Raden Arya Wangsakara bersebelahan dengan makam-makam ulama lain dalam suatu area pemakaman. Area pemakaman tersebut menurut penjaga makam saat ini, Ahmad Hamdan sudah ada sekitar 300 tahun yang lalu dengan makam tertua yang ditemukan yaitu makam Ahmad Syeikh Balar.

(51)

kebutuhan pangan. Keberadaan hutan bambu yang menutupi Kampung Lengkong Kyai pun dimanfaatkan penduduk untuk menghasilkan batang bambu sebagai bahan pembuatan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti alat transportasi (getek), pagar, kerajinan rumah tangga serta sebagai bahan bangunan. Batang bambu tersebut juga diperjualbelikan keluar kampung dengan sistem pendistribusian memanfaatkan aliran sungai. Selain sebagai tempat pendidikan agama Islam eksistensi Kampung Lengkong Kyai juga mendukung perjuangan revolusi bangsa Indonesia dengan dijadikannya Kampung Lengkong Kyai sebagai basis pertahanan laskar rakyat melawan tentara Belanda pada tahun 1946. Kegiatan pendidikan Kampung Lengkong Kyai pun kian berkembang dengan dibangunnya madrasah pada tahun 1949 dan majelis taklim pada tahun 1984. Berkembangnya aktivitas penduduk yang kompleks sebagai sebuah kampung kian memudarkan fungsi awalnya sebagai sebuah pesantren ditandai dengan mulai berkurangnya jumlah santri pada tahun 1949 hingga aktivitas pesantren yang hilang total pada tahun 1957. Upaya pemugaran fasilitas-fasilitas ibadah dilakukan yaitu pada tahun 1936. Masjid Jami Al Muttaqin dipugar untuk pertama kalinya dan konstruksinya diganti dari yang sebelumnya berbahan dasar kayu dan bambu menjadi bahan beton. Selanjutnya pada tahun 1963 dibangun menara sebagai kelengkapan bangunan masjid.

(52)

Tabel 10 Perkembangan landuse dan aktivitas di Kampung Lengkong Kyai

Gambar

Gambar 7 Peta orientasi kawasan penelitian
Gambar 8 Peta elevasi Kampung Lengkong Kyai
Gambar 9 Peta kemiringan lahan Kampung Lengkong Kyai
Gambar 10 Peta geologi Kecamatan Pagedangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Zona penyangga seluas ±13 Ha (16%), terdiri dari batas fisik dan batas alami, berfungsi menjaga karakteristik zona inti dan zona pendukung agar tidak semakin berubah atau

Zona penyangga seluas ±13 Ha (16%), terdiri dari batas fisik dan batas alami, berfungsi menjaga karakteristik zona inti dan zona pendukung agar tidak semakin berubah atau