Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh : Maulana Hamzah NIM : 106044101371
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI
AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh : Maulana Hamzah NIM : 106044101371
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI
AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
dalam munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis tanggal 03 Desember 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Jurusan Peradilan Agama.
Jakarta, 03 Desember 2010
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM Nip: 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA Nip. 195003061976031001
(...)
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH Nip. 197202241998031003
(...)
3. Pembimbing 1 : Drs. H. Hamid Farihi, MA Nip. 195811191986031001
(...)
4. Pembimbing 2 : Drs. Heldi, M.Pd
Nip. 196304141993031002
(...)
5. Penguji 1 : H. Damanhuri, SH
Nip. 194703081971071001
(...)
6. Penguji 2 : Dra. Maskufa, M.Ag
Nip. 196807031994032002
(...)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Oleh:
MAULANA HAMZAH NIM: 106044101371
Di bawah Bimbingan
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Drs. H. Hamid Farihi, MA Drs. Heldi, M.Pd
NIP: 195811191986031001 NIP: 196304141993031002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI
AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 November 2010
Skripsi, konsentrasi peradilan agama program studi ahwal syakhsiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1431 H/2010 M, xi + 62 halaman + 7 lampiran.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana persepsi para aktivis gender Indonesia terhadap sistem waris 2:1 dalam konsep pembagian kewarisan hukum Islam. Mengetahui apa yang menjadi latar belakang dari persepsi mereka dan apa saja argumen yang mereka utarakan, serta solusi apa yang mesti dijalankan dalam menghadapi sikap pro dan kontra terhadap sistem pembagian dua berbanding satu antara anak laki-laki dan perempuan ini.
Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan (library research) yang deskriptif sesuai dengan hukum normatif. Metode desktiptif analitis yaitu metode yang memaparkan mesalah-masalah sebagaimana adanya disertai argumentasi-argumentasi, dan metode deskriptif explanatoris yaitu metode yang berdasarkan rasional dan logis secara induktif dan deduktif terhadap sasaran pemikiran.
Skripsi ini menyimpulkan bahwa sistem pembagian waris yang diatur dalam al- Qur’an sudah sesuai dengan fitrah manusia. Namun yang harus dicermati dan lebih difokuskan adalah perhatian kita terhadap pengelolaan harta waris itu sendiri, jangan sampai menjadi sia-sia begitu saja. Dan terhadap perbedaan pendapat harus dijadikan sebagai sebuah rahmat bukan laknat, sehingga kita dapat terus berkarya dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat.
¾ Kata kunci : Aktivis Gender, Waris 2:1, Hukum Waris Islam
¾ Pembimbing : Drs. H. Hamid Farihi, MA. Drs. Heldi, M.Pd
¾ Daftar pustaka : 1983-2010
penulis, yang telah sabar membimbing sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan. Semoga amal beliau diberi ganjaran oleh Allah SWT.
4. Para aktivis yang bersedia untuk diwawancarai yaitu bapak Abdul Wahid Maryanto, Lc., M.Ba. dari Yayasan Puan Amal Hayati, dan mas M. Taufik Damas, Lc. Dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Penulis ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk memperoleh data-data dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya kepada penulis semoga menjadi ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Dan seluruh staf perpustakaan Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Untuk Ayah saya tercinta H. Mugeni dan ibunda tercinta Eti Sukarti serta untuk kakak dan adik-adik tersayang yang telah memberikan nasehat serta dukungan yang tak terhingga bagaikan sinar matahari yang tak bosan-bosannya menyinari bumi ini.
7. Untuk seluruh sahabat penulis, khususnya kepada Arif Rahman dan segenap kawan-kawan Komcab, Firman Abdurrahman, Ahmad Afandi, S.HI., Asep Dadan dan seluruh teman seperjuangan yang telah mewarnai hari-hari penulis
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen yang telah berjasa dan memberikan kontribusi baik moriil maupun materiil. Penulis tidak bisa membalas kebaikan mereka kecuali dengan doa semoga Allah SWT membalas amal perbuatan dan budi baik sekalian. Amin.
Jakarta, 10 November 2010
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN...ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING...iii
LEMBAR PERNYATAAN...iv
ABSTRAK...v
KATA PENGANTAR...vi
DAFTAR ISI...vii
BAB I PENDAHULUAN ………..………...………..1
A. Latar Belakang Masalah………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………....5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu………....7
E. Metode Penelitian ………...9
F. Teknik Penulisan………...…..12
G. Sistematika Penulisan………...12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS 2:1...14
A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam...14
B. Dasar Hukum Waris...18
C. Rukun dan Syarat Waris...27
D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam...28
PEREMPUAN MENURUT AKTIVIS GENDER INDONESIA...35
A. Pengertian Gender...35
B. Karakteristik Aktivis Gender Indonesia...40
C. Persepsi Para Aktivis Gender terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 Disertai Argumen-Argumen yang Melatarbelakangi Persepsi Mereka...43
BAB IV HASIL PENELITIAN MENGENAI PERSEPSI AKTIVIS GENDER INDONESIA TERHADAP SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS 2:1...54
A. Analisa tentang Persepsi Aktivis Gender Indonesia terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam...54
B. Solusi dalam Menghadapi Sikap Pro dan Kontra terhadap Sistem Pembagian Waris 2:1...57
BAB V PENUTUP ...60
A. Kesimpulan...60
B. Saran...61
DAFTAR PUSTAKA...62
LAMPIRAN...65
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini, berbagai budaya dan keanekaragaman adat istiadat sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Termasuk dalam hal ini adalah masalah pembagian harta waris. Sudah tidak asing lagi bagi kita bahwa perkara harta peninggalan ini sering sekali menimbulkan polemik tersendiri di masyarakat, apalagi di masa-masa serba sulit seperti sekarang ini.
Sebagai akibat dari tuntutan keadaan yang sulit, peran perempuan seringkali menjadi sangat dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Banyak fenomena yang terjadi di masyarakat yang mengatasnamakan kebutuhan hidup, perempuan bekerja membantu suami mencari penghasilan tambahan. Bahkan, tidak jarang pula seorang isteri menjadi tulang punggung keluarga.
sebagai sumber daya manusia, peran perempuan semakin penting dan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Bila dilihat dari struktur bangsa Indonesia yang multikultur, kita bisa amati bersama ada beberapa hukum adat yang berlaku di beberapa wilayah di Indonesia. Sebagai contoh sistem adat Minangkabau yang memberikan porsi warisan lebih besar kepada anak perempuan ketimbang laki-laki, padahal mayoritas warga Minangkabau beragama Islam. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa efektifitas hukum kewarisan Islam di Indonesia belum sepenuhnya diadopsi dan dipraktekan secara utuh.
Hingga saat ini, di negara-negara Islam yang memberlakukan sistem kewarisan Islam, baik dari golongan Syi’ah, Sunni, maupun negara-negara Islam yang telah mengusahakan pengkodifikasian hukum waris lewat sistem perundang-undangan seperti Turki dan lain-lain, masih tetap menggunakan dan mempertahankan sistem pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan. Begitupula di Indonesia, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 ditegaskan bahwa apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.1 Ini berarti apabila anak perempuan berjumlah dua orang dan ada seorang anak laki-laki, maka masing-masing anak perempuan memperoleh 1/4 sedangkan anak laki-laki 2/4, cara seperti ini ditentukan
1
langsung oleh al- Qur’an surat al- Nisaa/ 4:11, tanpa dapat diinterpretasikan lain karena teks tersebut dianggap telah jelas.
Þ
Ο
ä
3Š
Ϲ
θ
ã
ƒ
ª
!
$
#
þ
’
Îû
ö
Ν
à
2
ω
≈
s
9
÷
ρ
r
&
(
Ì
x
.
©
%#
Ï
9
ã
≅
÷VÏ
Β
Åeá
y
m
È
⎦
÷
⎫
u
‹
s
V
Ρ
W
{
$
#
4
β
Î*
s
ù
£
⎯
ä
.
[
™
!
$
|
¡Î
Σ
s
−
ö
θ
s
ù
È
⎦
÷
⎫
t
G
t
⊥
øO
$
#
£
⎯
ß
γ
n
=
s
ù
$
s
Vè
=
èO
$
t
Β
x
8
t
s
?
(
β
Î)
u
ρ
ôM
t
Ρ
%
x
.
Z
ο
y
‰Ïm
≡
u
ρ
$
y
γ
n
=
s
ù
ß
#
óÁÏi
Ζ9
$
#
4
Ï
µ
÷
ƒ
u
θ
t
/
L
{
u
ρ
Èe
≅
ä
3
Ï
9
7‰Ïn
≡
u
ρ
$
y
ϑ
å
κ
÷
]
Ïi
Β
â¨ß‰¡
9
$
#
$£
ϑ
Ï
Β
x
8
t
s
?
β
Î)
t
β
%
x
.
…
ç
µ
s
9
Ó
$
s
!
u
ρ
4
β
Î*
s
ù
ó
Ο
©
9
⎯
ä
3
t
ƒ
…
ã
&
©
!
Ó
$
s
!
u
ρ
ÿ
…
ç
µ
r
OÍ‘
u
ρ
u
ρ
ç
ν
#
u
θ
t
/
r
&
Ï
µ
Ïi
Β
T
|
s
ù
ß]è
=
›W
9
$
#
4
β
Î*
s
ù
t
β
%
x
.
ÿ
…
ã
&
s
!
×
ο
u
θ
÷zÎ)
Ï
µ
Ïi
Β
T
|
s
ù
â¨ß‰¡
9
$
#
4
.
⎯
Ï
Β
ω÷è
t
/
7
π
§
‹
Ϲ
u
ρ
©
Å»
θ
ã
ƒ
!
$
p
κ
Í5
÷
ρ
r
&
A
⎦
ø
⎪
y
Š
3
ö
Ν
ä
.
ä
τ
!
$
t
/#
u
™
ö
Ν
ä
.
ä
τ
!
$
o
Ψ
ö/
r
&
u
ρ
Ÿ
ω
t
βρ
â‘ô‰
s
?
ö
Ν
ß
γ
•
ƒ
r
&
Ü>
t
ø
%
r
&
ö
/
ä
3
s
9
$Yèø
t
Ρ
4
Z
π
Ÿ
Ò
ƒ
Ì
s
ù
š
∅
Ïi
Β
«
!
$
#
3
¨
β
Î)
©
!
$
#
t
β
%
x
.
$¸
ϑŠ
Î
=
t
ã
$V
ϑŠ
Å
3
y
m
∩⊇⊇∪
Artinya: ”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al- Nisa’/4:11).
Berangkat dari pola pikir yang seperti inilah penulis berpikir untuk mencoba meneliti lebih jauh masalah pewarisan yang ada pada masyarakat ini. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk membahas masalah ini secara jelas dan gamblang tentang sistem pembagian waris yang terdapat dalam al- Qur’an beserta letak keadilan dengan sistem pembagian 2:1 dalam hukum kewarisan Islam dan bagaimana persepsi para aktivis gender mengenai sistem ini dengan berkutat pada relevansi dan efektifitasnya pada masa kini dengan mengangkatnya dalam judul: ”Persepsi Aktivis Gender Indonesia terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam menyusun skripsi ini, untuk mempermudah pembahasan, penulis akan membatasi dan merumuskan masalah sesuai dengan judul skripsi yaitu persepsi aktivis gender Indonesia terhadap sistem pembagian harta waris 2:1 dalam hukum kewarisan Islam.
1. Batasan Masalah
kemungkinan persepsi-persepsi mereka yang penulis angkat dari artikel-artikel yang dimuat dalam media-media cetak maupun dari hasil wawancara. Dengan demikian
locus (ruang lingkup) dari penelitian ini menjadi lebih sempit, sehingga penelitian menjadi jelas dan terarah.
2. Rumusan masalah
Kemudian yang kedua, penulis akan merumuskan masalah yang menjadi fokus penelitian ini yaitu:
a. Bagaimana persepsi para aktivis gender Indonesia terhadap sistem pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan disertai argumen mereka?
b. Apakah solusi yang tepat untuk menanggapi sikap pro dan kontra terhadap sistem pembagian harta waris 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis persepsi dan argumen para aktivis gender Indonesia terhadap sistem pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan.
2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Untuk memberikan kajian dalam memperkaya literatur serta penelitian secara mendalam lebih lanjut.
b. Sebagai kontribusi pemikiran terhadap kajian hukum kewarisan Islam terutama dalam konsep keadilannya.
c. Untuk dijadikan bahan rujukan pada kajian-kajian ilmiah selanjutnya.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi/ tesis/ disertasi yang secara khusus membahas tema atau judul dan masalah yang serupa khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Fakultas Hukum Universitas lain pada umumnya. Hemat penulis, ada beberapa karya tulis lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum, di antaranya :
Nilayatul Maula, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep Pembagian Waris
Anak Laki-Laki dan Perempuan Menurut Prof. Dr. H. Munawwir Sjadzali, MA.”
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006.
Eli Nurmalia, “Respons Perempuan terhadap Sistem Pembagiam Waris 2:1
dalam Hukum Kewarisan Islam” (Studi di Rt.04/05 Kelurahan Bojongkulur
Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor). Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Uun Ru’yatul Hilal, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Hukum Waris
Bagi Rata pada Masyarakat Desa Bahagia, Kecamatan Babelan Kotamadya
Bekasi”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
Data pada skripsi yang pertama, yaitu skripsi dari saudari Nilayatul Maula, ia lebih memfokuskan penelitiannya pada pemikiran seorang tokoh saja yaitu Munawwir Sjadzali. Jenis penelitian ini memang sama seperti yang penulis gunakan yaitu jenis penelitian kepustakaan (library research), namun tidak memakai wawancara, sedangkan penulis selain juga menggunakan metode wawancara, juga tidak memfokuskan penelitian hanya pada seorang tokoh saja, melainkan banyak tokoh.
Dalam skripsi kedua, yakni skripsi saudari Eli Nurmalia, meliputi wilayah Bojongkulur Kabupaten Bogor. Pada skripsi terdahulu ini penulisnya menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dan hanya membahas masalah respons dari perempuan di wilayah itu yang mereka semua tidak dapat dipastikan mengerti akan sistem pembagian dalam kewarisan Islam.
Sedangkan, penulis memposisikan skripsi ini kepada pemikiran para aktivis gender Indonesia dalam menanggapi permasalahan sistem pembagian 2:1. Begitu pula dengan jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Dengan demikian skripsi ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan terdahulu. Oleh karena itu pula penulis merasa perlu untuk mengangkat tema atau judul dan pembahasan yang diangkat dalam skripsi ini.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
b. Dari segi tujuannya penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis karena bertujuan memberikan gambaran dan penjelasan tentang pokok permasalahannya yakni efektifitas pembagian harta waris 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan dalam perspektif aktivis gender Indonesia.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data terdiri dari dua sumber, yakni:
1) Sumber primer, yaitu berupa hasil wawancara, dokumen-dokumen, buku-buku yang menyangkut dengan kewarisan Islam, fikih perempuan, kesetaraan gender.
2) Sumber sekunder, yakni memberikan penjelasan dan menguatkan data primer yang mencakup karya tulis berupa makalah, koran, majalah dan lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.
penelitian karena salah satu metode penelitian yang penulis pakai adalah metode dokumentasi.4
3. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian yang menggunakan metode library research ini, dalam pengolahan data digunakan metode kualitatif, yakni dengan cara pengumpulan data sebanyak-banyaknya kemudian diolah menjadi satu kesatuan data mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan lalu dikomparasikan.
4. Teknik Analisis Data
Metode analisis data dalam skripsi ini adalah kualitatif-normatif yakni analisa data dari berbagai dokumen yang berkaitan dengan kewarisan Islam dan persepsi aktivis gender Indonesia.
Selain itu, dalam penulisan skripsi ini, penulis juga menggunakan metode analisis induktif, yaitu dengan cara menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik pada kesimpulan umum.
4
F. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cet.1, 2007.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I: Seperti pada umumnya merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, lalu dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu kemudian dilengkapi dengan metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II: Penulisan mencakup tinjauan umum tentang waris, yang terdiri dari pengertian hukum kewarisan Islam, dasar hukum waris, pengertian persepsi, dan konsep keadilan 2:1 dalam hukum kewarisan Islam.
Bab IV: Penulis berkutat pada hasil penelitian mengenai sistem pembagian waris 2:1, dengan mengemukakan: analisa penulis akan persepsi para aktivis yang sudah dibahas, dan mencoba menawarkan solusi dalam menghadapi sikap pro dan kontra terhadap sistem bagi waris 2:1 ini.
BAB II
Tinjauan Umum Tentang Waris 2:1
A. Pengertian Waris
1) Pengertian Secara Etimologi
”lafadz faraid
(
ﺋاﺮ
)
merupakan jama’ (bentuk plural) dari lafadzfaridhah
(
ﺔ ﺮ
)
yang mengandung arti mafrudhah (ﺔ وﺮ ﻣ
)
yang samaartinya dengan muqaddarah (
ةرﺪﻘﻣ
) yaitu: suatu yang ditetapkan bagiannyasecara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat di dalam
al-Qur’an, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan dengan
bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan
faraid”.5
Adapun penggunaan kata mawarits
(
ثراﻮﻣ
)
lebih melihat kepadayang menjadi objek dari hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris
yang masih hidup. Sebab, kata mawarits merupakan bentuk plural dari kata
miirats
(
ثاﺮ ﻣ
)
yang berarti mauruts(
ثورﻮﻣ
)
yakni harta yang diwarisi.Dengan demikian maka arti kata warits yang dipergunakan dalam beberapa
5
kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu, karena kata
warits artinya adalah orang pewaris.6
2) Pengertian Secara terminologi
Para ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang ilmu
faraidh atau fiqh mawarits. Walapun definisi-definisi yang mereka utarakan
secara redaksional berbeda, namun, memiliki pengertian yang sama. Di antara
ulama-ulama tersebut adalah Muhammad al- Syarbiny yang mendefinisikan
dari harta yang dijadikan objek warisan, terutama yang berlaku di lingkungan
adat Minangkabau.
Dalam istilah hukum baku yang digunakan adalah kata kewarisan,
dengan mengambil asal kata waris dengan tambahan awalan ke- dan akhiran –
an. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang pewaris sebagai subjek dan dapat
pula berarti proses. Dalam arti pertama mengandung makna ”hal ihwal orang
yang menerima harta warisan” dan dalam arti kedua mengandung makna
”hal ihwal peralihan harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup”.
Arti yang terakhir ini yang digunakan dalam istilah hukum.10
Penggunaan kata hukum di awalnya mengandung arti seperangkat
aturan yang mengikat dan penggunaan kata Islam di belakang mengandung
arti dasar yang menjadi rujukan. Dengan demikian dengan segala titik
lemahnya, hukum kewarisan Islam itu dapat diartikan dengan: ”seperangkat
peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal
ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang
masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua
orang yang beragama Islam”.11
10
Ibid. h.13
11
B. Dasar Hukum Waris
Adapun dasar-dasar hukum yang dijadikan sebagai pedoman untuk
menentukan pemberlakuan hukum waris bagi umat Islam adalah sebagai berikut:
1. Ayat-ayat al- Qur’an:
a) QS. al- Nisa (4): 7
É
Α
%
y
`Ìh
=
Ïj
9
Ò=
Š
ÅÁ
t
Ρ
$£
ϑ
Ïi
Β
x
8
t
s
?
È
β
#
t
$
Î
!
≡
u
θ
ø
9
$
#
t
βθ
ç/
t
ø
%
F
{
$
#
u
ρ
Ï
™
!
$
|
¡Ïi
Ψ=
Ï
9
u
ρ
Ò=
Š
ÅÁ
t
Ρ
$£
ϑ
Ïi
Β
x
8
t
s
?
È
β
#
t
$
Î
!
≡
u
θ
ø
9
$
#
š
χθ
ç/
t
ø
%
F
{
$
#
u
ρ
$£
ϑ
Ï
Β
¨
≅
s
%
ç
µ
÷
Ζ
Ï
Β
÷
ρ
r
&
u
èY
x
.
4
$Y7
Š
ÅÁ
t
Ρ
$ZÊ
ρ
ãø¨
Β
∩∠∪
Artinya: ”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(QS.al- Nisa’:4/7)
Ayat diatas menjadi landasan bagi kita untuk mengetahui bahwa setiap
anak kandung baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan harta
peninggalan dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Sebabnya sudah
tentu karena hubungan darah antara mereka. Adapun bagian yang diperoleh
masing-masing daripada mereka yang telah ditetapkan menjadi ahli waris tidak
dijelaskan dalam ayat ini, melainkan diterangkan pada ayat selanjutnya yaitu
b) QS. al-Nisa (4): 11
Þ
Ο
ä
3Š
Ϲ
θ
ã
ƒ
ª
!
$
#
þ
’
Îû
ö
Ν
à
2
ω
≈
s
9
÷
ρ
r
&
(
Ì
x
.
©
%#
Ï
9
ã
≅
÷VÏ
Β
Åeá
y
m
È
⎦
÷
⎫
u
‹
s
V
Ρ
W
{
$
#
4
β
Î*
s
ù
£
⎯
ä
.
[
™
!
$
|
¡Î
Σ
s
−
ö
θ
s
ù
È
⎦
÷
⎫
t
G
t
⊥
øO
$
#
£
⎯
ß
γ
n
=
s
ù
$
s
Vè
=
èO
$
t
Β
x
8
t
s
?
(
β
Î)
u
ρ
ôM
t
Ρ
%
x
.
Z
ο
y
‰Ïm
≡
u
ρ
$
y
γ
n
=
s
ù
ß
#
óÁÏi
Ζ9
$
#
4
Ï
µ
÷
ƒ
u
θ
t
/
L
{
u
ρ
Èe
≅
ä
3
Ï
9
7‰Ïn
≡
u
ρ
$
y
ϑ
å
κ
÷
]
Ïi
Β
â¨ß‰¡
9
$
#
$£
ϑ
Ï
Β
x
8
t
s
?
β
Î)
t
β
%
x
.
…
ç
µ
s
9
Ó
$
s
!
u
ρ
4
β
Î*
s
ù
ó
Ο
©
9
⎯
ä
3
t
ƒ
…
ã
&
©
!
Ó
$
s
!
u
ρ
ÿ
…
ç
µ
r
OÍ‘
u
ρ
u
ρ
ç
ν
#
u
θ
t
/
r
&
Ï
µ
Ïi
Β
T
|
s
ù
ß]è
=
›W
9
$
#
4
β
Î*
s
ù
t
β
%
x
.
ÿ
…
ã
&
s
!
×
ο
u
θ
÷zÎ)
Ï
µ
Ïi
Β
T
|
s
ù
â¨ß‰¡
9
$
#
4
.
⎯
Ï
Β
ω÷è
t
/
7
π
§
‹
Ϲ
u
ρ
©
Å»
θ
ã
ƒ
!
$
p
κ
Í5
÷
ρ
r
&
A
⎦
ø
⎪
y
Š
3
ö
Ν
ä
.
ä
τ
!
$
t
/#
u
™
ö
Ν
ä
.
ä
τ
!
$
o
Ψ
ö/
r
&
u
ρ
Ÿ
ω
t
βρ
â‘ô‰
s
?
ö
Ν
ß
γ
•
ƒ
r
&
Ü>
t
ø
%
r
&
ö
/
ä
3
s
9
$Yèø
t
Ρ
4
Z
π
Ÿ
Ò
ƒ
Ì
s
ù
š
∅
Ïi
Β
«
!
$
#
3
¨
β
Î)
©
!
$
#
t
β
%
x
.
$¸
ϑŠ
Î
=
t
ã
$V
ϑŠ
Å
3
y
m
∩⊇⊇∪
Artinya: ”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.al- Nisa’:4/11)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang bagian anak pada permulaan
ayat, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan, hal ini menunjukkan betapa pentingnya mendahulukan anak dalam
c) QS. al-Nisa (4): 12
ö
Ν
à
6
s
9
u
ρ
ß
#
óÁÏ
Ρ
$
t
Β
x
8
t
s
?
ö
Ν
à
6
ã_
≡
u
ρ
ø—
r
&
β
Î)
ó
Ο
©
9
⎯
ä
3
t
ƒ
£
⎯
ß
γ
©
9
Ó
$
s
!
u
ρ
4
β
Î*
s
ù
t
β
$
Ÿ
2
∅
ß
γ
s
9
Ó
$
s
!
u
ρ
ã
Ν
à
6
n
=
s
ù
ßìç/”
9
$
#
$£
ϑ
Ï
Β
z
⎯
ò
2
t
s
?
4
.
⎯
Ï
Β
ω÷è
t
/
7
π
§
‹
Ϲ
u
ρ
š
⎥⎫
Ϲ
θ
ã
ƒ
!
$
y
γ
Î/
÷
ρ
r
&
&
⎥
ø
⎪
y
Š
4
∅
ß
γ
s
9
u
ρ
ßìç/”
9
$
#
$£
ϑ
Ï
Β
ó
Ο
çFø
.
t
s
?
β
Î)
ö
Ν
©
9
⎯
à
6
t
ƒ
ö
Ν
ä
3
©
9
Ó‰
s
9
u
ρ
4
β
Î*
s
ù
t
β
$
Ÿ
2
ö
Ν
à
6
s
9
Ó
$
s
!
u
ρ
£
⎯
ß
γ
n
=
s
ù
ß
⎯
ß
ϑ
›V
9
$
#
$£
ϑ
Ï
Β
Λ
ä
⎢
ò
2
t
s
?
4
.
⎯
Ïi
Β
ω÷è
t
/
7
π
§
‹
Ϲ
u
ρ
š
χθ
ß¹
θ
è?
!
$
y
γ
Î/
÷
ρ
r
&
&
⎦
ø
⎪
y
Š
3
β
Î)
u
ρ
š
χ
%
x
.
×
≅
ã_
u
‘
ß^
u
‘
θ
ã
ƒ
»
'
s
#
≈
n
=
Ÿ
2
Í
ρ
r
&
×
ο
r
&
t
ø
Β
$
#
ÿ
…
ã
&
s
!
u
ρ
îˆ
r
&
÷
ρ
r
&
×M÷zé&
Èe
≅
ä
3
Î
=
s
ù
7‰Ïn
≡
u
ρ
$
y
ϑ
ß
γ
÷
Ψ
Ïi
Β
â¨ß‰¡
9
$
#
4
β
Î*
s
ù
(
#þ
θ
ç
Ρ
%
Ÿ
2
u
s
Yò
2
r
&
⎯
Ï
Β
y
7
Ï
9≡
s
Œ
ô
Μ
ß
γ
s
ù
â
™
!
%
Ÿ
2
u
à°
’
Îû
Ï]è
=
›W
9
$
#
4
.
⎯
Ï
Β
ω÷è
t
/
7
π
§
‹
Ϲ
u
ρ
4
©
|
»
θ
ã
ƒ
!
$
p
κ
Í5
÷
ρ
r
&
A
⎦
ø
⎪
y
Š
u
ö
x
î
9h‘
!
$
Ÿ
Òã
Β
4
Z
π
§
‹
Ϲ
u
ρ
z
⎯
Ïi
Β
«
!
$
#
3
ª
!
$
#
u
ρ
í
ΟŠ
Î
=
t
æ
Ò
ΟŠ
Î
=
y
m
∩⊇⊄∪
Artinya: ”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.(QS.al- Nisa’:4/12)
Ayat 12 surah al- Nisa’ ini merupakan kelanjutan dari ayat 11 yang
ditinggalkan oleh si pewaris kepada ahli warisnya. Sebenarnya, inti dari
ayat-ayat kewarisan adalah ayat-ayat 11 dan 12 surah al- Nisa’ ini. Di sini diatur
perolehan anak, ibu bapak, janda duda, dan saudara serta wasiat dan hutang.
Adapun yang menjadi asbabun nuzul dari turunnya ayat 11 dan 12 ini
adalah suatu kejadian yang dialami oleh Sa’ad bin Rabi’ dalam hubungan
dengan perang Uhud, bulan Syawal tahun ke-3 Hijrah. Peristiwa ini diabadikan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan
dengan saya, bapak keduanya telah mati syahid ketika ikut berperang dengan engkau di medan Uhud. Paman keduanya (saudara laki-laki kandung sa’ad) mengambil harta bendanya (warisan Sa’ad), tidak disisakannya sedikitpun juga, sedangkan keduanya tidak dapat dikawinkan kecuali mereka mempunyai harta. Lalu berkata Rasulullah: Allah akan memberi ketentuan mengenai hal ini. Maka turunlah ayat kewarisan (QS.al-Nisa’/4: 11-12). Rasul lalu mengirim utusan memanggil paman kedua anak perempuan itu. Sesudah menghadap, Rasul memerintahkan: berikan kepada kedua anak perempuan Sa’ad 2/3 harta peninggalan dan ibunya 1/8 harta pennggalan dan sisanya ambillah olehmu.
Pembagian warisan ini menurut para sahabat merupakan pembagian
warisan pertama dalam Islam.13
2. Sunnah Nabi: Hadits Nabi Muhammad saw. yang mengatur kewarisan antara
lain:
Jawabannya adalah karena penyebutan tersebut merupakan penegasan
yang menggantikan posisi anak perempuan.15
b.) Hadits Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhariy, Muslim,
Artinya: ”Dan dari amr bin syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada bagian dari harta warisan bagi
seorang pembunuh.” (HR. al- Nasa’iy dan Daruquthniy)
Kedua hadits di atas menjadi acuan bagi kita bahwa di antara
penghalang seseorang mendapatkan harta warisan adalah kafir atau
murtad dan pembunuh si mayit. Hal ini telah disepakati oleh jumhur
ulama.
keluargamu berkecukupan lebih baik dari meninggalkannya berkekurangan, sampai-sampai meminta kepada orang.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menjadi dasar bahwasanya meninggalkan keturunan
dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik ketimbang meninggalkan
keturunan dalam keadaan miskin, karena kalau seseorang sudah miskin
artinya ia akan lemah, dan kebanyakan dari orang yang lemah itu dekat
kepada kekafiran. Begitu pula sebaliknya orang yang berkecukupan akan
menjadi kuat, dan Allah lebih menyukai umat-Nya yang kuat daripada
yang lemah.
C. Rukun dan Syarat Waris
1. Rukun pusaka mempusakai itu ada tiga hal, yaitu
dalam hukum Islam sendiri pun dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu dari segi
peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih, dan dari segi kepada siapa
harta itu beralih.
2. Asas Bilateral
Asas bilateral berarti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui
dua arah. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang menerima hak kewarisan
dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan
laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
3. Asas Individual
Asas kewarisan secara individual mengandung makna bahwa harta
warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing
ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli
waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu
yang mungkin dibagi-bagi; kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap
ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
4. Asas Keadilan Berimbang
Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya
yang menyangkut dengan kewarisan, kata adil dapat diartikan sebagai berikut:
keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
5. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada
orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang
mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang
tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang
mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan
harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana
setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum
Islam. Dengan demikian hukum kewarisan Islam, hanya mengenal satu
bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata dan tidak mengenal
kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup, karena
masalah wasiat diatur tersendiri dalam hukum kewarisan Islam.25
E. Pengertian Persepsi
1) Pengertian Secara Etimologi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti dari kata persepsi adalah: 1.
tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu serapan, 2. proses seseorang
mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.26 Atau juga diartikan suatu
proses yang didahului oleh penginderaan. Sedangkan penginderaan sendiri
25
Ibid. h.18
26
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat
penerima yaitu alat indera. Namun, proses tersebut tidak berhenti di situ saja,
pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat
susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. 27 Dalam
kamus standar dijelaskan bahwa persepsi dianggap sebagai sebuah pengaruh
ataupun sebuah kesan oleh benda yang semata-mata menggunakan
pengamatan penginderaan.28
2) Pengertian Secara Terminologi
Beberapa tokoh memiliki beberapa pengertian menganai persepsi,
diantara tokoh itu adalah Moskowiz dan Orgel (1969) yang menyatakan
bahwa persepsi itu merupakan proses yang integrated dari individu terhadap
stimulus yang diterimanya.29 Sedangkan menurut Gibson dan Donely (1994)
menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap
lingkungan oleh seorang individu. Ada pula Rakhmat Jalaludin (1998), yang
menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
27
Bimo Walgito, Psikologi Sosial; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Andi, 2007), ed.revisi,
h.53
28
Abdurrahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif
Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h.88
29
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan.30
Sebenarnya masih banyak lagi tokoh yang mendefinisikan persepsi,
namun penulis mengambil kesimpulan dari beberapa definisi di atas bahwa
persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur
dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan
pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan
keseluruhan gambaran yang berarti.
F. Konsep Keadilan 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam
Salah satu asas dalam hukum kewarisan Islam adalah asas keadilan
berimbang. Yang dimaksud dengan asas keadilan berimbang adalah keseimbangan
antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan
keperluan dan kegunaan. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa faktor jenis
kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas
keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem garis keturunan
patrilineal, yang ahli warisnya hanyalah keturunan laki-laki saja/garis kebapakan).
30
Dasar hukum asas ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan al-Qur’an surat
an-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176. 31
Syariat telah menentukan bagian anak perempuan dan bagian anak laki-laki,
yaitu satu berbanding dua (setengah bagian anak laki-laki). Pembagian ini bukan
merupakan kezaliman, sebab pemberian warisan berbeda dengan pembagian kasih
sayang yang menuntut kesamaan dalam pemberian.
Tidak boleh berbuat zalim terhadap anak perempuan dengan tidak
memberikan haknya dalam kedua pemberian (kasih sayang dan harta waris), karena
ia termasuk orang yang berhak atas kedua pemberian tersebut menurut ketetapan
syara’ bahkan telah ditentukan pembagiannya, supaya ia menunaikan tanggung
jawabnya dan menjaga kehormatannya dengan keridhaan Tuhannya yang maha suci.
Kalau beberapa kenyataan dapat disimpulkan sejumlah faedah: bahwa anak
perempuan setelah pernikahannya dan setelah melahirkan anak-anaknya, akan
berubah persepsinya tentang hak miliknya dari harta warisan peninggalan ayahnya,
dan berbeda dengan persepsi sebelumnya ketika ia masih bersama
saudara-saudaranya di rumah keluarganya.
Perlu diketahui bahwa anak perempuan dewasa yang mengetahui hakekat
penggunaan nafkah tersebut dengan benar dan bijaksana adalah anak perempuan yang
mampu menentukan sikap yang tepat dalam menghadapinya (mampu mengambil
tindakan yang bijaksana terhadap harta tersebut), yaitu jika ia menghendaki untuk
31
Kamil Musa, Anak Perempuan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: CV. Firdaus, 1994),
memiliki harta ia akan mengambil haknya secara sempurna atau jika ia telah
memandang situasi dan kondisi lain dari sudut-sudut kehidupan keluarganya maka ia
akan bersikap toleran, yaitu dengan merelakannya (tidak mengambilnya).32
Demikianlah konsep keadilan yang ada dalam hukum kewarisan Islam, dari
hal tersebut kita dapat melihat seperti apa gambaran keadilan yang terdapat dalam
konsep pembagian warisan antara anak laki-laki dengan perempuan.
32
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG AKTIVIS GENDER INDONESIA
A. Pengertian Gender 1. Definisi Gender
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan"33.
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin".34 Dalam
Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.35 Di dalam
Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
33
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, (1992), h.3
34
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983), h. 265
35
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.36 Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).37 Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Linda L. Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).38
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.39 Sejalan dengan perkataan Elaine showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi
36
Helen Tierney (ed.), Women’s Studies Encyclopedia, Vol.1, (New York: Green Wood Press), h.153
37
Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, (London: Mayfield Publishing Company, 1993), h.4
38
Linda L. Linsey, Gender Roles: a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h.2
39
budaya, ia menerapkannya sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.40
Dari berbagai definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari perbedaan struktur sosial dan budaya di masyarakat.
2. Perbedaan Antara Sex dan Gender
Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti "jenis kelamin") lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.41
Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness)
40
Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 34.
41
dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender.42
Untuk lebih jelasnya, penulis akan membaginya ke dalam sebuah tabel sebagai berikut:
Perbedaan Utama43
Jenis kelamin (sex) Gender
1. Jenis kelamin bersifat alamiyah 2. Jenis kelamin bersifat biologis. Ia
merujuk kepada perbedaan yang nyata dari alat kelamin dan perbedaan terkait dalam fungsi kelahiran
3. Jenis kelamin bersifat tetap, ia akan sama di mana saja
4. Jenis kelamin tidak bisa berubah
1. Gender bersifat sosial-budaya dan merupakan buatan manusia
2. Gender bersifat sosial-budaya dan merujuk kepada tanggung jawab, peran, pola perilaku, kualitas-kualitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminin. 3. Gender bersifat tidak tetap, ia
berubah dari waktu ke waktu, dari
42
Ibid. h.36.
43
satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke keluarga lainnya.
4. Gender dapat dirubah
3. Kesetaraan Gender, Keadilan Gender dan Pengarusutamaan Gender
Adapun kesetaraan gender dapat diartikan dengan suatu ”suatu kondisi yang mencerminkan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, masyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.”44
Sedangkan keadilan gender adalah ”kondisi dan perlakuan yang adil bagi perempuan dan laki-laki sehingga untuk mewujudkan kondisi-kondisi tersebut, diperlukan langkah-langkah yang bertujuan menghentikan ketidakadilan yang secara sosial dan dari sisi sejarah menghambat perempuan dan laki-laki berperan dan menikmati hasil pembangunan dengan setara.”45
44
Zaitunah subhan, peningkatan Kesetaraan Dan Keadilan Jender Dalam Membangun Good Governance, (Jakarta: el- Kahfi, 2002), h.7
45
Istilah yang mucul berikutnya adalah pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming (sebagaimana tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender) yang berarti ”suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan yang mengintegrasikan pengalaman, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan, program, peraturan serta anggaran dalam segala bidang (politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pertahanan keamanan, dan kemasyarakatan).”46
B. Karakteristik Aktivis Gender Indonesia
1. Isu-Isu Utama Dalam Islam Yang Dijadikan Mindset Pergerakan Aktivis Gender
Kaum feminis menganggap bahwa kaum muslimat saat ini berada dalam suatu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam dan dasar Islam. Kaum muslimat dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syariat.47 Sehingga mereka mempertanyakan tafsiran ayat-ayat al- Qur’an yang dianggap mengundang bias gender, diantaranya: (1) tentang kesaksian perempuan dalam hutang piutang (QS. al- Baqarah/2: 282), (2) tentang hak waris perempuan
46
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, Tentang Pengarusutamaan Gender.
47
dan laki-laki (QS. al- Nisa/4: 11), (3) tentang kebolehan laki-laki berpoligami (QS. al- Nur/24: 30-31 dan al- ahzab/33: 53-59). Mereka mengatakan bahwa pembagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan 2:1 adalah diskriminatif, bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyah) dan keadilan sosial. Hukum yang seperti ini hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan, mendiskriminasi, dan mensubordinasi perempuan.
Hukum yang dilahirkan oleh masyarakat dan budaya patriarkis, dimana laki-laki selalu menjadi pusat kuasa dan misoginis (kebencian terhadap perempuan). Oleh karena itu mereka mengusulkan, agar proporsi pembagian laki-laki perempuan sama 1:1 atau 2:2, untuk tujuan ini menurut mereka, tidak hanya cukup sekedar melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekonstruksi (pembongkaran) terhadap bebatuan ideologi yang melilitnya berabad-abad. Dengan dasar Kesetaraan gender inilah kondisi syariat Islam yang menurut mereka bias masculine-centris yang didominasi oleh fiqih dan tafsir maskulin. Artinya sudah terjadi semacam ”operasi kelamin” terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an. Kini tibalah saatnya menurut mereka untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat hukum yang praktis temporal, teknik operasional (juz’iyyah) agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan terbebas dari muatan lokal arabisme.48
48
2. Pola Pikir Aktivis Gender Dalam Menghadapi Masalah Kewarisan
Menyangkut masalah kewarisan, maka laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk menerima warisan dari orang tua (bila meninggal dunia) sesuai dengan QS. al- Nisa/4 :7. berdasarkan ayat tersebut antara laki-laki dan perempuan memiliki hak dalam hal warisan. Walaupun pada akhir ayat di atas ada isyarat bahwa masing-masing memiliki bagian yang telah ditetapkan sedikit atau banyaknya. Karena seandainya bagiannya sama, tentulah kalimat di atas tidak perlu ada.49
Selanjutnya pada QS. al- Nisa/4 :11 dijelaskan bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Secara sepintas dapat dikatakan bahwa ayat tersebut bias gender karena yang diinginkan (adil) adalah 1:1. Namun, sebagian pakar menyatakan bahwa justru 2:1 itulah yang sarat dengan nilai-nilai keadilan. Dengan alasan bahwa laki-laki mendapat dua bagian dari perempuan karena kewajibannya dari hal materi juga melebihi dari perempuan. Hal tersebut dapat dilihat pada kewajiban laki-laki memberi mahar pada calon isteri. Laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada isteri (lihat al-Baqarah: 223 dan al- Thalaq: 6 dan 7) yang menekankan bahwa kewajiban nafkah tersebut disesuaikan dengan kadar kemampuan suami.50
49
Laporan Penelitian: Studi Tentang Masalah Gender Dari Sudut Pandang Agama Islam, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Bekerja Sama Dengan Pusat Studi Wanita IAIN ALAUDDIN Makassar, (Makassar: 2001)
50
Dengan alasan tersebut, maka pembagian warisan 2:1 merupakan ketentuan Allah yang sudah menjadi lambang keadilan. Berdasarkan tanggung jawab dalam mengayomi keluarga. Demikian halnya dengan ayat-ayat yang lain pada QS. al- Nisa/4: 11 dan 12 telah ditetapkan Allah secara gamblang tentang jumlah bagian yang diterima, misalnya ibu dan bapak, atau isteri dan suami.
Mencermati ayat-ayat tentang warisan pada umumnya, bagian itu disebut Allah secara jelas angka-angkanya, karena pada umumnya manusia cenderung pada warisan (harta) sedangkan kalau bukan angka-angka yang jelas maka mudah diubah.51
C. Persepsi Para Aktivis Gender Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 Disertai Argumen-Argumen Yang Melatarbelakangi Persepsi Mereka
1. Zaitunnah Subhan
Tentang pembagian warisan dalam Islam telah ditegaskan oleh Tuhan dalam al- Qur’an satu prinsip pokok, yaitu pria dan wanita52 sama-sama berhak mendapatkan warisan dari peninggalan kedua orang tua atau kerabat masing-masing.
51
Ibid.
52
Kewarisan wanita (yang semula tidak mendapat bagian) bahkan menjadi barang warisan, telah dibenarkan dan dipraktekkan dengan ketentuan formula dua berbanding satu adalah firman Allah SWT surat al- Nisa/4:11,
”Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu; bahagian anak pria sama dengan dua anak wanita...”
Istilah yang digunakan oleh al- Qur’an berkaitan dengan kewarisan ini dengan kata (zakar= pria) dan (untsa= wanita). Dua kata ini merupakan pasangan. Kata zakar mempunyai makna fakkara, iftikara, fatana = berpikir, cerdas. Sedangkan untuk kata untsa mempunyai arti lemah lembut dan halus.
Menurut tafsir Departemen Agama, hikmah diberikannya kepada anak pria dua bagian dan kepada anak wanita satu bagian, adalah karena pria memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nafkah isteri serta anak-anaknya, sedangkan wanita hanya memerlukan biaya untuk dirinya sendiri dan bila telah menikah, keperluannya ditanggung oleh suami. Karena itu, wajar bila wanita mendapatkan satu bagian saja. Menurut Hamka hal ini menunjukkan bahwa pria tidak boleh lepas tanggung jawabnya terhadap wanita.
dimiliki oleh pria, kedua-duanya kurang, baru akan cukup bila kedua akal (pada wanita dan pria) digabungkan. Pengalaman-pemgalaman di dalam rumah tangga yang bahagia membuktikan hal itu. Beliau beri contoh bahwa seringkali tidak mendapat keputusan yang tepat sebelum mendapat petunjuk dari isterinya. Sebaliknya, isterinya pun sering salah dalam mengambil keputusan karena tidak bermusyawarah dengan suaminya.
Demikian pula alasan bahwa nafsu syahwat wanita lebih besar daripada pria, suka memboroskan uang bila mendapatkan warisan yang banyak. Justru pria yang lebih banyak menghamburkan uang baik dari waris atau dari yang lain guna merayu dan membujuk wanita agar mau menyerahkan kehormatan kepadanya. Cukup banyak wanita yang akan rela menanggalkan perhiasannya untuk membantu suami saat kesusahan. Mahmud Yunus dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat di atas merupakan tuntunan bagaimana membagikan harta pada pusaka mayat yang harus diikuti orang-orang Islam.53
2. Syafiq Hasyim
Bentuk lain dari tersubordinasinya perempuan dalam fikih ada dalam kasus pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan yang tidak sebanding. Dalam fiqih dinyatakan bahwa perempuan memperoleh separo dari bagian yang diperoleh laki-laki. Ketentuan ini memang bersumber dari al- Qur’an surah al- Nisa; (4) ayat 11 yang bunyi harfiahnya adalah:
53
Ì
x
.
©
%#
Ï
9
…..
ã
≅
÷VÏ
Β
Åeá
y
m
È
⎦
÷
⎫
u
‹
s
V
Ρ
W
{
$
#
……
li dzakari mitslu hazhzh al- untsayain (bagi seorang laki-laki seperti bagian dua orang perempuan). Menurut sebagian ulama fiqih, ayat tersebut masuk ke dalam kategori ayat qath’i, yang keberlakuannya bersifat absolut dan tidak terbantahkan. Menurut pendapat ini, orang yang menolak kepastian makna ayat ini dapat dianggap telah kafir.
Sebenarnya wacana mengenai warisan ini telah mengalami perkembangan sejak kehadiran Islam dan karena itu harus dilihat secara historis. Pada masa jahiliah, wacana tentang warisan hanya menjadi wacana kaum laki-laki. Pelaku, penentu dan penerima warisan adalah kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan dijadikan sebagai objek warisan. Wacana warisan ini berubah total setelah kedatangan Islam. Apabila sejarah sebelumnya menjadikan warisan hanya sebagai hak kaum laki-laki, setelah Islam, perempuan diizinkan atau bahkan diberi hak untuk mendapatkan warisan. Dengan demikian, Islam sebenarnya menghendaki perempuan kuat secara ekonomi.
Munawwir Sjadzali, Menteri Agama saat itu, mengemukakan gagasannya mengenai reaktualisasi Islam. Menurut Munawwir, kepastian 1:2 ini seharusnya
direaktualisasikan dan disesuaikan dengan perekembangan ruang dan waktu.54 Pada masa awal Islam di tanah Arab, komposisi pembagian 1:2 ini sebenarnya tidak menjadi masalah. Namun, pada akhir-akhir ini, komposisi ini mendapat gugatan dari berbagai kalangan, terutama kalangan pejuang hak-hak perempuan, pada saat ruang dan waktu menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian. Perubahan ruang dan waktu inilah yang pada dasarnya menyebabkan komposisi 2:1 dianggap sebagai bentuk diskriminasi fiqih terhadap perempuan. Pertanyaannya selalu, mengapa perempuan mendapat hanya separo dari yang didapatkan kaum laki-laki? Bukankah keduanya sama-sama makhluk Tuhan? Apakah perbedaaan perolehan tersebut dibedakan oleh gender atau biologis?
Akan tetapi, baiklah, sebenarnya banyak jalan keluar yang ditawarkan oleh Islam mengenai persoalan ini. Pertama, sebagaimana kita memahami kasus-kasus lain, ayat tentang warisan ini pada dasarnya merupakan respons al- Qur’an tehadap sejarah sosial yang berkembang pada masanya. Sebagaimana diketahui, perempuan pada masa itu tidak memiliki hak untuk memiliki apapun yang diberikan kepadanya. Apabila mereka diberi sesuatu, pemberian itu hanya numpang lewat. Pemberian itu biasanya diserahkan kepada kakak atau orang tua
54
mereka. Secara historis-sosiologis, ayat ini sebenarnya merupakan bentuk dari penyadaran kemanusiaan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki, memiliki hak untuk mempunyai harta. Islam memberikan dua alternatif cara memperoleh harta, yaitu melalui warisan dan melalui mas kawin. Dengan cara pemahaman yang demikian, berarti realitas 2:1 sebenarnya adalah cerminan realitas historis-sosiologis yang sangat bergantung pada ruang dan waktu.55
Kedua, secara teologis-sosiologis jumlah warisan laki-laki dilebihkan dari jumlah warisan perempuan karena Islam tidak menuntut perempuan memberikan mas kawin dan nafkah kepada keluarga mereka. Meskipun demikian, Islam tetap memberikan jalan keluar apabila orang tua ingin memberikan bagian yang sama kepada anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Jalan yang ditawarkan adalah pembagian harta di luar mekanisme warisan, entah itu hibah atau pembagian warisan ketika orang tua masih hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah menyatakan, ”samakanlah di antara anak-anakmu pemberianmu. Jikalau aku boleh melebihkan pada salah satunya, sungguh aku akan melebihkan anak perempuan.”
Dua alasan di atas sebenarnya cukup logis untuk menjelaskan mengapa laki-laki memperoleh bagian yang lebih dibandingkan perempuan. Dua alasan ini pula yang menuntun kita kepada kesimpulan bahwa perbedaan perolehan bagian warisan itu bukan disebabkan oleh faktor biologis (kodrati), tetapi semata-mata
55
disebabkan oleh persoalan sosial budaya, atau, dengan kata lain persoalan gender. Oleh karena gender, hukum atas persoalan ini pun bisa mengalami perubahan berdasarkan perubahan peranan gender. Bukankah peranan gender semata-mata didasarkan pada konstruksi sosial budaya dan karena itu ia tidak alergi pada perubahan.56
3. Abdul Wahid Maryanto (aktifis PUAN57)
Aturan tentang hukum kewarisan Islam ialah aturan qath’i yang sudah tidak perlu diubah-ubah lagi. Mengenai aturan pembagian dua berbanding sa