• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembinaan Narapidana Tentara Nasional Indonesia Yang Menjalani Hukuman Pidana Di Pemasyarakatan Militer (Studi Kasus di Pemasyarakatan Militer Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembinaan Narapidana Tentara Nasional Indonesia Yang Menjalani Hukuman Pidana Di Pemasyarakatan Militer (Studi Kasus di Pemasyarakatan Militer Medan)"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBINAAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL

INDONESIA YANG MENJALANI HUKUMAN

PIDANA DI PEMASYARAKATAN MILITER

(Studi Kasus di Pemasyarakatan Militer Medan)

TESIS

OLEH:

DP. MANGATUR HUTAHAEAN 097005096 / HK

[

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMBINAAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL

INDONESIA YANG MENJALANI HUKUMAN

PIDANA DI PEMASYARAKATAN MILITER

(Studi Kasus di Pemasyarakatan Militer Medan)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DP. MANGATUR HUTAHAEAN 097005096 / HK

[

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

JUDUL TESIS : PEMBINAAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MENJALANI HUKUMAN PIDANA DI PEMASYARAKATAN MILITER (Studi Kasus di Pemasyarakatan Militer Medan)

NAMA : DP. MANGATUR HUTAHAEAN

N.I.M. : 097005096

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Ketua

Prof. Chainur Arrasyid, SH

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

Anggota Anggota

Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

(4)

Telah diuji pada

Tanggal, 12 Januari 2012

PANITIA UJIAN TESIS:

Ketua : Prof. Chainur Arrasyid, SH

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

3. Dr. Marlina, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Konsep pembinaan terhadap Narapidana TNI di Pemasyarakatan Militer Medan merupakan penundukan terhadap konsep pembinaan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan melalui Skep Panglima TNI No./792/XII/1997 tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer dan berdasarkan Prosedur Tetap pelaksanaan pembinaan. Konsep pemenjaraan tidak digunakan lagi dalam prakteknya walaupun belum diatur secara tegas dalam sebuah undang-undang khusus. Tujuan pembinaan untuk mengembalikan Narapidana TNI kepada jiwa Pancasila dan Saptamarga dengan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi perbuatannya sehingga dapat melaksanakan tugas dinas militer.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama: bagaimanakah pembinaan yang dilakukan oleh Masmil terhadap narapidana TNI? Kedua, bagaimanakah pembinaan terhadap narapidana TNI di Masmil Medan? Ketiga, apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Masmil Medan dan upaya penanggulangannya dalam melakukan pembinaan narapidana TNI?

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif yang mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan militer. Sebagai bahan pendukung dilakukan studi lapangan di Masmil Medan.

Kesimpulan diperoleh bahwa pembinaan yang dilakukan terhadap Narapidana TNI di Masmil Medan dilakukan dengan tidak menganut sistem kepenjaraan walaupun Masmil Medan hanya berpedoman kepada Skep Panglima TNI No./792/XII/1997 dan Prosedur Tetap yang ada. Pembinaan yang diterapkan di Masmil Medan layaknya pembinaan yang diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hambatan-hambatan yang dihadapi terakit dengan peraturan perundang-undangan yang belum memadai, pola pembinaan masih belum terprogram dan terpadu, kurangnya kuantitas dan kualitas personil, sarana dan parasarana belum memenuhi stándar Masmil yang sesungguhnya, masih adanya Narapidana TNI yang menjalani pidananya di luar Masmil yakni di Staltahmil Pomdam I Bukit Barisan, masih belum optimalnya koordinasi antara Hakim Wasmat, Odmil, Dansatun dengan keluarga Narapidana TNI disebabkan belum adanya pedoman khusus dalam bentuk undang-undang.

Diharapkan agar dewan legislatif membuat undang-undang khusus mengenai pembinaan narapidana TNI di Masmil. Diharapkan terhadap pelaksanaan pembinaan Narapidana TNI di Masmil Medan khususnya memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal yang melanggar hak asasi sebab Masmil Medan tetap menggunakan asas kepentingan komando dan kepentingan militer.

(6)

ABSTRACT

The concept of development for the inmates originally from the Indonesian National Army at the Military Penitentiary in Medan is a subjection to the concept of development regulated in Law No.12/1995 on Correctional Activity through the decree of the Commander in Chief of the Indonesian National Army No./792/XII/1997 on the Draft of Technical Guide Book for Military Correctional Implementation and the regular procedure of development implementation. The concept of imprisonment is no longer used in daily practice even though it is not yet clearly regulated in a special law. The purpose of development is to return the inmates to the spirit of Pancasila and Saptamarga by realizing the mistakes he has done, improving himself, and not to repeat what he has done that he can carry out his military duties.

The problems discussed in this study were: first, how the Masmil developed the inmates originally from the Indonesian National Army; second, how the inmates originally from the Indonesian National Army were developed at the Masmil Medan; and third, the constraints faced and the attempts done by the Masmil Medan in developing the inmates originally from the Indonesian National Army.

This study employed normative juridical method referring to the legal values and norms found in the military regulation of legislation. To support the material available, a field study was conducted at the Masmil Medan.

The conclusion drawn from this study was that the development done for the inmates originally from the Indonesian National Army at the Masmil Medan was not through imprisonment system although the Masmil Medan only referred to the decree of the Commander in Chief of the Indonesian National Army No./792/XII/1997 and the existing regular procedure. The development done at the Masmil Medan is the same as the one done in the correctional institution. The constraints faced were related to the inadequate regulation of legislation, the development pattern was not yet programmed and integrated, lack of quantity and quality of personnel, the existing facilities and infrastructure had not met the standard set by the Masmil, few inmates originally from the Indonesian National Army were still detained not at the Masmil Medan but at Staltahmil Pomdam I Bukit Barisan, the coordination between Wasmat Judge, Military Oditur, Dansatun and the family members of the inmates originally from the Indonesian National Army was not yet optimal because of the absence of special guide in the form of law.

The legislative council is expected to make a special law on the development of the inmates originally from the Indonesian National Army at the Masmil Medan. It is expected that the implementation of development of the inmates originally from the Indonesian National Army especially looking at the issues related to the violation of human rights because the Masmil medan still remains to use the principle of commando and military interests.

Keywords: Inmate, Indonesian National Army, Development, Military

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

segala karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan studi Magister Hukum (MH) di

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara. Judul penelitian ini adalah: ”Pembinaan Narapidana Tentara

Nasional Indonesia yang Menjalani Hukuman Pidana di Pemasyarakatan Militer

(Studi Kasus di Pemasyarakatan Militer Medan)”. Telah dinyatakan lulus yudisium

dengan baik dan tepat pada waktunya pada tanggal 12 Januari 2012.

Banyak pihak yang telah membantu selama studi dan penelitian ini

berlangsung. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K);

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung

Sitepu, SH, M.Hum;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.

MH, yang telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan

sampai pada akhirnya meja hijau selalu memberikan petunjuk, arahan, dan

semangat sehingga studi ini dapat selesai tepat waktu dengan nilai yang sangat

memuaskan;

4. Prof. Chainur Arrasyid, SH, sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah

banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya

meja hijau selalu diberinya saran, petunjuk, arahan, bimbingan, dan semangat

sehingga studi ini dapat diselesaikan;

5. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, sebagai Anggota Komisi Pembimbing I yang

telah banyak berupaya memberikan koreksi sehingga menjadi sempurna. Selain

itu juga telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis

(8)

6. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Anggota Komisi Pembimbing II

juga telah memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai

kepada selesainya penelitian ini;

7. Seluruh Staf Pengajar/Dosen di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan kawan-kawan Mahasiswa

S2 yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuannya;

8. Seluruh Staf/Pegawai Adminstrasi yang telah melancarkan segala urusan

berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi berlangsung dan juga

pada saat dilakukan penelitian ini;

9. Istriku tercinta Tiurma Ogestina Sirait, dengan pengorbanan dan pengertiannya

selalu hadir di sanubariku mendampingi dalam keadaan apapun tidak pernah

menunjukkan keluh kesahnya walaupun kadang-kadang ditinggal demi untuk

menyelesaikan studi S2 dan urusan Kedinasan Militer;

10.Anak kon hi do hamoraon di au, si nuan tunasku, itulah anak-anakku, si buah

hatiku, penawar lelah dan penyejuk gerahku: Osel Haposan B.M. Hutahaean,

Daniel P.A. Hutahaean, Rodewantara G. Hutahaean, demi merekalah penulis

semakin bertambah semangat yang luar biasa menyelesaikan studi ini. Hendaknya

termotivasi untuk maju menjadi anak yang berprestasi terbaik dan menjadi hamba

Tuhan yang taat beribadah dengan melihat Bapaknya yang tidak pernah

malas-malas belajar dan terus belajar;

11.Yang terhormat, Ayahanda: R.B. Hutahaean dan Ibunda: I.A. Br. Silitonga

(Almh) setiap waktu dan sepanjang hari tidak lupa dengan ikhtiar dan berdo,a

agar penulis dapat mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya, serta kedua

Mertuaku: S. Sirait, B.Sc, dan M. Br. Silalahi, selalu memberikan semangat dan

mendukung untuk menyelesaikan studi ini.

Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi

manfaat bagi semua pihak, menambah dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat menjawab tantangan atas

(9)

Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan dalam penelitian ini, penulis

mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya.

Medan, 12 Januari 2012

Penulis

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : DP. MANGATUR HUTAHAEAN

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta/30 Juni 1960.

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Pinus No.4 Komplek Komplek DPRD Tkt I Medan

Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Negeri 3 Kec. Laguboti Kab. Tobasa

(Lulus 1972);

- Sekolah Menengah Pertama Tanah Air Jakarta

(Lulus 1976);

- Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Jakarta (Lulus

1980);

- S-1 Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia

(UKI) Jakarta (Lulus 1986);

- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Pascasarjana USU Medan (Lulus 2012).

Pendidikan Militer : - Sepawamil (Lulus 1987);

- Suspariksa (Lulus 1989);

- Suspaluhkum (Lulus 1992);

- Diklapapers (Lulus 1993);

- Diklapaduakum (Lulus 1998);

- Susjabormil (Lulus 2005);

- Susjemenstra (Lulus 2010).

Jabatan Militer : - Kadiskum Lantamal I (1998-2002);

- Anggota DPRD Kota Medan (2002-2004);

- Kaodmil I-02 Medan (2007-2011);

- Oditur Militer Tinggi (Sampai Sekarang).

(11)

DAFTAR SINGKATAN

KUHDM : Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer

KUHPM : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer

KUHAP : Kitab Undnag-Undang Hukum Acara Pidana

UU TNI : Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia

UUPM : Undang-Undang Peradilan Militer

UU Pemasyarakatan : Undang-Undang Pemasyarakatn

KUH Pidana : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan

MASMIL : Pemasyarakatan Militer

PUSMASMIL : Pusat Pemasyarakatan Militer

BABINKUM : Badan Pembinaan Hukum

PROTAP : Prosedur Tetap

BHT : Berkekuatan Hukum Tetap

KAURPAM : Kepala Urusan Pengamanan

KAURREHAB : Kepala Urusan Rehabilitasi

KAURNISMIN : Kepala Urusan Administrasi

DPO : Data Pencarian Orang

WASMAT : Pengawasan dan Pengamatan

BUJUKNIS : Buku Petunjuk Teknis

BUJUKBIN : Buku Petunjuk Pembinaan

BUJUKLAK : Buku Petuntuk Pelaksanaan

SPP : Sistem Peradilan Pidana

CJS : Criminal Justice System

SPPM : Sistem Peradilan Pidana Militer

ANKUM : Atasan yang Berhak Menghukum

PAPERA : Panglima Penyerah Perkara

(12)

SKEP : Surat Keputusan

KEP : Kepiutusan

KODAM : Komando Daerah Militer

POMDAM : Polisi Militer Kodam

POMAL : Polisi Militer Angkatan Laut

POMAU : Polisi Militer Angkatan Udara

PERMILDES : Penerapan Peraturan Militer Dasar

PBB : Peraturan Baris-Berbaris

PPM : Peraturan Penghormatan Militer

PDM : Peraturan Disiplin Militer

PUD : Peraturan Urusan Dalam

PDG : Peraturan Dinas Garnisum

KAMASMIL : Kepala Pemasyarakatan Militer

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Keaslian Penelitian ... 18

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 18

1. Kerangka Teori... 18

2. Landasan Konsepsional ... 29

G. Metode Penelitian ... 31

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 31

2. Sumber Data ... 32

3. Teknik Pengumpulan Data ... 33

4. Analisis Data ... 34

(14)

A. Komponen Dalam Sistim Peradilan Pidana Militer ... 35

B. Pemasyarakatan Militer Sebagai Salah Unsur Dalam Sisitim Peradilan Militer ... 50

C. Pembinaan yang Dilakukan oleh Pemasyarakatan Militer Terhadap Narapidana Anggota Tentara Nasional Indonesia ... 58

BAB III : PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA TENTARA NASIONAL INDONESIA DI PEMASYARAKATAN MILITER MEDAN ... 74

A. Gambaran Umum Pemasyarakatan Militer Medan ... 74

B. Pembinaan Terhadap Narapidana TNI yang Menjalani Pidananya di Pemasyarakatan Militer Medan ... 81

1. Menghadapi Bahaya Kebakaran ... 82

2. Menghadapi Bencana Alam ... 82

3. Menghadapi Huru-Hara ... 83

4. Klasifikasi, Penempatan, dan Pengawasan Narapidana TNI ... 85

5. Penerimaan Narapidana TNI ... 88

6. Tindakan Terhadap Narapidana TNI yang Melarikan Diri ... 91

7. Pengamanan Narapidana TNI ... 93

8. Tradisi Pembebasan Narapidana TNI ... 95

9. Pengawalan Narapidana TNI ... 96

10.Pengurusan Narapidana TNI yang Menderita Sakit atau Meninggal Dunia ... 99

(15)

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH MASMIL MEDAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

DALAM MELAKUKAN PEMBINAAN NARAPIDANA TNI ... 107

A. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana TNI di Masmil Medan ... 107

1. Hambatan Internal ... 107

2. Hambatan Eksternal ... 108

B. Upaya yang Dilakukan Dalam Pembinaan Narapidana TNI di Masmil Medan ... 111

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 121

DAFTAR SKEMA Skema 1: Sistem Peradilan Pidana Militer ... 54

(16)

ABSTRAK

Konsep pembinaan terhadap Narapidana TNI di Pemasyarakatan Militer Medan merupakan penundukan terhadap konsep pembinaan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan melalui Skep Panglima TNI No./792/XII/1997 tentang Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer dan berdasarkan Prosedur Tetap pelaksanaan pembinaan. Konsep pemenjaraan tidak digunakan lagi dalam prakteknya walaupun belum diatur secara tegas dalam sebuah undang-undang khusus. Tujuan pembinaan untuk mengembalikan Narapidana TNI kepada jiwa Pancasila dan Saptamarga dengan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi perbuatannya sehingga dapat melaksanakan tugas dinas militer.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama: bagaimanakah pembinaan yang dilakukan oleh Masmil terhadap narapidana TNI? Kedua, bagaimanakah pembinaan terhadap narapidana TNI di Masmil Medan? Ketiga, apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Masmil Medan dan upaya penanggulangannya dalam melakukan pembinaan narapidana TNI?

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif yang mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan militer. Sebagai bahan pendukung dilakukan studi lapangan di Masmil Medan.

Kesimpulan diperoleh bahwa pembinaan yang dilakukan terhadap Narapidana TNI di Masmil Medan dilakukan dengan tidak menganut sistem kepenjaraan walaupun Masmil Medan hanya berpedoman kepada Skep Panglima TNI No./792/XII/1997 dan Prosedur Tetap yang ada. Pembinaan yang diterapkan di Masmil Medan layaknya pembinaan yang diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hambatan-hambatan yang dihadapi terakit dengan peraturan perundang-undangan yang belum memadai, pola pembinaan masih belum terprogram dan terpadu, kurangnya kuantitas dan kualitas personil, sarana dan parasarana belum memenuhi stándar Masmil yang sesungguhnya, masih adanya Narapidana TNI yang menjalani pidananya di luar Masmil yakni di Staltahmil Pomdam I Bukit Barisan, masih belum optimalnya koordinasi antara Hakim Wasmat, Odmil, Dansatun dengan keluarga Narapidana TNI disebabkan belum adanya pedoman khusus dalam bentuk undang-undang.

Diharapkan agar dewan legislatif membuat undang-undang khusus mengenai pembinaan narapidana TNI di Masmil. Diharapkan terhadap pelaksanaan pembinaan Narapidana TNI di Masmil Medan khususnya memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal yang melanggar hak asasi sebab Masmil Medan tetap menggunakan asas kepentingan komando dan kepentingan militer.

(17)

ABSTRACT

The concept of development for the inmates originally from the Indonesian National Army at the Military Penitentiary in Medan is a subjection to the concept of development regulated in Law No.12/1995 on Correctional Activity through the decree of the Commander in Chief of the Indonesian National Army No./792/XII/1997 on the Draft of Technical Guide Book for Military Correctional Implementation and the regular procedure of development implementation. The concept of imprisonment is no longer used in daily practice even though it is not yet clearly regulated in a special law. The purpose of development is to return the inmates to the spirit of Pancasila and Saptamarga by realizing the mistakes he has done, improving himself, and not to repeat what he has done that he can carry out his military duties.

The problems discussed in this study were: first, how the Masmil developed the inmates originally from the Indonesian National Army; second, how the inmates originally from the Indonesian National Army were developed at the Masmil Medan; and third, the constraints faced and the attempts done by the Masmil Medan in developing the inmates originally from the Indonesian National Army.

This study employed normative juridical method referring to the legal values and norms found in the military regulation of legislation. To support the material available, a field study was conducted at the Masmil Medan.

The conclusion drawn from this study was that the development done for the inmates originally from the Indonesian National Army at the Masmil Medan was not through imprisonment system although the Masmil Medan only referred to the decree of the Commander in Chief of the Indonesian National Army No./792/XII/1997 and the existing regular procedure. The development done at the Masmil Medan is the same as the one done in the correctional institution. The constraints faced were related to the inadequate regulation of legislation, the development pattern was not yet programmed and integrated, lack of quantity and quality of personnel, the existing facilities and infrastructure had not met the standard set by the Masmil, few inmates originally from the Indonesian National Army were still detained not at the Masmil Medan but at Staltahmil Pomdam I Bukit Barisan, the coordination between Wasmat Judge, Military Oditur, Dansatun and the family members of the inmates originally from the Indonesian National Army was not yet optimal because of the absence of special guide in the form of law.

The legislative council is expected to make a special law on the development of the inmates originally from the Indonesian National Army at the Masmil Medan. It is expected that the implementation of development of the inmates originally from the Indonesian National Army especially looking at the issues related to the violation of human rights because the Masmil medan still remains to use the principle of commando and military interests.

Keywords: Inmate, Indonesian National Army, Development, Military

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan bagian dari masyarakat yang

dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan negara dan bangsa.

TNI dibatasi oleh undang-undang dan peraturan militer sehingga semua tindak tanduk

perbuatan yang dijalani harus berlandaskan pada undang-undang dan peraturan yang

berlaku. Untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajiban yang berat dan amat khusus

maka TNI dididik dan dilatih untuk mematuhi perintah-perintah ataupun putusan

tanpa membantah dan melaksanakannya perintah tersebut.

Perbuatan/tindakan dengan dalih atau bentuk apapun yang dilakukan oleh

anggota TNI baik secara perorangan maupun kelompok yang melanggar

ketentuan-ketentuan hukum, norma-norma lainnya yang berlaku dalam kehidupan atau

bertentangan dengan undang-undang, peraturan kedinasan, disiplin, tata tertib di

lingkungan TNI pada hakekatnya merupakan perbuatan/tindakan yang merusak

wibawa, martabat dan nama baik TNI yang apabila perbuatan/tindakan tersebut

dibiarkan terus, dapat menimbulkan ketidaktentraman dalam masyarakat dan

menghambat pelaksanaan pembangunan dan pembinaan TNI.

Norma-norma yang dilanggar anggota TNI pengaturannya terdapat dalam

berbagai ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu: Wetboek van Militair

(19)

dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya ditulis KUHPM),

Wetboek van Krijgstucht (Staatsblad 1934 Nomor 168 jo UU No.40 Tahun 1947)

yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (selanjutnya

ditulis KUHDM), UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesa (UU

TNI), Peraturan Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya. Pelanggaran

terhadap berbagai peraturan terkait yang pelakunya anggota TNI dapat diselesaikan

melalui sistim peradilan pidana militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1997 tenang Peradilan Militer.1

Setiap anggota TNI harus tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan

hukum yang berlaku bagi militer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer

(KUHPM). Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM), dan Peraturan

Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan hukum Militer inilah yang

diterapkan kepada Tamtama, Bintara, maupun Perwira yang melakukan suatu

tindakan yang merugikan kesatuan, masyarakat umum dan negara yang tidak terlepas

dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi masyarakat umum.

Berdasarkan peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2010, anggota TNI yang

melakukan tindak pidana tercatat sebanyak 3.711 orang. Pelakunya terdiri dari 2598

anggota TNI Angkatan Darat, 876 anggota TNI Angkatan Laut, dan 235 anggota TNI

1

(20)

Angkatan Udara.2 Sebanyak 406 anggota yang dipecat pada tahun 2010, dan 862

anggota yang dipecat pada tahun 2009.3 Sepuluh prajurit TNI Kodam XII

Tanjungpura Pontianak diberhentikan dengan tidak hormat. Pemberhentian anggota

TNI tersebut dilakukan pada tanggal 21 Februari 2010 di Makodam XII Tanjungpura.

Berdasarkan Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat atas nama Pangdam XII

Tanjungpura Mayjen TNI Geerhan Lantara, anggota TNI yang diberhentikan dengan

tidak hormat dari dinas keprajuritan karena terkait tindak pidana dan berbagai bentuk

pelanggaran hukum yang dilakukan anggota TNI.4 Kemudian peristiwa

pemberhentian anggota TNI pada tanggal 2 Oktober 2002 di Medan, sebanyak enam

orang perwira di lingkungan Batalyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS)

diberhentikan dari jabatannya dan 20 anggota berpangkat bintara dan tamtama

diberhentikan secara tidak hormat sebagai akhir dari insiden Binjai.5

Beberapa peristiwa di atas, merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum atau

tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI. Akibat dari pemberhentian anggota

TNI dengan tidak hormat, tuntutan pidana harus dilaksanakan sesuai dengan tindak

pidana yang telah dilakukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, terhadap

2

Poskotanews.com, ”Sebanyak 3.711 Anggota TNI Melakukan Tindak Pidana”, Rabu, tanggal 23 Februari 2011. Kepala Staf Umum TNI, Marsdya, Edy Harjoko saat memeriksa pasukan pada upacara Gelar Operasi Polisi Militer di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

3

Tribunnews.com, “Pelanggaran Tindak Pidana Anggota TNI di Tahun 2010 Menurun”, Selasa, Tanggal 18 Januari 2011.

4

Pontianakpost.com, “Sepuluh Prajurit TNI Dipecat Secara Tidak Hormat”, Selasa, Tanggal 22 Februari 2011.

5

(21)

anggota TNI yang dituntut pidananya dan telah memiliki kekuatan hukum tetap,

dilakukan pembinaan di Pemasyarakatan Militer (Masmil).6

Dimulainya pembinaan terhadap narapidana TNI di Masmil Medan, sejak

dilakukannya proses peradilan oleh lembaga-lembaga yang berwenang sampai pada

putusan hakim Pengadilan menyatakan bahwa terdakwa (anggota TNI) tersebut

terbukti melakukan tindak pidana. Terhadap anggota TNI yang dipidana atas tindak

pidana yang dilakukannya, maka dilakukan pembinaan terhadapnya melalui Masmil.

Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera terhadap pelaku dan mengembalikan

jiwa narapidana TNI tersebut kepada jiwa Pancasila dan Saptamarga.

Kewenangan Pengadilan Militer tingkat pertama memeriksa dan memutus

perkara terhadap anggota TNI berpangkat Kapten ke bawah di wilayah hukumnya

masing-masing sesuai Pasal 9 jo 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang

Peradilan Militer (UUPM) artinya Pengadilan Militer bukan hanya melaksanakan

perintah undang-undang bahkan juga mendukung tugas para Komandan Satuan dalam

penegakkan hukum.7

Sumber menjadi anggota TNI adalah Warga Negara Indonesia yang telah

memenuhi persyaratan administrasi, fisik dan mental dan menjalani seleksi beberapa

tahap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan setelah lulus seleksi barulah

calon anggota TNI tersebut di bentuk fisik dan mentalnya sebagai seorang

anggota/prajurit TNI yang berdinas di Kesatuan setelah diangkat oleh pejabat yang

6

Poskotanews.com, Ibid. 7

(22)

berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan, sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

(selanjutnya ditulis UU TNI).

Anggota TNI yang sudah diangkat dan ditempatkan di Kesatuan, baik di

Satpur, Banpur, Banmin dan Teritorial adalah diterjunkan ke masyarakat untuk

mengaplikasikan pengabdiannya dengan bekal Sumpah Prajurit, Sapta Marga, dan 8

Wajib TNI dan bagi Perwira ada kode etik Perwira dan 11 azas kepemimpinan,

namun pada kenyataannya ada beberapa anggota TNI yang tidak/kurang menghayati

apa motivasinya menjadi anggota TNI (Pengabdian kepada Bangsa dan Negara) dan

menegakkan kedaulatan Negara yaitu mempertahankan wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia juga kurang menghayati Sumpah Prajurit, Sapta Marga, dan 8

Wajib TNI dan mememiliki disiplin yang lemah akhirnya Prajurit TNI tersebut

melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana kemudian diproses dalam sidang

Pengadilan Militer sampai pada menjalani hukuman pidana atas putusan yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap.8

Prosedur penanganan pelanggaran dan tindak pidana pidana yang dilakukan

oleh anggota TNI dimulai dari tahap penyidikan, tahap penuntutan, kemudian apabila

telah memenuhi syarat formal dan syarat materil sesuai ketentuan Pasal 130 ayat 2

sub a dan sub b UUPM, kemudian dilimpahkan perkaranya ke tingkat persidangan di

Pengadilan Militer.

8

(23)

Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan proses dalam hukum acara pidana maka

hasil persidangan atau Putusan Hakim terdiri dari 3 (tiga) jenis Putusan (Pasal 189 jo

Pasal 190 UUPM sebagai berikut:

1. Terbukti melakukan tindak pidana, terhadap terdakwa dijatuhi pidana.

2. Tidak terbukti melakukan tindak pidana, terhadap terdakwa dibebaskan dari dakwaan.

3. Terbukti melakukan perbuatan tetapi bukan tindak pidana, terhadap terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum.

Putusan Pengadilan Militer yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti

melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka selain dijatuhi pidana penjara

(pidana pokok) juga putusan hakim dapat sekaligus menjatuhkan pidana tambahan

berupa pemecatan dari dinas militer apabila dinilai anggota TNI yang bersangkutan

tidak dapat dipertahankan lagi sebagaiamana ditentukan dalam Pasal 6 a dan b

KUHPM.

Pembinaan narapidana TNI di Masmil Medan harus didukung pula sarana dan

prasarana yang ada. Dengan demikian, maka tujuan dari pembinaan tersebut dapat

tercapai yaitu mengembalikan prajurit TNI yang berjiwa Pancasila dan Saptamarga

atau memberikan efek jera kepada pelaku sehingga tidak dimungkinkan terjadinya

residivis. Pembinaan narapidana TNI di lembaga pemasyarakatan (dalam hal ini

Masmil Medan) belum memiliki payung hukum khusus mengatur mengenai

pembinaan narapidana TNI di Masmil. Oleh karena itu, pembinaan secara umum

masih tetap berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

(24)

Pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan yang mendasari tugas dan fungsi dari lembaga pemasyarakatan.

Lembaga pemasyarakatan adalah salah satu pranata hukum yang tidak dapat

dipisahkan dalam kerangka besar bangunan hukum di Indonesia, khususnya dalam

kerangka Hukum Pidana. Sumbangan yang diberikan salah satunya dalam hal

pembinaan terhadap narapidana selama menjalani masa-masa hukumannya dipenjara.

Bahkan pembinaan serta pengawasan ini diberikan pula pada narapidana bebas untuk

periode-periode waktu tertentu.

Tujuan dari pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan adalah

agar narapidana tidak mengulangi lagi perbuatannya dan bisa menemukan kembali

kepercayaan dirinya serta dapat diterima menjadi bagian dari anggota masyarakat.

Selain itu pembinaan juga dilakukan terhadap pribadi dari narapidana itu sendiri.

Tujuannya agar narapidana mampu mengenal dirinya sendiri dan memiliki tingkat

kesadaran diri yang tinggi.9

Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama pemasyarakatan

mulai dikenal sejak tahun 1964 ketika dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di

9

(25)

Lembang Jawa Barat, tanggal 27 April 1964. Menurut Sahardjo, untuk membina

narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan sebagaimana berikut ini:10

Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna bagi masyarakat. Dari pengayoman itu, nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat (efek jera) tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.

Pandangan di atas, merupakan bagian dari arti pentingnya pembaharuan

hukum pidana penjara di Indonesia. Dimana bahwa telah dilakukan perubahan nama

”kepenjaraan” menjadi ”pemasyarakatan”. Titik tolak pemikiran yang mendasarinya

bukan saja masyarakat yang diayomi dengan adanya tindak pidana, tetapi juga

terhadap pelaku tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal

hidupnya kelak setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan agar berguna bagi

masyarakat. Perubahan nama ”kepenjaraan” menjadi ”pemasyarakatan” tersebut

memunculkan suatu lembaga yang disebut dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)

berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan RI Nomor:

J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964.

10

(26)

Pandangan lain yang menarik adalah bahwa efek jeranya atau tobatnya

narapidana tidak harus dilakukan dengan cara penyiksaan tetapi melalui bimbingan.

Sebab seseorang yang mejadi narapidana telah kehilangan kemerdekaan untuk

bergerak di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Jadi, pidana kehilangan kemerdekaan

untuk bergerak tersebut telah merupakan pidana tersendiri yang tidak perlu ditambah

lagi dengan pidana penyiksaan atau bentuk lainnya, tetapi harus diberikan bimbingan

agar setelah berakhirnya masa pidana dilakukan dan kembali ke lingkungan

masyarakat, dapat berguna bagi masyarakat tersebut.11

Sistem pembinaan terhadap narapidana berbeda dengan sistem kepenjaraan

sebagaimana pada masa-masa sebelum tahun 1964. Dimana bahwa dalam melakukan

pembinaan terhadap narapidana tersebut harus berpedoman kepada prinsip-prinsip

yang menjadi dasar dalam pembinaan yaitu:12

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna bagi masyarakat;

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara;

3. Efek jera tidak dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan; 4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk atau

lebih jahat dari pada sebelum masuk lembaga pemasyarakatan;

5. Selama kehilangan kemerdekaan untuk bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga pemasyarakatan atau negara saja, melainkan harus ditujukan untuk pembangunan negara; 7. Bimbingan da didikan harus berdasarkan Pancasila;

8. Setiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia walaupun telah melakukan perbuatan pidana. Tidak boleh disebutkan kepada narapidana tersebut sebagai penjahat;

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilangnya kemerdekaan; dan

11

Ibid. 12

(27)

10.Sarana fisik lembaga merupakan salah satu faktor penentu pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

Prinsip-prinsip di atas merupakan perinsip dasar yang harus diterapkan dalam

melakukan pembinaan dan bimbingan. Ada tiga hal penting yang harus dipahami dari

prinsip tersebut yaitu: tujuan, proses, dan pelaksanaan pidana di Indonesia. Sebagai

tujuan, proses, dan pelaksanaan pidana di Indoensia, menurut Sahardjo bahwa

Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia telah membuktikan kemandiriannya sekaligus

telah membuktikan keberhasilan dan kegagalannya. Oleh sebab itu, bertitik tolak dari

pandangan Sahardjo di atas, dapat dipahami bahwa hukum sebagai sarana untuk

melakukan pengayoman terhadap masyarakat. Hal ini membuka jalan perlakuan

terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan, proses, dan

pelaksanaan pidana di Indonesia.

Secara filosofis pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia didasarkan

atas pertimbangan sebagai berikut:

1. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru

mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga

merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan

Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih

dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan;13

2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel)

pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUH Pidana),

13

(28)

Pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUH Pidana), dan pranata khusus penentuan

serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47 KUH Pidana), namun

pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem

penenjaraan. Sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas

dendam dan penjeraan, sehingga institusi/lembaga yang digunakan sebagai

tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah

pendidikan negara bagi anak yang bersalah;14

3. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan

penjeraan yang disertai dengan lembaga ”rumah penjara” secara

berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan

konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari

kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan

kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri,

kelaurga, dan lingkungannya.15

Sistem pemasyarakatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan

merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, pelaksanaannya tidak

dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi mengenai pemidanaan. Pemidanaan

adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan

mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung

tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan

14

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 61. 15

(29)

masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Pemidanaan yang dikonsep dalam sistem

pemasyarakatan tersebut tidak terlepas dari filosofi yang dikemukakan oleh Dwidja

Priyatno, bahwa, narapidana bukan saja objek melainkan juga sebagai subjek yang

tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan

atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas tetapi

yang perlu diberantas adalah faktor-faktor yang dapat dikenakan pidana tersebut.16

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas

pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan, proses, dan pelaksanaan

hukum sebagai pengayom masyarakat melalui pendidikan, rehabilitasi, dan

reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan, maka tepatlah apabila

Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, bimbingan, dan

pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional

Penegak Hukum. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) terdapat 4

(empat) elemen yang bekerja dalam penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.

17

Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga

Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi

masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan

16

Ibid., hal. 103. 17

(30)

Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Sebagai dasar yuridis dari pelaksanaan pemasyarakatan adalah

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).

Dalam Pasal 1 angka 1 UU Pemasyarakatan ditentukan definisi pemasyarakatan

adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan

berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir

dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Definisi pemasyarakatan dalam

UU Pemasyarakatan di atas, dapat dipahami bahwa ketentuan tersebut menyatakan

kata ”pembinaan”, dan ”Warga Binaan Pemasyarakatan”. Hal ini mengisyaratkan

suatu filosofis untuk memperlakukan orang yang dibina (Warga Binaan

Pemasyarakatan) secara manusiawi.

Secara umum mengenai fungsi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam

melakukan pembinaan narapidana telah diuraikan di atas. Dalam hal pembinaan

narapidana militer dilaksanakan di Masmil tetap berpedoman kepada

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).

Sebagaimana pembinaan di Lapas, maka konsep pembinaan narapidana TNI di

(31)

Reglemen Penjara Tentara (S.1934-169) yang berdasarkan sistem penjara masih

berlaku di lingkungan Masmil.18

Perlu diketahui bahwa sejak tanggal 1 April 1999, secara kelembagaan,

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) telah diganti dengan sebutan

Tentara Nasional Indonesia (TNI) sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor

VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI da

VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI. Dimana bahwa TNI terdiri dari

Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.19

Semua jenis pelaku tindak pidana atau kejahatan yang dilarang oleh

undang-undang dibina di Masmil, akan tetapi Narapidana TNI tersebut masih aktif sebagai

anggota militer atau belum dipecat dari kedinasan militer. Jenis-jenis tindak pidana

yang umumnya dilakukan anggota TNI dibina di Masmil misalnya: tindak pidana

narkotika, pencurian, penculikan, penggelapan, penipuan, pemalsuan, perjudian,

pemerkosaan, desersi, insubordinasi (melawan atasan), dan lain-lain. Sedangkan

jenis-jenis pelanggaran misalnya: tidak taat pada perintah dinas sehari-hari, terlambat Jadi, narapidana di dalam

Mamsil adalah anggota TNI yang menjalani hukuman pidana karena melakukan

tindak pidana dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

18

Sigit Wahyu Wibowo, Studi Banding Tentang Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Dan Pemasyarakatan Militer Ditinjau Dari Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Taruma Negara, 1996), hal. 129.

19

(32)

apel, dan lain-lain diselesaikan berdasarkan kebijakan dan peraturan teknis terkait

yang dikeluarkan oleh komandan. Apabila narapidana TNI dipecat dari kedinasan

militer, maka narapidana TNI tersebut dibina di Lembaga Pemasyarakatan Umum

(Lapas) bukan di Masmil karena tujuan utama Masmil adalah untuk mengembalikan

narapidana TNI kembali menjadi berjiwa prajurit sapta marga.20

Masmil merupakan sub sistem terakhir dalam sistem peradilan militer.

Dengan tetap berpedoman kepada UU Pemasyarakatan, Masmil memiliki fungsi

untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana militer selama menjalani pidana.

Masmil dalam organisasi TNI merupakan unit pelaksanaan teknis dari Pusat

Pemasyarakatan Militer (Pusmasmil) dan merupakan bagian dari Badan Pembinaan

Hukum TNI (Babinkum TNI) yang berada di bawah komando Panglima TNI.

Masmil Medan merupakan salah satu instansi untuk melaksanakan pembinaan

terhadap narapidana TNI yang akan melaksanakan pidananya berdasarkan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam wilayah rayonisasi yang telah

ditetapkan sehingga setelah selesai menjalani pidananya, anggota TNI yang dibina

tersebut dapat kembali mmenjadi prajurit yang berjiwa Pancasila dan Saptamarga,

menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi lagi melakukan

tindak pidana dan siap melaksanakan tugas di kesatuan.21

Dalam rangka mendukung tercapainya pembinaan narapidana TNI di Masmil

Medan, harus berpedoman kepada prosedur tetap (protap) dan tata tertib yang berlaku

20

Pasal 256 ayat (3) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 21

(33)

di Masmil Medan untuk dijadikan suatu landasan ataupun pijakan dalam melakukan

pembinaan narapidana TNI. Masmil Medan secara oraginasi, personel, keuangan,

logistik dan administrasi berada di bawah Babinkum TNI namun dalam

penyelenggaraan fungsi teknis, Masmil Medan berada di bawah Pusmasmil.

Pembinaan narapidana TNI yang melakukan tindak pidana di Masmil Medan

bertujuan untuk membentuk kepribadian narapidana TNI yang sedang dilakukan

pembinaan agar memiliki sifat dan sikap yang berwawasan, bertanggung jawab dan

sesuai dengan norma-norma keprajuritan serta untuk menumbuhkan motivasi,

inovasi, dedikasi selama para narapidana TNI berada di Masmil Medan.22

B. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka perumusan

masalah yang diteliti adalah:

1. Bagaimanakah pembinaan yang dilakukan oleh Masmil terhadap narapidana

Tentara Nasional Indonesia?

2. Bagaimanakah pembinaan terhadap narapidana Tentara Nasional Indonesia di

Masmil Medan?

3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Masmil Medan dan upaya

penanggulangannya dalam melakukan pembinaan narapidana Tentara

Nasional Indonesia?

22

(34)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini sebagaimana permasalahan di

atas adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendalami pembinaan yang dilakukan oleh Masmil

terhadap narapidana Tentara Nasional Indonesia;

2. Untuk Mengetahui dan mendalami pembinaan terhadap narapidana Tentara

Nasional Indonesia di Masmil Medan; dan

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Masmil Medan

dan upaya penanggulangannya dalam melakukan pembinaan narapidana

Tentara Nasional Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik

secara teoritis maupun secara praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir

dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum mengenai pembinaan

narapidana TNI di Masmil. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai

bahan referensi bagi peneliti lanjutan, dapat memperkaya khazanah ilmu

pengetahuan, sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan

mengenai pembinaan narapidana TNI di Masmil;

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum

(35)

Pengawas dan Pengamat (Wasmat) terhadap pola pembinaan narapidana TNI

di Masmil Medan agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang

peranannya sebagai institusi/lembaga yang diharapkan dalam

menyelenggarakan pembinaan narapidana TNI.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang

sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan

penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan

Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Namun, tidak ditemukan judul

penelitian/tesis yang sama dengan judul dan permasalahan dengan penelitian ini. Oleh

sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan

jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain yang tidak menjunjung tinggi

nilai-nilai keilmuan.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Konsep pemenjaraan merupakan konsep pembinaan narapidana dengan cara

pelanggaran hukum dimana bahwa konsep ini melanggar hak asasi manusia melalui

penyiksaan fisik. Maka, dapat dikatakan bahwa konsep pemejaraan yang diterapkan

selama ini menimbulkan dampak negatif. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1777,

(36)

rumah-rumah penjara yang ada di Inggris bertujuan untuk meringankan orang-orang

di penjara hingga pada tahun 1800-an munculah istilah pidana bersyarat (probation)

dan pelepasan bersyarat (porale).23

Hal di atas merupakan koreksi terhadap konsep pemenjaraan sebab konsep

pemenjaraan dipandang sebagai perilaku yang melanggar hukum dan kurang

manusiawi.

24

Pendekatan sistem dalam sistem kepenjaraan (security approach) dimaksud

adalah keamanan penjara yang diutamakan. Narapidana lebih cenderung dianggap

sebagai objek, oleh sebab itu, maka narapidana diberi nomor, diklasifikasikan

menurut berat ringannya tindak pidana yang dilakukan, dan menurut lama pidana

yang dijatuhkan oleh pengadilan. Kemudian dikenal pula golongan-golongan

narapidana misalnya Golongan B-I, B-II-a, B-II-b, dan B-III. Perlakuan terhadap

golongan-golongan narapidana seperti ini merupakan bagian dari pendekatan Konsep pemenjaraan yang melanggar hak-hak asasi manusia

perlahan-lahan bergeser ke arah konsep pembinaan. Hingga pada akhirnya dikeluarkan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang pada intinya

adalah mengedepankan prinsip pembinaan terhadap narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan. Termasuk dalam hal ini adalah Pemasyarakatan untuk narapidana

TNI di Masmil.

23

Didin Sudiman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembagan Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007), hal. 105.

24

(37)

keamanan. Sehingga pengawasan terhadap keamanan di dalam penjara merupakan

hal yang paling diutamakan.

Perlu dikatahui bahwa apabila hal tersebut di atas dilakukan terhadap

narapidana, maka dapat menimbulkan rasa tidak aman bagi narapidana tersebut.

Narapidana menjadi kehilangan rasa amannya (loss of security), karena setiap

gerak-geriknya selalu diawasi. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan Harsono,

sebagai berikut:25

Security approach sebenarnya didasari pula oleh pertimbangan politik. Sebab pada masa bang sa Indonesia tengah menyusun kekuatan untuk berjuang menuju kemerdekaan menempatkan penjara sebagai sarana mendekapkan para tokoh politik. Tidak mengherankan jika dalam Reglemen Penjara Tentara tercantum pula larangan membaca buku, majalah, surat kabar atau mendengarkan radio, karena dikhawatirkan para tokoh politik menggunakan media massa sebagai upaya memupuk semangat perjuangan bangsa.

Berdasarkan hal itu, maka di dalam konsep pemenjaraan, pendekatan

keamanan membawa pengaruh kepada Kepala Kepenjaraan dalam memimpin

penjara. Kepala Kepenjaraan dituntut untuk memimpin dengan memberlakukan

keamanan yang lebih keras bahkan kejam. Sehingga narapidana jauh dari konsep

pembinaan.

Situasi semacam ini, masih ada dalam sistem pemasyarakatan sekarang ini,

pendekatan keamanan masih merupakan bagian yang penting dan integral dalam

sistim pemasyarakatan. Sudah barang tentu pendekatan ini lebih membuat suasana

Lembaga Pemasyarakatan menjadi mirip penjara, menakutkan dan cenderung

menganut aliran pembalasan untuk membuat jera seseorang dalam kehidupan di

25

(38)

Lembaga Pemasyarakatan. Pendekatan keamanan sangat bertentangan dengan sistim

pemasyarakatan, sebab dalam beberapa komponennya, pemasyarakatan telah

mengubah tujuannya dengan pembinaan dan bimbingan.

Teori-teori pemidanaan dalam penerapan sanksi pidana dikenal anatar lain

teori teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori

pengobatan (treatment), teori tertib sosial (social defence), dan teori restoratif

(restorative).26 Teori retributif (absolute) menekankan pembalasan karena pelaku

kejahatan dianggap layak menerima sanksi pidana atas kejahatan yang dilakukannya.

Teori relatif, orientasinya adalah upaya pencegahan terjadinya tindak pidana.

Orientasi teori relatif mengedepankan tujuan mencegah, menimbulkan rasa takut, dan

memperbaiki yang salah.27

Pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada

perbuatannya. Teori ini dikenal dengan teori pengobatan (treatment) memandang

pemidanaan dimaksud untuk memberi tindakan perawatan atau pengobatan

(treatment) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.28

26

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 93.

Teori

tertib sosial (social defence) terbagi dua lairan yakni: aliran radikal memandang

”hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang”

dan aliran moderat memandang bahwa setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial

dalam seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan

27

Ibid., hal. 95-97. 28

(39)

untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada

umumnya.29

Teori restoratif (restorative) mamandang adanya perlindungan secara

berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana,

masyarakat dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan

restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan

restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan

perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang

ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana.30

Perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak

semata-mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana

dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya

sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian

yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan

maupun yang bersifat emosional.31 Restoratif mencerminkan keadilan yang

menitikberatkan pada pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara

pidana.32

Pandangan terpenting dari teori restoratif adalah memidana bukanlah untuk

memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai

29

Ibid., hal. 88-89. 30

Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, (Pennsylvania: Intercourse, 2002), hal. 18.

31

Ibid. 32

(40)

nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. J.

Andeneses mengatakan teori ini dapat juga disebut sebagai teori perlindungan

masyarakat (the theori of social defence).33

Tujuan-tujuan pemidanaan dari teori restoratif di atas dapat dijadikan sebagai

acuan untuk melakukan pembinaan dan bimbingan narapidana melalui pendekatan

sistim dalam sistim LAPAS dan hal ini merupakan kebijakan yang tepat dalam

kebijakan pemidanaan untuk menyadarkan narapidana, mencegah terjadinya tindak

pidana, mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan

si terpidana, dan mencegah terjadinya motif balas dendam setelah keluar dari

pemasyarakatan.

Menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan pidana

adalah:34

1. Titik berat pada kordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana;

2. Pengawasan dan pengedalian penggunaan kekuasaan oleh komponen

peradilan pidana;

3. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara;

4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of justice.

Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistim dikenal dalam

lingkungan praktik penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan

Lembaga Pemasyarakatan, harus bekerja sama membentuk suatu kesatuan sistim

33

J. Andeneses, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hal. 14.

34

(41)

secara bekerja sama dan terpadu. Keselarasan sub-sub sistim antara satu sama

lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan.35 Sebagaimana yang disebutkan

Muladi, bahwa setiap masalah dalam satu sub sistim akan menimbulkan efek ke pada

sistim lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah

satu sub sistim lainnya. Keterpaduan antara sub sistim dapat diperoleh apabila

masing-masing sub sistim peradilan pidana menjadikan kebijakan kriminal sebagai

pedoman kerjanya.36

Komponen-komponen sistim peradilan pidana tidak dapat bekerja tanpa

diarahkan oleh kebijakan kriminal. Apalagi lebih besar pemasukan jumlah narapidana

dari pada narapidana yang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan dapat

mengakibatkan kelebihan daya tampung (over capacity) narapidana. Kelebihan

kapasitas seperti ini dapat mengakibatkan terhadap kualitas pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatn.

37

Konsep pembinaan yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan, merupakan

langkah yang tepat dalam kebijakan pidana untuk menyadarkan narapidana,

mencegah terjadniya tindak pidana, mencegah orang lain melakukan perbuatan yang

sama seperti yang dilakukan si terpidana, dan mencegah terjadinya motif balas

35

Margono Reksodiputro, Sistim Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994),hal. 87.

36

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op. cit., hal. 25. 37

(42)

dendam setelah keluar dari pemasyarakatan.38 Untuk mencapai hal tersebut, maka

prinsip-prinsip pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan adalah:39

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar narapidana dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara;

3. Berikan bimbingan tetapi bukan penyiksaan agar narapidana dapat bertaubat; 4. Negara tidak berhak membuat narapidana menjadi lebih buruk atau jahat dari

pada sebelum dijatuhi pidana;

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana atau anak didik harus dikenalkan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana atau anak didik tidak boleh bersifat hanya sekedar mengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk mmenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu, melainkan pekerjaan yang diberikan harus satu persepsi dengan pekerjaan dalam masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produktivitas; 7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana atau anak didik

harus berdasakan Pancasila;

8. Narapidana atau anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah juga manusia, oleh karenanya harus diperlakukan sebagai manusia;

9. Narapidana atau anak didik hanya dijatuhi pidana hilangnya kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya; dan

10.Disediakan dan dipupuk sarana-sarana dan fungsi-fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistim pemasyarakatan.

Pola pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, secara

garis besar dikelompokkan dalam 2 (dua) kelompok yaitu:40

1. Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari

yang membina sebagai cermin pemenuhan kebutuhan masyarakat; dan

2. Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari

yang dibina.

38

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 20.

39

Irdiansyah Rana, Op. cit., hal. 24. 40

(43)

Berdasarkan pola pembinaan narapidana di atas, sistem pemasyarakatan

terlihat adanya suatu pengintegrasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan

masyarakat. Jadi, pemasyarakatan tidak hanya sekedar melakukan rehabilitasi dan

resosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial

narapidana dengan masyarakat setelah menjalani pidana dan setelah narapidana

kembali ke masyarakat.

Menurut Mardjono Reksodiputro, pembinaan narapidana di dalam Lembaga

Pemasyarakatan terdapat suatu pengawasan yang ditujukan terutama dalam hal

pelaksanaan disiplin, penyiksaan, penganiayaan, atau pengawasan terhadap perilaku

yang melanggar kesusilaan dari semua narapidana, perawatan medis, melakukan

kegiatan keagamaan, serta dalam hal pelaksanaan lain-lain yang dibenarkan oleh

peraturan yang berlaku sehubungan dengan tetap dihargainya martabat terpidana

sebagai manusia.41

Pembinaan dilakukan tanpa membeda-bedakan kedudukan narapidana di

hadapan hukum. Ciri yang menonjol di negara hukum adalah adanya pengakuan

terhadap persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap warga negaranya.

42

41

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistim Pembaharuan Pidana, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1997),hal. 99.

Perihal

persamaan kedudukan di hadapn hukum, dalam UUD 1945 dicantumkan kedudukan

warga negara di hadapan hukum tanpa mebeda-bedakan suku, agama, warna kulit,

status sosial, dan sebagainya. Semua warga negara bersamaan hak dan kedudukannya

42

(44)

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.43

Pidana penjara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah: pidana

penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu.

Jadi, hukum berlaku terhadap

siapapun, pejabat maupun rakyat, segala suku apapun termasuk anggota TNI dan

apabila kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang berlaku rule of law serta

tidak ada seorangpun yang tidak dapat dipidana.

44

Andi hamzah

menyebutkan bahwa pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan

kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana

penjara, tetapi juga berupa pengasingan. Dapat dikatakan bahwa pidana penjara

merupakan bentuk utama dan umum dari pidanakehilangan kemerdekaan. Akan tetapi

dalam hukum adat Indonesia tidak dikenal istilah pidana penjara karena hanya

mengenal istilah pidana pembuangan, pidana badan berupa pemotongan anggota

badan atau dicambuk, pidana denda atau pembayaran ganti rugi.45

Pengertian pidana penjara menurut P.A.F. Lamintang adalah suatu pidana

berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan

dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan

mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di

43

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 44

Pasal 12 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). 45

(45)

Lembaga Pemasyarakatan yang dikaitkan dnegan sesuatu tindakan tata tertib bagi

mereka yang melanggar peraturan tersebut.46

Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, efektivitas pidana penjara dapat

ditinjau dari 2 (dua) aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu:47

1. Aspek perlindungan masyarakat. Pemidanaan akan efektif apabila dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum dari pidana penjara dapat mencegah warga masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.

2. Aspek perbaikan si pelaku. Ukuran efektivitas terletak pada masalah seberapa jauh pidana penjara mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/terpidana.

Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana.

Pendekatan mengenai peranan pidana dalam menghadapi kejahatan telah berlangsung

beratus-ratus tahun.48 Penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan

merupakan cara yang paling tua setua dengan peradaban manusia itu sendiri. Namun

demikian cara tersebut masih sering dipersoalkan, oleh karena itu terdapat dua

pendapat mengenai hal ini. Pertama, adalah pendapat yang tidak setuju bahwa sanksi

pidana digunakan untuk menanggulangi tindak pidana, sedangkan pendapat kedua,

setujua dengan penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan tindak pidana.49

Terhadap pendapat pertama di atas, Mardjono Reksodiputro, mengatakan

bahwa terdapat pelaku tindak pidana atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak

46

P.A.F. Lamintang, Hukum Penintensir Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hal. 69. 47

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 224.

48

Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995), hal. 1.

49

(46)

perlu dikenakan pidana. Pidana merupakan peninggalan dari kebebasan masa lalu.50

Pidana penjara penuh dengan gambaran-gambaran mengenai pelakuan yang oleh

ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Selanjutnya

dikatakan bahwa gerakan pembaharuan pidana penjara di Eropa Kontinental justru

merupakan rekasi humanistik terhadap kekejaman pidana.51

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa

istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan

definisi/pengertian. Landasan konsepsional dimaksud adalah sebagai berkut:

a. Pembinaan adalah serangkaian tindakan dalam suatu kesatuan sistim yang

bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan.52

b. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

53

c. Pembinaan narapidana adalah serangkaian tindakan dari Lembaga

Pemasyarakatan (Lapas), Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman, dan

Kementerian Hukum dan HAM, serta lembaga-lembaga lainnya, dalam suatu

kesatuan sistim yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai tujuan

memasyarakatkan narapidana.54

50

Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 3. 51

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: Ananta, 1994), hal. 19.

52

C.I. Harsono, Op. cit., hal. 5. 53

Pasal 1 angka 7 UU Pemasyarakatan. 54

(47)

d. Pembinaan narapidana TNI adalah serangkaian tindakan yang saling berkaitan

antara satu sama lainnya dari Masmil, oditur, dan Hakim Militer dalam

menjadi prajurit yang berjiwa Pancasila dan Sapta Marga, menyadari

kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi melakukan tindak

pidana serta siap melaksanakan tugas di kesatuannya.55

e. Narapidana TNI adalah anggota TNI yang menjalani hukuman pidana

(terpidana) melalui pembinaan di Masmil.56

f. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang

merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan

pidana.57

g. Masmil adalah suatu unit pemasyarakatan militer untuk pelaksanaan teknis

dari Pusat Pemasyarakatan Militer (Pusmasmil) dan merupakan bagian dari

Badan Pembinaan Hukum TNI (Babinkum TNI) yang berada di bawah

komando Panglima TNI.58

55

Ibid., hal. 6. 56

Ibid., hal. 8. 57

Pasal 1 angka 1 UU Pemasyarakatan. 58

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga dibenarkan oleh Suhardjo (1998), dengan memberikan ASI secara eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan akan menjamin tercapainya perkembangan potensi

1) Perusahaan AJB Bumiputera adalah salah satu perusahaan jasa yang bergerak pada asuransi jiwa, pengalaman yang diberikan sudah dari tahun 1912 membuktikan bahwa

Every day women spend million of hours carrying water.

Overall, the workshop should provide invaluable new information regarding in vivo applications of neurochemical brain imaging methods to investigate the pathophysiology of

- Seharusnya jika melibatkan investor swasta (tentu dengan diawasi ketat oleh pemerintah) bahkan kalau mungkin PDAM (BUMD/BUMN) melakukan pengelolaan pada wilayah

Sedangkan yang menjadi Objek dalam penelitian ini adalah pengaruh penggunaan mobile banking dan ATM terhadap kepuasan dan loyalitas nasabah di Bank Riau Kepri

Kandou Manado sebagian besar menunjukan tidak cemas dan tidak hilang kendali, serta terdapat hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan stres hospitalisasi pada anak usia

Transversal Force pada H 15.945 m Analisa respon gaya geser transversal pada FPSO untuk H maksimum berdasarkan panjang kapal, menunjukkan nilai maksimum pada sudut