DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993.
Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana, artikel dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol. 1, 1998. Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan
Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004: Cetakan Pertama.
Cohen dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, tanpa tahun
Fakih, Mansour, 1998, Diskrimiasni dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender,
Yogyakarta: CIDESINDO
Goeffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1992.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Memahami Konflik Perang, Yogyakarta: Kanisius I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,
Penerbit Alumni, Bandung, 1999.
Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam
Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995.
Marcella Elwina, S., Mengatur Kejahatan Perang, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2003. Margiyanti, Lusi & Moh. Yasir Alimi (ed.), 1999, Sosialisasi Gender: Menjinakkan
“Takdir” Secara Adil Yogyakarta: LSPAA.
Muladi, “HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyaraka. Semarang, 1996.
Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: sebagaimana dimuat dalam kumpulan karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang, 1997.
Moctar Kusumaatmadja, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia, dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Persepektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Bandung. 1997.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.
Seiderman, Ian D. Resolusi Konflik dalam masyarakat, Yogyakarta : Galangpress, 2001 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafika, Jakarta, 1994.
Sudarto, Konspirasi di Balik Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Yogyakarta : Galangpress, 2007.
Theo, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui Lembaga Restitusi dan Kompensasi, dalam Teropong (Media Hukum dan Keadilan) Vol. II, No. 9, Juni 2003.
Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Seri Bahan Bacaan Khusus HAM untuk Pengacara, 2005.
Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi,Yrama Widya, 2004 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1990.
Wiratman, R. Herlambang Perdana, Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Artikel untuk Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008.
Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Seri Bahan Bacaan Khusus untuk Pengacara X: 2005, Penerbit Elsam, Jakarta.
II. Perundang-undangan
1. UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
III. Internet
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, USAID, Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Genoside, Tepatkah diatur di dalam KUHP, diakseskan dari situs :
Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang,
Committee for Human Rights. Ia turut berpartisipasi dalam Konferensi Diplomatik di Roma. Diakseskan tanggal 15 November 2010.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity),http://www.organisasi. Com, di akseskan tanggal 15 November 2010.
Penegakan Hukum diakseskan dari situs :
Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP, diakseskan dari situs
:
diakseskan tanggal
20 November 2010.
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN TERHADAP GENDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL
A. Pembuktian dengan Investigasi
Investigasi adalah Upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian,
pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk
mengetahui/membuktikan kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta yang
kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.69
Di masa-masa awal International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) mulai
bekerja, sejumlah masalah terjadi berkaitan dengan kebutuhan langkahlangkah yang
sifatnya khusus dalam penyelidikan dan penuntutan kejahatan berbasis jender.
Misalnya dalam hal penggunaan penerjemah dan penyelidik laki-laki ketika
mewawancarai korban kekerasan seksual dan berbagai teknik wawancara yang tidak
pantas. Selain itu, penyelidik tidak secara aktif mengumpulkan kesaksian dari
kejahatan-kejahatan seksual, karena mitos bahwa perempuan tidak mampu
menceritakan pengalamannya dan kepercayaan bahwa pemerkosaan hanya merupakan
insiden yang bersifat kebetulan dari genosida tersebut.70
Namun dalam perkembangannya, secara terperinci dimensi prosedural yang
mendefinisikan kejahatan seksual telah diakui. Beberapa hal prinsip yang diterapkan
dalam persidangan menunjukkan penghormatan dan perlindungan terhadap
69
Peters A.A.G. & Koesriani Siswosoebroto, 1988, Hukum dan Perkembangan Investigasi (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, hlm 7
70
kepentingan korban, sekaligus keseimbangan terhadap kepentingan terdakwa. Secara
umum, korban dapat dipahami sebagai pihak yang mengalami penderitaan akibat
kejahatan yang berada dalam yurisdiksi pengadilan. Oleh karena itu, pentingnya
langkah-langkah untuk melindungi keamanan, baik fisik mau pun psikologis martabat
dan privasi korban dan saksi khususnya dalam kasuskasus kejahatan berbasis jender
dan seksual ditegaskan dalam Pasal 68, Statuta Roma.
Lebih jauh, dalam aturan persidangan secara khusus dinyatakan pentingnya
perintah pengadilan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi
kepentingan korban dan saksi, khususnya anak-anak, orang tua, difabel, dan korban
kejahatan jender dan seksual (Aturan 85 dan 86, Rules of Proceedings andEvidences). Dalam hal menjaga privasi dan keamanan korban serta saksi, International Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for
Rwanda (ICTR) yang membolehkan hakim untuk mengadopsi langkah-langkah seperti
persidangan tertutup, televisi sirkuit satu arah tertutup, merahasiakan identitas dari
publik. Juga,memperbolehkan tidak diikutsertakannya pers dan publik dari seluruh atau
sebagian persidangan untuk melindungi “keamanan, keselamatan atau kerahasiaan
identitas dari korban atau saksi”.71
Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus
untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000.
B. Pengadilan AD HOC ICTY dan ICTR
72
Hal inilah yang
membedakan dengan pengadilan Hak Asasi Manusia permanen yang dapat memutus
diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan Hak Asasi
Manusia ad hoc ini.73
Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan
Hak Asasi Manusia ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26
Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah.
Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang
menangani perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-timur ini. Legitimasi atas
adanya pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc didasarkan pada pasal 43 UU No. 26
tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum
diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan Hak Asasi
Manusia ad hoc. bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan
keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan
rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan Hak Asasi
Manusia ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.74
Definisi kejahatan perang dalam Statuta Roma mencerminkan perkembangan
luar biasa yang terjadi dalam hukum humaniter sejak digelarnya Pengadilan Ad hoc
73
Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP, diakseskan dari situs :
2010
74
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Statuta Roma mengadopsi yurisprudensi kedua
pengadilan internasional ini, sehingga lebih jelas lagi terlihat adanya
pertanggungjawaban individu untuk kejahatan perang dalam konfllik bersenjata
internasional dan konflik
bersenjata internal.75
Dalam yurisprudensi putusan pengadilan internasional, khususnya praktek
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) disebutkan, “Pasal 5(i)
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) (tindakan‐tindakan
tidak manusiawi) adalah suatu klausul sisa, yang berlaku pada tindakan‐tindakan yang
tidak termasuk dalam sub‐klausul manapun dalam Pasal 5 Statuta namun secara
memadai sama tingkat kejahatannya dengan kejahatan‐kejahatan lainnya yang telah
disebutkan”. Tindakan‐tindakan tidak manusiawi adalah “tindakan‐tindakan atau
pembiaran‐pembiaran yang diniatkan untuk menyebabkan secara sengaja penderitaan
mental maupun fisik pada individu. Sebagaimana dinyatakan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan, tindakan‐tindakan tersebut harus juga meluas dan sistematik.”76
Dalam konteks hukum internasional, kejahatan tindakan‐tindakan tidak
manusiawi tidak bertentangan dengan prinsip nullum crimen sine lege (menafsirkan Dalam putusan lainnya, kejahatan tindakan‐tindakan tidak manusiawi adalah suatu
klausul sisa untuk tindakan‐tindakan serius yang bukannya masuk dalam kategori
sebagaimana disebutkan satu per satu, namun memerlukan pembuktian yang sama
atau melarang kejahatan terhadap manusia), karena dalam prakteknya, sebagaimana
ditegaskan oleh majelis pengadilan yang mendapati jenis kejahatan tersebut sebagai
bagian dari customary international law (hukum internasional kebiasaan), sekaligus penegasan atas jenis kejahatan di bawah hukum pidana internasional. Majelis
pengadilan melihat bahwa dakwaanatas jenis kejahatan tersebut sudah pernah
dilakukan sebagai dasar dakwaan dalam Pengadilan Militer Internasional.77
Dalam laporan komisi persiapan Mahkamah Pidana Internasional, dijelaskan
bahwa elemen jenis kejahatan tindakan-tindakan tidak manusiawi
lainnyamenyangkut:78
Meskipun tidak ada persyaratan yang diharuskan untuk menguji bahwa derajat
keseriusan didasarkan pada akibat jangka panjang (long term effects) bagi korban, namun tindakan yang memiliki akibat atau dampak jangka panjang adalah relevan
untuk menentukan keseriusan tindakan (atau juga pembiaran).
(i) Pelaku kejahatan mengakibatkan penderitaan yang
besar/dalam, atau luka serius pada kesehatan tubuh atau mental atau fisik, yang
bermakna tindakan tidak manusiawi; (ii) Kejahatan tersebut memiliki karakter yang
sama dengan jenis kejahatan yang disebutkan dalam pasal 7 (1) Statuta Roma; (iii)
Pelaku kejahatan menyadari kondisi factual yang melandasi karakter kejahatan; (iv)
Tindakan ditujukan sebagai bagian dari penyerangan meluas dan sistematik ditujukan
terhadap suatu populasi sipil; dan (v) Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakannya adalah bagian atau diniatkan menjadi bagian penyerangan secara meluas
dan sistematik ditujukan terhadap suatu populasi sipil.
79
77
Wiratman, R. Herlambang Perdana, Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Artikel untuk Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008, hlm 79
78
Ibid, hlm 80
79
Dengan penjelasan demikian, maka karakter untuk menyebut jenis kejahatan
“tindakan‐tindakan tidak manusiawi lainnya” memberikan peluang penafsiran untuk
penegakan hukum atas segala jenis kejahatan terhadap kemanusiaan, atau dengan
perkataan lain, kejahatan terhadap kemanusiaan jenis “tindakan‐tindakan tidak
manusiawi lainnya” memberikan jaminan bahwa Mahkamah Pidana Internasional
memiliki keleluasaan untuk meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi
manusia yang keji yang tidak tersebutkan dalam hukum pidana internasional. Oleh
sebab itu, dalam upayamemajukan penghormatan, perlindungan dan
pertanggungjawaban hak asasi manusia, ketentuan kategori sisa tersebut adalah penting
dan diperlukan.80
Dengan adanya kedua kasus tersebut, setidaknya memberikan pelajaran
mengenai suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang bisa dijangkau oleh aturan
”other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya), yang penerapannya bisa ditujukan pada bentuk atau macam kejahatan yang berbeda namun
memiliki karakter yang sama dengan bentuk atau macam kejahatan yang telah
dideskripsikan secara eksplisit dalam ketentuan International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia (ICTY). 81
Dalam praktek yurisprudensi di International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR), “other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya) merupakan suatu jenis pengaman untuk mendasari tindak kejahatan yang memiliki
level sama dan menjaga kemungkinan untuk jatuh pada definisi di luar apa yang
Dalam putusan Kayishema and Ruzindana, majelis hakim mendefinisikan
“other inhumane acts” sebagai “tindakan-tindakan atau pembiaran-pembiaran yang secara sengaja ditujukan untuk menyebabkan luka atau penderitaan mental atau fisik
secara serius atau merupakan suatu kejahatan serius atas martabat manusia”. Majelis
hakim menegaskan adanya hubungan antara tindakan dan penderitaan yang
diakibatkannya. Berdasarkan majelis hakim, kata “deliberately” meyakinkan bahwa penderitaan mental yang diakibatkan terhadap pihak ketiga sebagai hasil dari melihat
penderitaan dari korban langsung bisa dikualifikasi sebagai suatu “inhumane act” bila pelaku kejahatan memiliki niat untuk melakukan tindakannya di muka pihak ketiga.
Namun dalam penerapannya bisa pula sebaliknya, sebagaimana dalam putusan
Kamuhanda mempertimbangkan bahwa terdakwa mungkin masih dimintai pertanggungjawaban untuk penderitaan mental yang diakibatkannya bila pihak. Ketiga
secara tidak sengaja melihat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut
terhadap korban.83
Yang pertama kali dihukum dalam International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR) karena alasan “other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya)adalah kasus Niyitegeka. Dalam putusannya, memenggal leher, memotong alat
kelamin, dan segala bentuk mutilasi mayat, dan memasukkan sebatang kayu ke dalam
vagina seorang perempuan yang telah mati dikualifikasi sebagai inhumane acts. 84 Ketentuan “other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya) sebagai kategori sisa sangatlah menarik dan progresif bila ditinjau dari bagaimana para
majelis hakim akan menafsirkan suatu bentuk kejahatan yang sama sekali tidak jatuh
pada kategori kejahatan satupun yang ditentukan oleh statuta atau hukum yang ada.
Namun, dalam konteks penegakan hak asasi manusia, hal ini merupakan terobosan
83
Ibid, hlm 110
84
hukum untuk tidak sekalipun melepaskan setiap pelaku tindak kejahatan
kemanusiaan.85
Pembentukan kedua tribunal in juga bersifat ade hoc (sementara/khusus),
artinya tribunal ini berlaku untuk mengadili kejahatan tertentu pada jangka waktu
tertentu dan untuk daerah tertentu saja. Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc
tersebut yang dibentuk setelah Perang Dunia II (yaitu Mahkamah Nuremberg dan
Mahkamah Tokyo) disatu sisi dengan International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) di sisi lain
yaitu bahwa Mahkamah Tokyo dan Nuremberg dibentuk oleh pihak yang menang
perang (dalam hal ini adalah AS dan sekutunya), sedangkan Mahkamah Yugoslavia dan
Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB.86
1. Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional (serious violations of international humanitarian law)
Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia
mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi Mahkamah, yaitu :
2. Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvesi-konvensi
Jenewa1949.542
3. Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang
4. Genosida
5. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penjelasan dari pelanggaran atau kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada
mengambil rumusan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949.
Begitu juga misalnya apa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan
seperti disebutkan dalam Pasal 5 Statuta.87
Sedangkan Mahkamah Ad Hoc Rwanda dibentuk untuk mengadili orang-orang
yang melakukan kejahatan genosida di Rwanda dan mengadili warga negara Rwanda
yang melakukan kejahatan genosida dan pelanggaran serupa lainnya di wilayah negara
tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan
tanggal 31 Desember 1994. Baik Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia maupun
Mahkamah Rwanda menetapkan tanggung jawab individu terhadap mereka yang
melakukan kejahatan dan atau melakukan pelanggaran sebagaimana disebut dalam
masing-masing Statuta. Adapun untuk hukum acaranya Mahkamah untuk negara bekas
Yugoslavia menggunakan sistem Common Law, (Hukum Anglo-Saxon), sedangkan Mahkamah Rwanda menggunakan campuran antara sistem Civil Law (Hukum Eropa Kontinental) dan Common Law.88
Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya bahwa nanti akan menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta Roma
dikatakan bahwa International Criminal Court (ICC) akan bekerja apabila mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud.89
Dengan cara ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam
yurisdiksi International Criminal Court (ICC), maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila mahkamah nasional tidak mau dan/atau tidak mampu
87
Supriyadi Widodo Edyono, Op.Cit
88
89
mengadili si pelaku, maka International Criminal Court (ICC) akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan. Adapun yirisdiksi
dari International Criminal Court (ICC) ini mencakup empat hal yaitu90
Kecuali mengenai kejahatan agresi, masing-masing kejahatan lainnya telah
dirumuskan secara rinci mengenai apa-apa saja yang termasuk dalam kejahatan yang
dimaksud beserta unsur-unsur deliknya. Statuta International Criminal Court (ICC) berlaku sejak bulan Juli tahun 2002 dan kejahatan agresi akan dirumuskan delapan
tahun setelah Statuta berlaku, yaitu pada tahun 2010.
:
1. genosida
2. kejahatan terhadap kemanusiaan
3. kejahatan perang
4. kejahatan agresi
91
Hal yang perlu digarisbawahi sekali lagi disini bahwa International Criminal Court (ICC) bersifat complementarity atau pelengkap terhadap sistem hukum nasional. Oleh karena itu yurisdiksi International Criminal Court (ICC) hanya bisa dilaksanakan apabila telah dilalui suatu mekanisme nasional. Dalam hal ini yurisdiksi International Criminal Court (ICC) hanya bisa dilaksanakan apabila ternyata suatu negara tidak mau dan tidak mampu (unwilling and unable) untuk mengadili kejahatan kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi International Criminal Court (ICC). Berkaitan dengan mekanisme penegakan hukum humaniter ini maka hal yang
mendesak dan penting dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah menyusun suatu hukum
nasional yang mengatur tentang penghukuman bagi pelaku kejahatan perang. Hal ini
diperlukan karena sampai saat ini baik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tentang kejahatan perang. Artinya Indonesia belum melaksanakan kewajibannya
berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 (yaitu menyusun suatu hukum nasional
yangmemberikan sanksi pidana efektif bagi pelaku kejahatan perang). Ketiadaan
hukum nasional ini juga dapat dikategorikan sebagai unwilling and unable dari sudut pandang International Criminal Court (ICC).92
Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke
Penadilan
C. Menurut Statuta Roma
93
1) Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana
satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai
sumber, termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan
yangmemberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut (lihat
pertanyaan 4 dan 5) :
2) Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut
untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan,
tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi.
3) Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi
situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1
dan 2, International Criminal Court (ICC) akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut,
meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi
Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.
92
Ibid
93
Di dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa
Penuntut, bukan negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi
akan dilakukan. Berdasarkan investigasi tersebut, pemutusan hukuman tergantung pada
keputusan hokum.
Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah
dilakukan di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara
negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke
Pengadilan. Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc
kejahatan internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi di bekas Yugoslavia
dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan ke Pengadilan.
Oleh karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan akan dilihat dari banyaknya
negara yang meratifikasi Statuta.
Statuta Roma yang menetapkan ketentuan tentang dapat disidik, dituntut, dan
diperiksanya di Majelis Pengadilan Internsional sejumlah pelanggaran Hak Asasi
Manusia dan yang menetapkan sejumlah asas yang juga merupakan asas Hak Asasi
Manusia, merupakan, pada hakikatnya, instrumen hukum internasional yang, meskipun
bukan instrumen hukum internasional per se, merupakan instrumen hukum internasional yang memastikan perlindungan Hak Asasi Manusia (international legal instrument ensuring the protection of human rights). 94
Statuta Roma adalah instrumen internasional tentang kejahatan menurut hukum
internasional. Namun, di dalamnya terkandung ketentuan-ketentuan yang pada
hakikatnya, menetapkan sejumlah tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
asas-asas Hak Asasi Manusia.95 Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Statuta
Roma merupakan instrumen internasional mengenai kejahatan menurut hukum
internasional, yang selain bertujuan menindas kejahatan internasional tertentu, juga
merupakan instrumen internasional yang melindungi Hak Asasi Manusia dan
menghormati asas-asas Hak Asasi Manusia tertentu, serta mengukuhkan peraturan
perundang-undangan nasional tentang penyelesaian yudisial pelanggaran hak asasi
manusia yang dapat dipidana, sebagaimana dapat dicatat sebagai berikut96
a) Tema Hak Asasi Manusia yang pelanggarannya dikriminalisasikan dan, dengan
demikian, dilindunginya Hak Asasi Manusia yang bersangkutan oleh aturan ini,
adalah sebagai berikut:
:
(1) Hak hidup (Pasal 6 (a), Pasal 7.1 (a), Pasal 8.2 (a) (ii), P a s a l 8.. 2 (b) (vi),
Pa s a l 8 .
b) (xi), P a s a l 8 . 2 (c) (i), dan P a s a l 8. 2 (e) (1)) ;
(ii) Hak untuk tidak diperbudak (Pasal 7. l (c) dan Pasal 7.1(g);
(iii) Hak untuk bebas bertempat tinggal wilayah negara (Pasal 7.1(d);
(iv) Hak atas perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum dan hak
atas perlakuan yang adil dari pengadilan yang objek dan tidak berpihak
(Pasal 7.1(c);
(v) Hak untuk tidak disiksa (Pasal 7.1 (f), Pasal 8.2(a) (iii), dan Pasal 8.2 (c)
(vi)Hak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabat Pasal 7.1(g),
Pasal 8.2 (b) (xxi), Pasal 8.2 (b) (xxii), Pasal 8.2 (c) (ii), Pasal 8.2 (c) (ii),
dan Pasal 8.2 (e) (vi) ;
95
Wiratman, R. Herlambang Perdana, Op.Cit, hlm 50
96
(vii) Hak beragama dan menjalankan ibadat menurut agama dan
Kepercayaannya (Pasal 8.2 (b) (ix) dan Pasal 8.2 (e) (iv) ;
(viii) Hak mempunyai milik dan atas perlindungan hak miliknya (Pasal 8.2
(b) (xiii), Pasal 8.2 (b) (xvi), Pasal 8.2 (e) (v), dan Pasal 8.2 (e) (xii);
(ix) Hak memperolah keadilan (Pasal 8.2 (c) (vi) ; dan
(x) Hak hidup tenteram, aman, dan damai (Pasal 8.2 (e) (i) ;
Asas HAM yang juga menjadi asas Statuta Roma:
(i) Asas tidak berlaku surutnya aturan hukum (kecuali dalam keadaan.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik - KIHSP -, 1966) (Pasal 11 dan Pasal 24) ;
(ii) Asas ne bis in idem (Pasal 20);
(iii) Asas legalitas (Pasal 22 dan Pasal 23);
(iv) Asas kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan pengadilan (Pasal63);
(v) Asas praduga tak bersalah (Pasal 66);
(vi) Hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil. (fair trial
(vii) Pemberian perlindungan kepada korban dan saksi (Pasal 68).
) (Pasal
66); dan
28. Harus digarisbawahi bahwa dalam hal ini Statuta Roma memasukkan norma
substantif hak asasi manusia, terutama dengan mendefinisikan kejahatan
terhadap kemanusiaan tanpa perlu adanya hubungan dengan konflik bersenjata.
Selain itu Statuta Roma juga memuat ketentuan tentang unsur-unsur kejahatan
yang kemungkinan juga akan terdapat lintas rujuk dengan perangkat hukum
definisi penyiksaan misalnya, Majelis Pengadilan Internsional dapat mengacu
pada Konvensi Penyiksaan dan yurisprudensi terkaitnya.
29. Salah satu ketentuan yang paling penting berkaitan dengan ini adalah Pasal 21
(3) yang menyatakan bahwa: “Penerapan dan interpretasi hukum sesuai dengan
pasal ini harus konsisten dengan hak-hak manusia yang dikenal secara
internasional, dan tanpa ada perbedaan-perbedaan yang panting yang ditemukan
pada dasar-dasar seperti gender sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 7 ayat
3, usia, ras, wama kulit, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau
pendapat-pendapat lain, kebangsaan, etnis atau asal sosial, kekayaan, kelahiran atau status
lain”. Dalam hal ini Judge Pillay menyatakan bahwa untuk menjamin
perlindungan yang paling penting dan mendasar, dengan diskresi yang ada,
hakim-hakim oleh karena itu akan mengambil dari hukum hak asasi manusia.
30.Oleh karena itu walaupun, Majelis Pengadilan Internsional pada dasarnya adalah
sebuah lembaga peradilan (juridical institution), namun demikian, keberadaannya dan hasil kerjanya pada masa depan akan membantu memajukan
hak asasi manusia dengan menciptakan rekam historis tentang apa yang salah
pada masa lalu (the past wrongs), menawarkan sebuah forum bagi korban untuk menyuarakan pendapatnya dan menerima kompensasi serta pemuasan atas
kejahatan masa lalu, menciptakan preseden yuridis dan efek jera bagi para
pelaku kejahatan yang paling berat dengan menghukum para pelaku.
Dengan menarik perhatian pada kejahatan yang paling berat dan kemudian
melakukan penghukuman pada pelakunya, Majelis Pengadilan Internsional akan
menjadi sebuah contoh bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Dengan demikian, seperti sebuah lembaga pengadilan di tingkat nasional,
(komplementer) bagi upaya hak asasi manusia baik masa kini maupun masa
depan.
32. Sebagai instrumen internasional yang juga merupakan instrumen yang
melindungi sejumlah Hak Asasi Manusia dan yang juga menjunjung sejumlah
prinsip yang juga merupakan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, Statuta Roma
turut memperkuat jaminan dihormati dan dilindunginya Hak Asasi Manusia
serta dijunjungnya prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang sudah dilakukan
oleh instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia, baik internasional, maupun
regional, ataupun nasional. Oleh karena itu, menjadi pihaknya RI pada Statuta
Roma akan makin meningkatkan citra dan komitmen bangsa Indonesia untuk
tidak saja mengambil bagian dalam upaya komunitas internasional untuk
menindas dan mencegah kejahatan paling serius yang merupakan urusan
komunitas internasional secara keseluruhan melainkan juga menegaskan
komitmen nasionial dan internasionalnya untuk menjunjung tinggi dan
melindungi Hak Asasi Manusia.
D. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1. Landasan yuridis berdirinya pengadilan
Berdasarkan kondisi tentang perlunya intrumen hukum untuk berdirinya sebuah
pengadilan Hak Asasi Manusia secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu No. 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpu ini sempat menjadi landasan
yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat di
yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai
ditolaknya perpu adalah sebagai berikut97
a. secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan Hak Asasi Manusia
dengan mendasarkan pada pasal 22 ayat 1 undang-undang dasar 1945 yang
berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar
untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat. :
b. subtansi yang diatur dalam perpu tentang pengadilan Hak Asasi Manusia masih
terdapat kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :
kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut
tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat yang dilakukan sebelum perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak
tercakup pengaturannya.
Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur
dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genocida
tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.
Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada
KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu
menjangkau tuntutan secara lembaga.
Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan
atau overlapping dengan hukum positif.
Setelah adanya penolakan perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah
mengajukan rancangan undang-undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam
penjelasannya pengajuan RUU tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pertama,
97
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa indonesia sebagai salah satu anggota
PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung
jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi Hak
Asasi Manusia yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta yang terdapat
dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia
yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan sebagai
tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum,
termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan Hak Asasi Manusia ini
sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia
internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai
penegakan Hak Asasi Manusia di IndonesiaPasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia dan Komnas Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa untuk
mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dibentuk pengadilan Hak Asasi
Manusia dilingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana
dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling
lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang
pengadilan HAM adalah Undang-undang Nomor 26 tahun 2000.
2. Pengaturan tentang pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000
Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut serta
memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta
memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan
menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan
Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang,
dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu
dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka pengadilan Hak Asasi Manusia perlu
dibentuk.
Undang-undang No. 26 tahun 2000 ini memberikan 3 cara alternatif untuk
penyelesaian kasuskasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pertama adalah
mekanisme pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc untuk pelanggaran Hak Asasi
Manusia masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, pengadilan Hak Asasi Manusia
yang sifatnya permanen dan menggunakan mekansime komisi kebenaran dan
rekonsiliasi. Pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia yang mengadili kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida ini dianggap tidak tepat dan banyak
dikritik sebagai pengaturan yang salah secara konseptual. Kesalahan ini yang terutama
adalah memasukkan kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan genocida dalam
yurisdiksi pengadilan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari
hukum pidana karena merupakan begian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “peradilan pidana.” Secara yuridis
seharusnya pengklasifikasian kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida
Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam kitab undang-undang hukum pidana
maka tidak akan melampauai asas legalitas. Sedangkan pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk
mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan
pemahaman bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat termasuk kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida secara yuridis seharusnya mengalami
transformasi menjadi tindak pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan
pidana. Kritik atas keadaan ini adalah bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai
upaya praktis dari pemerintah untuk secaracepat mengakomodir dan menghentikan
upaya-upaya kearah peradilan internasional dan melupakan aspek-aspek yuridis.
UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia ini juga
dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya.
Kelamahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen internasional
yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep
kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak
memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan
lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak
menggunkan ketentuan yang berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana
(KUHAP). Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilan khusus yang berada di
lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan Hak Asasi Manusia
mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri termasuk dukungan
administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan Hak Asasi Manusia
ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan
a. Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus
lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan ham. Hal ini
membawa konsekuensi bahwa jadual persidangan akan sangat bergantung
dengan jadual persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh
pengadilan negeri tempat pengadilan ham ini digelar.
b. Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani
perkara pengadilan Hak Asasi Manusia selain panitera yang juga bertugas untuk
membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat.
c. Dukungan panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat.
Panitera ini dalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk
menangani kasus pelanggaran ham yang berat. Panitera ini juga menangani
kasus lainnya.
d. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri
namun ntuk hakim karir yangmerupakan hakim pengadilan setempat maka
mereka mempunyai ruangan tersendiri.
Dari proses adopsi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
genosida dari Statuta Roma kedalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat distorsi yang
secara teoritis melemahkan konsep kejahatan tersebut terutama konsep tentang
kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu tidak ada parameter yang tegas untuk
mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama
bentuk kejahatan ini.
Ketidakjelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan
sulit. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …”
Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas
(widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai
perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan
dengan tegas) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku
kejahatankejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama menjadi sulit sehingga
dakwaan menjadi sumir. Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini
diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa
berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang
dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak
akan tercakup oleh pasal ini.
Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah
menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal
terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut
berlangsung.
Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di
bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan
penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada
penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi
“penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP).
Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis.
Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik
seseorang. Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan
intimidasi yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar
kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus
membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang
ditimbulkan.
Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia
berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan Hak Asasi Manusia adalah98
1. Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
:
a. membunuh anggota kelompok
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggotaanggota kelompok;
98
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok atau;
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa :
a. Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana pasal 340 KUHP.
b. Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang
dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat
pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
pemusnahan pada sebagian penduduk.
c. Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya
perdagangan wanita dan anak-anak.
d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu pemindahan
orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain
dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secar sah, tanpa disadari alasan
yang diijinkan oleh hukum international.
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional.
f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara.
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional.
i. Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau
penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari
negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui
perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari
perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
j. Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama
dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks
suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok
rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain
dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan regim itu.
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan Hak Asasi Manusia
diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Kekhususan dalam penanganan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam UU
No. 26 Tahun 2000 adalah :
1) Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad
2) Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak
asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau
pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.
3) Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4) Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
BAB IV
KEJAHATAN KEMANUSIAAN TERHADAP TAWANAN PERANG DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI MANUSIA
A. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Kejahatan Internasional
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa yuridiksi pengadilan
kejahatan internasional terdiri dari 4 jenis , yaitu :
1. Genocide
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
3. Kejahatan perang
4. Kejahatan agresi
Namun belum ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepakatan tentang
defenisinya. Empat kategori kejahatan ini didefenisikan sebagai “kejahatan paling
serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan
pengujian dari “keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan
dalam kasus-kasus aktual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari
kejahatan yang dipertanyakan.
Bagaimanapun pengadilan tidak akan dapat mencapai tujuannya apabila
targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun
kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau
melakukan kejahatan seperti yang didefenisikan dalam Statuta Roma.
Kejahatan-kejahatan dalam yuridiksi International Criminal Court (ICC) tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genocide yang sebenarnya juga merupakan kejahaan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada
Banding dalam kasus Tadic, tidak ada alasan yang tepat mengapa tindakan negara
dalam perang harus di nilai dengan cara berbeda dengan yang berlaku dalam
konflik internal negara.99
Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den
haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan International Criminal Court (ICC). Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yuridiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang,
saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai.
Orang –orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang
dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya100
Pada tanggal 17 Juli 1998, sebuah statuta untuk membentuk Mahkamah pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC) akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma. Yang berlangsung sejak 15 Juni
1998. Dengan hasil perhitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7
menentang, dan 21 abstain, para perserta menyetujui statuta yang akan membentuk
sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
internasional : genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime against humanity
(kejahatan terhadap kemanusiaan, dan war crime (kejahatan perang).
) atau oleh
organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah
kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak
bergantung pada persoalan teknis karakteristik legal dari latar belakang konflik.
B Pengadilan Kejahatan Internasional Untuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Sesuatu yang bersejarah baru saja lahir. Namun, bagi para aktivis hak asasi
manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena satu langkah maju bagi
upaya meniadakan imputy ini, sedikit ternoda karena negara mereka bersama-sama
dengan China dan Irak justru menentang disahkannya statuta ini. Statuta ini belum bisa
diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan
waktu bertahun-tahun. Bahkan , setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa
hambatan-hambatan yuridiksional akan memberi efektivitasnya pada tahun-tahun awal.
Walaupun demikian, Mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk
memutus rantai imputy bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan
meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. Menjelang akhir
abad yang menjadi saksi terjadinya holocaust, ditambah dengan bayangan pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda yang masih segar dalam ingatan, arti penting harapan ini
bagi nilai-nilai kemanusiaan sangatlah besar.
Berikut ini kita lihat beberapa hal yang berkaitan dengan keberadaan dan
ekstensi Mahkamah Internasional, antara lain102
1. Struktur Mahkamah
:
Mahkamah ini mreupakan pengadilan yang permanen yang berkedudukan di
Hague (Pasal 3 ayat 1). Hanya menangani tindak kejahatan yang terjadi setelah
diberlakukannya Statuta Roma ini (Pasal 24). Karena mahkamah ini diberlakukan atas
dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi bagian atau organ dari PBB meskipun
kedua organisasi ini akan mempunyai hubungan yang formal (Pasal 2). Dewan
Keamanan akan mempunyai peran yang penting dalam operasional mahkamah ini atas
dasar kewenangannya untuk memprakasai suatu penyelidikan, sesuai dengan pasal 13
dan 16.
102
Pada awalnya, mahkamah terdiri dari 18 orang hakim yang bertugas selama 9
tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan 2/3 suara Majelis
Negara Pihak,yang terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini (Pasal
36 ayat 6 dan 9) paling tidak separuh dari para hakim tersebut memiliki kompetensi di
bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak 5 hakim lainnya
mempunyai kempetensi dibidang hukum internasional, misalnya saja hukum humaniter
internasional, dan hukum Hak Asasi Manusia internasional (Pasal 36 ayat 5). Orang –
orang ini haruslah memiliki pengalaman praktek yang luas dalam penuntutan atau
penyidangan kasus-kasus pidana (Pasal 42 ayat 3). Jaksa akan bertindak aas penyerahan
dari Negara Pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan
penyelidikan atas kehendak sendiri (propio motu).
Prinsip yang mendasar bagi statuta roma ini adalah International Criminal Court
(ICC) “merupakan pelengkap bagi yuridiksi pidana nasional” (Pasal 1). Ini berarti
mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada
benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil ahli
menjadi dibawah Yuridiksi mahkamah (Pasal 17).
Meskipun mahkamah mempunyai standart sendiri untuk menilai Peradilan
Nasional, statuta yang ada juga memungkinkan tertuduh atau negara yang bersangkutan
untuk menentang campur tangan Mahkamah (pasal 18 dan 19). Standart untuk
menentukan “ketidakbersediaan” untuk menyelidiki atau menyidangkan sangatlah
tinggi. Misalnya, keputusan nasional yang diambil dengan tujuan melindungi orang
yang bersangkutan dari tanggung jawab kriminal (Pasal 17 ayat 2.a). Seperti halnya
Prinsip komplementaritas menggaris bawahi bahwa mahkamah tidak dimaksudkan
untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk
menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan
sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan
yang independen dan efektif tidak tersedia.
2. Hal-hal yang dapat ditangani oleh mahkamah
Para partisipan konvensi menentukan tindak kejahatan apa saja yang
dimasukkan dalam yuridiksi Mahkamah, dan bagaimana menetapkan
batasan-batasannya. Mahkamah akan mempunyai yuridiksi atas tindak kejahatan genocide
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Statuta juga menyatakan mahkamah akan
mempunyai yuridiksi atas agresi, setelah mahkamah menegaskan batasan-batasan
tindak kejahatan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika mahkamah menjalani
yuridiksinya. Ada kesepakatan universal bahwa genocide haruslah disertakan, dengan
pengertian sebagaimana yang tercantum pada Konvensi Genocide 1948. Sementara,
bentuk-bentuk kejahatan lain sempat mengundang perdebatan dan sedikit kontropersi.
3. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Hasil terpenting dalam Konferensi Roma adalah kodifikasi kejahatan terhadap
kemanusiaan (pasal 7) dalam perjanjian multilateral yang pertama sejak piagam
Nuremberg. Mahkamah akan memiliki yuridiksi atas kejahatan tersebut, baik yang
dilakukan oleh negara maupun aktor non negara. Memang ada desakan dari beberapa
negara untuk membatasi kewenangan mahkamah atas kejahatan terhadap kejahatan saat
berlangsungnya konflik bersenjata. Hukum kebiasaan internasional, kenyataannya yang
terjadi di masa damai. Kesepakatan akhir memutuskan bahwa mahkamah tetap
memiliki kewenangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi di masa
Isu yang paling berkembang dalam debat wacana tentang kejahatan terhadap
kemanusiaan ini adalah apakah yuridiksi mahkamah juga termasuk atas “serangan yang
luas atau sistematik yan diarahkan pada suatu kelompok penduduk sipil”. Beberapa
negara beragumen bahwa mahkamah hanya boleh mempunyai kewenangan atas
serangan yang sifatnya luas dan sistematik. Sementara kelompok pembela Hak Asasi
Manusia merespon bahwa hal itu bisa menimbulkan keterbatasan yang tidak perlu bagi
mahkamah, yang hanya bisa menangani kasus dimana ditemukan bukti yang terjadi
merupakan kebijaksanaan yang direncanakan. Mereka lebih lanjut menegaskan bahwa
rangkaian aksi yan meluas yang berupa pembunuhan dan pembasmian sudah cukup
untuk mendukung yuridiksi mahkamah.
Kompromi yang dicapai adalah “luas atau sistematik”, namun ditegaskan
dengan “serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil” berarti
serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda sesuai dengan atau
sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan
tersebut” (Pasal 7 ayat 2.a). Sayangnya, pernyataan bahwa serangan sebagai kelanjutan
dari sebuah kebijakan secara efektif berarti bahwa tindak kejahatan tersebut haruslah
sistematik. Statuta juga mesyaratkan adanya saksi individu yang berkaitan dengan
serangan menimbulkan segesti bahwa pelaku individual haruslah mengerti tentang
kebijakan yang bersangkuan untuk bisa dinyatakan bersalah. Persyaratan ini sebetulnya
merupakan kemunduran dilihat dari standar hukum internasional yang selama ini diakui
dan dipakai, dan secara signifikan membatasi yuridiksi Mahkamah atas jenis kejahatan
ini. Hasil penting lain dari Konferensi Roma ini adalah pencantuman secara ekspilit
bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap
kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari
kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (Pasal 7 ayat 1.b ) (Pasal 8 ayat
2.b.xxii ) (Pasal 8 ayat 2.e.vi ). Statuta tidak berbeda substansi dengan yang terkandung
dalam hukum internasional yang ada dalam ini. Pencantuman secara detail dan ekspilit
tindakan kejahatan seksual ini dalam yuridiksi Mahkamah, merupakan sebuah
penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam
situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
internasional.
4. Kejahatan Perang
Statuta Roma memberikan kepada mahkamah yuridiksi atas kejahatan perang
baik yang dilakukan dalam konflik internasional maupun internal (Pasl 8 ayat 2).
Dimasukkannya konflik internal dalam yuridiksi mahkamah sangatlah vital, karena
kebanyakan konflik kejahatan yang terjadi di dunia dewasa ini terjadi dalam batas-batas
suatu negara. Terjadi kompromi untuk tidak mengikutsertakan sejumlah tindak
kejahatan yang sebenarnya merupakan pelanggaran serius dalam konflik bersenjata
intenal. Misalnya saja menimbulkan secara sengaja kelaparan penduduk sipil sebagai
salah satu metode memenangkan perang. Ada beberapa upaya yang terus dilakukan
dalam seminggu terakhir pembahasan oleh beberapa negara untuk membatasi lebih
banyak lagi jangkauan kejahatan di dalam konflik bersenjata internal atau mengusulkan
ambang yang menyulitkan mahkamah dalam menerapkan yuridiksinya. Untung saja
upaya-upaya ini tidak berhasil. Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma tentang
kejahatan di dalam konflik bersenjata internal harus melalui berbagai argumen sekedar
untuk menentukan apakah suatu kejahatan tertentu perlu diatur dalam hukum
“Mahkamah mempunyai yuridiksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya
apabila dilakukan sebagai suatu bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai
bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut” (Pasal 8
ayat 1). Pernyataan ini merupakan sebuah kompromi antara mereka yang menginginkan
mahkamah untuk mempunyai yuridiksi hanya ketika sebuah kejahatan perang
merupakan bagian dari suatu rencana atau bagian dari suatu pelaksanaan yang luas
sifatnya, dengan mereka yang menginginkan tidak adanya prasyarat sama sekali. Kata
“sebagai suatu bagian” dianggap membatasi yuridiksi mahkamah, namun juga memberi
jalan pada mahkamah untuk melakukan suatu tindakan jika keadaan memungkinkan,
meskipun tidak ada bukti bahwa ada rencana atau ada pelaksanaan kejahatan perang
berskala luas.
Kekecewaan timbul ketika Statuta mencantumkan bahwa perintah atasan dapat
digunakan sebagai pembelaan atas tuduhan kejahatan perang. Jika Nuremberg memang
benar-benar berarti, ialah bahwa kalimat “saya cuma mengikuti perintah” tidak bisa
dijadikan sebuah alasan untuk melakukan kejahatan perang. Bahkan Statuta Pengadilan
bagi Yugoslavia dan Rwanda menyatakan dengan tegas bahwa perintah atasan tidak
dapat membebaskan seorang individu dari tanggung jawabnya.
Di bawah Statuta Roma, seorang tertuduh dapat menghindar dari tanggung
jawab pidananya dengan menunjukkan bahwa ia terikat oleh kewajiban hukum untuk
mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar
hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum (Pasal 33). Statuta Roma ini
justru menyimpang dari Piagam Nuremberg dan statuta-statuta pendirian Peradilan Hak
Asasi Manusia internasional yang pernah ada, dengan membuatnya semakin sulit untuk
Isu politis yang sentral yang dibahas dalam minggu terakhir Konferensi adalah
bagaimana persidangan mahkamah bisa”dipicu”. Ada kesepakatan yang meluas bahwa
negara pihaklah yang seharusnya dapat merujuk suatu keadaan tertentu pada
mahkamah. Tapi ada juga debat yang a lot mengenai apakah Dewan Keamanan
sebaiknya dapat merujuk suatu keadaan tertentu, dan apakah jaksa penuntut dapat
berinisiatif melakukan suatu penyelidikan atas mosinya sendiri.103
5. Jaksa Penuntut Umum
Salah satu yang
paling kuat menentang kewenangan Dewan Keamanan ini adalah India, Yang
beragumen bahwa Dewan Keamanan hendaknya tidak mempunyai peranan apapun
dalam operasional mahkamah. Dalam penjelasannya ketika memberikan suara
menantang, India menambahkan bahwa “pemberian peran kepada Dewan Keamanan
yang tercantum dalam Statuta melanggar hukum internasional”. Dewan Keamanan juga
mempunyai wewenang utuk menunda penyelidikan atau penuntutan sampai selama dua
belas bulan dan dapat diperbaharui kembali (Pasal 16).
Statuta Roma juga mengijinkan jaksa penuntut menginisiasi sebuah
penyelidikan atas mosinya sendiri (propio motu). Para pendukung pengadilan yang propio motu merupakan sumbangan yang esensial bagi penyerahan Dewan Keamanan
dan Negara Pihak. Meskipun penyerahan semacam itu penting artinya, tapi tidak akan
tindakan pidana intrnasional. Dewan Keamanan merupakan sebuah badan politis yang
seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Sementara para negara
seringkali segan untuk mengajukan pengaduan jika berkaitan dengan kedaulatan negara
lain, terutama jika bisa merusak hubungan diplomatik dan ekonomi, atau jika bisa
mengundang pengaduan balasan. Konsekuensinya jaksa penuntut yang independen
103
sangat penting artinya jika kasus yang ditangani ada dalam situasi tindak kriminal yang
sangat keji dimana keamanan politik untuk memprosesnya sangatlah kurang.
Statuta Roma sangatlah membatasi hak propio motu jaksa penuntut. Sebelum
seorang penuntut bisa memulai inisiatifnya, ia harus menyakinkan terlebih dahulu
dewan hakim bahwa “ada suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkan dengan
penyelidikan dan bahwa kasus itu tampak masuk ke dalam yuridiksi mahkamah” (Pasal
15 ayat 4). Jaksa penuntut juga harus menghormati penyelidikan yang dilakukan oleh
otoritas nasional, kecuali jika dewan hakim memutuskan bahwa otoritas yang ada
benar-benar tidak berniat atau tidak mampu melakukan penyelidikan atau penuntutan
(Pasal 17 dan 18). Tambahan lainnya : Mahkamah dan Jaksa Penuntut harus menunda
proses sampai masa 12 bulan dan bisa diperpanjang, jika Dewan Keamanan
memintanya (Pasal 16). Terakhir Jaksa Penuntut dibatasi hak inisiatifnya hanya pada
kasus-kasus yang terjadi dalam wilayah negara yan telah menerima yuridiksi
Mahkamah, atau tindakan dilakukan oleh negara tersebut. Berbagai sistem dan prosedur
bisa dikembangkan demi penanganan informasi pengaduan yang adil dan efisien.
Bahkan jika sang Jaksa Penuntut memang menerima banyak sekali pengaduan,
kenyataan bahwa subyek yuridiksi Mahkamah yang dibatasi bisa menyediakan
“saringan” yang efektif yang akan menyaring limpahan pengaduan tersebut. Lebih
lanjut, prakondisi yang dibutuhkan untuk menjalankan yuridiksi Mahkamah juga
berperan sebagai mekanisme penyaring. Dan terhadap bahaya “pengambilan keputusan
politik” cara paling pasti untuk menghindari hal tersebut adalah mekanisme yang ada
dalam statuta : Jaksa Penuntut yang independen yang tunduk pada sudut pandang
hukum, hanya menangani tindak kejahatan sebagaimana yang telah dijelaskan secara
Dibawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah situasi yang
melibatkan wilayah atau bagsa dari suatu negara yang menjadi Pihak dalam Piagam
PBB, sebagaimana Dewan Keamanan juga mempunyai otoritas untuk
menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari motu
oleh Jaksa Penuntut sangatlah dibatasi dengan tegas. Jika “picu” tersebut telah
menerima yuridiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu sendiri (Pasal 12
ayat 2). Sebuah negara dinyatakan menerima yuridiksi Mahkamah jika ia telah
meratifikasi Statuta meskipun negara tersebut dapat menunda penerimaanya atas
yuridiksi kejahatan perang selama tujuh tahun (Pasal 124) atau dengan cara
menandatangani deklarasi ad hoc yang menyatakan menerima otoritas Mahkamah
(Pasal 12 ayat 1 dan 3). Banyak atau bisa dibilang kebanyakan negara yang
diwilayahnya banyak terjadi tindak kejahatan sebagimana yang termasuk dalam
yuridiksi Mahkamah, atau yang warga negaranya cenderung bertanggung jawab atas
kejahatan-kejahatan tersebut bukanlah yang termasuk pertama-tama menandatangani
Statuta Roma ini. Prokondisi berkaitan dengan wilayah dan kewarganegaraan ini
mengandung arti bahwa untuk beberapa tahun tampaknya Mahkamah Pidana
Internasional akan menjadi Mahkamah-nya Dewan Keamanan Harapan kelompok
pembela Hak Asasi Manusia dan penduduknya adalah pada akhirnya bisa tercapai
sebuah kesepakatan universal, yang memungkinkan Mahkamah “melayani” generasi
mendatang sebagai institusi peradilan yang independen dan efektif.
Ada dukungan yang luas dalam Konferensi ini untuk mengikutsertakan
negara-negara yang persetujuannya dianggap dapat memberi dasar bagi yuridiksi Mahkamah.
Negara yang sedang melakukan penahanan terhadap tersangka dan negara dimana
korban adalah warganya. Tekanan dari Amerika Serikat dan negara-negara kuat
hanya sekedar mendekati. Jika mengikutsertakan kesepakatan yang hanya sekedar
tersangka kejahatan dalam yuridiksi Mahkamah secara signifikan akan meluaskan
jangkauan Mahkamah. Dalam Statuta yang sekarang ini, Mahkamah tidak mempunyai
kuasa untuk menuntut dan memproses seorang individu yang dituduh melakukan
genocide yang sedang berada dalam tahanan di sebuah negara penandatangan. Ini
sekaligus juga meniadakan beberapa dasar yuridiksi yang lain. Mengikutsertakan
negara dimana korban menjadi warganya, juga akan meluaskan jangkauan Mahkamah.
Yang utama adalah memberi perlindungan lebih kepada tentara penjaga perdamaian
yang berasal dari negara peratifikasi yang sedang melakukan misis non peratifikasi.
Mahkamah akan bisa menerapkan yuridiksinya atas kejahatan perang yang menimpa
pasukan penjaga perdamaian walupun terjadi di wilayah sebuah negara atau dilakukan
oleh warga negara yang paling kukuh membatasi jangkauan yuridiksi Mahkamah justru
mereka yang menyatakan perhatiannya pada hubungan antara Mahkamah dengan
pasukan penjaga perdamaian internasional.
Kelompok pembela Hak Asasi Manusia beragumen bahwa prinsip
“yuridiksi universal” haruslah melekat pada Mahkamah. Yuridiksi universal adalah
sebuah prinsip hukum internasional yang telah diterima secara luas yang menyatakan
bahwa negara manapun dapat menuntut para pelaku genocide, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan perang, tanpa perlu memperdulikan batas-batas wilayah
dan kewarganegaraan. Sebagai contoh praktis kemampuan Mahkmah untuk
menentukan kejahatan apa saja yang masuk dalam yuridiksinya akan bisa ditingkatkan
jika diberi yuridiksi universal. Tidak perlu banyak komentar kiranya, Statuta ini
akhirnya dengan prokondisi yang “ketat” untuk penerapan yuridiksinya, merefleksikan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Momentum Reformasi nasional menjadi titik tolak penegakan hukum yang
berwawasan gender secara lebih bersungguh-sungguh. Proses penegakan hukum
yang dilakukan oleh berbagai institusi penegakan hukum telah berupaya
mengimplementasikan kebijakan berwawasan gender sesuai dengan situasi dan
kondisi yang terdapat di dalam lembaga itu. Hingga kini masih terdapat
kekurangan dalam proses implementasi kebijakan berwawasan gender yang
disebabkan keterbatasan jumlah sumber daya manusia pelaksana di dalam
lembaga penegakan hukum tertentu seperti pengadilan.
2. Sebagaimana kita ketahui bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan
musuh seluruh umat manusia (hostis humanis generis) dan penuntutan terhadap pelakunya merupakan kewajiban seluruh umat manusia (obligatio erga omnes). Kelemahan yang dimiliki dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang ditujukan untuk
mengadili kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, utamanya
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, haruslah segera
diperbaiki.
3. Upaya memperbaiki kerangka normatif UU No. 26 Tahun 2000 yang kurang
lengkap, berbeda dan tidak memenuhi standar hukum internasional, menjadi
penting dan mendesak sebagai salah satu mendorong penegakan hukum atas
kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia. Secara khusus, perlu diatur lebih
jelas dan tegas pasal “residual category” mengenai “other inhumane acts”