• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejahatan Perang Terhadap Jender Dalam Yurisprudensi Internasional.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kejahatan Perang Terhadap Jender Dalam Yurisprudensi Internasional."

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993.

Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana, artikel dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol. 1, 1998. Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan

Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004: Cetakan Pertama.

Cohen dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, tanpa tahun

Fakih, Mansour, 1998, Diskrimiasni dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender,

Yogyakarta: CIDESINDO

Goeffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1992.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Memahami Konflik Perang, Yogyakarta: Kanisius I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,

Penerbit Alumni, Bandung, 1999.

Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam

Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995.

Marcella Elwina, S., Mengatur Kejahatan Perang, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2003. Margiyanti, Lusi & Moh. Yasir Alimi (ed.), 1999, Sosialisasi Gender: Menjinakkan

“Takdir” Secara Adil Yogyakarta: LSPAA.

Muladi, “HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyaraka. Semarang, 1996.

Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: sebagaimana dimuat dalam kumpulan karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang, 1997.

(2)

Moctar Kusumaatmadja, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia, dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Persepektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Bandung. 1997.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Seiderman, Ian D. Resolusi Konflik dalam masyarakat, Yogyakarta : Galangpress, 2001 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafika, Jakarta, 1994.

Sudarto, Konspirasi di Balik Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Yogyakarta : Galangpress, 2007.

Theo, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui Lembaga Restitusi dan Kompensasi, dalam Teropong (Media Hukum dan Keadilan) Vol. II, No. 9, Juni 2003.

Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Seri Bahan Bacaan Khusus HAM untuk Pengacara, 2005.

Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi,Yrama Widya, 2004 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1990.

Wiratman, R. Herlambang Perdana, Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Artikel untuk Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008.

Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Seri Bahan Bacaan Khusus untuk Pengacara X: 2005, Penerbit Elsam, Jakarta.

II. Perundang-undangan

1. UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

III. Internet

Aliansi Nasional Reformasi KUHP, USAID, Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Genoside, Tepatkah diatur di dalam KUHP, diakseskan dari situs :

Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang,

(3)

Committee for Human Rights. Ia turut berpartisipasi dalam Konferensi Diplomatik di Roma. Diakseskan tanggal 15 November 2010.

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity),http://www.organisasi. Com, di akseskan tanggal 15 November 2010.

Penegakan Hukum diakseskan dari situs :

Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP, diakseskan dari situs

:

diakseskan tanggal

20 November 2010.

(4)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN TERHADAP GENDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Pembuktian dengan Investigasi

Investigasi adalah Upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian,

pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk

mengetahui/membuktikan kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta yang

kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.69

Di masa-masa awal International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) mulai

bekerja, sejumlah masalah terjadi berkaitan dengan kebutuhan langkahlangkah yang

sifatnya khusus dalam penyelidikan dan penuntutan kejahatan berbasis jender.

Misalnya dalam hal penggunaan penerjemah dan penyelidik laki-laki ketika

mewawancarai korban kekerasan seksual dan berbagai teknik wawancara yang tidak

pantas. Selain itu, penyelidik tidak secara aktif mengumpulkan kesaksian dari

kejahatan-kejahatan seksual, karena mitos bahwa perempuan tidak mampu

menceritakan pengalamannya dan kepercayaan bahwa pemerkosaan hanya merupakan

insiden yang bersifat kebetulan dari genosida tersebut.70

Namun dalam perkembangannya, secara terperinci dimensi prosedural yang

mendefinisikan kejahatan seksual telah diakui. Beberapa hal prinsip yang diterapkan

dalam persidangan menunjukkan penghormatan dan perlindungan terhadap

69

Peters A.A.G. & Koesriani Siswosoebroto, 1988, Hukum dan Perkembangan Investigasi (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, hlm 7

70

(5)

kepentingan korban, sekaligus keseimbangan terhadap kepentingan terdakwa. Secara

umum, korban dapat dipahami sebagai pihak yang mengalami penderitaan akibat

kejahatan yang berada dalam yurisdiksi pengadilan. Oleh karena itu, pentingnya

langkah-langkah untuk melindungi keamanan, baik fisik mau pun psikologis martabat

dan privasi korban dan saksi khususnya dalam kasuskasus kejahatan berbasis jender

dan seksual ditegaskan dalam Pasal 68, Statuta Roma.

Lebih jauh, dalam aturan persidangan secara khusus dinyatakan pentingnya

perintah pengadilan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi

kepentingan korban dan saksi, khususnya anak-anak, orang tua, difabel, dan korban

kejahatan jender dan seksual (Aturan 85 dan 86, Rules of Proceedings andEvidences). Dalam hal menjaga privasi dan keamanan korban serta saksi, International Criminal

Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for

Rwanda (ICTR) yang membolehkan hakim untuk mengadopsi langkah-langkah seperti

persidangan tertutup, televisi sirkuit satu arah tertutup, merahasiakan identitas dari

publik. Juga,memperbolehkan tidak diikutsertakannya pers dan publik dari seluruh atau

sebagian persidangan untuk melindungi “keamanan, keselamatan atau kerahasiaan

identitas dari korban atau saksi”.71

Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus

untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat

yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000.

B. Pengadilan AD HOC ICTY dan ICTR

72

Hal inilah yang

membedakan dengan pengadilan Hak Asasi Manusia permanen yang dapat memutus

(6)

diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia

di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan Hak Asasi

Manusia ad hoc ini.73

Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran

Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan

Hak Asasi Manusia ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26

Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah.

Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang

menangani perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-timur ini. Legitimasi atas

adanya pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc didasarkan pada pasal 43 UU No. 26

tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum

diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan Hak Asasi

Manusia ad hoc. bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1

dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan

keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan

rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan Hak Asasi

Manusia ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.74

Definisi kejahatan perang dalam Statuta Roma mencerminkan perkembangan

luar biasa yang terjadi dalam hukum humaniter sejak digelarnya Pengadilan Ad hoc

73

Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP, diakseskan dari situs :

2010

74

(7)

International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International

Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Statuta Roma mengadopsi yurisprudensi kedua

pengadilan internasional ini, sehingga lebih jelas lagi terlihat adanya

pertanggungjawaban individu untuk kejahatan perang dalam konfllik bersenjata

internasional dan konflik

bersenjata internal.75

Dalam yurisprudensi putusan pengadilan internasional, khususnya praktek

International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) disebutkan, “Pasal 5(i)

International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) (tindakan‐tindakan

tidak manusiawi) adalah suatu klausul sisa, yang berlaku pada tindakan‐tindakan yang

tidak termasuk dalam sub‐klausul manapun dalam Pasal 5 Statuta namun secara

memadai sama tingkat kejahatannya dengan kejahatan‐kejahatan lainnya yang telah

disebutkan”. Tindakan‐tindakan tidak manusiawi adalah “tindakan‐tindakan atau

pembiaran‐pembiaran yang diniatkan untuk menyebabkan secara sengaja penderitaan

mental maupun fisik pada individu. Sebagaimana dinyatakan sebagai kejahatan

terhadap kemanusiaan, tindakan‐tindakan tersebut harus juga meluas dan sistematik.”76

Dalam konteks hukum internasional, kejahatan tindakan‐tindakan tidak

manusiawi tidak bertentangan dengan prinsip nullum crimen sine lege (menafsirkan Dalam putusan lainnya, kejahatan tindakan‐tindakan tidak manusiawi adalah suatu

klausul sisa untuk tindakan‐tindakan serius yang bukannya masuk dalam kategori

sebagaimana disebutkan satu per satu, namun memerlukan pembuktian yang sama

(8)

atau melarang kejahatan terhadap manusia), karena dalam prakteknya, sebagaimana

ditegaskan oleh majelis pengadilan yang mendapati jenis kejahatan tersebut sebagai

bagian dari customary international law (hukum internasional kebiasaan), sekaligus penegasan atas jenis kejahatan di bawah hukum pidana internasional. Majelis

pengadilan melihat bahwa dakwaanatas jenis kejahatan tersebut sudah pernah

dilakukan sebagai dasar dakwaan dalam Pengadilan Militer Internasional.77

Dalam laporan komisi persiapan Mahkamah Pidana Internasional, dijelaskan

bahwa elemen jenis kejahatan tindakan-tindakan tidak manusiawi

lainnyamenyangkut:78

Meskipun tidak ada persyaratan yang diharuskan untuk menguji bahwa derajat

keseriusan didasarkan pada akibat jangka panjang (long term effects) bagi korban, namun tindakan yang memiliki akibat atau dampak jangka panjang adalah relevan

untuk menentukan keseriusan tindakan (atau juga pembiaran).

(i) Pelaku kejahatan mengakibatkan penderitaan yang

besar/dalam, atau luka serius pada kesehatan tubuh atau mental atau fisik, yang

bermakna tindakan tidak manusiawi; (ii) Kejahatan tersebut memiliki karakter yang

sama dengan jenis kejahatan yang disebutkan dalam pasal 7 (1) Statuta Roma; (iii)

Pelaku kejahatan menyadari kondisi factual yang melandasi karakter kejahatan; (iv)

Tindakan ditujukan sebagai bagian dari penyerangan meluas dan sistematik ditujukan

terhadap suatu populasi sipil; dan (v) Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa

tindakannya adalah bagian atau diniatkan menjadi bagian penyerangan secara meluas

dan sistematik ditujukan terhadap suatu populasi sipil.

79

77

Wiratman, R. Herlambang Perdana, Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Artikel untuk Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008, hlm 79

78

Ibid, hlm 80

79

(9)

Dengan penjelasan demikian, maka karakter untuk menyebut jenis kejahatan

“tindakan‐tindakan tidak manusiawi lainnya” memberikan peluang penafsiran untuk

penegakan hukum atas segala jenis kejahatan terhadap kemanusiaan, atau dengan

perkataan lain, kejahatan terhadap kemanusiaan jenis “tindakan‐tindakan tidak

manusiawi lainnya” memberikan jaminan bahwa Mahkamah Pidana Internasional

memiliki keleluasaan untuk meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi

manusia yang keji yang tidak tersebutkan dalam hukum pidana internasional. Oleh

sebab itu, dalam upayamemajukan penghormatan, perlindungan dan

pertanggungjawaban hak asasi manusia, ketentuan kategori sisa tersebut adalah penting

dan diperlukan.80

Dengan adanya kedua kasus tersebut, setidaknya memberikan pelajaran

mengenai suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang bisa dijangkau oleh aturan

”other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya), yang penerapannya bisa ditujukan pada bentuk atau macam kejahatan yang berbeda namun

memiliki karakter yang sama dengan bentuk atau macam kejahatan yang telah

dideskripsikan secara eksplisit dalam ketentuan International Criminal Tribunal for the

Former Yugoslavia (ICTY). 81

Dalam praktek yurisprudensi di International Criminal Tribunal for Rwanda

(ICTR), “other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya) merupakan suatu jenis pengaman untuk mendasari tindak kejahatan yang memiliki

level sama dan menjaga kemungkinan untuk jatuh pada definisi di luar apa yang

(10)

Dalam putusan Kayishema and Ruzindana, majelis hakim mendefinisikan

“other inhumane acts” sebagai “tindakan-tindakan atau pembiaran-pembiaran yang secara sengaja ditujukan untuk menyebabkan luka atau penderitaan mental atau fisik

secara serius atau merupakan suatu kejahatan serius atas martabat manusia”. Majelis

hakim menegaskan adanya hubungan antara tindakan dan penderitaan yang

diakibatkannya. Berdasarkan majelis hakim, kata “deliberately” meyakinkan bahwa penderitaan mental yang diakibatkan terhadap pihak ketiga sebagai hasil dari melihat

penderitaan dari korban langsung bisa dikualifikasi sebagai suatu “inhumane act” bila pelaku kejahatan memiliki niat untuk melakukan tindakannya di muka pihak ketiga.

Namun dalam penerapannya bisa pula sebaliknya, sebagaimana dalam putusan

Kamuhanda mempertimbangkan bahwa terdakwa mungkin masih dimintai pertanggungjawaban untuk penderitaan mental yang diakibatkannya bila pihak. Ketiga

secara tidak sengaja melihat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut

terhadap korban.83

Yang pertama kali dihukum dalam International Criminal Tribunal for Rwanda

(ICTR) karena alasan “other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya)adalah kasus Niyitegeka. Dalam putusannya, memenggal leher, memotong alat

kelamin, dan segala bentuk mutilasi mayat, dan memasukkan sebatang kayu ke dalam

vagina seorang perempuan yang telah mati dikualifikasi sebagai inhumane acts. 84 Ketentuan “other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya) sebagai kategori sisa sangatlah menarik dan progresif bila ditinjau dari bagaimana para

majelis hakim akan menafsirkan suatu bentuk kejahatan yang sama sekali tidak jatuh

pada kategori kejahatan satupun yang ditentukan oleh statuta atau hukum yang ada.

Namun, dalam konteks penegakan hak asasi manusia, hal ini merupakan terobosan

83

Ibid, hlm 110

84

(11)

hukum untuk tidak sekalipun melepaskan setiap pelaku tindak kejahatan

kemanusiaan.85

Pembentukan kedua tribunal in juga bersifat ade hoc (sementara/khusus),

artinya tribunal ini berlaku untuk mengadili kejahatan tertentu pada jangka waktu

tertentu dan untuk daerah tertentu saja. Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc

tersebut yang dibentuk setelah Perang Dunia II (yaitu Mahkamah Nuremberg dan

Mahkamah Tokyo) disatu sisi dengan International Criminal Tribunal for the Former

Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) di sisi lain

yaitu bahwa Mahkamah Tokyo dan Nuremberg dibentuk oleh pihak yang menang

perang (dalam hal ini adalah AS dan sekutunya), sedangkan Mahkamah Yugoslavia dan

Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB.86

1. Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional (serious violations of international humanitarian law)

Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia

mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi Mahkamah, yaitu :

2. Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvesi-konvensi

Jenewa1949.542

3. Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang

4. Genosida

5. Kejahatan terhadap kemanusiaan.

Penjelasan dari pelanggaran atau kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada

(12)

mengambil rumusan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949.

Begitu juga misalnya apa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan

seperti disebutkan dalam Pasal 5 Statuta.87

Sedangkan Mahkamah Ad Hoc Rwanda dibentuk untuk mengadili orang-orang

yang melakukan kejahatan genosida di Rwanda dan mengadili warga negara Rwanda

yang melakukan kejahatan genosida dan pelanggaran serupa lainnya di wilayah negara

tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan

tanggal 31 Desember 1994. Baik Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia maupun

Mahkamah Rwanda menetapkan tanggung jawab individu terhadap mereka yang

melakukan kejahatan dan atau melakukan pelanggaran sebagaimana disebut dalam

masing-masing Statuta. Adapun untuk hukum acaranya Mahkamah untuk negara bekas

Yugoslavia menggunakan sistem Common Law, (Hukum Anglo-Saxon), sedangkan Mahkamah Rwanda menggunakan campuran antara sistem Civil Law (Hukum Eropa Kontinental) dan Common Law.88

Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya bahwa nanti akan menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat

menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta Roma

dikatakan bahwa International Criminal Court (ICC) akan bekerja apabila mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud.89

Dengan cara ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam

yurisdiksi International Criminal Court (ICC), maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila mahkamah nasional tidak mau dan/atau tidak mampu

87

Supriyadi Widodo Edyono, Op.Cit

88

89

(13)

mengadili si pelaku, maka International Criminal Court (ICC) akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan. Adapun yirisdiksi

dari International Criminal Court (ICC) ini mencakup empat hal yaitu90

Kecuali mengenai kejahatan agresi, masing-masing kejahatan lainnya telah

dirumuskan secara rinci mengenai apa-apa saja yang termasuk dalam kejahatan yang

dimaksud beserta unsur-unsur deliknya. Statuta International Criminal Court (ICC) berlaku sejak bulan Juli tahun 2002 dan kejahatan agresi akan dirumuskan delapan

tahun setelah Statuta berlaku, yaitu pada tahun 2010.

:

1. genosida

2. kejahatan terhadap kemanusiaan

3. kejahatan perang

4. kejahatan agresi

91

Hal yang perlu digarisbawahi sekali lagi disini bahwa International Criminal Court (ICC) bersifat complementarity atau pelengkap terhadap sistem hukum nasional. Oleh karena itu yurisdiksi International Criminal Court (ICC) hanya bisa dilaksanakan apabila telah dilalui suatu mekanisme nasional. Dalam hal ini yurisdiksi International Criminal Court (ICC) hanya bisa dilaksanakan apabila ternyata suatu negara tidak mau dan tidak mampu (unwilling and unable) untuk mengadili kejahatan kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi International Criminal Court (ICC). Berkaitan dengan mekanisme penegakan hukum humaniter ini maka hal yang

mendesak dan penting dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah menyusun suatu hukum

nasional yang mengatur tentang penghukuman bagi pelaku kejahatan perang. Hal ini

diperlukan karena sampai saat ini baik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

(14)

tentang kejahatan perang. Artinya Indonesia belum melaksanakan kewajibannya

berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 (yaitu menyusun suatu hukum nasional

yangmemberikan sanksi pidana efektif bagi pelaku kejahatan perang). Ketiadaan

hukum nasional ini juga dapat dikategorikan sebagai unwilling and unable dari sudut pandang International Criminal Court (ICC).92

Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke

Penadilan

C. Menurut Statuta Roma

93

1) Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana

satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai

sumber, termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan

yangmemberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut (lihat

pertanyaan 4 dan 5) :

2) Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut

untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan,

tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi.

3) Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi

situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1

dan 2, International Criminal Court (ICC) akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut,

meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi

Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.

92

Ibid

93

(15)

Di dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa

Penuntut, bukan negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi

akan dilakukan. Berdasarkan investigasi tersebut, pemutusan hukuman tergantung pada

keputusan hokum.

Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah

dilakukan di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara

negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke

Pengadilan. Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc

kejahatan internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi di bekas Yugoslavia

dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan ke Pengadilan.

Oleh karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan akan dilihat dari banyaknya

negara yang meratifikasi Statuta.

Statuta Roma yang menetapkan ketentuan tentang dapat disidik, dituntut, dan

diperiksanya di Majelis Pengadilan Internsional sejumlah pelanggaran Hak Asasi

Manusia dan yang menetapkan sejumlah asas yang juga merupakan asas Hak Asasi

Manusia, merupakan, pada hakikatnya, instrumen hukum internasional yang, meskipun

bukan instrumen hukum internasional per se, merupakan instrumen hukum internasional yang memastikan perlindungan Hak Asasi Manusia (international legal instrument ensuring the protection of human rights). 94

Statuta Roma adalah instrumen internasional tentang kejahatan menurut hukum

internasional. Namun, di dalamnya terkandung ketentuan-ketentuan yang pada

hakikatnya, menetapkan sejumlah tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

(16)

asas-asas Hak Asasi Manusia.95 Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Statuta

Roma merupakan instrumen internasional mengenai kejahatan menurut hukum

internasional, yang selain bertujuan menindas kejahatan internasional tertentu, juga

merupakan instrumen internasional yang melindungi Hak Asasi Manusia dan

menghormati asas-asas Hak Asasi Manusia tertentu, serta mengukuhkan peraturan

perundang-undangan nasional tentang penyelesaian yudisial pelanggaran hak asasi

manusia yang dapat dipidana, sebagaimana dapat dicatat sebagai berikut96

a) Tema Hak Asasi Manusia yang pelanggarannya dikriminalisasikan dan, dengan

demikian, dilindunginya Hak Asasi Manusia yang bersangkutan oleh aturan ini,

adalah sebagai berikut:

:

(1) Hak hidup (Pasal 6 (a), Pasal 7.1 (a), Pasal 8.2 (a) (ii), P a s a l 8.. 2 (b) (vi),

Pa s a l 8 .

b) (xi), P a s a l 8 . 2 (c) (i), dan P a s a l 8. 2 (e) (1)) ;

(ii) Hak untuk tidak diperbudak (Pasal 7. l (c) dan Pasal 7.1(g);

(iii) Hak untuk bebas bertempat tinggal wilayah negara (Pasal 7.1(d);

(iv) Hak atas perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum dan hak

atas perlakuan yang adil dari pengadilan yang objek dan tidak berpihak

(Pasal 7.1(c);

(v) Hak untuk tidak disiksa (Pasal 7.1 (f), Pasal 8.2(a) (iii), dan Pasal 8.2 (c)

(vi)Hak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabat Pasal 7.1(g),

Pasal 8.2 (b) (xxi), Pasal 8.2 (b) (xxii), Pasal 8.2 (c) (ii), Pasal 8.2 (c) (ii),

dan Pasal 8.2 (e) (vi) ;

95

Wiratman, R. Herlambang Perdana, Op.Cit, hlm 50

96

(17)

(vii) Hak beragama dan menjalankan ibadat menurut agama dan

Kepercayaannya (Pasal 8.2 (b) (ix) dan Pasal 8.2 (e) (iv) ;

(viii) Hak mempunyai milik dan atas perlindungan hak miliknya (Pasal 8.2

(b) (xiii), Pasal 8.2 (b) (xvi), Pasal 8.2 (e) (v), dan Pasal 8.2 (e) (xii);

(ix) Hak memperolah keadilan (Pasal 8.2 (c) (vi) ; dan

(x) Hak hidup tenteram, aman, dan damai (Pasal 8.2 (e) (i) ;

Asas HAM yang juga menjadi asas Statuta Roma:

(i) Asas tidak berlaku surutnya aturan hukum (kecuali dalam keadaan.

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 Kovenan Internasional

tentang Hak Sipil dan Politik - KIHSP -, 1966) (Pasal 11 dan Pasal 24) ;

(ii) Asas ne bis in idem (Pasal 20);

(iii) Asas legalitas (Pasal 22 dan Pasal 23);

(iv) Asas kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan pengadilan (Pasal63);

(v) Asas praduga tak bersalah (Pasal 66);

(vi) Hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil. (fair trial

(vii) Pemberian perlindungan kepada korban dan saksi (Pasal 68).

) (Pasal

66); dan

28. Harus digarisbawahi bahwa dalam hal ini Statuta Roma memasukkan norma

substantif hak asasi manusia, terutama dengan mendefinisikan kejahatan

terhadap kemanusiaan tanpa perlu adanya hubungan dengan konflik bersenjata.

Selain itu Statuta Roma juga memuat ketentuan tentang unsur-unsur kejahatan

yang kemungkinan juga akan terdapat lintas rujuk dengan perangkat hukum

(18)

definisi penyiksaan misalnya, Majelis Pengadilan Internsional dapat mengacu

pada Konvensi Penyiksaan dan yurisprudensi terkaitnya.

29. Salah satu ketentuan yang paling penting berkaitan dengan ini adalah Pasal 21

(3) yang menyatakan bahwa: “Penerapan dan interpretasi hukum sesuai dengan

pasal ini harus konsisten dengan hak-hak manusia yang dikenal secara

internasional, dan tanpa ada perbedaan-perbedaan yang panting yang ditemukan

pada dasar-dasar seperti gender sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 7 ayat

3, usia, ras, wama kulit, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau

pendapat-pendapat lain, kebangsaan, etnis atau asal sosial, kekayaan, kelahiran atau status

lain”. Dalam hal ini Judge Pillay menyatakan bahwa untuk menjamin

perlindungan yang paling penting dan mendasar, dengan diskresi yang ada,

hakim-hakim oleh karena itu akan mengambil dari hukum hak asasi manusia.

30.Oleh karena itu walaupun, Majelis Pengadilan Internsional pada dasarnya adalah

sebuah lembaga peradilan (juridical institution), namun demikian, keberadaannya dan hasil kerjanya pada masa depan akan membantu memajukan

hak asasi manusia dengan menciptakan rekam historis tentang apa yang salah

pada masa lalu (the past wrongs), menawarkan sebuah forum bagi korban untuk menyuarakan pendapatnya dan menerima kompensasi serta pemuasan atas

kejahatan masa lalu, menciptakan preseden yuridis dan efek jera bagi para

pelaku kejahatan yang paling berat dengan menghukum para pelaku.

Dengan menarik perhatian pada kejahatan yang paling berat dan kemudian

melakukan penghukuman pada pelakunya, Majelis Pengadilan Internsional akan

menjadi sebuah contoh bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia lainnya.

Dengan demikian, seperti sebuah lembaga pengadilan di tingkat nasional,

(19)

(komplementer) bagi upaya hak asasi manusia baik masa kini maupun masa

depan.

32. Sebagai instrumen internasional yang juga merupakan instrumen yang

melindungi sejumlah Hak Asasi Manusia dan yang juga menjunjung sejumlah

prinsip yang juga merupakan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, Statuta Roma

turut memperkuat jaminan dihormati dan dilindunginya Hak Asasi Manusia

serta dijunjungnya prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang sudah dilakukan

oleh instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia, baik internasional, maupun

regional, ataupun nasional. Oleh karena itu, menjadi pihaknya RI pada Statuta

Roma akan makin meningkatkan citra dan komitmen bangsa Indonesia untuk

tidak saja mengambil bagian dalam upaya komunitas internasional untuk

menindas dan mencegah kejahatan paling serius yang merupakan urusan

komunitas internasional secara keseluruhan melainkan juga menegaskan

komitmen nasionial dan internasionalnya untuk menjunjung tinggi dan

melindungi Hak Asasi Manusia.

D. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1. Landasan yuridis berdirinya pengadilan

Berdasarkan kondisi tentang perlunya intrumen hukum untuk berdirinya sebuah

pengadilan Hak Asasi Manusia secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu No. 1

Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpu ini sempat menjadi landasan

yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat di

(20)

yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai

ditolaknya perpu adalah sebagai berikut97

a. secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan Hak Asasi Manusia

dengan mendasarkan pada pasal 22 ayat 1 undang-undang dasar 1945 yang

berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar

untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat. :

b. subtansi yang diatur dalam perpu tentang pengadilan Hak Asasi Manusia masih

terdapat kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :

 kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut

tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

berat yang dilakukan sebelum perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak

tercakup pengaturannya.

 Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur

dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genocida

tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.

 Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada

KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu

menjangkau tuntutan secara lembaga.

 Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan

atau overlapping dengan hukum positif.

Setelah adanya penolakan perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah

mengajukan rancangan undang-undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam

penjelasannya pengajuan RUU tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pertama,

97

(21)

merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa indonesia sebagai salah satu anggota

PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung

jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi Hak

Asasi Manusia yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta yang terdapat

dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia

yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan sebagai

tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum,

termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan Hak Asasi Manusia ini

sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia

internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai

penegakan Hak Asasi Manusia di IndonesiaPasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999

tentang hak asasi manusia dan Komnas Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa untuk

mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dibentuk pengadilan Hak Asasi

Manusia dilingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana

dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling

lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang

pengadilan HAM adalah Undang-undang Nomor 26 tahun 2000.

2. Pengaturan tentang pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000

Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut serta

memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta

memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan

(22)

menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan

Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan

pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah

berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak

disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang,

dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu

dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka pengadilan Hak Asasi Manusia perlu

dibentuk.

Undang-undang No. 26 tahun 2000 ini memberikan 3 cara alternatif untuk

penyelesaian kasuskasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pertama adalah

mekanisme pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc untuk pelanggaran Hak Asasi

Manusia masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, pengadilan Hak Asasi Manusia

yang sifatnya permanen dan menggunakan mekansime komisi kebenaran dan

rekonsiliasi. Pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia yang mengadili kejahatan

terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida ini dianggap tidak tepat dan banyak

dikritik sebagai pengaturan yang salah secara konseptual. Kesalahan ini yang terutama

adalah memasukkan kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan genocida dalam

yurisdiksi pengadilan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat

dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari

hukum pidana karena merupakan begian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “peradilan pidana.” Secara yuridis

seharusnya pengklasifikasian kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida

(23)

Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam kitab undang-undang hukum pidana

maka tidak akan melampauai asas legalitas. Sedangkan pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk

mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan

pemahaman bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat termasuk kejahatan

terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida secara yuridis seharusnya mengalami

transformasi menjadi tindak pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan

pidana. Kritik atas keadaan ini adalah bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai

upaya praktis dari pemerintah untuk secaracepat mengakomodir dan menghentikan

upaya-upaya kearah peradilan internasional dan melupakan aspek-aspek yuridis.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia ini juga

dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya.

Kelamahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen internasional

yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep

kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak

memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan

lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak

menggunkan ketentuan yang berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana

(KUHAP). Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilan khusus yang berada di

lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan Hak Asasi Manusia

mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri termasuk dukungan

administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan Hak Asasi Manusia

ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan

(24)

a. Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus

lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan ham. Hal ini

membawa konsekuensi bahwa jadual persidangan akan sangat bergantung

dengan jadual persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh

pengadilan negeri tempat pengadilan ham ini digelar.

b. Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani

perkara pengadilan Hak Asasi Manusia selain panitera yang juga bertugas untuk

membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia

yang berat.

c. Dukungan panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat.

Panitera ini dalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk

menangani kasus pelanggaran ham yang berat. Panitera ini juga menangani

kasus lainnya.

d. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri

namun ntuk hakim karir yangmerupakan hakim pengadilan setempat maka

mereka mempunyai ruangan tersendiri.

Dari proses adopsi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan

genosida dari Statuta Roma kedalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat distorsi yang

secara teoritis melemahkan konsep kejahatan tersebut terutama konsep tentang

kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu tidak ada parameter yang tegas untuk

mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama

bentuk kejahatan ini.

Ketidakjelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan

(25)

sulit. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut:

“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …”

Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas

(widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai

perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan

dengan tegas) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku

kejahatankejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama menjadi sulit sehingga

dakwaan menjadi sumir. Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini

diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa

berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang

dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak

akan tercakup oleh pasal ini.

Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah

menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal

(26)

terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut

berlangsung.

Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di

bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan

penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada

penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi

“penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP).

Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis.

Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik

seseorang. Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan

intimidasi yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar

kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus

membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang

ditimbulkan.

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia

berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan Hak Asasi Manusia adalah98

1. Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,

kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

:

a. membunuh anggota kelompok

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggotaanggota kelompok;

98

(27)

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam

kelompok atau;

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai

bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa

serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa :

a. Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana pasal 340 KUHP.

b. Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang

dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat

pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan

pemusnahan pada sebagian penduduk.

c. Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya

perdagangan wanita dan anak-anak.

d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu pemindahan

orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain

dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secar sah, tanpa disadari alasan

yang diijinkan oleh hukum international.

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum

internasional.

f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau

(28)

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,

pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual

lain yang setara.

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari

persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin

atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang

menurut hukum internasional.

i. Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau

penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari

negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui

perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari

perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.

j. Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama

dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks

suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok

rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain

dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan regim itu.

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan Hak Asasi Manusia

diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

Kekhususan dalam penanganan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam UU

No. 26 Tahun 2000 adalah :

1) Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad

(29)

2) Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak

asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau

pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.

3) Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.

4) Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.

(30)

BAB IV

KEJAHATAN KEMANUSIAAN TERHADAP TAWANAN PERANG DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI MANUSIA

A. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Kejahatan Internasional

Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa yuridiksi pengadilan

kejahatan internasional terdiri dari 4 jenis , yaitu :

1. Genocide

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan

3. Kejahatan perang

4. Kejahatan agresi

Namun belum ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepakatan tentang

defenisinya. Empat kategori kejahatan ini didefenisikan sebagai “kejahatan paling

serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan

pengujian dari “keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan

dalam kasus-kasus aktual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari

kejahatan yang dipertanyakan.

Bagaimanapun pengadilan tidak akan dapat mencapai tujuannya apabila

targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun

kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau

melakukan kejahatan seperti yang didefenisikan dalam Statuta Roma.

Kejahatan-kejahatan dalam yuridiksi International Criminal Court (ICC) tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genocide yang sebenarnya juga merupakan kejahaan

terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada

(31)

Banding dalam kasus Tadic, tidak ada alasan yang tepat mengapa tindakan negara

dalam perang harus di nilai dengan cara berbeda dengan yang berlaku dalam

konflik internal negara.99

Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den

haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan International Criminal Court (ICC). Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yuridiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang,

saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai.

Orang –orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang

dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya100

Pada tanggal 17 Juli 1998, sebuah statuta untuk membentuk Mahkamah pidana

Internasional (International Criminal Court/ICC) akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma. Yang berlangsung sejak 15 Juni

1998. Dengan hasil perhitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7

menentang, dan 21 abstain, para perserta menyetujui statuta yang akan membentuk

sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian

internasional : genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime against humanity

(kejahatan terhadap kemanusiaan, dan war crime (kejahatan perang).

) atau oleh

organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah

kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak

bergantung pada persoalan teknis karakteristik legal dari latar belakang konflik.

B Pengadilan Kejahatan Internasional Untuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(32)

Sesuatu yang bersejarah baru saja lahir. Namun, bagi para aktivis hak asasi

manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena satu langkah maju bagi

upaya meniadakan imputy ini, sedikit ternoda karena negara mereka bersama-sama

dengan China dan Irak justru menentang disahkannya statuta ini. Statuta ini belum bisa

diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan

waktu bertahun-tahun. Bahkan , setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa

hambatan-hambatan yuridiksional akan memberi efektivitasnya pada tahun-tahun awal.

Walaupun demikian, Mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk

memutus rantai imputy bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan

meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. Menjelang akhir

abad yang menjadi saksi terjadinya holocaust, ditambah dengan bayangan pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda yang masih segar dalam ingatan, arti penting harapan ini

bagi nilai-nilai kemanusiaan sangatlah besar.

Berikut ini kita lihat beberapa hal yang berkaitan dengan keberadaan dan

ekstensi Mahkamah Internasional, antara lain102

1. Struktur Mahkamah

:

Mahkamah ini mreupakan pengadilan yang permanen yang berkedudukan di

Hague (Pasal 3 ayat 1). Hanya menangani tindak kejahatan yang terjadi setelah

diberlakukannya Statuta Roma ini (Pasal 24). Karena mahkamah ini diberlakukan atas

dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi bagian atau organ dari PBB meskipun

kedua organisasi ini akan mempunyai hubungan yang formal (Pasal 2). Dewan

Keamanan akan mempunyai peran yang penting dalam operasional mahkamah ini atas

dasar kewenangannya untuk memprakasai suatu penyelidikan, sesuai dengan pasal 13

dan 16.

102

(33)

Pada awalnya, mahkamah terdiri dari 18 orang hakim yang bertugas selama 9

tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan 2/3 suara Majelis

Negara Pihak,yang terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini (Pasal

36 ayat 6 dan 9) paling tidak separuh dari para hakim tersebut memiliki kompetensi di

bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak 5 hakim lainnya

mempunyai kempetensi dibidang hukum internasional, misalnya saja hukum humaniter

internasional, dan hukum Hak Asasi Manusia internasional (Pasal 36 ayat 5). Orang –

orang ini haruslah memiliki pengalaman praktek yang luas dalam penuntutan atau

penyidangan kasus-kasus pidana (Pasal 42 ayat 3). Jaksa akan bertindak aas penyerahan

dari Negara Pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan

penyelidikan atas kehendak sendiri (propio motu).

Prinsip yang mendasar bagi statuta roma ini adalah International Criminal Court

(ICC) “merupakan pelengkap bagi yuridiksi pidana nasional” (Pasal 1). Ini berarti

mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada

benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil ahli

menjadi dibawah Yuridiksi mahkamah (Pasal 17).

Meskipun mahkamah mempunyai standart sendiri untuk menilai Peradilan

Nasional, statuta yang ada juga memungkinkan tertuduh atau negara yang bersangkutan

untuk menentang campur tangan Mahkamah (pasal 18 dan 19). Standart untuk

menentukan “ketidakbersediaan” untuk menyelidiki atau menyidangkan sangatlah

tinggi. Misalnya, keputusan nasional yang diambil dengan tujuan melindungi orang

yang bersangkutan dari tanggung jawab kriminal (Pasal 17 ayat 2.a). Seperti halnya

(34)

Prinsip komplementaritas menggaris bawahi bahwa mahkamah tidak dimaksudkan

untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk

menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan

sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan

yang independen dan efektif tidak tersedia.

2. Hal-hal yang dapat ditangani oleh mahkamah

Para partisipan konvensi menentukan tindak kejahatan apa saja yang

dimasukkan dalam yuridiksi Mahkamah, dan bagaimana menetapkan

batasan-batasannya. Mahkamah akan mempunyai yuridiksi atas tindak kejahatan genocide

terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Statuta juga menyatakan mahkamah akan

mempunyai yuridiksi atas agresi, setelah mahkamah menegaskan batasan-batasan

tindak kejahatan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika mahkamah menjalani

yuridiksinya. Ada kesepakatan universal bahwa genocide haruslah disertakan, dengan

pengertian sebagaimana yang tercantum pada Konvensi Genocide 1948. Sementara,

bentuk-bentuk kejahatan lain sempat mengundang perdebatan dan sedikit kontropersi.

3. Kejahatan terhadap kemanusiaan

Hasil terpenting dalam Konferensi Roma adalah kodifikasi kejahatan terhadap

kemanusiaan (pasal 7) dalam perjanjian multilateral yang pertama sejak piagam

Nuremberg. Mahkamah akan memiliki yuridiksi atas kejahatan tersebut, baik yang

dilakukan oleh negara maupun aktor non negara. Memang ada desakan dari beberapa

negara untuk membatasi kewenangan mahkamah atas kejahatan terhadap kejahatan saat

berlangsungnya konflik bersenjata. Hukum kebiasaan internasional, kenyataannya yang

terjadi di masa damai. Kesepakatan akhir memutuskan bahwa mahkamah tetap

memiliki kewenangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi di masa

(35)

Isu yang paling berkembang dalam debat wacana tentang kejahatan terhadap

kemanusiaan ini adalah apakah yuridiksi mahkamah juga termasuk atas “serangan yang

luas atau sistematik yan diarahkan pada suatu kelompok penduduk sipil”. Beberapa

negara beragumen bahwa mahkamah hanya boleh mempunyai kewenangan atas

serangan yang sifatnya luas dan sistematik. Sementara kelompok pembela Hak Asasi

Manusia merespon bahwa hal itu bisa menimbulkan keterbatasan yang tidak perlu bagi

mahkamah, yang hanya bisa menangani kasus dimana ditemukan bukti yang terjadi

merupakan kebijaksanaan yang direncanakan. Mereka lebih lanjut menegaskan bahwa

rangkaian aksi yan meluas yang berupa pembunuhan dan pembasmian sudah cukup

untuk mendukung yuridiksi mahkamah.

Kompromi yang dicapai adalah “luas atau sistematik”, namun ditegaskan

dengan “serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil” berarti

serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda sesuai dengan atau

sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan

tersebut” (Pasal 7 ayat 2.a). Sayangnya, pernyataan bahwa serangan sebagai kelanjutan

dari sebuah kebijakan secara efektif berarti bahwa tindak kejahatan tersebut haruslah

sistematik. Statuta juga mesyaratkan adanya saksi individu yang berkaitan dengan

serangan menimbulkan segesti bahwa pelaku individual haruslah mengerti tentang

kebijakan yang bersangkuan untuk bisa dinyatakan bersalah. Persyaratan ini sebetulnya

merupakan kemunduran dilihat dari standar hukum internasional yang selama ini diakui

dan dipakai, dan secara signifikan membatasi yuridiksi Mahkamah atas jenis kejahatan

ini. Hasil penting lain dari Konferensi Roma ini adalah pencantuman secara ekspilit

bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap

(36)

kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari

kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (Pasal 7 ayat 1.b ) (Pasal 8 ayat

2.b.xxii ) (Pasal 8 ayat 2.e.vi ). Statuta tidak berbeda substansi dengan yang terkandung

dalam hukum internasional yang ada dalam ini. Pencantuman secara detail dan ekspilit

tindakan kejahatan seksual ini dalam yuridiksi Mahkamah, merupakan sebuah

penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam

situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian

internasional.

4. Kejahatan Perang

Statuta Roma memberikan kepada mahkamah yuridiksi atas kejahatan perang

baik yang dilakukan dalam konflik internasional maupun internal (Pasl 8 ayat 2).

Dimasukkannya konflik internal dalam yuridiksi mahkamah sangatlah vital, karena

kebanyakan konflik kejahatan yang terjadi di dunia dewasa ini terjadi dalam batas-batas

suatu negara. Terjadi kompromi untuk tidak mengikutsertakan sejumlah tindak

kejahatan yang sebenarnya merupakan pelanggaran serius dalam konflik bersenjata

intenal. Misalnya saja menimbulkan secara sengaja kelaparan penduduk sipil sebagai

salah satu metode memenangkan perang. Ada beberapa upaya yang terus dilakukan

dalam seminggu terakhir pembahasan oleh beberapa negara untuk membatasi lebih

banyak lagi jangkauan kejahatan di dalam konflik bersenjata internal atau mengusulkan

ambang yang menyulitkan mahkamah dalam menerapkan yuridiksinya. Untung saja

upaya-upaya ini tidak berhasil. Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma tentang

kejahatan di dalam konflik bersenjata internal harus melalui berbagai argumen sekedar

untuk menentukan apakah suatu kejahatan tertentu perlu diatur dalam hukum

(37)

“Mahkamah mempunyai yuridiksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya

apabila dilakukan sebagai suatu bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai

bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut” (Pasal 8

ayat 1). Pernyataan ini merupakan sebuah kompromi antara mereka yang menginginkan

mahkamah untuk mempunyai yuridiksi hanya ketika sebuah kejahatan perang

merupakan bagian dari suatu rencana atau bagian dari suatu pelaksanaan yang luas

sifatnya, dengan mereka yang menginginkan tidak adanya prasyarat sama sekali. Kata

“sebagai suatu bagian” dianggap membatasi yuridiksi mahkamah, namun juga memberi

jalan pada mahkamah untuk melakukan suatu tindakan jika keadaan memungkinkan,

meskipun tidak ada bukti bahwa ada rencana atau ada pelaksanaan kejahatan perang

berskala luas.

Kekecewaan timbul ketika Statuta mencantumkan bahwa perintah atasan dapat

digunakan sebagai pembelaan atas tuduhan kejahatan perang. Jika Nuremberg memang

benar-benar berarti, ialah bahwa kalimat “saya cuma mengikuti perintah” tidak bisa

dijadikan sebuah alasan untuk melakukan kejahatan perang. Bahkan Statuta Pengadilan

bagi Yugoslavia dan Rwanda menyatakan dengan tegas bahwa perintah atasan tidak

dapat membebaskan seorang individu dari tanggung jawabnya.

Di bawah Statuta Roma, seorang tertuduh dapat menghindar dari tanggung

jawab pidananya dengan menunjukkan bahwa ia terikat oleh kewajiban hukum untuk

mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar

hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum (Pasal 33). Statuta Roma ini

justru menyimpang dari Piagam Nuremberg dan statuta-statuta pendirian Peradilan Hak

Asasi Manusia internasional yang pernah ada, dengan membuatnya semakin sulit untuk

(38)

Isu politis yang sentral yang dibahas dalam minggu terakhir Konferensi adalah

bagaimana persidangan mahkamah bisa”dipicu”. Ada kesepakatan yang meluas bahwa

negara pihaklah yang seharusnya dapat merujuk suatu keadaan tertentu pada

mahkamah. Tapi ada juga debat yang a lot mengenai apakah Dewan Keamanan

sebaiknya dapat merujuk suatu keadaan tertentu, dan apakah jaksa penuntut dapat

berinisiatif melakukan suatu penyelidikan atas mosinya sendiri.103

5. Jaksa Penuntut Umum

Salah satu yang

paling kuat menentang kewenangan Dewan Keamanan ini adalah India, Yang

beragumen bahwa Dewan Keamanan hendaknya tidak mempunyai peranan apapun

dalam operasional mahkamah. Dalam penjelasannya ketika memberikan suara

menantang, India menambahkan bahwa “pemberian peran kepada Dewan Keamanan

yang tercantum dalam Statuta melanggar hukum internasional”. Dewan Keamanan juga

mempunyai wewenang utuk menunda penyelidikan atau penuntutan sampai selama dua

belas bulan dan dapat diperbaharui kembali (Pasal 16).

Statuta Roma juga mengijinkan jaksa penuntut menginisiasi sebuah

penyelidikan atas mosinya sendiri (propio motu). Para pendukung pengadilan yang propio motu merupakan sumbangan yang esensial bagi penyerahan Dewan Keamanan

dan Negara Pihak. Meskipun penyerahan semacam itu penting artinya, tapi tidak akan

tindakan pidana intrnasional. Dewan Keamanan merupakan sebuah badan politis yang

seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Sementara para negara

seringkali segan untuk mengajukan pengaduan jika berkaitan dengan kedaulatan negara

lain, terutama jika bisa merusak hubungan diplomatik dan ekonomi, atau jika bisa

mengundang pengaduan balasan. Konsekuensinya jaksa penuntut yang independen

103

(39)

sangat penting artinya jika kasus yang ditangani ada dalam situasi tindak kriminal yang

sangat keji dimana keamanan politik untuk memprosesnya sangatlah kurang.

Statuta Roma sangatlah membatasi hak propio motu jaksa penuntut. Sebelum

seorang penuntut bisa memulai inisiatifnya, ia harus menyakinkan terlebih dahulu

dewan hakim bahwa “ada suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkan dengan

penyelidikan dan bahwa kasus itu tampak masuk ke dalam yuridiksi mahkamah” (Pasal

15 ayat 4). Jaksa penuntut juga harus menghormati penyelidikan yang dilakukan oleh

otoritas nasional, kecuali jika dewan hakim memutuskan bahwa otoritas yang ada

benar-benar tidak berniat atau tidak mampu melakukan penyelidikan atau penuntutan

(Pasal 17 dan 18). Tambahan lainnya : Mahkamah dan Jaksa Penuntut harus menunda

proses sampai masa 12 bulan dan bisa diperpanjang, jika Dewan Keamanan

memintanya (Pasal 16). Terakhir Jaksa Penuntut dibatasi hak inisiatifnya hanya pada

kasus-kasus yang terjadi dalam wilayah negara yan telah menerima yuridiksi

Mahkamah, atau tindakan dilakukan oleh negara tersebut. Berbagai sistem dan prosedur

bisa dikembangkan demi penanganan informasi pengaduan yang adil dan efisien.

Bahkan jika sang Jaksa Penuntut memang menerima banyak sekali pengaduan,

kenyataan bahwa subyek yuridiksi Mahkamah yang dibatasi bisa menyediakan

“saringan” yang efektif yang akan menyaring limpahan pengaduan tersebut. Lebih

lanjut, prakondisi yang dibutuhkan untuk menjalankan yuridiksi Mahkamah juga

berperan sebagai mekanisme penyaring. Dan terhadap bahaya “pengambilan keputusan

politik” cara paling pasti untuk menghindari hal tersebut adalah mekanisme yang ada

dalam statuta : Jaksa Penuntut yang independen yang tunduk pada sudut pandang

hukum, hanya menangani tindak kejahatan sebagaimana yang telah dijelaskan secara

(40)

Dibawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah situasi yang

melibatkan wilayah atau bagsa dari suatu negara yang menjadi Pihak dalam Piagam

PBB, sebagaimana Dewan Keamanan juga mempunyai otoritas untuk

menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari motu

oleh Jaksa Penuntut sangatlah dibatasi dengan tegas. Jika “picu” tersebut telah

menerima yuridiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu sendiri (Pasal 12

ayat 2). Sebuah negara dinyatakan menerima yuridiksi Mahkamah jika ia telah

meratifikasi Statuta meskipun negara tersebut dapat menunda penerimaanya atas

yuridiksi kejahatan perang selama tujuh tahun (Pasal 124) atau dengan cara

menandatangani deklarasi ad hoc yang menyatakan menerima otoritas Mahkamah

(Pasal 12 ayat 1 dan 3). Banyak atau bisa dibilang kebanyakan negara yang

diwilayahnya banyak terjadi tindak kejahatan sebagimana yang termasuk dalam

yuridiksi Mahkamah, atau yang warga negaranya cenderung bertanggung jawab atas

kejahatan-kejahatan tersebut bukanlah yang termasuk pertama-tama menandatangani

Statuta Roma ini. Prokondisi berkaitan dengan wilayah dan kewarganegaraan ini

mengandung arti bahwa untuk beberapa tahun tampaknya Mahkamah Pidana

Internasional akan menjadi Mahkamah-nya Dewan Keamanan Harapan kelompok

pembela Hak Asasi Manusia dan penduduknya adalah pada akhirnya bisa tercapai

sebuah kesepakatan universal, yang memungkinkan Mahkamah “melayani” generasi

mendatang sebagai institusi peradilan yang independen dan efektif.

Ada dukungan yang luas dalam Konferensi ini untuk mengikutsertakan

negara-negara yang persetujuannya dianggap dapat memberi dasar bagi yuridiksi Mahkamah.

Negara yang sedang melakukan penahanan terhadap tersangka dan negara dimana

korban adalah warganya. Tekanan dari Amerika Serikat dan negara-negara kuat

(41)

hanya sekedar mendekati. Jika mengikutsertakan kesepakatan yang hanya sekedar

tersangka kejahatan dalam yuridiksi Mahkamah secara signifikan akan meluaskan

jangkauan Mahkamah. Dalam Statuta yang sekarang ini, Mahkamah tidak mempunyai

kuasa untuk menuntut dan memproses seorang individu yang dituduh melakukan

genocide yang sedang berada dalam tahanan di sebuah negara penandatangan. Ini

sekaligus juga meniadakan beberapa dasar yuridiksi yang lain. Mengikutsertakan

negara dimana korban menjadi warganya, juga akan meluaskan jangkauan Mahkamah.

Yang utama adalah memberi perlindungan lebih kepada tentara penjaga perdamaian

yang berasal dari negara peratifikasi yang sedang melakukan misis non peratifikasi.

Mahkamah akan bisa menerapkan yuridiksinya atas kejahatan perang yang menimpa

pasukan penjaga perdamaian walupun terjadi di wilayah sebuah negara atau dilakukan

oleh warga negara yang paling kukuh membatasi jangkauan yuridiksi Mahkamah justru

mereka yang menyatakan perhatiannya pada hubungan antara Mahkamah dengan

pasukan penjaga perdamaian internasional.

Kelompok pembela Hak Asasi Manusia beragumen bahwa prinsip

“yuridiksi universal” haruslah melekat pada Mahkamah. Yuridiksi universal adalah

sebuah prinsip hukum internasional yang telah diterima secara luas yang menyatakan

bahwa negara manapun dapat menuntut para pelaku genocide, kejahatan terhadap

kemanusiaan, dan kejahatan perang, tanpa perlu memperdulikan batas-batas wilayah

dan kewarganegaraan. Sebagai contoh praktis kemampuan Mahkmah untuk

menentukan kejahatan apa saja yang masuk dalam yuridiksinya akan bisa ditingkatkan

jika diberi yuridiksi universal. Tidak perlu banyak komentar kiranya, Statuta ini

akhirnya dengan prokondisi yang “ketat” untuk penerapan yuridiksinya, merefleksikan

(42)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Momentum Reformasi nasional menjadi titik tolak penegakan hukum yang

berwawasan gender secara lebih bersungguh-sungguh. Proses penegakan hukum

yang dilakukan oleh berbagai institusi penegakan hukum telah berupaya

mengimplementasikan kebijakan berwawasan gender sesuai dengan situasi dan

kondisi yang terdapat di dalam lembaga itu. Hingga kini masih terdapat

kekurangan dalam proses implementasi kebijakan berwawasan gender yang

disebabkan keterbatasan jumlah sumber daya manusia pelaksana di dalam

lembaga penegakan hukum tertentu seperti pengadilan.

2. Sebagaimana kita ketahui bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan

musuh seluruh umat manusia (hostis humanis generis) dan penuntutan terhadap pelakunya merupakan kewajiban seluruh umat manusia (obligatio erga omnes). Kelemahan yang dimiliki dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang ditujukan untuk

mengadili kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, utamanya

kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, haruslah segera

diperbaiki.

3. Upaya memperbaiki kerangka normatif UU No. 26 Tahun 2000 yang kurang

lengkap, berbeda dan tidak memenuhi standar hukum internasional, menjadi

penting dan mendesak sebagai salah satu mendorong penegakan hukum atas

kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia. Secara khusus, perlu diatur lebih

jelas dan tegas pasal “residual category” mengenai “other inhumane acts”

Referensi

Dokumen terkait

Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan putusan tersebut belum juga dilaksanakan oleh para pihak yang berkewajiban melaksanakan putusan itu, maka ketua Badan Arbitrase

Dan dari uji signifikansi hasil penelitian ini dengan nilai t-hitung 0.14 dan nilai t-tabel 2.10 yang berarti apabila t- hitung lebih kecil dibandingkan t-tabel

Berdasarkan penguraian singkat di atas tersebut maka bukan tidak mungkin korporasi juga dapat bertindak sebagai pembantu tindak pidana dalam hal pelaku kejahatan perang

Ibid, hlm.. mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah. Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena