• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PERNIKAHAN SIRRI DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI

HUKUM ISLAM

TESIS

Oleh

NETTI

097011068/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ANALISIS YURIDIS PERNIKAHAN SIRRI DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI

HUKUM ISLAM

TESIS

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Magister Kenotariatan dalam Program Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NETTI

097011068/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

Judul Tesis : Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

Nama : Netti

Nim : 097011068

Program Studi : Magister Kenotariatan (MKn)

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS) Ketua

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Phd) (Chairani Bustami,SH, Spn, Mkn) Anggota Anggota

Ketua Program

Magister Kenotariatan Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN) Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 21 Desember 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS.

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA.Ph.D. 2. Chairani Bustami, SH, SpN., M.Kn

(5)

ABSTRAK

Dalam masyarakat Indonesia Salah satu bentuk Perkawinan yang dikenal adalah Nikah Sirri yaitu nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ada yang dicatat tapi disembunyikan dari masyarakat dan ada juga yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah (PPN) dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah seperti ini tidak sesuai dengan hadis rasul dimana rasul menyuruh masyarakat yang menikah untuk mengumumkan pernikahannya dengan walimah (kenduri/syukuran). Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah: Bagaimana Kedudukan Pernikahan Sirri menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bagaimana Akibat Hukum Pernikahan Sirri ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bagaimana Fungsi dan Sikap Pengadilan Agama Kelas 1 A Medan Terhadap Nikah Sirri.

Hasil Penelitian yang dipaparkan pada kesimpulan dan Saran Akibat Hukum Pernikahan Sirri yang tidak dicatatkan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka terhadap perkawinan Sirri yang tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak sah. Nikah Sirri pada prinsipnya pernikahan tidak resmi tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku, termasuk kepada Nikah di bawah Tangan, tetapi apabila di catat oleh pejabat yang berwenang, maka sifat sirrinya hilang. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 memberi kelonggaran pada Pasal 2 apabila suatu pernikahan memenuhi syarat, rukun dan ketentuan agama maka suatu pernikahan adalah sah. Disamping itu Kedudukan Pernikahan Sirri menurut Kompilasi Hukum Islam, Pasal 4 KHI menyebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akibat Hukum Pernikahan Sirri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Nikah sirri yang tidak tercatat pada Pejabat Pencatat Nikah (PPN) atau tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) dan apabila tidak memenuhi syarat dan rukun pernikahan menurut agama, maka pernikahan tersebut tidak mempunyai kekuatan legal formal, dan tidak ada akibat hukum, Nikah Sirri dapat merugikan istri dan anak, Fungsi dan Sikap Pengadilan Agama Kelas 1 A Medan Terhadap Nikah Sirri, Sikap Pengadilan Agama apabila tidak ada buku nikah maka Pengadilan Agama tidak dapat memproses persidangan kecuali pemohon mengajukan permohonan Isbat (pengesahan pernikahan) dulu untuk permohonan Sidang cerai dan keperluan lain bagi perkawinan Sirri yang tidak dicatat.

(6)

ABSTRACT

In Indonesia, one of the forms of marriage done in the community is Nikah Sirri. Nikah Sirri is a marriage done underhanded. Some of the Nikah Sirri are registered but not exposed to the public and some are not registered to the Marriage Registrar (PPN) at the Office of Regious Affairs (KUA). Though Nikah Sirri is commonly practiced.it is not accordance with the Hadits of Muhammad SAW who requires that who gets married announce their marriage through a walimah (feast).What is deliberately hidden has problems. The problemmay be in those who get married or there is a legal procedure that they do not meet.

This study discussed the position of Nikah Sirri according to law No. 1/1974 on Marriage, the legal consequence of Nikah Sirri viewed from law No. 1/1974 on Marriage and the Compilation of Islamic Laws, and the function and attitude of Religious Court Class 1A Medan towards Nikah Sirri.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Analisis Yuridis Pernikahan Sirri di Tinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam”. Penulisan tesis ini adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril yaitu berupa masukan dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan tepat waktu, oleh sebab itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.

(8)

5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.

6. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA.Ph.D, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.

7. Ibu Chairani Bustami, SH., SpN., M.Kn, selaku Dosen pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.

8. Bapak dan Ibu Staf Pengajar dan Staf Pegawai/karyawan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama menuntut ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Teman-teman penulis angkatan 2009 khususnya Rismawati Siahaan SH, M.Kn

dan Maymunah, SH., M.Kn pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selama ini telah bersama dalam suka dan duka dalam menjalani perkuliahan, saling memotivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Teristimewa dengan tulus hati penulis ucapkan terima kasih kepada Suami tercinta Ir. H. Dirjam Angkasah M. Si yang telah memberikan perhatian, dorongan dan semangat kepada penulis agar menyelesaikan studi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini juga penulis menghaturkan sujud dan terima kasih kepada Kedua orang Tua Ayahanda M. Jito Saleh dan Ibunda Wagiah serta

(9)

Fadhillah Hafsah & M. Raihan yang turut memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, masih memiliki kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan maupun substansi, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk penyempurnaan tesis ini.

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat sebutkan satu persatu penulis ucapkan terima kasih atas kebaikan, dukungan serta doa kepada penulis selama proses penulisan tesis ini. Semoga tesis ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Desember 2011

Penulis

(NETTI)

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. DATAPRIBADI

Nama : NETTI

Tempat/Tgl Lahir : Medan / 27 April 1967 Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Status : Kawin

Agama : Islam

Alamat : Jl. Karya Wisata Complex Citra Wisata Blok 7 No. 59.

II. KELUARGA

Nama Ayah : M. Jito Saleh

Nama Ibu : Wagiah

Nama Suami : Ir. H. Dirjam Angkasah M.Si

III.PENDIDIKAN

SD Marindal Medan Tamat Tahun 1980

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 10

1. Kerangka Teori... 10

2. Kerangka Konsepsional... 16

G. Metode Penelitian ... 18

1. Spesifikasi Penelitian... 18

2. Sumber Data... 19

(12)

4. Analisis Data... 21

BAB II.KEDUDUKAN NIKAH SIRRI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA INDONESIA DAN SIKAP PENGADILAN AGAMA TERHADAP NIKAH SIRRI... 22 A. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974... 22 B. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia... 29 C. Sikap Pengadilan Agama Terhadap Nikah Sirri... 50 BAB III AKIBAT HUKUM PERNIKAHAN SIRRI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM... 53

A. Akibat Hukum Pernikahan Sirri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974... 53

B. Akibat Hukum Pernikahan Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam... 58

C. Anak yang lahir dari nikah siri tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya... 60

D. Usaha untuk mendaftarkan Nikah Sirri... 65

BAB IV FUNGSI DAN SIKAP PENGADILAN AGAMA TERHADAP NIKAH SIRRI... 67

A. Tugas dan Fungsi Pengadilan Agama... 67

B. Usaha untuk Menghindari terjadinya Nikah Sirri... 72

C. Kasus-Kasus Nikah Sirri... 76

D. Sikap Pengadilan Agama Menghadapi Kasus Nikah Sirri... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 85

A. Kesimpulan... 85

B. Saran... 88

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Permohonan Isbat Nikah...94

Lampiran 2 : Surat Penetapan Isbat Nikah………...……..….96

Lampiran 3 : Surat Penetapan sidang………..…………..97

(14)

ABSTRAK

Dalam masyarakat Indonesia Salah satu bentuk Perkawinan yang dikenal adalah Nikah Sirri yaitu nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ada yang dicatat tapi disembunyikan dari masyarakat dan ada juga yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah (PPN) dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah seperti ini tidak sesuai dengan hadis rasul dimana rasul menyuruh masyarakat yang menikah untuk mengumumkan pernikahannya dengan walimah (kenduri/syukuran). Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah: Bagaimana Kedudukan Pernikahan Sirri menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bagaimana Akibat Hukum Pernikahan Sirri ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bagaimana Fungsi dan Sikap Pengadilan Agama Kelas 1 A Medan Terhadap Nikah Sirri.

Hasil Penelitian yang dipaparkan pada kesimpulan dan Saran Akibat Hukum Pernikahan Sirri yang tidak dicatatkan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka terhadap perkawinan Sirri yang tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak sah. Nikah Sirri pada prinsipnya pernikahan tidak resmi tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku, termasuk kepada Nikah di bawah Tangan, tetapi apabila di catat oleh pejabat yang berwenang, maka sifat sirrinya hilang. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 memberi kelonggaran pada Pasal 2 apabila suatu pernikahan memenuhi syarat, rukun dan ketentuan agama maka suatu pernikahan adalah sah. Disamping itu Kedudukan Pernikahan Sirri menurut Kompilasi Hukum Islam, Pasal 4 KHI menyebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akibat Hukum Pernikahan Sirri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Nikah sirri yang tidak tercatat pada Pejabat Pencatat Nikah (PPN) atau tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) dan apabila tidak memenuhi syarat dan rukun pernikahan menurut agama, maka pernikahan tersebut tidak mempunyai kekuatan legal formal, dan tidak ada akibat hukum, Nikah Sirri dapat merugikan istri dan anak, Fungsi dan Sikap Pengadilan Agama Kelas 1 A Medan Terhadap Nikah Sirri, Sikap Pengadilan Agama apabila tidak ada buku nikah maka Pengadilan Agama tidak dapat memproses persidangan kecuali pemohon mengajukan permohonan Isbat (pengesahan pernikahan) dulu untuk permohonan Sidang cerai dan keperluan lain bagi perkawinan Sirri yang tidak dicatat.

(15)

ABSTRACT

In Indonesia, one of the forms of marriage done in the community is Nikah Sirri. Nikah Sirri is a marriage done underhanded. Some of the Nikah Sirri are registered but not exposed to the public and some are not registered to the Marriage Registrar (PPN) at the Office of Regious Affairs (KUA). Though Nikah Sirri is commonly practiced.it is not accordance with the Hadits of Muhammad SAW who requires that who gets married announce their marriage through a walimah (feast).What is deliberately hidden has problems. The problemmay be in those who get married or there is a legal procedure that they do not meet.

This study discussed the position of Nikah Sirri according to law No. 1/1974 on Marriage, the legal consequence of Nikah Sirri viewed from law No. 1/1974 on Marriage and the Compilation of Islamic Laws, and the function and attitude of Religious Court Class 1A Medan towards Nikah Sirri.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebuah masyarakat di negara manapun adalah kumpulan dari beberapa keluarga. Apabila keluarga sehat dan kokoh, maka masyarakat akan bersih, kokoh, dan selamat bangunannya. Namun bila keluarga rapuh, maka rapuhlah masyarakat, dan negara sebagai konsekuensi logisnya.1

Apabila rumah tangga muslim dibangun dengan landasan taqwa, maka tolak ukur rabbani dan adab-adab Islam akan menjadi pemandu dan pengendali langkah dalam membangun keluarga, mulai dari lamaran dan akad nikah. Cara pandang Islami yang benar akan mendominasi perkawinan dan kehidupan rumah tangga.2

Dalam masyarakat setiap bangsa, penilaian yang umum, bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin. Dalam Agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci.3

Pasal 4 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tentang Perkawinan disebutkan

1 Syaikh Mushthafa Mansyhur, “Fiqh Dakwah Edisi Lengkap”, Cetakan Ketiga, (Jakarta:

Al-Itisom Cahaya Umat, 2005), hal. 574.

2 Syaikh Mushthafa Mansyhur. Ibid. hal. 576.

3 Mardani, “Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern”, (Jakarta: Graha Ilmu, 2011),

(17)

“Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.4 Hal ini berarti bahwa Kompilasi Hukum Islam sudah

mengakomodasi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, walaupun Kompilasi Hukum Islam sudah menjadi kesepakatan tentang kekuatan mengikatnya.

Dalam kehidupan manusia didunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi.5

Manusia ingin selalu hidup bersama antara orang yang satu dengan orang yang lainnya. Kehidupan bersama ini bisa dalam bentuk keluarga, masyarakat maupun negara. Keluarga merupakan lingkungan yang paling kecil dari suatu masyarakat dan negara. Pembentukan suatu keluarga ini harus dilakukan melalui ikatan perkawinan yang sah. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6

4 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

5 Juliani, “Akibat Hukum dari Suatu Perkawinan yang tidak didaftarkan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974” (Suatu Kajian Lapangan di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh), Tesis, Medan: Sekolah Pasca Sarjana USU, 2002, hal.20.

(18)

Perkembangan manusia sejak manusia pertama adalah disebabkan oleh perkawinan, kemungkinan adanya manusia tanpa kawin dapat terjadi tetapi perkembangan tanpa kawin tidak mempunyai peradaban, tanpa kerukunan tanpa mempunyai perasaan untuk menghormati kewajiban sendiri dan kewajiban orang lain".7

Dari rumusan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, jelas bahwa perkawinan itu tidak hanya merupakan ikatan lahir saja, ataupun ikatan batin saja, akan tetapi ikatan kedua-duanya sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan batin yang merupakan pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.8

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat.

Dalam Masyarakat Indonesia Salah satu bentuk Perkawinan yang dikenal yang disembunyikan adalah Nikah Sirri. Nikah Sirri adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ada yang dicatat tapi disembunyikan dari masyarakat dan ada juga yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah (PPN) dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah Sirri lazim disebut juga dengan nikah di bawah tangan.9 Nikah seperti ini tidak sesuai dengan hadis rasul dimana rasul

menyuruh masyarakat yang menikah untuk mengumumkan pernikahannya dengan walimah (kenduri/syukuran).

7 Juliani, Ibid. hal.21.

8 Pasal 1 Undang-undang Nomor l Tahun l974 Tentang Perkawinan LN 1974/1, TLN NO. 3019. 9 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogjakarta: Graha Ilmu, 2011),

(19)

Dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia terdapat perkawinan secara Sirri. Nikah Sirri dapat berbentuk dua macam:

1. Nikah yang tidak tercatat di kantor pencatat Nikah,

2. Nikah yang dicatat tetapi di sembunyikan dari orang lain, karena khawatir terganggu bagi keluarganya.

Sebab-sebab terjadinya Nikah Sirri: 1) Tidak ada biaya,

2) Karena perkawinan di bawah umur, 3) Karena poligami.10

Hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). untuk dapat terjadinya tindakan/perbuatan hukum atau akad yang mempunyai akibat hukum, orang yang melakukannya harus cakap dan mempunyai kekuasaan untuk melakukannya, Faturrahman Djamil dalam tulisannya yang berjudul hukum perikatan syariah mengemukakan bahwa hal-hal yang harus di perhatikan dalam membuat perjanjian adalah sebagai berikut:

1. Dari segi subjek aqad atau para pihak.

a. Para pihak harus cakap melakukan perbuatan hukum, artinya orang dewasa dan bukan mereka yang secara hukum berada dibawah pengampuan atau perwalian, seseorang yang dibawah pengampuan atau perwalian, didalam melakukan perjanjian wajib diwakili oleh wali atau pengampunya.

(20)

b. Identitas para pihak dan kedudukannya masing-masing dalam perjanjian harus jelas, apakah bertindak untuk diri sendiri atau mewakili sebuah badan hukum. c. Tempat dan saat perjanjian dibuat, untuk kebaikan, seyogyanya harus

disebutkan dengan jelas dalam aqad. 2. Dari Segi Tujuan dan Objek Aqad.

disebutkan secara jelas tujuan dari dibuatnya akad tersebut, misalnya perjanjian dan perkawinan. Sekalipun diberikan kebebasan dalam menentukan objek aqad,

namun jangan sampai menentukan suatu objek yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam atau ‘urf (kebiasaan/kepatutan) yang sejalan dengan ajaran Islam, dengan kata lain objek akad harus halal dan tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah.

Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Secara definisi, rukun adalah ”suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu”. Definisi syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.11

Bila terjadi perkawinan yang diakui oleh undang-undang maka akan di berikan akta nikah.

11 Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,

(21)

Perkawinan yang tidak bermasalah adalah perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi orang Islam, perkawinan yang tidak bermasalah itu adalah perkawinan yang diselenggarakan menurut hukum Islam seperti disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dicatat, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Perkawinan yang dilakukan di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebiasaan tersebut di atas dapat dikatagorikan sebagai perkawinan rahasia atau yang dirahasiakan yang menyimpan masalah. Masalah itu akan menimpa orang yang bersangkutan, mungkin juga mengenai anak-anak yang lahir dari perkawinan bermasalah itu kelak. Kalau, misalnya, tidak ada bukti otentik yang menyatakan bahwa mereka telah nikah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan masalah yang dirahasiakan itu muncul kepermukaan kemudian menurut hukum yang berlaku bagi umat Islam Indonesia.

Namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang melakukan Nikah Sirri tanpa mempertimbangkan aspek dan akibat hukum bagi suami dan istri, hubungan mewarisi bagi anak dan bapaknya.

(22)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah:

1) Bagaimana Kedudukan Pernikahan Sirri menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?

2) Bagaimana Akibat Hukum Pernikahan Sirri ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?

3) Bagaimana Fungsi dan Sikap Pengadilan Agama Kelas 1 A Medan Terhadap Nikah Sirri?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Kedudukan Pernikahan Sirri menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui Akibat Hukum Pernikahan Sirri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

(23)

D. Manfaat Penelitian

Dari pembahasan permasalahan dalam kegiatan penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktek.

1. Secara Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dibidang hukum, khususnya hukum Perkawinan di Indonesia spesifiknya aspek hukum nikah sirri di Indonesia.

2. Secara praktek, hasil penelitian ini diharapkan dapat, yaitu Memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat mengenai segi hukum Pernikahan Sirri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, khususnya pada perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan, penelitian mengenai Analisis Yuridis Pernikahan Sirri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam belum ada yang meneliti, akan tetapi dapat penulis paparkan beberapa Peneliti terdahulu yang berkaitan dengan judul tesis penulis, Oleh:

(24)

1974 (Suatu Kajian Lapangan di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh)”, Permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah:

1) Apakah Faktor Penyebab terjadinya Perkawinan yang tidak didaftarkan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

2) Bagaimana keabsahan dari suatu perkawinan yang tidak didaftarkan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

3) Bagaimanakah akibat hukum terhadap anak dan harta Perkawinan dari suatu perkawinan yang tidak didaftarkan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Mega Magdalena, NIM: 017011040 Judul yang diangkat:” Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)”, Permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah:

1) Bagaimana Fungsi Pencatatan Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2) Bagaimana akibat hukum Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

3) Bagaimana Sikap Hakim Pengadilan Agama Medan terhadap Status Hukum Perkawinan yang Tidak dicatat.

(25)

1) Bagaimana Kedudukan Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2) Bagaimana Kedudukan Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam.

3) Bagaimana akibat Hukum yang Timbul dari Pelaksanaan Perjanjian Perkawinan dan Penyelesaiannya.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala spesifik atau proses sesuatu terjadi, dan teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.12

Mengenai konsep teori M. Solly Lubis yang mengatakan:

“Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti.13

Landasan teori ini dibuat agar pada waktu penelitian ini di buat tidak salah arah jadi landasan teori ini berfungsi untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjalankan gejala yang diamati, karena penelitian ini adalah penelitian hukum.

(26)

Teori sendiri merupakan serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atas suatu gejala. Dengan demikian teori adalah : “Seperangkat prosisi yang bersisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut”.14

Teori atau kerangka teori memiliki beberapa kegunaan yaitu sebagai berikut: 1. untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak

diselidiki atau diuji kebenarannya;

2. untuk mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memngembangkan definisi-definisi;

3. merupakan suatu ikhtisar dari hal-hal yang telah dilakukan serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

4. memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa yang akan datang;

5. memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.15

Allah telah menetapkan syariat peraturan-peraturan yang terdapat dalam Al-Quran sebagai undang-undang dasar yang bersifat komprehensif dan universal, sebagaimana dalam Al-Maidah ayat 3 yang artinya16:

Pada hari ini, Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan

bagimu nikmatku serta Aku rela Islam menjadi agama bagimu.

14 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Peneltian, PT. Gramedia,

Yogyakarta, 1989, hal. 19.

15 Soerjono Soekanto, Op cit, hal. 121.

(27)

Al-Quran An-Nahl:44 yang artinya17:

Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada

umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka

memikirkan.

Al-Quran An-Nahl 64 yang artinya18:

Dan kami menurunkan kepadamu kitab Al-Quran ini, melainkan agar kamu

dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi

petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Selain itu dalam menganalisis tesis ini, juga cenderung digunakan teori sistem yang dikemukakan Mariam Darus Badrulzaman, adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.19 Hal

yang sama juga dikemukakan Sunaryati Hartono, bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.20 Jadi, dalam sistem hukum

terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.

Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

17 Al-Quran Surat An-Nahl ayat 44. 18 Al-Quran Surat An-Nahl ayat 64.

19 Mariam Darus Badrulzaman, “Mencari Sistem Hukum Benda Nasional” Bandung: Alumni,

1983), hal. 15. Bandingkan, Mahadi, Falsafat Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal. 119, menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.

20 C.F.G. Sunaryati Hartono, “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”,(Bandung:

(28)

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: pertama digunakannya kata "seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.22

Kedua: digunakannya ungkapan "sebagai suami istri" mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah "hidup bersama".23

Ketiga: dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut'ah dan perkawinan tahlil.

Keempat: disebutkannya berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

Defenisi Perkawinan:

21 Mardani, “Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogjakarta: Graha Ilmu, 2011,

hal. 5.

(29)

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: Bab I Pasal 1 Perkawinan adalah: Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.24

2) Kompilasi Hukum lslam lndonesia Pasal 2 Bab 2 KHI memberikan definisi lain namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut:

Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat

atau miitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.25

Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan "berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" dalam Undang-Undang. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat lslam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.

Di samping perkawinan itu merupakan suatu perbuatan ibadah, perempuan yang sudah menjadi istri itu merupakan amanah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik. Dan ia diambil melalui proses keagamaan dalam akad nikah.26

24 Pasal 1 Bab I Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 25 Pasal 2 Bab 2 Kompilasi Hukum Islam.

(30)

Jika kedua rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan di atas dicermati dengan seksama, terdapat garis perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan yang dimaksudkan ialah:27

Pertama, dalam rumusan undang-undang, tercermin keharusan ada ijab-kabul ('aqdun-nikah) pada sebuah perkawinan seperti tersurat dalam anak kalimat: "lkatan lahir-batin". Sedangkan Kompilasi Hukum lslam meskipun di dalamnya disebutkan kata "akad yang sangat kuat," lebih mengisyaratkan pada terjemahan kata-kata

mitsaqan ghalizhan yang terdapat sesudahnya yang tidak menggambarkan pengertian pernikahan, akan tetapi lebih menunjukkan kepada sebutan atau julukan lain dari sebutan akad nikah yaitu perjanjian yang sangat kuat.

Kedua, kata-kata:" antara seorang pria dengan seorang wanita", menafikan kemungkinan ada perkawinan antara sesama pria (gay) atau antara sesama wanita (lesbian) dinegara hukum lndonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara lain beberapa tahun terakhir ini. Diantaranya ialah Negara-negara Belanda, Belgia, dan sebagian Negara bagian Canada. Sedangkan KHI sama sekali tidak menyebutkan dua pihak yang berakad ini sungguhpun dapat diyakini bahwa KHI sangat mendukung peniadaan kemungkinan menikah antara sesama jenis yang dilarang oleh Undang-Undang Perkawinan.

Ketiga, Undang-undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yakni "membentuk keluarga (rumah-tangga) bahagia dan kekal," sementara KHI yang

(31)

memuat tujuan perkawinan secara tersendiri dalam pasal 3 lebih menginformasikan nilai-nilai ritual dari perkawinan seperti terdapat dalam kalimat: "Untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah". Padahal, rata-rata kitab hadis hukum dan fiqih memasukkan bahasan munakahat (perkawinan) dalam kitab (bab) muamalah tidak dalam kitab (bab) ibadah. Ini menunjukkan bahwa aspek muamalah dalam perkawinan jauh lebih menonjol dari pada aspek ibadah sungguhpun didalamnya memang terkandung pula nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan.

2. Kerangka Konsepsional

Guna menghindari kesalahpahaman atas berabagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut dalam suatu kerangka konsep. Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinan akan konsepnya sendiri mengenai suatu permasalahan.28

Konsep adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.29 Pentingnya definisi operasional adalah untuk

(32)

menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.30

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian pengertian hukum, kegunaannya untuk menghindari terjadinya salah penafsiran. Sehingga dianggap perlu untuk mendefenisikan beberapa konsep penelitian agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan makna topik. Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefenisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi. Oleh karena itu penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan dan kebenarannya agar dapat menjawab permasalahan penelitian, yaitu:

1. Nikah Sirri atau Perkawinan Rahasia adalah perkawinan yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain. Sesuatu yang sengaja disembunyikan, biasanya mengandung atau menyimpan masalah. Nikah Sirri ada yang dicatat dan ada juga yang tidak dicatat.

2. Pernikahan menurut Fiqih Islam, ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syari’at Islam.

30 Tan Kamelo, ”Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan

(33)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian ilmiah pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dan metode keilmuan, dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah penelitian. Langkah-langkah penelitian mencakup apa yang diteliti, bagaimana penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan.

Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas permasalahan yang dibahas, ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisi data yang berdasarkan teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.31

1. Spesifikasi Penelitian.

Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah disebutkan di muka, maka dapat dilihat bahwa sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu realitas sosial masyarakat dan mengkajinya dengan peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan.32

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan

31 Bambang Sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada),

Hal. 38.

(34)

teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.33

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan juridis normatif.34 Dengan

pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan dengan mempelajari ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan, membandingkan dengan penerapan hukum dan peraturan di dalam masyarakat, yang berkaitan dengan Pernikahan Siri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam.

2.Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dan data yang dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara.

Dalam penelitian ini bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas 3 (tiga) bagian, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan, yaitu:

1) Al-Qur’an dan Hadist,

33 Bambang Sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1997), hal. 38.

34 Ronny Hamitijo Soemitro, “Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetrii, (Jakarta: Ghalia

(35)

2) Kompilasi Hukum Islam,

3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974,

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu: a. Studi Dokumen

Studi Dokumen yakni dengan menelaah berbagai Peraturan Perundang-undangan, buku hukum atau karya ilmiah, majalah-majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini.

b. Pedoman Wawancara

Penelitian ini dilakukan dengan dengan wawancara yang menggunakan pedoman wawancara (interview). Informan yang dijadikan sebagai Nara sumber informasi pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:

1. Pakar Hukum Islam di Lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU) yaitu: 1) Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA., Ph.D.

(36)

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, yaitu metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.35

Analisis data terhadap data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pengumpulan untuk kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan kualitas dan relevansinya. Selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan evaluasi dilakukan terhadap data dengan kualitatif, secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode berfikir deduktif, suatu logika yang berangkat dari kaidah-kaidah umum ke kaidah yang bersifat khusus, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan dan hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan.36

35 Miles and Hubberman, “Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-metode Baru”, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), hal. 15.

36 Lexi J. Moloeng, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),

(37)

BAB II

KEDUDUKAN NIKAH SIRRI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974, KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN SIKAP

PENGADILANAGAMA TERHADAP NIKAH SIRRI

A. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

1. Defenisi Pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Di Indonesia peraturan tentang perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, BAB I Dasar Perkawinan Pasal 1Undang-Undang ini memberi pengertian Pernikahan/Perkawinan sebagai berikut37:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk mebentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Jadi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara 2 orang yaitu pria dan wanita, Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungannya formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita

(38)

untuk hidup bersama suami istri.38 Perkawinan barulah sah apabila dilakukan antara

seorang pria dan seorang wanita.39

Dari pengertian tersebut unsur-unsur perkawinan adalah: 1. Adanya seorang pria dan wanita;

2. Ikatan lahir dan batin;

3. Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal; 4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja.40Dalam rumusan

perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Dalam agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur Ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada tuhan sang pencipta (Allah SWT). Dengan adanya unsur

38 Tan Kamello, Hukum Perdata: Hukum Orang Dan Keluarga, (Medan, USU Press 2011)

hal. 42.

39 Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, (Medan: Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.15.

(39)

Ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata.41

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa hukum Islam sebagai rujukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan merujuk paham religius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian.

Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan, syarat-syarat materiil dan formil dalam perkawinan secara terperinci, yaitu :42

a. Syarat Materiil

Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah:

1) Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai (pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.43 dimaksudkan agar supaya setiap orang

dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam

41.Ibid.

42 Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, (Medan: Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.16.

(40)

perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam undang perkawinan, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak yang hidup patuh pada orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuannya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, undang-undang perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu di bawah ancaman yang melanggar hukum.

2) Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1)44. Ayat (2) menetapkan tentang

kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatunya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Izin kedua orang tua mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang

(41)

masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya (pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5).45

Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 6 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

b. Syarat Formil meliputi:

1. pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan,

2. pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan,

3. pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaan masing-masing

4. pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan46

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebalum perkawinan dilangsungkan, dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang

45Ibid, hal.20.

(42)

memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama istri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin (pasal 3, 4, 5 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).47

Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah/perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formil khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari ini, tanggal, jam dan tempat dilangsungkannya perkawinan (pasal 8 jo pasal 6, 7 dan 9 peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975).

2. Kedudukan Nikah Sirri menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Nikah Sirri atau perkawinan yang dirahasiakan adalah perkawinan yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain Sebagai mana wawancara penulis dengan salah seorang pelaku Nikah Sirri Mariani penyebab melakukan nikah sirri adalah karena ia, dan suaminya tidak tahu dan tidak ada biaya untuk melakukan nikah secara tercatat sesuai peraturan perundang-undangan,.48

47Ibid, hal.22.

(43)

Sebagaimana wawancara dengan pelaku Nikah Sirri yang lain bernama Sumiati alasannya melakukan nikah sirri yang tidak dicatatkan karena alasan ekonomi tidak mampu membayar biaya pencatatan pernikahan.49 Sebagaimana hasil wawancara

penulis dengan Siti pelaku nikah sirri alasannya melakukan nikah sirri adalah karena suaminya tidak ingin diketahui istri pertama, Anak-anaknya dan masyarakat umum tahu bahwa ia telah melangsungkan perkawinan.50

Di Indonesia, perkawinan yang tidak bermasalah adalah perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Bagi orang Islam, perkawinan yang tidak bermasalah itu adalah perkawinan yang diselenggarakan menurut hukum Islam seperti disebut dalam pasal (2) ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dicatat, menurut ayat (2) pasal yang sama. Setelah itu, sesuai sunnah Rasulullah, diumumkan melalui walimah supaya diketahui orang banyak.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia bersifat menentukan, apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinannya itu tidak sah, demikian juga bila tidak dicatat.

Sebagaimana wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan Agama Kelas 1 A Medan: Nikah Sirri pada prinsipnya pernikahan tidak resmi tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku, Namanya (Nikah di bawah Tangan), dan

(44)

biasanya tidak di catat oleh pejabat yang berwenang, sahnya pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila dicatat oleh pejabat yang berwenang. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak sah Nikah yang dilakukan tanpa dicatatkan pada pencatatan sipil.51

B. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

1. Defenisi Pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia

Disamping kata nikah digunakan juga kata Alzawaj secara etimologi Zawaj

berasal dari bahasa Azzawa’ju artinya (genap), lawan kata dari alfarda (sendiri, gajil), dipergunakan untuk beragam maksud. Di antaranya, Asynfu walnaw’u (jenis atau ragam). Setiap dua jenis, dua betuk, atau model yang saling berkaitan disebut Al zawjani. maka dikatakan bagi laki dan wanita (yang menikah,). Sebagai Al zawjani

(sepasang). Masing-masing pihak menjadi pasangan bagi pihak lainnya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:52

“dan bahwasanya dia-lah yang menciptakan (sesuatu) berpasang-pasangan,

yaitu laki-laki dan perempuan.”(An-Najam:45).

Selain itu ada juga kata alnikahu (pernikahan) secara etimologi mengandung pengertian Aldhammu waltadakhulu (penggabungan dan saling mengisi). Dikatakan dalam sebuah ungkapan, tanakahati al zara-u, maksudnya sebagian pohon menyatu dan menyelinap (masuk) pada sebagian lainnya. Pernikahan diistilahkan dengan

51 Hasil wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan Agama Medan pada hari

senin, tanggal 24 Oktober 2011, Pukul 13.00 WIB.

(45)

(masuk), karena memuat unsur penyatuan antara salah satu pasangan suami istri dengan pasangannya berdasarkan aturan agama islam, baik melalui persetubuhan atau akad nikah, sehingga dua pihak tersebut menjelma bak dua sisi pintu, dan sepasang sepatu. Kata nikah ini, bisa dipergukan untuk makna akad nikah, sehingga bermakna pernikahan atau juga diarahkan pada pengertian alwath-’u (hubungan badan).53

Pengertian Al zzawju (pernikahan) secara termonologi Kata Al zzawju

seperti yang telah disampaikan, merupakan bantuk sinonim kata alnikahu (nikah). Para ahli fikih mendefinisikannya dengan beragam definisi.Hal ini karena, setiap madzhab memiliki definisi khusus yang berbeda-beda. Berikut ini penjelasannya,

1. Ulama Hanafiyah mengatakan, “pernikahan adalah perjanjian yang disenggarakan untuk tujuan memperoleh kenikmatan dari wanita dengan disengaja. Maksudnya, untuk menghalalkan seorang lelaki memperoleh kesenangan (istimta’)

dari seorang wanita. Definisi ini menghindari keracuan dari akad jual beli (wanita), yang bermakna sebuah akad perjanjian yang dilakukan untuk memiliki budak wanita.54

2. Ulama Malikiyah mendefinisikan, “pernikahan adalah akad perjanjian untuk menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram, wanita ahli kitab melalui sebuah ikrar.

53Ibid, hal.16.

(46)

3. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan, pernikahan merupakan akad perjanjian yang mengandung unsur memperbolehkan persetubuhan dengan menggunakan lafazh

inkahu (aku menikahimu wahai fulan dengan fulana) atau tazawwajtu (aku mengawinkan engkau wahai fulan dengan fulanah).55

4. Ulama Hanabilah berkata, akad pernikahan maksudnya sebuah perjanjian yang didalamnya, terdapat lafazh nikah atau tazwij atau terjemahan (dalam bahasa lain) nya yang dijadikan sebagai pedoman.56

Definisi yang terbaik untuk pernikahan adalah sebagai berikut: perjanjian yang bersifat syar’i yang berdampak pada halalnya seseorang (lelaki atau perempuan), memperoleh kenikmatan dengan pasangan berupa bersetubuh badan dan cara-cara dalam bentuk yang disyaratkan, dengan ikrar tertentu secara disengaja, Begitu akad nikah usai, maka menjadi halal bagi masing-masing pihak untuk mendapatkan kenikmatan dari pasangannya dalam bingkai yang diperolehkan oleh syariat.57

Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat terperinci, untuk membawa umat manusia hidup terhormat, sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah mahkluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dengan perempuan ditentukan agar didasarkan pada rasa pengabdian kepada Allah sebagai al-Khaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya.

55Ibid.

(47)

Syarat dan Rukun Nikah menurut Hukum Islam

Bagi umat Islam disyaratkan beberapa hal yang berkenaan dengan akad nikah untuk mencapai sahnya perkawinan yaitu harus memenuhi syarat dan rukun nikah. Menurut M. Idris Ramulyo, bahwa bagi golongan muslim diberlakukan hukum perkawinan Islam seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat perkawinan,58 yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun

pernikahan itu sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan merupakan mahram dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak

berhalangan syar`i,59 jelas orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram. Syarat bagi wali diantaranya laki-laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang

melaksanakan ihram. Sedangkan saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya adil, dapat mendengar dan melihat, tidak mengerjakan ihram dan memahami bahasa yang digunakan dalam ijab-kabul.

Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut:

58 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, terjemahan Drs. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani,

1989), hal. 30-31.

59 Yang dimaksud dengan berhalangan syar`i ialah sedang tidak bersuami, bukan mahram,

(48)

Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan kepada calon mempelai pria. Lafadz yang mengikat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Ijab Qabul merupakan unsur yang paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali, dengan yang menerima akad. Berkaitan Artinya: Tidak sah nikah kecuali dengan wali.

Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 (tiga) macam:

1. Wali Nasab,

2. Wali Hakim,

3. Wali Tahkim,

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan sebagai berikut Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) Ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah sorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baligh, Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab, (b) wali hakim60.

Syarat-syarat sahnya perkawinan adalah:

1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya,

2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki,

(49)

3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini dianut kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basari, Ibn Abi Layla dan Ibn Syubrumah.61

Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut62:

1. pilihan jodoh yang tepat,

2. perkawinan didahului dengan peminangan,

3. ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, 4. perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan, 5. ada persaksian dalam akad nikah,

6. perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu, 7. ada kewajiban pembayaran mahar oleh suami,

8. ada kebebasan mengajukan syarat atau perjanjian dalam akad nikah, 9. tanggung jawab pimpinan keluarga adalah suami,

10. ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga.

Akad Nikah adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan yang dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab qabul. Ijab di ucapkan pihak wali perempuan, yang menurut kebanyakan fuqaha’ dilakukan oleh walinya (wakilnya) dan qabul adalah pernyataan manerima dari pihak mempelai laki-laki. Mas kawin tidak mesti

61 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010)

hal.58.

(50)

ada dalam akad nikah, meskipun biasanya disebut dalam akad dan disertakan pula barangnya.63Karena mas kawin adalah kewajiban suami bukan syarat sah nikah.

Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur akad nikah yaitu:

1. Mempelai laki-laki dan perempuan, 2. Wali mempelai perempuan,

3. Dua orang saksi laki-laki, 4. Ijab dan Kabul,

Seperti halnya dalam akad pada umumnya, pihak-pihak yang melakukan akad (mempelai laki-laki dan perempuan) di syaratkan mempunyai kecakapan sempurna, yaitu telah baliqh, berakal sehat dan tidak terpaksa. Orang yang kehilangan kecakapan karena gila, rusak akal atau di bawah umur tidak sah melakukan akad. Anak umur 7 tahun sampai sebelum baligh di pandang berkecakapan tak sempurna dan apabila mengadakan akad diserahkan kepada izin walinya, menurut pendapat kebanyakan fuqaha’, mempelai perempuan tidak boleh melakukan akad sendiri dan harus dilakukan oleh walinya. Selain itu ada syarat yang perlu ditambahkan, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad harus mendengar dan mengerti arti ucapan atau perkataan masing-masing. 64

Perkawinan yang mubah, adalah bahwa syarat kecakapan sempurna bagi calon mempelai diperlukan, umur yang melampaui umur baligh (15 tahun) seperti

63Ibid.50.

(51)

ketentuan undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa calon mempelai laki-laki sekurang-kurangnya mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat 1).65

Obyek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian, tetapi apa yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halal melakukan hubungan timbal balik antara suami dan istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh kerena itu diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram dinikahi oleh calon suami, atau dengan kata lain tidak terdapat larangan perkawinan antara calon-calon suami dan sitri.66

Pada dasarnya akad nikah dapat terjadi dengan menggunakan bahasa apapun yang dapat menunjukan keinginan serta dapat dimengerti pihak-pihak bersangkutan dan dapat dipahami pula oleh para saksi. Di Indonesia sering dipergunakan bahasa arab di kalangan mereka yang memahaminya dengan menggunakan kata nikah. Mempergunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah semuanya dipandang sah bila digunakan kata nikah. Selain itu pada dasarnya ijab qabul dilakukan secara lisan. Dalam hal secara lisan tidak mungkin dapat diganti dengan cara tertulis. Dalam hal secara tertulis tidak mungkin dilakukan karena salah satu pihak buta huruf misalnya, dapat dilakukan dengan isyarat.67

Antara ijab dan qabul disyaratkan terjadi dalam satu majelis, tidak disela dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan

65 A. Hamid Sarong, Ibid,hal.51. 66Ibid.

(52)

dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan tapi tidak disyaratkan antara ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan oleh wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki berdiam beberapa saat tidak segera menyatakan qabul, baru setelah itu menyatakan qabulnya, maka ijab qabul dipandang sah. Imam Malik berpendapat bahwa qabul hanya boleh terlambat dalam waktu amat pendek dari ijab. Ulama-Ulama Madzhab Syafi’i mensyaratkan harus langsung, yaitu setelah wali mempelai perempuan menyatakan ijab mempelai laki-laki harus segera menyatakan qabul tanpa berselang waktu. Pendapat terakhir ini yang diperaktekkan di kalangan kebanyakan kaum muslim di Indonesia. Dalam masalah ini, pendapat Ulama-Ulama Madzhab Hanafi dan Hanbali sudah memenuhi syarat sahnya ijab Kabul tanpa menentukan majelis dan interval waktu.68

Ada syarat ijab kabul yang perlu disebutkan, yaitu tidak boleh digantungkan kepada suatu syarat, disandarkan kepada waktu yang akan datang atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Akad bersyarat yang dipandang tidak sah ini ialah apabila syarat dimaksud tidak terjadi seketika, misalnya wali mengatakan kepada calon mempelai laki-laki: “Apabila engkau telah mendapat pekerjaan nanti, aku nikahkan engkau dengan anakku fulanah dengan mahar lima ribu rupiah.” Ijab seperti itu tidak sah, sebab syaratnya yaitu mendapat pekerjaan, belum tentu terpenuhi dalam waktu mendatang. Akad bersandar kepada waktu yang akan datang, misalnya wali mempelai perempuan mengatakan kepada calon suami: “Aku nikahkan anakku

(53)

fulana besok pagi, dengan mahar mushhaf ai-Qur’an ini.”Akad nikah seperti itu tidak sah baik untuk hari diucapkan maupun untuk waktu yang disebutkan dalam akad.

Selain itu akad yang dibatasi untuk waktu tertentu, misalnya selama sebulan atau lebih, atau kurang, tidak di bolehkan, karena bertentangan dengan prinsip perkawinan dalam islam. Nikah untuk waktu tertentu disebut: “Nikah mut’ah” (nikah senang-senang) dan “nikah muqathi” (nikah terputus). Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa nikah mut’ah itu haram, dengan berdasarkan antara lain hadits nabi riwayat Ibn Majah yang mengajarkan: “wahai umat manusia, dulu aku mengizinkan kamu kawin mut’ah, tetapi ketahuilah, Allah telah mengharamkankannya sampai hari kiamat.” Ulama-Ulama Madzhab Syi’ah sampai sekarang masih membolehkan kawin mut’ah itu dengan beberapa persyaratan yang ketat. Tetapi Ulama-Ulama Madzhab lain tidak dapat menyetujuinya.69

2. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia

Pasal 4 KHI menyebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan70.

Pasal 14 bab IV rukun dan syarat perkawinan KHI disebutkan untuk melaksanakan perkawinan harus ada: calon suami, calon isteri, Wali nikah, dua orang saksi dan ijab Kabul71.

69. Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Seleksi awal yang dilakukan silvia (2011) dengan menyeleksi 2 varietas yaitu Grobogan dan Detam II dengan menggunakan batas seleksi 10% dan varietas yang terpilih

Bekerja sama dengan berbagai sponsor diharapkan acara ini mampu memberikan sosialisasi kepada para khalayak mengenai pssi dan sepak bola indonesia Selain itu, acara ini

Merujuk pada permasalahan tersebut, pencipta mengajak anak tunarungu untuk berproses kreatif di bidang tari kontemporer serta memupuk rasa percaya diri bahwa mereka memiliki

Rencana Kerja yang disingkat Renja mempunyai fungsi penting dalam sistem perencanaan daerah, hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Sistem pengaman rumah ini memiliki beberapa bagian penting untuk mengamankan rumah seperti sensor ultrasonic sebagai pendeteksi, alarm, modem wavecom dan kamera CCTV

Ketiga, Pondok Pesantren Al Falah Putera Banjarbaru merupakan salah satu pesantren yang telah menerapkan kurikulum ganda dalam pembelajarannya, yaitu pada pagi

Kesimpulan dari teori motivasi kerja Herzberg’s Two Factors Motivation Theory adalah fokus teori motivasi ini lebih menekankan bagaimana memotivasi karyawan di