• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pengaruh Korona Terhadap Surja Tegangan Lebih Pada Saluran Transmisi 275 Kv

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Pengaruh Korona Terhadap Surja Tegangan Lebih Pada Saluran Transmisi 275 Kv"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

STUDI PENGARUH KORONA TERHADAP SURJA

TEGANGAN LEBIH PADA SALURAN TRANSMISI 275 kV

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada

Departemen Teknik Elektro Sub Konsentrasi Teknik Energi Listrik

Oleh:

MEMORY HIDYART NIM : 110402030

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

i ABSTRAK

Pada Tugas Akhir ini, dianalisis bentuk tegangan impuls surja petir serta waktu mukanya sebelum dan sesudah mengalami efek korona. Selain itu juga dihitung nilai paremeter-parameter saluran transmisi untuk mengetahui kemampuan redaman puncak tegangan surja petir oleh saluran. Kemampuan redaman tegangan transient akibat sambaran petir pada saluran dapat mencapai 18.29 % dari tegangan surja dengan pergeseran waktu muka menjadi 14.2 µs. Hasil analisis membuktikan bahwa studi atenuasi dan perubahan waktu muka surja akibat korona dapat diatur dengan mengubah masing-masing nilai diameter konduktor, tinggi konduktor dari atas permukaan tanah, karakteristik surja petir, dan tingkat kekasaran permukaan konduktor.

(3)

ii KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Tugas Akhir ini merupakan bagian dari kurikulum yang harus diselesaikan untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu di Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Adapun judul Tugas Akhir ini adalah:

“STUDI PENGARUH KORONA TERHADAP SURJA TEGANGAN

LEBIH PADA SALURAN TRANSMISI 275 kV”

Tugas Akhir ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tak ternilai harganya dan selalu memberikan semangat dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Selama masa kuliah hingga penyelesaian Tugas Akhir ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada:

(4)

iii 2. Bapak Ir. Pernantin Tarigan dan Bapak Suherman, S.T, M.Comp, P.hd selaku dosen wali penulis yang banyak memberikan masukan dan pengarahan selama perkuliahan.

3. Bapak Ir. Surya Tarmizi Kasim, M.Si dan Bapak Rahmad Fauzi ST, MT selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Teknik Elektro yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis dan seluruh pegawai Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

5. Keluarga Besar Laboratorium Teknik Tegangan Tinggi FT USU : Andi, Dewi, Sandro, Josiah.

6. Sahabat-sahabat seperjuangan: Deddy, Youky, Riko, Alberth, James, Yudha, Riandi, Rais, Zein, Syhalan, Andreas, bang Sylvester dan seluruh teman-teman stambuk 2011 yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. 7. Semua abang dan kakak senior serta adik junior yang telah mau berbagi

pengalaman dan motivasi kepada penulis.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bertujuan untuk menyempurnakan dan memperkaya kajian Tugas Akhir ini. Akhir kata penulis berharap Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Oktober 2015 Penulis,

(5)

iv DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penulisan ... 2

1.4 Batasan Masalah ... 2

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.6 Metodologi Penelitian ... 3

1.7 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II SALURAN TRANSMISI DAN KORONA 2.1 Tegangan Tinggi Impuls ... 6

2.2 Mekanisme Sambaran Petir ... 9

2.3 Gangguan Petir Pada Saluran Transmisi ... 11

2.4 Fenomena Korona ... 13

2.4.1 Cahaya Ungu ... 14

(6)

v

2.4.3 Ozon (O3)... 16

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Korona ... 17

2.5.1 Atmosfer ... 18

2.5.2 Kerapatan Udara ... 19

2.5.3 Ukuran dan Bentuk Permukaan Konduktor ... 20

2.5.4 Jarak Antar Konduktor ... 21

2.5.5 Tegangan Saluran ... 22

2.6 Akibat Yang Ditimbulkan Korona ... 22

2.6.1 Interferensi Radio ... 22

2.6.2 Degradasi atau Kerusakan Material dan Peralatan Listrik ... 23

2.6.3 Rugi Daya Korona ... 24

2.7 Manfaat Korona Pada Saluran Transmisi Hantaran Udara ... 24

2.8 Tegangan Kritis Disruptif ... 26

2.9 Saluran Transmisi ... 27

2.9.1 Klasifikasi Saluran Transmisi ... 33

2.9.2 Parameter-Paramter Saluran Transmisi ... 35

2.9.2.1 Induktansi ... 35

2.9.2.2 Kapasitansi ... 36

2.9.2.3 Resistansi ... 37

2.9.2.4 Konduktansi ... 37

2.9.3 Rangkaian Ekivalen Saluran Transmisi... 38

2.10 Pemodelan Korona ... 38

2.10.1 Pemodelan Korona Pada Saluran Transmisi ... 40

(7)

vi BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Umum ... 43

3.2 Tempat dan Waktu ... 43

3.3 Data dan Peralatan ... 43

3.4 Variabel yang diamati ... 44

3.5 Prosedur Penelitian ... 45

3.6 Pelaksanaan Penelitian ... 46

3.6.1 Proses Pengambilan Data ... 47

3.6.2 Proses Analisa Data ... 47

BAB IV ANALISIS PEMODELAN KORONA PADA SALURAN TRANSMISI YANG MENGALAMI SURJA TEGANGAN LEBIH PETIR 4.1 Saluran Transmisi 275 kV Tanpa Pengaruh Korona ... 48

4.2 Saluran Transmisi 275 kV Dengan Pengaruh Korona ... 49

4.3 Data Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi 275 kV ... 49

4.3.1 Menara Transmisi ... 50

4.3.2 Konduktor Transmisi ... 52

4.4 Analisis Data dan Simulasi ... 53

4.4.1 Analisa Pengaruh Korona Pada Saluran Transmisi ... 53

4.4.2 Analisa Pengaruh Korona dengan Perubahan Ketinggian Konduktor ... 57

(8)

vii 4.4.4 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Panjang Saluran

Konduktor ... 68 4.4.5 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Karakteristik

Surja Petir ... 70 4.4.6 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Tipe Konduktor Saluran

Transmisi ... 71

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 78 5.2 Saran ... 79

(9)

viii

Gambar 2.5 Cahaya Ungu pada Saluran Transmisi Hantaran Udara... 15

Gambar 2.6 Ultrapobe alat pendeteksi suara korona ... 16

Gambar 2.7 (a) Saluran Transmisi Tunggal, (b) Saluran Tranmsisi Ganda ... 29

Gambar 2.8 Jenis-jenis Menara Transmisi... 31

Gambar 2.9 Jenis-jenis Isolator Pada Saluran Transmisi... 32

Gambar 2.10 Jenis-jenis Kawat Transmisi Listrik ... 32

Gambar 2.11 Rangkaian Ekivalen Transmisi Terdistribusi Merata... 38

Gambar 2.12 Pemodelan Korona ... 39

Gambar 2.13 Pemodelan korona pada saluran transmisi ... 40

Gambar 2.14 Susunan Konduktor Bundle (a) 2 subkonduktor, (b) 3 subkonduktor, (c) 4 subkonduktor ... 41

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian ... 45

Gambar 4.1 Pemodelan saluran transmisi tanpa korona ... 48

Gambar 4.2 Pemodelan saluran transmisi dengan korona ... 49

Gambar 4.3 Menara Transmisi 275 kV Pangkalan Susu - Binjai ... 51

Gambar 4.4 Kurva respon saluran terhadap surja petir... 56

(10)

ix Gambar 4.6 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Kekasaran

Permukaan Konduktor ... 67 Gambar 4.7 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Panjang

Konduktor ... 69 Gambar 4.8 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi

Karakteristik Petir ... 70 Gambar 4.9 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Tipe

(11)

x DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Standar bentuk tegangan impuls petir ... 8 Tabel 2.2 Hubungan Kondisi Permukaan Kawat dengan Nilai mo ... 21 Tabel 4.1 Data Konduktor Transmisi SUTET 275 kV Pangkalan Susu-Binjai 53 Tabel 4.2 Paramater Saluran Transmisi 275 kV Pangkalan Susu-Binjai ... 55 Tabel 4.3 Hasil simulasi respon saluran terhadap surja petir ... 56 Tabel 4.4 Hasil simulasi pengaruh korona dengan variasi ketinggian

konduktor dari atas permukaan tanah ... 63 Tabel 4.5 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi kekasaran

(12)

i ABSTRAK

Pada Tugas Akhir ini, dianalisis bentuk tegangan impuls surja petir serta waktu mukanya sebelum dan sesudah mengalami efek korona. Selain itu juga dihitung nilai paremeter-parameter saluran transmisi untuk mengetahui kemampuan redaman puncak tegangan surja petir oleh saluran. Kemampuan redaman tegangan transient akibat sambaran petir pada saluran dapat mencapai 18.29 % dari tegangan surja dengan pergeseran waktu muka menjadi 14.2 µs. Hasil analisis membuktikan bahwa studi atenuasi dan perubahan waktu muka surja akibat korona dapat diatur dengan mengubah masing-masing nilai diameter konduktor, tinggi konduktor dari atas permukaan tanah, karakteristik surja petir, dan tingkat kekasaran permukaan konduktor.

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

(14)

2 kV akibat dari sambaran surja petir dan pengaruh korona yang terjadi pada saluran transmisi.

1.2 Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang dibahas dalam tugas akhir ini adalah : 1. Bagaimana proses pembuatan simulasi pemodelan saluran transmisi

dengan pengaruh adanya korona.

2. Mempelajari bagaimana respon saluran transmisi yang terkena pengaruh korona pada saat terkena gelombang surja petir dengan karakteristik petir yang berbeda-beda.

3. Menganalisis perubahan puncak gelombang surja petir dan waktu mukanya yang terkena pengaruh korona dan dengan tidak adanya pengaruh dari korona.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dari pengerjaan penelitian tugas akhir ini adalah :

1. Untuk mensimulasikan pemodelan dan menganalisis respon pemodelan saluran transmisi 275 kV di bawah pengaruh gangguan korona.

2. Mengetahui pengaruh dari efek korona untuk surja tegangan lebih, dalam hal ini gelombang surja petir dianalisa pada saluran transmisi 275 kV.

1.4 Batasan Masalah

(15)

3 1. Objek penelitian adalah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 275 kV di Gardu Induk Binjai dengan menggunakan panjang saluran transmisi dari GI Pangkalan Susu sampai GI Binjai.

2. Surja tegangan lebih pada tugas akhir ini yang akan dipergunakan adalah surja petir dengan nilai puncak 800 kV, 1.2µs/50µs.

3. Pada tugas akhir ini peneliti hanya menganalisis pada keadaan fasa tunggal dan satu konduktor saja.

4. Korona yang terdapat pada tugas akhir ini diasumsikan dengan keadaan konduktor transmisi dalam kondisi baik, tanpa dipengaruhi oleh faktor suhu luar.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diperoleh adalah sebagai acuan kepada perusahaan listrik Negara dalam hal ini PLN, dalam upaya pencegahan kerusakan peralatan saluran transmisi akibat dari pengaruh korona dan juga menjadi pertimbangan dalam proses pengkajian lebih lanjut dalam memperhitungkan korona sebagai initial protection terhadap sambaran surja. Selain itu juga dapat menjadi referensi bagi rekan mahasiswa lainnya yang lain yang tertarik membahas lebih lanjut mengenai korona.

1.6 Metodologi Penelitian

(16)

4 1. Studi Literatur

Mempelajari dan memahami buku-buku dan jurnal-jurnal yang telah ada sebelumnya untuk dijadikan sebagai acuan dan referensi guna membantu penyelesaian Tugas Akhir ini.

2. Analisis Data

Metode ini dimulai dengan menentukan parameter-parameter yang ada pada saluran transmisi. Parameter tersebut meliputi nilai resistansi, induktansi, kapasitansi, dan konduktansi pada sepanjang saluran. Kemudian dilanjutkan dengan menentukan parameter pemodelan korona yakni tegangan awal terjadinya korona sehingga nilai-nilai tersebut dapat diinput dalam program untuk menampilkan bentuk gelombang impuls petir yang merambat sepanjang saluran. Gelombang dapat diamati dan dianalisis untuk mengetahui tegangan puncak dan waktu muka masing-masing gelombang surja hasil redaman.

1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan Tugas Akhir ini ditulis dan disusun dalam urutan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

(17)

5 BAB II KORONA DAN SALURAN TRANSMISI

Bab ini membahas tentang pengertian korona, perhitungan korona, pemodelan korona, gangguan petir pada saluran transmisi dan parameter-parameter yang berpengaruh pada saluran transmisi.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang cara yang harus ditempuh dalam kegiatan penelitian agar pengetahuan yang akan dicapai dari suatu penelitian dapat memenuhi kaidah ilmiah.

BAB IV ANALISIS PEMODELAN KORONA PADA SALURAN

TRANSMISI YANG MENGALAMI SURJA TEGANGAN LEBIH PETIR

Bab ini membahas tentang pengaruh pemodelan korona pada saluran transmisi yang mengalami surja tegangan lebih terhadap amplitudo tegangan dan waktu redaman surja.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(18)

6

BAB II

SALURAN TRANSMISI DAN KORONA

Saluran transmisi memegang peranan penting dalam proses penyaluran daya dari pusat-pusat pembangkit hingga kepusat-pusat beban. Agar dapat melayani kebutuhan tersebut maka diperlukan sistem transmisi tenaga listrik yang handal dengan tingkat keamanan yang memadai. Salah satu penyebab terjadinya kerusakan peralatan utama maupun peralatan lainnya seperti instrumen gardu induk adalah sambaran surja petir baik secara langsung maupun tidak langsung pada peralatan di transmisi maupun peralatan di gardu induk. Dengan demikian, pada sebuah gardu induk dan sistem menara transmisi sangat diperlukan perlindungan terhadap gangguan akibat surja petir. Untuk melindungi kawat fasa serta menjadi medium tempat mengalirnya arus gangguan akibat sambaran surja petir maka diperlukan peralatan tenaga listrik yang disebut dengan kawat tanah dan lightning arrester [1].

2.1 Tegangan Tinggi Impuls

(19)

7 Gambar 2.1 Jenis-jenis tegangan impuls

Tegangan impuls di definisikan sebagai suatu gelombang yang berbentuk eksponensial ganda yang dapat dinyatakan dengan persamaan:

( ) = 0 − − − (2.1)

dimana

Vo = Magnitud Tegangan (kV)

a,b = konstanta-konstanta yang dipengaruhi nilai RLC

Dari persamaan (2.1) dapat dilihat bahwa bentuk gelombang impuls ditentukan oleh konstanta a dan b, sedangkan nilai konstanta a dan b ini ditentukan oleh komponen rangkaian [2].

Definisi bentuk gelombang impuls [2]

1. Bentuk dan waktu gelombang impuls dapat diatur dengan mengubah nilai komponen rangkaian saluran (konstanta a dan b)

2. Nilai puncak (peak value) merupakan nilai maksimum gelombang impuls. 3. Muka gelombang (wave front) didefinisikan sebagai bagian gelombang yang dimulai dari titik nol sampai titik puncak. Waktu muka (Tf) adalah waktu yang dimulai dari titik nol sampai titik puncak gelombang.

(20)

8 waktu yang dimulai dari titik nol sampai setengah puncak pada ekor gelombang

Suatu tegangan impuls dinyatakan dengan tiga besaran yaitu tegangan puncaknya (Vmaks), waktu muka (Tf), dan waktu ekor (Tt). Menurut IEC waktu muka dan waktu ekor untuk tegangan impuls petir adalah :

× = 1,2 × 50 �

Gambar 2.2 Tegangan impuls petir berdasarkan standar IEC Standar bentuk gelombang impuls petir yang dipakai oleh beberapa Negara ditunjukan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Standar bentuk tegangan impuls petir [2]

Standar Tf x Tt

Jepang 1 x 40 µs

Jerman dan Inggris 1 x 50 µs Amerika 1.,5 x 40 µs

(21)

9 Nilai toleransi waktu muka dan waktu ekor gelombang untuk standar Jepang adalah 0,5 –2 μs dan 35 –50 μs, standar Inggris 0,5 –1,5 μs dan 40 – 60

μs, sedangkan untuk standar Amerika adalah 1,0 – 2,0 μs dan 30 – 50 μs seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.3. Dari Gambar 2.3 dapat dilihat bahwa standar IEC merupakan kompromi antara standar-standar tegangan impuls berbagai Negara [2].

Gambar 2.3 Standar bentuk gelombang tegangan impuls petir

2.2 Mekanisme Sambaran Petir

(22)

10 positif berkumpul pada sisi sebaliknya. Biasanya muatan negatif berada di bagian bawah awan dan muatan positif berada di bagian atas.

Muatan listrik pada awan ini mengakibatkan adanya beda potensial antara awan dengan bumi, sehingga timbul medan listrik antara awan dengan bumi. Jika medan listrik lebih besar daripada kekuatan dielektrik udara yang mengantarai bumi dengan awan, maka akan terjadi pelepasan muatan.

(23)

11 Gambar 2.4 Tahapan Sambaran Petir ke Tanah [3]

Ketika leader mendekati bumi terjadi medan listrik yang sangat tinggi antara ujung leader dengan bumi, sehingga terjadi penumpukan muatan di ujung suatu objek yang berada di permukaan bumi. Dengan demikian muatan yang berasal dari bumi bergerak menuju ujung leader.

Titik bertemunya kedua aliran yang berbeda muatan ini disebut striking point dapat dilihat pada Gambar 2.13(c), sesaat setelah itu terjadi perpindahan muatan dari tanah ke awan melalui sambaran balik. Perpindahan muatan dari awan ke tanah akan kembali memunculkan beda potensial yang tinggi antara pusat muatan di awan seperti pada Gambar 2.13(d). Akibatnya, terjadi pelepasan muatan susulan atau yang disebut pelepasan muatan berulang (multiple stroke).

2.3 Gangguan Petir Pada Saluran Transmisi

(24)

12 1. Gangguan akibat sambaran langsung, yang terdiri dari :

a. Gangguan petir pada kawat tanah,

b. Gangguan petir pada kawat fasa atau kegagalan perisaian. 2. Gangguan petir akibat sambaran tidak langsung atau sambaran induksi.

Gangguan akibat sambaran langsung petir adalah adanya sambaran petir yang langsung mengenai suatu objek tertentu Sambaran petir langsung dapat menimbulkan bermacam-macam gangguan yang tidak hanya membahayakan peralatan listrik namun juga bisa mengancam keselamatan jiwa manusia. Besarnya tegangan yang diakibatkan sambaran petir ini dapat mencapai 3000 kV.

Gangguan pada jaringan listrik dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu sambaran petir mengenai kawat tanah dan sambaran petir mengenai kawat fasa. Sambaran petir yang langsung mengenai kawat tanah dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut: potensialnya naik mencapai nilai yang cukup tinggi sehingga dapat mengakibatkan lompatan muatan listrik ke kawat fasa di dekatnya.

(25)

13 2.4 Fenomena Korona

Bila dua elektroda yang penampangnya kecil (dibandingkan dengan jarak antara kedua elektroda tersebut) diberi tegangan bolak-balik, maka akan mungkin terjadi fenomena korona. Pada tegangan yang cukup rendah, tidak akan terjadi apa-apa. Pertama-tama, pada elektroda akan kelihatan bercahaya, mengeluarkan suara-suara mendesis (hissing), dan berbau ozon. Warna cahaya yang terlihat adalah ungu muda (Violet). Apabila tegangan dinaikan secara terus menerus, maka karakteristik yang terjadi diatas akan semakin jelas terlihat, terutama pada bagian yang kasar, runcing dan kotor. Cahaya akan bertambah besar dan terang. Apabila tegangan masih terus dinaikan, maka akan muncul busur api. Pada keadaan udara lembab, korona menghasilkan asam nitrogen (nitrous acid), yang menyebabkan elektroda berkarat bila kehilangan daya cukup besar.

Korona terjadi disebabkan karena adanya ionisasi dalam udara, yaitu terjadinya kehilangan elektron dari molekul udara. Karena terjadinya ionisasi molekul dalam udara, maka molekul netral (A) di udara bebas mendapatkan energi foton yang cukup dan besarnya melebihi energi yang diperlukan untuk membebaskan elektron dari molekul gas atau udara. Kelebihan energi foton akan dilimpahkan pada elektron yang kemudian dibebaskan dalam bentuk energi kinetik. Hal ini dapat ditunjukan dalam persamaan berikut ini :

+

1 2 �

2

+++

(26)

14 Karena hal ini terjadi secara terus-menerus maka jumlah ion dan elektron bebas menjadi berlipat ganda. Apabila terjadinya eksitasi elektron atom gas, yaitu berubahnya kedudukan elektron gradien tegangan menjadi cukup besar maka akan timbul fenomena korona. Selain menyebabkan terjadinya ionisasi molekul, tumbukan elektron juga menyebabkan perpindahan dari orbital awalnya ke tingkat orbital yang lebih tinggi. Pada saat elektron berpindah kembali ke tingkat orbital yang lebih rendah, maka akan terjadi pelepasan energi berupa cahaya radiasi dan gelombang elektromagnetik berupa suara bising.

2.4.1 Cahaya Ungu

(27)

15 Gambar 2.5 Cahaya Ungu pada Saluran Transmisi Hantaran Udara

2.4.2 Suara Bising

(28)

16 Gambar 2.6 Ultrapobe alat pendeteksi suara korona

2.4.3 OZON (O3)

Pada korona dengan kelembaban tinggi dihasilkan gas ozon dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Gas ozon ini akan meningkat jumlahnya seiring dengan meningkatnya aktifitas korona. Ozon yang dihasilkan dapat meningkat secara pesat saat terjadinya pelepasan korona. Pembentukan ozon dihasilkan dari beberapa molekul oksigen [4].

3O2→ 2O3

Pembentukan ozon oleh pelepasan korona pada oksigen murni, memiliki beberapa tahap pembentukan.

e- + O2→ 2O + e- O + O2+ M → O3 +M Dimana M = O2 atau N2

(29)

17 tumbukan dengan elektron bebas. Elektron bebas ini kemudian jumlahnya bertambah dengan meningkatnya medan listrik, medan listrik yang semakin tinggi akan meningkatkan aktifitas dari korona. Oksida bebas tersebut akan bereaksi dengan oksigen yang kemudian akan membentuk ozon. Konsentrasi ozon ini meningkat sampai terjadinya pelepasan korona, kemudian setelah kondisi ini ozon akan terurai akibat panas yang dihasilkan saat pelepasan korona.

O3→ O2 + O O + O3→ 2O2

Ozon merupakan molekul triatomik, dimana molekul triatomik ini termasuk golongan yang astabil atau tidak stabil. Ini menyebabkan ozon sangat mudah terurai dibandingkan oksigen (diatomik).

2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Korona

(30)

18 2.5.1 Atmosfer

Keadaan atmosfer mempengaruhi nilai kekuatan isolasi udara dan gradien potensial awal terjadinya korona, diantaranya yaitu angin, kelembapan udara, cuaca, dan suhu udara. Misal ketika kondisi lingkungan sedang berangin kencang, maka jumlah ion dan elektron akan lebih banyak dari pada saat kondisi normal. Hal ini menyebabkan korona terjadi pada gradien potensial lebih rendah dibandingkan cuaca normal.

Suhu dan tekanan sangat mempengaruhi nilai dari tegangan awal korona, semakin tinggi suhu maka tegangan awal korona menjadi lebih kecil, sehingga korona menjadi lebih besar. Pada tekanan tinggi maka tegangan awal korona menjadi semakin tinggi dan korona lebih kecil. Pada daerah yang memiliki suhu yang tinggi dan tekanan rendah, maka korona akan menjadi lebih besar. Daerah pengunungan memiliki suhu rendah dan tekanan relatif tinggi, sehingga kemungkinan korona menjadi lebih kecil.

Kelembapan udara yang semakin tinggi juga akan mempercepat terjadinya korona. Pada saat udara semakin lembab maka semakin banyak air yang terkandung dalam udara tersebut sehingga elektron bebas yang dihasilkan akan semakin banyak. Dengan demikian banyaknya elektron bebas ini, maka longsoran elektron akan semakin cepat terbentuk dan terjadi ionisasi yang mengawali terjadinya korona.

(31)

19

= 30 0 1 + 0.3 (2.2)

dimana

Vi = Tegangan kegagalan kritis udara (kV)

į = Faktor kerapatan udara = 1 (tekanan 76 cmHg dan suhu 250C)

= = 0.386

273+

r = Jari-jari konduktor (m)

D = Jarak antar pusat konduktor terhadap tanah (m)

m0 = Faktor tak tentu/faktor kekasaran permukaan konduktor (lihat Tabel 2.2)

Dari persamaan Peek tersebut ditunjukkan bahwa pada keadaan basah, tegangan minimum terjadinya korona lebih rendah dibandingkan dengan keadaan normal. Jadi, dapat disimpulkan korona lebih cepat terjadi pada keadaan basah.

2.5.2 Kerapatan Udara

(32)

20 2.5.3 Ukuran dan Bentuk Permukaan Konduktor

Ukuran diameter dari konduktor juga mempengaruhi fenomena terjadinya korona, konduktor dengan diameter lebih besar akan memiliki medan listrik lebih kecil dibandingkan pada konduktor dengan diameter yang lebih kecil. Perhatikan persamaan dibawah ini:

Konduktor dengan diameter lebih besar memiliki tegangan awal korona lebih besar dibandingkan dengan diameter yang lebih kecil. Pada konduktor dengan diameter lebih kecil atau ujungnya runcing akan memiliki medan listrik yang lebih tinggi dikarenakan elektron terkumpul disatu titik tidak menyebar, sehingga peristiwa korona semakin mudah terjadi. Itu sebabnya mengapa pada penangkap petir konduktor ujungnya dibuat meruncing.

(33)

21 yang halus. Sehingga pada permukaan kasar korona yang terjadi lebih besar dibandingkan kawat halus.

Untuk kawat transmisi terdapat suatu faktor yang dinamakan faktor ketidakteraturan (m0). Maksudnya merupakan ketidakteraturan dari bentuk permukaan kawat. Dalam kondisi normal faktor permukaan kawat ini ditetapkan oleh Peek pada Tabel 2.2.

Table 2.2 Hubungan Kondisi Permukaan Kawat dengan Nilai mo [2]

Kondisi permukaan kawat m0

Halus 1.0

Kawat padat yang kasar 0.93 – 0.98 kawat tembaga rongga 0.90 – 0.94 Kawat lilit 7 0.82 – 0.87 Kawat lilit 19-61 0.80 – 0.85

2.5.4 Jarak Antar Konduktor

(34)

22 2.5.5 Tegangan Saluran

Pada suatu sistem transmisi memiliki tegangan saluran yang sangat besar antar fasanya, besar dari tegangan saluran ini menentukan besar dari medan listrik yang dihasilkan sekitar kawat transmisi tersebut. Semakin besar tegangan, maka akan semakin besar medan listriknya. Dengan demikian, semakin meningkatnya medan listrik maka korona akan memiliki percepatan dalam tumbukannya, sehingga elektron akan semakin mudah bertumbukan dan semakin cepat pula terbentuk longsoran elektron (avalanche). Waktu terjadinya korona pun akan menjadi lebih cepat. Selain itu, pada tegangan saluran yang besar akan terdapat tekanan elektrostatik pada permukaan konduktor, membuat udara disekeliling konduktor terionisasi. Pada saat ionisasi akan dihasilkan longsoran elektron (avalanche), longsoran elektron ini akan semakin cepat terbentuk jika tegangan saluran terus ditingkatkan. Semakin besar tegangan yang diberikan, maka akan semakin besar percepatan yang dimiliki elektron untuk bertumbukan sehingga avalanche akan lebih cepat terjadi selanjutnya akan terjadi peristiwa korona.

2.6 Akibat Yang Ditimbulkan Korona

Korona cukup menyebabkan banyak masalah yang harus mendapat perhatian, diantaranya interferensi radio, degradasi atau kerusakan pada peralatan listrik yang dikenai korona, dan meningkatnya rugi-rugi daya saluran.

2.6.1 Interferensi Radio

(35)

23 akibat korona ini juga dapat menyebabkan interferensi televisi dan rangkaian komunikasi yang berada didekatnya.

Adanya tumbukan elektron-elektron pada udara sekitar, akan menimbulkan arus yang nilainya relatif kecil dan memiliki bentuk gelombang yang non-sinusoidal. Akibatnya akan terdapat non-sinusoidal voltage drop. Kemudian akan terbentuk medan elektromagnetik dan medan elektrostatik. Selanjutnya medan elektromagnetik dan medan elektrostatik ini menginduksikan rangkaian komunikasi atau radio disekitarnya, sehingga akan menyebabkan terjadinya interferensi.

2.6.2 Degradasi atau Kerusakan Material dan Peralatan Listrik

Korona menimbulkan panas disekitar daerah terjadinya korona dan panas ini semakin meningkat dengan kenaikan tegangan yang diberikan sampai terjadi pelepasan korona. Panas ini dapat menyebabkan perubahan susunan atom dari material. Akibatnya material tersebut memiliki susunan atom yang baru, sehingga sifat dari material tersebut mengalami perubahan. Pada akhirnya material tersebut akan lebih cepat rusak dan mengalami penurunan kualitas atau degradasi. Pada saat pembentukan korona juga dihasilkan senyawa ozon (O3), dimana jika kondisi lembab dan gas ini bereaksi secara kimia dengan konduktor dapat menyebabkan korosi pada konduktor tersebut.

(36)

24 dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan listrik karena dilalui arus yang melebihi rating-nya.

2.6.3 Rugi Daya Korona

Ion dan elektron yang bergerak pada udara memiliki percepatan karena energi kinetik yang diberikan. Energi kinetik tersebut didapat dari sistem dan dikatakan energi yang hilang. Energi yang hilang ini terdisipasi dalam bentuk panas, suara, dan cahaya inilah yang dimaksud dengan rugi daya korona. Rugi daya pada keadaan cuaca normal ditentukan berdasarkan percobaan oleh Peek, dengan persamaan [5]:

= 241 + 25 − 0 2 10−5 / (2.4)

dimana

P = Rugi daya akibat korona (kW/km/fasa) f = Frekuensi daya (Hz)

V = Tegangan fasa ke netral (kV)

V0 = Tegangan distruptif Korona (kV/fasa)

į = Faktor kerapatan udara =1 (tekanan 76 cmHg dan suhu 20oC)

b = Tekanan (mmHg) t = Suhu (oC)

r = Jari-jari Konduktor (cm)

2.7 Manfaat Korona Pada Saluran Transmisi Hantaran Udara

(37)

25 bilamana korona membentuk, lapisan sekitar konduktor menjadi konduktif dan hal ini secara praktis merupakan semacam penambahan luas penampang konduktor, dan menyebabkan gradien potensial atau tegangan elektrostatik maksimum menurun. Dengan demikian kemungkinan terjadinya tegangan tembus (flash over) sistem meningkat, (ii) Efek-efek transien (peralihan) karena sambaran petir dan sebab-sebab lain berkurang, karena muatan-muatan yang diinduksikan pada saluran akibat sambaran petir dan sebab-sebab lain sebagiannya akan didisipasikan sebagai rugi-rugi korona. Dengan cara ini ia bekerja sebagai suatu katup pengaman dan kadang-kadang suatu saluran dengan sengaja direkayasa untuk memiliki tegangan operasi berdekatan dengan tegangan kritikal supaya tidak perlu mempergunakan arrester petir yang mahal. Ada kesulitan, karena tegangan kritikal tidak konstan untuk suatu saluran, dan akan berubah dengan sesuai dengan keadaan cuaca sekitarnya.

Dari sisi lain korona juga dapat dipahami sebagai berikut;

i. Terdapatnya rugi-rugi daya dan energi, walaupun hal ini agak kecil, kecuali pada cuaca yang sangat buruk.

ii. Terdapatnya suatu penurunan tegangan yang non-sinusoidal disebabkan arus korona yang non-sinusoidal. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya sedikit interferensi dengan saluran-saluran telekomunikasi berdekatan disebabkan oleh induksi elektromagnetik dan elektrostatik.

iii. Karena adanya distorsi dari bentuk gelombang, terutama gelombang harmonik ketiga akan berpengaruh pada saluran transmisi.

(38)

26 2.8 Tegangan Kritis Disruptif

Tegangan kritis disruptif merupakan tegangan minimal yang dibutuhkan untuk terjadinya ionisasi pertama kali dipermukaan konduktor. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Peek’s, kekuatan dielektrik udara maksimum pada

kondisi standar dengan tekanan udara 1 atm (760 mmHg), suhu 20 oC adalah 30 kV/cm. Kekuatan dielektrik udara berbanding lurus dengan kepadatan udara sekitar. Besarnya kepadatan udara dapat di rumuskan [1]:

=

0.386

273+ (2.5)

dimana

į = Kepadatan Udara

p = Tekanan udara (mmHg) t = suhu udara (oC)

Tegangan kritis disruptif atau juga kita sebut dengan tegangan awal terjadinya korona (corona inception voltage) dengan mempertimbangkan pengaruh konduktor, keseragaman, permukaan konduktor dan lingkungan untuk

konduktor tunggal sebagaimana diteliti oleh Peek’s [5]:

=

60 (2.6)

dimana

(39)

27 Ec = medan listrik kritis di permukaan konduktor (kV/cm)

Dari persamaan diatas, menunjukan bahwa semakin kecil nilai jari-jari konduktor maka tegangan awalan terjadinya korona (Vi) akan semakin mengecil pula. Ada beberapa rumus empiris yang digunakan untuk menentukan medan listrik kritis (Ec) permukaan konduktor, diantaranya ialah:

= 23 1 + 1.220.37 −1 1991 [6] (2.7)

= 23 0.67 1 +0.3 −1 1954 [7] (2.8)

= 30 0.67 1 + 0.3 −1 (2007) [5]

(2.9)

dimana

į = Faktor kepadatan udara relatif ( bernilai 1 untuk medium udara)

m0 = Kondisi permukaan konduktor = 1 untuk permukaan licin

= 0.93-0.98 untuk permukaan kasar, dan = 0.82-0.87 untuk kawat stranded

d = diameter konduktor (cm) r = jari-jari konduktor (cm)

2.9 Saluran Transmisi

(40)

28 oleh konduktor melalui saluran transmisi dari pusat-pusat pembangkit tenaga listrik kepada pemakai tenaga listrik (consumer). Tegangan pada saluran transmisi ini disalurkan melalui kawat penghantar yang ditopang oleh menara atau tiang penyangga yang tinggi yang terbuat dari campuran baja yang disesuaikan dengan posisi atau daerah dengan jarak tertentu.

Saluran transmisi di zaman modern sekarang ini bukan hanya digunakan untuk menyalurkan tenaga listrik tetapi juga dapat digunakan untuk saluran transmisi komunikasi seperti PLC (Power Line Carrier) dan data isyarat. Tetapi kemampuan transmisi dari suatu saluran dengan tegangan tertentu tidak dapat ditetapkan dengan pasti karena kemampuan ini masih tergantung lagi pada batasan-batasan thermal dari penghantar dan jatuh tegangan yang diperbolehkan. Pada umumnya saluran transmisi dalam penggunaannya dapat dibagi dua:

1. Saluran hantaran udara (Overhead Lines)

2. Saluran hantaran bawah tanah (Underground Cable)

(41)

29 (a) (b)

Gambar 2.7 (a) Saluran Transmisi Tunggal, (b) Saluran Tranmsisi Ganda Komponen Utama Saluran Hantaran Udara :

A. Menara atau tiang transmisi

(42)

30 Konstruksi menara besi baja merupakan jenis konstruksi saluran transmisi tegangan tinggi (SUTT) ataupun saluran transmisi tegangan ekstra tinggi (SUTET) yang paling banyak digunakan di jaringan PLN (Gambar 2.7), karena mudah dirakit terutama untuk pemasangan di daerah pegunungan dan jauh dari jalan raya, harganya yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan saluran bawah tanah serta pemeliharaannya yang mudah.

Jenis-jenis Menara Transmisi, menurut Konstruksinya, antara lain:

(a) Latice Tower (b) Tubular Steel Pole

(c) Concrete Pole (d) Wooden Pole

(43)

31 B. Isolator-isolator

Jenis isolator yang digunakan pada saluran transmisi adalah jenis porselin atau gelas. Menurut penggunaan dan konstruksinya dikenal 3 jenis isolator yaitu : a) Isolator jenis pasak (22-33 KV)

b) Isolator jenis pos saluran (22-33KV) c) Isolator gantung

Gambar 2.9 Jenis-jenis Isolator Pada Saluran Transmisi

(44)

32 C. Kawat penghantar

Jenis-jenis kawat penghantar yang biasa yang digunakan pada saluran transmisi adalah:

a) Tembaga dengan konduktivitas 100 % (Cu 100 %) b) Tembaga dengan koduktivitas 97,5 % (Cu 97,5 %) c) Almunium dengan konduktivitas 61 % (Al 61 %) Kawat penghantar Almunium terdiri dari beberapa jenis, yaitu :

i. AAC : “All Aluminium Conductor”yaitu kawat penghantar yang seluruhnya terbuat dari almunium.

ii. AAAC : “All-Aluminium Alloy Conductor“ yaitu kawat penghantar yang seluruhnya terbuat dari campuran almunium.

iii. ACSR : “Aluminium Conductor Steel Reinforced” yaitu kawat penghantar almunium dengan inti kawat baja.

iv. ACAR : “Aluminium Conductor Alloy Reinforced” yaitu kawat penghantar almunium yang diperkuat dengan logam campuran.

(45)

33 Pada umumnya saluran transmisi yang ada di Indonesia menggunakan jenis kawat penghantar jenis ACSR. Karena kawat tembaga mempunyai tahanan yang lebih kecil, namun berat dan harga yang lebih mahal dari almunium. Untuk memperbesar kuat tarik dari almunium maka digunakan campuran almunium (almunium alloy).

D. Kawat tanah

Kawat tanah atau ground wires juga disebut dengan kawat pelindung (shield wires) gunanya untuk melindungi kawat-kawat penghantar atau kawat fasa terhadap sambaran petir, untuk itu kawat tanah ini harus dipasang diatas kawat fasa. Sebagian kawat tanah umumnya dipakai kawat baja (steel wires) yang lebih murah tetapi tidaklah jarang pula digunakan ACSR. Awalnya kawat tanah dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap sambaran tidak langsung (sambaran induksi) di sekitar kawat fasa transmisi. Akan tetapi dikemudian hari dari hasil-hasil pengalaman dan teori, penyebab utama yang menimbulkan gangguan transmisi tegangan tinggi 70 kV dan lebih adalah sambaran petir langsung.

2.9.1 Klasifikasi Saluran Transmisi

Sesuai dengan fungsi, kebutuhan dan tegangan kerjanya maka saluran transmisi dapat dikelompokkan dalam beberapa macam diantaranya :

A. Klasifikasi Saluran Transmisi Berdasarkan Panjang Saluran

(46)

34 a) Transmisi Pendek (< 50 mi atau < 80 km)

b) Transmisi Menengah (< 150 mi atau < 250 km) c) Transmisi Panjang (> 150 mi atau >250 km)

Klasifikasi saluran transmisi harus didasarkan atas besar kecilnya kapasitansi ke tanah. Maksudnya jika kapasitansi kecil maka arus bocor ke tanah kecil terhadap arus beban, sehingga kapasitansi ke tanah dapat diabaikan, hal ini dapat disebut dengan transmisi kawat pendek. Tetapi jika kapasitansi mulai besar sehingga tidak dapat diabaikan, namun belum begitu besar sehingga dapat dianggap sebagai kapasitansi terpusat (lumped capacitance) dan hal ini sering disebut dengan transmisi kawat menengah. Dan jika kapasitansi tersebut bernilai sangat besar dan tidak dapat dianggap sebagai kapasitansi terpusat dan harus dianggap terbagi merata sepanjang saluran maka hal ini dapat disebut dengan transmisi kawat panjang.

B. Klasifikasi Saluran Transmisi Menurut Tegangan Nominal

Di Indonesia standar tegangan transmisi adalah 66, 150, 380, dan 500 KV, dan klasifikasi menurut tegangan ini masih belum nyata. Tetapi di Negara-negara maju terutama dibidang transmisi listrik, seperti : USA, Rusia, Canada dimana tegangan pada saluran transmisi bisa mencapai 1000 KV. Berdasarkan EN 60071 klasifikasi tegangan dapat dikategorikan menjadi [8]:

a) Tegangan Rendah (dibawah 1 kV) b) Tegangan Medium ( 1kV - 45 kV) c) Tegangan Tinggi ( 45kV – 200 kV)

(47)

35 2.9.2 Parameter-Parameter Saluran Transmisi

Suatu saluran transmisi tenaga listik memiliki 4 (empat) parameter yang mempengaruhi sistem kerja suatu saluran tranmsisi itu sendiri. Adapun 4 (empat) parameter tersebut adalah resistansi, induktansi, kapasitansi, dan konduktansi.

2.9.2.1 Induktansi

Jika arus pada rangkaian berubah-ubah maka medan magnet yang ditimbulkan juga akan berubah-ubah dan apabila medan magnet yang ditimbulkan memiliki permeabilitas yang konstan maka banyaknya fluks gandeng berbanding lurus dengan arus sehingga tegangan imbasnya sebanding dengan kecepatan perubahan arus. Hal ini dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :

=

(2.10)

dimana

L = Induktansi Rangkaian (H) e = Tegangan Imbas (V)

∂i

∂t = kecepatan perubahan arus (A/s)

Persamaan umum yang digunakan untuk menentukan besarnya induktansi saluran adalah [2]:

= 2. 10

−7

ln

(2.11)

dimana

(48)

36 Dm = Ekivalen atau geometric mean distance (GMD) antara

kondukor dengan tanah (in)

Ds = Geometric Mean Radius (GMR) pada konduktor (in)

2.9.2.2 Kapasitansi

Kapasitansi saluran transmisi didefinisikan sebagai akibat adanya beda potensial antar penghantar (konduktor) maupun penghantar dengan permukaan tanah, kapasitansi menyebabkan penghantar bermuatan seperti yang terjadi pada plat kapasitor bila terjadi beda potensial diantaranya. Kapasitansi antara penghantar adalah muatan perunit beda potensial. Kapasitansi antara penghantar sejajar adalah suatu konstanta yang tergantung pada ukuran dan jarak pemisah dan penghantar. Untuk saluran daya yang panjangnya kurang dari 80 km (50 mil), pengaruh kapasitansinya kecil dan biasanya dapat diabaikan. Untuk saluran-saluran yang lebih panjang dengan tegangan yang lebih tinggi, kapasistansinya menjadi bertambah tinggi. Persamaan umum untuk mencari nilai kapasitansi antara konduktor dengan ground dapat dijelaskan dibawah ini [2]:

=

0.02413

log2 �

(2.12)

dimana

(49)

37 2.9.2.3 Resistansi

Resistansi penghantar saluran transmisi adalah penyebab terpenting dari rugi daya (power loss) pada saluran transmisi. Resistansi pada suatu konduktor (arus searah) dinyatakan dalam persamaan dibawah ini [2]:

0

=

(2.13)

dimana

ρ = Resistivitas Penghantar (Ohm.m)

l = Panjang (m)

A = Luas Penampang (m2)

Persamaan diatas digunakan untuk menghitung besarnya tahanan dari konduktor saluran transmisi. Akan tetapi, resistansi dari saluran transmisi tidaklah sama dengan persamaan di atas. Saat arus bolak-balik mengalir pada suatu konduktor, kepadatan arus tidak seragam pada seluruh permukaan kondoktor, melainkan lebih dekat ke permukaan atau yang disebut dengan peristiwa skin effect. Efek kulit ini sangat kecil untuk frekuensi yang rendah. Untuk penghantar-penghantar yang biasa digunakan, menentukan resitansi dapat dilakukan dengan menggunakan Catalog Conductor yang disediakan oleh pabrik yang terkait.

2.9.2.4 Konduktansi

(50)

38 untuk mengabaikan konduktansi adalah karena konduktansi ini selalu berubah-ubah yakni kebocoran pada isolator yang merupakan sumber utama. konduktansi berubah dengan cukup besar menurut atmosfer dan kotoran yang berkumpul pada isolator sepanjang saluran transmisi yang nantinya menjadi polutan.

2.9.3 Rangkaian Ekivalen Saluran Transmisi

Saluran Transmisi udara maupun saluran kabel bawah tanah dapat direpresentasikan sebagai rangkaian konstan yang terdistribusi merata seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.11. Resitansi, induktansi, kapasitansi dan kobocoran akibat konduktansi didistribusikan secara seragam pada sepanjang saluran.

Gambar 2.11 Rangkaian Ekivalen Transmisi Terdistribusi Merata [3]

2.10 Pemodelan Korona

(51)

39 panjang saluran menjadi 50 m – 100 m untuk mendapatkan hasil analisis yang optimal, seperti ditunjukkan pada gambar dibawah.

Gambar 2.12 Pemodelan Korona

Pemodelan disimulasikan menggunakan surja petir dengan karakteristik yang berubah-ubah. Saluran transmisi dimodelkan dengan beberapa parameter transmisi yang terdistribusi merata dan dihubungkan dengan pemodelan korona yang dihubungkan pada setiap titik sambungan menggunakan dioda, resistor, kapasitor dan sumber DC yang terdapat pada software ATPDraw. Bentuk pemodelan korona dapat dilihat seperti pada Gambar 2.11.

(52)

40 2.10.1 Pemodelan Korona Pada Saluran Transmisi

Lightning Surge Voltage (kV)

Z

Ground

Legenda

Line (50-100 meter)

Corona Model

Surge Impedance

Gambar 2.13 Pemodelan korona pada saluran transmisi [9]

(53)

41 Impedansi surja untuk saluran hantaran udara adalah sebagai berikut [10]:

= � = 60 ln2 (Ω) (2.14)

Dimana, r merupakan jari-jari kawat dan h adalah tinggi kawat dari atas permukaan tanah.

2.11 Konduktor Berkas (Bundle)

Konduktor berkas adalah konduktor yang terdiri dari dua konduktor atau lebih yang dipakai sebagai konduktor satu fasa dan dipisahkan oleh suatu alat yang disebut dengan spacer dengan jarak sebesar A cm. Konduktor berkas mulai efektif digunakan pada tegangan diatas 400 kV [3] [11]. Penggunaan konduktor berkas bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya korona dan meningkatkan kapasitas daya hantar saluran transmisi.

A

A A

A

(a) (b) (c)

Gambar 2.14 Susunan Konduktor bundle (a) 2 subkonduktor, (b)3 subkonduktor, dan (c) 4 subkonduktor

(54)

42

=

1+2 −1 sin

(2.15)

1 + 2( −1)

dimana

A = jarak antar subkonduktor berkas (cm) n = jumlah berkas yang terpasang

Keuntungan menggunakan konduktor berkas antara lain:

1. Mengurangi reaktansi induktif saluran sehingga jatuh tegangan dapat diturunkan.

2. Mengurangi gradient tegangan permukaan konduktor sehingga dapat meningkatkan tegangan kritis korona dan mengurangi rugi-rugi daya korona, Audible Noise (AN) dan Radio Interference (RI).

Kerugian menggunakan konduktor berkas antara lain:

1. Meningkatkan berat total saluran sehingga berpengaruh pada konstruksi menara.

(55)

43

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Umum

Metode penelitian ini merupakan suatu cara yang harus ditempuh dalam kegiatan penelitian agar pengetahuan yang akan dicapai dari suatu penelitian dapat memenuhi harga ilmiah. Dengan demikian penyusunan metode ini dimaksudkan agar peneliti dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian ini mencakup beberapa hal yang masing-masing menentukan keberhasilan pelaksanaan penelitian guna menjawab permasalahan guna disampaikan dalam penelitian, langkah-langkah yang telah ditetapkan adalah penetapan tempat dan waktu penelitian, prosedur dan pelaksanaan penelitian, sertavariabel yang dianalisis.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian akan dilaksanakan di jaringan Tranmisi 275 KV dari Gardu Induk Binjai yang terhubung dengan Gardu Induk Pangkalan Susu. Penelitian ini akan dilaksanakan setelah proposal diseminarkan dan disetujui. Penelitan dilaksanakan selama dua bulan dimulai pada bulan Juni hingga bulan Agustus 2015.

3.3 Data dan Peralatan

(56)

44 3.4 Variabel yang diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :

a. Profil Tegangan Puncak akibat gangguan impuls petir pada jaringan transmisi 275 kV.

b. Profil peredaman Tegangan Puncak gangguan impuls petir pada jaringan transmisi 275 kV setelah diberi pemodelan korona.

(57)

45 3.5 Prosedur Penelitian

Berdasarkan diagram alir flowchart, teknik penelitian, perhitungan dan pengolahan dapat dilihat pada Gambar 3.1dibawah ini :

Mulai

(58)

46 3.6 Pelaksanaan Penelitan

Secara garis besar yang akan dilakukan selama penelitian adalah pengambilan dan pengumpulan data yang diperlukan, melakukan simulasi perhitungan dengan menggunakan program komputer, dan melakukan simulasi lainnya dengan parameter-parameter yang divariasikan sesuai standar.

3.6.1 ProsesPengambilan Data

Data yang dibutuhkan diambil dari P.T. PLN (Persero). Berikut merupakan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian:

a. Rating Tegangan Nominal Transmisi b. Tipe dan Ukuran Konduktor

c. Diameter Konduktor d. Jumlah konduktor Berkas e. Panjang Saluran

f. Tinggi konduktor dari atas tanah

3.6.2 Proses Analisa Data

Setelah data diperoleh, selanjutnya dibuat one-line diagram pada software ATPDraw sesuai dengan jaringan transmisi 275 KV yang diteliti.

1. Memasukkan data

(59)

47 2. Menjalankan simulasi

Simulasi pada softwareATPDraw dapat dijalankan dengan terlebih dahulu melakukan proses drawing pada lembar kerja. Komponen-komponen elektronika dan impuls generator seperti diode, kapasitor, resistor dan ground dapat diperoleh pada tools yang disedikan oleh ATPDraw.

3. Menampilkan hasil

(60)

48

BAB IV

ANALISIS PEMODELAN KORONA PADA SALURAN

TRANSMISI YANG MENGALAMI SURJA

TEGANGAN LEBIH PETIR

4.1 Saluran Transmisi 275 kV Tanpa Pengaruh Korona

Gambar 4.1 Pemodelan saluran transmisi tanpa korona

(61)

49 4.2 Saluran Transmisi 275 kV Dengan Pengaruh Korona

Gambar 4.2 Pemodelan saluran transmisi dengan korona

Pada pemodelan saluran transmisi dengan korona, terdapat komponen tambahan lainnya seperti yang tertera pada Gambar 4.2. Komponen tambahan yang dimaksud adalah berupa dioda dan sumber tegangan DC. Dioda merepresentasikan komponen penahan sumber tegangan DC dalam keadaan transient. Sementara sumber tegangan DC merepresentasikan tegangan awal terjadinya korona. Menurut Carneiro and Marti (1991) pemodelan korona akan mendekati nilai nyatanya bila pembagian segment korona pada saluran berjarak 50-100 m. Setiap 100 m diinputkan rangkaian yang merupakan reperesentasi dari korona, setiap segmentnya dirangkai seri hingga panjang saluran sesuai dengan panjang GI Pangkalan Susu menuju GI Binjai.

4.3 Data Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi 275 kV

(62)

50 Ekstra Tinggi (SUTET) 275 kV yang diperoleh dari TRAGI PLN Binjai dan kemudian akan digunakan dalam pemodelan.

4.3.1 Menara Transmisi

(63)

51

(64)

52 Sesuai dengan keadaan gemoteris lintasan saluran transmisi yang permukaaan tanahnya tidak selamanya rata dan cenderung bergelombang, maka tinggi rata rata kawat konduktor diatas tanah adalah sebagai berikut :

= − 2

3 (4.1)

dimana,

h = tinggi rata-rata kawat diatas tanah (m) ht = tinggi kawat pada menara (m)

dari persamaan diatas dapat ditentukan tinggi rata-rata konduktor masing-masing dari atas permukaan tanah.

(65)

53 Tabel 4.1 Data Konduktor Transmisi SUTET 275 kV Pangkalan Susu-Binjai

Tipe Konduktor ACSR Zebra

Jumlah Al/St 54/7

KHA 943 A

Resistansi 0.06494 Ω/km

Tipe Saluran Double Circuit

Jarak Antar Berkas 26 cm

4.4.1 Analisa Pengaruh adanya Korona Pada Saluran Transmisi

Korona memiliki peran penting dalam menentukan studi distorsi dan atenuasi pada tegangan lebih yang merambat sepanjang saluran transmisi. Analisa pemodelan simulasi saluran transmisi terhadap pengaruh efek korona dimulai dengan penentuan besar nilai tesistansi, induktasi, dan kapasitansi serta tegangan awalan korona (inception Voltage). Berikut perhitungan secara manual yang dilakukan untuk mendapatkan nilai parameter-parameter tersebut.

Konduktor Zebra , fasa T, A = 26 cm , H = 41.4 m

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

(66)

54 Menghitung nilai induktansi saluran :

�= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.02438 0.7788 = 0.0189

�= 2. 10−7ln 41.4

0.0189= 1.537 � /

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

Menghitung nilai medan kritis korona :

(67)

55

= ln2

= 2.438 29.32 ln2 41.4

0.02438 = 581.179

Menghitung surge impedance :

= � = 1.537

6 10−12 = 506.12 Ω

Data-data tersebut dapat dikumpulkan dalam bentuk tabel guna memperjelas dan mempermudah proses penelitian yang dilakukan.

Tabel 4.2 Paramater Saluran Transmisi 275 kV Pangkalan Susu-Binjai Tipe Konduktor (mm) Zebra (435/55)

Radius (cm) 1.43

Tinggi Fasa Terganggu (m) 41.4 Resistansi (Ω/km) 0.06494

Induktansi (µH/m) 1.537

Kapasitansi (pF/m) 0.006

Medan Kritis (kV/cm) 29.32

Inception Voltage (kV) 581.179

(68)

56 untuk kemudian diolah dan dianalisa oleh softwere, sehingga memberikan output berupa grafik dua dimensi seperti gambar dibawah ini.

Gambar 4.4 Kurva respon saluran terhadap surja petir Tabel 4.3 Hasil simulasi respon saluran terhadap surja petir

Dari grafik dan tabel diatas terlihat bahwa tegangan puncak saluran mengalami peredaman akibat adanya efek korona sepanjang saluran transmisi. Gelombang surja normal dengan tegangan puncak 800 kV mengalami redaman sebesar 18.29% akibat pengaruh yang diberikan oleh pertiwa korona, sehingga tegangan surja setelah mengalami redaman adalah sebesar 653.61 kV. Hal ini terjadi dikarenakan tegangan serta energi dari surja tersebut sebagian besarnya

Parameter V Peak (kV) Redaman (kV)

Redaman (%)

Waktu muka (µs)

Surja Petir 800 - - 1.2

Ada korona 653.61 146.39 18.29 14.2

(69)

57 diubah menjadi energi cahaya, energi bunyi berisik, serta rugi-rugi sepanjang transmisi atau yang kita sebut dengan rugi-rugi korona.

Hubungan korona terhadap waktu muka juga dapat dilihat pada grafik hasil simulasi diatas. Adanya korona pada saluran transmisi ternyata akan mengubah waktu muka surja dari keadaan normalnya. Waktu muka surja normal 1.2 µs akan bergeser menjadi 14.2 µs dengan adanya korona dan menjadi 4.2 µs bila mengabaikan korona pada saluran transmisi 275 kV Pangkalan Susu – Binjai.

4.4.2 Analisa Pengaruh Korona dengan Perubahan Ketinggian Konduktor Pada pemodelan saluran transmisi yang terdapat korona, penulis juga akan mevariasikan ketinggian konduktor dari atas permukaan tanah. Adapun variasi yang dilakukan ialah memilih dan membandingkan salah satu fasa konduktor dengan ketinggian yang berbeda-beda ketika mengalamai sambaran petir secara langsung (direct stroke).

Berikut perhitungan parameter saluran transmisi yang dilakukan secara manual :

Fasa T, Konduktor Zebra , A = 26 cm , H = 41.4 m

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

(70)

58 Menghitung nilai induktansi saluran :

�= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.02438 0.7788 = 0.0189

�= 2. 10−7ln 41.4

0.0189= 1.537 � /

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

Menghitung nilai medan kritis saluran :

(71)

59

= ln2

= 2.438 29.32 ln2 41.4

0.02438 = 581.179

Menghitung surge impedance :

= � = 1.537

6 10−12 = 506.12 Ω

Fasa S, Konduktor Zebra , A = 26 cm , H = 33.95 m

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

1 + 2 −1

= 2 1.43

1 + 2 2−1 1.43

2 26

= 2.438

Menghitung nilai induktansi saluran:

�= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.02438 0.7788 = 0.0189

�= 2. 10−7ln 33.95

(72)

60 Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

Menghitung nilai medan kritis :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

Menghitung surge impedance :

= � = 1.49869

7 10−12 = 447.21 Ω

(73)

61 Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

Menghitung nilai induktansi saluran :

�= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.02438 0.7788 = 0.0189

�= 2. 10−7ln 26.5

0.0189= 1.449 � /

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

Menghitung nilai medan kritis :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.82 (1)0.67 1 + 0.3

(74)

62 Menghitung tegangan awal korona:

=

60

= 60 ln2

= ln2

= 2.438 29.32 ln2 26.5

0.02438 = 549.28

Menghitung surge impedance :

= � = 1.449

7.229 10−12 = 447.708 Ω

(75)

63 Tabel 4.4 Hasil simulasi pengaruh korona dengan variasi ketinggian konduktor

dari atas permukaan tanah

Fasa T S R

Tinggi (m) 41.4 33.95 26.5

Kapasitansi (pF/m) 6 7 7.229

Induktansi (µH/m) 1.537 1.49869 1.449

Inception Voltage (kV) 581.179 566.98 549.28

V peak (kV) 653.61 646.11 641.79

Redaman (kV) 146.39 153.89 158.21

Redaman (%) 18.29 19.23 19.77

Waktu Muka (µs) 14.2 14.8 15

Gambar 4.5 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Tinggi Konduktor

(76)

64 Hubungan tinggi konduktor dari permukaan tanah terhadap waktu muka gelombang surja juga dapat diperhatikan dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.5. Fasa T, dengan ketinggian 41.4 m dari atas tanah, ketika mendapat sambaran surja normal, maka waktu muka tegangan surja bergeser menjadi 14.2 µs. Berikutnya respon konduktor pada fasa S dan R dengan ketinggian masing-masing 33.95 m dan 26.5 m juga akan mengubah waktu muka surja menjadi 14.8 µs dan 15 µs.

4.4.3 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Perbedaan Kekasaran Permukaan Konduktor

Faktor lain yang juga diperhitungkan dalam studi atenuasi gelombang surja akibat korona adalah kondisi kekasaran permukaan konduktor yang digunakan. Variasi konstanta kekasaran permukaan konduktor (m) yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah 0.2, 0.4, 0.6, dan 0.8. Dengan menggunakan konduktor ACSR Zebra dan tinggi konduktor fasa T sebesar 41.4 m dari atas permukaan tanah, maka nilai resitansi, induktansi dan kapasitansi saluran akan tetap bernilai sama dengan analisa sebelumnya. Variasi kekasaran permukaan konduktor hanya akan mengubah nilai medan kritis (Ec) saluran dan juga Inception Voltage. Perubahan nilai medan kritis dan inception voltage dapat dilihat dari perhitungan manual dibawah ini :

Kekasaran Permukaan Konduktor ( m = 0.2 )

Menghitung medan kritis :

(77)

65

= 30 0.2 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.438 = 7.1525 /

Menghitung tegangan awal korona:

=

60

= 60 ln2

= ln2

= 2.438 7.1525 ln2 41.4

0.02438 = 141.7765

Kekasaran Permukaan Konduktor ( m = 0.4 )

Menghitung medan kritis :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.4 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.438 = 14.305 /

Menghitung tegangan awal korona:

=

60

= 60 ln2

(78)

66 = 2.438 14.305 ln2 41.4

0.02438 = 283.553

Kekasaran Permukaan Konduktor ( m = 0.6 )

Menghitung medan kritis :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.6 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.438 = 21.457 /

Menghitung tegangan awal korona:

=

60

= 60 ln2

= ln2

= 2.438 21.457 ln2 41.4

0.02438 = 425.319

Menghitung surge impedance untuk semua jenis kekasaran permukaan konduktor:

= � = 1.537

6 10−12 = 506.12 Ω

(79)

67 Tabel 4.5 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi kekasaran permukaan

konduktor

Gambar 4.6 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Kekasaran Permukaan Konduktor

(80)

68 akan mampu meredam surja petir sebesar 25.36%, dan m=0.6 redaman akan berada di nilai 22.58%, serta m=0.8 redaman yang dihasilkan hanya sebesar 150.07 kV atau 18.75% dari tegangan surja petir normal.

Kekasaran permukaan konduktor dalam meredam korona juga mengakibatkan perubahan pada waktu muka surja yang merambat sepanjang saluran. Untuk masing-masing tingkat kekasaran permukaan konduktor (m) yakni 0.2, 0.4, 0.6 dan 0.8, waktu muka surja menjadi 20.2 µs, 18.74 µs, 16.9 µs, dan 14.5 µs.

4.4.4 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Panjang Saluran Konduktor

Panjang saluran transmisi akan mempengaruhi besar impedansi total dari saluran tersebut, sehingga secara bersamaan akan menambah rugi-rugi daya pada jaringan. Variasi panjang saluran yang akan digunakan adalah berjarak 500 m, maka setiap jarak 500 m akan dilihat tegangan puncak pada saluran sehingga dapat di ketahui tingkat peredaman yang mampu dilakukan korona untuk meredam surja petir.

(81)

69 Gambar 4.7 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Panjang

Konduktor

Grafik hasil simulasi diatas menjelaskan bahwa korona pada saluran transmisi akan memberi respon redaman terhadap surja petir yang merambat sepanjang saluran. Pada jarak 500 m pertama, korona mampu meredam 81.85 kV (10.23%) dari tegangan surja petir. 500 m berikutnya, tegangan puncak petir yang sudah diredam sebesar 146.39 kV (18.29%), hal ini tetap berlanjut untuk 500 m berikutnya dengan tegangan yang diredam sebesar 185.8 kV (23.22%). 500 m terkahir, atau dengan jarak total 2 km dari titik sambaran petir, tegangan surja petir yang tersisa di jaringan bernilai 598.9 kV. Dengan perkataan lain, bahwa korona mampu meredam surja petir dengan total redaman mencapai 25.13% dari surja petir hanya dengan jarak 2 km.

(82)

70 µs dan 23.4 µs. Dengan perkataan lain, penambahan panjang saluran akan mengubah waktu muka surja menjadi lebih lama dari keadaan normalnya.

4.4.5 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Karakteristik Surja Petir Perbedaan karakteristik surja petir akan menjadi salah satu faktor penentu besar tingkat peredaman korona yang mampu dilakukan saluran transmisi. Dengan variasi waktu muka (front time) dan waktu ekor (tail time) surja petir, pemodelan korona pada saluran transmisi dapat dilakukan.

Tabel 4.7 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi surja petir Standar Karakteristik

(83)

71 Tabel dan Grafik hasil simulasi diatas menunjukan untuk karakteristik petir menurut standar IEC, korona pada saluran mampu meredam 18.29% surja petir, sedangkan karakteristik petir menurut Jepang, Inggris dan Amerika Serikat masing-masing korona mampu meredam surja petir sebesar 20.69%, 18.59% dan 19.36%.

Korona juga akan mengubah waktu muka dari masing-masing standar surja petir yang digunakan pada pemodelan. Pada standar jepang, waktu muka normal 1 µs akan menjadi 13.04 µs. Begitu pula hal nya dengan standar lainnya, waktu muka surja menurut standar Amerika Serikat (1.5µs) akan bergeser menjadi 13.1 µs. Sedangkan standar surja menurut IEC (1.2µs) dan Inggris (1 µs) masing-masing akan bergeser ke nilai 14.2 µs dan 14 µs.

4.4.6 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Tipe Konduktor Saluran Transmisi

(84)

72 Berikut perhitungan yang dilakukan secara manual untuk menentukan besar parameter-parameter saluran transmisi dengan menggunakan variasi jenis konduktor.

Konduktor Camel , A = 26 cm , H = 41.4 m, r = 1.5075 cm

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

(85)

73

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.82 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.5506 = 29.22 /

Menghitung tegangan awal korona :

=

60

= 60 ln2

= ln2

= 2.5506 29.22 ln 2 41.4

0.025506 = 602.583

Menghitung surge impedance

= � = 1.528

6.871 10−12 = 471.57 Ω

Konduktor Moose , A = 26 cm , H = 41.4 m, r = 1.5885 cm

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

1 + 2 −1

= 2 1.5885

1 + 2 2−1 1.5885

2 26

= 2.6656

(86)

74

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

(87)

75

= 2.6656 29.12 ln 2 41.4

0.026656 = 624.173

Menghitung surge impedance

= � = 1.5196

6.9088 10−12 = 468.98 Ω

Data perhitungan tersebut dapat dikumpulkan dalam bentuk Tabel 4.8 seperti yang tertera dibawah ini, dengan tujuan untuk memudahkan proses menganalisis variabel-variabel yang terdapat pada tabel.

Tabel 4.8 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi jenis konduktor

Tipe Konduktor Zebra Camel Moose

Radius (cm) 1.43 1.5075 1.5885

Kapasitansi (pF/m) 6 6.871 6.9088

Induktansi (µH/m) 1.537 1.528 1.5196

Medan Kritis (kV/cm) 29.32 29.22 29.12

Inception Voltage (kV) 581.179 602.583 624.173

V peak (kV) 653.61 656.93 663.58

Redaman (kV) 146.39 143.07 136.42

Redaman (%) 18.29 17.88 17.05

(88)

76 Gambar 4.9 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Tipe Konduktor

(89)

Gambar

Gambar 2.2 Tegangan impuls petir berdasarkan standar IEC
Gambar 2.3  Standar bentuk gelombang tegangan impuls petir
Gambar 2.4  Tahapan Sambaran Petir ke Tanah [3]
Gambar 2.5  Cahaya Ungu pada Saluran Transmisi Hantaran Udara
+7

Referensi

Dokumen terkait

IV.4 Perhitungan Gangguan Berisik (Audible Noise) dan Interferensi Radio (Radio Interference) pada Saluran Ganda Penghantar Berkas dengan Variasi Jarak Antar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Tugas Akhir yang berjudul “Pengaruh Variasi Konduktor Berkas Terhadap Gangguan Berisik dan Interferensi Radio Pada

Korona adalah peluahan sebagian yang terjadi pada permukaan konduktor di saluran transmisi ketika tekanan dielektrik yaitu intensitas medan listrik (gradien tegangan permukaan)

Andry, “ Perhitungan Kuat Medan Listrik di Bawah Saluran Transmisi”, Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro, Universitas Sumatera Utara, 2009 2.. Arismunandar, A., Teknik

Tujuan dari tugas akhir ini adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi dan menganalisis besarnya rugi–rugi daya korona yang terjadi pada saluran transmisi

Petir yang menerpa kawat tanah saluran transmisi menimbulkan tegangan lebih surja berupa gelombang berjalan yang merambat dari titik sambaran menuju menara transmisi

Oleh karena itu, dapat dibuat hubungan antara waktu muka tegangan impuls petir yang berbeda terhadap nilai arus puncak dan tegangan puncak dari hasil simulasi

Pada kawat 2 semakin besar waktu muka gelombang petir maka tegangan puncak mengalami peningkatan hingga ±3%, sedangkan arus puncak mengalami peningkatan hingga ±5%, dan semakin