• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak Terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong Di Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak Terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong Di Kabupaten Bandung"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK PETERNAK MELALUI

KOMPETENSI PETERNAK TERHADAP KINERJA USAHA

TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN BANDUNG

DIYANI FAUZIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

4

RINGKASAN

DIYANI FAUZIYAH. Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan BURHANUDDIN.

Daging sapi merupakan salah satu pangan strategis dari hasil peternakan yang menjadi target swasembada. Namun, kinerja usaha ternak dalam negeri dan kompetensi peternak dinilai masih rendah. Kinerja usaha yang rendah ditunjukkan oleh angka produksi daging sapi lokal yang belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga tingkat ketergantungan pada impor masih sangat tinggi.

Laju perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Bandung cenderung meningkat, tetapi produksi daging sapi lokal setiap tahunnya cenderung menurun. Dengan kata lain, peningkatan jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Bandung belum bisa meningkatkan angka produksi daging sapi lokal.

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik dan kompetensi peternak, dan kinerja usaha ternak, 2) menganalisis pengaruh karakteristik peternak melalui kompetensinya terhadap kinerja usaha ternak, dan 3) mengidentifikasi indikator yang berkontribusi besar untuk meningkatkan kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung. Penelitian ini dilakukan di 3 daerah sentra, yaitu Kecamatan Cikancung, Cimenyan, dan Cimaung pada bulan Januari hingga Maret 2015. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan panduan kuesioner kepada 121 peternak sapi potong yang dipilih dengan teknik proportional cluster sampling berdasarkan banyaknya peternak di masing-masing kecamatan tersebut. Data dianalisis dengan metode SEM (Structural Equation Modelling) menggunakan bantuan program LISREL 8.72.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik peternak sapi potong di Kabupaten Bandung didominasi oleh peternak yang berusia dewasa madya (40-59 tahun), berpendidikan sangat rendah (SD), belum pernah ikut penyuluhan/ pelatihan, dan memiliki tingkat kekosmopolitan sedang. Rata-rata peternak memiliki motivasi dan kebutuhan berprestasi yang tinggi. Kompetensi teknis dan kewirausahaan peternak termasuk kategori tinggi. Kinerja usaha ternak dari segi produktivitas dan keberlangsungan usaha termasuk kategori tinggi, sedangkan pertumbuhan dan profitabilitas usaha termasuk kategori sedang.

Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa karakteristik personal dan psikologis peternak signifikan berpengaruh positif terhadap kompetensi teknis dan kewirausahaan. Pengaruh terbesar ditunjukkan oleh karakteristik psikologis. Kompetensi teknis signifikan berpengaruh positif, sedangkan kompetensi kewirausahaan tidak berpengaruh terhadap kinerja usaha.

Indikator dari karakteristik personal yang berkontribusi paling besar adalah penyuluhan/pelatihan, sedangkan dari karakteristik psikologis adalah kebutuhan berprestasi dan motivasi penarik. Indikator dari kompetensi teknis yang berkontribusi paling besar adalah pengelolaan pemasaran dan input, sedangkan dari kompetensi kewirausahaan adalah inisiatif. Kinerja usaha dijelaskan paling besar oleh produktivitas.

(5)

5

Akan tetapi, inovasi yang dilakukan peternak belum didasari dengan dasar ilmu yang tepat dan memadai. Hal ini menyebabkan kompetensi kewirausahaan peternak tidak berpengaruh terhadap kinerja usahanya. Walaupun dengan skala usaha yang kecil, rata-rata peternak memiliki motivasi dan kebutuhan berprestasi yang tinggi sehingga mereka berpotensi untuk mempertahankan bahkan mengembangkan usahanya, terutama melalui peningkatan kompetensi teknis mereka. Peternak yang menggunakan modal pribadi yang ditunjang dengan modal tambahan dari pihak luar (modal gabungan) lebih berpotensi memiliki kompetensi teknis yang tinggi. Untuk mendukung kompetensi kewirausahaannya yang tinggi, terutama inisiatif dalam berinovasi, peternak membutuhkan ilmu dan pengetahuan yang tepat guna melalui penyuluhan/pelatihan, khususnya dalam mengelola input dan pemasaran. Hal ini selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung, terutama produktivitas dalam rangka meningkatkan angka produksi daging sapi lokal untuk mencapai swasembada.

(6)

6

SUMMARY

DIYANI FAUZIYAH. The Influence of Characteristics through Competencies of Farmers on Beef Cattle Business Performance in Bandung Regency. Supervised by RITA NURMALINA and BURHANUDDIN.

Beef is one of the strategic food which is the target of self-sufficiency. However, the business performance of domestic beef cattle and farmer competencies are considered low. Low of business performance indicated by the number of local beef production can not fulfill domestic needs so that the dependence level of import is still very high.

The number of beef cattle population in Bandung Regency tend to increase, while the number of beef production tend to decline. In other words, the increasing of the beef cattle population number in Bandung Regency has not been able to increase the number of local beef production.

Purposes of this study are: 1) to identify the farmers’ characteristics and competencies, and beef cattle business performance, 2) to analyze the influence of the characteristics through the competencies of farmers on the beef cattle business performance, and 3) to identify the indicators contributing to improving beef cattle business performance in Bandung Regency. This research was conducted in three central areas of beef cattle in Bandung Regency, namely Cikancung, Cimenyan, and Cimaung Districts in January to March 2015. Primary data was collected by interviews with a guide questionnaire to 121 cattle farmers were selected by proportional cluster sampling according to the number of cattle farmers in each the central areas. The data were analyzed by SEM analysis by LISREL 8.72.

The results showed that cattle farmers in Bandung Regency were dominated by farmers aged 40-59 years (middle age), very low educated (elementary school), have never been attended counseling/training, and have medium cosmopolitan level. Average farmers have high motivation and achievement needs. Technical and entrepreneurial competencies of farmers included in a high category. Beef cattle business performance in terms of productivity and business survival including in high category, while the business growth and profitability including in medium category.

Personal and psychological characteristics of farmers significantly and positively influence on the technical and entrepreneurial competencies. The greatest effect is indicated by psychological characteristic. Technical competency significantly and positively influence on business performance, while the entrepreneurial competency has no effect.

The greatest contributor of personal characteristics is counseling/training, while the greatest contribution of psychological characteristics is described by the need for achievement and motivation towing. The greatest contribution of technical competencies is described by the management of marketing and input, whereas the greatest entrepreneurial competencies outlined by the initiative. The business performance is explained by productivity.

(7)

7

based by the right and adequate knowledge. This causes the entrepreneurial competencies of farmers have no effect on its business performance. Despite of with the small-scale enterprises, the average farmer has the motivation and high achievement needs so that they have the potential to maintain and even expand their business, particularly through increasing their technical competencies. Farmers who use private capital which is supported by additional capital from external parties (combined capital) are more likely to have high technical competencies. To support the high entrepreneurial competencies, especially in innovating initiative, farmers need science and appropriate knowledge through education/training, especially in managing inputs and marketing. In the next step, expected to improve the business performance of beef cattle in Bandung Regency, especially productivity in order to increase the number of local beef production to achieve self-sufficiency.

(8)

8

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

DIYANI FAUZIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

PENGARUH KARAKTERISTIK PETERNAK MELALUI

KOMPETENSI PETERNAK TERHADAP KINERJA USAHA

(10)

10

(11)

11 Judul Tesis : Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak

terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung Nama : Diyani Fauziyah

NIM : H351130501

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Ketua

Dr Ir Burhanuddin, MM Anggota

Diketahui oleh

Tanggal Ujian: 22 September 2015 Tanggal Lulus: Ketua Program Studi

Magister Sains Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

(12)
(13)

13

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Ir Burhanuddin, MM selaku dosen pembimbing atas motivasi dan saran, serta kesabarannya dalam membimbing penulis. Terima kasih juga kepada Dr Ir Rachmat Pambudy, MS dan Dr Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji pada ujian tesis atas saran perbaikan yang mendukung untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya kepada penulis. Di samping itu, penulis juga berterimakasih kepada Bakrie Center Foundation atas beasiswa yang diberikan sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan di program studi Magister Sains Agribisnis. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Tim Redaksi Jurnal Agribisnis Indonesia atas kesediaannya untuk menerbitkan artikel dari karya ilmiah ini sehingga penulis termotivasi untuk lulus tepat waktu. Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung, penyuluh dan peternak sapi di Kabupaten Bandung, serta pihak-pihak yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis sampaikan terima kasih kepada rekan-rekan Magister Sains Agribisnis Angkatan 4 Program Studi Agribisnis IPB atas segala doa dan dukungan.

(14)
(15)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Karakteristik Pelaku Usaha 6

Kompetensi Kewirausahaan dan Determinannya 6

Kinerja Usaha, Determinan dan Indikator Keberhasilannya 8 Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Kompetensi Usaha 8 Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Kinerja Usaha 8 Hubungan Kompetensi Kewirausahaan dan Kinerja Usaha 9 Analisis SEM (Structural Equation Models) dalam Kajian Kewirausahaan 10

KERANGKA PEMIKIRAN 12

Karakteristik Individu 12

Konsep Kompetensi dan Komponen-komponennya 14

Konsep Kewirausahaan 16

Kompetensi Kewirausahaan 18

Kinerja Usaha dan Ukuran Keberhasilannya 22

Kerangka Pemikiran Operasional 24

Hipotesis 25

METODE PENELITIAN 26

Lokasi dan Waktu Penelitian 26

Metode Pengambilan Sampel 26

Metode Pengumpulan Data 26

Variabel Penelitian dan Skala Pengukuran 27

Metode Analisis Data 30

HASIL DAN PEMBAHASAN 34

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 34

Karakteristik Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung 35

Karakteristik Responden 40

Kompetensi Responden 44

Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung 51

(16)

ii

Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung 60

Indikator Karakteristik Peternak Sapi Potong 63

Indikator-indikator Kompetensi Peternak Sapi Potong 67 Indikator-indikator Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong 69

KESIMPULAN DAN SARAN 71

Kesimpulan 71

Saran 71

DAFTAR PUSTAKA 73

LAMPIRAN 80

(17)

iii

DAFTAR TABEL

1 Definisi kompetensi berdasarkan beberapa kajian empiris 6 2 Komponen-komponen kompetensi teknis petani wirausaha 19 3 Komponen-komponen kompetensi kewirausahaan petani wirausaha 23 4 Variabel laten dan manifest/indikator model persaman struktural 27 5 Definisi dan skala pengukuran indikator karakteristik personal (X1) 28 6 Definisi operasional indikator karakteristik psikologis (X2) 28 7 Definisi operasional variabel manifest/indikator kompetensi peternak 29 8 Definisi operasional variabel manifest/indikator kinerja usaha (Y3) 30 9 Kinerja usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Bandung 34 10 Sebaran responden berdasarkan karakteristik usaha 36 11 Persentase jumlah responden berdasarkan modal usaha dan kompetensi

teknis responden 37

12 Persentase jumlah responden berdasarkan persepsi usaha ternak dan

pekerjaan lain yang dimiliki 37

13 Persentase jumlah responden berdasarkan skala usaha ternak dan

kompetensi teknis responden 39

14 Sebaran jumlah ternak berdasarkan klasifikasi umur ternak 39 15 Sebaran persentase responden berdasarkan kelompok usia 40 16 Sebaran persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan formal 41 17 Sebaran persentase responden berdasarkan pengalaman beternak 41 18 Sebaran persentase responden berdasarkan tingkat penyuluhan 41 19 Sebaran persentase responden berdasarkan tingkat kekosmopolitan 42 20 Kategori dan persentase tertinggi dari karakteristik personal responden 42 21 Sebaran persentase penilaian dan tingkat karakteristik psikologis responden 43 22 Sebaran persentase penilaian responden terhadap kompetensi teknis 44 23 Sebaran responden berdasarkan jenis sapi yang dimiliki 45 24 Sebaran responden berdasarkan frekuensi kegiatan pemeliharaan ternak 46 25 Sebaran persentase penilaian responden pada kompetensi kewirausahaan 48 26 Kategori dan persentase komponen tertinggi dari kompetensi teknis dan

kewirausahaan peternak 51

27 Sebaran persentase penilaian responden dan tingkat kinerja usaha ternak 52 28 Sebaran persentase responden berdasarkan pertumbuhan jumlah ternak 52 29 Hasil uji kecocokan keseluruhan model output SEM 54 30 Hasil uji kecocokan keseluruhan model setelah direspesifikasi 58 31 Hasil uji validitas variabel manifest pada model pengukuran setelah

direspesifikasi 59

32 Hasil uji reliabilitas model pengukuran setelah direspesifikasi 59 33 Evaluasi terhadap koefisien model struktural hasil respesifikasi 63 34 Nilai faktor muatan (λ) dan rataan skor variabel manifest, serta kesimpulan

(18)

iv

DAFTAR GAMBAR

1 Trend perkembangan populasi sapi dan produksi daging sapi lokal di

Kabupaten Bandung tahun 2005-2013 3

2 Model daya saing UKM 10

3 Kerangka konseptual pengaruh karakteristik psikologis dan kompetensi

peternak terhadap kesuksesan kewirausahaan 10

4 Model SEM 11

5 Model pengaruh kompetensi terhadap kinerja usaha 11 6 Kerangka pemikiran operasional pengaruh karakteristik peternak melalui

kompetensi peternak terhadap usaha ternak sapi potong di Kabupaten

Bandung 25

7 Path diagram pengaruh karakteristik peternak melalui kompetensinya

terhadap kinerja usaha ternak sapi potong 33

8 Bidang usaha dalam sistem agribisnis sapi potong 35 9 Heywood cases dan signifikansi (t-value) pada model pengaruh

karakteristik peternak melalui kompetensinya terhadap kinerja usaha

ternak sapi potong di Kabupaten Bandung 55

10 Validitas dan keeratan hubungan antar variabel pada model pengaruh karakteristik peternak melalui kompetensinya terhadap kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung (estimasi standardized solution) 56 11 Signifikansi (t-value) pada model pengaruh karakteristik peternak melalui

kompetensinya terhadap kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten

Bandung setelah direspesifikasi 60

12 Validitas dan keeratan hubungan antar variabel pada model pengaruh karakteristik peternak melalui kompetensinya terhadap kinerja usaha zternak sapi potong di Kabupaten Bandung setelah direspesifikasi

(estimasi standardized solution) 61

13 Indikator-indikator karakteristik personal 64

14 Indikator-indikator karakteristik psikologis 66

15 Indikator-indikator kompetensi teknis 67

16 Indikator-indikator kompetensi kewirausahaan 68

17 Indikator-indikator kinerja usaha ternak 69

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner 80

2 Populasi sapi potong di Kabupaten Bandung tahun 2012 (ekor) 86

3 Uji validitas dan reliabilitas model awal 87

4 Uji validitas dan reliabilitas model respesifikasi 87

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di akhir tahun 2015, Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN akan menghadapi persaingan global di wilayah regional ASEAN yang dikenal dengan AEC (ASEAN Economic Community) atau MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Kesepakatan ini menuntut kemandirian pelaku usaha karena intervensi pemerintah harus lebih diminimalisir. Tuntutan mengenai kemandirian ini sebenarnya sudah ditegaskan oleh Sumardjo (1999) bahwa petani dituntut untuk memiliki aspirasi, kreatif, inovatif, mampu mengambil keputusan yang menguntungkan, dan tangguh dalam beragribisnis, tidak lagi hanya mengandalkan proteksi dan subsidi dari pemerintah. Riyanti (2003) juga mengatakan bahwa kemandirian dalam hal permodalan dan penggunaan bahan baku lokal (bukan impor) merupakan modal awal terciptanya ekonomi perusahaan yang sehat. Kedua pernyataan ini merujuk pada perkembangan ekonomi berbasis wirausaha, terutama pelaku usaha kecil.

Hasil survey dari The Asian Foundation dan Akatiga (1999) mencatat bahwa perekonomian Indonesia bisa selamat dari krisis ekonomi dunia karena banyaknya usaha kecil yang tidak bergantung dari pihak asing dalam hal permodalan dan penyediaan bahan baku (Riyanti 2003). Padahal diketahui bahwa usaha-usaha kecil tersebut memiliki banyak hambatan, seperti kurangnya kemampuan manajemen, teknologi yang kurang memadai, dan kurangnya informasi pasar sehingga kurang mampu bersaing di pasar global. Namun, adanya tuntutan global seperti kesepakatan MEA ini memaksa pelaku usaha kecil untuk dapat meningkatkan kinerja usahanya karena ancaman terkena dampak krisis ekonomi global juga menjadi lebih besar.

Petani kecil pada perkembangan ekonomi saat ini tidak hanya dituntut untuk memiliki kompetensi teknis, tetapi juga manajerial dan kewirausahaan (Bergevoet 2005). Menurut Bergevoet (2005), dalam perusahaan yang lebih besar, beberapa individu yang berbeda melakukan fungsi-fungsi ini, sedangkan petani dengan usaha kecil dituntut menggabungkan ketiga fungsi tersebut. Sebagai pengusaha, petani bertanggung jawab untuk membuat pilihan strategis untuk bisnis dan untuk menyediakan modal. Petani sebagai seorang manajer yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengendalian rencana. Untuk memenuhi kombinasi tugas tersebut, petani perlu memiliki keseimbangan antara pengetahuan dan keterampilan di ketiga wilayah kompetensi tersebut. Oleh karenanya, hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi dan keberhasilan usaha perlu diteliti.

(20)

2

Richards dan Bulkley (2007) menyimpulkan dengan tegas bahwa kewirausahaan merupakan atribut kunci keberhasilan ekonomi pertanian dan target logis kebijakan pembangunan ekonomi pedesaan adalah wirausaha pertanian (agricultural entrepreneur). Wirausaha pertanian adalah petani yang memandang usahanya sebagai suatu bisnis (berorientasi bisnis) yang mendatangkan profit dan berharap usahanya dapat tumbuh (Kahan 2012).

Sebagai salah satu subsektor pertanian, peternakan berperan penting dalam penyediaan bahan pangan, terutama dalam pemenuhan protein hewani bagi masyarakat. Daging sapi tetap menjadi salah satu pangan strategis dari hasil peternakan yang menjadi target swasembada di tahun 2014, meskipun program swasembada ini telah dinyatakan gagal di tahun 2005 dan 2010.

Namun, hingga tahun 2013 produksi daging sapi masih belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga tingkat ketergantungan pada impor masih sangat tinggi. Neraca kebutuhan dan ketersediaan daging sapi mengalami defisit produksi sebesar 21.46 – 28.06 persen (Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas 2013). Padahal diperkirakan konsumsi daging sapi akan terus meningkat karena pertumbuhan jumlah penduduk, kenaikan pendapatan riil per kapita, citra produk (gengsi), cita rasa, serta pertumbuhan industri pengolahan daging sapi dan industri pariwisata.

Kementrian pertanian menegaskan bahwa indikator utama keberhasilan swasembada daging sapi dilihat dari populasi ternak sapi yang sudah dapat mencukupi kebutuhan konsumsi di dalam negeri, setidaknya 90 persen konsumsi daging sapi dapat dipasok dari sapi domestik. Sisanya dipenuhi melalui impor, baik berupa sapi bakalan maupun daging segar, untuk mengurangi kemungkinan pengurasan ternak sapi potong lokal. Namun, Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas (2013) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia masih terhambat karena: (1) Usaha pembiakan secara komersial kurang menguntungkan sehingga usaha ini hanya dilakukan secara sambilan sekedar untuk tabungan/investasi oleh petani skala kecil; (2) Padang penggembalaan yang menjadi andalan usaha pembiakan di wilayah timur Indonesia terus berkurang karena dikapling untuk pemukiman dan lain-lain; dan (3) Pemotongan sapi betina produktif yang sangat sulit dikendalikan sehingga pertumbuhan jumlah anak sapi yang lahir menurun.

Adapun menurut Suharyanto (2011), persoalan swasembada tidak hanya dalam pencapaian target populasi, tetapi juga bagaimana mempertahankannya. Hal ini penting diperhatikan mengingat usaha peternak sapi masih menjadi usaha subsisten dan skala usahanya masih kecil. Skala usaha yang kecil menunjukkan tingkat efisiensi usaha yang masih rendah. Di samping itu, peternak pada umumnya masih bersifat subsisten sehingga sangat mungkin mengkonversi ternaknya untuk kebutuhan hidupnya tanpa mempertimbangkan keberlanjutan reproduksi dan populasi ternak. Hal ini dapat menyebabkan keberhasilan swasembada sulit dicapai, atau mungkin hanya berlangsung dalam jangka pendek.

(21)

3 juga menekankan pada kinerja ternak dalam negeri yang dinilai rendah dan kompetensi peternak yang masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, kompetensi peternak dan kinerja usaha ternak sapi potong menjadi menarik untuk diteliti.

Perumusan Masalah

Jawa Barat merupakan sentra produksi daging sapi terbesar ke-2 di Indonesia setelah Jawa Timur (BPS 2015). Pola usaha ternak yang lebih berkembang di Jawa Barat adalah pola penggemukan karena wilayahnya yang cukup strategis dari aspek pasar (konsumen). Salah satu wilayah yang mengembangkan usaha ternak sapi di wilayah Priangan Barat dari Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung.

Kabupaten Bandung dikenal dengan komoditas unggulannya dari subsektor peternakan yaitu sapi perah, pertama di tingkat provinsi Jawa Barat dan ketiga di tingkat nasional. Sementara sapi potong masuk sepuluh besar di tingkat provinsi jika dilihat dari jumlah populasinya. Uniknya, data mengklasifikasikan sapi jantan jenis FH (Fries Holland/Holstein) ke dalam jenis sapi perah, padahal para peternak menjadikan sapi jenis ini sebagai salah satu komoditas sapi potong. Sapi perah jantan dan betina afkiran juga ikut berkontribusi pada ketersediaan daging sapi lokal sehingga tetap perlu diperhitungkan. Jadi, yang dimaksud dengan usaha ternak sapi potong dalam penelitian ini adalah usaha pembesaran maupun penggemukan sapi yang dilakukan oleh peternak rakyat untuk dimanfaatkan dagingnya.

Dari hasil observasi diketahui bahwa peternak sapi di Kabupaten Bandung mulai beralih pada usaha ternak sapi potong. Data dari Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (Gambar 1) membuktikan bahwa perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Bandung tahun 2005-2013 cenderung meningkat (rata-rata 17.91 persen/tahun), sedangkan sapi perah cenderung menurun (rata-rata -3.93 persen/tahun). Namun, perkembangan produksi daging sapi lokal setiap tahunnya juga cenderung menurun (rata-rata -3.90 persen/tahun). Dengan kata lain, peningkatan jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Bandung belum bisa meningkatkan angka produksi daging sapi lokal.

Gambar 1 Trend perkembangan populasi sapi dan produksi daging sapi lokal di Kabupaten Bandung tahun 2005-2013

Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2013 (diolah). 0.00

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Po

(22)

4

Peningkatan jumlah populasi sapi potong ini karena adanya dukungan dari Pemerintah Kabupaten Bandung di akhir tahun 2010, salah satunya melalui bantuan kredit dan bantuan bibit yang diberikan kepada anggota kelompok tani ternak. Bantuan kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) diberikan melalui bank dengan masa kontrak 3 tahun. Bantuan yang diberikan berupa 2 ekor bakalan sapi potong jantan jenis PO (Peranakan Ongole) per paketnya. Pembayaran dilakukan peternak dengan cicilan per 4 – 6 bulan dengan bunga sebesar 6 persen (karena ada subsidi dari pemerintah sebesar 7 persen). Jika lancar, kelompok tersebut akan ditawarkan untuk meminjam kembali.

Sementara bantuan bibit berupa bibit sapi betina yang sedang bunting. Bibit ini dibagikan kepada beberapa anggota untuk dipelihara. Setelah lahir pedet pertama, anggota tersebut wajib memberikan pedet kepada anggota lain yang belum mendapatkan bagian. Sementara induknya menjadi hak milik anggota tersebut. Bantuan ini bergulir dengan masa kontrak rata-rata 3 tahun.

Namun, tidak semua peternak merupakan anggota kelompok tani ternak. Sehingga cara mereka untuk menjalankan usaha ternaknya adalah dengan meminjam kredit dari UPK/PPK (semacam lembaga keuangan setingkat koperasi), bagi hasil dengan investor, maupun tukar tambah dengan bandar. Intinya, untuk memulai usaha ternak sapi potong dibutuhkan adanya suntikan modal dari luar.

Selanjutnya, perkembangan jumlah populasi sapi potong kembali menurun di tahun 2012 karena tingginya harga bakalan sapi potong lokal, khususnya PO yang didatangkan dari Jawa Timur. Hal ini menjadi salah satu penyebab sebagian peternak sapi potong di Kabupaten Bandung beralih membeli pedet dan bakalan sapi perah jantan (sapi jantan jenis FH) untuk dibesarkan (rearing) dan digemukkan (fattening). Hal unik ini terutama terjadi di Kecamatan Cimenyan karena berbatasan langsung dengan Cilengkrang sebagai salah satu wilayah sentra sapi perah. Di daerah ini juga, pemasaran sapi perah jantan lebih mudah karena banyaknya bandar yang memang lebih mencari sapi jenis ini sehingga peternak dapat menjual sapi di luar hari raya qurban.

(23)

5 Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dibuat beberapa perumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana karakteristik dan kompetensi peternak, serta kinerja usaha sapi potong di Kabupaten Bandung.

2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik peternak melalui kompetensi peternak terhadap kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.

3. Indikator apa saja yang berkontribusi besar untuk meningkatkan kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi karakteristik dan kompetensi peternak, serta kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.

2. Menganalisis pengaruh karakteristik peternak melalui kompetensi peternak terhadap kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.

3. Mengidentifikasi indikator yang berkontribusi besar untuk meningkatkan kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terkait, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Bagi pengambil kebijakan, sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dalam pengembangan agribisnis, terutama berkaitan dengan kompetensi kewirausahaan dan teknis agribisnis.

2. Bagi pelaku usaha ternak, sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk pengambilan keputusan dalam mengembangkan usaha ternaknya.

3. Bagi mahasiswa dan peneliti, sebagai tambahan informasi dan referensi dalam bidang wirausaha peternakan, khususnya untuk penelitian sejenis.

Ruang Lingkup Penelitian

(24)

6

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Pelaku Usaha

Kajian kewirausahaan dan keberhasilan usaha selalu dimulai dengan pendekatan karakteristik individu pelaku usahanya, yaitu faktor demografis, psikologis, dan human capital (Li 2009). Faktor demografis dan human capital yang berhubungan dengan keberhasilan usaha diukur dari usia, pengalaman, pendidikan, dan jaringan (Gerry et al. 2008, Meng dan Liang 1996, Nishanta 2009, Zimmerer dan Scarborough 1996). Menurut Staw (2001) dalam Riyanti (2003), usia yang berhubungan dengan keberhasilan usaha adalah entrepreneurial age, yaitu seberapa lama seseorang menjadi wirausaha (pengalaman berwirausaha). Sementara itu, faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keberhasilan usaha diukur dari motivasi diri, kebutuhan berprestasi (need for achievement), locus of control, risk-taking propensity, tolerance of ambiguity, kepribadian (percaya diri, berpikir positif, proaktif), komitmen, sabar, tipe perilaku, kreativitas, dan innovativeness (Boyd dan Vozikis 1994, Inggarwati dan Kaudin 2010, Jung et al. 2001, Li 2009). Faktor-faktor psikologis dapat mempengaruhi pengambilan keputusan peternak dalam melakukan usahanya sehingga dijadikan sebagai variabel karakteristik peternak (Bergevoet 2005). Berdasarkan kajian-kajian tersebut, dapat diduga bahwa kompetensi kewirausahaan peternak dipengaruhi oleh faktor karakteristik individu, yang selanjutnya dapat mempengaruhi kinerja usaha ternak.

Kompetensi Kewirausahaan dan Determinannya

Beberapa penelitian dalam jurnal internasional membedakan kompetensi menjadi competence dan competency. Competence adalah evaluasi kinerja dalam lingkup yang spesifik pada kegiatan, sedangkan istilah competency digunakan untuk mengkarakterisasi individu dan perilakunya (Hayton dan McEvoy 2006, Mitchelmore dan Rowley 2010). Sementara Woodruffe (1990) menyatakan bahwa competence didefinisikan sebagai aspek pekerjaan yang dapat dilakukan seorang individu, sedangkan competency mengacu pada perilaku seseorang dan mendasari kinerja yang kompeten.

Tabel 1 Definisi kompetensi berdasarkan beberapa kajian empiris Kompetensi (competencies) didefinisikan sebagai: Penulis Pengalaman, pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap Pickett 1998

Sifat, pengetahuan, kemampuan, karakter pribadi, motif Kanungo & Misra 1992 Perilaku, sikap, karakteristik, pengetahuan, keterampilan Mitchelmore & Rowley 2010 Keterampilan/kemampuan, pengetahuan/pengalaman, dan

sikap/karakter.

Bartlett & Ghoshal 1997

Inti, pribadi, dan kompetensi manajerial Abraham et al. 2001

Keterampilan Brightman 2004, Hofener

2000, McKenna 2004 Karakteristik, pengetahuan, keterampilan dan karakter pribadi Man et al. 2002 Pengetahuan, motif, karakter, gambaran diri, peran sosial dan

keterampilan; kepribadian, sikap dan pengalaman

Bird 1995, Man and Lau 2005

(25)

7 Hayton dan McEvoy (2006) menunjukkan adanya penggunaan istilah lain dari kompetensi (competency), yaitu keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan. Di kalangan para penggagas dan pengguna assessment centre, telah disepakati bahwa hal-hal yang ada pada diri manusia yang berpengaruh terhadap keberhasilan usahanya disebut dengan istilah kompetensi (Prihadi 2004). Prihadi (2004) merinci beberapa istilah lain dari kompetensi, yaitu pengetahuan, watak, penalaran, sifat/jiwa, karakter, kepribadian, keterampilan, sikap, perilaku, motivasi, dan sebagainya. Dalam kajiaannya, Penchev dan Salopaju (2011) juga merangkum berbagai istilah definisi (Tabel 1).

Secara umum, kompetensi adalah satu set persyaratan yang digunakan secara luas dalam lingkup pengembangan sumber daya manusia untuk menilai kinerja masyarakat (Moore et al., 2002). Man et al. (2002) mendefinisikan kompetensi kewirausahaan sebagai kemampuan total seorang wirausaha untuk melakukan pekerjaan dengan sukses. Terdapat konsensus umum bahwa kompetensi kewirausahaan dibawa oleh individu yang memulai dan mengubah bisnis mereka (Mitchelmore dan Rowley 2010). Sementara Lackéus (2013) mendefinisikan kompetensi kewirausahaan sebagai “…..knowledge, skills and attitudes that affect the willingness and ability to perform the entrepreneurial job of new value creation; that can be measured directly or indirectly; and that can be improved through training and development.” Jadi, kompetensi kewirausahaan didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mempengaruhi kemauan dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan kewirausahaan dengan penciptaan nilai baru; yang dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung; dan yang dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan. Adapun model pengembangan kompetensi kewirausahaan dimulai dengan karakteristik individunya terlebih dahulu, seperti latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman usaha dan pengalaman kerja (sebagai karyawan), dan variabel demografis lainnya yang dianggap mempengaruhi (Herron dan Robinson 1993, Bird 1995).

Beberapa penelitian di bidang kewirausahaan membedakan antara kompetensi manajerial dan kompetensi kewirausahaan (Chandler dan Hanks 1994, Man et al. 2002, Lerner dan Almor 2002). Man et al. (2002) secara jelas membedakan bahwa kompetensi kewirausahaan merupakan prasyarat untuk memulai suatu usaha, sedangkan kompetensi manajerial merupakan prasyarat untuk mengembangkan bisnis. Hal tersebut menjadi dasar bahwa dalam penelitian ini hanya mengkaji kompetensi kewirausahaan yang dimiliki peternak untuk memulai suatu bisnis karena pada umumnya peternak masih berpola pikir subsisten, bukan komersial (bisnis).

Kajian empiris mengenai perilaku kewirausahaan lebih banyak dilakukan karena perilaku merupakan salah satu komponen kompetensi yang mudah diukur. Pernyataan ini juga didukung oleh kajian teoritis dari Klemp (1981), Boyatzis (1982), Spencer dan Spencer (1993), Bird (1995), dan pakar lainnya. Oleh karena itu pada poin ini juga dipaparkan mengenai hal-hal atau faktor apa saja yang terkait dengan perilaku, khususnya dalam lingkup kewirausahaan.

(26)

8

bertujuan menjelaskan intensi seseorang dalam mendirikan usaha baru. Sementara studi Inggarwati dan Kaudin (2010) bertujuan mengkaji pengaruh faktor psikologis terhadap intensi untuk mengembangkan usaha, meliputi motivasi awal mendirikan usaha, entrepreneurial self-efficacy, dan risk taking propensity.

Kinerja Usaha, Determinan dan Indikator Keberhasilannya

Sánchez dan Marin (2005) mengukur kinerja usaha dengan melihat dari aspek profitabilitas, produktivitas, dan pasar. Lee dan Tsang (2001) mengukur kinerja usaha dari tiga indikator, yaitu pertumbuhan penjualan (sales growth), pertumbuhan profit (profit growth), dan pertumbuhan modal (capital growth).

Keberhasilan usaha dapat dilihat dari peningkatan atau perkembangan kinerja usaha setiap periode waktu tertentu. Suatu usaha dapat dinyatakan berhasil jika mengalami sedikitnya 6-10% pertumbuhan per tahun (Ghost et al. dalam Meng dan Liang 1996). Dirlanudin (2010) memaparkan bahwa ukuran keberhasilan usaha kecil adalah: (1) terciptanya kepuasan berbagai pihak yang berkepentingan dengan usaha kecil; (2) meningkatnya kesetiaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan; (3) mampu meningkatkan dan memperluas pangsa pasar; (4) memiliki kemampuan bersaing di bidang usahanya; dan (5) terjadi peningkatan pendapatan.

Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Kompetensi Usaha

Penelitian Darya (2012) menunjukkan bahwa kompetensi usaha secara umum memiliki hubungan positif dan dipengaruhi secara signifikan oleh karakteristik kewirausahaan. Kompetensi usaha dalam penelitiannya terdiri atas pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan terhadap usaha. Sementara karakteristik wirausaha dalam hal ini mengacu pada kelima faktor berikut: (1) kemampuan mengatasi perubahan (adapted to change), (2) kemampuan mengatasi kegagalan (ability to risk failure), (3) keinginan untuk berkembang (desire of growth), (4) keinginan lebih unggul (take advantage of the oportunity), (5) mempunyai pengetahuan dan mencari hal-hal baru (ability to search and having knowledge).

Penelitian Syafiuddin dan Jahi (2007) lebih spesifik pada kompetensi kewirausahaan petani. Hasil kajiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara karakteristik individu dan kompetensi kewirausahaan petani. Karakteristik individu yang dianalisis terdiri atas umur, pendidikan formal, tanggungan, keluarga, pengalaman usaha tani, pendapatan keluarga, motivasi berusaha, pemanfaatan media informasi, luas lahan budidaya, dan modal usaha. Sementara kompetensi wirausaha yang dianalisis meliputi kompetensi agribisnis, kompetensi manajemen, mengambil keputusan menanggung resiko dan bertindak kreatif, berkomunikasi dan memotivasi. Hasil analisis dengan menggunakan uji korelasi dan path analysis menunjukkan bahwa umur memiliki hubungan dengan kesepakatan tertinggi, sedangkan pengalaman usaha dan pendidikan formal memiliki hubungan dengan kesepakatan yang rendah dan sedang.

Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Kinerja Usaha

(27)

9 jumlah mitra usaha, dan hasrat mengelola usaha berpengaruh positif terhadap kinerja usaha tersebut. Penelitian lainnya juga telah membuktikan adanya hubungan positif antara karakteristik pemilik usaha dan kinerja usahanya (Nimalathasan 2008, Street dan Cameron 2007). Penelitian Darroch dan Glover (2005) menunjukkan bahwa motivasi diri dan lingkungan (keluarga) dan pengalaman bisnis dapat meningkatkan keberhasilan UMKM Agribisnis dilihat dari kemampuannya membayar pinjaman. Kajian lain menyatakan bahwa kinerja karyawan suatu perusahaan didukung oleh karakteristik karyawan tersebut, seperti keterikatan, motivasi, dan kepuasan kerja (Rizal et al. 2013, Tobing 2009, Winanti 2011). Darya (2012) juga menganalisis hubungan dan pengaruh karakteristik kewirausahaan terhadap kinerja usaha mikro, tetapi hasilnya tidak signifikan.

Hubungan Kompetensi Kewirausahaan dan Kinerja Usaha

Noersasongko (2005) menyatakan bahwa kewirausahaan dianggap memiliki pengaruh yang dominan terhadap keberhasilan kinerja usaha. Omrane dan Fayolle (2011) menegaskan bahwa kompetensi merupakan prediktor terbaik dari kinerja pengusaha. Beberapa penelitian pada perusahaan umum juga telah menyimpulkan bahwa kinerja kewirausahaan pada tingkat perusahaan berkaitan dengan kompetensi kewirausahaan (Chandler dan Hanks 1994, Chandler dan Jansen 1992, Lans et al. 2013, Priyanto dan Iman 2005). Kesimpulan yang sama diperoleh Phelan (2014) pada usaha sektor pertanian yang berbasis pariwisata (agrowisata).

Penelitian Darroch dan Glover (2005) merekomendasikan bahwa untuk meningkatkan perkembangan usaha agribisnis, para pembuat kebijakan sebaiknya memperhatikan komponen-komponen kualitas kewirausahaan pelaku usaha. Komponen tersebut mengacu pada model Guzman dan Santos (2001), yaitu preferensi bekerja sebagai self-employed, kapasitas perilaku energizer (seperti rencana ekspansi usaha dan pelatihan staf), sifat motivasi kewirausahaan, serta faktor-faktor personal dan eksternal (lingkungan).

Wijayanti (2011) memaparkan bahwa faktor yang menghambat para pelaku agribisnis skala kecil dan menengah dalam mengembangkan agribisnis terletak pada kemampuan berwirausaha dan penerapan manajemen. Hubungan kewirausahaan, yang direfleksikan melalui jiwa kewirausahaan, dengan keberhasilan usaha agribisnis (Udayani 2010) maupun program pemerintah (Wijayanti 2011, Dananjaya 2014) adalah positif dan berpengaruh sangat nyata. Jiwa kewirausahaan (sifat kepemimpinan, kerja keras dan tekun, sifat mau belajar, dan kreatif) berpengaruh paling dominan, kemudian diikuti oleh karakteristik pelaku agribisnis (Udayani 2010). Wijayanti (2011) menganalisis tiga belas indikator jiwa kewirausahaan, yaitu sifat instrumental, prestatif, keluwesan bergaul, risk taker, swakendali, kerja keras, keyakinan diri, inovatif, kreatif, dan kepemimpinan. Sementara Dananjaya (2014) menambahkan tiga indikator lainnya, yaitu sifat berorientasi pada tindakan, berpikir simple, dan fokus pada usaha.

(28)

10

kewirausahaan merupakan faktor penentu (determinan) kinerja usaha, begitupun dengan lingkup persaingan dan kapabilitas organisasi. Namun, keduanya juga dipengaruhi secara langsung oleh kompetensi kewirausahaan. Model ini kemudian diadopsi oleh Sánchez (2011).

Gambar 2 Model daya saing UKM

Sumber: Man et al. (2002).

Analisis SEM (Structural Equation Models) dalam Kajian Kewirausahaan Bergevoet (2005) menguji hubungan antara karakteristik psikologis dan kompetensi kewirausahaan sebagai prediktor keberhasilan kewirausahaan dari peternak sapi perah menggunakan alat analisis SEM dengan program LISREL. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kesuksesan kewirausahaan berhubungan positif dengan keinovatifan (innovativeness) dan berhubungan negatif lemah dengan penghindaran risiko (risk avoidance). Karakteristik psikologis mempenga-ruhi kompetensi strategis kewirausahaan dan kompetensi pencarian informasi, keduanya memberikan skor tertinggi terhadap kesuksesan kewirausahaan. Adapun model SEM dalam penelitian ini diadopsi dari model pada Gambar 3.

Gambar 3 Kerangka konseptual pengaruh karakteristik psikologis dan kompetensi peternak terhadap kesuksesan kewirausahaan

Sumber: Bergevoet (2005).

Darya (2012) menguji hubungan dan pengaruh ketidakpastian lingkungan dan karakteristik kewirausahaan terhadap kompetensi usaha dan kinerja usaha

Lingkup Persaingan

Kompetensi Kewirausahaan

Kapabilitas Organisasi

Kinerja Usaha

Tugas 3: Mengatur tujuan

dan mengambil tindakan Tugas 1: Membentuk

lingkup persaingan

Tugas 2: Menciptakan kapabilitas organisasi

Karakteristik psikologis & faktor

personal

Kompetensi teknis

Kompetensi manajerial

Kompetensi kewirausahaan

Kesuksesan kewirausahaan Karakteristik

usaha

(29)

11 mikro kecil, serta kompetensi usaha terhadap kinerja usaha mikro kecil menggunakan alat analisis SEM dengan program AMOS (Analysis of Moment Structure). Dengan alat analisis yang sama, Sarwoko et al. (2013) menganalisis pengaruh karakteristik kewirausahaan terhadap kinerja usaha, dan kompetensi kewirausahaan sebagai variabel antara (Gambar 4).

Gambar 4 Model SEM

Sumber: Sarwoko et al. (2013).

Sánchez (2011) menganalisis hubungan langsung dan tidak langsung kompetensi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan (Gambar 5). Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kompetensi kewirausahaan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kinerja, tetapi juga secara tidak langsung dengan perantara kapabilitas organisasi dan lingkup persaingannya. Kapabilitas organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha dan secara parsial menjadi variabel antara kompetensi kewirausahaan terhadap kinerja. Sementara lingkup persaingan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap pertumbuhan usaha, tetapi merupakan prediktor yang kuat terhadap indikator kinerja usaha lainnya. Sánchez (2011) juga menemukan bahwa kapabilitas organisasi merupakan prediktor yang kuat terhadap lingkup persaingan.

Gambar 5 Model pengaruh kompetensi terhadap kinerja usaha

Sumber: Sánchez (2011).

Puspitasari (2013), menganalisis pengaruh faktor internal dan eksternal petani anggrek melalui perilaku kewirausahaannya terhadap kinerja usaha anggrek menggunakan alat analisis SEM dengan program LISREL. Dengan alat analisis dan program yang sama, Pamela (2013) dan Rizal et al. (2013) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi dan kinerja/keberhasilan usaha, serta pengaruh kompetensi terhadap kinerja individu/keberhasilan usaha.

Kinerja Usaha Karakteristik

Kewirausahaan

Kompetensi Kewirausahaan

Kapabilitas Organisasi

Lingkup Persaingan

Kompetensi Kewirausahaan

(30)

12

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik Individu

Di dalam kajian empiris mengenai kompetensi dan kinerja, tinggi rendahnya kompetensi dan kinerja usaha selalu dikaitkan dengan karakteristik individu SDM-nya. Adapun dalam kajian teoritis, Lionberger dan Gwin (1982) mengemukakan tujuh unsur karakteristik individu, yaitu (1) pendidikan, (2) tempat tinggal, (3) pekerjaan orang tua, (4) kecakapan dalam manajemen, (5) kesehatan, (6) umur, dan (7) perilaku.

Jika dikaitkan dengan kewirausahaan, Bird (1996) menyebutkan ada empat elemen yang membentuk perilaku wirausaha yaitu: (1) faktor individu meliputi kondisi orang-orang yang ada dalam organisasi, (2) faktor organisasi menyangkut kondisi internal, keberadaan serta daya tahan lembaga tersebut, (3) faktor lingkungan meliputi faktor yang berada di luar organisasi dan dapat mempengaruhi keberadaan organisasi, dan (4) faktor proses, sebagai aktivitas kerja yang terjadi dalam organisasi termasuk terjadinya interaksi antara individu yang satu dan yang lainnya. Bird (1996) merinci faktor individu tersebut ke dalam tiga komponen, yaitu: (1) karakteristik biologis (umur, jenis kelamin, pendidikan); (2) latar belakang wirausaha (pengalaman usaha, alasan berusaha, pekerjaan keluarga); dan (3) motivasi (ketekunan, kegigihan, dan kemauan keras untuk berhasil).

Alma (2010) juga menyebutkan lima unsur karakteristik individu yang melatarbelakangi seseorang menjadi wirausaha, yaitu: (1) lingkungan keluarga (silsilah dalam keluarga dan pekerjaan orang tua), (2) pendidikan, (3) nilai-nilai personal, (4) usia, (5) riwayat pekerjaan. Riyanti (2003) juga mengemukakan beberapa karakteristik individu (faktor demografi) wirausaha terkait dengan keberhasilan usaha skala kecil, yaitu: (1) usia, (2) keterlibatan dalam pengelolaan usaha sejenis (pengalaman usaha), (3) pendidikan, dan (4) perilaku inovatif.

Di dalam proses kewirausahaan juga tidak lepas dari proses inovasi. Rogers (2003) dan Soekartawi (2005) mengemukakan karakteristik individu yang mempengaruhi proses adopsi inovasi, yaitu: (1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial ekonomi, (4) pola hubungan (lokalit atau kosmopolit), (5) keberanian mengambil risiko, (6) sikap terhadap perubahan sosial, (7) motivasi berkarya, (8) aspirasi, (9) fatalisme (ketidakmampuan mengontrol masa depan sendiri), dan (10) dogmatisme (sistem kepercayaan yang tertutup).

Berdasarkan kajian teoritis dan empiris sebelumnya, karakteristik personal peternak yang dianggap penting dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Usia

(31)

13 mencapai usia 55 atau 60 tahun, kemampuan belajar dan mendapatkan pengalaman semakin berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa umur dapat mempengaruhi kompetensi dan kinerja peternak.

2. Pendidikan formal

Menurut Riyanti (2003), pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha skala kecil, dengan asumsi semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik pula pengetahuannya dalam mengelola usaha. Sementara menurut Alma (2010), tingkat pendidikan yang memadai penting bagi wirausaha, terutama dalam menjaga kontinuitas usaha dan mengatasi masalah yang dihadapi.

3. Pengalaman beternak dan/atau melakukan pekerjaan lainnya

Staw (1991) dalam Riyanti (2003) berpendapat bahwa pengalaman usaha merupakan prediktor terbaik bagi keberhasilan usaha yang sedang dilakukan, terutama jika usaha baru tersebut berkaitan dengan pengalaman usaha sebelumnya. Wirausaha yang berpengalaman dalam mengelola usaha sebelumnya mampu melihat peluang untuk melakukan usaha baru (Riyanti 2003). Sementara menurut Suparno (2001), kompetensi seseorang dapat dikembangkan dari proses berpikir, praktek dan pengalaman hidupnya. Jadi, peternak yang memiliki pekerjaan lain dan lebih lama dalam pengalaman usahanya akan memiliki kompetensi kewirausahaan dan kinerja yang lebih tinggi. Namun, Chandler and Jansen (1992) menemukan bahwa pengalaman masa lalu (previous experience) sebagai pendiri usaha (founder) tidak ada hubungannya dengan penilaian terhadap kompetensi kewirausahaan.

4. Pendidikan informal (penyuluhan/pelatihan)

Pendidikan informal, misalnya penyuluhan, dapat mempermudah peternak dalam menerima informasi dalam rangka meningkatkan kompetensi (Kartasapoetra 1987). Bergevoet (2005) menganalisis hubungan antara kompetensi kewirausahaan dengan karakteristik peternak dan usaha ternaknya. Untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan peternak, program pelatihan perlu dirancang dan diberikan.

5. Kekosmopolitan

Kekosmopolitan adalah keterbukaan peternak terhadap informasi, melalui hubungan dengan berbagai sumber informasi dalam rangka mengembangkan usahanya. Lionberger (1960) menyatakan bahwa golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru biasanya lebih inovatif dibandingkan dengan orang-orang yang pasif dan tidak percaya terhadap sesuatu yang baru. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kekosmopolitan peternak dapat mempengaruhi tingkat kompetensi kewirausahaannya.

Sementara karakteristik psikologis peternak yang dianggap penting dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Motivasi awal beternak

(32)

14

Faktor pendorong adalah faktor yang memaksa seseorang melakukan suatu usaha, sedangan faktor penarik adalah faktor yang bersumber dari dalam diri yang menyangkut minat seseorang untuk melakukan suatu usaha. Usaha-usaha yang dimulai karena faktor pendorong secara finansial kurang berhasil jika dibandingkan dengan faktor penarik (Amit dan Muller 1995). Faktor pendorong dalam penelitian ini dilihat dari adanya keterpaksaan akibat sulitnya mencari pekerjaan lain dan pendapatan dari usaha lain yang tidak mencukupi. Sementara faktor penariknya antara lain adanya keinginan pribadi peternak karena terinspirasi dari peternak lain yang terlihat sukses dan melihat adanya peluang potensial di daerahnya.

2. Kebutuhan berprestasi

Kebutuhan berprestasi adalah suatu nilai sosial yang menekankan pada hasrat untuk mencapai hasil terbaik untuk mencapai kepuasan pribadi yang harus dipenuhi (Suhandana 1980 dalam Suryana 2013). Kebutuhan berprestasi merupakan faktor psikologis yang berpengaruh terhadap kesuksesan wirausaha (Sorensen dan Chang 2006). Dalam penelitian ini, kebutuhan berprestasi dilihat dari adanya keinginan kuat untuk memiliki usaha peternakan yang lebih berhasil dan berkembang.

Konsep Kompetensi dan Komponen-komponennya

Teori mengenai kompetensi diawali oleh riset Klemp (1981) dengan definisi sebagai berikut.

“A competency is any attribute of person that underlies effective performance; a job competency is simply an attribute related to doing a job effectively. People carry with them a wide assortment of knowledge, abilities, interests, traits, and motives, but unless these attributes relate demonstrably to doing a job well, they are not job competencies.” (Klemp 1981).

Kemudian dikembangkan oleh Boyatzis (1982) dengan menambahkan kriteria kinerja dengan definisi sebagai berikut.

“An underlying characteristic of an employee (i.e., a motive, trait, skill, aspects of one’s self image, social role, or a body of knowledge) which results in effective and/or superior performance”. (Boyatzis 1982).

Kemudian disempurnakan oleh Spencer dan Spencer (1993) untuk menjelaskan modal kinerja superior yang berbasis kompetensi dengan definisi sebagai berikut.

“A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-referenced effective and/or superior performance in a

job situation.” (Spencer dan Spencer, 1993).

(33)

15 tim (teamwork and cooperation), dan membangun kebersamaan dalam arti kemauan untuk mengembangkan orang lain (developing others). Konsep diri meliputi kepercayaan diri (self confidence) dan kontrol diri (self control). Pengetahuan meliputi kemampuan mencari informasi (information seeking) dan keahlian teknis (technical expertise). Keterampilan meliputi kemampuan berpikir analitis (analytical thinking) dan berpikir secara konseptual (conseptual thinking). Kelima kompetensi ini menghasilkan Model Gunung Es mengenai kompetensi. Model ini membagi kompetensi seseorang ke dalam dua bagian, yaitu bagian yang nampak (visible) meliputi pengetahuan dan keterampilan, serta bagian yang tidak nampak (hidden) meliputi motif, sifat, dan konsep diri. Kompetensi pengetahuan dan keterampilan relatif mudah untuk dikembangkan, misalnya dengan pelatihan. Sementara tiga kompetensi lainnya sulit dinilai dan dibangun.

Penjelasan mengenai causally related menegaskan bahwa ketiga kompetensi tersebut (motif, sifat, dan konsep diri) mampu memprediksi perilaku yang menampilkan keterampilan seseorang yang selanjutnya dapat memprediksi kinerja. Artinya, jika mempunyai kompetensi yang tinggi, maka akan mempunyai kinerja yang tinggi pula (Moeheriono 2009). Dijelaskan pula bahwa di dalam kompetensi selalu disertakan motif (motive) atau sifat (trait) yang menyebabkan seseorang bertindak untuk mencapai tujuan atau hasil akhir.

Criterion-referenced bermakna bahwa kompetensi sebenarnya dapat memprediksi baik-buruknya kinerja seseorang yang diukur dengan kriteria-kriteria khusus atau standar tertentu. Beberapa kriteria yang digunakan dalam studi terkait kompetensi yaitu superior performance (kinerja superior) dan effective performance (kinerja efektif). Kinerja superior berhubungan dengan tingkat pencapaian tertinggi yang diraih seseorang dibandingkan dengan personil lain, sedangkan kinerja efektif diartikan sebagai tingkat kinerja minimal seseorang.

Hartle (1995) mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik individu yang terbukti dapat menciptakan kinerja yang unggul meliputi pengetahuan dan keterampilan (kompetensi yang terlihat/dapat diukur), serta elemen yang mendasari kompetensi (seperti sifat dan motif). Kompetensi didefinisikan sebagai karakteristik yang mendasari seseorang yang berhubungan sebab-akibat dengan kinerja yang efektif atau superior dalam pekerjaan, yang menyamaratakan seluruh situasi dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama (Boyatzis 1982, Klemp dan Spencer 1982, Spencer dan Spencer 1993).

Berdasarkan tujuannya, Spencer dan Spencer (1993) membagi kompetensi menjadi:

1. Kompetensi dasar (essential competencies), sebagai dasar dari pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan setiap orang. Kompetensi ini dapat dikembangkan dengan adanya pelatihan dan relatif mudah diidentifikasi. 2. Kompetensi pembeda (differentiating competencies), membedakan antara

kinerja superior dan kinerja rata-rata. Kompetensi ini termasuk konsep diri, sifat, dan motif. Kompetensi ini sulit dikembangkan, tetapi dapat menentukan kesuksesan pekerjaan dalan jangka panjang.

(34)

16

Konsep Kewirausahaan

Menurut Suryana (2013), konsep kewirausahaan yang berkembang saat ini berasal dari konsep Schumpeter yang mengemukakan bahwa fungsi pengusaha bukan sebagai pencipta atau penemu kombinasi-kombinasi baru, melainkan sebagai pelaksana dari kombinasi-kombinasi yang kreatif. Namun, akhir-akhir ini kewirausahaan berkembang di berbagai aspek kehidupan sehingga tidak selalu identik dengan perilaku atau watak pengusaha, tetapi juga pekerjaan lainnya yang dilakukan secara kreatif dan inovatif, termasuk petani (Suryana 2013). Secara sederhana, kreatif dapat diartikan sebagai memikirkan sesuatu yang baru (thinking new things), sedangkan inovatif dapat diartikan sebagai melakukan sesuatu yang baru (doing new things) (Levitt dalam Zimmerer dan Scarborough 1996).

Menurut Griffin (2004) kewirausahaan (entrepreneurship) adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengoperasian, dan pengambilan resiko dari suatu usaha bisnis. Sementara menurut Suryana (2013), kewirausahaan merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya, untuk menciptakan peluang agar meraih kesuksesan usaha atau hidup.

Secara konseptual, Suryana (2013) mendefinisikan seorang wirausaha (entrepreneur) dari berbagai sudut pandang dan dalam konteks sebagai berikut.

1. Menurut ahli ekonomi, seorang wirausaha adalah orang yang mengombinasikan faktor-faktor produksi, seperti SDA, SDM (tenaga kerja), modal, dan keahlian untuk meningkatkan nilai tambah. Seorang wirausaha juga memperkenalkan perubahan-perubahan, inovasi, dan perbaikan produksi lainnya.

2. Menurut ahli manajemen, seorang wirausaha memiliki kemampuan dalam menggunakan dan mengombinasikan sumber daya, seperti keuangan (money), bahan baku (materials), tenaga kerja (labours), keterampilan (skill), dan informasi untuk menghasilkan produk, proses produksi, bisnis, dan organisasi usaha baru. Seorang wirausaha juga mampu mengombinasikan unsur-unsur internal, seperti motivasi, visi, komunikasi, optimisme, dorongan, semangat, dan kemampuan memanfaatkan peluang usaha (Marzuki Usman 1997).

3. Dalam konteks bisnis, seorang wirausaha adalah seseorang yang menciptakan suatu bisnis baru dalam menghadapi risiko dan ketidakpastian dengan maksud memperoleh keuntungan dan pertumbuhan usaha dengan cara mengidentifikasi peluang dan mengombinasikan sumber daya yang diperlukan (Norman M. Scarborough dan Thomas W. Zimmerer 1993). Para pelaku bisnis memandang seorang wirausaha sebagai seseorang yang mengorganisasikan, mengelola, dan berani menanggung risiko suatu perusahaan (D Steinhoff dan JF Burgess 1993).

4. Menurut psikolog, seorang wirausaha adalah orang yang memiliki motivasi diri untuk memperoleh suatu tujuan, suka bereksperimen untuk menampilkan kebebasan dirinya di luar kekuasaan orang lain.

(35)

17 Suryana (2013) menyimpulkan enam hakekat penting kewirausahaan dari berbagai konsep dan sudut pandang para ahli, yakni: (1) kewirausahaan adalah nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis (Ahmad Sanusi 1994); (2) kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (Drucker 1959); (3) kewirausahaan adalah proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan/usaha (Zimmerer 1996); (4) kewirausahaan adalah nilai yang diperlukan untuk memulai dan mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro 1997); (5) kewirausahaan adalah proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan berbeda yang dapat memberikan manfaat serta nilai lebih; (6) kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah untuk memenangkan persaingan dengan jalan mengombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda, yaitu dengan: 1) mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan, 2) menghasilkan barang dan jasa yang lebih efisien, 3) memperbaiki produk yang sudah ada, dan 4) menemukan cara untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.

Menurut Suryana (2013), ilmu kewirausahaan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai resiko yang mungkin dihadapinya. Sementara kewirausahaan mempelajari tentang nilai, kemampuan, dan perilaku seseorang dalam berkreasi dan berinovasi. Oleh sebab itu, objek studi kewirausahaan adalah nilai-nilai dan kemampuan seseorang yang diwujudkan dalam bentuk perilaku. Menurut Bird (1996), perilaku wirausaha adalah aktivitas wirausahawan yang mencermati peluang (opportunistis), mempertimbangkan dorongan nilai-nilai dalam lingkungan usahanya (value-driven), siap menerima resiko dan kreatif. Gagasan-gagasannya disesuaikan dengan format dimulainya bisnis, pertumbuhan usaha atau transformasi bisnis.

Zimmerer dan Scarborough (1996) mengemukakan bahwa karakteristik sikap dan perilaku kewirausahaan yang berhasil adalah: (1) Memiliki komitmen dan tekad yang bulat untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pada usaha (commitment and determination); (2) Memiliki rasa tanggung jawab baik dalam mengendalikan sumber daya maupun keberhasilan wirausaha (desire for responsibility); (3) Selalu berambisi untuk mencari peluang (opportunity obsession); (4) Tahan terhadap resiko dan ketidakpastian (tolerance for risk, ambiguity, and uncertainty); (5) Percaya diri (self confidence); (6) Berdaya cipta dan luwes (creativity and flexibility); (7) Selalu memerlukan umpan balik yang segera (desire for immediate feedback); (8) Memiliki tingkat energi yang tinggi (high level of energy); (9) Memiliki dorongan untuk selalu unggul (motivation to excel); (10) Berorientasi pada masa yang akan datang (orientation to the future); (11) Selalu belajar dari kegagalan (willingness to lern from failure); dan (12) Kemampuan dalam kepemimpinan (leadership ability).

(36)

18

Kompetensi Kewirausahaan

Menurut Bird (1995), kompetensi kewirausahaan didefinisikan sebagai karakteristik yang mendasari seperti pengetahuan khusus, motif, sifat, gambar diri, peran sosial dan keterampilan dalam menciptakan usaha baru, kelangsungan hidup atau pertumbuhan usaha. Dengan kata lain, kompetensi kewirausahaan secara langsung mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha.

Sementara itu, Kahan (2012) lebih menjelaskan kompetensi yang spesifik untuk petani wirausaha (farmer-entrepreneur). Karakteristik petani wirausaha terdiri atas:

1. Nilai inti, meliputi sikap dapat dipercaya (trustworthy) dan jujur (honest). 2. Pemecahan masalah, meliputi dapat memecahkan masalah (problem solver),

kreatif, inovatif, imajinatif, dan belajar dari kegagalan (learns from failure). 3. Fleksibilitas, meliputi sikap fleksibel, adaptif, menilai perubahan sebagai

peluang, dan sabar/tahan menghadapi ambiguitas (tolerates ambiguity). 4. Gerakan (drive), meliputi motivasi yang sangat tinggi (highly motivated),

energi yang tinggi, tekun (determined), dan kegigihan (persevering).

5. Persaingan (competition), meliputi sikap kompetitif, inisiatif, dan digerakkan oleh tujuan (goal-driven).

6. Kepercayaan (confidence), meliputi sikap pengambil risiko (risk taker), percaya diri (self-confident), tegas/pasti (positive), dan meyakinkan (persuasive).

Sebagai seorang wirausaha, tentunya petani harus memiliki kompetensi yang tinggi karena seorang petani wirausaha juga merupakan petani yang unggul di bidangnya. Kompetensi teknis yang paling utama dibutuhkan adalah dalam pengelolaan input, produksi, dan pemasaran (Tabel 2). Menurut Kahan (2012), yang paling membedakan petani wirausaha dengan petani lainnya dilihat dari perilaku mereka dalam mengelola ketiga aspek tadi, yaitu mereka selalu mencari cara terbaik dan memiliki kemauan untuk bereksperimen dalam usahanya.

1. Pengelolaan input

Input adalah elemen kunci dalam pertanian berorientasi pasar yang menguntungkan. Wirausaha petani mampu mengidentifikasi, menjadi sumber dan memperoleh input untuk pertanian. Untuk mengelola input dengan sukses, petani perlu mengetahui input apa saja yang diperlukan untuk usahanya, di mana mendapatkan input tersebut dan bagaimana menggunakannya. Wirausaha petani memiliki pengetahuan dan keterampilan tersebut, juga selalu mencari kualitas input yang lebih baik, harga input yang lebih rendah, dan alternatif yang lebih efisien. Wirausaha petani selalu siap untuk bereksperimen dan belajar.

2. Pengelolaan produksi

(37)

19 3. Pengelolaan pemasaran

Dalam rangka untuk membuat keuntungan, produk yang dihasilkan harus dipasarkan dan dijual. Petani wirausaha mengetahui di mana pasar yang paling menguntungkan untuk setiap produk. Mereka pandai dalam bernegosiasi kontrak. Mereka juga selalu mencari pasar yang lebih menguntungkan dan beradaptasi dengan cepat saat menemukan peluang pasar baru untuk mengambil keuntungan.

Tabel 2 Komponen-komponen kompetensi teknis petani wirausaha

Kompetensi

Kahan (2012) mengemukakan bahwa petani wirausaha perlu memiliki kompetensi kewirausahaan yang terdiri atas inisiatif, ambisi, fokus pada pemecahan masalah, berpikir kreatif, mengambil risiko, fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi, kemampuan interpersonal, jaringan, dan kesiapan belajar. Adapun komponen kompetensi tersebut terdiri atas pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku (behavior). Kahan (2012) merinci dengan jelas indikator-indikator dari ketiga komponen kompetensi tersebut seperti pada Tabel 3.

1. Inisiatif

Inisiatif adalah kemauan untuk bekerja. Petani wirausaha sangat ingin untuk bergerak. Mereka tidak menunggu orang lain untuk memulai. Petani wirausaha memimpin jalan dan menjadi yang pertama dalam bertindak ketika peluang baru datang. Mereka mengetahui apa yang perlu dilakukan serta dapat membuat dan mengekspresikan visi mereka untuk sukses.

(38)

20

terdepan dan mampu menjadi pemimpin dalam bidang bisnis. Pengusaha tersebut melakukan banyak hal sebelum diminta atau dipaksa oleh situasi dan bertindak untuk memperluas bisnis ke daerah, produk/jasa baru (Jan 2000). 2. Ambisi

Ambisi adalah keinginan kuat untuk mencapai tujuan. Petani wirausaha sangat fokus pada pencapaian tujuan mereka. Mereka sangat termotivasi dan tidak berkecil hati atau mudah menyerah pada kegagalan. Keberhasilan atau kegagalan dalam berwirausaha sangat bergantung kepada tinggi atau rendahnya motivasi seorang wirausaha. Seorang wirausaha yang kurang semangat dan penuh keraguan akan gagal dalam usahanya (Suryana 2013).

Ambisi dapat diartikan juga sebagai motivasi internal sehingga dapat mengadopsi definisi motivasi berprestasi (achievement motivation) dan motivasi bekerja di bawah tekanan (work motivation under pressure) dari Spencer dan Spencer (1993). Motivasi berprestasi, yaitu keinginan utuk berprestasi dan menghasilkan kinerja yang lebih baik, dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan di masa lalu ataupun dengan hasil pekerjaan orang lain. Sementara motivasi bekerja membuat seseorang dapat bekerja pada situasi dimana tuntutan perbaikan selalu meningkat.

3. Fokus pada pemecahan masalah

Petani harus menjadi pengambil keputusan dan pemecah masalah yang baik untuk menjadi manajer yang efektif. Tetapi sebagai pengusaha mereka harus fokus dan teliti. Pengusaha memiliki keinginan yang kuat untuk memecahkan masalah dan untuk menangkap peluang. Mereka secara aktif mencari solusi. Jika didasarkan pada konsep McClelland dan para peneliti McBer dalam Jan (2000), kompetensi ini dapat dikategorikan ke dalam kompetensi ketekunan. Seorang pengusaha yang memiliki ketekunan akan mampu melakukan upaya berulang atau mengambil tindakan yang berbeda untuk mengatasi hambatan yang menghalangi untuk mencapai tujuan. 4. Berpikir kreatif

Petani wirausaha memahami bisnis pertanian sebagai suatu sistem. Mereka memahami masalah dan peluang yang ada. Mereka mengakui dan menyadari peluang bisnis. Mereka selalu memikirkan cara-cara baru dan berbeda dalam melakukan sesuatu dan datang dengan ide-ide dan solusi kreatif dan inovatif. Ide-ide tersebut kemudian dicoba dan diuji. Suryana (2013) menyimpulkan bahwa wirausaha berhasil disebabkan memiliki kemampuan berpikir kreatif dan inovatif.

Kompetensi ini sesuai dengan kompetensi pemecahan masalah (problem solving) di dalam konsep McClelland dan para peneliti McBer. Di dalam konsep tersebut, pengusaha sukses yang memiliki kompetensi ini dapat mengidentifikasi ide-ide baru dan berpotensi unik untuk mencapai tujuannya. Misalnya, beralih ke strategi alternatif untuk mencapai tujuan bisnisnya, serta dapat menghasilkan ide-ide baru atau solusi inovatif.

5. Mengambil risiko

Gambar

Tabel 2  Komponen-komponen kompetensi teknis petani wirausaha
Tabel 3  Komponen-komponen kompetensi kewirausahaan petani wirausaha
Gambar 6  Kerangka pemikiran operasional pengaruh karakteristik peternak
Tabel 4  Variabel laten dan manifest/indikator model persaman struktural
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik koperasi KUD Pasir Jambu dapat dilihat dari gambaran perkembangan jumlah peternak anggota, perkembangan jumlah ternak sapi perah yang dipelihara

Dalam usaha ternak sapi potong ada berbagai macam faktor mempengaruhi perkembangan sapi potong diantaranya air, topografi, lingkungan, pakan, perawatan serta

Perkembangan usaha ternak sapi potong selama 5 tahun terakhir mengalami perkembangan yang cukup besar di Kabupaten Langkat, Karakteristik petani peternak di daerah

terlibat dalam penyaluran ternak sapi potong yaitu peternak, blantik, pedagang.. pengumpul, pedagang besar, pedagang pemotong/jagal dan

Berapa jumlah ternak sapi potong (skala) yang Bapak/ibu pelihara: …….?. Jenis/kriteria ternak apakah yang

Dengan demikian jumlah dan produksi ternak sapi potong yang dipelihara peternak dapat menentukan besarnya peran peternak dalam usaha pengembangan ternak sapi potong

Karakteristik koperasi KUD Pasir Jambu dapat dilihat dari gambaran perkembangan jumlah peternak anggota, perkembangan jumlah ternak sapi perah yang dipelihara

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat motivasi peternak dalam aktivitas budidaya ternak sapi potong di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Sesuai