• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pengelolaan sumberdaya ikan demersal di pulau pulau kecil Suatu pendekatan Converging dual track model (CD Tram)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pengelolaan sumberdaya ikan demersal di pulau pulau kecil Suatu pendekatan Converging dual track model (CD Tram)"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL

DI PULAU-PULAU KECIL : SUATU PENDEKATAN “CONVERGING

DUAL TRACK MODEL (CD TRAM)”

T. EFRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

T. EFRIZAL. An Analysis of Fisheries Resources Management of Small Islands: Using Converging Dual Track Model (CD-TRAM). Under Supervision of AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN and MUHAMMAD ARDIANSYAH.

A conventional model of small island resources is usually dealing with interaction between fisheries and tourism. The traditional fisheries model more or less is devoted to analyse bioeconomic aspect of fisheries management. This approach has deficiences in terms of information associated with other aspect such as mangrove degradation, that might not be included in the model. Based on this deficiency, a convergen dual track model was developed.

The objectives of this research are: (1) to identify the effect of fisheries extraction on their optimal as well as sustainable levels, (2) to determine the degradation rate of the fishery, (3) to determine the dynamic interaction among parameters within the fisheries system, (4) to develop the interaction mangrove model with fisheries system, (5) to determine welfare effect of fisheries extraction.

Results of this study show that the fishery in the study area has experienced substantial degradation between periods of 1986 to 2000. Event though at current level of exploitation the extraction rate is still below its optimal level, there is a tendency that the resource will be over exploited in the year future due to miss management and increasing trend in input levels. By incorporating mangrove ecosystem in the model Fozal, it shows that mangrove ecosystem could contribute as much as 44.18 % toward total fish production.

Results from dynamic analysis show that there is a tendency of long run stability in effort and biomass. This study indicated that the total benefit at almost Rp 32 billion/year could be secured had the fishery been managed properly.

(3)

T. EFRIZAL. Analisis Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal di Pulau-Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD-TRAM). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN dan M. ARDIANSYAH.

Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata, sedangkan model konvensional pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari kedua model yang dikembangkan tersebut ada beberapa informasi yang belum terungkap, seperti kondisi sumberdaya lain misalnya mangrove, tingkat degradasi ataupun kesejahteraan masyarakat. Untuk menjembatani kelemahan-kelemahan dari model yang ada tersebut maka dikembangkan ”Convergen Dual Track Model” (CD-TRAM).

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, melalui suatu pendekatan pengembangan model. Tujuan khususnya adalah: (1) menentukan tingkat pengelolaan sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil Kabupaten Bengkalis yang lestari dan optimal, membandingkannya dengan kondisi ekstraksi aktual, (2) menentukan tingkat degradasi sumberdaya ikan dan konsekuensinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil, (3) menganalisis interaksi dinamis antara aspek biologi dan ekonomi sumberdaya ikan dan implikasinya terhadap pengelolaan, (4) menganalisis pengaruh interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem mangrove terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan (5) Menentukan dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan. Penelitian ini diharapkan akan menemukan suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai acuan kebijakan perikanan yang berkelanjutan sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari.

Koefisien degradasi sumberdaya perikanan rendah terjadi di awal-awal periode kemudian mengalami peningkatan. Sumberdaya perikanan mengalami depresiasi pada tahun 1986 dan 2000. Besaran depresiasi dengan real discount rate

menghasilkan nilai rata-rata present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate. CD-TRAM dengan menggunakan model Fozal menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki kontribusi sebesar 44.18% terhadap produksi sumberdaya perikanan. Dari analisis stabilitas, upaya dan biomass bersifat stabil, sedangkan mangrove tidak stabil. Nilai total benefit sumberdaya perikanan sebesar Rp 31.9 milyar/tahun.

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Analisis Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal di Pulau-Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD TRAM)”

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2005

(5)

© Hak cipta milik T. Efrizal, tahun 2005

Hak cipta dilindungi

(6)

DI PULAU-PULAU KECIL : SUATU PENDEKATAN “CONVERGING

DUAL TRACK MODEL (CD TRAM)”

T. EFRIZAL

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track

Model (CD TRAM)

N a m a : T. Efrizal

NRP : C.226010051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr.Ir.Muhammad Ardiansyah

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 30 November 2005

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata. Sedangkan model-model konvensional pengelolaan sumberdaya perikanan di

mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari

kedua model yang dikembangkan tersebut ada beberapa informasi yang belum terungkap. Untuk menjembatani kelemahan dari model-model tersebut maka dikembangkan model yang dinamakan ”Convergen Dual Track Model” (CD-TRAM). Penelitian ini berlokasi di pulau-pulau kecil wilayah Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, yang dilaksanakan pada bulan Desember 2003 sampai dengan Agustus 2004.

Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun memiliki banyak keterbatasaan, sudah mulai banyak dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi keterpencilan, luasan lahan dan sumberdaya manusia yang terbatas serta berbagai keterbatasan lain bukanlah halangan untuk memanfatkan segala potensi pulau-pulau kecil tersebut.

Masih terbatasnya penelitian terhadap permasalahan pulau-pulau kecil, apalagi yang berkaitan dengan isu pemanfaatan sumberdaya yang bersifat multiple use. Untuk mengelolanya dibutuhkan solusi yang tepat sehingga pemanfaatan menjadi optimal, efisien dan berkelanjutan. Model yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perencanaan pembangunan pulau-pulau kecil, sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari.

Bogor, Desember 2005

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada:

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., dan Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian, sumbangan pikiran, masukan dan arahan dalam penyusunan disertasi ini.

2. Departemen Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Program Pascasarjana yang telah memberikan beasiswa pendidikan program doktor.

3. Pemerintah Propinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Pelalawan atas bantuan yang telah diberikan.

4. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis, atas bantuan dalam penyediaan data dan fasilitas lainnya. 5. Yth. Bapak Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA sebagai penguji luar komisi pada

sidang tertutup, Bapak Prof. Dr. Ir. Feliatra, DEA (Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau) dan Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc. sebagai penguji luar komisi pada sidang terbuka.

6. Rekan-rekan staf pengajar di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, atas dorongan semangat yang telah diberikan.

7. Yang tercinta kedua orang tua, istri, kakak-kakak, adik-adik, dan seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.

8. Rekan-rekan yang selalu memberikan dorongan semangat dan bantuan, yaitu: Dr. Suzy Anna, Dr. Armen, Dr. Max, Dr. Georgina, Pak Sofyan, Pak Indra, Bu Wini, Bu Desni, Sdri. Sofi dan seluruh staf PS-SPL SPS-IPB serta semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang banyak sekali membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Desember 2005

(10)

Penulis dilahirkan di sebuah pulau kecil, Pulau Mendol Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau (sebelum pemekaran pada tahun 1999, termasuk wilayah Kabupaten Kampar) pada tanggal 12 Desember 1967, merupakan putra ke-empat dari empatbelas bersaudara dari pasangan T. Dahrul dan Zaliah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2001, penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Batasan Wilayah Pesisir ... 6

2.2 Pulau-Pulau Kecil ... 6

2.3 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan ... 14

2.4 Konversi Lahan di Kawasan Pesisir ... 15

2.5 Pemodelan (Modelling)... 18

2.6 Optimisasi Sumberdaya Perikanan ... 29

2.7 Analisis Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan... 40

III. METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Waktu dan Tempat ... 44

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 44

3.3 Analisis Data ... 46

3.3. 1 Produksi Perikanan... 46

3.3. 2 Standarisasi Effort ... 47

3.3. 3 Estimasi Parameter Ekonomi ... 48

3.3. 4 Model Analisis Degradasi dan Depresiasi ... 52

3.3. 5 Model Bio-Ekonomi Sumberdaya Perikanan ... 53

3.3. 6 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 54

3.3. 7 Analisis Dinamis ... 57

3.3. 8 Interaksi Mangrove dan Perikanan... 58

3.3. 9 Uji Stability ... 60

3.3.10 Aspek Kesejahteraan ... 61

3.4 Pemetaan Proses Penelitian ... 62

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 64

4.1 Wilayah Administratif ... 64

4.2 Kondisi Geografis, Iklim dan Oseanografis ... 65

4.2.1 Geografis ... 65

4.2.2 Iklim ... 66

(12)

4.2.5. Kedalaman Laut ... 70

4.3 Vegetasi Pantai ... 70

4.4 Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi ... 71

4.5 Kondisi Kegiatan Perikanan ... 73

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 84

5. 1 Produksi Perikanan ... 84

5. 2 Standarisasi Unit Effort ... 86

5. 3 Estimasi Parameter Biologi ... 88

5. 4 Estimasi Parameter Ekonomi ... 89

5.4.1 Struktur Biaya ... 89

5.4.2 Estimasi Discount Rate ... 90

5. 5 Estimasi Sustainable Yield ... 91

5. 6 Degradasi Sumberdaya Perikanan ... 95

5. 7 Depresiasi Sumberdaya Perikanan ... 97

5. 8 Pengelolaan Sumberdaya Yang Optimal ... 102

5. 9 Analisis Dinamis ... 113

5.10 Rezim Pengelolaan ... 114

5.11 Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan ... 116

5.12 Analisis Stability ... 122

5.13 Aspek Kesejahteraan ... 124

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 127

6.1 Kesimpulan ... 127

6.2 Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 130

(13)

Halaman

1 Kerangka pendekatan penelitian………...………… 4

2 Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005)... 24 3 Kurva yield effort ………... 32

4 Kurva pertumbuhan populasi yang bersifat density dependent (Fauzi, 2004)………... 34

5 Model Gordon-Schaefer ………... 36

6 Pendekatan "Bang-bang" optimisasi sumberdaya perikanan ... 39

7 Kurva Fisher ………... 43

8 Peta wilayah administratif Kabupaten Bengkalis ………... 45

9 Market discount rate ……….... 50

10 Pemetaan proses penelitian ……….. 63 11 Persentase distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis berdasarkan

kecamatan pada tahun 2003 ………...

72 12 Grafik persentase perlakuan terhadap produksi perikanan laut di

Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 ………...

76 13 Grafik perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis

dari tahun 1985-2002 ………...

78 14 Persentase produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis

dari tahun 1985-2002 ………...

80

15 Nilai produksi (juta Rp) sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis...

82 16 Grafik data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis

di Kabupaten Bengkalis ………...

85 17 Hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan

dalam analisis ...

(14)

19 Produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) ... 92

20 “Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) ……….. 93 21 “Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi logistik) ... 93 22 Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) …………... 94

23 Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi logistik) ………... 94

24 Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi lestari ………... 95 25 Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi aktual ………... 96 26 Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual ………... 96

27 Perbandingan laju degradasi dengan effort aktual ………... 97

28 Present value rente dan depresiasi ……….. 100

29 Effort dan depresiasi (Kula 15%) ……… 101

30 Effort dan depresiasi (Kula 4%) ………..… 101

31 Nilai optimal biomass dan produksi dengan nilai δ yang berbeda (10 ton) ... 104

32 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=4%) ………… 105

33 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=15%) ……… 106

34 Perbandingan input aktual dan optimal (1000 trip) ……… 107

35 Sustainable rent untuk pengelolaan optimal (Rp juta) ……… 109

36 Perbedaan present value rente optimal dan sustainable (Rp juta) … 110 37 Persentase perbedaan effort aktual dan optimal ……… 112

38 Persentase perbedaan rente sustainable dan optimal ……… 112

(15)

41 Rezim pengelolaan biomass ………... 115

42 Rezim pengelolaan effort, produksi dan rente ekonomi ……… 115

43 Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1985-2002 ……… 117 44 Kurva sustainable yield baseline dan Model Fozal ……… 118

45 Analisis stability data effort ……… 123

46 Analisis stability data biomass sumberdaya perikanan ……… 123

47 Analisis stability data mangrove ……… 124

48 Nilai surplus produsen, rente sumberdaya ikan dan total

benefit……….

(16)

Halaman

1 Perbandingan karakteristik pulau oseanik, pulau daratan/ kontinental dan benua (Salm dan Clark, 2000) ...

10 10 2 Wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Bengkalis ……… 64 3 Daftar nama kecamatan dan pulau di Kabupaten Bengkalis ... 66 4 Distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis menurut jenis kelamin 71 5 Rumah tangga perikanan menurut kecamatan di Kabupaten

Bengkalis ...

73 6 Profil pertambakan Kabupaten Bengkalis ……….. 74 7 Perlakuan terhadap produksi perikanan laut di Kabupaten

Bengkalis dari tahun 1985-2002 ………...

75 8 Perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis dari

tahun1985-2002 ………...

77 9 Produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari

tahun 1985-2002 ………...

79 10 Nilai produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis

dari tahun1985-2002 ………...

81 11 Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis…… 84 12 Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam

analisis ………

87 13 Hasil uji Dickey Fuller ………... 88 14 Hasil analisis nilai parameter biologi ………. 89 15 Total biaya kegiatan penangkapan ikan target dari tahun

1985-2002 ………...

89 16 Perbandingan produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan

Schaefer) ……….

91 17 Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumberdaya perikanan ….. 98 18 Nilai optimal biomass, produksi dan effort dengan nilai δ yang

berbeda...

103

19 Sustainable rent optimal dengan nilai δ yang berbeda ……... 108

(17)

optimal (δ=15%) ………. 111

22 Perbedaan antara produksi sumberdaya perikanan baseline

dengan Model Fozal ………...

116

(18)

Halaman

1 Deskripsi ikan ... 141

2 Analisis data hasil tangkapan masing-masing alat tangkap yang ... digunakan dalam analisis ... 144

3 Deskripsi alat tangkap yang digunakan dalam penelitian... 145

4 Gambar alat tangkap yang digunakan dalam analisis ... 148

5 Analisis CYP... 150

6 Analisis penentuan discount rate Kula ... 155

7 Analisis koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi ... aktual dan rataan geometrik)... 158

8 Maple output untuk perhitungan optimal... 159

9 Analisis optimal untuk rezim pengelolaan MEY, MSY dan open... Acces... 163

10 Analisis interaksi mangrove dan sumberdaya perikanan (Model ... Fozal) ... 165

11 Peta sebaran mangrove di Kabupaten Bengkalis ... 171

12 Peta sebaran alat tangkap di Kabupaten Bengkalis... 172

13 Perhitungan analisis stabilitas ... 173

14 Perhitungan surplus produsen ... 181

(19)

1.1 Latar Belakang

Pulau-pulau kecil merupakan suatu kawasan yang selama ini kurang

mendapat perhatian dalam pengelolaannya, terutama pengelolaan yang

terintegrasi (integrated management planning). Sebagai suatu kawasan kecil

yang termasuk ke dalam zona pesisir (coastal zone), keberadaan pulau-pulau

kecil baik dari segi eksistensi pulau itu sendiri maupun keanekaragaman hayati

(biodiversity) yang ada pada ekosistem sekitar pulau sangat rentan terhadap

berbagai aktivitas manusia yang terjadi di daratan, khususnya pulau-pulau yang

berhadapan langsung dengan daratan yang memiliki intensitas kegiatan industri

yang tinggi.

Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup

besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi

seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan

hutan bakau (mangrove). Sumberdaya hayati laut pada kawasan ini memiliki

potensi keanekaragaman dan nilai ekonomi yang tinggi. Dengan semakin

meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas pembangunan dan kenyataan

bahwa sumberdaya alam di daratan (seperti hutan, lahan pertanian produktif,

bahan tambang dan mineral) terus menipis atau sukar untuk dikembangkan,

maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan bagi kesinambungan

pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang.

Salah satu propinsi yang banyak memiliki pulau-pulau kecil adalah

Propinsi Riau. Propinsi Riau merupakan wilayah yang mencakup bagian timur

Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan yang membentang dari Selat Malaka,

Laut Cina Selatan dan Selat Berhala. Sektor perikanan mempunyai peran cukup

penting di Propinsi Riau. Berdasarkan Laporan Dinas Perikanan Propinsi

Daerah Tingkat I Riau (2003), jumlah produksi perikanan Riau yang berasal dari

hasil tangkapan 96l014.6 ton. Dari jumlah tersebut sebagian besar berasal dari

(20)

Kabupaten Bengkalis merupakan bagian dari Propinsi Riau yang

dibentuk berdasarkan UU No. 12 tahun 1956. Semula kabupaten ini memiliki

luas 30l646.83 km2, setelah dimekarkan menjadi Kabupaten Rokan Hilir, Siak dan Kota Dumai, lebih separuh wilayah ini berkurang dan hanya tinggal seluas

11l481.77 km2. Wilayah Kabupaten Bengkalis terdiri dari pulau-pulau kecil. Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan ini merupakan salah satu potensi

sumberdaya kelautan yang khas karena memiliki keunikan morfologi dan

ekologi sehingga memberi pengaruh pada pola hidup dan budaya

masyarakatnya. Ekosistem mangrove di kawasan ini telah banyak mengalami

degradasi akibat berbagai aktivitas pembangunan, seperti reklamasi pantai untuk

pembangunan gudang dan pelabuhan, serta aktivitas pembangunan lainnya

seperti pembangunan perkantoran, pertokoan dan kawasan pemukiman

penduduk.

Setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya perikanan,

pemukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada

lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang

harmonis. Selain itu, untuk pemanfaatan sumberdaya yang dapat pulih

(renewable resources), laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya

untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu, sedangkan pemanfaatan

sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih (non-renewable resources) harus

dilakukan dengan cermat sehingga efeknya tidak merusak lingkungan

sekitarnya.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam pemanfaatan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil harus

mempertimbangkan kapasitas sumberdaya alam yang ada sehingga secara

ekologi dan ekonomi dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.

Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk

pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji

tentang perikanan dan pariwisata (Brander dan Taylor, 1998; Casagrandi dan

(21)

pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang

bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari kedua model yang dikembangkan

tersebut ada beberapa informasi yang tidak muncul (missing) seperti kondisi

sumberdaya yang lain misalnya mangrove, seberapa besar tingkat degradasi

sumberdaya ataupun tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk menjembatani

kelemahan-kelemahan dari kedua model tersebut maka dalam penelitian ini

selanjutnya akan mengembangkan suatu model yang dinamakan ”Convergen

Dual Track Model” (CD-TRAM). Pengembangan model ini juga terinsprisasi

dari kesalahan dalam mengelola sumberdaya alam, yang mengakibatkan

runtuhnya peradaban di Pulau Easter (Syndrome Easter Island). Peradaban di

Pasifik yang sempat maju pada tahun 200 hingga 900 ini kolaps karena

terjadinya lebih tangkap (overfishing). Masyarakat pulau kecil yang sangat

menggantungkan hidupnya pada sumberdaya ikan tersebut mengekstraksi

sumberdaya sampai pada taraf yang berlebihan yang pada gilirannya kemudian

menyebabkan suplai pangan dari laut menurun drastis. Ketika pangan tidak

mencukupi, konflik timbul dan gejolak tersebut kemudian meningkat menjadi

perang antar suku yang dalam jangka panjang memusnahkan peradaban. Suatu

kenyataan yang sulit diterima telah terjadi, dimana musnahnya peradaban

dikarenakan terjadinya overfishing (Fauzi, 2005). Untuk lebih jelasnya

kerangka pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Pada dasarnya pembangunan ekonomi di sebagian besar negara di dunia

adalah berbasiskan pada sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang

menjadi tulang punggung ekonomi, adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya

ini seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang

memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu

sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui, pengelolaan sumberdaya ini

memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Fauzi, 2004).

Oleh karenanya timbul pertanyaan bagaimana mengelola sumberdaya perikanan

yang terbaik yang akan menghasilkan kesejahteraan yang setinggi-tingginya

bagi masyarakat dan bangsa. Beberapa pertanyaan yang muncul dari ilustrasi di

(22)

1. Bagaimana ekstraksi sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil dilihat

dari aspek biologi dan ekonomi sumberdaya perikanan.

2. Dengan kendala ketersediaan sumberdaya di pulau-pulau kecil,

bagaimana degradasi sumberdaya ikan berpengaruh dalam penyediaan

sumberdaya ikan secara berkelanjutan.

3. Bagaimana interaksi dinamis antara parameter biologi dan ekonomi

sumberdaya ikan, dan apa konsekuensinya terhadap pengelolaan

sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil.

4. Bagaimana interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem

mangrove dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan di

pulau-pulau kecil.

5. Akibat dari beberapa faktor di atas, bagaimana dampak kesejahteraan

masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan.

Evolusi Pengembangan Model

Model Konvensional Perikanan

Optimal Catch, Effort,

MSY, MEY, MScY

Model Pulau-Pulau Kecil

Model Klasik

Fish vs Tourism

Bioekonomi Statik/Dinamik

Docking

Multiple Use, MCA, Dynamic, Fishery,

Tourism

Missing:

SDA lain, Degradasi,

Welfare

Convergen Dual Track Model

(CD-TRAM)

Eksogen

Endogen

Constraint

Pulau-Pulau Kecil

Syndrom Easter Island

(23)

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola

pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau,

melalui suatu pendekatan pengembangan model.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Menentukan tingkat pengelolaan sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil

Kabupaten Bengkalis yang lestari dan optimal, kemudian

membandingkannya dengan kondisi ekstraksi aktual.

2) Menentukan tingkat degradasi sumberdaya ikan dan konsekuensinya

terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil.

3) Menganalisis interaksi dinamis antara aspek biologi dan ekonomi

sumberdaya ikan dan implikasinya terhadap pengelolaan sumberdaya

perikanan yang berkelanjutan di pulau-pulau kecil.

4) Menganalisis pengaruh interaksi antara sumberdaya ikan dengan

ekosistem mangrove terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan.

5) Menentukan dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi

sumberdaya perikanan.

Dari penelitian ini diharapkan akan terciptanya suatu analisis yang

komprehensif menyangkut pengelolaan pulau-pulau kecil yang dapat dijadikan

acuan kebijakan perikanan yang berkelanjutan sehingga hasil pembangunan

(24)

2.1 Batasan Wilayah Pesisir

Sejauh ini belum ada definisi baku mengenai wilayah pesisir (coastal

zone) yang dipakai dalam pengelolaan wilayah pesisir, namun demikian terdapat

kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah

peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai

(coastline), wilayah pesisir memiliki dua batas (boundaries), yaitu: batas yang

sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross

shore)(Dahuri et al., 1996).

Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia, yakni wilayah

pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian

daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh

sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin,

sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih

dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan

aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia.

Selanjutnya dikatakan bahwa untuk kepentingan pengelolaan, penetapan

batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang

mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut beserta

segenap sumberdaya yang ada di dalamnya, serta tujuan dari pengelolaan itu

sendiri.

2.2 Pulau-Pulau Kecil

Menurut Retraubun (2003), pulau-pulau kecil memiliki definisi yang

sangat beragam dan telah mengalami perdebatan yang panjang di berbagai

forum para pakar. Definisi operasional pulau kecil di Indonesia pun masih

(25)

disiplin ilmu ini. Beberapa pendapat tentang definisi pulau-pulau kecil yang

diutarakan adalah sebagai berikut:

ƒ Pada awalnya beberapa negara Pasifik pada pertemuan CSC tahun 1984

menetapkan batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 5l000

km2, tetapi kemudian para ahli yang memiliki kepentingan hidrologi, sosial

ekonomi dan demografis menetapkan batasan luas pulau-pulau kecil kurang

dari 1l000 km2 atau pulau dengan lebar kurang dari 10 km (Arenas dan

Huertas, 1986).

ƒ Namun demikian karena banyak pulau yang berukuran antara 1l000-2l000

km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang

ukurannya kurang dari 1l000 km2 sehingga diputuskan oleh UNESCO

(1991) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari

2l000 km2.

ƒ Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 tahun 2000

(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001), yang dimaksud dengan pulau

kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan

10l000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan

200l000 orang. Batasan yang sama juga dipakai oleh Hess (1990), namun

dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500l000 orang.

ƒ Pembedaan lebih jauh juga dilakukan antara pulau kecil dan pulau sangat

kecil, yang mendasari perbedaan ini pada keterbatasan sumberdaya air tawar

baik air tanah maupun air permukaan; sehingga ditetapkan bahwa pulau

dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya tidak lebih besar

dari 3 km dikategorikan pulau sangat kecil (UNESCO, 1991).

ƒ Bengen (2001a) menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau yang

mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10l000 km2 atau

lebarnya kurang dari 10 km. Banyak pulau-pulau kecil yang mempunyai

(26)

ini diklasifikasikan sebagai pulau sangat kecil. Contoh dari pulau sangat

kecil adalah pulau-pulau Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.

ƒ Meskipun terdapat perbedaan mengenai batasan luasan pulau namun

terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil

adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau

induknya (mainland) dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat

lain, sehingga mempunyai sifat insular.

Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan

suatu pulau kecil: (1) batasan fisik (luas pulau), (2) batasan ekologis (proporsi

spesies endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya. Selain ketiga kriteria

tersebut, dapat pula ditambahkan kriteria tambahan yakni kemandirian

penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok. Jika suatu pulau

penduduknya mendatangkan kebutuhan pokoknya berasal dari pulau lain atau

pulau induknya, maka pulau tersebut dapat digolongkan pulau kecil (Dahuri,

1998).

Berdasarkan sejarah pembentukannya (genesis), pulau dapat terbentuk

akibat proses atau oleh kegiatan utama atau bantuan (Ongkosono, 1998) sebagai

berikut:

- Penurunan muka laut, contoh: P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar

(ketiganya di Kep. Riau)

- Kenaikan muka laut, contoh: Kep. Lingga, P. Batam, P. Karimun Kecil

(ketiganya di Kep. Riau)

- Tektonik, zona penunjaman (subduction), contoh: P. Chrismas, P. Nias.

- Tektonik, zona pemekaran (spreading), contoh: Kepulauan Hawaii

- Amblesan daratan, contoh: P. Digul

- Erosi, contoh: P. Popole (sebelah barat Jawa Barat)

- Sedimentasi, contoh: Pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis

(Riau).

(27)

- Biologi, biota terumbu karang dan biota asosiasinya, contoh:

Pulau-pulau Seribu

- Biologi, biota lain (dipacu mangrove, lamun, dan lain-lain), contoh: P.

Karang Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan

- Pengangkatan daratan, contoh: P. Manui (Sulawesi)

- Buatan manusia, contoh: lapangan udara Kansai Airport, Osaka, Jepang

- Kombinasi berbagai proses, contoh: P. Rupat (Riau)

Pada umumnya, pulau terbentuk oleh kombinasi berbagai proses,

meskipun ada yang berperan utama. Selain oleh proses dan faktor di atas,

kondisi pulau dapat dipengaruhi oleh kegiatan atau proses yang dilakukan oleh:

(1) manusia, melalui kemampuan teknologi dan rekayasanya; (2) vegetasi

penutup; (3) kegiatan hewan; dan (4) alam fisik dan kimia. Pemantapan

pembentukan dapat semakin terpacu oleh vegetasi seperti mangrove, lamun,

Pandanus, dan tumbuhan pantai yang merayap seperti Ipomea dan Spinifex.

Menurut Salm dan Clark (2000), pulau-pulau kecil dapat dibagi dua,

yaitu “pulau oseanik” dan “pulau kontinental”. Selanjutnya pulau-pulau oseanik

dibagi menjadi dua jenis, yaitu pulau vulkanik dan pulau karang. Sebagian

besar pulau kecil adalah pulau oseanik. Pulau kontinental umumnya terdapat di

dekat daratan benua-benua besar yang perairannya dangkal. Tipe pulau ini

mempunyai sejarah geologi dan biota yang sama dengan induknya. Dalam

sejarahnya pulau-pulau tersebut dulunya bergabung dengan pulau induknya,

tetapi akibat naiknya permukaan air laut yang terjadi ribuan tahun lalu

pulau-pulau tersebut terpisah dari pulau-pulau induknya. Sehingga sumberdaya alam yang

terdapat di pulau-pulau tersebut sama dengan pulau-pulau induknya yang

(28)

Tabel 1. Perbandingan karakteristik pulau oseanik, pulau daratan/kontinental dan benua (Salm dan Clark, 2000)

Pulau Oseanik Pulau Daratan Benua

Karakteristik Geografis - Jauh dari benua - Dikelilingi oleh laut

luas

- Area daratan kecil

- Suhu udara stabil

- Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat

- Dekat dari benua - Dikelilingi sebagian

oleh laut yang sempit - Area daratan besar

- Suhu agak bervariasi

- Iklim mirip benua terdekat

- Area daratan sangat besar

- Suhu udara bervariasi

- Iklim musiman

Karakteristik Geologi

- Umumnya karang

tepi atau vulkanik - Sedikit mineral

penting

- Tanahnya

porous/permeable

- Sedimen atau metamorfosis - Beberapa mineral

penting

- Beragam tanahnya

- Sedimen atau metamorfosis - Beberapa mineral

penting

- Beragam tanahnya

Karakteristik Biologi

- Keanekaragaman

hayati rendah - Pergantian spesies

tinggi

- Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang

- Keanekaragaman

hayati sedang - Pergantian spesies

agak rendah - Sering pemijahan

massal hewan laut bertulang belakang

- Keanekaragaman

hayati tinggi - Pergantian spesies

biasanya rendah - Sedikit pemijahan

massal hewan laut bertulang belakang

Karakteristik Ekonomi - Sedikit sumberdaya

daratan

- Sumberdaya laut lebih penting - Jauh dari pasar

- Sumberdaya daratan agak luas

- Sumberdaya laut lebih penting - Lebih dekat pasar

- Sumberdaya daratan luas

(29)

Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang

menonjol sebagai berikut (Bengen, 2001a) :

- Terpisah dari habitat pulau induk (mainland), sehingga bersifat insular

- Memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan

maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga

sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut

- Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat

kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta

pencemaran

- Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi

- Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari

daratan utamanya (benua atau pulau besar)

- Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem

pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja

bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan

hidup umat manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem

pesisir dan lautan di pulau-pulau sebagai pengatur iklim global (termasuk

dinamika la-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimianya, penyerap limbah,

sumber plasma nuftah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh

karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara

seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung

secara optimal dan berkelanjutan.

Dengan kondisi biogeofisik pulau-pulau kecil, maka keberadaan

penduduk maupun ekosistem alam pada kepulauan kecil menghadapi berbagai

tantangan, diantaranya:

ƒ Kepulauan kecil secara ekologi amat rentan, terutama akibat pemanasan

global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan

oleh kombinasi faktor tersebut secara potensial terbukti sangat progresif

mengurangi garis kepulauan kecil. Akibatnya terjadinya perubahan

menurunnya makhluk hidup, hewan-hewan maupun penduduk yang

(30)

ƒ Kepulauan kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan

keanekaragaman hayati yang sangat khas dan bernilai tinggi.

ƒ Sumberdaya alam yang ada umumnya terdiri varietas-varietas yang

dilindungi.

ƒ Beberapa pulau kecil yang berada jauh dari jangkauan pusat

pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi

serta terbatasnya ketrampilan masyarakat. Walau di beberapa pulau

kedua masalah ini sudah diatasi sehingga memungkinkan

dikembangkannya sektor pariwisata, yang berpotensi dalam

menyediakan sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat, namun tetap

saja biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunan prasarana

pariwisata masih cukup besar. Hal ini menyebabkan penanaman modal

kepariwisataan hanya memilih pulau-pulau tertentu saja dan pulau-pulau

yang potensial bagi penanaman modal besar terdapat di kawasan

Kepulauan Maluku maupun Nusa Tenggara.

ƒ Pulau-pulau kecil mempunyai daerah dan fasilitas tangkapan air hujan

yang minim. Disamping itu pulau-pulau ini juga jarang atau tidak

memiliki cadangan air tanah sama sekali, sehingga menyebabkan

terbatasnya kesempatan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi,

terutama bila kegiatan itu membutuhkan air tawar dalam jumlah besar. ƒ Hingga kini belum ada klasifikasi kepulauan kecil yang didasarkan pada

aspek biofisik, sosial-ekonomi, dan sosiologis yang dapat membuat

usaha pengelolaan alokasi sumberdaya alam menjadi lebih efektif.

Menurut Fauzi dan Anna (2005), dalam melakukan penilaian ekonomi

sumberdaya pulau-pulau kecil ada beberapa sifat pulau-pulau kecil yang unik,

yang menyebakan nilai ekonomi dari sumberdaya juga harus ditimbang dari

karakteristik pulau-pulau kecil tersebut. Karakteristik yang perlu dijadikan

pembobot (Briguglio, 1995) adalah sebagai berikut:

ƒ Smallness : faktor ini, secara ekonomi akan menjadi faktor yang tidak

menguntungkan (disadvantage), sebab akan menimbulkan rangkaian lain

(31)

o Keterbatasan resource endowment

o Ketergantungan kisaran diversifikasi produk

o Keterbatasan mempengaruhi perubahan harga produk

o Keterbatasan kompetisi lokal

o Keterbatasan mengembangkan skala ekonomi

ƒ Isolation : faktor isolasi juga akan menambah faktor disadvantage,

sebab akan mengakibatkan tingginya biaya per transpor per unit, serta

ketidakpastian suplai.

ƒ Dependence

ƒ Vulnerability : pulau-pulau kecil cenderung rentan terhadap bencana

alam (natural disaster) dan ekosistem yang fragile.

Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya alam di

pulau-pulau kecil merupakan stream benefits yang mengalir sepanjang waktu.

Oleh karena itu, nilai ekonomi itu bisa terdepresiasi, bisa pula terapresiasi,

tergantung bagaimana kita mengelolanya. Nilai ekonomi akan jelas

terdepresiasi manakala kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari

pertumbuhan investasi yang tidak berkesinambungan menimbulkan biaya sosial

dan lingkungan yang cukup mahal, yang harus ditanggung oleh masyarakat

dalam jangka panjang. Sebagai contoh, konsesi pemanfaatan sumberdaya hutan

di Pulau Choiseul, Solomon, hanya memberikan manfaat ekonomi sebesar US$

18l162 terhadap masyarakat. Jumlah ini dibayarkan sekali dalam periode

konsesi, sementara itu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan mencapai US$

158l451 sepanjang waktu, padahal nilai sumberdaya hutan sendiri mencapai

US$ 10l500 per tahun (Cassel, 1993). Banyak lagi contoh kasus kerugian

ekonomi yang ditimbulkan manakala pengelolaan ekonomi di pulau-pulau kecil

tidak memperhatikan aspek-aspek pengelolaan yang berkesinambungan.

Menurut Sugandhy (1998), apabila dalam jangka pendek tidak dilakukan

usaha-usaha pengelolaan yang terintegrasi terhadap pengembangan pulau-pulau

kecil akan terjadi beberapa masalah lanjutan, yaitu: (1) sumberdaya alam

semakin menipis, (2) kondisi lingkungan akan semakin merosot, (3) pencemaran

(32)

2.3 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Salah satu concern utama dalam pengelolaan sumberdaya alam di

pulau-pulau kecil adalah menyangkut keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam

yang terbatas tersebut. Dengan kata lain, pemanfaatan sumberdaya alam di

pulau-pulau kecil harus mengikuti kaedah atau prinsip-prinsip pembangunan

yang berkelanjutan.

Menurut Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, WCED

(1987) dalam Kay dan Alder (1999), dasar pembangunan berkelanjutan adalah

"pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengurangi

atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhannya". Dengan demikian secara ekologis terdapat empat persyaratan

utama untuk dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan

sumberdaya wilayah pesisir dan laut yakni: (1) keharmonisan spasial, (2)

pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) membuang

limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan dan (4) merancang dan

membangun prasarana dan sarana sesuai dengan dinamika ekosistem pesisir dan

laut.

Dalam memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau

kecil secara berkelanjutan, sebagai penyedia sumberdaya alam yang dapat pulih

(renewable resources), hal yang perlu diperhatikan adalah : bahwa laju

eksploitasi tidak boleh melebihi kemampuannya untuk pulih pada suatu periode

tertentu, sedangkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih

(non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat agar tidak merusak

lingkungan sekitarnya (Clark, 1988).

Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil

secara berkelanjutan juga mengharuskan adanya keseimbangan antara kegiatan

ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sebagaimana dijelaskan oleh

Djajadiningrat (1997) bahwa apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan

dengan harapan melindungi lingkungan, maka tindakan ini dapat menimbulkan

proses degradasi lingkungan, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan

(33)

ekonomi berjalan dengan cepat, tanpa mengindahkan pelestarian sumberdaya

alam dan pengendalian pencemaran. Untuk menyelaraskan hal tersebut, maka

tujuan kebijakan pengelolaan ekonomi harus difokuskan pada pertumbuhan

ekonomi yang berkelanjutan, dengan cara menyeimbangkan antara kebijakan

pertumbuhan mutu lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.

2.4 Konversi Lahan di Kawasan Pesisir

Kawasan pesisir dan wilayah pulau-pulau kecil Indonesia memiliki

ekosistem yang cocok bagi pengembangan kegiatan budidaya udang di tambak

air payau. Pengoperasian tambak udang biasanya dikembangkan di daerah

pasang surut. Di kawasan tersebut tersedia air setinggi 0.8-1.5 m selama periode

rata-rata pasang tinggi, yang dapat digunakan untuk budidaya udang dan untuk

pengeringan secara sempurna pada saat diperlukan (BPPT, 1995).

Konversi lahan mangrove di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil

menjadi pertambakan memiliki dampak potensial, antara lain: (a) mengancam

regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan

mangrove sebagai nursery ground pada stadium larva, (b) menurunkan

kemampuan mangrove untuk mengikat bahan pencemar, (c) pendangkalan

perairan pesisir akibat sedimentasi, (d) intrusi garam melalui saluran tambak

buatan manusia yang bermuara ke laut, dan (e) erosi pantai (Koesoebiono,

1996).

Terdapat beberapa kerugian jika pembuatan tambak dilakukan di lahan

mangrove, meskipun ada juga beberapa keuntungan yang bisa diraih. Naamin

(1990) menjelaskan beberapa keuntungan membangun tambak di lahan

mangrove yakni: (a) biaya pemilikan lahan relatif murah karena diangggap

merupakan lahan marginal; (b) biaya penggalian tambak dan pemasokan air

lebih mudah, karena elevasinya rendah; (c) pergantian air lebih mudah, terutama

pada daerah pasang surut yang berkisar 1-3 m; (d) perairan pantai di sekitar

hutan mangrove merupakan sumber benur dan nener; (e) bila pembangunannya

(34)

erosi dan badai; dan (f) sifat fisik dan mekanik lahan mangrove baik untuk

tambak dan dapat menahan air tambak. Sementara itu kerugiannya adalah: (a)

pembersihan lahan dan konstruksi tambak sangat sulit dilakukan terutama pada

lahan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora;(b) predator dan hama udang

relatif lebih banyak dan (c); kondisi tambak kurang baik, karena terbukanya

sedimen terhadap udara dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi pirit menjadi

asam sulfat, sehingga tanah menjadi sangat asam. Karenanya, budidaya udang

dengan teknologi maju (intensif)cenderung tidak dilakukan di lahan mangrove,

namun pada lokasi yang elevasinya lebih tinggi dari pasang tertinggi yang

umumnya berupa sawah atau tegalan marjinal. Menurut Singh (1980), dan

Hamilton dan Snedaker (1984) dalam Naamin (1990) kondisi ini dapat

menyebabkan: (i) pertumbuhan udang maupun ikan lambat dan kematian tinggi

karena lahan dan airnya terlalu asam. Dalam keadaan asam pertumbuhan udang

menurun. Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan terhenti dan pada pH sekitar 4.0

akan terjadi kematian; (ii) respon pupuk sangat rendah; (iii) produksi pakan

alami rendah; dan (iv) erosi tanggul menyebabkan air tambak menjadi asam.

Untuk menjamin kelestarian mangrove mesti disediakan jalur hijau

(green belt)sebagai kawasan sempadan pantai, yang secara ekologis bermanfaat

untuk mempertahankan ekosistem pesisir beserta biotanya agar fungsi dan

kekhasannya dapat terpelihara dan berkelanjutan. Namun, sejalan dengan

pemenuhan kebutuhan manusia dan semakin menipisnya sumberdaya alam di

daratan, membuat masyarakat cenderung untuk memanfaatkan sumberdaya alam

pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama pemanfaatan hutan mangrove yang

dijadikan pertambakan (PKSPL-IPB, 2001).

Penentuan kawasan jalur hijau pantai sudah ditetapkan melalui Keppres

No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Penerapannya harus

mempertimbangkan tatalguna lahan nasional, tatalguna lahan kesepakatan,

keadaan sosial ekonomi, budaya masyarakat setempat dan kepentingan

pertahanan dan keamanan. Lebar jalur hijau pantai ditetapkan mulai dari garis

(35)

Jalur hijau mangrove berkelanjutan dapat terwujud jika pola penggunaan

lahan di belakang jalur hijau memperhatikan kesesuaian lahan dan aspek-aspek

yang mendukung kelestarian ekosistem mangrove. Beberapa hal yang perlu

diperhatikan antara lain: (a) kegiatan budidaya pada kawasan mangrove

diupayakan tetap mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove, (b) kegiatan

budidaya tambak tidak menimbulkan limbah yang dapat merusak ekosistem

mangrove, (c) kegiatan eksploitasi kayu di kawasan mangrove harus sesuai

dengan sistem silvikultur yang dianjurkan, (d) regenerasi alami/buatan pada

kawasan mangrove perlu dijaga dan dipertahankan untuk mendukung hasil

panen yang lestari, dan (e) setiap bentuk kegiatan yang melakukan pembukaan

lahan mangrove perlu menyiapkan dan melakukan kegiatan rehabilitasinya.

Pembukaan lahan mangrove yang kurang cermat untuk pertambakan

dapat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan akibat terjadinya perubahan

ekologi. Kapestky (1982) menjelaskan bahwa perusakan daerah estuaria dapat

menyebabkan laju sedimentasi dari pembasuhan suspensi bahan organik,

sehingga menurunkan produktivitas perairan. Akibat lainnya adalah

penghancuran struktur tanah pantai (Darsidi dan Liang, 1986) dan terancamnya

berbagai jenis fauna penghuni hutan mangrove (Suwelo dan Maanan, 1986).

Oleh karena itu dengan terjadinya penyusutan luas mangrove akan berdampak

negatif dan menjadi penyebab utama degradasi sumberdaya perikanan. Untuk

itu konversi mangrove ke pertambakan harus dilakukan secara rasional dan

berwawasan lingkungan.

Menurut Soemarno (1986), Ilyas (1987), dan Poernomo (1988), lebar

jalur hijau 50 m merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam

pembukaan tambak. Jalur hijau yang dipertahankan tidak saja yang berada di

sepanjang pantai dan alur sungai, namun juga di areal antara tiap unit tambak.

Dalam Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dijelaskan,

untuk pengelolaan hutan mangrove, ditetapkan beberapa ketentuan berikut: (a)

perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah

pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai, yaitu berupa

(36)

tertinggi ke arah darat (pasal 13 dan 14), atau paling sedikit selebar 130 kali

beda tinggi pasang surut (tidal range); dan (b) perlindungan terhadap sempadan

sungai untuk melindungi sungai agar fungsi sungai dan kualitas airnya tidak

terganggu, yaitu sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar dan

50 m dari kiri kanan sungai kecil, atau 10-50 m dari sungai yang terletak di

kawasan pemukiman (pasal 15 & 16).

Dengan demikian, keputusan yang diambil untuk memilih lahan yang

sesuai untuk pertambakan harus mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi

dan sosial. Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan

(adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan

nilai (kelas) lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi

wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah

berikut usaha pemeliharaan dan kelestariannya (Hardjowigeno, 2001).

Kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian lahan secara sistematik dengan

mengkategorikannya berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang

mempengaruhi kelayakan suatu usaha atau penggunaan tertentu. Untuk tujuan

pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan

untuk kegiatan pertambakan udang, maka klasifikasi kesesuaian lahan ditujukan

untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin

ditimbulkan, serta menjamin kegiatan pertambakan udang tersebut dapat

berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan (integrated and

sustainable development),ditinjau secara ekologis maupun sosial ekonomis.

2.5 Pemodelan (Modelling)

Salah satu pertanyaan mendasar dalam memecahkan permasalahan

pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks di wilayah pulau-pulau kecil

adalah pendekatan apakah yang kira-kira mampu mengakomodasikan

kompleksitas pengelolaan tersebut. Dalam konteks analisis, pemodelan dapat

dijadikan sebagai wahana (vehicle) untuk membantu memecahkan masalah

tersebut. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa komponen atau variabel yang

(37)

a. Sistem

Sistem berasal dari kata “systema” dalam bahasa Yunani yang dapat

diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian (Winardi,

1999). Setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki

sekurang-kurangnya dua komponen yang dapat dipisahkan dan yang saling

berinteraksi dapat dianggap sebagai suatu sistem (Hall dan Day, 1977). Dalam

hubungan ilmu-ilmu fisika dan biologi, suatu sistem adalah sebuah pengaturan

koleksi dari interelasi komponen fisik dengan karakteristik yang dibatasi dan

unit fungsional (Grant et al., 1997). Definisi lain yang lebih umum adalah

keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan

tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al., 2001). Menurut

Manetsch dan Park (1977), sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling

berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan atau suatu gugus dari

tujuan-tujuan. Suatu sistem merupakan himpunan atau kombinasi dari

bagian-bagian yang membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Namun tidak semua

kumpulan dan gugus bagian dapat disebut suatu sistem kalau tidak memenuhi

syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna.

Selanjutnya Prahasta (2001) lebih menekankan pada sekumpulan obyek, ide,

yang saling berhubungan dalam mencapai tujuan dan sasaran bersama. Apabila

didasarkan pada sudut pandang filosofis , suatu sistem dapat diartikan sebagai

bangunan aktual dari alam atau upaya manusia untuk memberlakukan aturan

terhadap setiap kekacauan yang terjadi di alam.

Ilmu sistem ditumbuh kembangkan untuk merangkai secara utuh

komponen-komponen yang berharga dari pengetahuan spesialis, dan

mewujudkannya menjadi gambaran yang jelas. Teori sistem dimanfaatkan guna

mempelajari kenyataan akan aturan yang sistematis dan ketergantungan

(interdependendency). Dalam mendefinisikan suatu sistem, yang paling

penting adalah perihal relevansi (kesesuaian). Oleh karena itu, adalah penting

untuk selalu membayangkan suatu sistem sebagai koleksi yang terisolir dari

(38)

Setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki

sekurangnya dua komponen yang dapat dipisahkan dan yang saling berinteraksi

dapat dianggap sebagai suatu sistem. Suatu sistem dapat diartikan sebagai

bangunan aktual dari alam atau upaya manusia (misalnya, taksonomi) untuk

memberlakukan aturan terhadap setiap kekacauan yang terjadi di alam. Analisis

sistem merupakan suatu penelitian mengenai sistem yang bersangkutan, atau

mengenai sifat-sifat umum dari sistem tersebut. Holisme adalah filosofi

mengenai penelitian terhadap perilaku total (atau atribut-atribut total lainnya)

dari suatu sistem yang rumit.

Sistem seringkali diklasifikasikan sebagai: (1) sistem-sistem alamiah

(natural systems) dan (2) sistem-sistem buatan (man-made systems) (Winardi,

1999). Sistem alamiah terdiri dari sistem fisik misalnya: matahari, bumi,

molekul hingga atom dan sistem yang mengandung kehidupan (living system)

atau sistem biologis seperti manusia, hewan dan tanaman. Sedangkan sistem

buatan terdiri dari sistem sosial (social system), yaitu: keluarga, organisasi,

agama, juga sistem mekanistik (mechanistic system) seperti sebuah mobil,

sebuah jam dan lain-lain. Khusus sistem organisasi, terdiri dari sistem

operasional, sistem manajemen atau sistem keputusan, dan sistem informasi

(Suryadi dan Ramdhani, 2000). Selanjutnya sistem informasi ini merupakan

kesatuan (entity) formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya baik fisik

maupun logika (Prahasta, 2001). Dari organisasi ke organisasi,

sumberdaya-sumberdaya ini disusun atau distrukturkan dengan beberapa cara yang berlainan

karena organisasi dan sistem informasi merupakan sumberdaya-sumberdaya

yang bersifat dinamis. Dengan demikian, struktur organisasi yang dibuat pada

saat ini bisa jadi harus dimodifikasi keesokan harinya. Jadi diperlukan konsep

secara logis dapat menggambarkan struktur sistem informasi, yang

direpresentasikan oleh semua sumberdaya fisiknya, untuk berbagai ukuran

sistem informasi di dalam bermacam-macam tipe organisasi. Fungsi logis di

sini, digunakan untuk penalaran yang selanjutnya dapat digunakan untuk

analisis, penjelasan, argumen, dan bahkan untuk penyelesaian masalah

(39)

Sistem informasi berbasis komputer dibagi lagi menjadi: sistem

manajemen data dasar (databased management system), sistem informasi

manajemen (management information system), sistem penunjang keputusan

(decision support system), dan sistem pakar (expert system) (Marimin, 2002).

Selain dari sistem informasi sebelumnya beberapa pakar geografi masih

menambahkan sistem informasi geografis (SIG), yaitu suatu paradigma baru

dalam proses pengambilan keputusan dan penyebaran informasi. Dari

merepresentasikan ”dunia nyata” dapat disimpan dan diproses sedemikian rupa

sehingga dapat disajikan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana sesuai

kebutuhan (Prahasta, 2001 dan Jaya, 2002).

Berbagai sistem telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, namun

demikian masing-masing dari sistem-sistem tersebut memiliki

komponen-komponen yang juga dapat dianggap sebagai sistem, dan masing-masing dari

komponen tersebut merupakan bagian dari sistem yang lebih luas lagi. Jadi,

setiap sistem yang ingin diteliti merupakan bagian dari suatu hierarki dalam

sistem-sistem yang lain. Terserah pada kita untuk memilih bagian mana dari

hierarki tersebut yang akan diteliti, dan usaha pertama yang harus dilakukan

adalah mendefinisikan batasan-batasan spasial, temporal, dan konseptual yang

akan dibahas.

Sistem-sistem alam yang diawali dengan organisme individu, yang

kemudian beranjak ke arah yang lebih rumit lagi. Ikan yang berasal dari satu

spesies merupakan bagian dari suatu populasi ikan. Populasi ikan, bersama

dengan populasi satwa lain (mamalia, moluska, dan lain-lain) dan populasi

tumbuhan air dengan siapa mereka berinteraksi dalam lingkungan spasial,

dianggap sebagai komunitas. Komunitas, bersama dengan lingkungan tidak

hidup (non-living) membentuk suatu ekosistem, yang merupakan kependekan

dari sistem-sistem ekologi. Seluruh kehidupan di bumi ini secara kolektif

disebut biosphere.

Suatu sistem dapat dinyatakan secara deskriptif dalam bentuk pernyataan

(statement) yang dirumuskan dalam kata-kata atau kalimat. Gejala-gejala alam

(40)

secara seksama mengikuti pola-pola alami yang dapat dijelaskan dengan analisis

matematika. Dalam membuat pertanyaan, ataupun pernyataan digunakan nalar

atau logika.

Subsistem adalah suatu unsur atau komponen fungsional daripada suatu

sistem, yang berperan dalam pengoperasian sistem tersebut. Elemen suatu

sistem (entity) berbeda dengan subsistem dari sistem. Untuk membedakan

subsistem dengan elemen, maka diperlukan pembahasan atas tingkat resolusi

(penguraian). Subsistem dikelompokkan dari bagian-bagian sistem yang masih

berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tertinggi, sedangkan elemen

dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi rendah

(Eriyatno, 1999).

b. Model

Dalam bidang ilmu pengetahuan suatu model merupakan abstraksi

(abstraction), ataupun penyederhanaan (simplification) dari suatu sistem, dan

untuk menafsirkannya (Jorgensen, 1988; Hall dan Day, 1977 dan Grant et al.,

1997). Dengan kata lain, model dalam arti luas merupakan penggambaran

sebagian dari kenyataan. Model-model dari ekosistem jauh lebih sederhana

daripada ekosistem yang sebenarnya. Suatu model harus memiliki

atribut-atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata. Tentu saja

suatu model tidak akan dapat memiliki seluruh atribut, karena kalau hal tersebut

terjadi, yang dihasilkan bukanlah suatu model, melainkan suatu sistem nyata.

Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran

terhadap suatu sistem yang rumit, dan kadang-kadang untuk meramalkan

konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang mungkin akan mahal

harganya, sulit, ataupun bersifat destruktif terhadap sistem nyata yang

bersangkutan. Definisi lainnya adalah model merupakan alat untuk meramalkan

perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami, dari perilaku

bagian-bagian yang dipahami dengan baik. Definisi yang lain lagi, model dapat

(41)

Pemodelan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban

manusia. Cikal bakal pemodelan sudah ada sejak zaman Mesir kuno,

Babylonia, zaman kejayaan Yunani dan Romawi. Di zaman Mesir kuno,

masyarakat Mesir dianugerahi Sungai Nil yang setiap tahun mengalami banjir.

Banjir di Sungai Nil tersebut membawa bencana sekaligus anugerah. Dikatakan

bencana, sebab banjir pada gilirannya akan menghilangkan batas-batas

kepemilikan lahan. Dikatakan anugerah, sebab banjir justru membawa

kesuburan bagi lahan-lahan pertanian di sepanjang Sungai Nil. Masyarakat

Mesir kuno juga dihadapkan pada sistem perekonomian dengan pajak yang amat

tinggi. Setiap tahun pemerintahan Firaun menghitung pajak yang harus dibayar

masyarakat berdasarkan luas area lahan yang dimiliki dan juga tinggi air

permukaan akibat banjir. Yang menolak membayar pajak harus menghadapi

hukuman yang amat keras, bahkan kematian. Dihadapkan pada kehidupan

seperti itulah masyarakat Mesir kuno harus berpikir keras untuk

mengembangkan metode pengukuran yang tepat dan akurat. Sistem pengukuran

yang dilakukan masyarakat Mesir kuno dikenal sangat impressive dan reliable.

Tidaklah mengherankan jika kemudian hasil karya mereka, seperti pyramid dan

sphynx, menjadi salah satu monumen peradapan dunia yang sangat

menakjubkan. Dan itu semua dilakukan melalui proses pemodelan atau

modelling, khususnya mental modelling (Fauzi dan Anna, 2005).

Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa proses

pemodelan di zaman modern saat ini berakar dari cara berpikir masyarakat

Yunani dalam mengekspresikan dan mengabstraksikan sistem yang kompleks ke

dalam penyederhanaan berpikir melalui pendekatan geometrik dan matematik.

Adalah seorang pemikir Yunani bernama Thales yang pada 2.500 tahun lalu

pertama kali menemukan bahwa matematika tidak hanya dapat digunakan untuk

menghitung, namun juga untuk mempelajari alam semesta. Salah satu temuan

Thales yang paling terkenal ketika itu adalah kemampuannya untuk

memprediksi gerhana matahari yang terjadi pada tahun 585 SM dengan sangat

tepat. Thales juga dikenal sebagai penemu pertama sistem berpikir logis (system

(42)

Dari peradaban Mesir kuno, Babylonia, Romawi dan Yunani, pemodelan

terus berkembang sampai ke zaman peradaban modern saat ini. Bahkan

kemudian pemodelan menjadi lebih kompleks dan sering bersifat surealis.

Namun, terlepas dari itu, model dan pemodelan telah membantu manusia

memahami sistem alam yang kompleks, dari mikroskopis sampai makroskopis

(Fauzi dan Anna, 2005).

Sistem digambarkan ke dalam suatu model sebagai representasi atau

formalisasi dari suatu sistem nyata atau dengan kata lain suatu model merupakan

abstraksi ataupun penyederhanaan dari suatu sistem. Model digunakan untuk

memberikan gambaran (description), memberikan penjelasan (prescription), dan

memberikan perkiraan (prediction) dari realitas yang diselidiki. Pembuatan

model adalah perluasan dari suatu analisis ilmiah. Fauzi dan Anna (2005)

menyatakan bahwa model adalah jembatan antara dunia nyata (real world)

dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah. Proses

penjabaran atau merepresentasikan ini disebut sebagai modelling atau

pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang

logis. Secara skematis, proses pemodelan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005)

Pemodel Dunia

Nyata

Dunia Model

Ditampilkan kembali sebagai hasil proses berpikir

(43)

Model-model dari ekosistem jauh lebih sederhana daripada

ekosistem-ekosistem yang sebenarnya, seperti halnya model pesawat terbang jauh lebih

sederhana daripada pesawat terbang yang sebenarnya. Suatu model harus

memiliki atribut-atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata.

Tentu saja suatu model tidak akan dapat memiliki seluruh atribut; karena kalau

hal tersebut terjadi, yang dihasilkan bukanlah suatu model, melainkan suatu

sistem nyata.

Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan

pengukuran terhadap suatu sistem yang rumit dan, kadang-kadang, untuk

meramalkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang mungkin akan

mahal harganya, sulit, ataupun bersifat destruktif terhadap sistem nyata yang

bersangkutan. Definisi lainnya adalah bahwa model merupakan alat untuk

meramalkan perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami, dari

perilaku bagian-bagian yang dipahami dengan baik (Goodman, 1975 dalam Hall

dan Day, 1977). Definisi ketiga adalah bahwa model dapat dianggap sebagai

suatu formalisasi dari pengetahuan mengenai suatu sistem. Untuk saat ini,

definisi yang pertama, yaitu bahwa model adalah suatu penyederhanaan,

merupakan definisi yang paling bermanfaat.

Pembuatan model diperlukan untuk memahami alam karena alam

sangatlah rumit. Bagaimanapun, model-model yang dibuat harus sering

diperiksa kaitannya dengan dunia nyata untuk memastikan keakuratan dari

gambaran mengenai model-model tersebut. Alat yang paling baik digunakan

adalah sifat saling mempengaruhi antara model dengan empirisme, yang secara

idealnya berada dalam suatu rangkaian bolak-balik. Analisis terhadap

sistem-sistem yang rumit, dan pembuatan model dari sistem-sistem-sistem-sistem tersebut,

berkebalikan dengan kecenderungan-kecenderungan reduksionis dalam hal ilmu.

Baru-baru ini, mengisolasi dan mengontrol komponen-komponen alam yang

sangat kecil telah menjadi alat penelitian yang paling baik dalam membantu

(44)

Dua tipe utama dari model ekologi (dan pembuat model) yang sering

digunakan dan dapat diklasifikasikan dengan baik adalah model analitik dan

model simulasi. Meskipun kedua pendekatan tersebut, secara teoritis, diarahkan

pada peningkatan pemahaman dan ramalan mengenai sistem-sistem ekologi dan

komponen-komponennya. Dalam prakteknya, kedua metode tersebut umumnya

digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat jauh berbeda,

dan pendekatan-pendekatan matematika yang digunakan pun jauh berbeda pula.

Pendekatan analitik mengacu pada sejumlah prosedur matematika dalam

menemukan pemecahan yang tepat untuk persamaan diferensial dan persamaan

lainnya. Karena perilaku dari beberapa jenis persamaan matematika telah cukup

dikenal, pendekatan analitik memiliki kemampuan yang hebat apabila beberapa

aspek alam dapat digambarkan dengan baik oleh satu atau beberapa persamaan

tersebut. Pendekatan analitik telah berhasil digunakan dalam bidang fisika;

misalnya, terdapat banyak interaksi antar partikel yang dapat digambarkan

dengan baik (secara rata-rata) oleh ekspresi-ekspresi matematika yang relatif

sederhana. Sebenarnya, selama partikel-partikel tersebut memberikan respon

dalam gaya yang sama dengan persamaan-persamaan analitik, ilmuwan yang

menggunakan prosedur-prosedur analitik tersebut memiliki kemampuan

prediktif yang luar biasa, karena perilaku dari partikel-partikel tersebut dapat

diketahui dengan cara meneliti respon dari persamaan-persamaan matematika

yang bersangkutan. Model matematika menggunakan notasi-notasi dan

persamaan-persamaan matematika untuk mempresentasikan sistem.

Atribut-atribut dinyatakan dengan variabel-variabel,

Gambar

Gambar 8.  Peta wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis
Gambar 9.  Market discount rate
Tabel 2. Wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Bengkalis
Tabel 4. Distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis menurut jenis kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fisioterapis dapat membantu pasien stroke dalam rangka penyembuhan, seperti meningkatkan keseimbangan berjalan, mengurangi spasme (ketegangan) otot, mengurangi resiko

Jumlah ini turut dibuktikan melalui data yang dikeluarkan oleh CIDB (2005) berkaitan penggunaan IBS dalam sektor pembinaan iaitu majoriti pemaju di Malaysia masih gemar

Tabel 4. Jumlah pendapatan di Kab.. Adapun untuk menghitung persentase jumlah kumulatif kelas dengan cara. jumlah penduduk tiap kecamatan dibagi jumlah penduduk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang remaja mengakses situs pornografi di Kecamatan Jebres Surakarta. Untuk mengetahui habitus perilaku remaja dalam

- Topik program yang akan diambil harus sesuai dengan bidang ilmu yang dibutuhkan atau akan dikembangkan pada program studi yang bersangkutan (dibuktikan dengan CV yang

Metafora sebagai salah satu wujud daya kreatif bahasa di dalam penerapan makna, artinya berdasarkan kata-kata tertentu yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau

Lampau waktu, musnahnya barang atau tlh diselesaikannya usaha yg mjd pokok persekutuan perdata, kehendak dr seorang atau bbrp org sekutu, salah seorang sekutu meninggal

Bagian yang diamati adalah gaya yang digunakan, kekasaran permukaan pada proses gerinda, pengaruh air cooling, pada proses hard turning, micro milling , micro