ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL
DI PULAU-PULAU KECIL : SUATU PENDEKATAN “CONVERGING
DUAL TRACK MODEL (CD TRAM)”
T. EFRIZAL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
T. EFRIZAL. An Analysis of Fisheries Resources Management of Small Islands: Using Converging Dual Track Model (CD-TRAM). Under Supervision of AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN and MUHAMMAD ARDIANSYAH.
A conventional model of small island resources is usually dealing with interaction between fisheries and tourism. The traditional fisheries model more or less is devoted to analyse bioeconomic aspect of fisheries management. This approach has deficiences in terms of information associated with other aspect such as mangrove degradation, that might not be included in the model. Based on this deficiency, a convergen dual track model was developed.
The objectives of this research are: (1) to identify the effect of fisheries extraction on their optimal as well as sustainable levels, (2) to determine the degradation rate of the fishery, (3) to determine the dynamic interaction among parameters within the fisheries system, (4) to develop the interaction mangrove model with fisheries system, (5) to determine welfare effect of fisheries extraction.
Results of this study show that the fishery in the study area has experienced substantial degradation between periods of 1986 to 2000. Event though at current level of exploitation the extraction rate is still below its optimal level, there is a tendency that the resource will be over exploited in the year future due to miss management and increasing trend in input levels. By incorporating mangrove ecosystem in the model Fozal, it shows that mangrove ecosystem could contribute as much as 44.18 % toward total fish production.
Results from dynamic analysis show that there is a tendency of long run stability in effort and biomass. This study indicated that the total benefit at almost Rp 32 billion/year could be secured had the fishery been managed properly.
T. EFRIZAL. Analisis Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal di Pulau-Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD-TRAM)”. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN dan M. ARDIANSYAH.
Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata, sedangkan model konvensional pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari kedua model yang dikembangkan tersebut ada beberapa informasi yang belum terungkap, seperti kondisi sumberdaya lain misalnya mangrove, tingkat degradasi ataupun kesejahteraan masyarakat. Untuk menjembatani kelemahan-kelemahan dari model yang ada tersebut maka dikembangkan ”Convergen Dual Track Model” (CD-TRAM).
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, melalui suatu pendekatan pengembangan model. Tujuan khususnya adalah: (1) menentukan tingkat pengelolaan sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil Kabupaten Bengkalis yang lestari dan optimal, membandingkannya dengan kondisi ekstraksi aktual, (2) menentukan tingkat degradasi sumberdaya ikan dan konsekuensinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil, (3) menganalisis interaksi dinamis antara aspek biologi dan ekonomi sumberdaya ikan dan implikasinya terhadap pengelolaan, (4) menganalisis pengaruh interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem mangrove terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan (5) Menentukan dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan. Penelitian ini diharapkan akan menemukan suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai acuan kebijakan perikanan yang berkelanjutan sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari.
Koefisien degradasi sumberdaya perikanan rendah terjadi di awal-awal periode kemudian mengalami peningkatan. Sumberdaya perikanan mengalami depresiasi pada tahun 1986 dan 2000. Besaran depresiasi dengan real discount rate
menghasilkan nilai rata-rata present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate. CD-TRAM dengan menggunakan model Fozal menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki kontribusi sebesar 44.18% terhadap produksi sumberdaya perikanan. Dari analisis stabilitas, upaya dan biomass bersifat stabil, sedangkan mangrove tidak stabil. Nilai total benefit sumberdaya perikanan sebesar Rp 31.9 milyar/tahun.
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:
Analisis Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal di Pulau-Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD TRAM)”
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2005
© Hak cipta milik T. Efrizal, tahun 2005
Hak cipta dilindungi
DI PULAU-PULAU KECIL : SUATU PENDEKATAN “CONVERGING
DUAL TRACK MODEL (CD TRAM)”
T. EFRIZAL
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track
Model (CD TRAM)”
N a m a : T. Efrizal
NRP : C.226010051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr.Ir.Muhammad Ardiansyah
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 30 November 2005
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata. Sedangkan model-model konvensional pengelolaan sumberdaya perikanan di
mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari
kedua model yang dikembangkan tersebut ada beberapa informasi yang belum terungkap. Untuk menjembatani kelemahan dari model-model tersebut maka dikembangkan model yang dinamakan ”Convergen Dual Track Model” (CD-TRAM). Penelitian ini berlokasi di pulau-pulau kecil wilayah Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, yang dilaksanakan pada bulan Desember 2003 sampai dengan Agustus 2004.
Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun memiliki banyak keterbatasaan, sudah mulai banyak dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi keterpencilan, luasan lahan dan sumberdaya manusia yang terbatas serta berbagai keterbatasan lain bukanlah halangan untuk memanfatkan segala potensi pulau-pulau kecil tersebut.
Masih terbatasnya penelitian terhadap permasalahan pulau-pulau kecil, apalagi yang berkaitan dengan isu pemanfaatan sumberdaya yang bersifat multiple use. Untuk mengelolanya dibutuhkan solusi yang tepat sehingga pemanfaatan menjadi optimal, efisien dan berkelanjutan. Model yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perencanaan pembangunan pulau-pulau kecil, sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari.
Bogor, Desember 2005
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada:
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., dan Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian, sumbangan pikiran, masukan dan arahan dalam penyusunan disertasi ini.
2. Departemen Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Program Pascasarjana yang telah memberikan beasiswa pendidikan program doktor.
3. Pemerintah Propinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Pelalawan atas bantuan yang telah diberikan.
4. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis, atas bantuan dalam penyediaan data dan fasilitas lainnya. 5. Yth. Bapak Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA sebagai penguji luar komisi pada
sidang tertutup, Bapak Prof. Dr. Ir. Feliatra, DEA (Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau) dan Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc. sebagai penguji luar komisi pada sidang terbuka.
6. Rekan-rekan staf pengajar di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, atas dorongan semangat yang telah diberikan.
7. Yang tercinta kedua orang tua, istri, kakak-kakak, adik-adik, dan seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.
8. Rekan-rekan yang selalu memberikan dorongan semangat dan bantuan, yaitu: Dr. Suzy Anna, Dr. Armen, Dr. Max, Dr. Georgina, Pak Sofyan, Pak Indra, Bu Wini, Bu Desni, Sdri. Sofi dan seluruh staf PS-SPL SPS-IPB serta semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang banyak sekali membantu dalam penyelesaian disertasi ini.
Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Desember 2005
Penulis dilahirkan di sebuah pulau kecil, Pulau Mendol Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau (sebelum pemekaran pada tahun 1999, termasuk wilayah Kabupaten Kampar) pada tanggal 12 Desember 1967, merupakan putra ke-empat dari empatbelas bersaudara dari pasangan T. Dahrul dan Zaliah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2001, penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).
Halaman
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... x
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Batasan Wilayah Pesisir ... 6
2.2 Pulau-Pulau Kecil ... 6
2.3 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan ... 14
2.4 Konversi Lahan di Kawasan Pesisir ... 15
2.5 Pemodelan (Modelling)... 18
2.6 Optimisasi Sumberdaya Perikanan ... 29
2.7 Analisis Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan... 40
III. METODE PENELITIAN ... 44
3.1 Waktu dan Tempat ... 44
3.2 Metode Pengumpulan Data ... 44
3.3 Analisis Data ... 46
3.3. 1 Produksi Perikanan... 46
3.3. 2 Standarisasi Effort ... 47
3.3. 3 Estimasi Parameter Ekonomi ... 48
3.3. 4 Model Analisis Degradasi dan Depresiasi ... 52
3.3. 5 Model Bio-Ekonomi Sumberdaya Perikanan ... 53
3.3. 6 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 54
3.3. 7 Analisis Dinamis ... 57
3.3. 8 Interaksi Mangrove dan Perikanan... 58
3.3. 9 Uji Stability ... 60
3.3.10 Aspek Kesejahteraan ... 61
3.4 Pemetaan Proses Penelitian ... 62
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 64
4.1 Wilayah Administratif ... 64
4.2 Kondisi Geografis, Iklim dan Oseanografis ... 65
4.2.1 Geografis ... 65
4.2.2 Iklim ... 66
4.2.5. Kedalaman Laut ... 70
4.3 Vegetasi Pantai ... 70
4.4 Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi ... 71
4.5 Kondisi Kegiatan Perikanan ... 73
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 84
5. 1 Produksi Perikanan ... 84
5. 2 Standarisasi Unit Effort ... 86
5. 3 Estimasi Parameter Biologi ... 88
5. 4 Estimasi Parameter Ekonomi ... 89
5.4.1 Struktur Biaya ... 89
5.4.2 Estimasi Discount Rate ... 90
5. 5 Estimasi Sustainable Yield ... 91
5. 6 Degradasi Sumberdaya Perikanan ... 95
5. 7 Depresiasi Sumberdaya Perikanan ... 97
5. 8 Pengelolaan Sumberdaya Yang Optimal ... 102
5. 9 Analisis Dinamis ... 113
5.10 Rezim Pengelolaan ... 114
5.11 Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan ... 116
5.12 Analisis Stability ... 122
5.13 Aspek Kesejahteraan ... 124
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 127
6.1 Kesimpulan ... 127
6.2 Saran ... 128
DAFTAR PUSTAKA ... 130
Halaman
1 Kerangka pendekatan penelitian………...………… 4
2 Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005)... 24 3 Kurva yield effort ………... 32
4 Kurva pertumbuhan populasi yang bersifat density dependent (Fauzi, 2004)………... 34
5 Model Gordon-Schaefer ………... 36
6 Pendekatan "Bang-bang" optimisasi sumberdaya perikanan ... 39
7 Kurva Fisher ………... 43
8 Peta wilayah administratif Kabupaten Bengkalis ………... 45
9 Market discount rate ……….... 50
10 Pemetaan proses penelitian ……….. 63 11 Persentase distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis berdasarkan
kecamatan pada tahun 2003 ………...
72 12 Grafik persentase perlakuan terhadap produksi perikanan laut di
Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 ………...
76 13 Grafik perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis
dari tahun 1985-2002 ………...
78 14 Persentase produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis
dari tahun 1985-2002 ………...
80
15 Nilai produksi (juta Rp) sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis...
82 16 Grafik data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis
di Kabupaten Bengkalis ………...
85 17 Hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan
dalam analisis ...
19 Produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) ... 92
20 “Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) ……….. 93 21 “Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi logistik) ... 93 22 Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) …………... 94
23 Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi logistik) ………... 94
24 Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi lestari ………... 95 25 Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi aktual ………... 96 26 Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual ………... 96
27 Perbandingan laju degradasi dengan effort aktual ………... 97
28 Present value rente dan depresiasi ……….. 100
29 Effort dan depresiasi (Kula 15%) ……… 101
30 Effort dan depresiasi (Kula 4%) ………..… 101
31 Nilai optimal biomass dan produksi dengan nilai δ yang berbeda (10 ton) ... 104
32 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=4%) ………… 105
33 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=15%) ……… 106
34 Perbandingan input aktual dan optimal (1000 trip) ……… 107
35 Sustainable rent untuk pengelolaan optimal (Rp juta) ……… 109
36 Perbedaan present value rente optimal dan sustainable (Rp juta) … 110 37 Persentase perbedaan effort aktual dan optimal ……… 112
38 Persentase perbedaan rente sustainable dan optimal ……… 112
41 Rezim pengelolaan biomass ………... 115
42 Rezim pengelolaan effort, produksi dan rente ekonomi ……… 115
43 Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1985-2002 ……… 117 44 Kurva sustainable yield baseline dan Model Fozal ……… 118
45 Analisis stability data effort ……… 123
46 Analisis stability data biomass sumberdaya perikanan ……… 123
47 Analisis stability data mangrove ……… 124
48 Nilai surplus produsen, rente sumberdaya ikan dan total
benefit……….
Halaman
1 Perbandingan karakteristik pulau oseanik, pulau daratan/ kontinental dan benua (Salm dan Clark, 2000) ...
10 10 2 Wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Bengkalis ……… 64 3 Daftar nama kecamatan dan pulau di Kabupaten Bengkalis ... 66 4 Distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis menurut jenis kelamin 71 5 Rumah tangga perikanan menurut kecamatan di Kabupaten
Bengkalis ...
73 6 Profil pertambakan Kabupaten Bengkalis ……….. 74 7 Perlakuan terhadap produksi perikanan laut di Kabupaten
Bengkalis dari tahun 1985-2002 ………...
75 8 Perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis dari
tahun1985-2002 ………...
77 9 Produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari
tahun 1985-2002 ………...
79 10 Nilai produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis
dari tahun1985-2002 ………...
81 11 Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis…… 84 12 Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam
analisis ………
87 13 Hasil uji Dickey Fuller ………... 88 14 Hasil analisis nilai parameter biologi ………. 89 15 Total biaya kegiatan penangkapan ikan target dari tahun
1985-2002 ………...
89 16 Perbandingan produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan
Schaefer) ……….
91 17 Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumberdaya perikanan ….. 98 18 Nilai optimal biomass, produksi dan effort dengan nilai δ yang
berbeda...
103
19 Sustainable rent optimal dengan nilai δ yang berbeda ……... 108
optimal (δ=15%) ………. 111
22 Perbedaan antara produksi sumberdaya perikanan baseline
dengan Model Fozal ………...
116
Halaman
1 Deskripsi ikan ... 141
2 Analisis data hasil tangkapan masing-masing alat tangkap yang ... digunakan dalam analisis ... 144
3 Deskripsi alat tangkap yang digunakan dalam penelitian... 145
4 Gambar alat tangkap yang digunakan dalam analisis ... 148
5 Analisis CYP... 150
6 Analisis penentuan discount rate Kula ... 155
7 Analisis koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi ... aktual dan rataan geometrik)... 158
8 Maple output untuk perhitungan optimal... 159
9 Analisis optimal untuk rezim pengelolaan MEY, MSY dan open... Acces... 163
10 Analisis interaksi mangrove dan sumberdaya perikanan (Model ... Fozal) ... 165
11 Peta sebaran mangrove di Kabupaten Bengkalis ... 171
12 Peta sebaran alat tangkap di Kabupaten Bengkalis... 172
13 Perhitungan analisis stabilitas ... 173
14 Perhitungan surplus produsen ... 181
1.1 Latar Belakang
Pulau-pulau kecil merupakan suatu kawasan yang selama ini kurang
mendapat perhatian dalam pengelolaannya, terutama pengelolaan yang
terintegrasi (integrated management planning). Sebagai suatu kawasan kecil
yang termasuk ke dalam zona pesisir (coastal zone), keberadaan pulau-pulau
kecil baik dari segi eksistensi pulau itu sendiri maupun keanekaragaman hayati
(biodiversity) yang ada pada ekosistem sekitar pulau sangat rentan terhadap
berbagai aktivitas manusia yang terjadi di daratan, khususnya pulau-pulau yang
berhadapan langsung dengan daratan yang memiliki intensitas kegiatan industri
yang tinggi.
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup
besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi
seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan
hutan bakau (mangrove). Sumberdaya hayati laut pada kawasan ini memiliki
potensi keanekaragaman dan nilai ekonomi yang tinggi. Dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas pembangunan dan kenyataan
bahwa sumberdaya alam di daratan (seperti hutan, lahan pertanian produktif,
bahan tambang dan mineral) terus menipis atau sukar untuk dikembangkan,
maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan bagi kesinambungan
pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang.
Salah satu propinsi yang banyak memiliki pulau-pulau kecil adalah
Propinsi Riau. Propinsi Riau merupakan wilayah yang mencakup bagian timur
Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan yang membentang dari Selat Malaka,
Laut Cina Selatan dan Selat Berhala. Sektor perikanan mempunyai peran cukup
penting di Propinsi Riau. Berdasarkan Laporan Dinas Perikanan Propinsi
Daerah Tingkat I Riau (2003), jumlah produksi perikanan Riau yang berasal dari
hasil tangkapan 96l014.6 ton. Dari jumlah tersebut sebagian besar berasal dari
Kabupaten Bengkalis merupakan bagian dari Propinsi Riau yang
dibentuk berdasarkan UU No. 12 tahun 1956. Semula kabupaten ini memiliki
luas 30l646.83 km2, setelah dimekarkan menjadi Kabupaten Rokan Hilir, Siak dan Kota Dumai, lebih separuh wilayah ini berkurang dan hanya tinggal seluas
11l481.77 km2. Wilayah Kabupaten Bengkalis terdiri dari pulau-pulau kecil. Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan ini merupakan salah satu potensi
sumberdaya kelautan yang khas karena memiliki keunikan morfologi dan
ekologi sehingga memberi pengaruh pada pola hidup dan budaya
masyarakatnya. Ekosistem mangrove di kawasan ini telah banyak mengalami
degradasi akibat berbagai aktivitas pembangunan, seperti reklamasi pantai untuk
pembangunan gudang dan pelabuhan, serta aktivitas pembangunan lainnya
seperti pembangunan perkantoran, pertokoan dan kawasan pemukiman
penduduk.
Setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya perikanan,
pemukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada
lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang
harmonis. Selain itu, untuk pemanfaatan sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resources), laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya
untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu, sedangkan pemanfaatan
sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih (non-renewable resources) harus
dilakukan dengan cermat sehingga efeknya tidak merusak lingkungan
sekitarnya.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam pemanfaatan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil harus
mempertimbangkan kapasitas sumberdaya alam yang ada sehingga secara
ekologi dan ekonomi dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.
Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk
pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji
tentang perikanan dan pariwisata (Brander dan Taylor, 1998; Casagrandi dan
pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang
bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari kedua model yang dikembangkan
tersebut ada beberapa informasi yang tidak muncul (missing) seperti kondisi
sumberdaya yang lain misalnya mangrove, seberapa besar tingkat degradasi
sumberdaya ataupun tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk menjembatani
kelemahan-kelemahan dari kedua model tersebut maka dalam penelitian ini
selanjutnya akan mengembangkan suatu model yang dinamakan ”Convergen
Dual Track Model” (CD-TRAM). Pengembangan model ini juga terinsprisasi
dari kesalahan dalam mengelola sumberdaya alam, yang mengakibatkan
runtuhnya peradaban di Pulau Easter (Syndrome Easter Island). Peradaban di
Pasifik yang sempat maju pada tahun 200 hingga 900 ini kolaps karena
terjadinya lebih tangkap (overfishing). Masyarakat pulau kecil yang sangat
menggantungkan hidupnya pada sumberdaya ikan tersebut mengekstraksi
sumberdaya sampai pada taraf yang berlebihan yang pada gilirannya kemudian
menyebabkan suplai pangan dari laut menurun drastis. Ketika pangan tidak
mencukupi, konflik timbul dan gejolak tersebut kemudian meningkat menjadi
perang antar suku yang dalam jangka panjang memusnahkan peradaban. Suatu
kenyataan yang sulit diterima telah terjadi, dimana musnahnya peradaban
dikarenakan terjadinya overfishing (Fauzi, 2005). Untuk lebih jelasnya
kerangka pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada dasarnya pembangunan ekonomi di sebagian besar negara di dunia
adalah berbasiskan pada sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang
menjadi tulang punggung ekonomi, adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya
ini seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang
memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu
sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui, pengelolaan sumberdaya ini
memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Fauzi, 2004).
Oleh karenanya timbul pertanyaan bagaimana mengelola sumberdaya perikanan
yang terbaik yang akan menghasilkan kesejahteraan yang setinggi-tingginya
bagi masyarakat dan bangsa. Beberapa pertanyaan yang muncul dari ilustrasi di
1. Bagaimana ekstraksi sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil dilihat
dari aspek biologi dan ekonomi sumberdaya perikanan.
2. Dengan kendala ketersediaan sumberdaya di pulau-pulau kecil,
bagaimana degradasi sumberdaya ikan berpengaruh dalam penyediaan
sumberdaya ikan secara berkelanjutan.
3. Bagaimana interaksi dinamis antara parameter biologi dan ekonomi
sumberdaya ikan, dan apa konsekuensinya terhadap pengelolaan
sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil.
4. Bagaimana interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem
mangrove dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan di
pulau-pulau kecil.
5. Akibat dari beberapa faktor di atas, bagaimana dampak kesejahteraan
masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan.
Evolusi Pengembangan Model
Model Konvensional Perikanan
Optimal Catch, Effort,
MSY, MEY, MScY
Model Pulau-Pulau Kecil
Model Klasik
Fish vs Tourism
Bioekonomi Statik/Dinamik
Docking
Multiple Use, MCA, Dynamic, Fishery,
Tourism
Missing:
SDA lain, Degradasi,
Welfare
Convergen Dual Track Model
(CD-TRAM)
Eksogen
Endogen
Constraint
Pulau-Pulau Kecil
Syndrom Easter Island
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola
pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau,
melalui suatu pendekatan pengembangan model.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Menentukan tingkat pengelolaan sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil
Kabupaten Bengkalis yang lestari dan optimal, kemudian
membandingkannya dengan kondisi ekstraksi aktual.
2) Menentukan tingkat degradasi sumberdaya ikan dan konsekuensinya
terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil.
3) Menganalisis interaksi dinamis antara aspek biologi dan ekonomi
sumberdaya ikan dan implikasinya terhadap pengelolaan sumberdaya
perikanan yang berkelanjutan di pulau-pulau kecil.
4) Menganalisis pengaruh interaksi antara sumberdaya ikan dengan
ekosistem mangrove terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan.
5) Menentukan dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi
sumberdaya perikanan.
Dari penelitian ini diharapkan akan terciptanya suatu analisis yang
komprehensif menyangkut pengelolaan pulau-pulau kecil yang dapat dijadikan
acuan kebijakan perikanan yang berkelanjutan sehingga hasil pembangunan
2.1 Batasan Wilayah Pesisir
Sejauh ini belum ada definisi baku mengenai wilayah pesisir (coastal
zone) yang dipakai dalam pengelolaan wilayah pesisir, namun demikian terdapat
kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai
(coastline), wilayah pesisir memiliki dua batas (boundaries), yaitu: batas yang
sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross
shore)(Dahuri et al., 1996).
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia, yakni wilayah
pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian
daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh
sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin,
sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia.
Selanjutnya dikatakan bahwa untuk kepentingan pengelolaan, penetapan
batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang
mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut beserta
segenap sumberdaya yang ada di dalamnya, serta tujuan dari pengelolaan itu
sendiri.
2.2 Pulau-Pulau Kecil
Menurut Retraubun (2003), pulau-pulau kecil memiliki definisi yang
sangat beragam dan telah mengalami perdebatan yang panjang di berbagai
forum para pakar. Definisi operasional pulau kecil di Indonesia pun masih
disiplin ilmu ini. Beberapa pendapat tentang definisi pulau-pulau kecil yang
diutarakan adalah sebagai berikut:
Pada awalnya beberapa negara Pasifik pada pertemuan CSC tahun 1984
menetapkan batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 5l000
km2, tetapi kemudian para ahli yang memiliki kepentingan hidrologi, sosial
ekonomi dan demografis menetapkan batasan luas pulau-pulau kecil kurang
dari 1l000 km2 atau pulau dengan lebar kurang dari 10 km (Arenas dan
Huertas, 1986).
Namun demikian karena banyak pulau yang berukuran antara 1l000-2l000
km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang
ukurannya kurang dari 1l000 km2 sehingga diputuskan oleh UNESCO
(1991) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari
2l000 km2.
Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 tahun 2000
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001), yang dimaksud dengan pulau
kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan
10l000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan
200l000 orang. Batasan yang sama juga dipakai oleh Hess (1990), namun
dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500l000 orang.
Pembedaan lebih jauh juga dilakukan antara pulau kecil dan pulau sangat
kecil, yang mendasari perbedaan ini pada keterbatasan sumberdaya air tawar
baik air tanah maupun air permukaan; sehingga ditetapkan bahwa pulau
dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya tidak lebih besar
dari 3 km dikategorikan pulau sangat kecil (UNESCO, 1991).
Bengen (2001a) menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau yang
mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10l000 km2 atau
lebarnya kurang dari 10 km. Banyak pulau-pulau kecil yang mempunyai
ini diklasifikasikan sebagai pulau sangat kecil. Contoh dari pulau sangat
kecil adalah pulau-pulau Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.
Meskipun terdapat perbedaan mengenai batasan luasan pulau namun
terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil
adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau
induknya (mainland) dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat
lain, sehingga mempunyai sifat insular.
Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan
suatu pulau kecil: (1) batasan fisik (luas pulau), (2) batasan ekologis (proporsi
spesies endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya. Selain ketiga kriteria
tersebut, dapat pula ditambahkan kriteria tambahan yakni kemandirian
penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok. Jika suatu pulau
penduduknya mendatangkan kebutuhan pokoknya berasal dari pulau lain atau
pulau induknya, maka pulau tersebut dapat digolongkan pulau kecil (Dahuri,
1998).
Berdasarkan sejarah pembentukannya (genesis), pulau dapat terbentuk
akibat proses atau oleh kegiatan utama atau bantuan (Ongkosono, 1998) sebagai
berikut:
- Penurunan muka laut, contoh: P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar
(ketiganya di Kep. Riau)
- Kenaikan muka laut, contoh: Kep. Lingga, P. Batam, P. Karimun Kecil
(ketiganya di Kep. Riau)
- Tektonik, zona penunjaman (subduction), contoh: P. Chrismas, P. Nias.
- Tektonik, zona pemekaran (spreading), contoh: Kepulauan Hawaii
- Amblesan daratan, contoh: P. Digul
- Erosi, contoh: P. Popole (sebelah barat Jawa Barat)
- Sedimentasi, contoh: Pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis
(Riau).
- Biologi, biota terumbu karang dan biota asosiasinya, contoh:
Pulau-pulau Seribu
- Biologi, biota lain (dipacu mangrove, lamun, dan lain-lain), contoh: P.
Karang Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan
- Pengangkatan daratan, contoh: P. Manui (Sulawesi)
- Buatan manusia, contoh: lapangan udara Kansai Airport, Osaka, Jepang
- Kombinasi berbagai proses, contoh: P. Rupat (Riau)
Pada umumnya, pulau terbentuk oleh kombinasi berbagai proses,
meskipun ada yang berperan utama. Selain oleh proses dan faktor di atas,
kondisi pulau dapat dipengaruhi oleh kegiatan atau proses yang dilakukan oleh:
(1) manusia, melalui kemampuan teknologi dan rekayasanya; (2) vegetasi
penutup; (3) kegiatan hewan; dan (4) alam fisik dan kimia. Pemantapan
pembentukan dapat semakin terpacu oleh vegetasi seperti mangrove, lamun,
Pandanus, dan tumbuhan pantai yang merayap seperti Ipomea dan Spinifex.
Menurut Salm dan Clark (2000), pulau-pulau kecil dapat dibagi dua,
yaitu “pulau oseanik” dan “pulau kontinental”. Selanjutnya pulau-pulau oseanik
dibagi menjadi dua jenis, yaitu pulau vulkanik dan pulau karang. Sebagian
besar pulau kecil adalah pulau oseanik. Pulau kontinental umumnya terdapat di
dekat daratan benua-benua besar yang perairannya dangkal. Tipe pulau ini
mempunyai sejarah geologi dan biota yang sama dengan induknya. Dalam
sejarahnya pulau-pulau tersebut dulunya bergabung dengan pulau induknya,
tetapi akibat naiknya permukaan air laut yang terjadi ribuan tahun lalu
pulau-pulau tersebut terpisah dari pulau-pulau induknya. Sehingga sumberdaya alam yang
terdapat di pulau-pulau tersebut sama dengan pulau-pulau induknya yang
Tabel 1. Perbandingan karakteristik pulau oseanik, pulau daratan/kontinental dan benua (Salm dan Clark, 2000)
Pulau Oseanik Pulau Daratan Benua
Karakteristik Geografis - Jauh dari benua - Dikelilingi oleh laut
luas
- Area daratan kecil
- Suhu udara stabil
- Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat
- Dekat dari benua - Dikelilingi sebagian
oleh laut yang sempit - Area daratan besar
- Suhu agak bervariasi
- Iklim mirip benua terdekat
- Area daratan sangat besar
- Suhu udara bervariasi
- Iklim musiman
Karakteristik Geologi
- Umumnya karang
tepi atau vulkanik - Sedikit mineral
penting
- Tanahnya
porous/permeable
- Sedimen atau metamorfosis - Beberapa mineral
penting
- Beragam tanahnya
- Sedimen atau metamorfosis - Beberapa mineral
penting
- Beragam tanahnya
Karakteristik Biologi
- Keanekaragaman
hayati rendah - Pergantian spesies
tinggi
- Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
- Keanekaragaman
hayati sedang - Pergantian spesies
agak rendah - Sering pemijahan
massal hewan laut bertulang belakang
- Keanekaragaman
hayati tinggi - Pergantian spesies
biasanya rendah - Sedikit pemijahan
massal hewan laut bertulang belakang
Karakteristik Ekonomi - Sedikit sumberdaya
daratan
- Sumberdaya laut lebih penting - Jauh dari pasar
- Sumberdaya daratan agak luas
- Sumberdaya laut lebih penting - Lebih dekat pasar
- Sumberdaya daratan luas
Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang
menonjol sebagai berikut (Bengen, 2001a) :
- Terpisah dari habitat pulau induk (mainland), sehingga bersifat insular
- Memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan
maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga
sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut
- Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat
kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta
pencemaran
- Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi
- Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari
daratan utamanya (benua atau pulau besar)
- Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.
Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem
pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja
bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan
hidup umat manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem
pesisir dan lautan di pulau-pulau sebagai pengatur iklim global (termasuk
dinamika la-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimianya, penyerap limbah,
sumber plasma nuftah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh
karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara
seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung
secara optimal dan berkelanjutan.
Dengan kondisi biogeofisik pulau-pulau kecil, maka keberadaan
penduduk maupun ekosistem alam pada kepulauan kecil menghadapi berbagai
tantangan, diantaranya:
Kepulauan kecil secara ekologi amat rentan, terutama akibat pemanasan
global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan
oleh kombinasi faktor tersebut secara potensial terbukti sangat progresif
mengurangi garis kepulauan kecil. Akibatnya terjadinya perubahan
menurunnya makhluk hidup, hewan-hewan maupun penduduk yang
Kepulauan kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan
keanekaragaman hayati yang sangat khas dan bernilai tinggi.
Sumberdaya alam yang ada umumnya terdiri varietas-varietas yang
dilindungi.
Beberapa pulau kecil yang berada jauh dari jangkauan pusat
pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi
serta terbatasnya ketrampilan masyarakat. Walau di beberapa pulau
kedua masalah ini sudah diatasi sehingga memungkinkan
dikembangkannya sektor pariwisata, yang berpotensi dalam
menyediakan sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat, namun tetap
saja biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunan prasarana
pariwisata masih cukup besar. Hal ini menyebabkan penanaman modal
kepariwisataan hanya memilih pulau-pulau tertentu saja dan pulau-pulau
yang potensial bagi penanaman modal besar terdapat di kawasan
Kepulauan Maluku maupun Nusa Tenggara.
Pulau-pulau kecil mempunyai daerah dan fasilitas tangkapan air hujan
yang minim. Disamping itu pulau-pulau ini juga jarang atau tidak
memiliki cadangan air tanah sama sekali, sehingga menyebabkan
terbatasnya kesempatan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi,
terutama bila kegiatan itu membutuhkan air tawar dalam jumlah besar. Hingga kini belum ada klasifikasi kepulauan kecil yang didasarkan pada
aspek biofisik, sosial-ekonomi, dan sosiologis yang dapat membuat
usaha pengelolaan alokasi sumberdaya alam menjadi lebih efektif.
Menurut Fauzi dan Anna (2005), dalam melakukan penilaian ekonomi
sumberdaya pulau-pulau kecil ada beberapa sifat pulau-pulau kecil yang unik,
yang menyebakan nilai ekonomi dari sumberdaya juga harus ditimbang dari
karakteristik pulau-pulau kecil tersebut. Karakteristik yang perlu dijadikan
pembobot (Briguglio, 1995) adalah sebagai berikut:
Smallness : faktor ini, secara ekonomi akan menjadi faktor yang tidak
menguntungkan (disadvantage), sebab akan menimbulkan rangkaian lain
o Keterbatasan resource endowment
o Ketergantungan kisaran diversifikasi produk
o Keterbatasan mempengaruhi perubahan harga produk
o Keterbatasan kompetisi lokal
o Keterbatasan mengembangkan skala ekonomi
Isolation : faktor isolasi juga akan menambah faktor disadvantage,
sebab akan mengakibatkan tingginya biaya per transpor per unit, serta
ketidakpastian suplai.
Dependence
Vulnerability : pulau-pulau kecil cenderung rentan terhadap bencana
alam (natural disaster) dan ekosistem yang fragile.
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya alam di
pulau-pulau kecil merupakan stream benefits yang mengalir sepanjang waktu.
Oleh karena itu, nilai ekonomi itu bisa terdepresiasi, bisa pula terapresiasi,
tergantung bagaimana kita mengelolanya. Nilai ekonomi akan jelas
terdepresiasi manakala kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari
pertumbuhan investasi yang tidak berkesinambungan menimbulkan biaya sosial
dan lingkungan yang cukup mahal, yang harus ditanggung oleh masyarakat
dalam jangka panjang. Sebagai contoh, konsesi pemanfaatan sumberdaya hutan
di Pulau Choiseul, Solomon, hanya memberikan manfaat ekonomi sebesar US$
18l162 terhadap masyarakat. Jumlah ini dibayarkan sekali dalam periode
konsesi, sementara itu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan mencapai US$
158l451 sepanjang waktu, padahal nilai sumberdaya hutan sendiri mencapai
US$ 10l500 per tahun (Cassel, 1993). Banyak lagi contoh kasus kerugian
ekonomi yang ditimbulkan manakala pengelolaan ekonomi di pulau-pulau kecil
tidak memperhatikan aspek-aspek pengelolaan yang berkesinambungan.
Menurut Sugandhy (1998), apabila dalam jangka pendek tidak dilakukan
usaha-usaha pengelolaan yang terintegrasi terhadap pengembangan pulau-pulau
kecil akan terjadi beberapa masalah lanjutan, yaitu: (1) sumberdaya alam
semakin menipis, (2) kondisi lingkungan akan semakin merosot, (3) pencemaran
2.3 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Salah satu concern utama dalam pengelolaan sumberdaya alam di
pulau-pulau kecil adalah menyangkut keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam
yang terbatas tersebut. Dengan kata lain, pemanfaatan sumberdaya alam di
pulau-pulau kecil harus mengikuti kaedah atau prinsip-prinsip pembangunan
yang berkelanjutan.
Menurut Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, WCED
(1987) dalam Kay dan Alder (1999), dasar pembangunan berkelanjutan adalah
"pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengurangi
atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya". Dengan demikian secara ekologis terdapat empat persyaratan
utama untuk dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan
sumberdaya wilayah pesisir dan laut yakni: (1) keharmonisan spasial, (2)
pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) membuang
limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan dan (4) merancang dan
membangun prasarana dan sarana sesuai dengan dinamika ekosistem pesisir dan
laut.
Dalam memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau
kecil secara berkelanjutan, sebagai penyedia sumberdaya alam yang dapat pulih
(renewable resources), hal yang perlu diperhatikan adalah : bahwa laju
eksploitasi tidak boleh melebihi kemampuannya untuk pulih pada suatu periode
tertentu, sedangkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih
(non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat agar tidak merusak
lingkungan sekitarnya (Clark, 1988).
Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
secara berkelanjutan juga mengharuskan adanya keseimbangan antara kegiatan
ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sebagaimana dijelaskan oleh
Djajadiningrat (1997) bahwa apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan
dengan harapan melindungi lingkungan, maka tindakan ini dapat menimbulkan
proses degradasi lingkungan, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan
ekonomi berjalan dengan cepat, tanpa mengindahkan pelestarian sumberdaya
alam dan pengendalian pencemaran. Untuk menyelaraskan hal tersebut, maka
tujuan kebijakan pengelolaan ekonomi harus difokuskan pada pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan, dengan cara menyeimbangkan antara kebijakan
pertumbuhan mutu lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.
2.4 Konversi Lahan di Kawasan Pesisir
Kawasan pesisir dan wilayah pulau-pulau kecil Indonesia memiliki
ekosistem yang cocok bagi pengembangan kegiatan budidaya udang di tambak
air payau. Pengoperasian tambak udang biasanya dikembangkan di daerah
pasang surut. Di kawasan tersebut tersedia air setinggi 0.8-1.5 m selama periode
rata-rata pasang tinggi, yang dapat digunakan untuk budidaya udang dan untuk
pengeringan secara sempurna pada saat diperlukan (BPPT, 1995).
Konversi lahan mangrove di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
menjadi pertambakan memiliki dampak potensial, antara lain: (a) mengancam
regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan
mangrove sebagai nursery ground pada stadium larva, (b) menurunkan
kemampuan mangrove untuk mengikat bahan pencemar, (c) pendangkalan
perairan pesisir akibat sedimentasi, (d) intrusi garam melalui saluran tambak
buatan manusia yang bermuara ke laut, dan (e) erosi pantai (Koesoebiono,
1996).
Terdapat beberapa kerugian jika pembuatan tambak dilakukan di lahan
mangrove, meskipun ada juga beberapa keuntungan yang bisa diraih. Naamin
(1990) menjelaskan beberapa keuntungan membangun tambak di lahan
mangrove yakni: (a) biaya pemilikan lahan relatif murah karena diangggap
merupakan lahan marginal; (b) biaya penggalian tambak dan pemasokan air
lebih mudah, karena elevasinya rendah; (c) pergantian air lebih mudah, terutama
pada daerah pasang surut yang berkisar 1-3 m; (d) perairan pantai di sekitar
hutan mangrove merupakan sumber benur dan nener; (e) bila pembangunannya
erosi dan badai; dan (f) sifat fisik dan mekanik lahan mangrove baik untuk
tambak dan dapat menahan air tambak. Sementara itu kerugiannya adalah: (a)
pembersihan lahan dan konstruksi tambak sangat sulit dilakukan terutama pada
lahan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora;(b) predator dan hama udang
relatif lebih banyak dan (c); kondisi tambak kurang baik, karena terbukanya
sedimen terhadap udara dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi pirit menjadi
asam sulfat, sehingga tanah menjadi sangat asam. Karenanya, budidaya udang
dengan teknologi maju (intensif)cenderung tidak dilakukan di lahan mangrove,
namun pada lokasi yang elevasinya lebih tinggi dari pasang tertinggi yang
umumnya berupa sawah atau tegalan marjinal. Menurut Singh (1980), dan
Hamilton dan Snedaker (1984) dalam Naamin (1990) kondisi ini dapat
menyebabkan: (i) pertumbuhan udang maupun ikan lambat dan kematian tinggi
karena lahan dan airnya terlalu asam. Dalam keadaan asam pertumbuhan udang
menurun. Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan terhenti dan pada pH sekitar 4.0
akan terjadi kematian; (ii) respon pupuk sangat rendah; (iii) produksi pakan
alami rendah; dan (iv) erosi tanggul menyebabkan air tambak menjadi asam.
Untuk menjamin kelestarian mangrove mesti disediakan jalur hijau
(green belt)sebagai kawasan sempadan pantai, yang secara ekologis bermanfaat
untuk mempertahankan ekosistem pesisir beserta biotanya agar fungsi dan
kekhasannya dapat terpelihara dan berkelanjutan. Namun, sejalan dengan
pemenuhan kebutuhan manusia dan semakin menipisnya sumberdaya alam di
daratan, membuat masyarakat cenderung untuk memanfaatkan sumberdaya alam
pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama pemanfaatan hutan mangrove yang
dijadikan pertambakan (PKSPL-IPB, 2001).
Penentuan kawasan jalur hijau pantai sudah ditetapkan melalui Keppres
No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Penerapannya harus
mempertimbangkan tatalguna lahan nasional, tatalguna lahan kesepakatan,
keadaan sosial ekonomi, budaya masyarakat setempat dan kepentingan
pertahanan dan keamanan. Lebar jalur hijau pantai ditetapkan mulai dari garis
Jalur hijau mangrove berkelanjutan dapat terwujud jika pola penggunaan
lahan di belakang jalur hijau memperhatikan kesesuaian lahan dan aspek-aspek
yang mendukung kelestarian ekosistem mangrove. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain: (a) kegiatan budidaya pada kawasan mangrove
diupayakan tetap mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove, (b) kegiatan
budidaya tambak tidak menimbulkan limbah yang dapat merusak ekosistem
mangrove, (c) kegiatan eksploitasi kayu di kawasan mangrove harus sesuai
dengan sistem silvikultur yang dianjurkan, (d) regenerasi alami/buatan pada
kawasan mangrove perlu dijaga dan dipertahankan untuk mendukung hasil
panen yang lestari, dan (e) setiap bentuk kegiatan yang melakukan pembukaan
lahan mangrove perlu menyiapkan dan melakukan kegiatan rehabilitasinya.
Pembukaan lahan mangrove yang kurang cermat untuk pertambakan
dapat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan akibat terjadinya perubahan
ekologi. Kapestky (1982) menjelaskan bahwa perusakan daerah estuaria dapat
menyebabkan laju sedimentasi dari pembasuhan suspensi bahan organik,
sehingga menurunkan produktivitas perairan. Akibat lainnya adalah
penghancuran struktur tanah pantai (Darsidi dan Liang, 1986) dan terancamnya
berbagai jenis fauna penghuni hutan mangrove (Suwelo dan Maanan, 1986).
Oleh karena itu dengan terjadinya penyusutan luas mangrove akan berdampak
negatif dan menjadi penyebab utama degradasi sumberdaya perikanan. Untuk
itu konversi mangrove ke pertambakan harus dilakukan secara rasional dan
berwawasan lingkungan.
Menurut Soemarno (1986), Ilyas (1987), dan Poernomo (1988), lebar
jalur hijau 50 m merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam
pembukaan tambak. Jalur hijau yang dipertahankan tidak saja yang berada di
sepanjang pantai dan alur sungai, namun juga di areal antara tiap unit tambak.
Dalam Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dijelaskan,
untuk pengelolaan hutan mangrove, ditetapkan beberapa ketentuan berikut: (a)
perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah
pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai, yaitu berupa
tertinggi ke arah darat (pasal 13 dan 14), atau paling sedikit selebar 130 kali
beda tinggi pasang surut (tidal range); dan (b) perlindungan terhadap sempadan
sungai untuk melindungi sungai agar fungsi sungai dan kualitas airnya tidak
terganggu, yaitu sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar dan
50 m dari kiri kanan sungai kecil, atau 10-50 m dari sungai yang terletak di
kawasan pemukiman (pasal 15 & 16).
Dengan demikian, keputusan yang diambil untuk memilih lahan yang
sesuai untuk pertambakan harus mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi
dan sosial. Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan
(adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan
nilai (kelas) lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi
wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah
berikut usaha pemeliharaan dan kelestariannya (Hardjowigeno, 2001).
Kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian lahan secara sistematik dengan
mengkategorikannya berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang
mempengaruhi kelayakan suatu usaha atau penggunaan tertentu. Untuk tujuan
pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan
untuk kegiatan pertambakan udang, maka klasifikasi kesesuaian lahan ditujukan
untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin
ditimbulkan, serta menjamin kegiatan pertambakan udang tersebut dapat
berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan (integrated and
sustainable development),ditinjau secara ekologis maupun sosial ekonomis.
2.5 Pemodelan (Modelling)
Salah satu pertanyaan mendasar dalam memecahkan permasalahan
pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks di wilayah pulau-pulau kecil
adalah pendekatan apakah yang kira-kira mampu mengakomodasikan
kompleksitas pengelolaan tersebut. Dalam konteks analisis, pemodelan dapat
dijadikan sebagai wahana (vehicle) untuk membantu memecahkan masalah
tersebut. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa komponen atau variabel yang
a. Sistem
Sistem berasal dari kata “systema” dalam bahasa Yunani yang dapat
diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian (Winardi,
1999). Setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki
sekurang-kurangnya dua komponen yang dapat dipisahkan dan yang saling
berinteraksi dapat dianggap sebagai suatu sistem (Hall dan Day, 1977). Dalam
hubungan ilmu-ilmu fisika dan biologi, suatu sistem adalah sebuah pengaturan
koleksi dari interelasi komponen fisik dengan karakteristik yang dibatasi dan
unit fungsional (Grant et al., 1997). Definisi lain yang lebih umum adalah
keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan
tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al., 2001). Menurut
Manetsch dan Park (1977), sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling
berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan atau suatu gugus dari
tujuan-tujuan. Suatu sistem merupakan himpunan atau kombinasi dari
bagian-bagian yang membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Namun tidak semua
kumpulan dan gugus bagian dapat disebut suatu sistem kalau tidak memenuhi
syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna.
Selanjutnya Prahasta (2001) lebih menekankan pada sekumpulan obyek, ide,
yang saling berhubungan dalam mencapai tujuan dan sasaran bersama. Apabila
didasarkan pada sudut pandang filosofis , suatu sistem dapat diartikan sebagai
bangunan aktual dari alam atau upaya manusia untuk memberlakukan aturan
terhadap setiap kekacauan yang terjadi di alam.
Ilmu sistem ditumbuh kembangkan untuk merangkai secara utuh
komponen-komponen yang berharga dari pengetahuan spesialis, dan
mewujudkannya menjadi gambaran yang jelas. Teori sistem dimanfaatkan guna
mempelajari kenyataan akan aturan yang sistematis dan ketergantungan
(interdependendency). Dalam mendefinisikan suatu sistem, yang paling
penting adalah perihal relevansi (kesesuaian). Oleh karena itu, adalah penting
untuk selalu membayangkan suatu sistem sebagai koleksi yang terisolir dari
Setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki
sekurangnya dua komponen yang dapat dipisahkan dan yang saling berinteraksi
dapat dianggap sebagai suatu sistem. Suatu sistem dapat diartikan sebagai
bangunan aktual dari alam atau upaya manusia (misalnya, taksonomi) untuk
memberlakukan aturan terhadap setiap kekacauan yang terjadi di alam. Analisis
sistem merupakan suatu penelitian mengenai sistem yang bersangkutan, atau
mengenai sifat-sifat umum dari sistem tersebut. Holisme adalah filosofi
mengenai penelitian terhadap perilaku total (atau atribut-atribut total lainnya)
dari suatu sistem yang rumit.
Sistem seringkali diklasifikasikan sebagai: (1) sistem-sistem alamiah
(natural systems) dan (2) sistem-sistem buatan (man-made systems) (Winardi,
1999). Sistem alamiah terdiri dari sistem fisik misalnya: matahari, bumi,
molekul hingga atom dan sistem yang mengandung kehidupan (living system)
atau sistem biologis seperti manusia, hewan dan tanaman. Sedangkan sistem
buatan terdiri dari sistem sosial (social system), yaitu: keluarga, organisasi,
agama, juga sistem mekanistik (mechanistic system) seperti sebuah mobil,
sebuah jam dan lain-lain. Khusus sistem organisasi, terdiri dari sistem
operasional, sistem manajemen atau sistem keputusan, dan sistem informasi
(Suryadi dan Ramdhani, 2000). Selanjutnya sistem informasi ini merupakan
kesatuan (entity) formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya baik fisik
maupun logika (Prahasta, 2001). Dari organisasi ke organisasi,
sumberdaya-sumberdaya ini disusun atau distrukturkan dengan beberapa cara yang berlainan
karena organisasi dan sistem informasi merupakan sumberdaya-sumberdaya
yang bersifat dinamis. Dengan demikian, struktur organisasi yang dibuat pada
saat ini bisa jadi harus dimodifikasi keesokan harinya. Jadi diperlukan konsep
secara logis dapat menggambarkan struktur sistem informasi, yang
direpresentasikan oleh semua sumberdaya fisiknya, untuk berbagai ukuran
sistem informasi di dalam bermacam-macam tipe organisasi. Fungsi logis di
sini, digunakan untuk penalaran yang selanjutnya dapat digunakan untuk
analisis, penjelasan, argumen, dan bahkan untuk penyelesaian masalah
Sistem informasi berbasis komputer dibagi lagi menjadi: sistem
manajemen data dasar (databased management system), sistem informasi
manajemen (management information system), sistem penunjang keputusan
(decision support system), dan sistem pakar (expert system) (Marimin, 2002).
Selain dari sistem informasi sebelumnya beberapa pakar geografi masih
menambahkan sistem informasi geografis (SIG), yaitu suatu paradigma baru
dalam proses pengambilan keputusan dan penyebaran informasi. Dari
merepresentasikan ”dunia nyata” dapat disimpan dan diproses sedemikian rupa
sehingga dapat disajikan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana sesuai
kebutuhan (Prahasta, 2001 dan Jaya, 2002).
Berbagai sistem telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, namun
demikian masing-masing dari sistem-sistem tersebut memiliki
komponen-komponen yang juga dapat dianggap sebagai sistem, dan masing-masing dari
komponen tersebut merupakan bagian dari sistem yang lebih luas lagi. Jadi,
setiap sistem yang ingin diteliti merupakan bagian dari suatu hierarki dalam
sistem-sistem yang lain. Terserah pada kita untuk memilih bagian mana dari
hierarki tersebut yang akan diteliti, dan usaha pertama yang harus dilakukan
adalah mendefinisikan batasan-batasan spasial, temporal, dan konseptual yang
akan dibahas.
Sistem-sistem alam yang diawali dengan organisme individu, yang
kemudian beranjak ke arah yang lebih rumit lagi. Ikan yang berasal dari satu
spesies merupakan bagian dari suatu populasi ikan. Populasi ikan, bersama
dengan populasi satwa lain (mamalia, moluska, dan lain-lain) dan populasi
tumbuhan air dengan siapa mereka berinteraksi dalam lingkungan spasial,
dianggap sebagai komunitas. Komunitas, bersama dengan lingkungan tidak
hidup (non-living) membentuk suatu ekosistem, yang merupakan kependekan
dari sistem-sistem ekologi. Seluruh kehidupan di bumi ini secara kolektif
disebut biosphere.
Suatu sistem dapat dinyatakan secara deskriptif dalam bentuk pernyataan
(statement) yang dirumuskan dalam kata-kata atau kalimat. Gejala-gejala alam
secara seksama mengikuti pola-pola alami yang dapat dijelaskan dengan analisis
matematika. Dalam membuat pertanyaan, ataupun pernyataan digunakan nalar
atau logika.
Subsistem adalah suatu unsur atau komponen fungsional daripada suatu
sistem, yang berperan dalam pengoperasian sistem tersebut. Elemen suatu
sistem (entity) berbeda dengan subsistem dari sistem. Untuk membedakan
subsistem dengan elemen, maka diperlukan pembahasan atas tingkat resolusi
(penguraian). Subsistem dikelompokkan dari bagian-bagian sistem yang masih
berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tertinggi, sedangkan elemen
dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi rendah
(Eriyatno, 1999).
b. Model
Dalam bidang ilmu pengetahuan suatu model merupakan abstraksi
(abstraction), ataupun penyederhanaan (simplification) dari suatu sistem, dan
untuk menafsirkannya (Jorgensen, 1988; Hall dan Day, 1977 dan Grant et al.,
1997). Dengan kata lain, model dalam arti luas merupakan penggambaran
sebagian dari kenyataan. Model-model dari ekosistem jauh lebih sederhana
daripada ekosistem yang sebenarnya. Suatu model harus memiliki
atribut-atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata. Tentu saja
suatu model tidak akan dapat memiliki seluruh atribut, karena kalau hal tersebut
terjadi, yang dihasilkan bukanlah suatu model, melainkan suatu sistem nyata.
Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran
terhadap suatu sistem yang rumit, dan kadang-kadang untuk meramalkan
konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang mungkin akan mahal
harganya, sulit, ataupun bersifat destruktif terhadap sistem nyata yang
bersangkutan. Definisi lainnya adalah model merupakan alat untuk meramalkan
perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami, dari perilaku
bagian-bagian yang dipahami dengan baik. Definisi yang lain lagi, model dapat
Pemodelan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban
manusia. Cikal bakal pemodelan sudah ada sejak zaman Mesir kuno,
Babylonia, zaman kejayaan Yunani dan Romawi. Di zaman Mesir kuno,
masyarakat Mesir dianugerahi Sungai Nil yang setiap tahun mengalami banjir.
Banjir di Sungai Nil tersebut membawa bencana sekaligus anugerah. Dikatakan
bencana, sebab banjir pada gilirannya akan menghilangkan batas-batas
kepemilikan lahan. Dikatakan anugerah, sebab banjir justru membawa
kesuburan bagi lahan-lahan pertanian di sepanjang Sungai Nil. Masyarakat
Mesir kuno juga dihadapkan pada sistem perekonomian dengan pajak yang amat
tinggi. Setiap tahun pemerintahan Firaun menghitung pajak yang harus dibayar
masyarakat berdasarkan luas area lahan yang dimiliki dan juga tinggi air
permukaan akibat banjir. Yang menolak membayar pajak harus menghadapi
hukuman yang amat keras, bahkan kematian. Dihadapkan pada kehidupan
seperti itulah masyarakat Mesir kuno harus berpikir keras untuk
mengembangkan metode pengukuran yang tepat dan akurat. Sistem pengukuran
yang dilakukan masyarakat Mesir kuno dikenal sangat impressive dan reliable.
Tidaklah mengherankan jika kemudian hasil karya mereka, seperti pyramid dan
sphynx, menjadi salah satu monumen peradapan dunia yang sangat
menakjubkan. Dan itu semua dilakukan melalui proses pemodelan atau
modelling, khususnya mental modelling (Fauzi dan Anna, 2005).
Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa proses
pemodelan di zaman modern saat ini berakar dari cara berpikir masyarakat
Yunani dalam mengekspresikan dan mengabstraksikan sistem yang kompleks ke
dalam penyederhanaan berpikir melalui pendekatan geometrik dan matematik.
Adalah seorang pemikir Yunani bernama Thales yang pada 2.500 tahun lalu
pertama kali menemukan bahwa matematika tidak hanya dapat digunakan untuk
menghitung, namun juga untuk mempelajari alam semesta. Salah satu temuan
Thales yang paling terkenal ketika itu adalah kemampuannya untuk
memprediksi gerhana matahari yang terjadi pada tahun 585 SM dengan sangat
tepat. Thales juga dikenal sebagai penemu pertama sistem berpikir logis (system
Dari peradaban Mesir kuno, Babylonia, Romawi dan Yunani, pemodelan
terus berkembang sampai ke zaman peradaban modern saat ini. Bahkan
kemudian pemodelan menjadi lebih kompleks dan sering bersifat surealis.
Namun, terlepas dari itu, model dan pemodelan telah membantu manusia
memahami sistem alam yang kompleks, dari mikroskopis sampai makroskopis
(Fauzi dan Anna, 2005).
Sistem digambarkan ke dalam suatu model sebagai representasi atau
formalisasi dari suatu sistem nyata atau dengan kata lain suatu model merupakan
abstraksi ataupun penyederhanaan dari suatu sistem. Model digunakan untuk
memberikan gambaran (description), memberikan penjelasan (prescription), dan
memberikan perkiraan (prediction) dari realitas yang diselidiki. Pembuatan
model adalah perluasan dari suatu analisis ilmiah. Fauzi dan Anna (2005)
menyatakan bahwa model adalah jembatan antara dunia nyata (real world)
dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah. Proses
penjabaran atau merepresentasikan ini disebut sebagai modelling atau
pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang
logis. Secara skematis, proses pemodelan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005)
Pemodel Dunia
Nyata
Dunia Model
Ditampilkan kembali sebagai hasil proses berpikir
Model-model dari ekosistem jauh lebih sederhana daripada
ekosistem-ekosistem yang sebenarnya, seperti halnya model pesawat terbang jauh lebih
sederhana daripada pesawat terbang yang sebenarnya. Suatu model harus
memiliki atribut-atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata.
Tentu saja suatu model tidak akan dapat memiliki seluruh atribut; karena kalau
hal tersebut terjadi, yang dihasilkan bukanlah suatu model, melainkan suatu
sistem nyata.
Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan
pengukuran terhadap suatu sistem yang rumit dan, kadang-kadang, untuk
meramalkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang mungkin akan
mahal harganya, sulit, ataupun bersifat destruktif terhadap sistem nyata yang
bersangkutan. Definisi lainnya adalah bahwa model merupakan alat untuk
meramalkan perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami, dari
perilaku bagian-bagian yang dipahami dengan baik (Goodman, 1975 dalam Hall
dan Day, 1977). Definisi ketiga adalah bahwa model dapat dianggap sebagai
suatu formalisasi dari pengetahuan mengenai suatu sistem. Untuk saat ini,
definisi yang pertama, yaitu bahwa model adalah suatu penyederhanaan,
merupakan definisi yang paling bermanfaat.
Pembuatan model diperlukan untuk memahami alam karena alam
sangatlah rumit. Bagaimanapun, model-model yang dibuat harus sering
diperiksa kaitannya dengan dunia nyata untuk memastikan keakuratan dari
gambaran mengenai model-model tersebut. Alat yang paling baik digunakan
adalah sifat saling mempengaruhi antara model dengan empirisme, yang secara
idealnya berada dalam suatu rangkaian bolak-balik. Analisis terhadap
sistem-sistem yang rumit, dan pembuatan model dari sistem-sistem-sistem-sistem tersebut,
berkebalikan dengan kecenderungan-kecenderungan reduksionis dalam hal ilmu.
Baru-baru ini, mengisolasi dan mengontrol komponen-komponen alam yang
sangat kecil telah menjadi alat penelitian yang paling baik dalam membantu
Dua tipe utama dari model ekologi (dan pembuat model) yang sering
digunakan dan dapat diklasifikasikan dengan baik adalah model analitik dan
model simulasi. Meskipun kedua pendekatan tersebut, secara teoritis, diarahkan
pada peningkatan pemahaman dan ramalan mengenai sistem-sistem ekologi dan
komponen-komponennya. Dalam prakteknya, kedua metode tersebut umumnya
digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat jauh berbeda,
dan pendekatan-pendekatan matematika yang digunakan pun jauh berbeda pula.
Pendekatan analitik mengacu pada sejumlah prosedur matematika dalam
menemukan pemecahan yang tepat untuk persamaan diferensial dan persamaan
lainnya. Karena perilaku dari beberapa jenis persamaan matematika telah cukup
dikenal, pendekatan analitik memiliki kemampuan yang hebat apabila beberapa
aspek alam dapat digambarkan dengan baik oleh satu atau beberapa persamaan
tersebut. Pendekatan analitik telah berhasil digunakan dalam bidang fisika;
misalnya, terdapat banyak interaksi antar partikel yang dapat digambarkan
dengan baik (secara rata-rata) oleh ekspresi-ekspresi matematika yang relatif
sederhana. Sebenarnya, selama partikel-partikel tersebut memberikan respon
dalam gaya yang sama dengan persamaan-persamaan analitik, ilmuwan yang
menggunakan prosedur-prosedur analitik tersebut memiliki kemampuan
prediktif yang luar biasa, karena perilaku dari partikel-partikel tersebut dapat
diketahui dengan cara meneliti respon dari persamaan-persamaan matematika
yang bersangkutan. Model matematika menggunakan notasi-notasi dan
persamaan-persamaan matematika untuk mempresentasikan sistem.
Atribut-atribut dinyatakan dengan variabel-variabel,