• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

BERBASIS MASYARAKAT

ACHMAD SIDDIK THOHA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2014

Achmad Siddik Thoha

(4)

BAMBANG HERO SAHARJO, RIZALDI BOER dan MUHAMMAD ARDIANSYAH.

Kejadian kebakaraan hutan dan lahan yang berulang dan semakin parahnya dampak yang ditimbulkan menjadi pusat perhatian banyak kalangan pada level nasional, regional maupun internasional. Di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan terjadi secara berulang hampir setiap tahun pada musim kemarau dengan frekuensi dan tingkat risiko yang berbeda-beda. Dampak kebakaran hutan dan lahan akan semakin buruk bila terjadi pada lahan gambut. Di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat lebih dari empat ratus ribu hektar lahan gambut yang terletak di bekas lahan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang dicanangkan sejak tahun 1995. Proyek PLG membuka lahan gambut secara besar-besaran termasuk hutan rawa dengan gambut tebal disertai pembangunan ribuan kilometer kanal yang berdampak pada pengeringan ekosistem gambut. Pengeringan ekosistem gambut membuat area sangat rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan, yang mengakibatkan emisi karbon yang masif. Upaya berbagai pemangku kepentingan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan belum mencapai hasil maksimal. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan berbasis masyarakat sangat dibutuhkan untuk mencari solusi dari sistem sekarang yang terpusat dan mahal serta mendorong masyarakat untuk memainkan peran lebih aktif dalam perlindungan mereka sendiri.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan khusus penelitian ini adalah; 1) mengevaluasi karakteristik kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, 2) menentukan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah, 3) mengidentifikasi sumberdaya dan dukungan yang dibutuhkan masyarakat untuk pengelolaan kebakaran hutan dan lahan yang efektif di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah dan 4) merumuskan model kelembagaan pengelolaan risiko kebakaran hutan dan lahan melalui sistem peringatan dini berbasis masyarakat di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Waktu puncak kebakaran secara umum terjadi pada bulan Agutus sampai Oktober ketika terjadi penurunan hujan bulanan kumulatif empat bulan sebelumnya dibawah rata-rata sebesar 282 mm – 349 mm dan jumlah hotspot bulanan 37 - 120. Secara spasial kepadatan hotspot terpadat umumnya berada di semak belukar rawa, dekat dengan jalan, dekat dengan sungai, agak jauh dari pusat desa, pada ketebalan gambut yang sangat dalam dan pada sistem lahan berpotensi gambut (Peat Basin or Domes dan Peat Covered Sandy Terraces).

(5)

terbuka serta dekat dengan jalan. Wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi terletak di Kecamatan Basarang, Kecamatan Dadahup dan Kecamatan Mantangai.

Aspek penyediaan informasi, sistem distribusi dan pihak yang bertanggungjawab dalam distribusi peringatan sudah tercakup peraturan yang terkait pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Ditemukan kesenjangan dalam implementasi aturan dan belum mengakomodir banyak hal yang menjadi potensi pengembangan di masyarakat, namun peraturan yang ada mampu menyediakan pedoman bagi masyarakat dalam mencegah meluasnya kebakaran hutan, lahan dan pekarangan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Disbunhut, BLH dan Pemerintah Desa merupakan key player atau aktor kunci memiliki pengaruh dan kepentingan tinggi terhadap pelaksanaan program pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Manggala Agni, BMKG, DPHTP, Lembaga Adat dan Kelompok Pengendali kebakaran berbasis masyarakat bisa ditingkatkan perannya dalam kelembagaan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas.

Diperlukan penguatan kelembagaan yang dibentuk dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan lahan terpadu (POSKO) untuk pusat informasi dan komunikasi peringatan dini kebakaran hutan dan lahan dibawah koordinasi kepala daerah (bupati) yang terdiri dari unsur atau lembaga BPBD Kapuas, DPHTP, BLH Kapuas, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kapuas, Manggala Agni, Pengendali Kebakaran Berbasis Masyarakat dan Pemerintah Desa. Informasi peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan mengakomodasi informasi prediksi dari pengetahuan lokal masyarakat serta penyebarannya menggunakan kombinasi teknologi komunikasi dan saluran penyebarluasan yang ada di masyarakat. Kelompok pengendali kebakaran hutan dan lahan memegang peranan penting dalam peningkatan pemahaman penyebab dan dampak kebakaran, pemantauan aktivitas kebakaran dan penyebarluasan pesan peringatan bahaya kebakaran.

(6)

BAMBANG HERO SAHARJO, RIZALDI BOER and MUHAMMAD ARDIANSYAH.

Forest and land fires occur repeatedly and increasing severity of impacts become center of attention in national regional and international level. Forest and land fire occur almost every year in Indonesia and its impact very harmful for human living and environment. Impact of land and forest fires will be getting worse when occur on peatlands. There are hundreds of thousands of hectares of peatlands in the ex-Mega Rice Project area (Ex-MRP) which was promulgated since 1995 in Kapuas District. Ex MRP opened peatlands massively including peat swamp forest with thick accompanied developing over than four hundred thousand kilometers of canals impact so that impact drying of peat ecosystems. Drying peat ecosystem made the area became vulnerable to burn, which resulted massive carbon emissions. The efforts of multi-stakeholders in managing forest and land fires have not reached the optimum target. Community based early warning system of forest and land fires is very needed to find a solution from the current system that still centralized and expensive and to encourage the communities to play a more active role in their own protection.

The main aim of this research was to develop a community based early warning system of forest and land fires in Kapuas District, Central Kalimantan Province . The aims of this study were; 1 ) To evaluate the characteristics of forest and land fires and in Kapuas District, Central Kalimantan Province , 2) To determine vulnerable area of forest and land fires in Kapuas District, Central Kalimantan Province, 3) To identify resources and supporting factor that required by communities for effectively managing of forest and land fires in Kapuas District, Central Kalimantan Province, central Kalimantan Province and 4) To formulate institutional model of forest fire and land risk management through development of community-based early warning system in Kapuas District Central Kalimantan Province.

The peak period of forest and fires in Kapuas District generally occurs during August until October when the accumulative of monthly rainfall four- month before below the average is 282 mm - 349 mm and the total monthly hotspot at least 37-120. Based on spatial distribution, hotspots density area generally in swamp shrubs, close to road, close to the river, quite far from the village center, on very very deep peat and peatland area of land system (Peat Basin or Dome and peat Domes Covered Sandy Terraces).

(7)

regulations covered aspects including provision of information, distribution system and the responsible stakeholders for the distribution of fire danger warning. The regulation about forest and land fires in Central Kalimantan Province and Kapuas District have not accommodate a lot of things that a potential development of the community but provided guidelines for the community in preventing widespread forest and land fires. Disaster Management Agency of Kapuas (BPBD), Plantation and Forestry Agency of Kapuas (Disbunhut), Environment Agency of Kapuas (BLH) and Village Government are key player that have influence and active interest in the implementation of early warning system expansion of forest and land fire. Manggala Agni, (Geophysic and Meteorology Agency of Central Kalimantan Province) BMKG Kalteng, DPHTP (Agriculture Agency of Kapuas), community-based fire protection groups can be enhanced role in the institutional forest and land fires early warning system in Kapuas .

Strengthening Integrated institution (POSKO) is needed for information and communications center of early warning of forest and land fires under coordination of Head of District (Bupati) and including some stakeholder such as of BPBD Kapuas, BLH Kapuas, DPHTP Kapuas, Manggala Agni, Village Government and Community based fire protection group of forest and land fires warning is expected can accommodate local knowledge prediction and to spread using a combination between communication and technology dissemination channels and community dissemination way. Community based fire protection groups played an important role on increasing of causes and fire impacts, fire activities monitoring and distribution of fire danger warning messages.

(8)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2014 Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumka atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

BERBASIS MASYARAKAT

ACHMAD SIDDIK THOHA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dr Ir Lailan Syaufina, MSc

Penguji pada ujian Terbuka : Prof Dr Ir Hardjanto, MS

(11)

NIM : E461090031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, MAgr Ketua

Prof Dr Ir Rizaldi Boer, MSc Dr Ir Muhammad Ardiansyah, MSc Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Silvikultur Tropika

Prof Dr Ir Sri Wilarso, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.

(12)

penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Judul disertasi ini adalah Model Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat. Disertasi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Komisi pembimbing yang terdiri atas Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, MAgr (Ketua), Prof Dr Ir Rizaldi Boer, MSc (anggota) dan Dr Ir Muhammad Ardiansyah, MSc (anggota), atas segala arahan, bimbingan, dukungan semangat dan nasehatnya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.

2. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB, Ketua dan Staf Pengajar pada Program Studi Silvikultur Tropika SPs-IPB yang telah memberikan kesempatan, bantuan, dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti pendidikan program Doktor.

3. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kehutanan atas kesempatan dan bantuan yang diberikan untuk menempuh pendidikan program Doktor hingga selesai.

4. Prof Dr Ir Sumardjo, MS dan Dr Ir Lailan Syaufina, MSc sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Prof Dr Ir Hardjanto, MS dan Dr Ir Erly Sukrismanto, MSc sebagai dosen penguji luar pada ujian terbuka atas kritik dan sarannya yang membangun untuk perbaikan disertasi ini.

5. Direktur Eksekutif dan Sekretaris Eksekutif CCROM SEAP Bapak Prof Dr Ir Rizaldi Boer, MSc dan Dr Ir Muhammad Ardiansyah, MSc yang telah memberi kesempatan untuk mendapatkan sponsor penelitian dari Columbia University and Bogor Agricultural University to Build Capaticy for Adaptation to Climate Risks in Indonesia USAID Grant No.AID-497-A-11-00011. Melalui program ini penulis juga mendapat banyak ilmu dan kesempatan melakukan magang (Student Internship) ke Columbia University New York USA pada 17

– 24 Agustus 2013.

6. Manggala Agni Daerah Operasi II Kapuas Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Tengah yang telah membuka jalan bagi peneliti untuk bisa mengumpulkan data dengan mudah dan lancar di Kabupaten Kapuas dan Kota Palangkaraya.

Ibunda dan Ayahanda saya, Ibu dan Bapak mertua, istri dan anak-anakku tercinta yang tak henti melantunkan doa dan memberi semangat dan cinta sepanjang waktu. Teman-teman dari LDK Al Hurriyah, teman-teman Himmpas IPB, Forum Wacana IPB, Forum Wacana Sylva, LATIN dan CCROM IPB serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu untuk doa dan dukungan semangat yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan Program Doktor. Demikian disertasi ini disusun, dengan harapan semoga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang perlindungan hutan dan mitigasi bencana.

Bogor, Agustus 2014

(13)

1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Meningkatnya pertumbuhan penduduk mengakibatkan permintaan akan lahan baru juga meningkat. Kebutuhan akan lahan baru selain untuk memenuhi kebutuhan lahan pertanian juga untuk kebutuhan pemukiman, industri dan fasilitas lain. Kebutuhan lahan baru yang meningkat juga diiringi oleh permintaan akan kayu baik kayu pertukangan maupun kayu untuk pulp dan kertas mendorong terjadinya konversi lahan yang besar. Pembukaan lahan yang besar sebagian diikuti dengan pembersihan lahan dengan cara membakar yang bisa memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Kebakaran hutan dan lahan secara langsung berakibat pada rusaknya kekayaan alam berupa hutan dan lahan, mengganggu aktifitas sosial dan ekonomi, merusak kesehatan dan bisa menyebabkan kematian. Kerusakan hutan dan lahan akibat kebakaran dalam jangka panjang berdampak pada munculnya bencana sekunder (secondary disasters) seperti longsor tanah dan batu serta banjir bandang. Dampak kebakaran hutan da lahan juga dalam jangka panjang juga berakibat pada pemanasan global, hilangnya keanekaragaman hayati dan penggurunan (Goldammer et.al. 2006). Kebakaran hutan dan lahan juga menyumbangkan emisi karbon yang berperan signifikan dalam memicu pemanasan global. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/1998 telah melepaskan 0.81 – 2.5 Gton C dan memberikan kontribusi sekitar 13-40% emisi global tahunan dimana sebagian besar berasal dari pembakaran gambut (Page et al. 2002; Harrison et al.

2009; Langman et al. 2009)

Kejadian kebakaran hutan dan lahan yang berulang dan semakin parahnya dampak yang ditimbulkan perlu mendapat perhatian semua pihak. Terjadinya perubahan iklim dan desakan internasional terhadap Indonesia untuk menurunkan emisi karbonnya menjadikan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan menjadi pusat perhatian program nasional dan internasional. Pemerintah Indonesia menetapkan target sebesar 26% untuk penurunan emisi karbon dari bussines as usual (BAU) atau dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan Internasional dimana 87% berasal dari sektor LULUCF (Land-use Land-use Change and Forestry). Upaya penurunan emisi gas rumah kaca diperkuat dengan terbitnya keluarnya Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Oleh karena itu penanggulangan kebakaran hutan dan lahan sangat perlu mendapat perhatian yang serius.

Kebakaran hutan dan lahan bila telah disadari merupakan bencana lingkungan, maka upaya pengendalian harus dalam kerangka pengelolaan bencana. Salah satu program pengendalian yang penting adalah pengembangan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Lahan atau Wildland Fire Early Warning System

(WFEWS). Beberapa Early Warning System (EWS) kebakaran yang telah dibuat perlu dikembangkan lebih lanjut untuk efektifitas pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

(14)

pada tingkat kebutuhan dan melibatkan peran aktif masyarakat. Data dan informasi potensi dan kejadian kebakaran hutan lahan sifatnya masih terpusat dan penyebarluasan informasinya juga terkesan birokratis. Selain itu, data yang dibangun dengan biaya mahal dan rumit belum mencapai hasil yang optimal. Banyak kasus pemadaman kebakaran lambannya penanganan dan minimnya anggaran membuat api hampir selalu padam dengan sendirinya. Masalah lain yang sangat krusial adalah data dari hasil pemantauan untuk tujuan penegakan hukum bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan yang melanggar peraturan belum menjadi data penting. Akhirnya upaya penegakan hukum di bidang kebakaran hutan dan lahan masih jauh dari harapan.

Beberapa permasalahan yang diuraikan di atas mengakibatkan bencana kabut asap dan bencana sekunder lainnya seperti banjir bandang dan longsor semakin mengancam kehidupan masyarakat. Sementara itu, masyarakat tidak dilibatkan dan diberdayakan untuk menangani resiko yang akan lebih banyak mengancam dan menimpa mereka. Padahal, kecenderungan kebakaran lahan terjadi di lahan milik masyarakat khususnya pada lahan terlantar. Hal ini bisa berakibat pada meningkatnya korban dan kerugian masyarakat. Adapun sistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan belum menyentuh pada kebutuhan untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat yang dekat dengan lokasi bencana.

Beberapa informasi deteksi kebakaran yang dipakai untuk memberikan informasi aktifitas kebakaran telah dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang berkolaborasi dengan Pemerintah Australia. Data titik panas yang digunakan sebagai indikasi kebakaran hutan dan lahan dapat diakses melalui situs indofire.org yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan kemudian dipakai secara bersama oleh lembaga lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Informasi yang telah digunakan di tingkat nasional masih belum dipakai dan tersosialisasi sampai pada tingkat masyarakat yang dekat dengan lokasi rawan kebakaran.

Sistem peringatan dini yang lain juga dikembangkan oleh International Research Institute for Climate Society Columbia University (IRI-CU) Amerika Serikat bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sistem peringatan dini musiman ini mampu memprediksi risiko kebakaran hutan dan lahan 2-3 bulan ke depan namun masih pada skala provinsi (Someshwar et al. 2012)

Kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di masyarakat saat ini belum terlihat secara aktif terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat yang ada di lokasi-lokasi rawan kebakaran memiliki potensi untuk mengorganisir diri dan berkontribusi besar dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan berkolaborasi dengan pemerintah dan swasta. Aspek kelembagaan dan pelibatan partisipasi masyarakat secara aktif menjadi penting dalam menekan penyebaran kebakaran (Akbar 2008; Sunanto 2006). Oleh karena itu, perlu pengembangan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan (SPDKHL) untuk mencari solusi dari sistem sekarang yang terpusat dan mahal serta mendorong masyarakat untuk memainkan peran lebih aktif dalam perlindungan mereka sendiri.

(15)

areal Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar berada di Kabupaten Kapuas. Seperti yang dilaporkan oleh Wetland International bahwa Kebakaran di tahun 2002, 2007, 2009 dan 2011 (WIIP 2007 dan Kemehut 2011) di areal Eks PLG mengganggu aktifitas masyarakat dan memperparah kerusakan ekosistem lahan gambut. Jaya et al. (2008) menyebutkan bahwa kabupaten Kapuas merupakan daerah yang termasuk dalam kelas risiko atau kerawanan kebakaran sangat tinggi (extremly risk) di Kalimantan Tengah

Berdasarkan penjelasan di atas dalam mencapai tujuan penurunan peristiwa kebakaran yang berimplikasi pada penurunan emisi gas rumah kaca diperlukan model penguatan kelembagaan pengelolaan risiko kebakaran hutan dan lahan melalui pengembangan sistem peringatan dini berbasis masyarakat di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengevaluasi karakteristik kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah.

2. Menentukan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah.

3. Mengidentifikasi sumberdaya dan dukungan yang dibutuhkan masyarakat untuk pengelolaan kebakaran hutan dan lahan yang efektif di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah.

4. Merumuskan model kelembagaan pengelolaan risiko kebakaran hutan dan lahan melalui pengembangan sistem peringatan dini kebakaran berbasis masyarakat di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah.

1.3. Manfaat

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan gambaran karakteristik kebakaran hutan dan lahan secara lebih detil untuk mendukung program pemerintah pusat dan daerah dalam upaya manajemen bencana kebakaran hutan dan lahan khususnya di Kabupaten Kapuas.

2. Membantu memberikan panduan bagi pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan sistem peringatan dini bencana kebakaran hutan dan lahan secara kolaboratif.

3. Memperkaya konsep dan metode pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

1.4. Perumusan Masalah

(16)

yang berimplikasi juga pada penurunan emisi gas rumah kaca yang ditargetkan sebesar 26% dari BAU.

Kejadian kebakaran beberapa tahun terakhir ini terjadi di luar kawasan hutan. Lahan-lahan yang tidak terawat menjadi sumber api yang rentan terbakar. Api bisa berawal dari perladangan liar dan peremajaan rumput dan akhirnya bermuara di lahan yang tidak terkelola. Pada saat terjadi kebakaran, masyarakat merasa tidak memiliki beban untuk ikut memadamkan dan mereka hanya ikut menjaga lahannya sendiri khususnya yang berpotensi ekonomi tinggi. (BLH Kapuas 2013; Disbunhut Kapuas 2013)

Faktor penyebab kebakaran dari berbagi penelitian berhubungan dengan cuaca, aktifitas manusia dan kelembagaan. Terkait dengan cuaca, penelitian Ceccato et al. (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan yang dekat antara data hujan dari satelit dengan aktifitas hotspot kebakaran. Anomali curah hujan selama musim kemarau bulan Juni – Oktober adalah saat kritis dalam penentuan aktifitas kebakaran.

Berdasarkan faktor aktivitas manusia, menurut penelitian Jaya et al. (2008) yang membuat model resiko kebakaran dengan lima variabel yaitu jarak dari desa, jarak dari jalan, jarak dari pusat kota, tipe tanah dan tutupan lahan, menghasilkan tiga varibel yang berbeda nyata yaitu desa, jalan dan tutupan lahan. Tiga peubah tersebut digunakan untuk membuat peta kerawanan dengan membaginya dalam tiga kelas kerawanan menghasilkan akurasi sebesar 65%. Faktor manusia (jarak dari desa dan jarak dari jalan) memberi kontribusi sebesar 52% dalam kebakaran sedangkan 48% sisanya dari tutupan lahan.

Akbar (2008) menemukan hubungan kebakaran dengan aspek kelembagaan. dimana kelembagaan pengendalian kebakaran hutan berbasis masyarakat telah cukup berperan dalam menekan penyebaran kebakaran hutan dan lahan. Masalah yang timbul dari pembentukan regu pemadaman api belum terintegrasi dengan lembaga formal desa sehingga aktivitas pengendalian kebakaran tidak berkesinambungan.

Hasil penelitian Sunanto, et al. (2006) yang memotret kondisi kebakaran hutan di Rasau Jaya Kalimantan Barat mendapatkan gambaran bahwa pelibatan masyarakat yang dilakukan pemerintah melalui pembentukan Kelompok Peduli Api hingga saat ini belum efektif karena masih bersifat formalitas. Lebih lanjut Sunanto et.al. (2006) menyatakan bahwa masih sering terjadinya kebakaran lahan bukan dikarenakan kurangnya peran serta masyarakat dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan namun lebih karena adanya perbedaan sudut pandang antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat memandang bahwa kebakaran yang saat ini terjadi adalah kebakaran pada lahan pertanian yang dibiarkan kosong sehingga tidak perlu dipadamkan karena tidak adanya aset ekonomi yang perlu diselamatkan, selain itu lahan pertanian yang dibiarkan kosong juga merupakan sumber bersarangnya hama pertanian yang sangat merugikan masyarakat. Menurut pemerintah semua kebakaran perlu diupayakan untuk dipadamkan sehingga kebakaran di lahan pertanian yang dibiarkan kosong pun haruslah menjadi fokus penanganan.

(17)

kepentingan yang berperan, kelembagaan, perencanaan startegi bersama, monitoring perubahan dampak implementasi rencana dan upaya perbaikan strategi. Secara ringkas, gambaran kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Penelitian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan yaitu (1) bagaimana karakteristik kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas, (2) apa saja faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas, (3) bagaimana model kelembagaan dan distribusi informasi dari sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas dan (4) bagaimana model sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan yang tepat dan menjangkau keterlibatan masyarakat di Kabupaten Kapuas. Secara ringkas alur dan kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Penelitian

Evaluasi Karakteristik kebakaran Hutan dan

lahan di Kapuas

Penentuan daerah rawan Kebakaran hutan dan lahan

Diseminasi Informasi Peringatan Dini Kebakararan yang

efektif

Model Insentif dan dukungan kelembagaan bagi

masyarakat Sistem Peringatan

Dini Kebakaran Hutan dan Lahan

yang efektif

Pengembangan sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat

Informasi Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan

Eksisting

Kebakaran Hutan dan Lahan

Periode Kebakaran, Sebaran Titik panas menurut faktor Biofisik,

Aktifitas Manusia dan Penyebab Kebakaran

Lokasi Rawan Kebakaran di Kapuas

Penguatan model kelembagaan pengelolaan risiko kebakaran hutan dan

(18)

1.5. Kebaruan

Hasil berbagai penelitian pengendalian kebakaran hutan dan lahan masih banyak mengacu pada aplikasi teknologi canggih dan terpusat seperti penelitian tentang hubungan cuaca dengan kebakaran (Ceccato et al. 2010, Syaufina et al. 2009; Taufik et al. 2011), daerah rawan kebakaran dan faktor penyebab kebakaran (Boer et al. 2007; Jaya et al. 2007; Jaya et al. 2008) belum terintegasi dengan pengetahuan dan aktivitas yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat. Penelitian yang berhubungan dengan kelembagaan menemukan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk dilibatkan namun kelembagaan yang sudah terbentuk belum berkelanjutan dan tidak terintegrasi dengan lembaga pemerintah (Akbar 2008; Sunanto 2008 Akbar et al. 2011). Penelitian ini mengintegrasikan hasil penelitian tentang karakteristik, faktor penyebab dan daerah rawan kebakaran dengan pengetahuan dan kelembagaan yang berkembang di masyarakat. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka kebaruan yang dihasilkan dalam penelitian adalah:

a) Karakteristik temporal dan spasial dari aktivitas kebakaran dari waktu ke waktu yang sesuai dengan faktor biofisik dan aktivitas masyarakat di Kabupaten Kapuas. Saat ini kajian karakteristik kebakaran di Kabupaten Kapuas belum secara detil menganalisis berbagai faktor terkait kisaran batas kritis kondisi bahaya kebakaran berdasarkan data curah hujan dan jumlah hotspot, periode kebakaran, sebaran spasial lokasi kebakaran dari waktu ke waktu serta faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan. Karakteristik tersebut dapat digunakan untuk menyusun sistem peringatan dini lebih tepat dan mendekati kondisi riil yang berhubungan dengan aktivitas masyarakat. b) Potensi indikator lokal dalam memprediksi bahaya kebakaran hutan dan lahan

yang berasal dari pengetahuan masyarakat. Indikator lokal ini bisa menjadi salah satu masukan bagi lembaga pemerintah untuk menentapkan kondisi bahaya sesuai karakteristik wilayah dan budaya di lokasi rawan kebakaran hutan dan lahan.

c) Model kelembangaan pengelolaan risiko kebakaran hutan dan lahan melalui pengembangan sistem peringatan dini berbasis masyarakat. Pengembangan model kelembagaan yang memadukan kelembagaan formal dengan kelembagaan yang berbasis pada kapasitas masyarakat dalam memantau, menghasilkan, menyebarluaskan dan merespon peringatan bahaya kebakaran belum banyak dikembangkan. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan belum mengkaji hubungan dan peluang pengembangan model kelembagaan yang melibatkan potensi masyarakat dan penguatan lembaga pemerintah dalam sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Model ini diharapkan dapat mengoptimalkan pencapaian target lembaga pemerintah dalam penurunan kejadian kebakaran hutan dan lahan serta memberi kesempatan dan peran yang lebih besar pada masyarakat untuk berperan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan di wilayah mereka.

1.6. Sistematika Penulisan

(19)

penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 berisi tinjauan pustaka tentang landasan hukum pengendalian kebakaran hutan dan lahan, perkembangan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, sistem peringatan dini berbasis masyarakat, kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, analisa pemangku kepentingan dan riset aksi. Bab 4 menyajikan hasil dan pembahasan tentang karakteristik, sejarah dan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas. Bab 5 menguraikan hasil penentuan area kebakaran hutan dan lahan melalui masyaraka metode Composite Mapping Analysis serta sebaran area dengan tingkat kerentanan kebakaran tertentu. Bab 5 menyajian bahasan tentang identifikasi kebijakan dan kelembagaan serta dukungan yang diperlukan untuk pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Adapun Bab 6 membahas tentang rumusan model kelembagaan dan distribusi informasi sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat melalui hasil refleksi masyarakat dan lembaga pemerintah. Bab 7 berisi pembahasan umum pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat di Kabupaten Kapuas. Bab terakhir adalah Bab 8 yang berisi simpulan umum dan saran. Keterkaitan antar Bab secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2. Sistematika Penulisan

BAB 1 Pendahuluan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 3

Karakteristik dan Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan

BAB 4

Penentuan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan

BAB 5 Identifikasi Kebijakan dan

Kelembagaan Kebakaran Hutan

dan Lahan

BAB 6

Rumusan Penguatan Model Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan melalui Pengembangan Sistem

Peringatan Dini Berbasis Masyarakat

BAB 7 Pembahasan Umum

BAB 8

(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Hukum Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

Pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara hukum merupakan amanat yang tercantum dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada Pasal 47 huruf a menyebutkan bahwa penanggulangan kebakaran hutan tercantum pada upaya perlindungan hutan dan kawasan hutan. Pasal 47 huruf a menyatakan bahwa Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk: a). mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.

Pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara definitif dan terinci terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2004 pada pasal 20 Ayat 1 (a) disebutkan bahwa untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran dilakukan kegiatan pengendalian yang meliputi; a) pencegahan, b) pemadaman, dan c) penanganan pasca kebakaran.

Kegiatan pencegahan kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat ( 1) huruf a, dilakukan kegiatan:

a. Pada tingkat nasional, antara lain :

1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional; 2. mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan; 3. menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat;

4. menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan ;

5. membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran; 6. menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran; dan

7. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.

Pasal 24 (1) Dalam rangka pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf b, maka setiap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban melakukan rangkaian tindakan pemadaman dengan cara :

a. melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan b. mendayagunakan seluruh sumber daya yang ada c. membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api

d. memobilisasi masyarakat untuk mempercepat pemadaman.

Pasal 27 Dalam rangka penanganan pasca kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf c, dilakukan upaya kegiatan yang meliputi: a. identifikasi dan evaluasi;

b. rehabilitasi; c. penegakan hukum.

(21)

yang tepat sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dalam Inpres tersebut

stakeholder yang dimaksud antara lain :

1. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 2. Menteri Kehutanan;

3. Menteri Pertanian;

4. Menteri Lingkungan Hidup; 5. Menteri Riset dan Teknologi; 6. Menteri Dalam Negeri; 7. Menteri Luar Negeri; 8. Menteri Keuangan;

9. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;

10.Jaksa Agung Republik Indonesia; 11.Panglima Tentara Nasional Indonesia;

12.Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 13.Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana; 14.Para Gubernur;

15.Para Bupati/Walikota.

Peraturan perundangan-undangan lain terkait kebakaran hutan dan lahan termuat antara lain :

- Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Ihwal kebakaran dalam UU No. 18 2004 disebutkan pada Bagian Ketujuh tentang Pelestarian Lingkungan Hidup pasal 25 ayat 2 (c) yang berbunyi ” membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan

dan /atau pengolahan lahan.” Selanjutnya pada pasal 26 secara tegas, peaturan

ini secara tegas melarang mengolah lahan dengan cara membakar.Pasal 26 UU No. 18 2004 ini berbunyi “Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.

- Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU No. 32 Tahun 2009, kebakaran hutan dan lahan termaktub dalam Kriteria Baku Lingkungan pasal 20 ayat 3(c). Pasal 20 ayat 3 (c) UU No. 32 Tahun 2009 berbunyi “kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;” Selanjutnya pada pasal 53 secara jelas ditegaskan tentang kewajiban pada setiap warga negara untuk melakukan penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 53 dalam aturan ini berbunyi, (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;

(22)

- Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan

- Baku Mutu Pencemaran Lingkungan Hidup - Tata Laksana Pengendalian

- Wewenang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan

- Pengawasan - Pelaporan

- Peningkatan Kesadaran Masyarakat

- Keterbukaan Informasi Dan Peran Masyarakat - Pembiayaan

- Sanksi Administrasi - Ganti Kerugian - Ketentuan Pidana

Ketentuan hukum lainnya terkait kebakaran dimuat pada Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Permenhut No. 12 Tahun 2009 ini memaparkan tentang Ruang Lingkup pengendalian kebakaan hutan mencakup pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca. Pada cakupan kegiatan pencegahan dilakukan pada pencegahan kebakaran hutan dilakukan pada : tingkat nasional; tingkat provinsi; tingkat kabupaten/kota; tingkat unit pengelolaan hutan konservasi, tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi, tingkat kesatuan pengelolaan hutan lindung; dan tingkat pemegang izin pemanfaatan hutan, tingkat pemegang izin penggunaan kawasan hutan, tingkat pemegang izin hutan hak dan hutan konservasi (pasal 40). Terkait sistem pringatan dini kebakaran hutan, pasal 5 menyebutkan kegiatan Pencegahan kebakaran hutan pada Tingkat Nasional yang meliputi :

a. Membuat peta kerawanan kebakaran hutan;

b. Mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan; c. Kemitraan dengan masyarakat;

d. Menyusun standar peralatan pengendalian kebakaran hutan;

e. Menyusun program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran hutan; dan

f. Menyusun pola pelatihan pencegahan kebakaran hutan.

Lebih lanjut, Permenhut No. 12 Tahun 2009 pada pasal 6 (b) memuat kegiatan terkait langsung dengan pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan. Pasal 6 (b) menyebutkan “Pengembangan sistem informasi kebakaran hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b meliputi pemantauan, diseminasi dan pengecekan hotspot, SPBK dan patroli pencegahan.“

2.2. Perkembangan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

(23)

Deteksi dan pemantauan kebakaran untuk peringatan dini bahaya kebakaran di Indonesia telah cukup berkembang. Pemanfaatan data penginderaan jauh, Sistem Informasi Geografis (SIG) dan teknologi informasi telah dikembangkan oleh beberapa lembaga. Tercatat beberapa Lembaga yang secara intensif mengembangkan program deteksi dan peringatan dini antara lain :

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (Kemenhut) dengan program Indofire Map Services yang dapat diakses melalui situs

http://indofire.dephut.go.id/indofire.asp (Gambar 2)

Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dengan program Forest Fire Danger Rating System yang bekerjasama dengan Kemenhut dan Kemen LH dan Pemerintah Australia diakses melalui situs

http://indofire.landgate.wa.gov.au/indofire.asp

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang dapat diakses melalui situs

http://satelit.bmkg.go.id/satelit/modis/hotspot/

Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional LAPAN dengan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) yang dapat diakses melalui situs

http://www.lapanrs.com/simba/detail/5?i=24807

Gambar 2.1. Screenshot Situs indofire.dephut.go.id

(24)

situs ini juga dimuat informasi tentang Prediksi Potensi Kebakaran, Prakiraan Musim Kemarau dan Automatic Weather Station (AWS) di seluruh Indonesia.

Umumnya indikasi kebakaran hutan dan lahan memakai data hotspot (titik panas) sebagai acuan untuk pengendalian lanjut tingkat lapangan. Lembaga yang menyediakan data hotspot antara lain : LAPAN, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorological Center Singapura) yang sekarang menjadi rujukan di ASEAN.

Menurut LAPAN (2004) hotspot atau titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Hotspot adalah sebuah indikasi awal dari kejadian kebakaran hutan. Hotspot direkam sebagai sebuah piksel yang tidak mutlak kebakaran, tetapi mengekpresikan suhu yang relatif lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya. Suhu yang tedeteksi yang berkisar 310oK (37oC) pada malam hari dan 315oK (42oC) pada siang hari. Koordinat geografis hotspot direkam oleh sistem kemudian dikirim ke Kemenhut (Kementerian Kehutanan) dan pengelola hutan. Hotspot yang terekam pada posisi yang sama lebih dari tiga hari akan diprediksi sebagai kebakaran (Jaya et al. 2008). Adapun hotspot menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya.

Masing-masing sumber penyedia data masih menghasilkan data yang berbeda tentang jumlah titik panas yang terpantau dari satelit. Perbedaan ini perlu mendapat pemahaman yang tepat sebagai dasar penetapan tindakan lebih lanjut. Menurut Hidayat et al. (2003), adanya perbedaan jumlah hotspot yang dihasilkan oleh beberapa stasiun pengamatan sering kali dikeluhkan oleh pengguna informasi hotspot terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Parameter untuk mendeteksi hostspot yang selama ini dipergunakan oleh LAPAN adalah seperti disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Sea Scan AVHRR Fire Detection Configuration File dari LAPAN

Parameter Threshold (oK)

Channel 3 temperature degrees K above which a fire

exist 322.0

Temperature difference (ch3 > ch4) above which a fire

exist 20.0

Channel 4 threshold for clouds 245.0

Channel 1 albedo threshold 25.0

Channel 1, channel 2 difference threshold 1.0

Time in hours for dusk and dawn 1.0

Pada Tabel 2.2 diperlihatkan bahwa sumber LAPAN memakai suhu minimum 322.0 oK sebagai dasar suatu areal dapat dikategorikan terjadi hotspot (fire exist). Sedangkan perbedaan temperatur minimum pada kanal 3 dan kanal 4 (ch3 > ch4) dimana suatu areal pada citra NOAA terpantau hotspot sebesar 20.0

o

(25)

Threshold berbagai parameter yang digunakan oleh LAPAN dalam mendeteksi hotspot berbeda dengan stasiun pengamat lainnya seperti PONGI (Kementerian Kehutanan) di Bogor, dan ASMC (Singapura) yang sekarang menjadi rujukan di ASEAN. Nilai ambang yang digunakan oleh ASMC untuk mendeteksi hotspot ditunjukkan pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Adapun, Kementerian kehutanan (Kemenhut) memakai ambang suhu (threshold) 315oK (42oC) pada siang hari dan 310oK (37oC) pada malam hari (FFPMP2, 2004). Akibat perbedaan tersebut menghasilkan jumlah hotspot yang berbeda-beda antar stasiun pengamat.

Kedua, waktu pengamatan yang berbeda antar stasiun pengamatan. Hidayat

et al. (2003) lebih lanjut menjelaskan, salah satu kemungkinan penyebab terjadinya perbedaan itu adalah tidak dilakukannya pengamatan pada malam hari. Sehingga banyak kejadian kebakaran yang lolos dari pengamatan LAPAN. Terdapat perbedaan waktu pengamatan antara LAPAN dengan ASMC, dimana LAPAN hanya melakukan pengamatan (perekaman data) setiap hari dari pukul 06.00 hingga 19.00 WIB, sementara ASMC dan Kemenhut melakukannya selama 24 jam setiap hari.

Tabel 2.2. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Malam Hari)

Parameter Threshold (oK)

Channel 3 temperature degrees K above which a fire

exist 314.0

Temperature difference (ch3 > ch4) above which a fire

exist 15.0

Channel 4 threshold for clouds 245.0

Channel 1 albedo threshold 25.0

Channel 1, channel 2 difference threshold 1.0

Time in hours for dusk and dawn 0.5

Tabel 2.3. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC (Siang Hari)

Parameter Threshold (oK)

Channel 3 temperature degrees K above which a fire exist 320.0

Temperature difference (ch3 > ch4) above which a fire exist 15.0

Channel 4 threshold for clouds 245.0

Channel 1 albedo threshold 25.0

Channel 1, channel 2 difference threshold 1.0

Time in hours for dusk and dawn 0.5

Menurut Solichin (2004), waktu lintasan satelit sangat berpengaruh terhadap pendeteksian kebakaran karena terkait dengan adanya perilaku pembakaran lahan di beberapa tempat di Indonesia atau dengan adanya perubahan penyebaran awan yang bergerak dalam hitungan beberapa menit, sehingga mempengaruhi kemampuan satelit dalam pemantauan hotspot.

(26)

Hotspot mengindikasikan lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada monitor komputer atau peta yang dicetak atau ketika dicocokkan dengan koordinatnya. Hal ini merupakan istilah yang sangat populer pada awal-awal pengenalan penggunaan citra NOAA untuk mendeteksi kebakaran vegetasi dan saat ini sangat dimengerti oleh semua pihak. Istilah yang lain lebih jelas untuk menggambarkan titik kebakaran adalah fire-spot dan berbagai kalangan mengusulkan bahwa sebenarnya banyak titik api tidak mengindikasikan kebakaran bagi semua penggunaan praktis sebuah hotspot searti dengan fire-spot

(Anderson et al. 1999)

Hasil pemantauan hotspot juga digabungkan dengan prediksi kebakaran sehingga kegiatan pencegahan dan pemadaman dapat berlangsung efektif. Prediksi kebakaran berdasarkan analisis faktor penyebab dan potensi terjadinya kebakaran di suatu tempat. Analisis dan prediksi bisa didasarkan pada data cuaca, vegetasi maupun variabel penduga lainnya.

Analisis cuaca untuk memperkirakan tingkat bahaya kebakaran pernah dikembangkan oleh Keetch Byram di Kalimantan Timur dan di beberapa tempat di Indoensia. Keetch/Byram Drought Index (KBDI)merupakan salah satu metode untuk mengukur tingkat bahaya kebakaran yang dikembangkan pada tahun 1968 di negara bagian Florida, Amerika (Keetch and Byram, 1968). Lebih lanjut dijelaskan bahwa KBDI adalah nilai indeks yang mengekspresikan kurangnya kelembaban tanah menurut kemungkinan maksimal kandungan kelembaban tanah, yang biasanya didefinisikan sebagai kapasitas lahan. Metode ini sangat sederhana, karena hanya diperlukan tiga untuk menghitung nilai tingkat bahaya kebakaran, yaitu 1) Rata-rata tertinggi curah hujan tahunan dari stasiun cuaca, 2) Suhu maksimum hari ini dan 3) Curah hujan.

Pemantaian cuaca untuk sebagai parameter tingkat risiko kebakaran untuk pengembangan sistem peringatan dini kebakaran juga telah lama dikembangkan oleh lemaga pemerintah. Hubungan antara kebakaran hutan dan lahan dengan faktor iklim memungkinkan untuk dikembangkannya model-model pemantauan dan peringatan dini. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geologi (BMKG) dan LAPAN telah mengembangkan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) yang berbasis data iklim. SPBK BMKG menggunakan data iklim observasi permukaan, sedangkan LAPAN menggunakan data iklim yang diturunkan dari data satelit dari berbagai sumber. Model SPBK, baik yang dikembangkan oleh BMKG dan LAPAN mengadopsi model FDRS (Fire Danger Rating System) yang dikembangkan di Canada (Prasasti 2012).

(27)

Kemudian Sunuprapto (2000) juga membuat model prediksi untuk luas area yang terbakar (Predicted Burnt Area Model) dengan metode yang sama dimana diperoleh hasil berupa persamaan logistic regression sebagai berikut :

Log (ODDS) Burnt Area = -18.03 + 1.6848 landcover + 0.9784 landuse + 2.3129 soil type + 0.0003 distance to railroad – 0.0002 distance to river and canal + 0.0003 distance to settlement, dimana koefisien korelasi = 0.48 dan koefisien akurasi overall = 72 %.

Model prediksi yang dibuat oleh Thoha et al. (2007) digunakan untuk kebakaran lahan gambut. Model prediksi gabungan antara faktor biofisik dan aktifitas manusia lebih mendekati dengan karakteristik kebakaran gambut berdasarkan bahasan data hotspot, kondisi penutupan lahan dan kondisi aktual di lapangan. Interaksi variabel-variabel antara faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia menghasilkan model yang paling sesuai. Model statistik prediksi kebakaran berdasarkan faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia yaitu :

Log (ODDS) Peluang Kebakaran = -0.47426 + 0.0015784 (Curah Hujan) - 0.0050383 (Ketebalan Gambut) – 3.8829293 (NDVI) – 0.0000857 (jarak dari jalan) + 0.0000354 (jarak dari pemukiman) + 0.000895 (jarak dari sungai) – 0.0000233 (jarak dari HPH/HTI) – 0.0000191 (jarak dari perkebunan) + 0.0000322 (jarak dari lahan pertanian)., dimana besarnya chi-square adalah 21.742 dan taraf nyata 0.010 dan akurasi 69.5%. Dua dari sembilan variabel yang berperan pada taraf nyata 0.05 yaitu ketebalan gambut dan NDVI dimana keduanya mempunyai korelasi negatif terhadap peluang kebakaran. Sedangkan variabel yang berasal dari faktor aktifitas manusia yaitu jarak dari HPH/HTI bisa diterima atau berperan nyata pada taraf nyata 0.10 (α < 0.10) atau tingkat kepercayaan 90% dengan korelasi negatif.

Thoha et al. (2007) menjelaskan bahwa peluang kebakaran gambut sebagai hasil dari model prediksi dapat diterapkan sebagai penunjang prediksi kebakaran berdasarkan unsur cuaca belum bisa ditentukan secara spasial. Nilai peluang kebakaran tersebut secara spasial dapat menampilkan kondisi peluang kebakaran pada suatu kabupaten dengan nilai peluang kebakaran yang bervariasi antar kecamatan bahkan desa. Hasil tersebut dapat memudahkan upaya pemangku kepentingan dalam penanggulangan kebakaran secara lebih terarah dan efisien dalam penggunaan sumberdaya.

2.3. Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat

(28)

akan segera terjadi; memproses dan menyebarkan peringatan kepada pihak berwenang dan kepada masyarakat; dan melakukan tindakan yang semestinya dan tepat waktu terhadap peringatan (IDEP 2007; UNISDR 2009).

Menurut UNISDR (2009), sistem peringatan dini berbasis pada masyarakat adalah sistem yang berpusat pada masyarakat yang terdiri dari empat elemen kunci: pengetahuan tentang risiko, pemantauan, analisis dan peramalan ancaman bahaya, komunikasi atau penyebaran pesan siaga dan peringatan, dan kemampuan setempat untuk merespons pada peringatan yang diterima. Ungkapan “sistem

peringatan dari hulu ke hilir” juga digunakan untuk memberi penekanan pada

sistem-sistem peringatan dini yang perlu mencakup semua tahapan mulai dari deteksi ancaman bahaya hingga respons masyarakat.

Pengertian lain tentang sistem peringatan dini berbasis masyarakat (Community Early Warning System) dikemukakan oleh De Leon (2009) yaitu sebuah struktur operasional yang memungkinkan penduduk untuk mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak bencana alam. De Leon (2009) memberikan contoh penerapan CEWS di Amerika Tengah, dimana sistem ini membantu organisasi-organisasi perlindungan sipil untuk bergerak menjauh dari paradigma tanggap darurat kuno ke pengurangan risiko tingkat lokal dan kesiapsiagaan. Penerapan sistem peringatan dini berbasis masyarakat berfungsi sebagai alternatif penggunaan sistem telemetric terpusat mahal, dan mendorong masyarakat untuk memainkan peran lebih aktif dalam perlindungan mereka sendiri.

(29)

Gambar 2.2. Skema operasioanal untuk sistem peringatan dini yang dikembangkan untuk mendeteksi banjir (De Leon 2009)

Kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat atau komunitas dalam sistem peringatan dini berbasis masyarakat perlu juga mendapat dukungan dari pemerintah. Menurut De Leon (2009) kegiatan yang perlu difasilitasi oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat diantaranya:

- Menyebarkan informasi ke seluruh masyarakat tentang bahaya yang ada dan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana

- Melakukan pemetaan risiko. - Mengembangkan rencana darurat.

- Menentukan dan mengidentifikasi rute evakuasi. - Melakukan latihan dan simulasi.

Sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan mencakup kegiatan deteksi dini, sistem informasi kebakaran dan kesiapsigaan kebakaran. Deteksi dini merupakan bagian dari sistem informasi kebakaran yang dikembangkan secara luas di berbagai negara. Menurut Solichin dan Kimman (2003), sistem informasi kebakaran merupakan suatu sistem pengolahan dan distribusi data kebakaran kepada para stakeholder terkait hingga di tingkat lapangan yang bertujuan untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Sistem ini terdiri dari aspek pengumpulan data, pengolahan dan analisa serta pendistribusian informasi kebakaran. Sistem ini biasanya didukung dengan sistem komputer serta teknologi lainnya seperti telekomunikasi, internet, penginderaan jauh atau Sistem Informasi Geografis (SIG).

(30)

Pengolahan dan Analisa Sistem Informasi Kebakaran

Sistem Peringatan Dini

Kebakaran

Deteksi Kebakaran dan

Pemantauan

Penilaian Dampak Kebakaran

Tingkat Bahaya Kebakaran

Polusi Udara, Jarak Pandang, Kabut Asap antar

Wilayah Pemetaan

Areal Terbakar

Penginde-raan Jauh Pemantauan

Lapangan Analisa

Ancaman Kebakaran

pemantauan langsung di lapangan cukup konvensional, namun tetap dirasa perlu mengingat keterbatasan yang dimiliki metode penginderaan jauh.

Kegiatan cek lapangan dalam sistem peringatan dan deteksi dini harus tetap dilakukan. Hasil dari cek lapangan ini kemudian dijadikan umpan balik (feed back) untuk lebih menyempurnakan sistem deteksi yang digunakan (misalnya untuk penentuan nilai ambang yang lebih sesuai/tepat). Hasil cek lapangan akan bisa mengembangkan sistem deteksi dini dan dapat menghasilkan interpretasi dengan tingkat ketelitian yang lebih baik (Suratmo et al. 2003).

Deteksi dini merupakan bagian dari proses sistem peringatan dini bagi berbagai pihak khususnya pengelola lahan baik pemerintah, swasta maupun masyarakat lokal. Sistem peringatan dini merupakan bagian penting dalam Sistem informasi kebakaran. Prosedur dan Analisa Sistem Informasi Kebakaran yang telah dikembangkan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.6. Prosedur Analisa yang Dikembangkan dalam Sistem Informasi Kebakaran Sumatera Selatan (Solichin dan Kimman 2003)

(31)

Gambar 2.4. Skema Integrasi Deteksi dan Prediksi Kebakaran (Thoha, 2006)

2.4. Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

Kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara detil diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan (Permenhut No. 12 Tahun 2009). Pada Pasal 20 Ayat 1-3 peraturan ini menyebutkan adanya organisasi atau lembaga yang dibentuk oleh oleh Menteri Kehutanan yang diberi nama Manggala Agni (pasal 20 ayat 1). Manggala Agni secara operasional di tingkat wilayah memiliki wilayah kerja yang disebut Daerah Operasi atau Daops (Pasal 20 ayat 2). Pembentukan organisasi Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Brigdalkarhut) secara vertikal dari tingkat pusat daerah dibawahnya disebutkan pada Pasal 20 ayat 3 mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota dan tingkat unit atau kesatuan pengelolaan hutan. Tanggung jawab Brigdalkarhut tingkat Provinsi dibawah Gubernur, tingkat kabupaten/kota dibawah Bupati/Walikota dan pada tingkat unit atau kesatuan pengelolaan hutan dibawah kepala unit atau kepala pengelolaan hutan.

Secara lebih detil Permenhut No. 12 Tahun 2009 juga menjelaskan Tata Hubungan Kerja pada Pasal 22-25 tentang pencegahan, Pasal 26-29 tentang pemadaman dan Pasal 30 tentang penanganan pasca kebakaran. Brigdalkarhut pada tingkat Nasional melakukan koordinasi dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Secara vertikal ke

Curah Hujan Tinggi/KBDI

< 1500

Peluang Kebakaran

< 0.40

Peluang Kebakaran > 0.40 Curah Hujan Rendah/

KBDI > 1500

Pemantauan Faktor Pendukung Kebakaran Gambut

Pemantauan Cuaca

Pengolahan Data Cuaca

Pemantauan dan Pengumpulan data Biofisik

dan Aktifitas Manusia

Pengolahan Data dan Aplikasi Model

Kondisi Siaga Berbasis Lokal : Peningkatan Intensitas Patroli/Pemantauan

Persiapan Peralatan dan Personil Pemadaman Kebakaran Koordinasi Antar Stakeholder

Sosialisasi Kondisi Rawan Kebakaran Persiapan Kondisi Darurat dan Evakuasi

(32)

tingkat daerah, Brigdalkarhut berkoordinasi dengan Gubernur dan Bupati/Walikota. Koordinasi tingkat daerah dilakukan dengan lembaga terkait daerah dan unit usaha tingkat daerah. Khusus untuk Brigdalkarhut tingkat unit atau kesatuan pengelolaan hutan upaya dalam pencegahan lebih pada level teknis. Pada Pasal 25 disebutkan Brigdalkarhut tingkat unit atau kesatuan pengelolaan hutan dalam melaksanakan upaya pencegahan kebakaran hutan dilakukan melalui kegiatan desiminasi hotspot, operasionalisasi Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK), pembinaan brigade, apel siaga, kampanye, pembinaan masyarakat dan patroli pencegahan.

Pada skala pemadaman, Brigdalkarhut melakukan koordinasi secara horizontal dengan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Departemen Pertanian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Menteri Negara Lingkungan Hidup, Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (pasal 26). Dalam melaksanakan upaya penanganan pasca kebakaran hutan, Brigdalkarhut tingkat pusat melakukan kegiatan koordinasi secara horizontal dengan Kepolisian Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan SAR Nasional (BASARNAS) (Pasal 30 ayat 2).

Kelembagaan yang menjangkau tingkat masyarakat juga diatur dalam Permenhut No. 12 Tahun 2009. Pada pasal 36 ayat 2 dinyatakan (Penguatan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, dilakukan melalui kegiatan Pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA). Peranserta Masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dimuat dalam Pasal 37 dan Pasal 38. Pasal 37 menyebutkan bahwa pemerintah menumbuh-kembangkan peranserta masyarakat dalam rangka pengendaliaan kebakaran hutan untuk ikut secara aktif dalam proses kegiatan pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca. (ayat 1). Kegiatan penumbuhkembangan peranserta masyarakat dilakukan dalam bentuk (a) pendidikan dan latihan; (b) penguatan kelembagaan; (c) fasilitasi; dan (d). penyuluhan.

Usaha pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang telah dilaksanakan selama ini melibatkan banyak lembaga mulai dari lembaga pemerintah dari berbagai departemen sampai organisasi non-pemerintah. Banyaknya lembaga yang terlibat menimbulkan banyak persoalan, seperti sulitnya koordinasi dan tumpang tindih wewenang. Dalam pengembangan kelembagaan tingkat Provinsi seperti misalnya di Kalimantan Timur telah membentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PKHL) Samarinda, sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di wilayah kerjanya di Kalimantan Timur, sebagai lead agency dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Depdagri, 2009)

2.5. Analisa Stakeholder

(33)

klaim atau kepentingan pribadi atau orang-orang yang memberikan sesuatu yang penting bagi organisasi, dan mengharapkan sesuatu sebagai balasannya (IIED, 2005).

Stakeholder dapat individu, masyarakat, kelompok sosial, atau organisasi dimana dapat opini atau ide-idenya bisa mempengaruhi hasil dari sebuah proyek saat ini. (RTI 2002). Stakeholder menurut IIED (2005) salah satunya bisa digambarkan melalui contoh pemangku kepentingan dalam kebijakan hutan diantaranya mungkin orang-orang yang tinggal di atau dekat hutan yang relevan, orang-orang yang tinggal lebih jauh yang menggunakan hutan-hutan, pemukim dari tempat lain di negara ini, atau luar negeri, pekerja, pengusaha kecil, pejabat kehutananan, manajer perusahaan kayu, aktifis lingkungan, politisi, pegawai pemerintah, warga negara, konsumen, otoritas kehutanan, instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, LSM nasional, akademisi dan peneliti, donor, konsultan, LSM internasional, organisasi berbasis masyarakat dan umum. Semua pihak tersebut, jika kepentingan mereka di hutan memang sah dan salah satu peran analisis kekuasaan stakeholder mungkin untuk memeriksa keabsahan klaim mereka harus dengan cara tertentu terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang mempengaruhi hutan.(IIED 2005)

Analisis parapihak (stakeholders) merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan parapihak dari basis kedudukan, hubungan, dan kepentingan parapihak tersebut terhadap suatu masalah atau sumberdaya (Ramirez 2003). Analisis ini telah banyak digunakan pada berbagai bidang yang mencakup bisnis, hubungan internasional, penyusunan kebijakan, penelitian partisipatif, ekologi dan pengelolaan sumberdaya alam.

IIED (2005) menjelaskan lebih lanjut bahwa analisa stakeholder menjadi alat penting dalam mengidentifikasi para pelaku pembangunan. Pelaku pembangunan ini meliputi orang dan organisasi yang terlibat ataupun terkena dampak dari suatu perencanaan. Pemahaman yang jelas atas peran dan kontribusi potensial dari berbagai stakeholder merupakan prasayarat utama bagi proses perencanaan partisipatif.

Tujuan analisa stakeholder adalah mengidentifikasi berbagai stakeholder

yang relevan dengan perencanaan pembangunan. Hal tersebut ditujukan untuk menjamin keberhasilan dalam pengambilan keputusan atas perencanaan secara partisipatif, juga menjamin keadilan dan kesamaan hak atas proses pembangunan. Banyak kasus menunjukkan bahwa apabila mereka tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, menyusun prioritas, dan langkah kegiatan, maka yang dihasilkan adalah berupa strategi dan langkah kegiatan yang kurang tepat, akibatnya masyarakat juga kurang menerima manfaat dari pembangunan, atau justru terkena dampak negatifnya. Prinsip keterlibatan ini juga bermakna mencakup pihak-pihak yang biasanya diabaikan, seperti kelompok marjinal dan tersisih: orang miskin, perempuan, orang tua, orang muda, cacat. (Kebede et al. 2001) Selain itu analisa stakeholder berguna untuk memetakan peran dan kontribusi stakeholder dalam pembangunan. Pemetaan stakeholder merupakan kebutuhan untuk dapat melibatkan stakeholder secara aktif sesuai dengan paradigma sekarang.

(34)

dengan kelompok yang berkepentingan dalam sektor umum, swasta dan organisasi. Dengan pemisahan itu akan terlihat jelas potensi mereka sehingga tingkat keterwakilan bisa lebih proporsional, misalnya terkait dengan masalah jender, etnis, kemiskinan dan sebagainya. Namun perlu segera disadari bahwa analisa stakeholder ini hanya menyediakan alat untuk mengidentifikasi potensi stakeholder, dan tidak menjamin bahwa mereka akan terlibat secara aktif di dalamnya. (Kebede et al. 2001)

2.6. Riset Aksi

Pengertian riset aksi atau action research dikutip dari Dick (1997) adalah suatu proses dimana terjadinya suatu perubahan dan meningkatnya pemahaman terhadap situasi yang berubah, dapat dicapai dalam waktu yang sama. Riset Aksi biasanya digambarkan sebagai siklus, dengan aksi dan refleksi kritis yang terjadi secara bergantian. Refleksi digunakan untuk mengkaji Aksi terdahulu dan menyusun rencana untuk siklus berikutnya.

Riset Aksi digunakan dalam situasi tertentu. Dick (1997) menyarankan bahwa Riset Aksi dapat digunakan ketika situasi di lokasi penelitian sangat dinamis sehingga membutuhkan tanggapan yang cepat atau dengan kata lain, penelitian juga harus responsif terhadap dinamika atau perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, penelitian juga dituntut untuk memiliki fleksibilitas yang tinggi.

Selain itu Dick (1997) juga menyatakan bahwa riset aksi bersifat partisipatif. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, “Siapa yang harus berpartisipasi?

Partisipasi dalam kegiatan apa?” Riset Aksi biasanya dilakukan oleh sekelompok

orang, walaupun kadang-kadang juga dilakukan oleh individu, namun keduanya sama-sama bertujuan untuk memperbaiki suatu praktek atau kegiatan untuk melakukan suatu perubahan dalam konteks partisipasi.

(35)

3 KARAKTERISTIK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

3.1. Pendahuluan

Perubahan iklim ditandai dengan meningkatnya kejadian iklim ekstrim baik intensitas maupun penyebarannya. Salah satu bentuk kejadian iklim ekstrim yang sering muncul adalah berupa musim kemarau yang ekstrim yang memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun-tahun dengan kemarau yang ekstrim terjadi di hampir semua pulau di Indonesia, namun karakteristiknya bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.

Di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan terjadi secara berulang hampir setiap tahun pada musim kemarau dengan frekuensi dan tingkat risiko yang berbeda-beda. Dampak kebakaran hutan dan lahan akan semakin buruk bila terjadi pada lahan gambut. Kebakaran lahan gambut pada tahun 1997/1998 dimana terjadi El Nino di wilayah Indonesia, menyumbangkan emisi sebesar 13-40% dari emisi global. (Page et al. 2002; Harrison et al. 2009; Langman et al.

2009)

Kebakaran hutan dan lahan beserta dampaknya telah meluas ke berbagai wilayah termasuk Kabupaten Kapuas yang merupakan salah satu sentra produksi padi di Provinsi Kalimantan Tengah. Di kabupaten Kapuas terdapat lebih dari empat ratus ribu hektar lahan gambut yang terletak di bekas lahan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang dicanangkan sejak tahun 1995. Pengeringan ekosistem gambut membuat area sangat rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan, yang mengakibatkan emisi karbon masif (Hoojier et al. 2006). Situasi ini menyebabkan penderitaan besar bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut, dimana mereka mengalami kehilangan mata pencaharian dan gangguan kesehatan. Menurut Cochrane (2003), emisi karbon dari kebakaran akan semakin besar bila lahan gambut terbakar. Kebakaran dari lahan gambut tropis menghasilkan emisi karbondioksiada 4-40 kali lebih besar daripada habitat tropis lainnya.

Berdasarkan hasil identifikasi kejadian kebakaran, Kabupaten Kapuas merupakan salah satu daerah yang terpantau sering terjadi kebakaran hutan dan lahan. Sebagian besar areal Eks PLG sejuta hektar berada di Kabupaten Kapuas. Seperti yang dilaporkan oleh Laporan dari WIIP (2007) dan Kemenhut (2011) menyebutkan bahwa kebakaran di tahun 2002, 2007, dan 2011 di areal Eks PLG mengganggu aktifitas masyarakat dan memperparah kerusakan ekosistem lahan gambut. Penelitian Jaya et al. (2008) menyebutkan bahwa kabupaten Kapuas merupakan daerah yang termasuk dalam kelas risiko atau kerawanan kebakaran sangat tinggi (extremly risk) di Kalimantan Tengah.

Gambar

Gambar 2.4.   Skema Integrasi Deteksi dan Prediksi Kebakaran (Thoha, 2006)
Gambar 3.4. Jumlah hotspot di berbagai kecamatan di Kabupaten Kapuas Tahun
Gambar 3.5. Kepadatan  hotspot pada berbagai Tutupan lahan dan penggunaan
Gambar 3.6. Jumlah hotspot pada berbagai Tutupan lahan dan peggunaan lahan di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian mengenai dampak lingkungan diketahui bahwa perbaikan kondisi lingkungan yang terjadi bukan akibat dari perbaikan pengelolaan hutan setelah

Masyarakat desa hutan sebagai pemeran utama dalam pengelolaan hutan bukan saja karena masyarakat memiliki kapasitas pengetahuan, kelembagaan lokal, dan tanggung

Salah satu cara untuk mencegah terjadinya kebakaran pada masa mendatang adalah deteksi awal yang dapat diperoleh dengan adanya suatu sistem peringatan dini seperti Tingkat

secara umum menghasilkan model penguatan kapasitas kelembagaan dan organisasi lokal yang sesuai dengan kondisi lapangan. Kedua, model atau pendekatan studi ini

BLH berguna untuk memberi masukan informasi lapangan ke tingkat yang lebih tinggi dan pada saat yang sama menyalurkan informasi dari lembaga yang bertanggung jawab untuk

Desain yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan deskriptif analitis yang bertujuan untuk : (1)

Game edukasi kebakaran hutan dan lahan berbasis android ini merupakan sebuah permainan atau game yang dirancang untuk memberikan pengetahuan edukasi mengenai hal yang

“suatu keadaan dimana HUTAN dilanda API sehingga mengakibatkan KERUSAKAN HUTAN atau HASIL HUTAN yang menimbulkan KERUGIAN EKONOMI, PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN dan NILAI LINGKUNGAN